Pendekar Pemanah Rajawali 29
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 29
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Kwee Ceng kaget, tanpa berpikir lagi, ia lompat maju, tangan kirinya dilomjorkan, untuk mencelat bahu orang itu, sedang tangan kanannya dipakai menepuk pundak, di jalan darah tay-cui-hiat. Ia ingat dulu, setiap kali semadhinya kalut, Ma Giok tentu meraba jalan darahnya itu, untuk mengasi hawa panas dari tangan. Ia masih rendah pelajarannya, ia tidak dapat hanya meraba, ia perlu menepuk. Tapi ini menolong. Orang itu tampaknya tenang, dapat ia berdiam dan memeramkan mata. Tengah Kwee Ceng bergirang sendirinya, mendadak dari belakangnya, ada yang membentak padanya. "Binatang cilik, kau merusak usahaku!" Suara seruling itu pun berhenti. Si anak muda terkejut, cepat ia berpaling. Ia tidak melihat orang, ia hanya seperti mengenali suaranya Oey Yok Su. Ia menjadi masgul. Sejenak itu ia menyesal. "Entah orang tua ini manusia baik atau jahat," Demikian pikirnya. "Kenapa aku lancang menolongi dia Pantas saja ayahnya Yong-jie gusar.Kalau nanti dia ini satu iblis, bukankah aku jadi melakukan kesalahan besar?" Ia menjadi bergelisah sendirinya. Orang tua itu bernapas reda, ia mulai meluruskannya. Kwee Ceng tidak menanya apa-apa, ia duduk di depan orang tua itu, ia pun bersemadhi. Ia baru membuka matanya ketika fajar sudah menyingsing dan embun telah turun. Di antara sinar matahari, yang molos dari sela-sela pohon bunga, terlihat wajah orang tua itu dimana bunga-bunga terbayang. Nyata kumisnya belum putih semua, cuma entah sudah berapa tahun tak pernah dicukur, hingga ia mirip orang hutan. Tiba-tiba kedua matanya orang itu dibuka, lalu terlihat sinarnya yang tajam sekali. Ia lantas saja tersenyum dan bertanya. "Kau muridnya salah satu dari Coan Cin Cit Cu yang mana?" Mendengar suara orang itu sabar, hati Kwee Ceng lega. Ia berbangkit untuk menjura. Ia memperkenalkan diri dan menyebut Kanglam Cit Koay sebagai gurunya. Orang tua itu heran, ia tidak percaya. "Kenapa Kanglam Cit Koay mengerti ilmunya Coan Cin Pay?" Tanyanya. "Sebenarnya Tan Yang Cinjin Ma Totiang pernah ajarkan ilmu selama dua tahun tetapi ia belum menerima teecu sebagai murid," Kwee Ceng menjelaskan. Orang tua itu tertawa, lalu mukanya nampak lucu. Ia mirip bocah yang lagi bergurau. "Aku mengerti sekarang! Kenapa kau dapat datang ke Tho Hoa To ini?" Dia tanya. "Oey Tocu dari Tho Hoa To yang menitahkan teecu datang kemari." "Untuk apakah?" Orang tua itu agaknya terkejut, air mukanya sampai berubah. "Teecu berbuat salah dan teecu hendak menerima binasa" "Apakah kau tidak mendusta?" Menegaskan orang tua itu. "Tidak berani teecu mendusta," Sahut Kwee Ceng hormat sekali. Terus ia membahasakan diri teecu (murid). Orang tua itu mengangguk-angguk. "Bagus, kai duduklah." Kwee Ceng menurut, ia duduk di sebuah batu besar. Sekarang ia melihat tegas si orang tua bercokol di dalam sebuah gua dan di depannya terhalang beberapa lembar kawat. Entah apa perlunya kawat itu. "Siapakah yang lainnya yang pernah mengajarkan kau ilmu lagi?" Tanya si orang tua. "Ialah guruku yang baik budi Ang Kiu Cie Sin Kay," Menyahut Kwee Ceng sejujurnya. Orang tua itu agaknya merasa heran, ia juga mengasih lihat roman tertawa bukannya tertawa. "Apakah Ang Cit Kong telah ajarkan kau ilmu?" Tanyanya cepat. "Ya," Menyahut Kwee Ceng, yang omong terus terang. "Ia pernah mengajarkan Hang Liong Sip-pat Ciang." "Apakah dia tidak mengajarkan juga ilmu dalam?" "Tidak." Orang tua itu dongak mengawasi langit langit, lalu ia berkata seorang diri. "Dia masih begini muda, umpama kata dia belajar semenjak dalam kandungan, dia toh baru belajar delapan atau sembilanbelas tahun, maka heran, kenapa aku tidak sanggup melawan suara seruling tapi dia sanggup?" Dia benar-benar heran, maka ia mengawasi pemuda di hadapannya itu, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Lantas ia mengulur keluar tangan kanannya di antara kawat kurungan. Ia kata. "Coba kau mendorong telapakan tanganku, hendak aku mencoba tenagamu." Kwee Ceng menurut, ia mengulur tangannya, menempel tangan si orang tua. "Kerahkanlah tenagamu," Kata orang tua itu. Kwee Ceng menurut, ia mengerahkan tenaganya. "Hati-hati," Si orang tua memperingatkan. Selagi orang bersiap, ia pun mengerahkan tenaganya. Kwee Ceng merasakan penolakan keras, tak sanggup ia menahannya, maka hendak ia membnatu dengan tangan kirinya, atau mendadak si orang tua membalik tangannya, telunjuknya mengenakan lengannya. Cuma sekali ia tertekan, tubuhnya lantas mencelat ke belakang tujuh atau delapan kaki, punggungnya membentur sebuah pohon. Di situ barulah ia bisa berdiri tetap. Lantas orang tua itu berkata lagi seorang diri. "Ia tak ada celaannya, kecuali belum mahir betul. Heran kenapa ia dapat bertahan dari lagu Thian-mo-bu?" "Thian-mo-bu" Itu adalah lagu seruling tadi, artinya Tarian Hantu Langit. Kwee Ceng mengeluarkan napas lega. Ia juga mengawasi orang tua itu, sangking heran, ia berpikir. "Orang tua ini berimbang kepandaiannya dengan Ang Cit Kong dan Oey Yok Su. Kenapa di Thoa Hoa To ini orang semacam ini? Adakah ia See Tok atau Lam Tee?" Mengingat nama See Tok, si Racun dari Barat, ia terkejut. "Jangan-jangan aku terpedaya," Pikirnya. Maka ia angkat tangannya untuk diperiksa. Tangan itu tidak bengkak atau merah, hatinya menjadi lega pula. Orang tua itu tertawa. "Kau badelah, siapa aku ini?" Ia bertanya. Kwee Ceng menyahuti. "Menurut apa yang teecu dengar, orang yang paling gagah sekarang ini cuma ada lima orang. Coan Cin Kauwcu Ong Totiang telah menutup mata, Kiu Cie Sin Kay yang menjadi guruku dan Oey Tocu teecu kenal, maka itu mungkinkah cianpwee ada Auwyang Cianpwee atau Toan Hongya?" Orang tua itu tertawa. "Bukankah kau merasakan ilmu kepandaianku berimbang sama Tong Shia dan Pak Kay?" Ia tanya. "Pelajaranku masih sangat rendah, tidak berani teecu bicara sembarangan," Sahut Kwee Ceng berhati-hati. "Barusan cianpwee menolak padaku, dari itu teecu merasa, kalau bukan Ang Ingsu dan Oey Tocu, belum pernah ada orang ketiganya." Itulah pujian, senang si orang tua. Ia mengasih lihat roman jenaka yang kebocah-bocahan. "Aku bukannya See Tok Auwyang Hong dan bukan juga entah apa Hongya, maka itu cobalah kau menerka lagi sekali." Katanya. Kwee Ceng berpikir, baru ia menyahut. "Pernah teecu bertemu dengan seorang yang namanya berimbang sama pemimpin dari Coan Cin Pay yaitu Kiu Cian Jin, tetapi ia cuma menang nama, kepandaiannya biasa saja," Sahut nya. "Sebenarnya pengetahuan teecu masih sangat cetek, teecu tidak ingat nama cianpwee." Orang tua itu tertawa. "Aku she Ciu! Kau ingatkah sekarang?" Dia tanya. "Cianpwee ialah Ciu Pek Thong?" Tanya Kwee Ceng cepat. Tetapi ia terkejut. ia sudah menyebut langsung nama orang tua itu. Maka lekas-lekas ia memberi hormat seraya berkata. "Teecu sudah berlaku tidak hormat, harap cianpwee suka memberi maaf." Orang tua itu tertawa pula. "Tidak salah, tidak salah, akulah Ciu Pek Thong!" Katanya. "Kau menyebut namaku, apakah yang tidak hormat? Kauwcu dari Coan Cin Pay, Ong Tiong Yang, ialah kakak seperguruanku, dan Ma Giok serta Khu Cie Kee lainnya, mereka semuanya keponakan muridku. Kau bukannya orang Coan Cin Pay, tidak usah kau menyebut-nyebut cianpwee, kau panggil saja aku Pek Thong!" "Itulah aku tidak berani," Kata Kwee Ceng heran tetapi tetap hormat. Tinggi usianya, tetap Ciu Pek Thong mirip bocah. Untuk apa yang ia kehendaki, ia tak kenal kebiasaan atau adat istiadat, pasti ia langgar. Begitulah ketika ia ingat suatu apa, ia lantas kata. "Saudara Kwee, bagaimana kalau kita mengangkat saudara?" Kwee Ceng heran hingga ia menjublak. "Teecu adalah sebawahan Ma Totiang dan Khu Totiang, seharusnya teecu menghormati cianpwee sebagai sucouw-ya!" Katanya. Sucouw-ya adalah kakek guru. Ciu Pek Thong menggoyangi tangannya berulang- ulang. "Kepandaianku adalah kakak seperguruanku yang mengajarinya," Ia bilang. "Ma Giok dan Khu Cie Kee semua tidak memandang aku sebagai yang terlebih tua, mereka pun tidak menghormati aku sebagai yang terlebih tua itu" Berkata sampai disitu, suaranya Pek Thong tertunda. Ke situ ada datang satu bujang tua, yang tindakan kakinya terdengar terlebih dahulu. Dia membawa barang makanan. "Ada makanan untuk didahar!" Kata Ciu Pek Thong. Ia tertawa. Bujang itu menyajikan barang bawaannya, yang terdiri dari empat rupa sayur, dua poci arak serta sepanci nasi. Dia pun menuangi dua cawan arak. kemudian ia berdiri menantikan di pinggiran. "Mana nona Oey?" Kwee Ceng tanya. "Kenapa dia tidak datang kemari?" Bujang itu menggeleng kepala, ia menunjuki pada kuping dan mulutnya, suatu tanda ia tuli dan gagu. Ciu Pek Thong tertawa, dia kata. "Kuping orang ini ditusuk hingga tuli oleh Oey Yok Su. Coba kau suruh dia membuka mulutnya." Kwee Ceng menurut, dengan gerakan tangannya, ia minta bujang itu membuka mulutnya. Kesudahannya dia terkejut. Lidah orang buntung. "Semua bujang di pulau ini sama saja." Pek Thong memberitahukan. "Kau telah datang ke mari, jikalau kau tidak mati, di belakang hari kau bakal jadi seperti dia ini." Kwee Ceng berdiam, hatinya mengatakan. "Kenapa ayahnya Yong-jie begitu kejam?" Pek Thong berkata pula. "Setiap malam Oey Lao Shia menyiksa aku, tetapi aku tidak sudi menyerah kalah! Tadi hampir aku roboh di tangannya, jikalau tidak kau datang membantu aku, saudara kecil, dan mungkin tabiatku suka menang sendiri selama belasan tahun akan runtuh dalam satu malaman! Mari, mari disini ada arak dan barang santapan, mari kita mengangkat saudara, di belakang hari, ada untung kita cicipi bersama, ada kesusahan kita tanggung bersama juga! Ketika dulu hari aku mengangkat saudara sama Ong Tiong Yang, ia pun mula.mula main tolak-tolak. Bagaimana, eh apakah benar-benar katu tidak sudi?" Kwee Ceng melihat muka orang berubah, lekas-lekas ia menyahuti; "Bukannya begitu, cianpwee. Sebenarnya tingkatku beda hingga dua tingkat, jikalau teecu menerima kehendak cianpwee, pasti orang akan tertawa dan mencaci teecu tidak tahu diri! Dan kalau nanti teecu bertemu sama Ma Totiang dan Khu Totiang, apakah teecu tak malu juga?" "Ah, kenapa kau memikir begitu jauh?" Kata Pek Thong masgul. "Kau tidak sudi mengangkat saudara, apakah kau mencela usiaku yang sudah lanjut? Oh." Mendadak orang tua itu menangis sesegukan, mukanya ditutupi, kumisnya dikacau pergi datang. Kwee Ceng heran dan kaget. Ia bingung. "Baik, baik, cianpwee teecu menurut" Katanya gugup. Pek Thong masih menangis ketika ia berkata. "Kau menuruti karena aku paksa, kalau lain hari ada orang menanyakan kau, kau bakal timpakan kesalahan padaku! Aku tahu kau tidak sudi angkat saudara denganku!" Kwee Ceng merasa lucu berbareng heran. Kenapa ada orang tua yang begini tidak mengindahkan ketuaannya sendiri? Ia tidak ketahui bahwa Ciu Pek Thong itu, dalam kalangan Rimba Persilatan, bergelar Loo Boan Tong, Bocah Tua Nakal, tabiatnya memang sangat ku-koay bin ajaib, walaupun berusia lanjut dan tingkat derajatnya tinggi, tapi sepak terjangnya mirip dengan bocah alias anak-anak. Begitu ia jumput sepiring sayur, dia lemparkan itu keluar kurungan, tak mau ia dahar. Si bujang tua bingung, lekas-lekas ia memunguti. Meyaksikan itu Kwee Ceng tertawa, lantas ia berkata. "Kakak begini baik hati, bagaimana teecu bisa menampik itu? Mari, kakak, marilah kita mengangkat saudara! Mari kita gunai tanah sebagai gantinya hio!" Mendengar itu, tiba-tiba saja Ciu Pek Thong tertawa. "Aku berada di dalam gua, tecegah kawat ini," Ia berkata. "Karena aku tidak bisa keluar, aku akan paykui di dalam kurungan ini dan kau di sebelah luar!" Kwee Ceng mengawasi kawat kurungan itu sekian lama, ia tidak mengerti kenapa Pek thong bisa terkurung di situ. Tetapi ia menurut, ia menjalankan kehormatana dari luar kurungan itu. Pek Thong benar-benar berlutut, hingga mereka paykui sambil berendeng di antara kawat kurungan itu. Berkatalah si orang tua. "Teecu Ciu Pek Thong, hari ini teecu mengangkat saudara dengan saudara Kwee Ceng, di belakang hari, senang atau susah, kita sama- sama mencicipinya, siapa yang kemudian menyalahkan janji, biar Thian kutuk padanya!" Kwee Ceng mengikuti mengangkat sumpah itu. Setelah itu keduanya menyiram arak ke tanah dan Kwee Ceng lalu paykui kepada kakak angkatnya itu. Pek Thong puas hingga ia tertawa terkakak. "Sudah, sudah!" Katanya. Ia menuang araknya , ia menenggak sendiri. Ia menambahkan. "Oey Lao Shia itu cupat sekali pandangannya. Dia memberikan arak yang begini tawar! Hanya perah ada satu hari, si nona kecil menyuguhkan aku arak, araknya jempol, cuma sayang semenjak itu dia tidak pernah datang pula" Kwee Ceng tahu, si nona yang disebutkan itu ialah Oey Yong. Bukankah si nona pernah memberitahukan dia, sebab ia mengantar arak kepada Ciu Pek Thong, dia ditegur dan dimarahi oleh ayahnya, maka ia kabur. Tentulah Pek Thong tidak ketahui sebabnya si nona tidak pernah datang pula. Kwee Ceng sudah lapar, ia tidak pikirkan arak, ia hanya menyendok nasi dan memakannya, sampai ia menghabiskan lima mangkok. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Si bujang tua menanti sampai orang dahar cukup, ia benahkan segala apa dan berlalu. "Eh, adik kenapa kau bersalah terhadap Oey Lao Shia?" Kemudain Pek Thong tanya. "Coba kau tuturkan itu pada kakakmu." Kwee Ceng tuturkan halnya ia sudah membinasakan Tan Hian Hong dan di Kwie-in-chung bertempur sama Bwee Tiauw Hong, bagaimana Oey Yok Su hendak mencelakai Kanglam Liok Koay, maka itu ia berjanji untuk dalam tempo satu bulan datang ke pulau ini untuk terima binasa. Loo Boan Tongp paling gemar mendengar orang bercerita, demikian kali ini, ia memasang kuping sambil merem melek, asal si adik angkat berlambat, lantas ia memotong dengan pertanyaannya. "Kemudian bagaimana?" Tanya dia akhirnya. "Kemudian ialah sekarang ini, adikmu berada disini," Kwee Ceng menjawab. Pek Thong lantas berdiam, agaknya ia berpikir. "Kiranya budak cantik itu baik denganmu," Katanya. "Kenapa sepulangnya ini dia menghilang? Mesti ada sebabnya, mungkin dia kena dikurung oleh Oey Lao Shia" "Teecu pun menduga demikian," Kata Kwee Ceng masgul. "Apa kau bilang?" Tanya Pek Thong, mukanya merah. Kwee Ceng tahu, ia salah menggunakan bahasa "teecu" Ituz, ia lekas menyahuti. "Adikmu kesalahan, harap toako jangan berkecil hati." Pek Thong tertawa. Ia berkata. "Perkara panggilan jangan kau bikin susah! Umpama kata kau lagi main sandiwara, kau memanggil ibu padaku boleh saja, nona juga boleh!" "Baik, baik, toako," Sahut adik angkat itu. Pek Thong mengangguk. "Coba kau terka, kenapa aku berada di sini?" Tanyanya kemudian. "Justru inilah adikmu hendak menanyakannya," Sahut Kwee Ceng. "Ceritanya panjang, nanti aku menutur perlahan-lahan," Menyahuti si kakak jenaka ini. "Kau toh ketahui hal ikhwalnya dulu hari itu Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di puncah gunung Hoa San?" Kwee Ceng mengangguk. "Pernah adikmu mendengar itu," Sahutnya. "Ketika itu akhirnya musim dingin, di gunung Hoa San itu salju seperti membungkus puncak," Sang kakak bercerita. "Mereka berlima itu mulut berunding, tangan mengadu pedang, lamanya tujuh hari tujuh malam. Di akhirnya Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay berempat mengakui kakak seperguruanku itu, Ong Tiong Yang sebagai orang gagah nomor satu di kolong langit ini. Taukah kamu mengapa mereka membuat pertemuan di Hoa San itu?" "Tentang itu adikmu belum pernah mendengarnya." "Itulah buat gunanya sebuah kitab." "Kitab Kiu Im Cin-keng!" Kwee Ceng memotong. "Benar! Adikku, kau muda tetapi sudah banyak pendengaranmu! Untuk kaum persilatan, Kiu Im Cin-keng adalah kitab luar biasa yang nomor satu. Menurut penuturan, kitab itu dikumpul dan ditulis oleh Tat Mo Couwsu setelah ia datang ke negeri kita ini dan sesudah ia bertanding mengadu kepandaian sama sahli-ahli silat kita, diwaktu mana, mereka menang dan kalah bergantian, lantas ia duduk bersemadhi menghadapi tembok selama sembilan tahun. Setahu mana, suatu tahun, kitab itu muncul di luaran, maka itu, timbulah perebutan di antara ahli-ahli silat. Tidak seorang pun yang tidak menghendakinya. Kakak seperguruanku bilang, karena perebutan itu, tidak sedikit ahli silat yang roboh sebagai korban, lebih daripada seratus orang. Umpama kata seorang mendapati itu, lantas ia menyakinkannya, belum satu tahun, lain orang mengetahuinya, lain orang itu merampasnya. Perampasan itu terjadi berulangkali. Maka siapa yang mendapatkan kitab itu, dia terpaksa menyembunyikan diri. Karena itu juga, orang pun menggunai banyak akal muslihat" Kwee Ceng menghela napas. "Kalau beigitu, kitab itu adalah kitab celaka dalam dunia kita ini," Katanya. "Kalau Tan Hian Hong tidak mendapatkan itu, tentulah ia bisa hidup berbahagia dengan Bwee Tiauw Hong di dalam desa di mana mereka mengumpatkan diri dan Oey Tocu tidak nanti menghendakinya." "Tetapi ilmu silat tidak boleh tidak dipelajari!" Sambung si kakak angkat. Kwee Ceng menyahutinya, hanya di dalam hatinya ia mengatakan. "Kalau begitu ini kakak tua sudah kegilaan ilmu silat. Sebenarnya belum pernah aku mendengar lain orang yang seperti dia gilanya." "Eh, tadi aku bercerita sampai di mana?" Pek Thong tanya, rupanya ia lupa. "Sampai di bagian orang-orang kosen di kolong langit ini hendak merampas kitab Kiu Im Cin-keng itu." "Benar, urusan lantas jadi makin hebat. Bahkan kauwcu dari Coan Cin Kauw, tuan dari Tho Hoa To, Ang Pangcu dari Kay Pang dan lainnya, ikut campur tangan. Berlima mereka itu merundingkan ilmu silat dengan perjanjian, siapa yang paling lihay, ialah yang mendapatkan kitab itu. "Akhirnya kitab itu terjatuh dalam tangan kakak seperguruanmu," Kata Kwee Ceng. "Memang!" Jawab Ciu Pek Thong dengan sangat gembira. "Persahabatanku dengan Ong Suko memang erat sekali, sebelum ia menjadi imam, kita memang sudha bergaul rapat. Belakangan ia ajarkan aku ilmu silat. Dia mengatakan aku berlajar ilmu silat. Berlebihan dan kukuh sekali, hingga jadi seperti tolol, katanya itulah bukan syaratnya kaum imam. Karena itu, aku tidak menjadi murid Coan Cin Kauw. Di antara dia, katanya sebab terlalu mengutamakan ilmu silat, ia jadi mengabaikan agama. Kalau belajar silat orang mesti sungguh-sungguh, belajar ilmu To Kauw mestilah hati orang tawar. Jadi kedua ilmu itu bertentangan satu dengan lainnya. Ma Giok yang mewariskan pelajaran agamanya suheng dan Khu Cie Kee yang ilmu silatnya sempurna." "Jikalau demikian adanya, kenapa Ong Cinjin dapat menjadi orang suci sejati berbareng lihay juga ilmu silatnya?" Tanya Kwee Ceng tidak mengerti. "Itulah disebabkan pada dasarnya suko memang berbakat baik dan ia gampang mempelajari segala macam ilmu. Dia bukanlah seperti kita yang memerlukan latihan mendalam. Eh ya, tadi ceritaku sampai dimana? Kenapa kau memegatnya?" "Sampai di bagian sukomu mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng." "Benar! Setelah mendapatkan kitab itu suka tidak memahamkan apa bunyinya, dia hanya menyimpan buku itu di dalam kotak yang kotaknya ia tindihkan batu di bekalang kuil. Aku heran sekali, aku telah menanyakan sebab dari perbuatannya itu. Suka tidak mau memberikan keterangannya, ia jawab aku dengan tersenyum saja. Ketika aku mendesak, dia menyuruhku menerka sendiri. Sekarang cobalah kau yang menerka, apakah sebabnya itu?" "Tentulah itu disebabkan ia khawatir kitab itu ada yang curi?" Menerka Kwee Ceng. "Bukan, bukan," Pek Thong menggelengkan kepalanya berulang-ulang. "Siapakah yang berani mencuri barangnya kangzusi.com kaucu dari Coan Cin Kauw? Siapa berani berbuat begitu, itulah tandanya dia sudah bosan hidup!" Kwee Ceng perpikir pula, lalu ia lompat berjingkrak. "Benar memang pantaslah kitab itu disimpan di bawah batu!" Katanya. "Sebetulnya. lebih baik lagi kalau dibakar habis saja" Pek Thong heran, ia menatap adik angkatnya itu. "Memang dulu hari suko pun pernah mengatakan demikian," Katanya. "Hanya tidak dapat ia melakukan itu, beberapa kali sudah ia mencoba, saban-saban gagal karena kesangsiannya. Ah, adikku, kau nampaknya tolol, mengapa kau dapat membadenya?" Merah mukanya Kwee Ceng. "Aku pikir, sukomu itu sudah lihay, walaupun ia belajar lebih jauh, dia tetap nomor satu," Menyahut Kwee Ceng. "Aku pikir pula, dia tentunya pergi ke Hoa San bukan untuk mendapatkan nama jago nomor satu, hanya semata-mata untuk mendapatkan kitab itu, dan dia mendapatkan bukan untuk belajar lebih jauh, hanya untuk menolong orang-orang gagah di kolong langit supaya mereka tak usah terus-menerus saling membunuh." Bab 35. Main gundu....... Pek Thong dongak mengawasi langit, ia berdiam. Menampak demikian, tak tenang hatinya Kwee Ceng, ia khawatir ia nanti salah bicara dan menyinggung kakak yang aneh tabiatnya itu. Pek Thong menghela napas. "Mengapa kau dapat memikir demikian?" Tanyanya kemudian. Adik angkat itu menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak tahu," Jawabnya. "Aku hanya memikir, setelah kitab itu mencelakai banyak orang, walaupun benar-benar mustika adanya sudah seharusnya dimusnahkan saja." "Kau benar, alasanmu pun sederhana sekali," Bilang Pek Thong. "Cumalah aku itu waktu tidak dapat memikirkannya. Dulu hari suko pernah membilangi aku bahwa aku berbakat baik dan ulet, tetapi akuun terlalu kukuh. Disebelah itu katanya aku kekurangan sifat wales asih, kurang kedermawaan, maka itu, bagaimana pun aku rajin, aku tidak bakal menyampaikan puncak kemahiran. Ketika itu aku tidak percaya suko, aku pikir apa sangkutannya pelajaran silat sama sifat prikemanusiaan? Hanya sekarang, adikku, setelah berselang belasan tahun, barulah aku mempercayainya. Adikku, dalam ilmu silat kau kalah dengan aku, tetapi dalam hal kejujuran, hati lapang, kau menang daripada aku, maka itu dibelakang hari, kau akan memperoleh hasil sepuluh lipat lebih banyak! Sayang suko sudah menutup mata, kalau tidak, pelajaran suko semua bisa diwariskan kepadamu. Suko, oh, suko, kau benar." Mengingat kebaikan kakak seperguruannya itu, tiba-tiba Pek Thong menangis sedih sekali. Ia mendekam di batu. Kwee Ceng menjadi terharu. Setelah menangis serintasan, Pek Thong angkat kepalanya. "Ah, ceritaku belum berakhir," Katanya. "Nanti habis bercerita, aku boleh menangis pula. Ya, kita sudah bercerita sampai di mana? Kenapa kau tidak membujuki aku supaya aku jangan menangis?" Aneh benar kakak angkat ini, Kwee Ceng tertawa. "Koko bercerita sampai Ong Cinjin menyembunyikan kitab di bawah batu," Katanya. Pek Thong menepuk pahanya. "Benar!" Ia berseru. "Setelah ia menaruh kitab di bawah batu itu, aku minta suko memperlihatkan kitab itu padaku. Kau tahu, suko marah terhadap aku! Maka semenjak itu, aku tidak menyebut-nyebutnya pula. Benar saja, setelah itu dunia Rimba Persilatan menjadi tenang tentram. Adalah kemudian, setelah suko menutup mata, atau lebih benar disaat ia hendak meninggal dunia, telah timbul pula gelombang. Keras suaranya Pek Thong ketika ia mengucapkan kata-katanya itu, Kwee Ceng menjadi ketarik hatinya, karena ia percaya gelombang itu pastilah bukan gelombang kecil. Ia lantas memasang kuping. "Suko tahu saatnya sudah tiba, sesudah lantas mengurus segala apa mengenai partainya dan meninggalkan pesannya, ia suruh aku mengambil kitab Kiu Im Cin-keng itu," Pek thong melanjuti ceritanya. "Ia pun menitahkan menyalakan api di perapian, ia niat membakar itu. Selagi menantikan api marong, ia pegangi kitab itu, ia mengusap-usapnya, sembari menghela napas panjang, ia berkata, 'Inilah hasil cape hatinya cianpwee, mana dapat kitab ini termusnah di tanganku? Air itu dapat menampung perahu tetapi dapat juga mengaramkannya, maka itu haruslah dilihat, bagaimana orang-orang di jaman belakangan dapat mempergunakan kitab ini. Cuma orang-orang partai kita, siapa pun tidak dapat menyakinkan ilmu ini, supaya jangan sampai orang luar mengatakan aku merampas kitab ini sebab aku sekaker'. Habis berkata begitu, suko menutup mata. Malam itu jenazahnya ditunda di dalam kuil. Belum sampai jam tiga, terjadilah onar." Kwee Ceng terkejut hingga ia berseru. "Oh!" "Malam itu aku berada bersama-sama tujuh murid Coan Cin Pay menemani jenazah," Pek Thong melanjuti pula. "Tepat tengah malam, musuh datang menyerbu. Semua mereka orang-orang lihay. Ketujuh murid itu memecah diri untuk menyambut serangan. Untuk mencegah musuh bisa merusaki jenazah gurunya, semua muridnya itu memancing musuh keluar kuil. Aku sendiri yang menjaga jenazah suko, tiba-tiba aku mendengar bentakan dari luar kuil, menyuruh kita menyerahkan kitab. Musuh itu mengancam hendak membakar kuil. Aku melongok keluar, aku mengeluarkan peluh dingin. Aku melihat seorang berdiri di atas pohon. Teranglah ia lihay daripada aku dalam hal enteng tubuh. Walaupun demikian, terpaksa aku melawan dia. Aku berlompat keluar. Di atas pohon itu kita bertempur sampai kira-kira empatpuluh jurus. Musuh itu lebih muda beberapa tahun daripada aku tetapi ia lihay dan telangas. Aku melawan keras dengan keras. Akhirnya pundakku kena dihajar dia, aku terjatuh dari atas pohon." Kwee Ceng heran. "Suko sudah begini lihay, aku masih tetap tidak sanggup melawan dia. Siapakah dia itu?" "Cobalah kau terka, dia itu siapa?" Pek Thong membaliki. Kwee Ceng berpikir sejenak. "See Tok!" Sahutnya. "Eh, mengapa kau mengetahuinya?" Tanya sang kakak heran. "Sebab adikmu berpikir, orang yang terlebih lihay daripada toako adalah cuma mereka berlima yang mengadu pedang di Hoa San," Menerangkan Kwee Ceng. "Guruku Ang Cit Kong orang terhormat, Toan Hongya adalah hongya, satu raja, mesti ia menghormati dirinya sendiri. Pemilik dari Tho Hoa To itu adikmu tidak kenal baik tetapi melihat romannya, dialah bukan satu manusia rendah yang suka menyerang orang yang lagi dirundung malang!" Baru Kwee Ceng menutup mulutnya, dari dalam pepohonan yang lebat terdengar suara bentakan. "Binatang cilik, kau masih mempunyai matamu!" Hanya dengan sekali mencelat, Kwee Ceng sudah tiba di tempat darimana suara itu datang, akan tetapi orang itu lenyap dalam sekejap. Ia menjadi heran sekali. "Adik, mari kembali!" Pek Thong memanggil. "Itulah Oey Lao Shia, dia sudah pergi jauh!" Kwee Ceng kembali kepada kakak angkatnya itu. "Oey Lao Shia itu pandai ilmu gaib, maka itu tamannya ini diatur menurut barisan rahasia Pat Tin Touw dari Cu-kat Bu Houw," Pek Thong mengulangi. "Cu-kat Bu Houw?" "Benar," Menyahut Pek Thong yang terus menghela napas. "Oey Lao Shia itu sangat cerdas, dia pandai main tetabuan, main catur dan menulis surat indah dan menggambar, dia juga mengerti obat-obatan dan ilmu alam, tak terkecuali ilmu pertanian serta ilmu memeriksa keletakan tempat yang indah. Juga ia paham ilmu perusahaan dan ilmu perang. Pendeknya, tidak ada ilmu yang ia tidak paham, maka sayang sekali jalannya sesat. Kalau dia mondar-mandir di tamannya ini, lain orang tidak akan dapat menyusul atau mencari padanya." Kwee Ceng berdiam, ia kagum memikirkan kepandaian Oey Lao Shia itu. "Toako, bagaimana sehabisnya kau dirobohkan oleh See Tok?" Ia tanya kemudian. "Bagus!" Pek Thong berseru seraya menepuk pahanya. "Kali ini kau tidak lupa menyadarkan aku kepada ceritaku! Kena diserang See Tok, aku merasakan sakit hingga ke ulu hati, aku pun tak dapat bergerak, tetapi melihat ia menerbos ke dalam, aku paksakan mengejar. Di depan meja jenazah suko, dia sambar kitab Kiu Im Cin-keng. Aku bingung bukan main, sudah aku kalah, di situ pun tak ada lain orang. Justru itu mendadak aku mendengar satu suara keras, lantas terlihat tutup peti mati berlubang, hancuran kayunya berhamburan" Kwee Ceng kaget. "Apakah dia menghajar rusak peti mati Ong Cinjin?" Dia menanya. "Oh, tidak, tidak!" Menyahuti Pek Thong lekas. "Adalah suko sendiri yang menhajar tutup petinya itu." Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kwee Ceng heran bukan main. Ia seperti mendengar dongeng dari kitab San Hay Keng. Ia mengawasi kakak angkatnya itu dengan mulut celengap. "Apakah kau pikir?" Sang kakak angkat tanya. "Apakah suko terbangun arwahnya? Apakah dia hidup pula? Bukan, semuanya itu bukan! Suko hanya pura-pura mati!" Kwee Ceng berseru pula. "Pura-pura mati?" Ia mengulangi. "Benar! Beberapa hari sebelumnya suko menutup mata, ia sudah ketahui See Tok senantiasa berkeliaran di luar kuilnya, untuk menanti begitu lekas ia meninggal dunia, hendak ia merampas kitab Kiu Im Cin-keng itu. Maka itu, malam itu, suko berpura-pura mati. Dengan ilmu kepandaiannya, suko dapat menahan jalan napasnya. Kalau ia membuka rahasia pada semua muridnya, pasti mereka tidak akan sangat berduka. Bukankah See Tok sangat licin? Dari itu ia menutup rahasia. Habis menggempur tutup peti mati, suko meloncat keluar untuk terus menotok See Tok dengan totokannya It-yang-cie. See Tok kaget tidak terkira. Ia melihat tegas dari jendela suko telah menutup mata, sekarang suko bisa berlompat keluar dari peti mati. Dia memangnya jeri terhadap suko, sekarang ia kaget, tidak sempat ia membela diri. Maka ia terkena totokan It-yang-cie pada alisnya, dengan begitu pecahnya ilmu yang dinamakan 'Kap Moa Kang', atau Ilmu Kodok. Dia lari pulang ke Wilayah Barat, kabarnya tidak pernah dia datang pula ke Tionggoan. Suko tertawa panjang, terus ia duduk bersemadhi di atas meja. Aku tahu, dengan menggunai It-yang-cie, Telunjuk Matahari, suko telah menggunai tenaga terlalu banyak, maka aku tidak ganggu padanya, aku hanya lari keluar untuk menyambut ketujuh muridnya, untuk memukul mundur semua musuh. Ketika semua keponakanku itu mendapat tahu gurunya belum menutup mata, girangnya bukan kepalang, semua lantas lari pulang. Hanya ketika mereka jadi kaget sekali, semua mengeluh kecele." "Apakah yang sudah terjadi?" Memotong Kwee Ceng heran. "Tubuh suko rebah miring, wajahnya beda daripada biasanya," Menyahut Pek Thong. "Aku lantas menghampirkan dan meraba tubuhnya. Nyata tubuh itu dingin bagaikan es. Sekarang barulah suko berpulang ke alam baka. Kita lantas melaksanakan pesan suko, ialah kitab dipecah menjadi dua, bagian atas dan bagian bawah. Suko ingin, kalau kitab sampai lenyap tercuri orang, tidaklah tercuri semaunya. Aku yang menyimpan bagian atas, lalu bagian bawah aku bawa ke sebuah gunung kesohor di selatan. Aku hendak menyembunyikan itu ketika di tengah jalan aku bertemu dengan Oey Lao Shia." "Oh!" Berseru Kwee Ceng kaget. "Oey Lao Shia itu aneh tabiatnya tetapi dengan aku dia berjodoh bertemu beberapa kali, dia tidak nanti kemaruk kitab seperti See Tok. Celakanya itu waktu dia tengah bersama pengantin barunya" "Tentulah dia itu ibunya Yong-jie," Berpikir si anak muda. "Apa sangkutannya dia dengan kitab itu.?" "Aku mendapatkan terang sekali cahaya mukanya Oey Lao Shia itu, maka untuk memberi selamat kepadanya sebagai mempelai, aku undang dia untuk berjamu. Aku pun menuturkan halnya suko pura-pura mati dan sudha menghajar Auwyang Hong. Mendengar ceritaku itu, istrinya Oey Lao Shia minta pinjam lihat kitab itu. Dia mengaku bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, dia mau melihat saking ingin tahu saja. Dia ingin melihat kitab yang sudah menyebabkan kebinasaan begitu banyak ahli silat kenamaan. Oey Lao Shia sangat menyintai istrinya itu, tak ingin ia menolak keinginan orang, ketika ia mendapatkan aku agaknya keberatan. Dia kata padaku, 'Pek Thong, istriku benar-benar tidak mengerti silat. Dia masih muda sekali, dia gemar melihat apa yang baru, maka itu kau kasihlah ia melihat.lihat. Ada apakah halangannya? Jikalau aku sendiri, melirik saja kitabmu itu, aku nanti korek biji mataku untuk diserahkan padamu!' Oey Lao Shia ada satu jago, pasti aku percaya padanya, tetapi kitab itu sangat penting, terpaksa aku menggoyangi kepala terhadapnya. Dia menjadi tidak senang, dia kata, 'Mustahil aku tidak menginsyafi kesulitanmu? Kalau kau memberi lihat pada istriku ini, satu kali saja, nanti akan datang harinya aku membalas budi kamu pihak Coan Cin Pay! Jikalau kau tetap menampik, terserah padamu! Siapa suruh kita bersahabat! Dengan pihak Coan Cin Pay, semua anggotanya tidak aku kenal! ' Aku mengerti maksudnya itu. Dia biasa lakukan apa yang dia katakan. Dia tidak enak mengganggu aku tetapi dia dapat mencari alasan untuk mengganggu Ma Giok dan Khu Cie Kee semua. Dia lihay sekali, sungguh berbahaya kalau-kalau ia sampai bergusar. Maka itu aku kata padanya; 'Oey Lao Shia, jikalau kau hendak melampiaskan penasaranmu, kamu carilah aku Loo Boan Tong Ciu Pek Thong. Perlu apa pula kau cari segala keponakan itu?' Istrinya itu tertawa waktu dia mendengar aku menyebutkan julukanku Loo Boan Tong itu, ia lantas berkata, 'Ciu Toako, kau gemar sekali berkelakar! Baiklah kita jangan ngotot saja, lebih baik kita pelesiran. Tentang kitab mustikamu itu tak apalah aku tidak melihatnya!' Ia menoleh kepada Oey Lao Shia untuk berkata terus; 'Rupanya kitab Kiu Im Cin-keng itu sudah kena dirampas si orang she Auwyang, maka itu Ciu Toako tidak sanggup melihat padaku. Maka juga, apa perlunya kita memaksa dia, juga boleh-boleh dia menjadi hilang muka?' Oey Lao Shia tertawa, dia kata; 'Kau benar! Eh, Pek Thong, marilah, mari aku membantu kau mencari si tua bangka berbisa itu untuk membuat perhitungan!" "Kalau begitu, ibunya Yong-jie sama cerdiknya seperti putrinya," Kwee Ceng berpikir. Ia lantas memotong. "Mereka itu tengah memancing kemendongkolan kau, toako!" "Itulah aku ketahui," Kata Pek Thong. "Hanya aku pun tidak mau mengalah. Maka itu aku kata padanya, 'Kitab itu ada paku sekarang! Pula tidak ada halangannya untuk memberi lihat itu pada engso! Tapi kau tidak memandang muka padaku, kau membilangnya aku tidak sanggup melindungi kitab itu, itulah aku tidak mengerti. Coba kau jelaskan, apakah syaratmu?' Oey Lao Shia tertawa, dia kata; 'Kalau kita bertempur, kita jadi renggang. Kaulah si tua bangka nakal seperti bocah, aku pikir baiklah kita mengadu sesuatu seperti bocah-bocah tengah bermain-main!' Belum lagi aku memberikan jawabanku, istrinya sudah bertepuk-tepuk tangan dan mengatakan. 'Bagus, bagus! Baiklah berdua kau mengadu gundu!'" Mendengar itu Kwee Ceng tertawa. "Main gundu adalah kepandaianku," Kata Pek Thong. "Maka itu aku menjawab; 'Mengadu gundu ya mengadu gundu! Mustahil aku takut!' Nyonya Oey itu tertawa, ia kata. 'Ciu Toako, jikalau kau kalah, kau kasih lihat kitab itu padaku? Jikalau kau yang menang, kau menghendaki apa?'. Atas kata-kata istrinya, Oey Lao Shia membilang, 'Coan Cin Kauw ada mempunyai mustika, mustahil Tho Hoa To tidak?'. Ia terus membuka buntalanny adan mengeluarkan serupa barang hitam, semacam baju yang ada durinya. Coba bade, barang apakah itu?" "Itulah Joan-wie-kah, baju lapis duri," Sahut Kwee Ceng. "Oh, kiranya kau tahu itu?" Kata kakak angkat ini. "Oey Lao Shia kata padaku. 'Pek Thong, kau bilang, kau tidak membutuhkan ini untuk melindungi dirimu, hanya kalau dibelakang hari kau menikah sama si bocah wanita nakal dan dia melahirkan bocah yang nakal, kalau bocah nakal itu mengenakan baju lapis ini, faedahnya bukan kepalang! Jikalau kau menang, pusaka Tho Hoa To ini menjadi kepunyaanmu!' Aku menjawab, 'Si bocah nakal tidak bakal terlahir, tetapi baju lapismu ini sangst kesohor di dalam kalangan Rimba Persilatan, kalau aku mengenakannya, pastilah aku aksi sekali! Dengan begitupun biarlah diketahui, tocu dari Tho Hoa To telah roboh di tangannya Loo Boan Tong di Bocah Tua Nakal!' Lantas Nyonya Oey memotong aku, katanya. 'Kau jangan omong saja! Sekarang mulailah kamu berdua!' Sampai disitu cocoklah sudah. Lantas kita mulai. Kita memegang masing-masing sembilan biji gundu, kita membuat delapan belas lubang. Dialah yang menang siapa yang gundunya masuk paling dulu." Mendengar itu Kwee Ceng mennjadi ingat kepada halnya tempo sendiri bersama Tuli, saudara angkatnya, main gundu di gurun pasir. Maka itu ia bersenyum. "Gundu itu aku selalu sediakan di sakuku," Pek Thong berkata pula. "Bertiga kita pergi ke luar, ke latar. Selagi keluar aku perhatikan gerak-gerik istrinya Oey lao Shia, aku dapat kenyataan dia benar tidak mengerti ilmu silat. Akulah yang membuat lubang di tanah, lalu aku menyuruh Oey Lao Shia yang mulai. Dalam hal menggunai senjata rahasia. Oey Lao Shia lihay istimewa, dia mestinya menang daripada aku, tetapi dalam hal main gundu, ada lain tipunya. Aku membuat lubang yang istimewa. Kalau gundu masuk ke dalam situ, gundu itu bisa keluar pula. Untuk itu aku mesti pandai mengimbangi menyentil gundu itu, dengan begitu gundu jadi dapat berdiam terus di dalam lubang. Tiga kali Oey lao Shia menyentil, tiga-tiga gundunya masuk tepat, hanya begitu masuk, ketiganya lompat pula keluar. Aku telah memasuki lima biji, semuanya tidak keluar lagi. Oey Lao Shia lihay, ia mencoba menyusul tetapi gagal. Kembali satu gunduku masuk. Aku girang bukan main, aku percaya aku bakal menang, dia bakal kalah, dewa pun tidak bakal berhasil membantui dia. Ah, siapa tahu Oey Lao Shia main curang, dia menggunai akal! Coba bade, apakah akal liciknya itu?" "Adakah dia melukai tanganmu, toako?" "Bukan, bukan! Oey Lao Shia busuk sekali, tidak nanti dia pakai akal sekasar semacam itu. Dia tahu dia bakal kalah, mendadak dia mengerahkan tenaganya dan menghajar tiga gunduku hingga habislah sisa semua gunduku, gundunya sendiri lantas masuk ke dalam lubang." "Jadi toako kehabisan gundumu?" "Ya, aku cuma bisa melihat dia main sendiri. Demikianlah aku kalah!" "Toh itu tidak masuk dalam hitungan!" Kata Kwee Ceng. "Mestinya begitu tetapi Oey Lao Shia berkeras. Memang, umpama kata aku memukkul gundunya, dua-dua gundu mesti pecah. Aku tidak dapat memukul seperti dia itu, yang hancur melainkan gunduku. Terpaksa aku menyerah. Aku kata pada istrinya. 'Enso Oey, sekarang aku berikan kitabku padamu, tapi sebentar, sebelum malam, kau mesti mengasih pulang padaku.' Kemudian dengan main-main aku menambahkan; 'Bukankah kita tidak menetapkan waktu lamanya kau meminjam? Maka itu, kau sudah melihat semua atau belum, kau mesti kembalikan.' Aku khawatir mereka tidak sudi membayar pulang, bisa-bisa dia meminjamnya sampai sepuluh tahun atau seratus tahun. Atas itu sambil tertawa, Nyonya Oey kata padaku, 'Ciu Toako, kau dijuluki Loo Boan Tong si Bocah Tua Nakal, tapi kau www.kangzusi.com tidak tolol! Bukankah kau khawatirkan aku nanti jadi seperti Lauw Pie yang meminjam kota Kengciu, yang meminjam untuk selamanya? Baiklah, aku duduk di sini, segera aku membaca, segera aku membayar pulang, tidak usah juga sampai malam! kau jangan khawatir, kau boleh duduk nantikan!' "Mendengar perkataannya itu, aku keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng itu dan aku serahkan padanya. Dia menyambuti, dia bawa itu ke bawah satunya pohon. Di situ ia duduk di atas sebuah batu, lalu ia mulai membalik-baliki lembarannya. Oey Lao Shia mengawasi aku, ia dapat kenyataan hatiku tidak tentram, ia kata padaku; 'Eh, Lao Boan Tong, di jaman sekarang ini ada berapa orangkah yang dapat mengalahkan kita berdua?' Aku menjawab, 'Yang dapat mengalahkan kau, belum tentu ada, tetapi yang dapat mengalahkan aku, terhitung kau sendiri, ada empat atau lima orang!' kataku. 'Tong Shia, See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, berempat mereka mempunyai kepandaian sendiri-sendiri, mereka tidak dapat saling mengalahkan. Auwyang Hong telah dirusak ilmunya Kap-mao-kang, dalam waktu sepuluh tahun, ia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kita. Di dalam dunia kangouw terkabar ada Tiat-ciang Sui-siang piauw Kiu Cian Jin, tempo pertemuan di Hoa San, dia tidak hadir, biarnya dia lihay, aku tidak percaya dia lihay luar biasa. Loo Boan Tong, bagaimana adanya ilmu silatmu, aku tahu baik sekali, selain beberapa orang yang sudah disebutkan barusan, kaulah yang nomor satu. Maka itu kalau kita berserikat, siapapun tidak bisa melawan kita!' Atas pendapat itu aku menjawab, 'Memang!' Oey lao Shia berkata pula. 'Maka itu, kenapa hatimu tidak tentram? Dengan adanya kita berdua di sini, siapakah di kolong langit ini sanggup merampas kitab itu?" "Aku pikir, dia benar juga, dari itu hatiku menjadi sedikit lega. Ketika aku mengawasi Nyonya Oey, ia tetap masih membalik-balik lembaran kitab. Terang ia membaca dari bermula. Mulutnya berkelemik tak hentinya. Melihat lagaknya itu, aku merasa lucu. Isinya Kiu Im Cin-keng rahasia semuanya, meski ia pandai surat, dengan kita tidak mengerti ilmu silat, tidak nanti ia dapat menangkap artinya. Ia membaca dengan perlahan, aku menjadi tidak sabaran. Ketika ia sudah membaca habis halaman terakhir, aku anggap, habis sudah ia membacanya. Siapa tahu, ia lantas mengulanginya dari mula pula. Hanya kali ini ia membacanya denagn cepat sekali, boleh dikata selama semakaman the saja, habislah sudah. Ia pulangi buku padaku, sembari tertawa ia berkata. 'Ciu Toako, kau kena diperdayakan See Tok. Kitab ini bukannya Kiu Im Cin-keng!' Aku kaget juga. 'Kenapa bukan?' aku menanya. 'Inilah kitab warisan kakak seperguruanku. Bukupun serupa macamnya.' Nyonya Oey itu kata. 'Apa gunanya kalau romannya saja yang sama? Kitab mu ini ada kitab tenungannya si tukang meramakan!'" Kwee Ceng terkejut. "Mungkinkah Auwyang Hong telah dapat menukarnya selama Ong Cinjin belum keluar dari peti mati?" Ia menanya. "Mulanya aku pun menerka demikian," Sahut Pek Thong. "Tapi Oey Lao Shia sangat licin, sedang perkataannya Nyonya oey itu aku tidak dapat percaya semuanya. Nyonya itu mengawasi aku, yang menjublak saja. Ia rupanya menduga aku bersangsi, maka ia berkata pula. 'Ciu Toako, bagimana bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang tulen? Tahukah kau?' Aku menjawab bahwa semenjak kitab itu berada di tangan kakak seperguruanku, tidak pernah ada orang yang membacanya. Kakak pun membilangi, selama tujuh hari tujuh malam ia bergulat mendapatkan kitab itu, maksudnya untuk menyingkirkan suatu akar bencana besar untuk kaum Rimba Persilatan, sama sekali ia tidak pernah memikir untuk memilikinya sendiri. Maka itu ia telah memesan semua murid Coan Cin Pay, siapa pun tidak boleh menyakinkan ilmu dalam kitab itu." "Ong Cinjin demikian jujur, ia mendatangkan hormatnya siapa juga,' berkata lagi Nyonya Oey, 'Hanya karena itu, kena diperdayakan orang. Ciu Toako, coba kau periksa kitab ini' Aku bersangsi, tetapi mengingat pesan kakak seperguruanku, aku tidak berani memeriksa kitab itu. 'Inilah kitab ramalan yang terdapat di mana-mana di wilayah Kanglam,' berkata pula Nyonya Oey, harganya tak setengah peser juga. Lagi pula, taruh kata inilah Kiu Im Cin-keng yang tulen dan kau tidak ingin mempelajarinya, apabila kau hanya melihat saja, apakah halangannya?' Aku terdesak, aku pun penasaran, maka akhirnya aku periksa kitab itu. Aku mendapatkan pelbagai pelajaran silat serta rahasianya, sama sekali itulah bukannya buku petang-petangan. Selagi aku memeriksa, Nyonya Oey berkata. 'Kitab semacam ini aku telah membacanya habis semenjak aku berumur lima tahun, aku dapat membacanya di luar kepala dari permulaannya sampai akhirnya. Kami anak-anak di Kanglam, dalam sepuluh, sembilan pernah bersekolah. Jikalau kau tidak percaya. Ciu Toako, mari aku membacanya untuk kau dengar.' Benar-benar ia membaca, dari kepala sampai dibuntut, membacanya dengan lancar. Aku merasakan tubuhku dingin. Lalu nyonya itu berkata pula. 'Halaman mana saja kau cabut dan tanyakan aku, asal kau menyebut kalimatnya, dapat aku membaca diluar kepala. Buku ini yang telah dibaca sejak masih kecil, sampai tua juga aku tidak dapat melupakannya. Aku ingin mencoba, aku uji ia beberapa kali. Benar-benar ia bisa membaca dengan hapal, tidak pernah ada yang salah. Maka itu, Oey Lao Shia tertawa terbahak-bahak. Aku menjadi sangat mendongkol, aku ambil kitab itu, aku merobek-robek, terus aku sulut dan bakar hingga hangus habis!" "Setelah itu mendadak Oey Lao Shia kata padaku. 'Loo Boan Tong, tidak usah kau ngambul dengan tabiat bocahmu itu! Nah ini bajuku yang berduri aku, aku hadiahkan padamu!' Aku tidak tahu bahwa aku telah dipermainkan. Aku hanya menduga, karena merasa tidak enak hati, hendak ia menghadiahkan kepadaku untuk membikin reda kemendongkolanku. Disamping mendongkol, aku pun mengerti tidak dapat aku memiliki pusaka Tho Hoa To, maka itu, aku tolah hadiah itu. Aku membilang terima kasih padanya, lantas aku pulang. Seterusnya aku mengunci pintu, menyekap diri di kampung halamanku, untuk menyakinkan ilmu silatku. Ketika itu belum sanggup aku menandingi Auwyang Hong, dari itu aku berlatih keras selama lima tahun. Aku memikir, setelah mendapatkan pelbagai macam ilmu, hendak aku pergi ke Wilayah Barat untuk mencari See Tok untuk meminta pulang kitab yang tulen itu." "Kalau toako pergi bersama Ma Totiang dan Khu Totiang, bukankah itu terlebih baik lagi?" Tanya Kwee Ceng. "Aku menyesal, karena tabiatku suka menang sendiri, aku kena dipermainkan orang," Menyahut Pek Thong. "Aku tidak mengerti bahwa aku sudah jadi bulan-bulanan. Memang, asal aku bicara dulu sama Ma Giok beramai, rahasia akan terbuka. Beberapa tahun selewatnya itu, lalu di kalangan kangouw tersiar berita bahwa muridnya Oey Lao Shia dari Tho Hoa To, yaitu Hek Hong Siang Sat, telah mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng, bahwa mereka sudah menyakinkan beberapa macam ilmu silat yang luar biasa, bahkan dengan ilmunya itu mereka pergi ke segala tempat untuk melakukan kejahatan. Mulanya aku tidak percaya, tetapi belakangan cerita itu semakin santer. Lagi lewat satu tahun, Khu Cie Kee datang padaku, dia memberitahukan bahwa ia telah mendapat kepastian benar Kiu Im Cin-keng sudah didapatkan murid-murid dari Tho Hoa To. Gusar aku mendengar warta itu. Aku kata dengan sengit, 'Oey Yok Su tidak pantas menjadi sahabat!' Khu Cie Kee heran, ia menanya apa sebabnya aku membilang begitu. Aku menjawab, 'Sebab dia pergi ke See Tok meminta pulang kitab itu, dia pergi dilaur tahuku, dan setelah mendapatkan itu, dia tidak segera membayar pulang padaku. Sedikitnya ia harus memberitahukan dulu.'" "Setelah Oey Tocu mendapat kitab itu, mungkin mulanya ia memikir untuk memberitahukan toako," Berkata Kwee Ceng. "Hanya diluar dugaannya, kitabnya itu kena dicuri muridnya yang jahat. Aku tahu betul, mengenai kejadian itu dia murka bukan main, hingga empat muridnya yang lainnya, yang tidak tahu apa-apa, sudah dipotong kakinya dan diusir." Ciu Pek Thong menggeleng kepala. "Kau sama jujurnya dengan aku," Dia berkata. "Umpama kata kau yang mengalami kejadian seperti itu, kau pasti tidak menginsyafi bahwa orang telah tipu padamu. Ketika itu Khu Cie Kee, selainnya membicarakan urusan itu, juga meminta pengajaran beberapa rupa ilmu silat padaku. Setelah beberapa hari, ia berangkat pergi. Sesudah lewat dua bulan, ia datang padaku. Kali ini ia membawa kabar kepastian bahwa Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong benar dapat ilmu kepandaian dari buku yang dicuri dari gurunya. Dengan menempuh bahaya, Khu Cie Kee mengintai Hek Hong Siang Sat dan mendengari pembicaraan mereka itu. Nyatanya Oey Lao Shia mendapatkan kitab Kiu Im Cin-keng itu bukan boleh merampas kitab dari tangan See Tok hanya boleh mencurinya dari tanganku sendiri." Kwee Ceng heran. "Toh terang-terangan toako telah bakar habis itu?" Katanya. "Mungkinkah nyonya Oey telah menukarnya dan toako diberikan kitab yang palsu?" "Tidak!" Sahut Pek Thong. "Di dalam hal itu aku telah berjaga-jaga. Selagi istrinya Oey Lao Shia membaca, tidak pernah aku memisahkan diri darinya. Dia tidak mengerti ilmu silat, umpama kata dia sangat gesit, dia tidak bakal lolos dari mataku. Bukankah kita yang pandai menggunai senjata rahasia mempunyai mata yang sangat awas? Dia bukannya menukar kitab hanya dia menggunai kecerdasan dan kekuatan otaknya untuk menghapalkan bunyinya kitab di luar kepalanya!" Kwee Ceng heran hingga ia menanya menegaskan. "Adikku, jikalau kau membaca sesuatu, berapa kali kau membacanya untuk kau dapat membaca pula di luar kepala?" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pek Thong tanya, sabar. "Yang gampang cukup dengan dua atau tigapuluh ulangan bacaan," Menjawab si adik angkat. "Yang sukar membutuhkan pembacaan dari enam sampai tujuhpuluh kali, mungkin delapan atau sembilanpuluh kali." "Kau benar, karena kau memang tidak terlalu berotak terang," Berkata kakak angkat itu. "Memang adikmu bebal sekali, toako. Baik dalam hal membaca buku baik pun dalam hal belajar ilmu silat, kemajuanku sangat lambat." Pek Thong menghela napas. "Tentang membaca buku kau tidak mengerti banyak," Katanya. "Mari kita bicara hal ilmu silat. Kalau gurumu mengajarkan kau suatu rupa ilmu silat, bukankah itu memerlukan pengajaran berulang-ulang beberapa puluh kali baru kau mengerti?" Mukanya Kwee Ceng menjadi merah. "Benar," Sahutnya. "Akan tetapi di dalam dunia ini ada orang yang asal melihat orang berlatih dalam sesaat saja dapat ia menintainya." "Itulah benar. Umpama putrinya Oey Tocu, Ang Insu mengajari dia cukup dua kali, tidak pernah sampai tiga kali." "Nona itu demikian cerdas otaknya, mungkin dia akan berumur pendek seperti ibunya," Kata Pek Thong perlahan. "Ketika itu hari Nyonya Oey meminjam lihat kitab, ia cuma membacanya dua kali, toh ia tidak melupakan satu huruf jua. Rupanya setelah berpisah dari aku, segera ia mengambil pit dan kertas untuk mencatatnya, setelah mana ia memberikan itu kepada suaminya." Kwee Ceng heran hingga ia terperanjat. "Nyonya Oey tidak mengerti tentang kitab itu, cara bagaimana dia sanggup menghapalkannya?" Katanya. "Kenapa di kolong langit ini ada orang yang demikian terang otaknya?" "Aku rasa sahabatmu yang cilik itu, yaitu Nona Oey pun dapat berbuat demikian," Mengatakan Ciu Pek Thong. "Setelah mendapat keterangannya Khu Cie Kee itu, aku lantas memanggil berkumpul tujuh murid Coan Cin Pay, untuk mendamaikan urusan itu, guna bisa memaksa Hek Hong Siang Sat membayar pulang kitab itu. Khu Cie Kee mengusulkan untuk aku jangan turut turun tangan. Dia kata biarnya Hek Hong Siang Sat lihay, tidak nanti mereka itu dapat mereka melawan mereka bertujuh. Katanya kalau aku turun tangan sendiri, aku ditertawankan kaum kangouw. Bukankah aku dari tingkat terlebih tinggi dan mereka itu lebih rendah? Aku setuju. Lantas aku menyuruh Cie Kee berdua Cie It yang mencari Hek Hong Siang Sat dan lima lainnya mengawasi saja, supaya mereka itu tidak dapat meloloskan diri. Ketika Khu Cie Kee sampai di Hoolam, Hek Hong Siang Sat telah lenyap. Kemudian didapat keterangan Hek Hong Siang Sat sudah kabur sebab mereka dikepung Liok Seng Hong, satu murid lainnya dari Oey Lao Shia. Untuk itu Seng Hong mengumpulkan banyak kawan jago-jago dari Tionggoan. Tidak urung, mereka itu bisa lolos dan lenyap. Kwee Ceng mengangguk. Ia berkata. "Pantas kalau Liok Chungcu membenci Hek Hong Saiang Sat. Dia diusir gurunya tanpa bersalah, cuma disebabkan Hek Hong Siang Sat yang bersalah, yang sudah mencuri kitab." "Aku tidak dapat mencari Hek Hong Siang Sat itu, sudah tentu aku mencari Oey Lao Shia. Oleh karena aku khawatir nanti terhilang pula, aku bawa-bawa Kiu Im Cie-keng bagian atas itu. Setibanya di Tho Hoa To, aku tegur Oey Lao Shia. Dia kata padaku, 'Pek Thong, aku Oey Yok Su, jikalau akau kata satu, tentu satu. Aku telah bilang tidak nanti aku melihat kitabmu itu, aku pegang perkataanku! Kapannya aku melihat kitabmu itu? Kiu Im Cie-keng yang aku baca ialah yang dicatat oleh istriku, hal itu tidak ada sangkutannya dengan kau!' Aku tidak mau mengerti, maka itu kita jadi berselisih. Lantas aku minta dia kasih aku bertemu sama istrinya. Atas itu aku melihat ia meringis, romannya berduka, lantas ia ajak aku ke ruang dalam. Di sana aku terkejut untuk apa yang aku lihat, Istrinya sudah meninggal dunia, di situ terlihat cuma meja abunya beserta sincienya. Aku ingin memberi hormat pada arwah Nyonya Oey itu, tetapi Oey Lao Shia kata padaku dengan dingin. 'Loo Boan Tong, tidak usah kau berpura-pura! Coba kau tidak mengoceh tentang kitab tulen dan yang palsu, tidak nanti istriku meninggalkan aku!' Aku jadi heran. 'Apa katamu?' aku tanya. Dia tidak menjawab, dia mengawasi aku dengan murka. Kemudian mendadak saja air matanya mengalir. Lewat sesaat baru ia suka menerangkan tentang meninggalnya istrinya itu." "Apakah sebabnya itu, toako?" "Istrinya Oey Lao Shia itu ada seorang yang otaknya terang luar biasa, untuk suaminya itu ia sudah mengingat baik-baik bunyinya kitab Kiu Im Cin-keng yang ia pinjam lihat dari aku hanya dua kali membaca. Oey Yok Su baru mendapatkan bagian bawah, ingin juga ia mendapatkan bagian atasnya, sesudah berhasil mendapatkan itu baru ia hendak menyakinkannya sekalian. Apa mau kitabnya itu kena dicuri oleh Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong, kedua muridnya itu. Untuk menghibur suaminya, Nyonya Oey hendak membuat catatan yang baru. Ia sebenarnya tidak mengerti maksudnya kitab, sukar untuk ia mengingat-ingat pula karena waktunya telah berselang lama. Kebetulan itu waktu, istrinya itu lagi mengandung sudah delapan bulan. Keras Nyonya Oey ini berpikit, mengingat-ingat, selama beberapa malam ia dapat mencatat pula tujuh sampai delapan ribu huruf tetapi semua itu tidak tepat hubungannya satu dengan lain. Oleh karena ia terlalu memeras otak, ia menjadi lelah, akhirnya melahirkan belum waktunya. Bayinya itu satu anak perempuan. Oey Yok Su pandai sekali tetapi tidak dapat ia merebut jiwa istrinya, yang ia sangat cintai. Memangnya ia bertabiat aneh dan suka menimpakan kesalahan kepada orang lain. Demikian kali ini, saking bersedih, pikirannya seperti terganggu. Terhadap aku, ia mengoceh tidak karuan. Aku tahu tabiatnya itu, aku mengerti kedukaannya, aku tidak sudi melayani dia. Aku pun berkasihan padanya. Sambil tertawa aku berkata padanya, 'Kau gemar silat, bagimana kau dapat menyintai istrimu sampai begini, apakah kau tidak khawatir, orang nanti ketawakan kau?' Atas itu, dia menjawab,' Kau tidak tahu, istriku ini lain daripada istri orang kebanyakan.' Aku kata pula, 'Kau telah kehilangan istrimu, inilah waktunya untuk kau menyakinkan ilmu silatmu. Coba kau jadi aku jadi kau, inilah ketika baik yang aku harap sekali.'" Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo