Pendekar Pemanah Rajawali 51
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 51
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Ia mau percaya, tentulah orang-orang Kay Pang senang dengannya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa selama di sepanjang jalan, si pengemis gemuk dan kurus sebenarnya tidak berani menyebut Ta Kuaw Pang kepada tongkat suci itu, hingga dengan begitu, ia sendiri jadi tidak tahu nama tongkat itu. Mendengar perkataannya itu, semua pengemis saling mengawasi, wajah mereka muram, suatu tanda mereka tidak senang hati. Yo Kang telah dapat melihat sikap orang itu, ia mengerti bahwa ia tentu telah omong kurang tepat, hanya ia tak tahu di mana letak kesalahannya. Tidak pernah ia menyangka, tongkat suci yang dipandang keramat Kay Pang itu, namanya sebenarnya ialah Tah Kauw Pang alias tongkat peranti pengemplang anjing! Oey Yong tersenyum. "Ha, buat apa banyak-banyak omong tentang tongkat suci ini!" Katanya. "Jikalau kau menghendakinya, kau ambillah!" Dan ia mengulurkan tangannya, menyodorkan tongkat itu. Yo Kang menjadi girang sekali, meski begitu, ia tidak berani lantas naik ke panggung, ia jeri untuk Kwee Ceng. "Pangcu, kita nanti menjagai kau," Pheng Tiangloo berbisik. "Lebih dulu ambillah tongkat itu, baru kita bicara pula." Habis berkata begitu, tiangloo ini mendahului berlompat naik. Melihat demikian, Yo Kang yang sekarang telah dapat melihat pula, turut naik dengan diiringi Kan Tiangloo dan Nio Tiangloo. Yo Kang dengan bersangsi, dia curiga orang nanti menggunakan akal, ia tidak langsung menyambuti, lebih dulu ia bersiaga dengan tangan kiri, baru tangan kanannya diulur. Oey Yong melepaskan cekalannya. Ia tertawa. "Apakah kau telah memegangnya erat-erat?" Ia menanya. "Kenapa?" Tanya Yo Kang gusar, sedang tangannya memegang keras tengah tongkat. Oey Yong tidak menjawab, hanya dengan tangan kirinya bergerak, kaki kanannya terbang, menyusul mana, tangan kanannya dilonjorkan, Dengan gerakannya itu pas berbareng cepat, tongkat suci kembali pindah ke tangannya tanpa Yo Kang mampu berdaya untuk melindunginya. Kedua tiangloo she Pheng dan Nio kaget bukan main, mereka heran sekali. Cuma sekejap, tongkat telah berpindah tangan pula. Kan Tiangloo juga tidak kurang herannya. Bukankah mereka bertiga melindungi pangcu mereka yang muda itu? Yo Kang bersangsi. Kang Tiangloo menggeraki cambuknya sebat sekali, cuma sedetik, tongkat itu kena disambar, dililit dan ditarik, lalu dipegang tangannya. Menyaksikan itu, semua orang Kay Pang bersorak dengan pujian mereka. Kemudian tongkat dapat diserahkan kepada Yo Kang. "Ketika Ang Pangcu menyerahkan tongkat ini kepadamu, mustahil ia tidak mengajari kau untuk kau memegangnya dengan erat?" Tanya Oey Yong tertawa pada si anak muda. "Bukankah ia telah mengajarinya supaya kamu dapat melindunginya hingga tidak gampang-gampang kena orang rampas?" Tepat selagi ia tertawa, kedua kaki si nona menjejaki lantai, lalu tubuhnya melesat di antara Kan Tiangloo dan Nio Tiangloo, terus tiba di depannya Yo Kang. Kan Tiangloo menyambar dengan tangan kirinya, guna menangkap si nona, tetapi tangkapannya gagal. Sebab nona itu tepat menggunakan jurus "Burung waket terbang berpasangan" Ajaran Ang Cit Kong, tubuhnya lincah dan licin. Bukan main heran dan kagetnya tiangloo itu, yang mengenal baik kepandaiannya sendiri. Hatinya tercekat. Justru itu mereka mendengar sambaran angin, hingga terpaksa mereka itu melompat mudur. "Ini jurus yang dinamakan Tongkat mengemplang anjing sepasang," Berkata si nona, yang tubuhnya melesat sedang barusan, dengan gerakan tongkatnya, ia sengaja membikin kedua tiangloo itu membuka jalan untuknya. Maka ia telah sampai di pojok timur dari panggung itu, tongkat Tah-kauw-pang tercekal di tangannya, cahayanya menyorot hijau di antara sinar rembulan. Demikian sebat si nona, tak ada orang yang melihat gerakannya itu. Kwee Ceng lantas berseru. "Lihatlah! Kepada siapa Ang Pangcu telah menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang? Apakah masih belum cukup terang?" Orang-orang Kay Pang menjadi kagum, heran dan bercuriga. Mereka telah menyaksikan jelas bagaimana caranya si nona merampas pulang tongkat itu dari tangan Yo Kang, sedang anak muda mereka itu - si pangcu baru - pun pandai ilmu silat dan dia juga dilindungi ketiga tiangloo. Lantas mereka ramai membicarakan itu. Lou Yoe Kiak lantas berkata. "Saudara-saudara, apa yang diperlihatkan nona ini benar-benar ada ilmu silatnya Ang Pangcu!" Kan Tiangloo saling mengawasi dengan Pheng Tiangloo dan Nio Tiangloo, lalu ia berkata. "Dialah muridnya Ang Pangcu, sudah tentu dia mendapat warisan pelajaran ilmu silatnya! Apakah yang aneh!" "Semenjak jaman dahulu, Tah Kauw Pang-hoat tidak diwariskan kecuali kepada orang yang menjadi pangcu," Berkata Lou Yoe Kiak. "Mustahilkah Kan Tiangloo tidak ketahui aturan itu?" Kan Tiangloo tertawa dingin. "Nona ini mengerti beberapa jurus ilmu silat tangan kosong merampas senjata, belum tentu itulah Tah Kauw Pang-hoat!" Ia berkata. Yoe Kiak menjadi bersangsi, tetapi ia berkata kepada Oey Yong. "Nona, silahkan kau menjalankan ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat. Kalau benar kau mewariskan ilmu silat itu, pasti pengemis di seluruh negeri bakal takluk kepadamu." "Tetapi," Berkata Kan Tiangloo yang licik. "Ilmu silat itu kita cuma baru mendengar namanya saja, belum pernah ada yang melihatnya, maka itu siapa berani memastikan itu tulen atau palsu?" "Habis itu kau menghendaki apa?" Lou Tiangloo tanya. Kan Tiangloo menepuk kedua tangannya satu dengan lain, ia kata dengan nyaring. "Jikalau nona ini dengan ilmu silat tongkat itu dapat mengalahkan sepasang tanganku yang kosong ini, maka aku si orang she Kan barulah takluk benar-benar dan akan menjunjungnya sebagai pangcu kita! Umpama kata aku mengandung dua hati, biarlah laksana panah menancap di tubuhku dan ribuan golok menghukum picis mayatku!" "Hm!" Yoe Kiak berkata. "Berapa tinggikah usianya si nona ini? Meskipun dia pandai dengan ilmu silat tongkatnya, maka sanggup dia melayani kau yang sudah belajar silat beberapa puluh tahun lamanya?" Selagi dua tiangloo ini berebut bicara, Nio Tiangloo si tabiat keras sudah habis sabarnya, dengan mendadak dia berlompat kepada Oey Yong sambil membacok dengan goloknya. Sembari menyerang, dia kata. "Tulen atau tidaknya ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat itu akan terbukti setelah diuji! Maka lihatlah golok!" Penyerangan itu hebat. Itulah penyerangan berantai tiga kali, sedang dilakukannya dengan cara seperti membokong. Oey Yong dapat melihat serangan itu, dengan cepat ia menyoren tongkat di pinggangnya, dengan sebat ia berkelit, dan ia berkelit terus tiga kali, hingga ia bebas dari serangannya. Ia pun berkelit tanpa memindahkan kaki, cuma main mengegos tubuh. "Apakah untuk melayani kau tepat aku menggunakan ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat?" Ia kata sambil tertawa. Kata-kata ini disusuli gerakan tangannya kiri dan kanan - tangan kiri menyerang, tangan kanan mencoba merampas golok! Nio Tiangloo berkenamaan, ia menjadi gusar sekali, yang satu bocah cilik berani memandang dia sebelah mata, maka itu habis menyingkirkan goloknya itu, ia lantas menyerang pula. Tentu sekali, ia berlaku bengis. Sekarang Kan Tiangloo tidak lagi memandang enteng kepada si nona itu, ia mau percaya, mengenai si nona, mesti ada apa-apa yang masih tersembunyi, dari itu, karena khawatir kawannya berlaku semberono, ia meneriaki. "Nio Tiangloo, jangan kau berlaku telengas!" Tapi Oey Yong sebaliknya memandang enteng. "Jangan sungkan-sungkan!" Katanya tertawa. Sembari berkata dan tertawa itu, ia melayani si tiangloo. Karena orang bersenjata golok dan menyerang bengis, ia melawan dengan lebih banyak berkelit, setiap ada ketikanya, ia membalas, meninju atau menendang, atau ia menyikut atau memengal. Dalam tempo yang pendek, ia mengasih lihat belasan macam jurus yang luar biada. Semua pengemis menjadi seperti kabur matanya. Mereka heran dan kagum, apapula delapan pengemis kantung delapan itu. "Ah, itulah Lian Hoa Kun!" Yang satu berseru. "Eh, itu toh pukulan gembolan kuningan?" Kata si gemuk, yang turut menjadi kagum. Hanya belum ia menutup rapat mulutnya, Oey Yong sudah menukar lagi ilmu silatnya, hingga seorang pengemis lain berseru. "Ah, itulah ilmu silat Kun-thiang-kang dari Ang Pangcu!" Ang Cit Kong itu adalah seoarang yang wajar, ia tidak suka menerima murid, kalau ada anggota yang berjasa, ia cuma mengajari satu atau dua jurus sebagai persen. Lee Seng bukannya seorang lemah, ia cuma diajarkan satu jurus dari satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ialah jurus "Naga sakti menggoyang ekor". Sudah begitu ada lagi satu tabiat aneh dari pangcu itu, ialah satu jurus yang diajarkan kepada satu orang, ia tidak suka mewariskan lagi kepada yang lain, maka juga, pelajaran yang didapat anggota-anggota Kay Pang, semua berlainan. Cuma Oey Yong yang menjadi murid yang istimewa, sebab ia pandai masak, dia dapat memincuk pangcu itu dengan pelbagai masakannya yang lezat, setiap kali ia masak, setiap kali ia memperoleh satu pelajaran. Maka juga selama di Kiang Bio-tin, dia memperoleh puluhan macam jurus. Sekarang, di depan Kay Pang, ia sengaja pertontonkan ilmu silatnya itu, membikin orang kagum, heran dan tunduk. Maka setiap anggota Kay Pang, yang pernah memperoleh warisan dari Ang Cit Kong lantas memuji kalau ia melihat si nona menjalankan jurusnya itu. Maka itu, ramailah suara pujian, yang keluar saling susul. Nio Tiangloo melihat itu semua, ia juga menjadi heran dan kagum, matanya pun seperti kabur, oleh karena itu, ia tidak mau berlaku sembrono lagi, tidak mau ia menyerang, ia selalu membela diri dengan menutup dirinya rapat-rapat. Lagi beberapa jurus telah dilewatkan atau mendadak si nona berhenti bersilat, dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, ia tertawa menanya. "Apa kau suka menyerah kalah?" Nio Tiangloo belum mengeluarkan seantero kepandaiannya, mana sudi ia menyerah kalah, bahkan kerena panas hatinya, ia lantas menyerang. Bacokannya ini hebat sekali. Kan Tiangloo dan Lou Yoe Kiak kaget. "Tahan!" Mereka berseru. Pula banyak pengemis lainnya yang berteriak saking kagetnya. Selagi orang kaget dan berkhawatir itu, Oey Yong sendiri tidak menghiraukan datangnya bacokan yang diarahkan ke pundaknya yang kiri. Nio Tiangloo sendiri pun menyesal, tetapi ia tidak dapat menarik pulang bacokannya itu, maka tepat sekarang si nona kena dibacok, sebab ia nampak tidak berkelit atau menangkis. Baru Nio Tiangloo menyesal atau mendadak tangannya dirasai lenyap tenaganya, goloknya itu terlepas dari cekalan, jatuh dengan mengasih dengar suara nyaring di lantai panggung. Ia tentu tidak tahu yang nona lawannya itu mengenakan pakaian dalam joan-wie-kah, jangan kata golok biasa, golonk mustika pun tak nanti memakan. Berbareng dengan menyesalnya itu, sikutnya telah ditotok si nona menggunakai ilmu totok warisan ayahnya ialah "Lan-hoa-hoet-hiat-ciu", ilmu menotok jalan darah Bungan Anggrek. Dengan lantas Oey Yong mengulurkan kakinya, untuk menginjak goloknya si pengemis tertua itu, kepalanya dimiringkan, sembari tertawa, ia menanya. "Bagaimana?" Nio Tiangloo tercengang, lalu tanpa membilang apa-apa, ia lompat mundur. Adalah itu waktu Khiu Cian Jin dari tempatnya menonton mengasih dengar suaranya yang nyata sekali. "Orang memakai mustika dari Tho Hoa To, atau tidak membacok kepalanya, mana bisa kau melukai dia?" Kan Tiangloo tunduk, ia berpikir. "Bagaimana, kau percaya aku tidak?" Tanya Oey Yong tertawa. Lou Yoe Kiak mengedipi mata kepada si nona, untuk dia menyudahi saja. Ia tahu, dalam ilmu silat, nona ini kalah jauh dari Nio Tiangloo, maka kemenangannya itu mesti karena suatu tipu daya. Atau sedikitnya, akan sama tangguhnya. Dilain pihak, Kan Tiangloo jauh lebih lihay daripada Nio Tiangloo itu. Maka ia bergelisah melihat si nona tidak menggubris isyaratnya itu. Hanya celaka untuknya, untuk turun tangan, ia tidak sanggup, tangannya, yang diremas Kiu Cian Jin, masih terasa sakit sekali, bahkan semakin sakit, hingga ia mengeluarkan keringat dingin di sekujur badannya, hingga tak bisa ia membuka mulutnya. Akhir-akhirnya Kan Tiangloo mengangkat kepalanya. "Nona marilah aku belajar kenal denganmu!" Ia berkata. Kwee Ceng melihat tegas tiangloo itu, ia percaya Oey Yong tak sanggup melawannya, maka itu, ia hendak menggantikan nona itu. Maka ia lantas menjumput tambang kulit yang dipakai meringkus dirinya, dengan satu gerakan tangan, ia membikin ujung tambang menyambar tongkatnya Kan Tiangloo yang tadi oleh Kiu Cian Jin dibikin nancap di batu gunung, sambil membentak, ia menarik dengan kaget. Maka tongkat itu tercabut, terlempar ke arah si tiangloo. Disaat itu ia berlompat ke depan Kan Tiangloo, ia menyambar dengan sambarannya "Menunggang enam naga", suatu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, setelah itu, dengan tangan kiri memegang kepala tongkat dan tangan kanan mencekal bututnya, yaitu ujungnya, ia membikin gerakan memutar. Maka itu dilain saat, tongkat yang telah melilit melengkung ia lantas menjadi pulih keadaannya, lempang seperti biasa. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Segera setelah itu, ia menyerukan. "Sambutlah!" Dan tongkat itu ia lemparkan kepada pemiliknya. Kan Tiangloo terkejut. Ia tahu, kalau ia menyambut, tangannya bisa terluka. Maka dengan lantas ia berkelit, sambil berbuat begitu, ia berseru kepada orang-orangnya dibawah panggung, menitahkan mereka itu lekas menyingkir. Kalau tidak, mereka atau beberapa di antaranya bisa terhajar tongkat itu. Akan tetapi tongkat itu tidak sampai mendatangkan bencana. Oey Yong dengan sebat sekali, dengan cara pandai, telah mengulurkan Lek-tiok-thung di tangannya itu, menyambar bagian tengah dari tongkatnya Kan Tiangloo, lalu dengan gerakan menarik sambil memutar, ia membuatnya tongkat tertahan dan kena tertekan hingga turun di lantai. Gerakannya nona Oey ini adalah jurus "Menindih punggung anjing", dari ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat, tepat bekerjanya, setelah mana si nona sambil tertawa berkata kepada tiangloo itu yang barusan menantang padanya. "Silahkan kau menggunakan tongkat baja, aku hendak menggunakan tongkat bambu ini! Marilah berdua kita main-main beberapa jurus." Kan Tiangloo sangat bersangsi. Sekarang ia mengambil sikap, kalau kalah, baiklah ia menyerah. Ia lantas membungkuk, untuk memungut tongkat bajanya itu - kepala tongkat diturunkan ke bawah, buntut tongkat naik ke atas, lalu sambil memberi hormat dengan membungkuk, ia berkata. "Aku mohon belas kasihan nona." Dengan cara menghormatnya itu, ialah kepala tongkat diturunkan, tiangloo ini mengambil sikap menurut aturan Kaum Rimba Persilatan, kehormatan di antara yang muda dengan yang tua, tanda dari tidak berani menganggap diri seimbang derajat. Itulah untuk mohon petunjuk. Oey Yong meluncurkan tongkatnya, dengan gerakan "Anjing dongak ke langit", ia menyontek ujung tongkat ujung tongkat si pengemis tertua, hingga tongkat itu naik ke atas, sambil berbuat begitu, ia mengatakan sambil tertawa. "Tak usah memakai banyak adat peradatan! Aku khawatir yang kepandaianku tidak dapat melawan kepandai kau.." Tongkat baja dari Kan Tiangloo adalah tongkatnya yang berat yang ia telah pakai untuk beberapa puluh tahun lamanya, sekarang tongkat itu, dengan satu sontekan perlahan, kena dibikin terangkat naik oleh si nona, bahkan ujungnya terangkat sampai hampir mengenakan jidatnya, ia menjadi terkejut. Syukur ia lekas menggunakan tenaganya, untuk menahan, ia kembali membawa sikapnya si muda terhadap seatasannya. Ia menyerang dengan jurus "Raja Cin menghajar batu", suatu jurus dari Hong Mo Thung-hoat, ilmu silat Hantu Edan dari Lou Tie Cim, salah seorang anggota gagah dari pahlawan-pahlawan Liang San. Menampak gerakan si tiangloo, Oey Yong tidak berani berlaku alpa. Ia tahu, meskipun memakai baju lapis, serangan tongkat itu bisa melukai ia di dalam tubuh. Maka dengan lincah ia berkelit. Ia bukannya mundur, hanya berkelit sambil merangsak. Ia terus menggunakan jurus-jurus dari Tah Kauw Pang-hoat. Demikian keduanya bertempur. Beratnya tongkat baja tigapuluh kati lebih tetapi menghadapi tongkat bambu yang enteng itu, tongkat itu tidak dapat berbuat banyak. Mulanya Kan Tiangloo masih mengandung rasa khawatir nanti kena merusak tongkat suci itu, serangannya hebat tetapi diperbataskan, ialah kalau rasanya ia bakal menghajar Lek-tiok-thung, segera ia membatalkannya, ia selalu mencegah bentrokan, akan tetapi sesudah beberapa jurus itu, ia mengubah caranya berkelahi, ia bahkan jadi bersungguh-sungguh. Ia mendapat kenyataan, tongkat si nona lihay sekali, tikamannya juga dapat merupakan totokan kepada jalan darah. Dengan lantas untuk membela diri, ia menjadi repot. Kwee Ceng menjadi sangat kagum. "Benar lihay ilmu silatnya suhu," Ia berkata di dalam hatinya, memuji Ang Cit Kong. Tengah bertempur itu, mendadak Oey Yong membuat satu perubahan. Ialah tongkatnya bukan ia cekal gagangnya, hanya bagian tengahnya, dan bukannya ia menyerang, ia terus putar itu dengan asyik, hingga tongkatnya nampaknya bulat. Tentu sekali itulah bukan cara bertarung, itulah bagaikan orang tengah main-main. Mulanya Kan Tiangloo heran hingga ia tercengang, habis itu ia menyerang si nona, untuk mencegah kurungan. Ia mengarah pundaknya si nona. Oey Yong melihat datangnya serangan, ia bukannya menangkis, ia hanya menjaga. Tapi ia tidak membuat kedua tongkat bentrok, ia cuma mendekatkan, lalu bagaikan memancing, ia menarik. Kan Tiangloo terkejut. Ia menyerang tetapi ia merasa tongkatnya seperti tertarik dengan keras. Jadi terang si nona telah meminjam tenaga lawan. Dalam kagetnya, ia lantas menarik. Kembali ia terkejut. Tongkatnya itu seperti nempel sama tongkat lawan, tertarik atau menarik. Ia kaget sebab ia tahu, di dalam halnya tenaga dalam, ia mesti menang daripada si nona, tetapi sekarang ialah yang kena dipengaruhkan. Tujuh atau delapan kali sudah ia menarik, sia-sia belaka, tongkatnya itu tidak bisa dia membebaskannya. Tah Kauw pang-hoat ada delapan pokoknya, dan sekarang Oey Yong lagi menggunakan pokok "melibat" Maka juga tongkatnya itu seperti ada talinya yang mengikat tongkatnya si tiangloo. Kan Tiangloo penasaran, ia mengerahkan tenaganya dan memainkan Tay-lek Kim-kong Thung-hoat, yaitu ilmu tongkat Arhat Tangguh, dengan begitu hebat ia membuatnya ujung tongkatnya bergerak keempat penjuru. Tetapi aneh tongkat si nona, kemana ujung tongkat baja menuju, ke sana tongkat bambu mengikuti. Nampaknya seperti si tiangloo yang berkuasa, sebenarnya dia seperti lagi dikendalikan. Atau diumpamakan kuda binal, kuda itu lagi diumbar oleh penunggangnya yang lihay. Akhir-akhirnya Pheng Tiangloo yang menonton dengan kekaguman dan keheranan, tertawa dan berkata. "Pangcu kau telah lelah, kau istirahatlah!" Suara itu perlahan dan halus, sedap didengar telinga. Oey Yong benar-benar lantas merasa tubuhnya lebih. Ia pun memikir, setelah bertempur sekian lama, sudah waktunya ia beristirahat. Begitu ia merasa, begitu ia menjadi letih dan lesu, matanya pun menjadi mata orang kantuk. Tapi sekarang pandangannya Kan Tiangloo sudah berubah, mau ia percaya si nona adalah pangcunya yang tulen, hendak ia melindungi si nona, maka mengetahui Pheng Tiangloo lagi menggunakan Liam-sin-hoat, ilmu sihirnya itu, ia lantas membentak. "Eh, Pheng Tiangloo, kau hendak berbuat apa kepada pangcu?!" Pheng Tiangloo tidak memperdulikannya, ia tertawa perlahan dan berkata pula. "Pangcu hendak beristirahat, ia telah sangat letih, kau jangan ganggu padanya.." Oey Yong mengerti ia terancam bahaya akan tetapi ia merasakan tubuhnya lemas dan matanya mau meram saja, ia merasa bahwa ia mesti beristirahat. Hanya disaat ia separuh was-was dan separuh sadar itu, mendadak ia ingat perkatannya Kwee Ceng tadi. Bagaikan tersadar, ia lantas tanya kawannya itu. "Engko Ceng, bukankah kau membilang tadinya bahwa di dalam kitab ada disebut hal ilmu memindahkan arwah?" Kwee Ceng mengerti pertanyaan itu. Ia memang telah bercuriga terhadap Pheng Tiangloo, kecurigaannya bertambah menyaksikan Oey Yong berubah sikap, pertempurannya berhenti sendirinya secara demikian aneh dan romannya si nona pun sangat lesu. Ia sudah memikir untuk menghajar tiangloo itu kalau ia main gila, maka mendengar pertanyaan itu, ia segera mendekati Oey Yong dan membisiki padanya bunyinya ilmu memindah arwah itu. Dua-dua ilmunya si tiangloo dan yang termuat di dalam Kiu Im Cin-keng ada serupa intinya, itulah ilmu sihir belaka, maka ilmu itu harus dilawan dengan kekuatan hati, diri sendiri harus dapat dikendalikan. Maka Kwee Ceng telah membisiki si nona untuk menguatkan hati, atas mana, Oey Yong yang masih sadar, lantas menuruti nasehat si pemuda. Ia lantas meramkan matanya, pemikirannya dipusatkan. Ia mengempos semangatnya, ia membikin bathinnya kuat. Selang tidak lama, lantas lenyap rasa lesu dan kantuknya. Ketika ia membuka matanya, ia sadar seperti biasa. Pheng Tiangloo girang sekali. Ia percaya si nona meram karena terkena pengaruh ilmunya. Ia udah lantas memikirkan daya lainnya, untuk membikin nona itu membuka matanya, ia terus diawasi sambil tersenyum! Ia tahu mesti ada terjadi keanehan, ia lekas-lekas balas bersenyum. Ia hendak menggunakan ilmunya untuk mempengaruhi si nona itu. Tapi sekarang ia gagal, dari tersenyum, tanpa merasa ia tertawa sendirinya. Oey Yong melihat perubahan kepada tiangloo itu, ia mengerti yang ilmu dari Kiu Im Cin-keng telah bekerja dan memenangi si tiangloo, maka itu ia bukan cuma tersenyum, ia lantas tertawa lebar. Pheng Tiangloo kaget. Ia masih ingat akan dirinya, ia coba mengendalikan diri. Tapi ia sudah kena dibikin kaget, tidak dapat ia menguasai dirinya. Bahkan dari berdiri diam, ia lantas berjingkrak, terus ia tertawa terbahak-bahak sambil ia memegangi perutnya! Ia tertawa haha-hihi, ia berteriak, makin lama suaranya makin keras. Semua pengemis menjadi heran, semua dibikin bingung karenanya. "Eh, Pheng Tiangloo, kau bikin apa?" Kan Tiangloo menegur. "Kenapa kau begini kurang ajar terhadap pangcu?" Pheng Tiangloo tidak memperdulikan teguran itu, ia terus tertawa terpingkal-pingkal. Ia menunjuk kepada hidungnya. Kan Tiangloo mengira ada apa-apa yang aneh pada hidungnya itu, ia mengusap. Tapi ini membuatnya rekannya itu tertawa lebih hebat. Akhirnya Pheng Tiangloo lompat turun ke bawah panggung di mana ia terus tertawa sambil bergulingan! Baru sekarang semua pengemis menjadi bercuriga. Dua muridnya Pheng Tiangloo lantas lari kepada gurunya itu, untuk mengasih bangun, akan tetapi mereka ditolak, guru itu tertawa tak hentinya. Karena ini mukanya lantas menjadi merah tua. Kalau orang biasa terkena ilmunya Oey Yong itu, paling juga dia merasa lelah dan ingin tidur, tidak demikian dengan Pheng Tiangloo, yang sendirinya tukang sihir. Karena ia melawan, kesudahannya, ialah akibatnya menjadi hebat. Ia menyerang, sekarang dia kena dibalas diserang, serangan itu dahsyat untuknya. Kan Tiangloo menjadi tak enak hati. Ia khawatir Pheng Tiangloo mati karenanya. Maka ia lantas menjura pada Oey Yong dan berkata. "Pangcu, Pheng Tiangloo berlaku kurang ajar, dia harus dihukum berat, tetapi aku mohon dengan kemurahan hati pangcu, sukalah ia diberi ampun." Lou Yoe Kiak juga io Tiangloo, lantas turut maju, sambil menjura, mereka pun memohonkan keampunan bagi tiangloo yang telah menjadi seperti gila itu. Hanya sekali mereka ia minta-minta ampun, di sana terdengar suara aneh dari Pheng Tiangloo sendiri. Oey Yong tidak menjawab ketiga tiangloo itu, ia hanya berpaling kepada Kwee Ceng. "Engkong Ceng, cukupkah sudah?" Ia menanya. "Cukup!" Menjawab si anak muda. "Kasihlah dia ampun!" Oey Yong lantas menghadapi ketiga tiangloo itu. "Samwie, kamu menghendaki aku memberi ampun padanya, boleh," Dia berkata. "Aku hanya minta kamu tidak dapat meludah kepada tubuhku!" Kan Tiangloo melihat jiwanya Pheng Tiangloo terancam, ia menjawab dengan cepat. "Aturan kami ditetapkan oleh pangcu, maka itu pangcu juga yang dapat menetapkan atau menghapuskannya. Teecu semua menurut perintah saja." Senang Oey Yong mendengar jawaban itu. Ia tertawa. "Sekarang pergilah kau menotok dia pada jalan darahnya thongkok-hiat dan siang-kiok-hiat!" Ia memberi petunjuk. Kan Tiangloo lompat turun dari panggung, ia menghampirkan Pheng Tiangloo untuk menotok kedua jalan darah yang ditunjuk. Dengan lantas tiangloo itu berhenti tertawa, hanya kedua matanya mencelik hingga terlihat putih semua, sedang jalan darahnya menjadi sulit. Oey Yong tertawa. "Sekarang benar-benar aku mau beristirahat!" Katanya. "Eh, mana si orang she Yo itu?" Ia tanya. Ia heran melihatnya Yo Kang tidak ada di antara mereka. "Dia sudah pergi," Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Menyahut si Kwee Ceng. Si nona berjingkrak. "Kenapa dikasih dia pergi?" Katanya. "Dia pergi kemana?" "Dia pergi mengikuti si tua bangka she Khiu itu," Sahut Kwee Ceng seraya tangannya menunjuk. Oey Yong memandang ke telaga di mana perahu layar tengah berlayar pergi. Tentu saja tidak dapat ia menyusul Yo Kang atau Khiu Cian Jin, maka dia cuma bisa mendongkol dan menyesal sendiri. Ia mengerti itulah biasanya Kwee Ceng, yang sangat jujur. Rupanya ini engko Ceng masih ingat persahabatan dari dua turunan, dia jadi suka memberi ampun pada pemuda she Yo yang jahat itu. Yo Kang itu cerdik, begitu melihat pertempuran antara Oey Yong dan Kan Tiangloo, ia mengerti, jikalau ia tidak lantas mengangkat kaki, dia bakal menghadapi bahaya, dari itu, diluar tahu orang - selagi orang menonton pertempuran - ia nelusup kepada rombongannya Khiu Cian Jin dan minta pertolongan orang she Khiu itu. Kapan Khiu Cian Jin mengetahui orang adalah putranya Wanyen Lieh, ia menepuk dada memberikan kepastiannya untuk menolongi, kemudian sesudah melihat suasana - bahwa pastilah Oey Yong yang bakal jadi ketua Kay Pang dan si nona bersama Kwee Ceng adalah musuh-musuh tangguh, diam-diam dia mengajak orangnya pangeran itu berlalu dari gunung Kun San itu. Kemudian Oey Yong menghadapi semua orang Kay Pang, sambil mengangkat Lek-tiok-thung, ia berkata. "Sekarang ini, selama Ang Pangcu masih belum kembali, akulah yang buat sementara waktu mengurus partai kita. Kan Tiangloo bersama Nio Tiangloo, silahkan kau berangkat untuk menyambut pangcu. Kamu membawa murid-murid kantung delapan dan menyambutnya di timur sana. Lou Tiangloo sendiri berdiam di sini untuk beristirahat." Suaranya ini wakil pangcu disambut dengan riuh oleh orang-orang Kay Pang itu. Kemudian Oey Yong menanya. "Pheng Tiangloo ini tidak lurus hatinya, coba kamu bilang, dia harus dihukum bagaimana?" Kan Tiangloo menjura, ia berkata. "Dosa saudara Pheng ini besar sekali, dia harus dihukum berat, akan tetapi mengingat dulu hari ia telah membantu pangcu mendirikan jasa besar untuk partai kita, teecu mohon dia diberi ampun dari hukuman mati." Oey Yong tertawa. Ia berkata. "Aku memang telah menduga, kau bakal memintakan ampun untuknya. Baiklah! Mengingat dia telah tertawa cukup banyak sekarang dia dipecat kedudukannya sebagai tiangloo, biar dia menjadi murid kantung delapan!" Ketiga Tiangloo she Kan, Nio dan Lou itu menghanturkan terima kasih, Pheng Tiangloo sendiri juga mengucapkan terima kasihnya. Oey Yong berkata pula. "Sebenarnya sukar mencari ketika kita untuk berkumpul di sini, kamu semua tentunya ingin berbicara banyak, maka itu pergilah kamu bicara asal terlebih dahulu kamu mengubur baik-baik dua saudara Lee Seng dan Ie Tiauw Hin. Aku melihat Lou Tiangloo adalah orang yang paling baik, selanjutnya semua urusan aku serahkan padanya dan kamu mesti mendengar segala perintahnya. Aku sendiri, sekarang juga aku mau berangkat. Nanti di Lim-an kita bertemu pula!" Begitu ia berkata, begitu Oey Yong mencekal tangannya Kwee Ceng, untuk ditarik, buat dituntun berlalu turun gunung. Melihat demikian, semua orang Kay Pang mengiringinya sampai di kaki gunung, sampai nona itu berdua dibawa perahu dan lenyap di antara kabut malam, baru mereka kembali ke puncak gunung, di mana dengan dipimpin Lou Tiangloo, mereka membicarakan segala urusan mereka. Bab 59. Pesan Gak Bu Bok Hari sudah terang ketika Oey Yong dan Kwee Ceng kembali ke Gak Yang Lauw. Di sana mereka mendapatkan kuda mereka, sepasang burung rajawali dan burung hiat-niauw menantikan mereka. Semua binatang itu nampak girang bertemu dengan majikan mereka. Oey Yong memandang jauh ke timur, ia menyaksikan sang Batara Surya seperti meloncat keluar dari gelombang telaga Tong Teng Ouw. Sinar fajar itu sangat indah dan menawan hati. "Pemandangan begini indah, jangan kita melewatkan," Kata si nona kemudian, tertawa. "Engko Ceng, mari kita naik ke atas!" Kwee Ceng menurut. Tapi kapan mereka tiba di atas dan ingat kejadian kemarinnya, pengalaman itu membuatnya mereka bergidik sendiri. Kejadian itu sangat berbahaya. Hanya keindahan alam membuat mereka dengan cepat melupakan kejadian kemarin. Belum lama lagi mereka minum arak, mendadak Kwee Ceng melihat air muka si nona berubah, agaknya ia bergusar. "Engko Ceng, kau jahat!" Katanya tiba-tiba. Kwee Ceng kaget. "Kenapa?" Tanyannya heran. "Kau tahu sendiri!" Kwee Ceng berpikir tetapi ia tidak ingat apa-apa. "Yong-jie yang baik, kau jelaskanlah," Pintanya. "Baik," Menyahut si nona. "Sekarang aku tanya kau! Tadi malam kita didesak ke jurang, jiwa kita terancam bahaya. Kenapa kau melemparkan aku? Apakah kau kira kalau kau mati aku bisa hidup? Apakah kamu masih belum tahu hatiku?" Habis itu si nona menangis, air matanya jatuh ke dalam araknya. Kwee Ceng terharu mendapatkan orang demikian mencinta padanya. Ia mengulur tangannya, akan mencekal erat-erat tangan kanan nona itu. Tidak dapat ia mengucapakan sesuatu. Oey Yong menghela napas perlahan, melegakan hatinya. Ia sebenarnya hendak membuka mulutnya ketika ia mendengar tindakan kaki di tangga, lalu terlihat nongolnya satu kepala orang. Keduanya terkejut. Itulah Tiat Ciang Siu-siang-piauw Khiu Cian Jin. Kwee Ceng segera melompat bangun, akan menghalangi di depan si nona. Ia khawatir orang tua itu nanti menyerang. Tapi Khiu Cian Jin bukannya menyerang, ia hanya bersenyum, tangannya diangkat, untuk menggapai, setelah mana dia memutar tubuhnya, untuk lantas turun pula. Kelihatan nyata orang jenaka tetapi dalam keadaan ketakutan "Dia takut pada kita, inilah aneh!" Berkata Oey Yong. "Nanti aku lihat." Tanpa menanti jawabannya, si nona lantas lari turun. Kwee Ceng lekas membayar uang arak, lekas-lekas ia menyusul. Tapi setibanya di bawah, ia tidak mendapatkan Khiu Cian Jin atau Oey Yong. Ia menjadi kaget dan berkhawatir. Tentu sekali ia takut nona itu celaka di tangannya si Tangan Besi. Maka ia lantas memanggil-manggil. "Yong-jie! Yong-jie! Kau di mana?" Oey Yong mendengar panggilannya Kwee Ceng itu tetapi ia tidak menyahutinya. Ia lagi menguntit Khiu Cian Jin, kalau ia bersuara, orang akan mengetahui dirinya lagi dibayangi. Ia menguntit terus. Ketika mereka berjalan di pinggir sebuah rumah besar, Oey Yong sembunyi di alingan tembok di pojok utara. Ia hendak menguntit terus setelah si orang tua jalan sedikit jauh. Akan tetapi Khiu Cian Jin seorang cerdik, begitu ia mendengar suara Kwee Ceng, ia menduga si nona lagi mengikutinya. Maka setelah menikung di ujung tembok, ia juga menyembunyikan dirinya. Dengan begitu, dua-dua mereka sama-sama bersembunyi. Dengan begitu, sama-sama mereka berdiam. Yang satu menantikan yang lain, yang lain menunggui yang satu. Selang sekian lama, karena dua-duanya tetap bersembunyi, mereka ingin melihat. Keduanya menongolkan kepala mereka. Apa mau, waktunya tepat, bareng sekali. Maka mata mereka bentrok sinarnya satu dengan lain. Nyatanya mereka bersembunyi dekat satu dengan lain. satu di pojok sana, satu di pojok lain - jarak di antara mereka tidak ada setengah kaki! Tentu sekali, kedua-duanya menjadi sama kagetnya. Setelah menyaksikan peristiwa di Kun San, Oey Yong jeri terhadap orang tua itu, yang sekian lama ia mengiranya seorang penipu besar, yang cuma namanya kesohor tapi gunanya tidak, tidak tahunya, dia sangat lihay. Khiu Cian Jin sebaliknya jeri terhadap si nona, karena sudah beberapa kali dia bercelaka di tangan si nona itu. Maka, setelah sama-sama berseru kaget, sama-sama juga mereka menyingkir masing-masing! Oey Yong tidak puas. Segera ia kembali, untuk menguntit pula. Ia pikir jalan memutari rumah besar itu. Karena ia khawatir Khiu Cian Jin sudah pergi jauh, ia bertindak cepat. Ia ingat tiba lebih dahulu di ujung tembok timur, untuk dapat menguntit terus. Juga Khiu Cian Jin berpikir seperti si nona, ia pun jalan memutar seperti nona itu. Tidak heran kalau lekas juga mereka jadi bersamplokan pula! Sekarang mereka bertemu di tembok menghadap ke selatan. Oey Yong sudah lantas berpikir. "Jikalau aku memutar tubuh dan pergi dari sini, bisa-bisa nanti ia membokong punggungku! Dia sangat lihay, mana bisa aku mengelit diri?" Maka itu, ia lantas tersenyum. Ia berkata. "Khiu Locianpwee, dunia ini benar-benar sempit! Kembali kita bertemu di sini!" Sambil berkata begitu, si nona pun berpikir. "Baiklah aku mengulur tempo! Aku mesti menantikan engko Ceng, itu waktu aku tak usah takut lagi." Khiu Cian Jin juga sama berpikir seperti si nona. Dia tertawa dan berkata. "Itu hari kita berpisah di Liam-an, siapa sangka sekarang kita bertemu pula di sini. Apakah kau banyak baik, nona?" Oey Yong heran tak kepalang. "Bangsat tua, kau ngaco belo!" Katanya di dalam hatinya. "Terang-terang tadi malam kita bertemu di Kun San, sekarang kau menyebut-nyebut tentang pertempuan di Lim-an itu! Baik, biarlah kau ngoceh tidak karuan! Aku ada membuat ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat, kenapa aku tidak mau menghajar dia sebelum dia sadar?" Maka ia lantas berteriak nyaring. "Engko Ceng, kau hajar punggungnya!" Khiu Cian Jin kaget. Ia mengira Kwee Ceng muncul di belakangnya. Ia lantas menoleh. Oey Yong sangat sebat, berbareng sama teriakannya itu, tangannya mengeluarkan tongkatnya, dengan apa ia terus menyapu ke bawah! Juga Khiu Cian Jin sangat licin. Ia menoleh dengan cepat, ia tidak melihat Kwee Ceng, lantas ia insyaf bahwa ia diperdayakan. Ia pun mendengar bersiurnya angin, maka ia lantas berlompat. Maka bebaslah ia dari sapuan itu. Akan tetapi Oey Yong tidak sudi mengasih hati. Gagal sapuannya, ia mengulanginya. Dan ia mengulanginya terus, berulang-ulang, untuk membikin orang tak dapat bernapas. Bukan main takutnya Khiu Cian Jin. Dengan terpaksa, ia berlompatan. Tidak ada ketikanya untuk melesat jauh, guna terus melarikan diri. Setelah tujuh atau delapan kali lompat-lompatan terus, betis kirinya kena juga oleh ujung tongkat, tidak tempo lagi, dia menjerit mengaduh dan tubuhnya terbanting. "Tahan! Aku hendak bicara!" Ia berkata, tangannya diangkat. Oey Yong menghentikan serangannya, ia mengawasi sambil tertawa geli, tetapi begitu lekas orang bangun sambil berlompat, tidak menanti kaki orang itu mengenai tanah, ia menyapu pula. Di dalam keadaan seperti itu, Khiu Cian Jin tidak dapat berkelit lagi, maka lagi sekali ia terguling memegang tanah. Ia bandel sekali, setiap kali jatuh, ia bangun sambil berlompat, maka itu si nona pun, saban orang berlompat dia membarengi menyapu. Dengan demikian, enam kali orang she Khiu itu jatuh bangun. Habis itu, Cian Jin terus mendekam di tanah. Ia tahu percuma ia berlompat bangun. Ia pun tidak berani berkutik. "Kau berpura-pura mampus?" Kata Oey Yong tertawa. Khiu Cian Jin menyahuti sambil ia berlompat bangun, hanya kali ini ia berlompat seraya menarik tali celananya, hingga tali itu putus, sambil berbuat begitu, ia berteriak-teriak. "Kau mau pergi atau tidak? Hendak aku melepaskan tanganku!" Nona Oey melengak. Ia tidak menyangka bahwa seorang ketua partai mau main gila seperti itu. Tentu sekali ia takut orang membuktikan ancamannya, itu artinya Khiu Cian Jin meloloskan pakaiannya, maka terpaksa sambil berludah ia memutar tubuhnya untuk bertindak pergi. Ia lantas mendengar suara orang tertawa kegirangan, disusul sama suara tindakan kaki. Ketika ia mencoba menengok, ia melihat Khiu Cian Jin masih memegangi celananya itu, bahkan sekarang ia lari hendak mengejar. Nona ini mendongkol berbareng merasa lucu, tetapi ia terpaksa lekas-lekas lari. Khiu Cian Jin belum lari jauh ketika ia memikir sudahlag cukup ia mengusir nona itu, maka hendak ia berhenti mengejar, tetapi justru itu, Kwee Ceng muncul dari ujung rumah, ia lantas maju menghalang, kedua tangannya digeraki, tangan kirinya menjaga dada, tangan kanannya diajukan. "Celaka!" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Berseru Khiu Cian Jin. Ia lantas berhenti mengejar. "Hajar dia, engko Ceng!" Oey Yong kata. "Jangan ladeni ocehannya!" Kwee Ceng sudah lantas bersiap. Ia tahu Khiu Cian Jin sebagai pendusta, tapi di Kun San ia telah melihat ketangguhan orang, dia tidak mau memandang enteng. "Eh, anak-anak, kau dengar kata-katanya kakekmu!" Berkata Khiu Cian Jin sambil ia tetap memegangi celananya. "Selama beberapa hari ini kakekmu termaha gegares, dia menjadi mulas perutnya. Sekarang pun kakekmu mau buang air besar" "Engko Ceng, hajar dia!" Berkata Oey Yong yang sendirinya tak berani maju bahkan ia mundur. "Aku tahu hatimu, anak-anak," Berkata pula Khiu Cian Jin. "Jikalau kamu tidak diberi ketika akan menyaksikan kepandaiaan kakekmu, kamu tentu tidak puas, kamu tidak suka menyerah, maka sayang sekali sekarang justru perut kakekmu lagi sakit, semua yang ada di dalam perutnya mau melonjor keluar. Baiklah anak-anak yang manis, aku beri tempo padamu. Lagi tujuh hari maka kakekmu akan menantikan kamu di kaki gunung Tiat Ciang San! Beranikah kamu pergi ke sana?" Oey Yong telah menyiapkan seraup jarumnya, hendak menyerang apabila saatnya telah tiba, akan tetapi ia mendengar orang menyebut nana gunung Tiat Ciang Pang, mendadak ia ingat huruf-huruf dalam gambar peninggalannya Kiok Leng Hong, yang bunyinya "Tiat Ciang San-hee" Atau "di bawah gunung Tiat Ciang San" - gunung Tangan Besi. Maka ia lantas menyahuti. "Baiklah, biarnya tempat itu mirip kedung naga atau gua harimau, tentu kamu nanti pergikan! Di mana adanya Tiat Ciang San itu?" "Dari sini kau pergi ke barat," Berkata Khiu Cian in menyahuti, tangannya menunjuk, kamu nanti melintasi Siang-tek, Sin-cu dan sungai Goan Kang. Kamu ikutilah sungai itu mudik. Nanti kamu tiba di Louw-kee dan Sin-kee. Di antara itu ada sebuah gunung tinggi yang berupa seperti lima jari menunjuk ke langit, nah itulah dia gunung Tiat Ciang San. Gunung itu sangat berbahaya, kakekmu sendiri sangat lihay, maka itu kedua bocah, umpama kata kamu takut, baiklah sekarang saja kamu mohon ampun dari kakekmu, lantas bolehlah tak usah kamu pergi ke sana!" Oey Yong mendengar keterangan "seperti lima jari menunjuk ke langit", ia jadi bertambah girang. "Baiklah!" Ia memberikan jawabannya. "Sekarang aku memberi kepastian, di dalam tempo tujuh hari kami nanti pergi mengunjungi gunungmu itu!" Khiu Cian Jin mengangguk-angguk, atau mendadak ia berteriak pula. "Celaka!" Berulangkali dan tanpa membilang apa-apa lagi, ia lari keras ke barat! Kwee Ceng tidak mengubar, bersama Oey Yong ia mengawasi sampai orang telah pergi jauh. Kemudian ia kata pada si nona. "Yong-jie, ada satu hal yang bagiku benar-benar tidak jelas. Cobalah kau yang menerangkannya." "Apakah itu?" Oey Yong. "Ini cianpwee she Khiu sangat lihay, kenapa dia gemar sekali memperdayakan orang?" Kwee Ceng mengutarakan keheranannya. "Kau lihat sendiri, ada kalanya dia berpura-pura berkepandaian sangat rendah. Di Kwie-in-chung dia telah meninju dadaku, coba dia mengeluarkan tangannya seperti tadi malam, mana bisa jiwaku bisa hidup sampai sekarang ini? Apakah dia berlagak gila saja? Atau apakah dia ada mengundang maksud yang lain?" Oey Yong berpikir, ia menggigit jari tangannya. "Dalam hal ini, aku juga sangat tidak mengerti," Sahutnya sesaat kemudian. "Tadi aku serang dia berulang kali, dia selalu roboh tak berdaya sama sekali, dia tidak mampu membalas menyerang, bahkan dia lantas main gila. Apa mungkin dia juga memperdayakan orang diwaktu dia menekuk melengkung tongkat baja?" Kwee Ceng menggeleng kepala. "Dia telah meremas tangannya Lou Toangloo," Dia menambahkan. "Ketika ia menyambuti seranganku dengan tipu silat Kek San Tah Gu, itulah ilmu sejati. Ilmu itu tak dapat dipalsukan" Oey Yong lantas membungkuk, dengan tusuk kondenya, ia menggurat-gurat tanah, lalu selang sesaat, ia menghela napas. "Benar-benar kau tidak dapat menerka tua bangka itu lagi memberi pertunjukan apa," Katanya. "Biarlah, mari kita pergi ke Tiat Ciang San, setibanya di sana pasti kita akan mendapatkan pemecahannya." "Buat apa kita pergi ke Tiat Ciang San?" Tanya Kwee Ceng, bersangsi. "Benar urusan kita telah selesai tetapi kita harus mencari suhu. Tua bangka itu pandai main gila, perlu apa kita menangkapnya benar-benar?" "Engko Ceng, mari kau tanya kau," Kata si nona. "Bukankah gambar yang ayahku berikan padamu telah basah dan huruf-huruf apakah yang telah kau lihat di dalam situ?" "Surat itu telah rusak sampai artinya tak dapat ditangkap," Kata Kwee Ceng sambil menggoyangi kepalanya. "Habis, apakah kau tidak memikirkannya?" Tanya pula Oey Yong tertawa. Kwee Ceng benar-benar tidak dapat memikir atau menduga. "Ah, Yong-jie yang baik," Katanya. "Kau tentu telah dapat memikir sesuatu, maka lekaslah kau jelaskan itu padaku!" Oey Yong lantas menggurat pula di tanah. Ia menulis huruf-huruf di gambar, yang ia telah ingat dengan baik. Ia berkata. "Di garis pertama itu, yang kurang mestinya satu huruf Bu. Kalau keempat huruf itu lengkap, itu mestinya 'Surat wasiat Bu Bok.' Sekarang garis yang kedua. Sekian lama aku tidak dapat pikir itu, sampai tadi si tua bangka menyebutnya. Menurut dugaanku, huruf itu mestinya 'san' atau 'hong', ialah gunung atau puncak.." Kwee Ceng lantas membaca. "Jadinya, surat wasiat Bu Bok di gunung Tiat Ciang San." Ia lantas bertepuk tangan, terus ia berseru. "Bagus! Sekarang mari kita lekas pergi ke sana! Tiat Ciang Pang bersekongkol sama bangsa Kim, mungkin sekali surat wasiat Gak Hui itu mereka serahkan pada Wanyen Lieh! Hanya tinggal yang dua garis lagi" Oey Yong tertawa. "Kau sendiri tidak mau menggunakan otakmu, kau paling bisa mendesak orang," Ia kata. "Aku rasa, garis yang ketiga itu harus dicari dari kata-katanya si tua bangka bahwa gunung itu mirip lima jeriji tangan. Bukankah itu berbunyi 'dibawah puncak jari tengah'?" Kembali Kwee Ceng menepuk tangan. "Yong-jie, kau sungguh cerdik, kau cerdik!" Ia memuji pula. "Sekarang tinggal garis keempat, yang keempat.." Oey Yong berdiam, ia berpikir. "Ini, inilah sukar.." Sahutnya. ".yang kedua apakah itu?" Ia memiringkan kepalanya, hingga rambutnya turun memain. "Sudahlah, nanti saja kita pikirkan pula. Sekarang kita pergi dulu." Sampai di situ, mereka tidak berayal lagi. Maka mereka lantas cari kuda dan burung mereka, terus mereka mulai dengan perjalanan ke arah barat itu, menurut petunjuk Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Cian Jin yang aneh itu, yang sebentar temberang dan jenaka, kemudian kosen benar-benar, lalu main memutuskan tali pinggang Mula-mula mereka melewatkan Siang-tek, lalu melintasi Tho-goan, sampai di Goan Kang, atau Goan-leng, mereka jalan ke hulu, dari sini mereka benar tiba di Louw-kee. Di sini mereka tanya-tanya orang di mana adanya gunung Tiat Ciang San. Mereka mendapat jawaban yang berupa gelengan kepala. Mereka menjadi heran, hampir mereka putus asa. Maka terpaksa mereka pergi mencari rumah penginapan. Malam itu Oey Yong pasang omong dengan pelayan yang bicara banyak, tetapi tidak pernah menyebutkan Tiat Ciang San. Maka kemudian si nona kata. "Semua tempat yang kau sebutkan itu ada tempat-tempat yang umum, dasar Louw-kee tempat kecil, di sini tidak ada gunung dan airnya yang bagus!" Dengan "gunung dan air", si nona maksudkan pemandangan alam yang indah. Kata-kata itu yang mengandung hinaan, membikin pelayan itu tak puas. "Meskipun Louw-kee tempat keci," Katanya. "Tetapi pemandangan alam di gunung Kauw Jiauw San mana ada yang dapat menandanginya?" Oey Yong ketarik sama nama gunung itu, yang artinya gunung Kuku Kera. "Di mana letaknya Kauw Jiauw San itu?" Ia tanya. "Maaf," Berkata pelayan itu yang tidak menjawab, hanya ia mengundurkan diri. Oey Yong memburu, di ambang pintu, ia menjambak punggung orang, untuk menarik dia itu kembali ke dalam kamar. Ia terus merogoh keluar sepotong perak dan meletaki itu di atas meja. "Kau omong biar jelas, uang ini untukmu," Ia kata. Ketarik hatinya pelayan ini, ia meraba-raba uang perak itu. "Perak begini besar?" Katanya. "Ya," Sahut Oey Yong bersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku nanti menjelaskannya," Pelayan itu lantas berkata, perlahan. "Cuma aku minta jangan jiewi pergi ke sana. Di atas gunung itu ada berdiam sekawanan hantu yang jahat, mereka juga memelihara banyak ular berbisa. Siapa mendekati gunung itu lima lie, jangan harap jiwanya selamat!" Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang, mereka saling mengangguk. "Kauw Jiauw San itu terdiri dari lima puncak, yang semuanya menjulang ke langit mirip tangan kera, bukankah?" Kemudian si nona tanya. Pelayan itu girang. "Ah, kiranya nona sudah tahu!" Katanya. "Jadi itulah bukan aku yang menjelaskannya. Lima puncak itu memang luar biasa sekali." "Kenapa begitu?" Tanya Kwee Ceng. "Lima puncak itu berdiri rapat seperti lima jari tangan," Menerangkan si pelayan. "Puncak yang di tengah ialah puncak yang paling tinggi. Puncak-puncak yang lainnya, di kedua sisinya lebih rendah. Yang aneh ialah setiap puncak itu ada garisnya, mirip sama tiga tekukan jari tangan." Mendengar itu, Oey Yong berjingkrak-jingkrak sambil berseru. "Yang kedua! Yang kedua!" "Benar! Benar!" Kwee Ceng pun berseru kegirangan. "Engko Ceng mari kita pergi!" Berkata Oey Yong. "Tempat itu terpisah dari sini tak ada enampuluh lie, dengan menunggang kuda merah, sebentar saja kita bisa sampai di sana," Berkata Kwee Ceng. "Aku pikir, baiklah besok saja kita pergi berkunjung ke sana." Si nona tertawa. "Siapa yang mau membuat kunjungan?" Katanya. "Kita mencuri buku!" "Ah!" Seru Kwee Ceng, yang baru sadar. "Kenapa aku tolol sekali, aku tidak dapat memikir sampai ke situ!" Dua orang ini tidak mau membikin orang penginapan yang mengetahui perbuatan mereka, mereka keluar dengan diam-diam dengan melompati jendela. Dengan hati-hati juga mereka menuntun kuda mereka. Lalu, dengan menuruti petunjuk pelayan, mereka berangkat menuju ke arah tenggara. Jalanan ada jalanan pengunungan dan rumputnya tinggi-tinggi, jalanan sukar, tetapi kuda kecil itu dapat melalui itu. Di dalam tempo satu jam, sampailah mereka di kaki gunung. Terlihat jelas lima puncak gunung, yang mirip dengan lima jari tangan berdiri tegak, terutama puncak yang di tengah-tengah itu. "Puncak ini sama benar dengan puncak di dalam gambar," Berkata Kwee Ceng setelah ia mengawasi sekian lama. "Lihat di puncak itu, bukankah itu pohon cemara?" Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti. "Ya, hanya di sana kurang seorang jenderal yang lagi bersilat dengan pedang!" Lantas mereka meninggalkan kuda mereka dan burung rajawali di kaki gunung itu, mereka jalan memutar ke belakang gunung. Di sini, di mana tidak tertampak ada orang lain, mereka mulai mendaki dengan berjalan cepat bagaikan lari. Beberapa lie telah dilewatkan, jalanan menikung, lalu menuju ke barat. Mereka maju terus. Di sini jalan selanjutnya berliku-liku sampai di depan mereka, mereka tampak pohon cemara melulu. Mereka berhenti sebentar, mereka bersangsi, hingga mereka saling bertanya baik mereka mendaki terus atau melihat-lihat dulu. Selagi mereka berbicara, si burung merah molos dari tangan baju Oey Yong, terus ia terbang ke dalam rimba. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Si nona sangat menyayangi burungnya itu, sambil menggapai kepada Kwee Ceng, ia lari ke arah rimba itu, untuk menyusul burungnya. Hanya ia menjadi bingung ketika lekas sekali ia kehilangan hiat-niauw yang terbangnya sangat cepat. Terpaksa ia maju terus dengan Kwee Ceng mengikuti. Sekira satu lie jauhnya, mereka tiba di satu tempat di depan mana ada cahaya api. Keduanya saling memberi isyarat, setelah mana mereka maju dengan perlahan-lahan, enteng tindakannya. Baru beberapa tindak, mendadak dari samping jalanan, di mana ada pohon-pohon besar, dua orang berlompat keluar, untuk menghadang di muka mereka. Dua orang itu sama-sama mengenakan pakaian hitam dan memegang senjata tajam. Hanya mereka itu tidak membuka suara. Oey Yong lantas berpikir. Ia tahu, kalau mereka bertempur, sulit untuk melakukan pencurian "buku", ialah surat wasiatnya Gak Hui itu. Ia cerdik sekali. Maka segera ia mengeluarkan tiat-siang, ialah tangan besi dari Khiu Cian in. Ia mengangkat tinggi-tinggi, terus ia bertindak tanpa membuka suara seperti dua orang itu. Kapan kedua orang berpakaian hitam itu menampak tangan besi tersebut, mereka terkejut, dengan lekas mereka memberi hormat, lalu mereka menyingkir ke pinggiran untuk memberi jalan. Oey Yong berlaku sebat luar biasa. Tepat orang mundur, tepat ia menyerang. Dengan tongkatnya, dengan dua gerakan saling susul, ia menotok kedua orang itu, hingga keduanya roboh tak berdaya lagi, hingga gampang saja mereka didupak mencelat ke dalam gompolan rumput. Habis itu, dengan cepat tetapi berhati-hati, mereka maju pula, menghampirkan api yang tadi terlihat samar-samar. Nyatalah itu ada sebuah rumah batu dengan lima ruang dan api munculnya dari dua ruang timur dan barat. Mereka menghamprkan ruang barat itu. Segara hidung mereka menangkap bau amis. Tapi mereka tidak menghiraukannya, mereka lantas mengintai di jendela. Di dalam kamar itu ada sebuah perapian besar, yang apinya menyala marong. Di atas situ ada sebuah kuali. Dua kacung menanti di samping perapian itu, yang satunya lagi menolak pompa anginnya, yang lainnya tengah melemparkan seekor ular yang ia jumput dari dalam karung, di lemparkan ke dalam kuali itu, di depan kuali ada seorang lain, seorang tua yang duduk numprah dengan mata dimeramkan, dengan menggunakan tenaga besar, ia menghisap menyedot uap yang mengepul dari kuali itu, uap mana teranglah berhawa panas. Orang tua itu mengenakan baju kuning pendek. Dan dia bukan orang lain daripa Khiu Cian Jin. Selagi ia menyedot hawa masakan ular itu, kepala Khiu Cian Jin mengeluarkan hawa panas yang nampak bagaikan uap juga, sedang kedua tangannya yang diangkat tinggi, sepuluh jerijinya pun terlihat mengeluarkan uap serupa. Habis itu, mendadak ia bangun berdiri, kedua tangannya itu dimasuki ke dalam kuali. Di waktu begitu, maka si bocah tukang kipas lantas mengompa angin dengan luar biasa kuat hingga ia memandikan keringat pada dirinya. Khiu Cian Jin membiarkan tangannya berada di dalam godokan ular itu, sampai rasa panasnya sudah tak tertahankan, baru ia menarik kedua tangannya itu. Setelah menarik, ia menyampok sebuah kantung kain yang tergantung di dalam ruangan itu, sampokannya itu menerbitkan suara nyaring, tetapi kantungnya sendiri tidak bergoyang. Kwee Ceng heran. Ia tahu betul isinya kantung itu mestinya pasir dan isi itu tak ada satu batok. Yang mengherankan ialah kantung itu tersampok tanpa bergoyang itu. Itulah menandakan lihaynya ilmu silat orang tua itu. Oey Yong sebaliknya daripada engko Cengnya itu. Ia tetap menganggap si orang tak lain lagi bersandiwara, untuk mengelabui orang. Coba ia tidak lagi memikir untuk mencuri surat wasiat, pastilah ia hendak menjengeki orang tua itu. Latihannya Khiu Cian Jin diulangi dan diulangi lagi. Habis menyampok kantung, ia masuki pula tangannya ke dalam kuali panas itu, habis itu, ia mengangkat lagi tangannya itu dan menyampok kembali kantung pasir. Demikian seterusnya. Setelah mengintai sekian lama, Oey Yong dan Kwee Ceng pergi ke kamar tidur. Di sini mereka menyaksikan pula hal yang mengejutkan mereka. Sebab disini mereka menemukan dua orang yang mereka kenal baik, ialah Yo Kang bersama Bok Liam Cu. Sepasang muda mudi itu lagi bicara dengan asyik, atau lebih benar, Yo Kang alias Wanyen Kang lagi membujuki si nona untuk mereka menikah siang-siang. Manis sekali bicaranya putra dari almarhum Yo Tiat Sim itu. Sebaliknya nona Bok bersikeras meminta si pemuda lebih dulu membalaskan sakit hatinya terhadap Wanyen Lieh, supaya pangeran bangsa Kim itu dibunuh mati, untuk melampiaskan dendeman ayah dan ibunya. Katanya dengan begitu baru ia puas dan hatinya akan menjadi lega dan senang. "Ah, adik yang baik, mengapa kau tidak dapat melihat kenyataan?" Kata Yo Kang manis. "Kenapa begitu?" Liam Cu tanya heran. "Memang! Wanyen Lieh itu terjaga kuat sekali, aku seorang diri, mana dapat aku membunuh dia begitu gampang, seperti kau menginginkannya?" Menjawab Yo Kang. "Lagianya kalau aku bersendirian saja, mana bisa aku gampang bekerja? Tidak demikian setelah kau menjadi istriku. Nanti aku ajak kau menghadap dia lalu dengan mendadak kita bekerja berbareng, menyerang padanya selagi dia tidak bersiaga. Tidakkah dengan begitu maksud kita dapat tercapai?" Alasan itu kuat, Bok Liam Cu lantas tunduk. Di antara sinar lampu, kelihatan nyata kedua belah pipinya yang merah, menandakan kecantikannya. Yo Kang melihat hati orang tertarik, ia lantas mencekal tangan orang yang kiri, yang ia uasp-usap. Menampak demikian macam, Oey Yong kehilangan kesabarannya. Ia menganggap Liam Cu terancam bahaya. Warisan Jenderal Gak Hui Karya Chin Yung Tugas Rahasia Karya Gan KH Bangau Sakti Karya Chin Tung