Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 28


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 28


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Berkata si nona.   "Kau pilih cara bun, kau masih mempunyai harapan. Baiklah, aku memberi keleluasan padamu, kita pakai cara bun. Siapa yang menyerang lebih dulu, kau atau aku?"   Auwyang Kongcu malu menyerang lebih dulu. "Tentu saja kau yang mulai lebih dulu,"   Ia memberikan penyahutannya. "Kau licin sekali!"   Tertawa Oey Yong.   "Kau memilih belakangan, karena kau tahu, jikalau kau lebih dulu, kau bakal tampak kerugian, kau jadi berpura ngalah terhadap aku! Baiklah, hari ini aku yang akan terus bersikap seorang kesatria, aku akan mengalah sampai di akhirnya!"   Auwyang Kongcu pun berpikir.   "Sebenarnya tidak apa yang aku menyerang terlebih dulu."   Tapi ketika ia hendak mengucapkan itu, si nona sudah mendahului padanya.   "Lihat serangan!"   Nona ini benar-benar menyerang, dihadapannya terlihat sinar berkeredepan menyambar lawannya.   Ia ternyata memegang senjata rahasia di dalam tangannya.   Auwyang Kongcu terkejut.   Untuk menangkis sama kipasnya, kipasnya itu sudah dirusak Ang Cit Kong.   Ia dapat menggunai ujung bajunya, untuk mengebas, tangan ujung bajunya baru disobek.   Ia tidak menangkis, ia pun tidak bisa mundur.   Sebab mundur berarti keluar dari lingkaran.   Tidak ada pilihan lain, terpaksa ia menjejak kedua kakinya, untuk mencelat mengapungi diri, tingginya setombak lebih, dengan begitu semua senjata rahasia itu lewat di bawahan kakinya.   Si nona telah menimpuk dengan beberapa puluh jarumnya.   "Serangan yang kedua!"   Si nona berseru.   Ia menyerang pula disaat orang terapung habis dan tinggal turunnya saja.   Serangannya kali ini ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah.   Itulah ilmu melepaskan jarum ajaran Ang Cit Kong yang bernama "Boan-thian hoa ie teng kim ciam"   Atau melempar jarum memebuhi langit bagaikan hujan bunga. "Habislah aku!"   Mengeluh Auwyang Kongcu saking kagetnya.   "Perempuan ini sungguh kejam"   Justru itu ia merasakan ada orang mencekal leher bajunya di bagian dan belakang dan terus kakinya terangangkat lebih tinggi, berberang dengan mana, ia mebdengar suara sar-ser dari lewatnya semua jarum rahasia, yang terus jatuh ke tanah.   Ia mengerti bahwa ada orang yang sudah menolongi padanya, hanya belum sempat ia melihat penolong itu, ia merasa tubuhnya sudah dilemparkan.   Sebenarnya ia tidak dilempar keras, akan tetapi lihaynya orang yang melemparkannya itu, ketika tubuhnya tiba di tanah, yang mendahului jatuh adalah lengan kirinya, maka sebelum dapat berlompat bangun, ia terbanting keras juga.   Ia menduga kepada Ang Cit Kong, sebab di situ tidak ada orang lain yang terlebih pandai.   Ia mendongkol sekali, tanpa menoleh lagi, ia ngeloyor keluar dari rumah abu itu, semua gundiknya melerot mengikuti padanya.   "Suhu, kenapa kau menolongi mahkluk busuk itu?!"   Oey Yong tanya gurunya. Ang Cit Kong tertawa. "Dengan pamannya itu aku bersahabat kekal!"   Sahutnya.   "Dia memang jahat, dia bagiannya mampus, tetapi kalau dia mampus di tangan muridku, jelek di muka pamannya itu."   Ia terus menepuk-nepuk pundak muridnya yang cerdik itu.   "Anak manis, hari ini kau telah membikin terang muka gurumu. Dengan apa aku harus memberi upah kepadamu?"   Oey Yong mengulur lidahnya. "Aku tidak menghendaki tongkatmu, suhu!"   Katanya. "Walaupun kau menghendaki, tidak dapat aku memberikannya itu!"   Kata sang guru.   "Aku memikir untuk mengajari kau satu atau dua tipu silat, tetapi dalam beberapa hari ini aku sangat malas bergerak, aku tidak mempunyakan kegembiraanku!"   "Aku nanti memasaki kau beberapa macam sayur untuk membangkitkan semangatmu,"   Berkata Oey Yong. "Sekarang aku tak sempat berdahar."   Ia menunjuk Lee Seng serta rombongannya.   "Kami kaum Kay Pang ada mempunyai banyak urusan untuk dibicarakan."   Lee Seng dan kawan-kawannya menghampirkan Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk menghanturkan terima kasih.   Nona Thia pun meloloskan diri dari belenggunya, ia dekati Oey Yong, tangan siapa ia tarik, ia mengutarakan rasa syukurnya.   Oey Yong menujuk kepada Kwee Ceng, ia berkata kepada si nona.   "Ma Totiang, yang menjadi paman gurmu yang nomor satu, pernah mengajarkan ilmu silat, dan lain-lain paman gurumu, seperti Khu Supee dan Ong Supee, semua memandang tinggi kepadanya. Sebenarnya kita adalah orang sendiri."   Setelah Lee Seng mengasih selamat kepada Ang Cit Kong, Kwee Ceng dan Oey Yong.   Mereka memang tahu, ketua itu tidak pernah menerima murid tetapi entah bagaimana, kali ini kebiasaan itu tidak dapat dipertahankan.   Tentu saja ia, yang diajar, hanya beberapa jurus, menjadi kagum sekali.   Ia pun berkata, besok hendak ia mengadakan perjamuan guna pemberian selamat itu.   "Aku khawatir mereka jijik dengan kedekilan kita, mereka tidak akan sudi dahar makanan kita kaum pengemis!"   Berkata Cit Kong sambil tertawa. "Besok pasti kita akan hadir,"   Berkata Kwee Ceng lekas.   "Lee Toako ada cianpwee kami, aku justru ingin sekali mempererat persahabatan kita!"   Senang Lee Seng mendapat perkataan anak muda ini. Ia memang suka ini anak muda yang lihay dan sifatnya sangat merendah. "Kamu bersahabat erat, inlah bagus,"   Kata Cit Kong. "Tapi ingat, jangan kau membujuk murid kepalaku ini menjadi pengemis. Kau, muridku yang kecil, pergi kau mengantarkan Nona Thia pulang. Kami bangsa pengemis, sekarang kami hendak pergi mencuri ayam dan mengemis nasi!"   Habis berkata begitu, pangcu dari Kay Pang itu, Partai Pengemis, sudah lantas ngeloyor pergi.   Lee Seng beramai mengikuti, tetapi sebelum, pergi Lee Seng memberitahukan, pesat besok bakal dibikin di rumah abu itu.   Oey Yong mengantarkan Nona Thia pulang, Kwee Ceng juga turut mengantar karena ia khawatir mereka itu nanti bertemu Auwyang Kongcu di tengah jalan, itulah berabe.   Di tengah jalan itu, Nona Thia perkenalkan dirinya pada Oey Yong.   Ia ternyata bernama Yauw Kee.   Ia memang pernah belajar silat pada Ceng Ceng Sanjin Sun Put Jie tetapi dasar dari keluarga hartawan, ia tidak bisa membuang semua sifatnya si orang hartawan, maka itu ia beda dadri Oey Yong yang polos dan sederhana, meskipun sebenarnya Oey Yong termanjakan oleh ayahnya.   Sekembalinya dari rumah Thia Yauw Kee, Kwee Ceng dan Oey Yong hendak pulang ke penginapannya untuk beristirahat, mereka merasa letih, akan tetapi mendadak mereka mendengar tindakan kaki kuda mendatangi dari arah selatan ke utara, setelah datang hampir dekat, penunggang kuda itu menghentikan binatang tunggangannya.   Oey Yong ingin ketahui siapa pengunggang kuda itu, ia lari menghampirkan, Kwee Ceng mengikuti dia.   Untuk herannya muda-muda ini, mereka mengenali Yo Kang, yang tangannya menuntun seekor kuda.   Dan, berdiri di tepi jalan, orang she Yo itu asyik pasang omong dengan Auwyang Kongcu.   Sebenarnya mereka ini ingin mendengar pembicaraan orang tetapi mereka tidak berani datang terlalu dekat, khawatir nanti kepergok.   Maka itu apa yang terdengar adalah Auwyang Kongcu menyebut-nyebut "Gak Hui"   Dan kota "Lim-an"   Dan Yo Kang mengatakan "ayahku".   Setelah itu, Auwyang Kongcu memberi hormat, bersama murid-muridnya, dan gundik-gundiknya, ia berlalu.   Yo Kang berdiri menjublak, lalu ia menghela napas, kemudain ia berlompat naik ke atas kudanya.   "Yo Hiantee, aku ada di sini!"   Kwee Ceng memanggil. Yo Kang terkejut, tetapi segera ia lari menghampirkan "Toako, kau ada di sini?"   Tanya heran. "Di sini aku bertemu bersama Nona Oey, kita pun bentrok sama Auwyang Kongcu, kerananya perjalananku terlambat,"   Kwee Ceng menyahut. Mukanya Yo Kang merah dan dirasakan panas, tetapi Kwee Ceng tidak dapat melihatnya. "Toako, kita jalan terus sekarang atau singgah dulu?"   Yo Kang tanya.   "Apakah Nona Oey akan turut bersama pergi ke Pak-khia?"   "Bukannya aku mengikut kamu, tetapi kaulah yang mengikuti kami,"   Kata Oey Yong. "Toh, tidak ada perbedaannya!"   Kwee Cneg tertawa. "Mari kita pergi ke rumah abu untuk beristirahat, setelah terang tanah kita melanjutkan perjalanan kita."   Yo Kang menurut, maka mereka balik ke rumah abu keluarga Lauw itu.   Kwee Ceng menyalakan sisa lilinya Auwyang Kongcu.   Oey Yong membawa sebuah ciaktay, dengan menyuluh, ia punguti semua jarumnya.   Hawa malam itu panas mengkedus, maka ketiganya merebahkan diri di depan ruang dimana mereka meletakkan daun pintu.   Hampir mereka kepulasan, kuping mereka mendengar tindakan kaki kuda.   Lantas mereka bangun untuk berduduk, untuk memasang kuping.   Terang itu bukannya seekor kuda, dan suaranya pun makin nyata.   "Yang di depan tiga orang, yang di belakang, yang mengejar belasan,"   Berkata Oey Yong. Kwee Cneg seperti hidup di punggung kuda, ia lebih berpengalaman daripada si nona. Ia kata.   "   Inilah aneh! Pengejar itu terdiri dari enambelas orang!"   "Apa katamu!"   "Yang di depan itu semua kuda Mongolia, yang di belakangnya bukan. Heran, kenapa kuda Mongolia dari gurun pasir lari-larian di sini?"   Oey Yong berbangkit, ia menarik tangan Kwee Ceng buat diajak ke pintu.   Mendadak saja sebatang anak panah lewat di atasan kepala mereka.   Ketiga penunggang kuda sudah lantas sampai di depan rumah abu, hanya celaka penunggang kuda yang paling belakang, ketika sebatang panah menyambar pula, kudanya terpanah kempolannya, binatang itu meringkik, lalu roboh.   Syukur untuknya, dia kaget, dia dapat berlompat turun dari kudanya itu, hanya ia tidak mengerti ilmu ringan tubuh, turunnya dengan tubuh yang berat.   Dua kawannya berdiri bengong dan saling mengawasi.   "Aku tidak kurang suatu apa!"   Berkata yang kudanya roboh itu.   "Kau lekas berangkat terus, nanti aku merintangi mereka itu!"   "Nanti aku membantui kau merintangi mereka,"   Kata yang satunya.   "Su-ongya boleh lekas menyingkir!"   "Mana bisa?!"   Berkata orang yang dipanggil su-ongya itu, pangeran keempat.   Mereka itu bicara dalam bahasa Mongolia dan Kwee Ceng merasa mengenali mereka, ialah Tuli, Jebe dan Boroul.   Tentu saja ia menjadi bertambah heran, hingga ia menduga-duga, kenapa mereka itu berada di tempat ini.   Tadinya ia berniat pergi menemui mereka atau kaum pengejarnya keburu sampai dan sudah lantas mulai mengurung.   Ketiga orang Mongolia itu membuat perlawanan dengan panah mereka.   Nyata mereka pandai sekali menggunai senjatanya itu.   Pihak pengurung tidak berani datang mendekat, mereka menyerang dengan anak panah dari kejauhan.   "Naik!"   Berseru seorang Mongolia, tangannya menunjuk ke tiang bendera.   Bagaikan kera, mereka itu berlompat naik, maka itu, sebentar kemudia mereka dapat memernahkan diri di tempat tinggi.   Pihak pengurung mendesak lebih jauh, semua mereka turun dari kudanya masing-masing.   "Engko Ceng, kau keliru,"   Kata Oey Yong.   "Mereka berlimabelas."   "Tidak bisa salah. Salah satunya telah kena terpanah!"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Benar saja, seekor kuda yang lain mendatangi dengan perlahan, di pelananya ada penunggangnya yang tergantung kaki kirinya dan terseret, di dadanya ada panag panjang yang menancap.   Diam-diam Kwee Ceng merayap menghampiri penunggang kuda itu, yang sudha mati.   Ia mencabut anak panahnya.   Ia mendapat kenyataan, gagang panah tersalut besi matang.   Bahkan di situ ada ukiran seekor macan tutul, ialah tanda dari panahnya Jebe.   Anak panah itu lebih berat dari anak panah biasa.   Sekarang ia tidak bersangsi pula.   Maka ia berteriak menanya;   "Yang di atas itu suhu Jebe dan adik Tuli?"   Tiga orang itu terdengar berseru kegirangan.   Berbareng dengan itu dua bayangan putih melayang turun ke arah pemuda she Kwee itu.   Kwee Ceng mendengar suara sayap burung atau ia segera mengenali kedua ekor burung rajawali piarannya putri Gochin Baki.   Kedua ekor burung itu sangat tajam matanya, walaupun dalam gelap, mereka mengenali majikan mereka, maka ini mereka lantas terbang turun.   Smabil berpekik mereka hingga di pundak majikannya itu.   Oey Yong kagum sekali.   Memang pernah ia mendengar Kwee Ceng bercerita halnya memanah burung rajawali dan mendapatkan anaknya yang terus dipiara, hingga ia pun memikir, kalau ia dapat pergi ke gurun pasir, hendak ia memelihara burung itu.   "Mari kasih aku bermain-main dengannya!"   Ia kata tanpa menghiraukan musuh semakin mendekati. Ia mengulur tangannya, untuk memegang burung itu, guna mengusap-usap bulunya. Tapi burung itu lihay, ia tidak kenal si nona, ia mematok. Syukur si nona keburu tarik pulang tangannya itu. "Jangan!"   Kwee Ceng mencegah. "Burung ini busuk!"   Kata si nona, yang tertawa. Biar bagaimana ia suka burung itu, yang ia terus awasi. "Yong-jie, awas!"   Mendadak Kwee Ceng berseru.   Itu waktu dua batang anak panah menyambar ke arah dadanya si nona.   Oey Yong acuh tak acuh atas datangnya anak panah itu, akan tetapi dengan sebat ia menyembat tubuhnya si penunggang kuda yang sudah mati itu, maka kedua anak panah lantas mengenakan tubuh orang itu, yang ternyata adalah serdadu Kim, cuma sebab ia mengenakan baju lapis, anak panah itu jatuh ke tanah.   Lantas si nona merogoh kantungnya si serdadu, ia keluarkan rangsum keringnya, yang mana ia pakai untuk memberi makan kepada kedua ekor rajawali itu.   "Yong-jie, kau memainlah dengan burung ini, nanti aku menghajar tentara Kim itu!"   Berkata Kwee Ceng, yang segera lompat maju, tepat menghadapi satu musuh, yang memanah kepadanya.   Ia sampok anak panah itu dengan tangan kiri lalu dengan tangan kanan ia cekal tangan orang, yang ia terus tekuk patah.   "Hai, bangsat anjing dari mana berani banyak tingkah di sini?!"   Berteriak seseorang dari tempat yang gelap.   Ia bicara dalam bahasa Tionghoa, malah suaranya dikenali Kwee Ceng, sehingga pemuda ini heran.   Tengah ia tercengang, sepasang kampak sudah menyambar kepadanya, cahaya senjata itu bergemerlapan.   Melihat serangan bukan sembarang serangan, Kwee Ceng mendak, sembari mendak ia membalas menyerang, segera dengan jurus "Naga sakti menggoyang ekor"   Dari Hap Liong Sip-pat Ciang! Tidak tempo lagi musuh itu terhajar pundaknya, tulang- tulangnya pada patah dan remuk, tubuhnya terpental jatuh sambil ia mengeluarkan jeritan yang menyayatkan.   Maka sekarang Kwee Ceng ingat salah sau dari Hong HO Su Koay, yaitu Song-bun-hu Cian Ceng Kian.   Menyesal juga pemuda itu yang ia telah berlaku secepat itu, ia khawatir Ceng Kian terbinasa.   Ia hanya tidak menyangka, baru beberapa bulan atau ia sekarang dapat mengalahkan Siluman dari Sungai Hong Hoo itu demikian gampang.   Tengah ia menyesal, mendadak datang lagi serangan - sebuah golok dan sebatang tombak.   Ia segera menduga kepada Toan-hun-to Sim Ceng Kong dan Twie-beng-chio Gouw Ceng Liat.   Ia membangkol tombak orang dan menarik, maka tubuh si penyerang menjadi terjerunuk maju, tempat menjadi sasarannya golok kawannya, tetapi dengan satu tendangan, Kwee Ceng menghalau golok yang terbang melayang.   Habis itu, dengan kesebatannya, pemuda ini mengangkat tubuh orang, untuk dilemparkan, maka itu Ceng Kong dan Ceng Liat saling bentur dengan keras, hingga keduanya pingsan.   Hong Ho Su Koay ini tinggal bertiga sebab Siluman yang satu lagi, yaitu Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong telah terbinasa di tanganya Liok Koan Eng ketika ia nelusup masuk ke dalam rombongan perampok Thay Ouw itu.   Mereka bertigalah orang-orang lihay dari rombongan serdadu-serdadu Kim yang mengejar Tuli bertiga itu.   Mereka roboh tanpa diketahui rombongannya, maka serdadu-serdadu Kim itu masih tetap menyerang Tuli, Jebe dan Boroul.   "Masih kamu tidak mau menyingkir! Apakah kamu ingin mampus semua di sini?!"   Membentak Kwee Ceng, yang segera maju menyerbu, menyerang kalang-kabutan kepada serdadu-serdadu itu, hingga sebentar kemudian mereka itu menjadi kacau dan kabur.   Sim Ceng Kong dan Gouw Ceng Liat sadar saling susul, melihat ancaman bahaya, mereka kabur tanpa berayal lagi, Jebe bersama Boroul lihay ilmu panahnya, mereka dapat membinasakan tiga serdadu.   Tuli mengawasi ke bawah, ia menyaksikan Kwee Ceng menghajar musuh, ia girang bukan main.   "Anda, kau baik?"   Ia menanya.   Terus dengan memeluk tiang bendera, ia merosot turun, setibanya di tanah, si sambar tangan Kwee Ceng, untuk mereka saling jabat dengan keras, mata mereka saling tatap.   Menyusul itu, Jebe dan Boroul pun merosot tutun.   "Tiga orang itu melawan kami dengan tamengnya, tidak dapat kami memanah mereka,"   Berkata Jebe. "Coba tidak Ceng-jie datang menolong, pastilah kami tak bakal dapat minum pula airnya sungai Onom yang jernih!"   Jago panah ini berbicara separuh bergurau hingga orang tertawa. Kwee Ceng lantas menghampirkan Oey Yong, untuk ditarik menghampirkan Tuli bertiga. "Inilah adik angkatku,"   Ia perkenalkan nona itu. Oey Yong yang lucu dan berani, sembari tertawa ia lantas berkata.   "Sepasang burung ini dapatkah diberikan kepadaku?"   Tuli berdiam mengawasi si nona, ia tidak mengerti bahasa Tionghoa dan peterjemahnya telah mati terbinasa si tangan musuh. Ia cuma mendengar suara orang halus dan merdu dan wajahnya manis. "Eh, anda, mengapa kau membawa-bawa burung ini?"   Kwee Ceng tanya. Ia pun tidak mengambil peduli perkatannya si nona. "Ayahanda menitahkan kaisar Song,"   Menyahut Tuli. "Kami berjanji bersama-sama mengerahkan angkatan perang kita guna menggenjet pasukan perang Kim. Adikku bilang, mungkin nanti aku ketemu kau, maka ia menyuruh aku membawa burung ini."   Kwee Ceng berdiam mendengar orang menyebut putri Gochin. Ia berpikir.   "Dalam satu bulan aku mesti memenuhi janji pergi ke pulau Tho Hoa To, mungkin sekali ayahnya Yong-jie bakal membunuh aku, maka itu tiba-tiba dapat aku perdulikan lagi dia itu"   Maka itu ia berpaling kepada Oey Yong dan berkata. "Sepasang burung ini menjadi kepunyaanku, kau boleh ambil buat main!"   Oey Yong girang bukan main, ia lantas pula mengambi daging kering untuk mengasih makan pada burung itu.   Tuli lantas bercerita bagaimana ayahnya, Jenghiz Khan menang berperang melawan bangsa Kim, bagaimana ia diutus kepada raja Song untuk membeuat perserikatan, akan tetapi di tengah jalan ia berpapasan sama tentara Kim, yang merintanginya, hingga mereka bertempur, hingga habislah barisan pengiringnya, hingga mereka tinggal bertiga saja.   Maka ysukur di sini ia bertemu ini saudara angkat, yang dapat menolongi mereka.   Mendengar keterangan Tuli ini, Kwee Ceng menjadi ingat apa yang ia dengar di Kwie-in-chung tempo Yo Kang menyuruh Bok Liam Cu pergi ke Lim-an untuk menemui Perdana Menteri Su Bie Wan, untuk memesan agar perdana menteri itu membinasakan utusan Mongolia itu.   Ketika itu ia belum tahu apa-apa, tidak tahunya, negera Kim sudah mengetahui rahasia itu, dari itu dengan Yo Kang diutus raja Kim ke Selatan, maksudnya pun tak lain tak bukan guna merintangi perserikatan Song dan Mongolia itu.   "Pihak Kim itu rupanya berkeputusan tetap untuk menawan aku,"   Tuli berkata pula.   "Maka juga adik rajanya sendiri, yaitu pangeran yang nomor enam, yang memimpin pasukannya memegat kami."   "Adakah ia Wanyen Lieh?"   Tanya Kwee Ceng. "Benar! Dia memakai kopiah emas, inilah aku lihat jelas. Sayang sekali, tiga kali aku panah dia, saban-saban panahku dirintangi tameng pengiring- pengiringnya."   Kwee Ceng girang sekali hingga ia berseru.   "Yong-jie, adik Kang! Wanyen Lieh ada di sini, mari kita lekas cari dia!"   Oey Yong menyahuti tetapi Yo Kang tidak, malah orangnya pun tidak nampak. Kwee Ceng heran. "Yong-jie pergi ke timur, aku ke barat!"   Katanya cepat.   Lantas keduanya lari pesat sekali.   Setelah berlari-lari beberapa lie, Kwee Ceng dapat menyandak beberapa serdadu Kim yang lagi kabur, ia menawan satu diantaranya, maka ia mendapat kepastian, benarlah pemimpin tentara pengepung Tuli adalah Wanyen Lieh sendiri, hanya disaat itu, ini serdadu tidak ketahui di mana beradanya pangerannya itu.   "Kita sudah meninggalkan pangeran dan kabur, kalau kita pulang, kita ada bagian dipotong kepala kami,"   Kata si serdadu.   "Karena itu kami hendak meloloskan seragam kami untuk kabur dan menyembunyikan diri."   Kwee Ceng penasaran, ia masih mencari, tetapi sia-sia saja.   Ketika itu fajar mulai menyingsing.   Ia bergelisah sendirinya.   Maka ia terus lari, akan mencari.   Ketika ia tiba di sebuah hutan kecil di depannya, di sana berkelebat seseorang dengan pakaian putih.   Itulah Oey Yong yang pun tidak memperoleh hasil.   Maka dengan masgul, mereka kembali ke rumah abu di mana mereka menemui Tuli bertiga.   "Mungkin Wanyen Lieh itu pulang untuk mengambil bala bantuan!"   Tuli berkata.   "Anda, aku lagi bertugas, tidak dapat aku ayal-ayalan, maka di sini saja kita berpisahan."   Kwee Ceng berduka, khawatir nanti ia tak dapat bertemu pula dengan tiga orang itu.   Berempat mereka saling rangkul, lalu mereka berpisahan.   Ia mengawasi kepergian mereka itu, sampai orang lenyap dan tindakan kaki kudanya pun tak terdengar.   "Engko Ceng, mari kita menyembunyikan diri,"   Oey Yong mengajaki.   "Kita menanti sampai Wanyen Lieh datang bersama pasukannya, itu waktu tentu kita bakal menemui dia. Kalau jumlahnya besar sekali, kita menguntit saja, malamnya baru kita menyatroni, untuk membunuh padanya. Tidakkah itu bagus?"   Kwee Ceng girang, ia puji si nona. Oey Yong pun sangat girang. "Sebenarnya ini tiou daya lumrah saja, namanya berpindah dari gili-gili menaik perahu,"   Katanya tertawa. "Nanti aku pergi ke dalam rimba untuk menyembunyikan kuda kita,"   Kata Kwee Ceng, yang terus menuntun kudanya.   Ketika ia tiba di belakang rumah abu, ia lihat satu benda bersinar keemas-emasan yang bertojoh matahari.   Ia lantas menghampirkan dan memungutnya.   Nyata itu ada sebuah kopiah bersalut emas dan di situ pun tertabur dua butir batu permata sebesar buah kelengkeng.   Ia lantas lari kepada Oey Yong.   "Yong-jie, lihat apa ini?"   Ia berkata separuh berbisik. Oey Yong terkejut. "Inilah kopiahnya Wanyen Lieh,"   Sahutnya. "Benar! Kebanyakan dia masih bersembunyi di dekat-dekat sini, mari kita cari pula!"   Mengajak Kwee Ceng. Oey Yong memutar tubuhnya, tangannya menekan tembok, maka sekejap saja ia sudah berada di atas tembok itu. "Aku mencari dari atas, kau di bawah!"   Katanya. Kwee Ceng menyahuti, lantas ia masuk ke dalam pekarangan rumah. "Engko Ceng, barusan ilmu ringan tubuhku bagus atau tidak?"   Si nona menanya. Kwee Ceng menghentikan tindakannya, ia melongo. "Bagus!"   Sahutnya.   "Kenapa?"   Nona itu tertawa. "Kalau bagus, kenapa kau tidak memuji aku?"   Tanyanya. Kwee Ceng membanting kakinya. "Anak, anak nakal!"   Katanya.   "Diwaktu begini kau masih bergurau!"   Oey Yong tertawa, terus ia lari ke belakang.   Selagi Kwee Ceng membantu Tuli melawan seradau-serdadu Kim, Yo Kang yang matanya jeli sekali telah lantas dapat melihat Wanyen Lieh yang mengepalai tentara Kim itu.   Biar ia bukannya anak pangeran itu, ia tetapi ingat budi orang yang sudah merawat ia belasan tahun.   Ia memandangnya sebagai ayahnya sendiri, dari itu ia mengerti.   lambat sedikit saja, pangeran itu bisa dapat susah.   Tanpa pikir lagi, ia berlompat untuk menolongi, justru itu Kwee Ceng telah melontarkan seorang serdadu, Wanyen Lieh berkelit tetapi sia-sia, ia kena ditubruk serdadu itu, ia roboh dari kudanya.   Yo Kang lompat, untuk merangkul seraya ia berbisik di kupingnya pangeran itu.   "Hu-ong, inilah anak Kang, jangan bersuara!"   Kwee Ceng lagi bertempur dan Oey Yong lagi membuat main burung, maka itu tidak ada yang melihat Yo Kang mengajak ayah angkatnya itu menyingkir ke belakang rumah abu.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Keduanya masuk ke dalam rumah dan sembunyi di sebuah kamar barat.   Mereka mendengar pertempuran menjadi reda, serdadu-serdadu Kim lari serabutan, begitupun pembicaraan Kwee Ceng dengan tiga orang Mongolia itu.   Wanyen Lieh merasa ia tengah bermimpi.   "Anak Kang kenapa kau berada di sini?"   Ia menanya perlahan.   "Siapa orang kosen itu?"   "Dia Kwee Ceng, anaknya Kwee Siauw Thian dari dusun Gu-kee-cun di Lim-an,"   Yo Kang memberitahu.   Dingin Wanyen Lieh merasakan bebokongnya.   Di otaknya berkelebat kejadian pada sembilanbelas tahun yang lampau itu.   Ia membungkam.   Segera setelah itu, ia mendengar suara Kwee Ceng dan Oey Yong mencari padanya.   Ia bergidik.   Ia telah menyaksikan kegagahan orang tadi diwaktu ketiga Siluman dari Hong Hoo dihajar dan tentaranya dilbrak.   "Hu-ong, mari sembunyi terus di sini,"   Berkata Yo Kang.   "Kalau kita keluar sekarang, ada kemungkinan kita terlihat mereka. Tidak nanti mereka menyangka kita berada di sini. Sebentar setelah mereka pergi jauh barulah kita mengangkat kaki."   Wanyen Lieh mengangguk. "Benar anak Kang,"   Ia menyahuti.   "Kenapa kau memanggil aku hu-ong dan bukannya ayah?" Yo Kang tidak menjawab. Ia ingat almarhum ibunya, pikiriannya bekerja keras. "Apakah kau lagi memikirkan ibumu?"   Wanyen Lieh tanya.   "Benarkah?"   Ia memegang tangan orang dan tangan itu dingin bagaikan es. Dengan perlahan-lahan Yo Kang meloloskan tangannya. "Pemuda she Kwee itu bernama Kwee Ceng, ia gagah sekali,"   Ia memberitahu.   "Untuk membalas sakit hati ayahnya, ia bakal mencelakai hu-ong. Untuk itu, dia dapat menggunai segala daya upaya. Dia pun mempunyai banyak sahabat. Maka itu dalam setengah tahun ini baiklah hu-ong jangan pulang ke Pak-khia"   "Benar, baiklah kalau aku menyingkir daripadanya,"   Menyahut pangeran itu.   "Apakah kau pernah pergi ke Lim-an? Apakah katanya Perdana Menteri Su itu?"   "Aku belum pergi ke sana,"   Menjawab Yo Kang lagu suaranya tawar.   Mendengar suara orang itu, Wanyen Lieh menduga anak ini telah mengetahui asal-usul dirinya, hanya heran ia, mengapa ia telah ditolongi.   Untuk delapanbelas tahun, keduanya ini menjadi ayah dan anak yang saling menyinta dan menyayangi, akan tetapi pada detik ini, berada dalam sebuah kamar, Yo Kang merasakan di antara mereka ada permusuhan hebat sekali.   Yo Kang bersangsi, terombang-ambing di antara kecintaan dan kebencian.   "Asal aku menggeraki tanganku, pasti sudah dapat aku membalas sakit hati ibuku,"   Berkata si anak dalam hati. "Tetapi, bagaimana dapat aku turun tangan ? Laginya, apakah benar aku selamanya tidak sudi menjadi putra raja? Apakah aku mesti hidup seperti Kwee Ceng, yang mesti merantau saja?"   Wanyen Lieh seperti dapat menerka hati orang. "Anak Kang, kita pernah menjadi ayah dan anak, maka itu untuk selamanya, kau tetap anakku yang aku cintai,"   Ia berkata.   "Negara Kim kita, tak usah sampai sepuluh tahun, bakal dapat merampas kerajaan Song, maka itu waktu dengan kekuasaan besar berada di tanganku, kebahagiaan kita tidak ada batasnya. egara ini yang luas dan indah adalah kepunyaanmu!"   Yo Kang dapat menangkap maksud ayah itu, yang hendak mengangkangi kerajaan. Ia goncang hatinya akan mendengar kata-kata "Kebahagiaan yang tak ada batasnya". Ia pikir.   "Dengan ketangguhan kerajaan Kim sekarang, memang gampang untuk menakluki kerajaan Song. Hu-ong pun sangat cerdas dan pandai bekerja, sekalipun raja sekarang, tidak dapat melawannya. Kalau usaha hu-ong ini berhasil, bukankah aku akan menjadi raja di kolong langit ini?"   Maka dengan begini, ia merasakan darahnya mendidih. Dengan keras ia mencekal tangan Wanyen Lieh. "Ayah, anakmu akan membnatu kau membangun usahamu yang besar!"   Ia memberikan kata-katanya. Wanyen Lieh merasakan tangan bocah itu panas, ia girang bukan buatan. "Aku menjadi Lie Yan, kau menjadi Lie Sie Bin!"   Katanya.   Lie Yan dan Lie Sie Bin adalah ayah dan anak dalam pembangun kerajaan Tong.   Selagi Yo Kang hendak menjawab, tiba-tiba ia mendengar suara berkeresek di belakangny.   Dua-duanya terkejut, dua-duanya segera berpaling.   Nyata cahaya terang sudah mulai menembusi jendela, maka terlihatlah di belakang mereka tujuh atau delapan peti mati, yang sudah terisi mayat, yang lagi menanti tanggal penguburannya.   Jadi bagian belakang rumah abu ini dipakai sebagai kamar penyimpan jenazah.   "Suara apakah itu?"   Tanya Wanyen Lieh, hatinya berdebar. "Rupanya tikus,"   Menyahut anaknya. Tapi segera terdengar suara bicara dan tertawanya Oey Yong dan Kwee Ceng, yang lewat di luar kamar itu. Mereka mencari Wanyen Lieh sambil membicarakan kopiah emas yang mereka ketemukan. "Celaka!"   Pikir Yo Kang.   "Kenapa aku tidak ketahui kopiahnya hu-ong trejatuh?"   Ia lantas membisiki ayahnya itu.   "Hendak aku memancing mereka pergi."   Lantas ia menolak daun pintu dan berlompat keluar, untuk berlompat terus naik ke genting. Oey Yong dapat melihat bayangan orang berkelebat. "Bagus! Dia di sini!"   Serunya, lantas ia berlompat menyusul. Tetapi tiba di ujung rumah, bayangan itu lenyap. Kwee Ceng mendengar suara si nona, ia lari menghampirkan. "Dia tidak bakal lolos, tentu dia sembunyi di dalam sana,"   Kata si nona. Selagi keduanya hendak menerobos masuk ke dalam pepohonan lebat, justru itu terdengar pepohonan kecil bergerak dan tersingkap, di situ muncul Yo Kang. Kwee ceng jaget dan heran. "Eh, adik, kau pergi ke mana?"   Dia menanya.   "Apakah kau dapat melihat Wanyen Lieh?"   "Kenapa Wanyen Lieh ada di sini?"   Yo Kang balik menanya, agaknya ia heran. "Dia datang ke mari memimpin pasukan serdadunya,"   Sahut Kwee Ceng.   "ini kopiahnya."   "Oh, begitu!"   Yo Kang berpura-pura. Oey Yong mengawasi wajah orang, ia curiga. "Kita mencari kau, ke mana kau pergi?"   Ia tanya. "Kemaren aku salah makan barang, perutku mulas,"   Menyahut Yo Kang.   "aku buang air di sana."   Ia menunjuk ke dalam gombolan. Oey Yong tidak menanya pula, tetapi ia tetap bercuriga. "Adik Kang, mari kita lekas mencari!"   Kwee Ceng mengajak. Hati Yo Kang berdebar-debar. Ia menduga-duga apakah Wanyen Lieh sudah kabur atau belum. Ia menenangkan dirinya, untuk tidak mengetarakan kecemasan pada parasnya. "Dia datang mengantarkan jiwa, itulah bagus!"   Katanya.   "Pergilah Toako bersama nona Oey mencarinya ke timur, aku akan mencari ke barat."   "baik,"   Sahut Kwee Ceng yang terus pergi ke jurusan timur. Di sana ia menolak daun pintu kamar Ciat-hauw-tong, ruang kebaktian dan kesucian diri. Tapi Oey Yong berkata.   "Yo Toako, mungkin ia sembunyi di barat, mari aku turut kau memeriksa ke sana."   Yo Kang berkhawatir bukan main, tapi ia menjawab. "Mari lekas, jangan memberinya waktu ketika untuk kabur!"   Ia lantas mendahului, untuk menggeledah setiap kamar.   Tentu saja ia menyingkir dari kamar untuk menyimpan jenazah itu.   Keluarga Lauw di Po-eng adalah keluarga besar di jaman Song, maka rumah abunya pun besar luar biasa.   Hanya karena peperangan, gedung itu telah mengalamai kerusakan.   Adem hati Oey Yong memandangi rumah abu itu.   Ia melihat Yo Kang memasuki kamar-kamar yang berdebu atau banyak kabang-kabangnya, dia memeriksa dengan teliti, ia mulai mengerti ketika sampai si kamar barat, yang debunya tebal, di mana ada banyak tapak kaki dan tapak tangan di pintu, mendadak ia berseru.   "Di sini!"   Kwee Ceng dan Yo Kang mendengar suaranya, yang satu menjadi girang, yang lain kaget.   Mereka lari memburu.   Oey Yong membuka pintu dengan satu jejakan, tetapi ketika pintu kamar itu terpentang, ia berdiri melongo.   Ia bukannya melihat orang yang dicarinya, hanya ia nampak beberapa peti mati tampak di situ.   Yo Kang lega hatinya.   Ia percaya Wanyen Lieh sudah lolos.   Tetapi ia beraksi, ia maju ke depan sambil berseru.   "Wanyen Lieh, manusia licin, di mana kau bersembunyi? Lekas keluar!"   "Yo Toako, siang-siang dia sudah mendengar suara kita!"   Kata Oey Yong denagn tertawa.   "Tak usah kau begitu baik hati memberitahukan kedatangan kita kepadanya!" Yo Kang gusar, bahwa rahasia hatinya dibongkar. "Nona Oey, kenapa kau bergurau begini padaku?"   Katanya, mukanya merah. Kwee Ceng tertawa. "Jangan dibuat pikiran, adikku,"   Katanya.   "Yong-jie main-main saja."   Ia lantas menuju ke lantai.   "Lihat, itulah bekasnya orang duduk! Benar-benar ia pernah datang kemari!"   "Lekas kejar!"   Oey Yong berseru.   Ia lantas memutar tubuhnya, atau mendadak terdengar bunyi nyaring di belakang mereka.   Ketiganya terkejut, semua berbalik lantas.   Mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak.   Oey Yong nyali besarnya tetapi terhadap peti mati, hatinya gentar, maka itu ia sudah lantas memegangi tangan Kwee Ceng.   Pemuda ini tercengang sebentar, lantas ia berkata.   "Jangan takut, Yong-jie, si jahanam berada di dalam peti mati!"   "Lihat, ia lari ke sana!"   Berseru Yo Kang sambil tangannya menunjuk keluar. Dia pintar sekali, ia lantas lompat untuk mengubar. Oey Yong tetap mencurigai orang, ia menyambar tangan Yo Kang, akan mencekal nadinya. "Jangan kau main gila!"   Katanya, tertawa dingin. Nona Oey ini jauh terlebih lihay, dicekal tangannya, Yo Kang merasakan tubuhnya lemas, hingga tidak dapat ia bergerak. Tapi ia tetap tenang. "Eh, kau bikin apa?"   Ia menanya, berpura-pura. "Engko Ceng, apakah itu di dalam peti mati?"   Oey Yong tanya kawannya tanpa memperdulikan orang yang dicurigainya itu. "Aku rasa dialah si jahanam!"   Menyahut Kwee Ceng. "Kau menakuti-nakuti aku?"   Kata Oey Yong pada Yo Kang tangan siapa ia sampar. Ia masih penasaran. Tapi mengenai peti mati, ia tetap bersangsi, ia khawatir orang adalah mayat hidup.Maka ia memberi ingat. "Hati-hati engko Ceng.."   Kwee Ceng sudah bertindak menghampirkan ketika ia menghentikan tindakannya itu. "Apa katamu?"   Ia tanya. "Kau tutup saja peti itu, supaya mahkluk di dalamnya tak dapat keluar,"   Oey Yong memberi pikiran. "Mana ada mayat hidup?"   Kata Kwee Ceng tertawa. Ia tahu kekasihnya itu jeri. Ia pun berkata sambil lompat ke peti mati itu.   "Dia tidak bisa merapa keluar!"   Di jaman Song umumnya orang sangat percaya pada hantu atau setan. "Engko Ceng,"   Berkata si nona, masih dalam kesangsian.   "Nanti aku coba menyerang dengan pukulan Memukul Udara, tidak peduli dia mayat hidup atau Wanyen Lieh, mari kita dengar jeritan atau tangisannya."   Sembari berkata si nona maju dua tindak, tenaganya di kerahkan.   Di dalam halnya ilmu pukulan Pek-hong-ciang, ia belum semahir Liok Seng Hong, kerana itu, ia perlu memernahkan diri lebih dekat.   Belum lagi serangannya dikeluarkan, mendadak ia mendengar tangisan bayi dari dalam peti itu.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ia kaget hingga ia berlompat mundur, tubuhnya menggigil, mulutnya mengeluarkan seruan tertahan.   "Setan perempuan.!"   Kwee Ceng tapinya berani. "Adik Yo, mari kita buka tutupnya peti!"   Ia mengajak.   Yo Kang tengah mandi keringat dingin, saking khawatirnya, sedang untuk membantui Wanyen Lieh, ia jeri terhadap ini muda-mudi yang lihay, maka itu, bukan main lega hatinya akan mendengar tangisan itu.   Tanpa ayal ia berlompat maju.   Maka sesaat kemudian, berdua mereka sudah dapat mengangkat tutup peti yang belum dipantek paku itu.   Kwee Ceng mengangkat tutup petinya sambil siap sedia akan menyerang kapan ia dapatkan mayat hidup, kemudian untuk herannya, ia melihat Bok Liam Cu yang rebah di dalam peti mati itu.   Yo Kang pun heran, lekas-lekas ia mengulur tangannya untuk membantui orang berbangkit.   "Yong-jie, mari!"   Kata Kwee Ceng.   "Kau lihat siapa ini."   "Tidak, aku tidak mau melihat-lihat!"   Sahut si nona. "Tapi ialah enci Bok!"   Kwee Ceng mendesak.   Baru sekarang Oey Yong mau berpaling.   Ia melihat Yo Kang mengempo seorang bayi, yang romannya mirip Liam Cu, maka ia maju ke arah peti, akan melihat Liam Cu sendiri rebah dengan muka kucal dan air matanya meleleh, tubuhnya tidak bergeming.   Sebagai ahli menotok jalan, Oey Yong lekas menolongi Nona Bok itu.   Ia menotok sana-sini.   "Enci Bok, kenapa kau berada di sini?"   Tanya Oey Yong kemudian.   Rupanya sudah lama Liam Cu tertotok, hingga jalan darahnya tertahan, sudah tubuhnya kaku, napasnya pun tidak lurus, maka itu Oey Yong mambantui ia dengan mengurat-urat juga.   Selang sedikit lama, baru nona itu bisa membuka mulutnya.   "Aku kena ditawan orang,"   Katanya.   Oey Yong mendapat tahu Liam Cu ditotok jalan darahnya di telapakan kaki, yaitu jalan darah yongcoan-hiat.   Ahli silat Tionghoa jarang yang menggunai ilmu totok semacam ini, maka itu ia dapat menduga siapa si penyerang itu.   "Bukankah telur busuk itu Auwyang Kongcu dari Wilayah Barat itu?"   Ia menanya.   Liam Cu tidak menyahuti, ia cuma mengangguk.   Ketika itu hari Liam Cu menolongi Yo Kang pergi mengasih kabar pada Bwee Tiauw Hong, dia ditawan Auwyang Kongcu dan dibawa pergi pemuda itu, yang kena diusir oleh Oey Yok Su.   Beberapa kali ia dipaksa konngcu itu, ia melawan, hanya kemudian, setelah si kongcu menggunai ilmu lunak dan ia telah dibujuk pergi datang, ia kalah hati juga, ia menyerah.   Kemudian datang saatnya Auwyang Konngcu menggilai Nona Thia, sampai ia kena diusir.   Diwaktu kabur, tak sempat ia membawa Bok Liam Cu.   Maka itu syukur Kwee Ceng bertiga, yang mencari Wanyen Lieh, dengam begitu ia jadi ketolongan, kalau tidak, pasti ia terbinasa di dalam peti mati itu.   Bab 34.   Orang aneh di dalam kurungan Yo Kang senang melihat kekasihnya itu.   "Adikku, kau beistirahatlah,"   Katanya kemudian.   "Nanti aku masak air untuk kau mencuci muka!"   "Mana kau bisa memasak air!"   Oey Yong menyelak. "Aku yang nanti pergi masak. Engko Ceng, mari!"   Nona ini ingin berduaan dengan kekasihnya itu. Tapi, belum lagi ia berlalu, Liam Cu sudah berkata kepada si orang she Yo itu. Ia tidak tersenyum seperti Yo Kang, romannya pun dingin. "Tunggu dulu!"   Demikian katanya.   "Orang she Yo, aku beri selamat padamu! Di belakang hari tak terbatas kebahagiaan dan keagunganmu!"   Muka Yo Kang menjadi panas. Sebaliknya punggungnya dirasakan dingin. Ia menjublak, tetapi di dalam hatinya ia berkata.   "Rupanya dia telah mendapat dengar apa yang tadi aku bicarakan dengan hu-ong"   Liam Cu melihat muka orang agak berduka, hatinya lemah, tidak tega ia membuka rahasia bahwa orang she Yo inilah yang melepaskan Wanyen Lieh.   Ia tahu, dalam gusarnya Oey Yong bisa membinasakan tunangannya itu.   "Kau memanggil ia ayah, bukankah itu bagus sekali?"   Ia berkata, dingin.   "Tidakkah itu terdengarnya lebih erat? Kenapa justru kau memanggil hu-ong?"   Yo Kang tunduk, ia malu sekali, hatinya berdebaran. Oey Yong tidak bercuriga, ia menyangka sepasang kekasih itu lagi berselisih, maka itu ia tarik ujung baju Kwee Ceng. "Mari kita pergi, aku tanggung sebentar lagi mereka akan akur pula"   Bisiknya. Kwee Ceng tertawa, ia mengikut keluar. Sampai di depan Oey Yong berkata dengan perlahan. "Engko Ceng, mari kita curi dengar pembicaraan mereka." "Jangan bergurau, aku tidak mau pergi!"   Kata si pemuda. "Kau tidak mau pergi, jangan kau menyesal, kalau ada kejenakaan, sebentar aku tidak akan membilangimu!"   Ia lantas lompat naik ke atas genting, untuk dengan berhati-hati belok ke kamar barat peranti menimbun jenazah itu. Justru itu terdengar suara Lim Cu.   "Kau mengakui bangsat menjadi ayahmu, itulah masih bisa dimengerti, sebab di antara kamu ada rasa cinta lama dan kau pun belum dapat berbalik hati, tetapi sekarang niatmu tidak benar, itulah yang bukan-bukan! Kau hendak membikin musnah negara sendiri! Ini, ini.!"   Saking murka dan pepat hati, Liam Cu tidak dapat berbicara lebih jauh. "Adikku, aku"   Berkata Yo Kang sambil tertawa. Tapi ia dibentak nona Bok.   "Siapa adikmu?! Jangan pegang aku!"   Lalu terdengar suara "Plak!"   Maka muka Yo Kang kena ditampar. Oey Yong tertawa, dia berlompat turun, terus masuk di jendela. "Kalau ada bicara, bicaralah baik-baik!"   Ia berkata, tertawa.   Ia tidak menduga jelek.   Ia melihat muka Liam Cu merah gusar dan paras Yo Kang pucat berkhawatir, ia menjadi terkejut, ia menduga perselisihan menjadi hebat.   Ia memikir untuk mengakuri.   Baru ia hendak membuka mulutnya, atau Yo Kang sudah berkata terlebih dahulu.   "Bagus!"   Kata orang she Yo itu.   "Kau menyambut yang baru dan membuang yang lama! Di dalam hatimu sudah ada orang lain, maka begitulah kau berlaku terhadap aku!"   "Kau, kau bilang apa?!"   Kata nona Bok. "Kau telah ikut Auwyang Kongcu itu! Dia pintar surat dan pandai silat, dia menangi aku sepuluh kali lipat! Mana kau melihat mata lagi padaku!"   Liam Cu mendongkol hingga kaki tangannya dingin, hampir ia pingsan. "Yo Toako, jangan kau omong sembarangan,"   Berkata Oey Yong.   "Kalau enci Bok menyukai telur busuk itu, mustahil dia menaruh enci di dalam peti mati ini?"   "Palsu atau bukan, sama saja!"   Berkata Yo Kang.   "Dia kena ditawan, dia kehilangan kesucian dirinya, mana bisa aku hidup bersama pula dengannya?!"   "Aku kehilangan kesucian apa?!"   Tanya Liam Cu sengit.   "Kau telah terjatuh di tangan orang untuk banyak hari, kau dipeluk dan dirangkul pulang pergi! Bisakah kau masih suci bersih?!"jawab pemuda itu.   Liam Cu begitu mendongkol hingga ia memuntahkan darah hidup, tubuhnya roboh ke belakang.   Hampir Yo Kang berlompat untuk menubruk atau dia ingat, Liam Cu sudah ketahui rahasianya, kalau mereka berselisih terus, mungkin rahasianya itu pecah di hadapan Oey Yong, dari itu ia terus bertindak keluar, pergi ke belakang di mana ia melompat tembok untuk menyingkir terus.   Oey Yong menguruti Liam Cu sekian lama, baru nona itu sadar.   Ia berdiam sebentar, lantas ia tidak menangis pula, sikapnya pun tenang.   "Adik, hendak aku meminjam pisau belati yang baru-baru ini aku serahkan padamu!"   Katanya kemudia. "Engko Ceng, mari!"   Oey Yong memanggil sebelum ia sahuti si nona. Kwee Ceng dengar panggilan itu, ia lantas muncul. "Coba kasihkan enci Bok pisau belatinya Yo Toako,"   Kata nona Oey.   Kwee Ceng menurut, ia keluarkan pisau belati yang Cu Cong ambil dari tubuhnya Bwee Tiauw Hong, pisau mana dibungkus dengan kulit, yang ada ukiran huruf-hurufnya, yang terukir dengan jarum.   Ia tidak tahu, itulah rahasianya Kiu Im Cin Keng.   Ia simpan kulit itu di dalam sakunya, dan pisaunya ia serahkan kepada Liam Cu.   Oey Yong pun mengeluarkan pisau belatinya, ia berkata perlahan.   "Pisaunya engko Ceng ada padaku, mana itu kepunyaannya Yo Toako yang aku berikan pada kau. Enci, inilah jodoh yang sudah ditulis. Tadi kamu telah berselisih, itulah tidak ada artinya, jangan kau berbuat duka. Aku pun sering bercedera dengan ayahku. Sekarang ini bersama engko Ceng, aku mau pergi ke Pak-hia untuk mencari Wanyen Lieh, maka itu enci, jikalau kau senang, mari kau turut bersama kami pesiar. Aku percaya, Yo Toako pun bakal turut bersama."   "Ya, mana saudara Yo?"   Kwee Ceng tanya. Oey Yong mengulur lidahnya, lekas ia berkata. "Barusan ia berselisih dengan enci, dalam gusarnya enci telah menabok dia, lantas ia ngeloyor pergi"   "Aku tidak mau pergi ke Pak-khia, kamu juga tidak usah pergi ke sana,"   Berkata Liam Cu.   "Dalam tempo setengah tahun ini, jahanam Wanyen Liah itu tidak nanti berada di Pak-khia. Dia takut nanti kamu pergi mencarinya untuk menuntut balas! Engko Kwee, adik Oey, kamu berdua orang-orang baik, beruntungan kamu pun bagus."   Ia berhenti tiba-tiba, mulutnya seperti tersumbat, lantas ia lari keluar, dimana ia mengenjot tubuhnya, ia berlompat naik ke atas genting.   Melihat orang muntah darah, hati Oey Yong tidak tenang.   Lantas ia menyusul.   Ia masih sempat melihat nona Bok berada di bawah sebuah pohon besar, tangan kiriny diangkat tinggi, tangan kanannya diangkat ke atas kepalanya dan sinar pisau belati berkelebat di cahaya matahari.   Ia terkejut.   "Enci, jangan!"   Ia berteriak.   Tentu ia tak dapat mencegah orang membunuh diri karena jarak di antara mereka jauh sekali, ia cuma bisa berlari-lari untuk menghampirkan.   Liam Cu tidak menikam lehernya atau dadanya, hanya dengan piasu belati itu ia membabat kutung rambutnya, lalu ia membuangnya, terus kakinya berlari-lari.   "Enci! Enci!"   Oey Yong berteriak-teriak memanggil.   Liam Cu tidak memperdulikannya, ia lari terus sampai ia lenyap dari pandangan mata, sedang Oey Yong cuma bisa melihat rambut berterbangan berhamburan ke selokan, ke sawah dan pepohonan di dekat-dekat situ.   Semenjak kecil Oey Yong selalu dimanjakan, tak pernah ia menginsyafi apa yang dinamakan kedukaan.   Senang ia tertawa lebar, jengkel ia menangis menggerung-gerung, sejenak kejengkelan itu hilang.   Tetapi sekarang ia menyaksikan peristiwa hebat itu di depan matanya, ia dapat merasainya untuk pertama kalinya.   Ia jadi berduka dan terharu.   Dengan perlahan-lahan ia kembali ke rumah abu.   Kepada Kwee Ceng ia beritahukan perbuatannya Liam Cu itu, yang terus menghilang.   "Entah kenapa enci Bok berlaku demikian,"   Berkata Kwee Ceng, yang tidak mengerti duduknya hal.   "Dia beradat keras sekali."   Oey Yong heran hingga ia berpikir.   "Mustahilkah seorang perempuan yang dirangkul-rangkul dan dipeluk-peluk hilang kesucian dirinya? Hingga sekalipun orang yang mencintainya dan menghormatinya pun menjadi tidak memandang mata kepadanya, sampai ia tidak diambil peduli lagi?"   Terus si nona ini tidak mengerti, ketika ia sampai di dalam ruang, dia duduk menyender di tiang dengan mata dimeramkan, hingga akhirnya ia tertidur pulas.   Ketika sang malam tiba, Lee Seng dan rombongannya mempersiapkan meja perjamuan seperti yang dijanjikan, untuk menghormati Ang Cit Kong, pemimpin besarnya itu, serta Kwee Ceng dan Oey Yong, hanya ditunggu hingga tengah malam, Cit Kong masih tetap tidak muncul.   Lee Seng ketahui tabiat aneh dari pangcu itu, ia tidak mengambil peduli, ia terus jamu sepasang muda-mudi itu.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Semua orang sangat menyukai anak-anak muda itu.   Bahkan nona Thia turut mematangi beberapa rupa barang santapan dan memerintahkan budaknya mengantarinya tempat pesta itu.   Habis berjamu, yang ditutup dengan kegembiraan, Kwee Ceng dan Oey Yong berdamai.   Wanyen Lieh tidak pulang ke Pak-khia, sukar untuk menacri padanya, dari itu perlu mereka memenuhkan janji pergi ke Tho Hoa To.   Untuk itu, tentu saja mereka mesti pergi dulu ke Kee-hin, guna mencari Kanglam Liok Koay, untuk berembuk terlebih jauh.   Oey Yong akur, maka itu besoknya pagi mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka ke Selatan.   Itu waktu, di permulaan tanggal sepuluhan bulan enam, hawa udara panas terik.   Maka cocok pepatah orang Kanglam yang membilang;   "Bulan enam tanggal enam, telur bebek terjemur hingga matang!"   Walaupun orang mempunyai payung, panas tetap menyiksa.   Pada suatu hari tibalah Kwee Ceng di Kee-hin.   Gurunya masih belum datang.   Maka itu iamenulis surat kepada keenam gurunya itu serta suratnya dititipkan kepada kuasa rumah maka Ciu Sian Lauw dengan pesan, kalau Kanglam Liok Koay tiba, supaya suratnya itu diserahkan.   Ia menulis halnya bersama Oey Yong ia mau pergi ke Tho Hoa To.   Ia membilang terima kasih seraya memberi hormat.   Oey Yong girang bukan main tiba di kampung halamannya sendiri.   "Ayah, ayah!"   Dia berteriak-teriak.   "Yong-jie pulang!" . Ia berlari-lari sambil terus menggapai-gapai kepada Kwee Ceng. Kwee Ceng melihat orang lari ke timur dan ke barat tak ketentuan, atau dilain saat nona itu lenyap dari pandangan matanya. Ia heran, ia lekas lari menyusul. Baru lari belasan tembok, ai sudah kesasar. Ia melihat jalan kecil diempat penjuru, tak tahu ia jalan mana yang ia mesti ambil. Tempo ia memaksa maju terus, sebentar kemudian ia kembali ditempat asal. Ia lantas ingat sama keadaan di Kwie-in-chung, yang menurut Oey Yong diatur luar biasa, dari itu, pulau ini mestinya sama mempunyai jalanan rahasia, yang merupakan tin atau barisan istimewa. Untuk tidak usah berlari-lari tidak ada tuasnya, akhirnya Kwee Ceng duduk di bawah sebuah pohon tho, untuk menanti Oey Yong kembali untuk menyambut padanya. Tapi ia menanti sekian lama, si nona belum muncul juga. Ia jadi tidak sabaran. Ia memanjat sebuah pohon tinggi, akan memandang ke seputarnya. Di Selatan ada laut, di barat ada batu gundul. Di timur dan utara, semuanya pohon bunga dengan bunganya warna merah atau kuning, atau hijau atau ungu. Tak nampak tembok, tak terlihat asap mengepul. Sunyi disekeliling situ. Tanpa merasa, hati Kwee Ceng menjadi tidak tenang. Lantas ia lari ke depan, masuk antara pepohonan lebat. Atau mendadak ia merandak, separuh berseru, ia kata dalam hatinya.   "Celaka! Aku pergi tanpa tujuan! Kalau Yong-jie mencari aku, mungkin dia tidak dapat menemuinya!"   Maka ia lari balik.   Apa mau, ia tidak menemui jalanan tadi, ia kesasar ke tempat lain.   Pemuda ini pun lantas kehilangan kuda merahnya, yang sejak tadi mengikuti padanya.   Inilah sebabnya ia mencoba naik ke atas pohon, hingga kudanya menjadi ketinggalan.   ketika sang sore mendatangi, ia putus asa, ia duduk mendeprok di tanah.   Hendak ia menantikan si nona.   Senang ia duduk di tanah yang berumput tebal, tinggal rasa berdahaga dan laparnya, yang mengganggu.   Gangguan lapar jadi semakin hebat kapan ia ingat masakan yang lezat-lezat yang Oey Yong bikin untuk Ang Cit Kong Tiba-tiba pemuda ini kaget dan bergelisah hatinya.   "Kalau Oey Yong dikurung ayahnya dan dia tidak dapat menolongi aku, bukankah aku bakal mati kelaparan di sini?"   Pikirnya.   Ia menyesal kapan ia ingat yang sakit hati ayahnya belum terbalas.   Ia pun ingat ibunya, yang berada sendirian di gurun pasir.   Kalau ia mati, sama siapa ibunya itu akan mengandal? Letih ia berpikir, lama-lama ia kepulasan sendirinya.   Sampai tengah malam, Kwee Ceng bermimpi bersama Oey Yong pesiar ke kota raja Pak-khia, sama-sama dahar barang hidangan yang lezat dan si nona bernyanyi merdu untuknya.   Tiba-tiba ia berdusin mendengar suara seruling.   Ia memasang kuping, matanya pun melihat sinar rembulan indah.   Ia tahu yang ia tidak tidur lagi.   Ia hanya dengar, seruling datang dari tempat jauh.   Ia menjadi mendapat hati, maka ia berbangkit, terus ia bertindak ke arah darimana suara itu datang.   Ketika ia mendapatkan jalanan buntu, suara seruling tetap ada di depan.   Kemudian pemuda ini ingat jalanan rahasia di Kwie-in-chung, lantas ia berjalan terus, kalau jalanan buntu, ia naik ke atas pohon.   Kali ini ia mendengar suara semakin nyata, maka ia jalan semakin cepat.   Akhirnya, ketika ia menikung, ia melihat satu tempat di mana bunga-bunga berwarna putih, pohon bunga bergumpal mirip sebuah telaga kecil.   Di sini suara seruling sebentar tinggi dan sebentar rendah.   Anehnya, kalau ia dengar suara di timur dan pergi ke sana, suara itu pindah ke barat, kalau ia pergi ke selatan, suara berada di utara.   Demikian berulangkali.   Atau mendadak seperti ada belasan orang yang meniup seruling berbareng dan berada di sekitarnya.   Ia bagaikan dipermainkan.   Kwee Ceng merasakan kepalanya pusing setelah ia lari mondar-mandir sekian lama.   Sekarang ia tidak pedulikan suara lagi, ia lari ke tengah gumpalan bunga di mana ada tanah munjul.   Kiranya itu adalah sebuah kuburan dengan batu nisannya bertuliskan catatan.   "Kuburan dari Phang-sie, nyonya pemilik dari Tho Hoa To"   "Inilah tentu kuburan ibunya Oey Yong;"   Kwee Ceng berpikir.   "Yong-jie kehilangan ibu sejak ia kecil, kasihan dia"   Ia lantas berlutut di depan kuburan itu, untuk memberi hormat berlutut empat kali.   Tengah ia paykui itu, seruling berhenti secara toba-tiba, hingga suasana menjadi sunyi.   Tempo ia berbangkit, seruling berbunyi pula, terdengarnya di sebelah depan.   "Biarpun ada ancaman bencana, akan aku mengikutinya,"   Kwee Ceng pikir. Ia bertindak ke arah suara itu, ia tidak pedulikan pepohonan lebat. Ia baru berdiri menjublak kapan suara seruling bersalin rupa, sekarang semangatnya seperti tertarik, hatinya berdebaran. "Hebat, lagu apakah itu?"   Ia tanya dirinya sendiri.   Mulainya kendor, suara seruling itu jadi cepat, seperti memaksa orang menari-nari, iramanya seperti mengandung kecabulan, menyebabkan kuping orang merah dan urat-urat tegang.   Ia lantas menjatuhkan diri, untuk duduk bersemadhi seperti ajaran Ma Giok.   Mulanya ia masih terpengaruh, hampir ia berlompat bangun, untuk menari, baru belakangan, hatinya jadi tetap dan mantap.   Setelah mendapat ketenangan, hatinya menjadi lega dan kosong, tidak lagi ia terpengaruh suara seruling itu, ia sekarang seperti mendengar suara gelombang, suara angin di pohon, bahkan dahaga dan laparny apun lenyap.   Ia merasa bahwa ia tidak bakal terpengaruh lagi gangguan, maka ia berani membuka matanya.   Maka ia melihat di depannya, sepjarak dua tombak, sepasang sinar tajam berkilauan.   "Entah binatang apakah itu?"   Ia menduga. Ia lompat mundur beberapa tindak. Sekonyong-koyong sinar itu lenyap. "Benar aneh pulau Tho Hoa To ini,"   Pikirnya.   "Macan tutul atau rase yang bagaimana gesit pun tidak dapat bergerak sepesat ini."   Ia tengah berpikir, lantas ia mendengar suara napas memburu. "Ah, itulah orang, tadi itu ialah matanya! Rupanya ia belum pergi jauh"   Ia tertawa sendirinya.   Hanya sekarang ia tidak tahu, orang itu musuh atau bukan.   Suara seruling masih saja terdengar, sekarang iramanya berubah menjadi seperti suara penasaran atau kenang-kenangan, atau sebagai hati muda dan panas dari seorang wanita muda, yang seperti menanti-nanti saja di sebuah kamar Kwee Ceng tidak kena dipengaruhi lagu itu.   Ia masih muda sekali dan semenjak kecil ia giat belajar silat, mengenai soal kewanitaan, ia belum mengerti.   ia hanya heran mendengar suara napas yang memburu itu yang tercampur rintihan, seperti orang tengah mempertahankan diri melawan gangguan seruling itu.   Merasa kasihan terhadap orang itu, Kwee Ceng bertindak menghampirkan.   Sinar bulan terang tetapi tempat kealingan cabang-cabang dan daun-daunnya.   Ketika sudah datang mendekat beberapa kaki, baru ia dapat melihat orang itu, yang lagi duduk di bersila, rambutnya panjang terurai ke tanah, alis dan kumisnya pun panjang, hingga lubang hidung dan mulutnya ketutupan.   Satu tangannya ia letaki di depan dadanya, yang lainnya di belakangnya.   Ia tercekat hati.   Ia ingat dulu diajarakan semadhi dengan sikap begitu oleh Tan Yang Cu Ma Giok ketika ia berada di gurun pasir, di puncak bukit.   Itulah ilmu untuk menutup hati sendiri, siapa sudah mahir peryakinannya, ia dapat tak memperdulikan suara guntur atau air bah.   Ia hanya heran, kenapa orang takut pada suara seruling itu.   Suara seruling semakin hebat, tubuh orang itu bergerak-gerak, hendak melompat, beberapa kali ia sudah mencelat sekaki lebih, kelihatannya ia masih dapat mempertahankan diri.   Tapi Kwee Ceng mengerti, orang tak akan bertahan lama.   Ia cemas sendirinya.   Irama seruling terdengar terus, ada kalanya perlahan dan bertukar dua kali.   "Sudah, sudah!"   Bersuara orang itu, agaknya hendak ia berlompat bangun.    Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini