Pendekar Pemanah Rajawali 42
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 42
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Dari lubang hidung ia merasakan hembusan napas yang semakin lemah. Setelah itu ia hendak memeriksa luka, atau matanya bentrok sama sinar berkilauan warna kuning emas dari pinggangnya Kwee Ceng. Karena ini sekarang ia melihat sebuah pisau belati nacap di pinggang! Baru sekarang Oey Yong dapat menyabarkan diri. Dengan hati-hati ia membukai baju dalam dari si anak muda, dengan begitu ia melihat jelas nancapnya pisau itu. Darah disitu sudah mulai bergumpal. Kelihatannya pisau masuk kira tiga dim dalamnya. Nona ini menjadi bersangsi. Ia tidak berani lantas mencabut pisau itu, khawatir nanti Kwee Ceng lantas menghembuskan napasnya yang terakhir. Kalau ia tidak mencabut, sebaliknya ia memperlambat tempo. Ini pun membahayakan untuk si anak muda. Ia berpikir keras. Akhirnya ia menggertak gigi, tangannya diulurkan. Ingin ia mencabut, mendadak ia menarik pulang tangannya itu. Tiba-tiba saja ia bimbang sendirinya. Kesangsian si nona berjalan terus, maka beberapa kali ia hendak mencobanya mencabut pisau belati itu, saban-saban ia gagal pula. Sa Kouw menyaksikan kesangsian orang, ia menjadi tidak sabaran. Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangannya dengan sebat ia mencabut pisau itu. Kwee Ceng menjerit, begitu pun Oey Yong. Si pemuda bahna sakit, si pemudi saking kaget. Si tolol sebaliknya girang sekali, ia tertawa tebahak-bahak. Ia masih tertawa ketika Oey Yong kaget melihat darah mengalir keluar dari lukanya engkonya itu. Saking berkhawatir dan mendongkol, ia sampok si tolol itu hingga dia terguling, setelah mana ia menggunai sapu tangannya menyumpat luka Kwee Ceng, untuk mencegah keluarnya terus darah itu. Dengan jatuhnya Sa Kouw, obor cemara di tangannya pun padam. Si tolol menjadi gusar, ketika ia berlompat bangun, ia menendang. Oey Yong tidak menangkis, ia membiarkan pahanya kena ditendang. Sa Kouw khawatir si nona nanti membalas, ia memutar tubuhnya untuk berlalri. Tidak lama ia mendengar nona Oey menangis. Ia menjadi heran, maka ia kembali. Ia menyalakan lagi obor cemaranya. "Apakah kau kena tertendang sakit?" Ia menanya Oey Yong. Nona itu tidak menyahut, ia hanya berlutut mendampingi Kwee Ceng. Pemuda itu pingsan karena rasa nyerinya, sesaat kemudian ia baru mendusin. "Apakah surat wasiatnya Gak Bu Bok kena mereka curi?" Kwee Ceng menanya. Itulah hal yang ia ingat paling dulu. Oey Yong girang mendengar orang dapat bicara, meskipun suaranya lemah. "Jangan khawatir, penjahat itu tak dapat turun tangan" Ia menyahut. Ia tentu saja berdusta, karena ia tidak ingin orang menjadi kaget dan bersusaah hati. Sebenarnya ia ingin menanyakan lukanya si anak muda, ketika ia merasakan tangannya hangat-hangat, disebabkan darah yang baru keluar dari pinggang Kwee Ceng itu. "Eh, Yong-jie, kenapa kau menangis?" Menanya Kwee Ceng yang baru sekarang melihat si nona berlinang-linang air matanya. "Aku tidak menangis," Kata Oey Yong, yang paksakan diri untuk tertawa. "Dia menangis tadi!" Sa Kouw campur mulut. "Kau hendak menyangkal? Apakah kau tidak malu? Lihat, mukamu masih ada air matanya!" "Yong-jie, jangan takut," Kwee Ceng menghibur. "Di dalam Kiu Im Cin-keng ada terdapat cara-cara untuk mengobati luka, aku tidak bakalan mati." Mendengar itu, Oey Yong merasakan di dalam kegelapannya ia memperoleh pelita. ia girang. Tadinya ia mau minta penjelasan tentang obat itu, niat ini ia batalkan, khawatir si anak muda nanti menjadi letih. Maka ia ambil obor dari tangannya si tolol. "Enci, tadi aku kena serang kau, apakah kau sakit?" Ia menanya sambil tertawa. "Ah, kau menangis, tidak dapat kau menyangkal!" Kata si tolol yang tidak memperdulikan pertanyaan orang. Ia hanya mengingat penyangkalan nona ini. "Ya, benar, aku menangis," Kata Oey Yong tersenyum. "Kau sendiri tidak menangis, kau baik sekali." Mendengar dirinya di puji, Sa Kouw menjadi sangat girang. Kwee Ceng sendiri repot meluruskan pernapasannya, dengan begitu rasa sakitnya berkurang. "Coba kau memakai jarum emasmu menusuk beberapa kali jalan darahku ceng-ciok dan siauw-yauw," Katanya perlahan pada Oey Yong. "Ah, aku menjadi bodoh!" Kata si nona, terperanjat. Dengan lekas ia mengeluarkan sebatang jarumnya dan terus bekerja. Tiga kali ia menusuk di pinggang kiri di mana ada dua jalan darah yang disebutkan itu. Tusukan ini membantu memperlambat mengalirnya darah dan pun mengurangi rasa nyeri. "Luka di pinggangku ini, Yong-jie, meskipun dalam, tetapi tidak berbahaya," Kwee Ceng kata pula, suaranya tetap perlahan. "Yang hebat ialah serangan Kap-mo-kang dari si Bisa bangkotan, syukurlah ia tidak menggunai sepenuhnya tenaganya, dengan begitu aku masih dapat ditolong, cumalah dengan begitu kau bakal menderita merawati aku tujuh hari tujuh malam" "Biarnya aku bersengsara tujuhpulh tahun, untukmu aku senang," Menyahut si nona, cepat. Kwee Ceng terharu sekali, hatinya menggetar hampir ia pingsan pula. Ia berdiam akan menenangkan diri. "Sayang suhu pun terluka," Katanya kemudian. "Sudahlah, kau jangan terlalu banyak pikir," Mencegah Oey Yong sekalian menghibur. "Sekarang ini kau mesti berdaya mengobati lukamu sendiri, supaya orang lega hatinya." "Sekarang perlu kita mendapatkan dulu tempat yang tenang," Berkata Kwee Ceng. "Disana aku nanti mengobati diriku dengan bantuanmu. Menurut ajaran kitab, kita mesti mengadu tenaga bergantian dengan sama-sama mengendalikan napas. Dengan jalan begitu kau membantu aku dengan tenaga dalammu. Seperti aku bilang tdai, sulitnya ialah tempo yang mesti digunakan mesti tujuh hari tujuh malam, selama mana tak boleh kedua tangan kita berpisahan. Pikiran kita berdua bersatu padu, dapat kita berbicara tetapi tidak boleh ada orang yang ketiga yang menyelak menyampur bicara. Pula tidak dapat kita bangun atau berjalan sekalipun setengah tindak. Jikalau ada orang yang mengganggu kita, maka." Oey Yong mengerti cara pengobatan itu, yang sama dengan orang semadhi, ialah sebelumnya berhasil tidak boleh ada gangguan, gangguan menggagalkan dan bisa mendatangkan bahaya juga. Ini sebabnya, siapa tengah bersemadhi, ia membutuhkan kawan yang menjaga di sampingnya, guna mencegah gangguan yang tidak diinginkan itu. Ia jadi berpikir. "Aku perlu membantu dia, di sini tidak ada orang lain, siapa yang dapat melindungi? Sa Kouw tidak dapat diandalkan, dia terlalu tolol, malah mungkin dialah yang nanti merecoki. Juga di mana bisa didapatkan tempat sunyi di dalam waktu sesingkat ini? Umpama kata Ciu Toako datang kemari masih belum tentu ia sanggup menjagai kita selama tujuh hari tujuh malamBagaimana baiknya sekarang?" Kembali ia berpikir keras, matanya memandang tajam ke sekelilingnya. Mendadak ia melihat tempat menyimpan mangkok dan lainnya. "Ada!" Pikirnya sejenak. "Kenapa aku tidak mau sembunyi di dalam kamar rahasia itu? Dulu hari Bwee Tiauw Hong tidak mempunyai pembela, dia sembunyi di dalam gua" Ketika itu sang pagi mulai terang dan Sa Kouw pergi ke dapur untuk masak bubur. "Engko Ceng, kau boleh beristirahat," Berkata Oey Yong. "Aku hendak pergi sebentar untuk membeli barang makanan, sekembalinya aku, kita mulai berlatih sambil menyembunyikan diri." Kwee Ceng menurut, ia membiarkan kekasihnya itu pergi. Oey Yong pergi ke kampung. Sembari jalan ia pikirkan apa yang ia mesti beli. Tidak sembarang barang dapat disimpan selama tujuh hari tujuh malam, atau barang itu bakal rusak dan bau dan tidak dapat dimakan lagi. Ia tidak usah berpikir lama atau menjadi bingung karenanya. Ia lantas membeli dua pikul semangka, yang ia minta tukang jualnya pikul ke rumah Sa Kouw. Setelah menerima uang, si tukang semangka berkata. "Nona, inilah semangka Gu-kee-cun, manis dan lezat rasanya, bila kau sudah mencobainya, baru kau tahu!" Terperanjat Oey Yong akan mendengar nama desa ini, ialah Gu-kee-cun. "Kalau begitu, inilah kampung halamannya engko Ceng," Pikirnya. Ia menjadi berkhawatir pemuda itu terganggu pikirannya apabila dia ketahui ini kampungnya, maka ia lantas menyahuti sembarangan saja asal si tukang semangka lekas pergi. kemudian lekas-lekas ia masuk ke dalam. Ia mendapatkan Kwee Ceng lagi tidur dan darah dari lukanya sudah berhenti mengalir. Sedangnya pemuda itu tidur, ia lantas bekerja. Ia membuka pintu dapur, terus ia putar pesawat rahasianya, akan masuk ke dalam kamar rahasia. Ke dalam situ ia angkut masuk semua semangkanya. Kepada Sa Kouw ia memesan wanta-wanti agar si tolol jangan beritahukan siapa juga yang mereka berdua berada di dalam kamar rahasia itu, dan meski ada peristiwa bagaimana hebat, si nona dilarang menerbitkan suara berisik. Sa Kouw tidak mengerti maksud orang akan tetapi ia menginsyafi, karena ia menampak bicara dan gerak-gerik tamunya ini sangat sungguh-sungguh. "Baik," Katanya mengangguk. "Kamu hendak makan semangka sambil menyembunyikan diri di kamar ini, kamu hendak memakan habis dulu semua semangka, baru kamu akan keluar lagi. Baiklah, sekarang tidak akan bicara!" "Memang, Sa Kouw tidak akan bicara!" Kata Oey Yong, sengaja mengangkat. "Sa Kouw memang anak baik, kalau Sa Kouw bicara, dia anak buruk!" "Sa Kouw tidak akan bicara, Sa Kouw anak baik!" Si tolol mengulangi. Tidak lama Kwee Ceng sadar, ia diberikan bubur satu mangkok besar. Oey Yong pun memakannya semangkok. Habis dahar, nona ini mendukung pemuda itu masuk ke dalam kamar rahasia. Ketika ia menoleh keluar pintu, ia lihat Sa Kouw mengawasi mereka sambil tertawa si tolo berkata. "Sa Kouw tidak akan bicara!" Mendapatkan orang demikian tolol, Oey Yong menjadi berkhawatir. "Dia begini tolol, ada kemungkinan dia nanti sembarangan bicara sama siapa saja. Bagaimana kalau dia membilangnya, 'Mereka sembunyi di dalam sini memakan semangka, Sa Kouw tidak akan bicara'? Kelihatannya cuma dengan dibunuhnya baru lenyap ancaman untuk kita" Biarnya ia jujur dan polos Oey Yong tidak menghiraukan tentang wales asih atau kepantasan, sesat atau sadar, maka itu ia pun tidak pernah mau pikir, ada hubungan apa di antara Sa Kouw dan Kiok Leng Hong. Sekarang ia melainkan pikirkan keselamatannya Kwee Ceng, yang mesti ditolongi dan dilindungi. Untuk Kwee Ceng, ia bersedia umpama kata mesti membunuh Sa Kouw. Maka ia lantas ambil pisau belatinya si anak muda. Disaat ia hendak pergi keluar, matanya bentrok sama sinar mata si pemuda itu, sinar kaget atau luar biasa. Ia memikir. "Mungkinkah dia dapat melihat sinar pembunuhan pada wajahku?" Lantas ia ingat. "Tidak apa aku membunuh Sa Kouw, hanya bagaimana nantinya, engko Ceng sembuh? Bagaimana aku harus membilangnya apabila ia menanyakan? Mesti dia bakal membikin banyak berisik" Nona ini menjadi ragu-ragu. "Engko Ceng baik dan halus budi pekertinya," Ia berpikir lebih jauh. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ada kemungkinan dia bakal tak menyebut-nyebut Sa Kouw, tetapi siapa tahu apabila ia terus-menerus membenci aku? Ah, sudahlah, biarlah kita mencoba menempuh bahaya.!" Oey Yong lantas mengunci pintu. Kemudian ia meneliti seluruh ruang itu. Di ujung barat ada sebuah lobang angin atau dari mana masuk sinar terang, maka di siang hari, sinar terang itu dapat menerangi ruang. Di tembok ada sebuah lobang angin kecil, yang ketutupan debu, lalu debu itu disingkirkan. Kwee Ceng duduk menyender di tembok. Ia bersenyum. "Tidak ada tempat yang baik untuk beristirahat daraipada ini," Katanya. "Kau bakal menemani dua mayat, apakah kau tidak takut?" Oey Yong tertawa meskipun sebenarnya ia risi juga. "Yang satu kakak seperguruanku, tidak nanti ia mengganggu aku," Sahutnya. "Yang satu lagi perwira kantung nasi, hidupnya aku tidak takuti, apapula sesudah dia mati!" Sembari berkata, ia mendupaki jerangkong itu ke pojok Utara, kemudian ia menghampasr rumput kering. Kemudian lagi ia geser semua semangka, untuk didekati kepada mereka berdua, supaya gampang diambil dengan mengulur tangan saja. "Bagus tidak begini?" Ia tanya Kwee Ceng akhirnya. "Bagus!" Menjawab orang yang ditanya. "Sekarang mari kita mulai berlatih!" Oey Yong membantui pemuda itu mengambil tempat duduk di atas rumput, ia sendiri lantas duduk besila di depannya, sedikit di sebelah kiri, darimana, dengan berpaling, ia bisa mengintai ke lobang angin di tembok itu. Untuk girangnya, ia mendapatkan sebuah kaca rasa di sana, dengan perantaraan kaca itu, ia bisa melihat ke luar. Maka itu, ia memuji si pembangun kamar rahasia, yang demikian teliti dengan pembuatan kamarnya itu. Orang sembunyi tapi berbareng orang pun bisa melihat ke luar. So Kouw duduk seorang diri di tanah sambil tangannya menggapai kaca ular sutera, mulutnya bergantian ditutup dan dibuka, suaranya perlahan. Oey Yong memasang kupingnya, mendengari, maka tahulah ia, si tolol lagi menyanyikan lagu meninabobokan anak kecil supaya tiudr. Mulanya ia merasa lucu tetapi kemudian ia merasakan suara itu halus dan mengharukan. Tanpa merasa ia berpikir; "Adakah ini nyanyian ibunya dulu hari untuk ia mendengarinya? Kalau ibuku tidak telah menutup mata, ibupun akan menyanyikan aku begini rupa." "Yong-jie, kau memikirkan apa?" Tanya Kwee Ceng mendapatkan orang berdiam saja. "Lukaku tidak berbahaya, kau jangan bersusah hati." Oey Yong mengusap-usap matanya, ia tertawa. "Sekarang lekas kau ajari aku caranya menyembuhkan lukamu," Ia berkata. Kwee Ceng menurut, dengan perlahan ia membaca di luar kepala kitab Kiu Im Cin-keng bagian pengobatan luka-luka. Isinya pasal ini menjelaskan luka disebabkan serangan tenaga dalam, bagaimana ia harus dilawan untuk memulihkan kesehatan. Cuma mendengar satu kali saja, Oey Yong telah dapat menghapalkan itu. Cuma beberapa bagian yang kurang jelas, dengan menyakinkan bersama, ia pun akan dapat mengerti. Maka itu, dilain saat, mereka sudah mulai berkatih. Dua orang ini cocok satu sama lain, sebab si pemuda berbakat baik, si pemudi cerdas sekali. Mereka berlatih dengan Oey Yong mengeluarkan tangan kanannya, yang mana ditahan oleh Kwee Ceng dengan telapakan tangan kirinya, kemudian mereka saling menolak dengan menukar tangan. Latihan ini dilakukan dua jam sekali maka itu, diwaktu beristirahat dengan tangan kirinya Oey Yong memotong semangka, yang separuh untuk Kwee Ceng, yang separuh lagi untuknya sendiri. Selagi makan buah itu, tangan mereka yang sebelah ditempelkan terus satu pada lain. Sesudah berlatih hingga jam bie-sie, satu atau dua lohor, Kwee Ceng merasakan dadanya sedikit lega, tak pepat seperti semula. Terang itu tanda telah berjalannya hawa hangat dari tangann Oey Yong, yang masuk ke dalam tubuhnya sendiri. Dengan begitu, rasa nyeri di pinggangnya turut berkurang juga. Hal ini membuatnya girang, hingga ia jadi berlatih semakin bersungguh-sungguh. Ketika tiba pada istirahat yang ketiga kali, dari lobang di atas terlihat masuknya sinar matahari yang lemah. Itulah tanda dari telah datangnya sang sore. Cuaca jadi semakin guram. Denga berlalunya sang tempo, Kwee Ceng merasa semakin lega pernapasannya, dan Oey Yong pun bertambah segar. Dengan begitu, mereka bisa melewati tempo beristirahat itu dengan memasang omong. Tidak lama keduanya hendak mulai latihannya terlebih jauh, kuping mereka mendapat dengar suara berlari-lari keras ke arah rumah makan dan berhenti di depan pondokan. Setelah itu terdengar masuknya beberapa orang, sebagaimana itu ternyata dari tindakan kaki mereka yang ramai. "Lekas sediakan nasi dan lauk pauknya!" Begitu terdengar satu suara keras dan kasar. "Tuan-tuan besarmu sudah kelaparan hingga mau mati." Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Mereka mengenali suaranya Sam tauw-kauw Hauw Thong Hay. Si nona lantas mengintai dari liang kecil di tembok di sisinya. Sekarang ia mendapat kepastian itulah rombangan musuh mereka sebab mereka adalah Wanyen Lieh bersama Yo Kang, Auwyang Hong, Pheng Lian Houw, Nio Cu Ong dan See Thong Thian. Sa Kouw tidak kelihatan, setahu mana perginya si tolol itu. Hauw Thong Hay menghajar meja kalang kabutan, masih tidak ada suara penyahutan untuknya. Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong memperhatikan rumah itu, lalu mereka mengerutkan kening mereka. "Tidak ada orang di sini" Kata Cu Ong. "Kalau begitu, biarlah pada pergi ke kampung untuk membeli makanan!" Kata Thong Hay, ia mendongkol tetapi ia sudi gawe. Pheng Lian Houw tertawa, dia kata. "Hebat kawanan Gie-lim-kun itu, mereka ada kawanan kantung nasi tetapi mereka bisa telasap-telusup di segela tempat, mereka membuatnya arwah-arwah pun tak man, hingga sekarang kitalah yang untuk satu hari lamanya tak dapat gegares! Ongya adalah orang Utara tetapi ongya ketahui di sini ada ini dusun sunyi senyap. Hebat!" Wanyen Lieh tahu orang mengangkat-angkat padanya tetapi ia tidak jadi kegirangan hingga terkentarakan pada air mukanya, sebaliknya, ia nampak masgul. "Pada sembilanbelas tahun yang lalu, pernah aku datang ke mari," Katanya sambil menghela napas. Orang melihat wajah pangeran ini, yang agaknya berduka, mereka heran. tentu sekali mereka tidak tahu, pada sembilanbelas tahun yang lampau itu, di situ Pauw Sek Yok telah menolongi jiwanya dari ancaman bahaya maut. Mereka ini tidak usah menanti lama atau Hauw Thong Thay telah kembali bersama arak dan barang makanan, maka Pheng Lian Houw segera menuangi arak untuk mereka masing-masing, kemudian ia berkata pada si pangeran. "Hari ini ongya mendapatkan surat wasiat, itulah bukti yang Negara Kim yang terbesar bakal menggentarkan pengaruhnya di kolong langit, dari itu kami semua hendak memberi selamat kepada ongya! Saudara-saudara mari minum!" Ia pun mengangkat cawanya, untuk cegluk kering isinya. Nyaringnya suara Pheng Lian Houw ini, Kwee Ceng dari tempatnya sembunyi dapat mendengar itu. Pemuda ini menjadi terkejut. "Kalau begitu berhasillah mereka mencuri surat wasiat Gak Ongya!" Pikirnya. Begitu ia berpikir demikian begitu ia merasakan napasnya sesak. Oey Yong terkejut. Kagetnya si pemuda ia dapat merasakan pada tangannya, yang terus menempel sama tangannya si pemuda itu. Ia mengerti sebabnya gangguan itu. Itulah berbahaya untuk si anak muda. Maka lekas-lekas ia geser kepalanya, untuk mendekati kuping orang untuk berbisik. "Ingat kesehatanmu! Mereka dapat mencuri pulang! Asal gurumu yang kedua turun tangan, lagi sepuluh surat wasiat pun ia dapat curi!" Kwee Ceng anggap kata-kata itu benar. Ia mengetahui baik kepandaiannya gurunya yang nomor dua itu ialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay. Maka itu ia berdaya untuk menentramkan diri, tak suka ia mendengari lebih jauh pembicaraan mereka itu. Ia meramkan kedua matanya. Oey Yong mengintai pula, justru Wanyen Lieh mengangkat cawan araknya. Habis mencegluk, pangeran ini kata dengan gembira. "Semuanya siauw-ong mengandal kepada tuan-tuan. Jasa Auwyang Sianseng ialah yang nomor satu! Jikalau tidak sianseng mengusir bocah she Kwee itu pastilah kita mesti bekerja lebih sulit lagi." Auwyang Hong tertawa kering, suaranya bagaikan cecer pecah. Kwee Ceng berdenyut hatinya mendengar tertawanya orang itu. Oey Yong pun bingung, hingga ia berkata seorang diri. "Berterima kasih kepada langit dan bumi, biarlah ini makhluk berbisa tua bangka jangan ngoceh lebih lama di sini, bisa-bisa engko Ceng nanti bercelaka karenanya" "Tempat ini sangat mencil dan sunyi," Berkata Auwyang Hong. "Tidak nanti tentara Song dapat menyusul kita sampai di sini. Sebenarnya apa itu surat wasiat Gak Bu Bok, baiklah kita sama melihatnya, untuk menambah pemandangan kita." Sembari berkata, ia merogoh sakunya untuk mengeluarkan itu kotak batu, yang mana ia letaki di atas meja. Di mulut See Tok mengatakan demikian, di dalam hatinya ia sudah mengambil kepastian apabila ia mendapatkan surat wasiat itu berfaedah, hendak ia merampasnya untuk menjadi miliknya sendiri, kalau itu hanya ilmu perang biasa, yang baginya tak ada pentingnya, suka ia mengalah dan menyerahkannya kepada Wanyen Lieh, dengan begitu ia menjadi berbuat jasa untuk pangeran itu. Sejenak itu, semua mata diarhkan kepada kotak batu itu., Oey Yong melihat semua itu, segera otaknya bekerja. "Cara apa aku mesti ambil untuk dapat memusnahkan surat wasiat itu?" Demikian pikirnya. "Kemusnahan adalah yang terlebih baik daripada surat wasiat itu jatuh ke dalam tangannya ini manusi-manusia jahat dan berbahaya.!" Lalu terdengar suaranya Wanyen Lieh. "Ketika siauw-ong memeriksa surat peninggalannya Gak Hui itu, yang bunyinya seperti teka-teki, lalu itu dihubungi sama catatan hikayat beberapa kaisar di dalam istananya kaisar she Tio itu, maka tahulah siauw-ong surat wasiat ini disimpan di Cui Han Tong, di simpan di dalam kotak batu yang berada limabelas tindak di arah Timurnya. Buktinya sekarang, duagaanku itu tidak salah. Aku mau percaya, tak ada orang yang ketahui kenapa telah terjadi pengacauan kita di dalam istana semalam.." Kelihatannya pangeran ini sangat puas, lebih-lebih setelah kembali orang memuji padanya. Wanyen Lieh mengurut kumisnya. "Anak Kang, kau bukalah kotak itu!" Ia memerintah. Yo Kang menurut perintah. Ia maju, menghampirkan. Lebih dulu ia menyingkirkan segelannya kotak, habis itu ia membuka tutupnya. Maka ke dalam situ menyorotlah sinar matanya semua orang. Apa yang dilihat membuatnya semua hadiran menjadi tercengang bahna herannya, sehingga untuk sesaat itu tak ada seorang jua yang dapat membuka suaranya. Semua mata diarahkan tajam ke dalam kotak batu, yang diharap isinya istimewa, siapa tahu kotak itu ternyata kosong melompong, tidak ada serupa benda juga di dalam situ, jangan kata surat wasiat tentang siasat perang, sehelai kertas kosong pun tidak kedapatan. Oey Yong tidak dapat turut melihat isinya kotak, tetapi ia melihat tegas wajah semua orang, maka maulah ia menduga untuk kosongnya kotak itu. Diam-diam ia bersyukur. Wanyen Lieh menjadi sangat lesu, ia duduk dengan memegangi meja, sebelah tangannya menunjang janggut. Ia berpikir keras sekali. Di dalam hatinya ia kata. "Aku telah memikir matang, aku menduga surat wasiat itu berada di dalam kotak ini, kenapa surat itu tak ada sekalipun bayangannya?" Begitu ia memikir demikian, begitu ia mendapat pikiran, wajahnya pun menjadi bercahaya saking gembiranya. Ia sambar kotak itu, terus ia bertindak ke cimchee, di sini dengan tiba-tiba ia banting kotak ke lanti batu! Dibarengi suara nyaring, kotak itu pecah menjadi beberapa keping. Oey Yong cerdas, kupingnya lihay, dari suara pecahnya kotak itu, ia mendapat tahu kotak sebenarnya terdiri dari dua lapis, artinya ada lapisan dalamnya. "Ah, siapa sangka kotak ini ada lapisannya?" Katanya di dalam hati. Ia dapat menduga demikian, tetapi bukannya ia girang karena dugaannya itu tepat, ia justru menjadi masgul. Percuma menduga dengan berhasil, ia sendiri tidak bisa muncul untuk mendapatkan kepastian. Tapi ia tak usah bergelisah lama-lama, atau Wanyen Lieh tertampak sudah kembali ke mejanya seraya berkata. "Aku sangka kotak itu ada lapisan dalamnya, tak tahunya isinya tidak" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia lesu sekali. Lian Houw semua heran, mereka ramai membicarakan kotak itu. "Ah, siapa sangka!" Pikir Oey Yong, hatinya lega, hingga di dalam hatinya ia tertawai mereka itu. Ia berbisik pada Kwee Ceng, akan memberitahukan Wanyen Lieh belum berhasil memdapatkan surat wasiatnya Gak Hui. Kwee Ceng pun lega hatinya mendengar keterangan itu. "Aku lihat kawanan penjahat ini belum mati hatinya, meski mereka bakal pergi pula ke istana," Oey Yong mengutarakan dugaannya. Karena ini ia menjadi berkhawatir untuk gurunya, yang masih berada di dapur istana. Ada kemungkinan guru itu bakal diperogoki. Benar di sana ada Ciu Pek Thong yang melindungi tetapi Pek Thong bangsa berandalan, yang edan-edanan. Jitu juga dugaanya nona Oey ini. Segera terdengar suaranya Auwyang Hong. "Keggagalan kita ini tak berarti banyak, sebentar malam kita pergi pula ke istana, untuk mencari terlebih jauh!" "Malam ini tak dapat," Wanyen Lieh mencegah. "Tadi malam keadaan kacau sekali, tentu karenanya penjagaan diperkeras." "Memang penjagaan tetap dilakukan, itu pun tidak berarti," Berkata Auwyang Hong. "Ongya bersama sie-cu malam ini tak usah turut, baiklah ongya berdua beristirahat di sini bersama keponakanku." "Dengan begitu kembali siauw-ong membikin sianseng bercapai lelah," Kata pangeran Kim itu sambil memberi hormat. "Baiklah siauw-ong menanti kabar baik saja." Pembicaraan mereka berhenti sampai di situ. Habis bersantap Wanyen Lieh merebahkan diri di hamparan rumput, ditemani putra angkatnya dan Auwyang Kongcu, dan Auwyang Hong bersama yang lainnya lantas pergi memasuki kota, untuk menyerbu ke istana. Wanyen Lieh tak dapat tidur, ia golek-golek saja. Ia memikirkan surat wasiat dan kepergian sekalian pahlawannya itu. Ia merasa tidak enak waktu kupingnya mendengar seekor anjing kampung membaung dan mengulun, suaranya sangat menyedihkan, tak sedap masuk ke kupingnya. Ia menjadi tak tentram dan masgul. Belum lama pada pintu terdengar suara. Rupanya daun pintu ada yang tolak, sebab segera terlihat masuknya satu orang. Ia menggeraki tubuhnya, buat bangun berduduk, tangannya memegang gagang pedang. Yo Kang telah berlompat ke belakang pintu, menyembunyikan diri, bersiap sedia. Yang datang itu satu nona dengan rambut riap-riapan, mulutnya memperdengarkan nyanyian perlahan. Ia menolak pintu untuk masuk terus. Dialah Sa Kouw, yang tadi pergi bermain di rima dekat rumahnya dan sekarang baru kembali. Ia melihat ada orang asing di rumahnya itu, ia tidak mengambil mumat, langsung ia pergi ke tumpukan rumput tempat ia bisa tidur. Begitu ia merebahkan dirim segera terdengar suara napasnya menggeros. Melihat bahwa orang ada seorang nona dusun yang tolol, Yo Kang tertawa sendirinya dan terus ia tidur pula. Wanyen Lieh tetap berpikir, masih ia tak dapat pulas. Maka kemudian ia bangun, untuk nyalakan sebatang lilin, yang ia letaki di atas meja. Ia mengeluarkan se Jilid buku, untuk dibaca, dibolak-balik lembarannya. Selama itu, Oey Yong terus menginta dari lubang temboknya. Kebetulan ia menampak seekor selaru terbang memutari api, lalu menyerbu, maka terbakarlah sayapnya dan robohlah tubuhnya di atas meja. Wanyen Lieh jumput selaru itu. "Jikalau Pauw-sie hujinku ada di sini, pastilah kau bakal ditolong diobati," Berkata ia dengan perlahan. Ia pun lantas mengeluarkan sebuah piasu kecil serta satu ples kecil berisi obat, ia pegang itu di kedua tangannya, untuk dibuat main. Ia nampaknya sangat berduka. Oey Yong menepuk perlahan pundaknya Kwee Ceng, ia memberi isyarat supaya pemuda itu melihat kelakuan si pangeran . Kwee Ceng lantas mengintai, akan dilain saat ia menjadi gusar sekali. Samar-samar ia ingat, piasu dan obat itu kepunyaan Pauw Sek Yok, ibunya Yo Kang. Semasa di dalam istana Chao Wang, Sek Yok pernah menggunai itu mengobati lukanya seekor kelinci. Selagi ia mengawasi terus, ia dengar pangeran itu berkata seorangd iri dengan perlahan. "Pada sembilanbelas tahun dulu di kampung ini yang buat pertama kali aku bertemu denganmu. Ah, aku tidak tahu, sekarang entah bagaimana dengan rumahmu yang dulu itu?" Habis berkata pangeran itu berbangkit, ia ambil lilinnya, terus ia jalan keluar pintu. Kwee Ceng berdiam. "Mustahilkah kampung ini kampung Gu-kee-cun, kampung halamannya ayah dan ibuku?" Ia menanya dirinya sendiri. Ia lantas pasang mulutnya di kuping Oey Yong, untuk menanyakan. Oey Yong mengangguk. Tiba-tiba Kwee Ceng merasakan dadanya goncang, darahnya berjalan keras, hingga tubuhnya bergerak-gerak karenanya. Tangan kanan Oey Yong menempel sama tangan kiri anak muda itu, ia merasakan goncangan keras dari hatinya si anak muda, ia menjadi berkhawatir. Goncangan itu bisa mencelakai anak muda ini. Lekas-lekas ia ulur tangan kanannya, akan ditempel dengan tangan kiri orang, terus ia mengerahkan tenaganya menekan. Kwee Ceng pun turut menekan, ini justru ada baiknya. Dengan begitu, perhatiannya terpusatkan pula, tak terbagi dengan perasaan yang menggoncangakan hati itu. Perlahan-lahan hatinya menjadi tenang kembali. Tidak lama tertampak sinar api, lalu Wanyen Lieh bertindak masuk sambil menghela napas panjang. Kwee Ceng mengawasi dengan tenang. Sekarang ia dapat menguasai dirinya. Oey Yong dapat merasai ketenangan hati kawannya ini, ia membiarkan si kawan terus mengintai, cuma sebelah tangan dia itu tetap ia tempel sama tangannya sendiri. Sekarang ini tangan Wanyen Lieh memegang sebuah senjata berwarna hitam. Itulah bukannya golok, bukannya kampak. Dengan bengong si pangeran mengawasi senjata itu di samping api lilin. Sekian lama, ia mengasih dengar pula suaranya yang perlahan. "Rumah keluarga Yo rusak hingga tak ketinggalan sepotong genteng juga. Keluarga Kwee masih meninggalkan tombak pendek yang dulu hari dipakai Kwee Siauw Thian." Hati Kwee Ceng tercekat mendengar nama ayahnya disebut oleh musuh yang telah membunuh ayahnya itu. Lantas saja ia berpikir. "Jahanam ini terpisah dari aku tak ada sepuluh tindak, dengan sebuah pisau belati dapat aku menimpuk mampus padanya." Terus dengan tangan kanannya ia menanya. "Yong-jie, dengan sebelah tanganmu dapat kau memutar membuka daun pintu?" "Jangan!" Mencegah si nona, yang dapat menerka maksud orang. "Gampang untuk membunuh dia tetapi dengan begitu orang menjadi mendapat tahu tempat sembunyi kita ini.." "Diadia memegangan senjatanya ayah aku" Kata Kwee Ceng, suaranya menggetar. Seumurnya Kwee Ceng belum pernah melihat wajah ayahnya, ia cuma mengetahuinya sebagian dari penuturan dan lukisan ibunya, yang lain berkat kekhawatiran hatinya memikir ayahnya itu, yang ia bayangi. Ia memuja sangat ayahnya itu. Maka itu melihat ujung tombak ayahnya, hatinya goncang keras kerana kebencian dan kemarahannya yang hebat. Oey Yong mengalami kesulitan. Memang susah untuk membujuki pemuda ini. Tapi ia mencoba. Ia berbisik pula ke telinga si anak muda. "Ibumu dan Yong-jie menghendaki hidupmu" Kata-kata ini besar pengaruhnya. Kwee Ceng terkejut, terus ia menyimpan pula pisau belatinya di pinggangnya. Ia kembali mengintai. Wanyen Lieh telah merebahkan kepalanya di meja. Pemuda itu menghela napas. Bukankah ia tak dapat membalas sakit hati ayahnya? Karena lesu, ia lalu bersemadhi lebih jauh. Tapi, belum lagi ia menyingkirkan matanya dari lubang angin, ia melihat seorang duduk di tumpukan rumput. Di dalam kaca, tak terlihat mukanya dia itu yang terkurung sinar api. Hanya setelah ia berbangkit berdiri dan mendekati Wanyen Lieh, akan emngambil peles obat dan pisau kecil tadi, selagi memutar tubuh, dia dapat dikenali sebagai Yo Kang. Untuk sesaat Yo Kang memandangi bengong kepada peles obat dan pisau kecil itu, kemudian dari sakunya ia mengeluarkan sebuah tombak. Ia pun mengawasi tombak itu. Tidak lama ia berdiam, berbareng sama berubahnya air mukanya, ia menjumput tombak pendek yang terletak di tanah, dengan itu ia menikam ke arah punggungnya Wanyen Lieh. Kwee Ceng melihat itu, girang hatinya. Ia mengerti, Yo Kang tentu mengingat ayah dan ibunya dan sekarang hendak menuntut balas. Asal tombak itu dikasih turun habis sudahlah jiwa pangeran Kim itu. Tapi, tangan Yo Kang terangkat naik terus berdiam, tidak terus dikasih turun, untuk menikam. Lewat beberapa saat, tangan itu pun diturunkan tanpa tikaman. "Bunuh, bunuhlah!" Kwee Ceng berseru-seru di dalam hatinya. "Sekarang kalau kau tidak turun tangan, kau hendak menunggu sampai kapan lagi?" Lalu ia menambahkan. "Jikalau kau menikam, kau tetap saudaraku yang baik, urusanmu di dalam istana sudah menikam aku, akan aku bikin habis saja." Tangan Yo Kang gemetaran, tangan itu dikasih turun perlahan sekali, maka kemudian, tombak itu menggeletak pula di tanah "Anak haram!" Kwee Ceng mendamprat di dalam hatinya. Ia menyesal dan mendongkol sekali. Yo Kang meloloskan bajunya yang panjang, ia pakai itu untuk menutupi tubuhnya Wanyen Lieh, rupanya ia takut ayah angkat itu masuk angin. Kwee Ceng lantas melengos. Tak sudi ia mengawasi terlebih lama lagi. Ia sungguh tak mengerti sikapnya Yo Kang ini. "Jangan bergelisah tidak karuan," Oey Yong menghibur. "Jangan keburu nafsu. Setelah kau sembuh, meski jahanam ini lari ke ujung langit, kita akan kejar padanya!" Kwee Ceng mengangguk, setelah mana ia berlatih terus. Ketika sang fajar datnag, beberapa ekor ayam jago kampung mengasih dengar keruyuk mereka saling sahut, dilain pihak muda-mudi itu sudah berlatih tujuh rintasan hingga mereka merasakan tubuh mereka segar sekali. Oey Yong menunjuki telunjuknya. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Telah lewat satu hari!" Katanya sambil tertawa. Ia puas dengan selesainya latihan hari pertama itu. Bab 49. Pertempuran di dalam rumah makan "Sungguh berbahaya!" Kata Kwee Ceng perlahan. "Jikalau tidak ada kau, tidak dapat aku mengendalikan diri, dan itu artinya bahaya." "Masih ada enam hari dan enam malam, kau mesti janji akan dengar kata aku," Kata si nona. "Kapannya pernah aku tidak dengar kau?" Kwee Ceng menanya sambil tertawa. Oey Yong tersenyum, lalu ia miringkan kepalanya. "Nanti aku berpikir," Katanya. Dari atas mulai bersorot sinar matahari, maka terlihatlah muka Oey Yong yang merah dadu, yang cantik manis, sedang dilain pihak, Kwee Ceng tengah memegangi tangan orang yang halus lemas, tanpa merasa, dadanya memukul. Maka lekas-lekas ia menenangi diri, walaupun begitu, mukanya merah. Ia jengah sendirinya. Sejak mereka bertemu dan bergaul, belum pernah Kwee Ceng memikir seperti sekali ini terhadap si nona, dari itu ia menyesal sendirinya dan menyesali dirinya juga. "Eh, engko Ceng, kau kenapa?" Tanya Oey Yong. Ia heran menampak perubahan mukanya si anak muda. "Aku bersalah, mendadak saja aku memikir..aku memikir." Pemuda itu tunduk, perkataannya berhenti sampai di situ. "Kau memikirkan apa sebenarnya?" Si nona menanya pula. "Tetapi sekarang aku sudah tidak memikir pula." "Tadinya kau memikir apa?" Kwee Ceng terdesak. "Aku memikir untuk merangkulmu, menciummu.." Karena terpaksa ia mengaku. Sebagai seorang jujur, tak dapat ia berdusta. Mukanya si nona bersemu merah. Ia berdiam. Justru itu ia nampak semakin menggiurkan. Melihat orang diam saja dan bertunduk, Kwee Ceng menjadi tak enak hati. "Yong-jie, kau gusarkah?" Ia menanya. "Dengan memikir demikian, aku jadi buruk seperti Auwyang Kongcu" Tiba-tiba si nona tertawa. "Tidak, aku tidak gusar!" Sahutnya. "Aku hanya memikir, di belakang hari, kau akhirnya bakal merangkul aku, mencium aku, bahwa aku bakal jadi istrimu!" Mendapat jawaban itu, lega hatinya Kwee Ceng. "Engko Ceng," Kemudian si nona tanya. "Kau memikir untuk mencium aku, adakah hebat pikiranmu itu?" Kwee Ceng hendak memberikan jawabannya ketika ia menundanya. Tiba-tiba terdengar tindakan kaki cepat dari dua orang, yang terus masuk ke dalam rumah makann disusuli suara nyaring dari Hauw Thong Hay. "Aku telah bilang, di dunia ini ada setan, kau tidak percaya!" "Apakah itu setan atau bukan setan?" Terdengar suaranya See Thong Thian. "Aku bilang padamu, kita sebenarnya bertemu dengan seorang pandai!" Oey Yong lantas saja mengintai, maka ia melihat muka Huaw Thong Hay berbelepotan darah dan bajunya See Thong Thian robek tidak karuan. Melihat dua saudara seperguruan itu rudin demikian, Wanyen Lieh dan Yo Kang menjadi heran. Mereka lantas menanyakan sebabnya. "Nasib kita buruk," Menyahut Hauw Thong Hay. "Tadi malam di dalam istana kita bertemu hantu, sepasang kuping aku si Lao Hauw telah kena ditabasnya kutung" Wanyen Lieh melihat kupingnya Thong Hay itu, benar lenyap dua-duanya. Ia menjadi heran sekali. "Masih ngoceh saja!" See Thong Thian menegur. "Apakah kita telah tidak cukup memalukan?!" Thong Hay takut kepada kakak seperguruannya itu, tetapi ia melawan. "Aku melihat tegas sekali," Katanya, membela. "Satu setan hakim yang mukanya biru kumisnya merah seperti cusee sudah berpekik seraya menubruk aku, begitu aku menoleh, sepasang kupingku tahu-tahu sudah lenyap. Hakim itu mirip benar dengan patung hakim di dalam kuil, kenapa dia bukannya hakim neraka tulen?" See Thong Thian pun menerangkan, ia cuma bertempur tiga jurus dengan hamkin neraka itu lantas pakaiannya kena disobek rubat-rubit seperti itu. Mereka itu menjadi heran tanpa pemecahan, dari itu mereka cuma dapat menduga-duga. See Thong Thian percaya ia berhadapan sama satu jago Rimba Persilatan yang lihay, maka itu ia menyangsikan hantu, tetapi ia pun tidak bisa membuktikan kesangsiannya itu. Ketika Auwyang Kongcu ditanya, mungkin ia ketahui sesuatu, ia pun menggeleng kepala. Tengah mereka ini berdiam dengan terbenam dalam keheranan itu, terlihat baliknya Leng Tie Siangjin bersama Pheng Lian Houw dan Nio Cu Ong bertiga. Mereka datang saling susul, keadaan mereka juga tidak karuan. Leng Tie Siangjin dengan kedua tangannya tertelikung ke belakang dengan rantai besi. Pheng Lian Houw dengan muka bengkak dan matang biru mungkin bekas digaploki pulang pergi. io Cu Ong lebih lucu lagi, ialah kepalanya sudah dicukur licin mirip dengan kepalanya seorang paderi! Mereka ini, katanya, begitu lekas mereka memasuki istana, akan mencari surat wasiatnya Gak Hui, telah bertemu hantu. Masing-masing bertemu sama hantu sendiri, ialah satu hantu Bu Siang Kwie, satu malaikat Oey Leng Koan, dan satu lagi toapekkong tanah. Nio Cu Ong pulang dengan mulutnya memaki kalang-kabutan seraya tangannya mengusap-usap kepalanya yang gundul licin itu. Pheng Lian Houw dapat menguasi diri, ia berdiam saja. Leng Tie Siangjin tertelikung hebat sekali, rantai melibat keras kulit dan dagingnya. Pheng Lian Houw mesti mesti bekerja sekuat tenaganya, baru rantai itu dapat diloloskan, karena itu lengan orang suci dari Tibet itu jadi berdarah. Mereka ini saling mengawasi saja. Mereka percaya sudah bertemu sama musuh lihay, maka itu terpaksa mereka menutup mulut. "Kenapa Auwyang Sianseng masih belum kembali?" Tanya Wanyen Lieh sesudah mereka itu membungkam sekian lama. "Setahu dia pun bertemu hantu atau tidak" "Auwyang Sianseng sangat lihay, umpama kata ia juga bertemu hantu, tidak nanti ia dapat dikalahkan," Berkata Yo Kang. Mendengar jawaban Yo Kang ini, Pheng Lian Houw jengah sendirinya. Oey Yong melihat dan mendengar semua pembicaraan mereka, ia puas sekali. "Aku telah membelikan topeng pada Ciu Toako, siapa tahu sekarang ia telah perlihatkan pengaruhnya," Katanya dalam hati. "Inilah diluar sangkaanku. Hanya entahlah si tua bangka yang berbisa itu bertemu dengannya atau tidak" Nona ini menoleh kepada Kwee Ceng, ia dapatkan si anak muda lagi berlatih terus, maka ia pun menemani. Pheng Lian Houw semua sudah lapar sekali, dari itu repotlah mereka membelah kayu untuk menyalakan api, untuk membeli beras dan memasak nasi. Hauw Thong Hay pergi mencari mangkok, di dapur ia melihat itu mangkok besi, ketika ia angkat itu, tidak bergerak, Ia heran hingga ia berseru. Lagi sekali ia menarik dengan mengerahkan tenaganya, tetap ia tak berhasil. Oey Yong yang berada di dalam kamar dapat mendengar suara Thong Hay itu. Ia terkejut. Ia tahu ancaman bahaya apabila kamar itu ketahuan orang-orang di luar itu, justru merekalah rombongan musuh. Tidak saja mereka berjumlah besar dan semuanya lihay, Kwee Ceng sendiri tak dapat menggeraki tubuhnya. Maka itu ia cemas hati, ia menjadi bingung. See Thong Thian mendengar suara Thong Hay, ia mengatakan adik seperguruannya itu berisik saja. Adik ini penasaran. "Kalau begitu, kaulah yang mengambilnya!" Katanya sengit. Thong Thian menghampirkan, ia mencoba mengangkat. "Ah!" Serunya heran. Ia pun tak berdaya. Berisiknya mereka ini membikin Pheng Lian Houw datang mendekati. Ia mengawasi mangkok itu. "Pasti ini ada rahasianya," Bilangnya kemudian. "See Toako, coba kau memutarnya ke kiri atau ke kanan." Oey Yong kaget bukan main. Ia serahkan pisau belatinya kepada kwee Ceng, ia sendiri memegangi tongkatnya Ang Cit Kong. Justru itu ia melihat tulang- belulang di pojokan, tiba-tiba ia mendapat pikiran. Ia lantas mabil kedua buah tengkorak, ia belesaki itu ke dalam buah semangka. See Thong Thian di luar kamar sudah bekerja, diputarnya mangkok besi itu membuat pintu rahasia terbuka. Melihat itu, Oey Yong lantas bekerja. Ia riap-riapakan rambutnya hingga terurai tidak karuan dimukanya, tangannya memegang semangka bertengkorak itu, ia ajukan ke depan, mulutnya memperdengarkan suara meniru hantu. Hauw Thong Hay yang pertama melihat setan "berkepala dua" Itu, ia kaget bukan main. Bukankah mereka itu baru saja diganggu hantu? Maka itu ia menjerit keras dan lari ngiprit. Perbuatannya ini dituruti yang lainnya, yang hatinya menjadi ciut. Hingga disitu tinggal Auwyang Kongcu seorang, yang rebah di atas rumput tanpa bergerak. Oey Yong tertawa lebar, lalu ia menghela napas lega. Lekas-lekas ia menutup pula pintu rahasianya. Sekarang ia mesti berpikir keras, untuk mencari lain jalan guna menyelamatkan diri. Sebagai orang-orang kangouw lihay, mesti Thong Hay beramai bakal datang pulang. Selagi si nona berpikir, ia mendengar suara pintu depan dibuka, lalu satu orang bertindak masuk. Ia menjadi berkhawatir sekali. Ia lantas mencekal tempulingnya dan tongkatnya diletaki di sampingnya. Begitu lekas pintu dibuka dan orang terlihat, hendak ia mendahului menimpuk dengan tempuling itu. Tidak lama terdengarlah suara halus tapi nyaring memanggil-manggil tuan rumah. Oey Yong menjadi heran. Itulah suara wanita. Lekas- lekas ia mengintai. Tidak keliru pendengarannya itu. Orang yang baru datang itu benar seorang wanita, yang terus berduduk di sebuah kursi. Dia berdandan indah seperti seorang nona hartawan. Karena ia menghadapi kaca, mukanya tidak kelihatan. Selang sesaat, kembali nona itu memanggil-manggil tuan rumah, yang jawabannya tak juga kunjung tiba. Oey Yong menjadi heran. Ia ingat sekarang suara nona itu. "Dia toh Nona Thia dari Poo-ceng?" Katanya dalam hati. Kebetulan itu waktu si nona berpaling. Maka heran dan giranglah Nona Oey ini. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tidak salah, nona itu ialah Thia Yauw Kee. Maka ia menduga-duga sekarang, kenapa nona itu bisa berada di tempat ini. Sementara itu Sa Kouw, yang tidur layap-layap, bangun juga atas panggilan si nona. Ia menghampirkan. "Tolong bikinkan aku barang makanan," Nona Thia minta. Si tolol menggeleng kepala, tandanya tak ada barang makanan, tetapi justru itu, hidungnya mencium bau nasi baru matang, sambil menoleh, ia lari ke dapur. Untuk herannya ia menampak nasih putih di dalam tempulo. Itulah nasi Wanyen Lieh beramai. Ia menjadi girang sekali. Tanpa cari tahu darimana datangnya nasi itu, ia menyendoki satu mangkok untuk nona tetamunya, ia sendiri turut dahar pula. Tidak biasa, nona Thia dahar tanpa lauk pauknya, nasi itu pun nasi keras, maka itu baru beberapa suap, ia sudah meletaki mangkok serta sumpitnya. Sa Kouw sendiri memakan habis tiga mangkok, setelah mana ia menepuk-nepuk perutnya, romannya menandakan ia sangat puas. "Nona aku numpang tanya," Nona Thia menanya. "Tahukah kau dusun Gu-kee-cun dari sini berapa jauh lagi?" "Gu-kee-cun?" Menyahut si tolol. "Ini justru Gu-kee-cun. Hanya aku tak tahu berapa jauh terpisahnya.." Nona Thia itu agaknya likat, mukanya menjadi bersemu dadu, kepalanya terus ditunduki dan tangannya membuat main ujung bajunya. "Oh, kiranya inilah Gu-kee-cun!" Katanya kemudian. "Sekarang aku hendak tanyakan kau tentang satu orang, apakah kau tahu.kau tahu.." Sa Kauw tidak menanti hingga orang mengucapakan habis pertanyaannya, ia menggoyang-goyang kepalanya, terus ia berlari keluar. Oey Yong sendiri, yang mendengar pertanyaan nona Thia jadi berpikir. "Ah, siapakah yang ia cari di sini? Ya, ia muridnya Sun Put Jie, mungkin ia dititahkan guru atau paman gurunya mencari Yo Kang yang ada muridnya Khu Cie Kee" Sambil berpikir, nona Oey mengawasi nona Thia itu. Dia duduk dengan toapan, pakaiannya indah dan rapi, tangannya mengusap-usap bunga di samping kupingnya. Mukanya pun bersemu merah. Entah apa yang ia lagi pikirkan. Oey Yong mengawasi terus. Itu waktu terdengar pula tindakan kaki di luar rumah maka, lalu satu orang muncul sambil memanggil-manggil tuan rumah. "Sungguh kebetulan!" Berkata Oey Yong di dalam hatinya. "Kenapa orang-orang yang kukenal di kolong langit ini justru pada berkumpul di Gu-kee-cun ini?" Orang baru itu ialah Liok Koan Eng, tuan muda dari Kwie-in-chung. Ia berdiri di muka pintu. Heran ia melihat nona Thia. Ia tidak menegur, hanya kembali ia memanggil tuan rumah. Nona Thia melihat seorang muda, ia malu dan likat, ia lantas menoleh ke arah lain. Koan Eng pun heran, hingga ia tanya dirinya sendiri. "Kenapa ada nona cantik di sini dan dia sendirian saja?" Ia bertindak masuk, terus ke dapur. Ia tidak menemukan siapa juga, maka agaknya ia bernafsu kapan ia mendapat lihat nasi di tempulo. "Aku lapar, hendak aku minta beberapa mangkok untukku, bolehkah bukan nona?" Ia tanya nona Thia. Yauw Kee menganggap lucu orang minta nasi yang bukan kepunyaannya sendiri, ia tertawa. "Nasi itu bukan kepunyaanku, kau makanlah!" Katanya tertawa. Tanpa banyak bicara, Koan Eng lantas berdahar. Ia makan dua mangkok. "Terima kasih," Katanya kemudian seraya memberi hormat kepada nona Thia. "Sekarang aku mohon menanya, adakah nona ketahui dusun Gu-kee-cun berapa jauh terpisahnya dari sini?" Nona Oey menjadi bertambah heran, nona Thia pun tak terkecuali. "Kiranya dia juga mencari dusun Gu-ke-cun," Pikir nona Oey. "Tempat ini justru desa Gu-ke-cun," Menyahut Yauw Kee sambil ia membalas hormatnya si anak muda. Koan Eng menjadi girang. "Bagus!" Katanya. "Sekarang aku minta tanya nona tentang satu orang" Yauw Kee memikir untuk memberitahukan bahwa ia bukannya penduduk Gu-kee-cun itu, atau ia ingat baiklah ia dengar dulu, siapa yang dicari pemuda ini. Maka itu ia menanti. "Ada seorang muda she Kee nama Ceng, entah dia tinggal di rumah yang mana di sini?" Koan Eng tanya. "Apakah ia berada di rumahnya?" Yauw Kee heran, lebih-lebih Oey Yong. "Mau apa dia mencari engko Ceng?" Putrinya Tong Shia tanya dirinya sendiri. Yauw Kee tidak menyahut, ia hanya likat hingga mukanya jadi merah, lekas-lekas ia menunduk. Oey Yong mendapat lihat wajah dan kelakuan orang itu, saking cerdiknya ia dapat menerka hari orang. "Ah, kiranya!" Pikirnya. "Engko Ceng telah menolongi dia di Poo-eng, rupanya ia lantas mencintainya secara diam-diam" Oey Yong polos dan jujur, ia tidak kenal iri atau cemburu, maka itu mengetahui ada orang yang mencintai Kwee Ceng, justru ia menjadi girang sekali. Memang tidak keliru dugaan putrinya Oey Yok Su ini. Yauw Kee ingat budinya Kwee Ceng. Ia memang dibantu oleh Lee Seng dan lainnya dari Kay Pang, Partai Pengemis, tetapi mereka bukannya tandingannya Auwyang Kongcu, tanpa ada pemuda itu, pastilah ia bakal terhina. Melihat Kwee Ceng muda, romannya tampan, dan orang pun jujur, mulia hatinya dan gagah, lantas ia menjadi ketarik dan jatuh hati, maka seperginya pemuda itu, ia ingat dan memikirkannya tak hentinya. Lama-lama tak dapat ia menguasai dirinya lagi, setelah memikir pergi pulang, pada suatu malam ia pergi secara diam-diam dari rumahnya. Ia mengerti ilmu silat tetapi belum pernah ia melakukan perjalanan seorang diri dan jauh, dia asing dengan segala apa kaum kangouw. Tetapi ia memberanikan diri. Ia mencari dusun Gu-kee-cun sebab Kwee ceng membilang ia berasal dari dusun itu dengan kotanya Lim-an. Untung nona Thia, karena dandannya indah, di tengah jalan tidak ada orang yang mengganggunya, sampai ia tiba di Gu-kee-cun, hanya ia belum tahu itulah desa yang ia cari itu. Maka itu, ia minta keterangan dari Sa Kouw. Begitu ia mendapat jawaban, ia menjadi likat sendirinya, pikirannya pun kacau. Dari tempat jauh ia datang, setelah tiba, ia mengharap-harap Kwee Ceng tak ada di rumahkata ia di dalam hatinya. "Sebentar aku mencuri datang ke rumahnya, setelah melihat dia, aku akan lantas berangkat pulang lagi. Aku tidak boleh membikin dia ketahui datangku ini. Kalau dia melihat aku, aku malu sekali" Diluar dugaan Yauw Kee, Koan Eng datang ke situ, dan pemuda ini menanyakan Kwee Ceng. Ia kaget dan heran. Bukankah ia tengah "bersalah"? Ia mau menduga si anak muda telah pecahkan rahasia hatinya, ia menjadi malu sendirinya. Setelah berdiam sekian lama, ia bangun berdiri, dengan niat mengangkat kaki. Tapi ia belum sempat ia mewujudkan itu, sebab mendadak dari sebelah luar mongol satu kepala orang yang romannya jelek. Cepat sekali, kepala itu diperengkatkan. Ia terkejut hingga ia bertindak mundur. Lekas sekali, kepala dengan muka jelek itu nongol pula, bahkan sekarang ia mengasih dengar suaranya. "Hantu kepala dua, kalau kau berani, marilah muncul di terangnya matahari! Sam-tauw-kauw Hauw Looya bersedia untuk melayani kau bertempur!" Dua-dua Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi heran. Adakah mereka yang ditantang? Kalau benar, kenapakah? "Hm!" Oey Yong menagsih dengar suara perlahan. "Dia toh datang pula!" Tapi nona ini menjadi berkhawatir untuk keselamatan Yauw Kee dan Koan Eng itu. Terang mereka ini bukan tandingannya rombongan Thong Hay ini. Maka ia pikir baiklah mereka berdua itu lekas mengangkat kaki dari situ. Daya apa dia ada punya? Memang Thong Hay muncul cepat sekali. Tadi ialah yang kabur lebih dulu, hingga kawan-kawannya turut lari. Kawan-kawan itu menyangka munculnya pula si hantu istana, mereka lari jauh. Ia lari belum jauh, lantas ia berhenti, dengan begitu ia jadi ditinggalkan semua kawannya. Ia bertabiat keras, hatinya menjadi panas. "Hantu itu tak dapat berbuat apa-apa di siang hari bolong!" Demikian ia dapat berpikir. "Tidak, aku si Lao Hauw tidaak takut, biar aku balik pula untuk singkirkan hantu itu! Biar mereka itu melihat aku!" Dengan tindakan lebar, ia kembali ke rumah makan. Meski begitu, hatinya toh kebat-kebit. Ia heran apabila ia mengintai dan ia dapat melihat Koan Eng dan Yauw Kee. Pikirnya. "Celaka betul, sekarang hantu kepala dua itu mencipta diri jadi setan pria dan setan wanita! Oh, Lao Huaw, kau mesti waspada!" Begitulah ia menantang. Koan Eng dan Yauw Kee berdiam sesaat, lantas mereka tidak memperdulikannya. Mereka menduga lagi berhadapan sama orang yang otaknya tak beres. Thong Hay menantang dengan sia-sia. Si setan pria dan wanita tidak muncul menyambut tantangannya itu. Ia jadi lebih percaya bahwa setan tidak munculkan diri diwaktu siang. Karena itu, hatinya menjadi semakin besar. Untuk menyerbu, ia ragu-ragu. Kemudian ia ingat pembilangan bahwa hantu takut sama kotoran manusia atau air kencing. "Kenapa aku tidak hendak mencoba?" Pikirnya Ia pun lantas mengambil keputusan, maka ia pergi akan mencari kakus. Tidak sulit untuk mencari tempat kotoran itu. Di samping rumah makan ada sebuah. Saking penasaran, ia melupakan segala apa. Untuk membungkus najis itu, ia pakai bajunya ia loloskan. Dengan membawa kotoran itu, ia kembali ke rumah makan. Ketika ia sampai, ia lihat kedua setan muda mudi itu lagi berduduk diam. Ia menjadi gusar sekali. "Hantu yang bernyali besar!" Ia lantas membenatk. "Kau lihat Hauw Looya kamu akan membikin segera memeprlihatkan diri asalmu!" Lantas ia bertindak masuk, tangan kirinya mencekal senjatanya bercagak tiga, tangan kanannya membelak bungkusan najis. Koan Eng dan Yauw Kee terperanjat melihat "si edan" Kembali, mereka melengak. Mereka mengawasi dengan menjublak. Di sebelah itu, hidung mereka lantas mencium bau busuk yang santar. Hauw Thong Hay sendiri sudah berpikir. "Aku dengar orang bilang, setan pria kalah jahat dengan setan wanita, sekarang baik aki hajar dulu yang wanita!" Maka itu, ia menimpuk ke arah Yauw Kee. Nona Thia ini kaget hingga ia berteriak, ketika ia hendak berkelit, Koan Eng mendahului, menolong ia menangkis serangan dengan sebuah bangku. Hanya hebat tangkisan itu. Bungkusan terhajar jatuh ke lantai, baunya berhamburan, siapa mendapat cium, ia pasti muak. Thong Hay sendiri sudah lantas berkoak. "Hantu kepala dua sudah pulang ke asalnya!" Dan koakannya ini disusul sama serangannya menikam kepada nona Thia! Dia semberono tetapi ilmu silatnya cukup baik. Maka itu hebatlah tikamannya ini. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Koan Eng dan Yauw Kee bertambah heran. Mereka sekarang percaya, orang bukan orang edan hanya seorang gagah dari Rima Persilatan. Tidak ayal lagi, Koan Eng menggunai bangku untuk menangkis pula tikaman itu. "Kau siapa tuan?" Ia menanya. Ia tidak mau berlaku tak tahu aturan. Hauw Thong Hay tidak memperdulikan pertanyaan itu, ia hanya menuruti saja kehendak hatinya. Begitulah ia menyerang beruntun hingga lagi tiga kali. Dengan terpaksa Koan Eng membela diri, sambil menangkis berulang-ulang, ia masih menanyakan nama orang. Thong Hay bertempur dengan hati lega. Ia melihat orang mengerti ilmu silat tetapi tidak selihay musuh tadi malam. Karena ini, sekarang ia suka bicara. Ia menyahuti. "Hantu, kau ingin mengetahui namaku supaya kau bisa menggunai jampemu yang berbahaya? Tidak, tuan besarmu justru tidak hendak memberitahukan namanya!" Ia menggeraki cagaknya, ia membikin gelangnya bersuara nyaring, lalu ia mengulangi serangannya secara hebat. Koan Enng segera juga keteter dan terdesak ke tembok. Ia memang kalah gagah dan senjata bangku juga tidak cocok untuknya. Tidak ada ketika untuknya mencabut golok di pinggangnya. Ia terdesak ke tembok di betulan lobang tempat Oey Yong mengintai. Teranglah Hauw Thong Hay telah melihat ketikanya yang baik dengan hebat ia mengirimkan tusukannya. Masih sempat Koan Eng berkelit, maka itu, ujung senjata musuh menikam ke tembok di samping lobang. Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Mustika Gaib Karya Buyung Hok Si Rase Hitam Karya Chin Yung