Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 53


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 53


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Kwee Ceng terdesak, ia lantas berkelit, terus kedua tangannya dipakai menolak seperti tadi.   Itulah serangan membalas yang hebat.   Si nyonya mengetahui itu, maka kembali ia membebaskan diri seperti tadi.   Nyata ia telah menggunai "Nie-ciu Kang", ialah ilmu silat si Lindung.   Sampai di situ, keduanya sama-sama berlompat mundur dan sama-sama bersiaga.   Mereka telah menginsyafi lihaynya masing-masing.   Kwee Ceng berpikir.   "Aneh ilmu silat si nyonya ini. Dengan dia tidak bisa dihajar, bukankah tinggal aku sendiri yang setiap saat bisa diserang olehnya?"   Dan si nyonya kata di dalam hatinya.   "Ini anak masih muda sekali, cara bagaimana dia sudah jadi begini lihay?. Di sini aku telah bersembunyi sepuluh tahun lebih, aku telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, aku memikir aku bisa menjagoi, hingga tak lama lagi, aku bisa pergi untuk menuntut balas, siapa tahu, bocah bau susu ini pun aku masih belum bisa merobohkannya. Tidakkah ini berarti sia-sia belaka aku menyiksa diri sepuluh tahun lebih. Bagaimana aku bisa nanti membalas sakit hatiku itu?"   Ingat begini, ia menjadi berduka, tanpa merasa, matanya menjadi merah, air matanya lantas mengalir turun. Kwee Ceng berhati mulia, ia mengira si nyonya telah terhajar keras olehnya, ia lantas berkata.   "Maaf, cianpwee, aku yang muda berbuat kurang ajar terhadapmu, tetapi inilah bukan disengaja. Sekarang aku minta sukalah cianpwee mengijinkan kami berlalu"   Eng Kouw mendapatkan sambil bicara si anak muda itu saban-saban melirik si nona, agaknya ia sangat menyayang dan memperhatikan, melihat begitu, ia jadi ingat akan nasibnya sendiri yang tidak beruntung, yang terpisah jauh dari kekasihnya, yang tidak mempunyai harapan akan dapat berkumpul pula.   Kapan ia ingat akan nasibnya, mendadak timbul rasa julesnya.   Maka ia kata dengan dingin.   "Anak perempuan ini telah terkena tangan beracun Ngo Tok Sin-ciang dari Khiu Cian Jin, paling lama ia hidup hanya tiga hari, perlu apa kau masih menyayangi dan melindunginya?"   Mendengar itu, Kwee Ceng kaget sekali, lekas- lekas ia menoleh kepada Oey Yong. Ia melihat muka si nona seperti ditawungi sinar guram. Dengan lantas ia lompat kepada kekasihnya itu. "Yong-jie, bagaimana kau rasa?"   Ia menanya, suaranya menggetar.   Oey Yong merasai dada dan perutnya panas, sebaliknya kaki tangannya dingin.   Ia menyahuti.   "Engko Ceng, selama tiga hari ini, jangan kau meninggalkan aku pergi sekalipun cuma setindak.   Dapatkah?"   "Setengah tindak juga aku tidak akan tinggalkan kau"   Menjawab si anak muda cepat sedang hatinya mencelos.   Rupanya si nona telah mendengar perkataannya si nyonya tua itu.   "Sekalipun tidak berpisah setengah tindak, temponya cuma lagi tigapuluh enam jam! berkata si nyonya dingin.   Kwee Ceng mengangkat kepalanya, memandang nyonya itu.   Ia tidak bisa berbuat lain daripada menunjuk roman minta dikasihani, ialah agar nyonya itu jangan mengeluarkan kata-kata yang dapat melukai hatinya Oey Yong.   Sebenarnya Eng Kouw masih hendak memuasi kejelusannya ketika ia menampak roman si anak muda ang lesu itu, ia lantas berpikir.   "Adakah Thian mengirim dua orang ini ke mari untuk aku membalas sakit hatiku ini?"   Ia mengangkat kepalanya, memandang langit. "Oh, Thian, Thian."   Keluhnya.   Justru itu di luar terdengar pula suara berisik dari orang-orang Khiu Cian Jin, rupanya mereka masih mencari di sekitar situ dan sekarang kembali mendekati rumah yang dikurung dengan rawa lumpur, yang pepohonannya merupakan rahasia keder.   Terang mereka menyangka si muda-mudi berada di dalam rumah tetapi mereka tidak berdaya untuk memasukinya.   Lewat lagi sesaat dari arah rimba terdengarlah suaranya Khiu Cian Jin, si ketua Tiat Ciang Pang.   "Sin-soan-coe Eng Kouw, Kiu Tiat Ciang mohon bertemu denganmu!"   Suara itu datang dengan melawan angin tetapi karena dikeluarkannya dengan bantuan tenaga dalam yang mahir, terdengarnya terang sekali. Eng Kouw bertindak ke jendela. Ia pun mengempor tenaga dalamnya. Ia menyahuti dengan suara yang panjang.   "Aku ini biasanya tidak menerima kunjungan orang luar. Apakah kau tidak ketahui bahwa siapa datang ke tempatku ini, rawa lumpur hitam, dialah bagiannya mati, tidak bagian hidupnya?!"   Di sana terdengar pula suaranya Khiu Cian Jin.   "Ada dua orang muda, satu pria dan satu wanita, masuk ke dalam rawa lumpr hitam kau ini, maka aku minta sukalah kau menyerahkan mereka padaku!"   "Siapakah yang dapat masuk ke dalam rawa lumpur hitamku ini?"   Berkata Eng Kouw.   "Sekarang ini ada tengah malam buta rata, maka janganlah kau mengganggu tidur orang yang nyenyak!"   "Baiklah kalau begitu!"   Terdengar lagi suara Khiu Cian Jin.   "Jangan kau berkecil hati!"   Suara itu bernada tak berani memandang enteng kepada si nyonya. Habis itu terdengarlah suara berisik yang pergi jauh. Eng Kouw berpaling pada Kwee Ceng.   "Kau ingin menolongi adikmu ini atau tidak?"   Ia tanya. Kwee Ceng melengak, lalu ia menjatuhkan dirinya berlutut. "Jikalau locianpwee suka menolong"   Katanya. "Locianpwee!"   Kata si nyonya, bengis.   "Apakah aku sudah tua?"   "Tidak, tidak terlalu tua,"   Sahut Kwee Ceng cepat.   Sinar matanya Eng Kouw berpindah dari si anak muda ke jendela, dari mulutnya terdengar kata-kata ini.   "Tidak terlalu tuaHm, itu artinya sudah tua!" Kwee Ceng menjadi bingung.   Rupanya perkataannya itu telah menyinggung si nyonya.   Ia tidak tahu mesti membilang apa.   Eng Kouw menoleh pula.   Sekarang ia melihat kepala orang berkeringatan.   "Kalau orangku itu dapat menyayangi aku satu persepuluh saja dari si bocah tolol ini,"   Pikirnya.   "Ah, tidakkah sia-sia belaka hidupku ini"   Lalu ia bersenandung dengan perlahan.   "Empat buah perkakas tenunmaka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan.Sayang, belum lagi tua tetapi kepala sudah putih.   Gelombang musim semi, rumput hijau, di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi, saling berhadapan mandi baju merah.."   Mendengar itu Kwee Ceng heran. "Ah, rasanya aku kenal syair ini"   Pikirnya. Tapi ia tidak ingat, siapa pernah membacakan itu. Itulah bukannya Cu Cong, gurunya yang nomor dua dan juga bukan Oey Yong. Maka dengan perlahan, ia menanya si nona.   "Yong-jie, siapakah yang mengarang syair ini? Apakah artinya itu?"   Si nona menggeleng kepala. "Aku mendengar ini baru untuk pertama kali,"   Sahutnya.   "aku tidak tahu siapa pengarangnya. Sayang belum tua tetapi kepala sudah putihSungguh suatu kata-kata yang bagus!"   Kwee Ceng masgul, sudah ia tidak ingat, Oey Yong pun tidak tahu, sedang si nona terpelajar, luas pengetahuannya. Pikirnya.   "Syair bukan buatan Oey Yong, tentu bukan karya ayahnya. Habis siapakah? Toh aku ingat aku pernah mendengarnya"   Eng Kouw pun lantas berdiam. Ia lagi memikirkan segala apa yang telah berlalu. Ia nampak sebentar bergirang sebentar berduka. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan berkata.   "Adikmu ini terhajar tangannya Kiu Tiat Ciang Pang, entah ada benda apa yang menghalanginya sehingga ia tidak mati lantas, meski begitu, tidak peduli bagaimana dia tidak bakal dapat bertahan lewat tiga hari. Ah, lukanya ini cuma ada satu orang yang dapat menolongnya"   Kwee Ceng lagi menjublak ketika ia mendengar kata-kata terakhir itu, hatinya lantas memukul keras saking girangnya, maka ia lantas menjatuhkan diri berlutut pula di depan nyonya itu, ia mengangguk tiga kali hingga kepalanya membentur tanah.   Ia lantas memohon.   "Tolong loooh, tidak, tidak! Tolong kau menolongi adikku ini, budimu tidak nanti aku lupai"   "Hm!"   Bersuara Eng Kouw, dingin.   "Mana aku mempunyai kepandaian untuk menolongi orang? Kalau aku pandai, musahil aku berdiam di ini tempat membeku menderita kesengsaraan ini"   Kwee Ceng berdiam saja. "Nyata kau beruntung,"   Kemudian nyonya itu berkata pula.   "Kamu telah bertemu denganku yang mengetahui tempat kediaman orang itu, dan beruntung pula, tempatnya tidak jauh, maka di dalam tempo tiga hari, kamu dapat tiba di sanaHanyalah sukar untuk dibilang orang itu suka menolongi atau tidak."   Kwee Ceng girang bukan kepalang. "Aku nanti meminta, memohonnya!"   Ia berkata.   "Aku percaya tidak nanti ia tidak menolong kalau ia melihat bahaya lagi mengancam."   "Apa itu melihat bahaya mengancam tidak menolong?"   Kata Eng Kouw.   "Kebaikan apa kau telah berikan padanya? Kenapa dia mesti menolong kamu?"   Suara itu menggenggam kegusaran.   Kwee Ceng mengerti, ia tidak berani menyahuti.   Si nyonya bertindak ke kamar luar, di sana ia duduk di kursi, kepalanya ditunduki.   Ia memegangi pit, entah dia menulis apa.   Habis menulis, surat-suratnya itu dilepit, lantas dibungkus rapi dengan masing-masing sepotong cita, yang terus ia jahit, kemudian ia menjahit dan menjahit lagi hingga merupakan tiga kantung.   Habis itu, baru ia kembali ke kamar bundar itu.   "Sekeluarnya dari rimba ini, menyingkirlah kamu dari kepungannya Tiat Ciang Pang,"   Ia berkata.   "Kamu menuju langsung ke timur laut, terus sampai di kecamatan Tho-goan. Di sana barulah kamu membuka kantung yang putih itu. Seterusnya tindakan apa yang kamu harus lakukan, di dalam situ ada ditulis jelas. Sebelum kamu sampai di sana, ingat baik-baik, jangan kamu buka surat ini!"   Kwee Ceng girang sekali, ia menghanturkan terima kasih berulangkali. Kemudian ia menyodorkan tangannya untuk menerima kantung-kantung itu. Eng Kouw menarik pulang tangannya. "Tunggu dulu!"   Katanya.   "Jikalau orang itu tidak sudi menolong, yah sudah saja, tetapi apabila dia suka menolongi hingga adikmu ini ketolongan, aku hendak minta suatu apa."   "Budi ini mesti dibalas,"   Berkata Kwee Ceng. "Cianpwee menitahkan saja!"   Eng Kouw tertawa dingin ketika ia berkata.   "Jikalau adikmu ini tidak binasa, maka di dalam tempo satu bulan ia mesti kembali ke mari dan di sini ia mesti tinggal bersama aku selama satu tahun!"   Kwee Ceng heran. "Kenapa begitu?"   Tanyanya. "Kenapa begitu?"   Balik tanya si nyonya.   "Apakah sangkutannya itu sama aku? Aku cuma tanya kau, kau suka atau tidak?"   "Kau menghendaki aku mengajari kau ilmu hitung Kie-bun-sut, bukan?"   Oey Yong campur bicara. "Apakah susahnya itu? Baik, aku memberikan janjiku!"   Eng Kouw mendelik kepada si anak muda. "Percuma jadi laki-laki, kau tak bisa melawan kecerdikan adikmu satu persepuluh!"   Ia mengejeknya tetapi ia menyerahkan tiga kantung kainnya itu.   Kwee Ceng menyambuti.   Ia melihat satu kantung putih, satu merah dan satu lagi kuning.   Ia lantas menyimpan itu baik-baik.   Ia memberi hormat sambil menjura tetapi Eng Kouw menyingkir, tak mau ia menerima hormat itu.   Ia kata.   "Tak usah kau mengucap terima kasih padaku, aku juga tidak sudi menerimanya. Kamu dan aku bukan sanak bukan kandung, perlu apa aku menolongi adikmu ini? Taruh kata kita bersanak, juga tak usah kau menjadi begini bersyukur. Adalah janji kita yang mesti ditepati. Aku bilang padamu, aku menolongi adikmu untuk diriku juga. Hm, siapa tidak berbuat untuk dirinya, dia dimusnahkan Langit dan Bumi!"   Kwee Ceng heran sekali.   Suara itu pun tak sedap untuk kupingnya.   Oleh karena ia memang tidak pandai bicara, ia tidak tahu mesti membilang apa.   Ia sekarang cuma mengingat keselamatannya Oey Yong.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Eng Kouw mengawasi pula si pemuda dengan mata mendelik.   "Kau telah bercapai lelas satu malaman,"   Katanya. "Kau juga tentu telah lapar, maka baiklah kamu dahar bubur!"   Oey Yong sudah lantas merebahkan diri di atas pembaringan, ia beristirahat separuh pulas separuh sadar.   Kwee Ceng menjagai dia di sampingnya, pikirannya tidak tentram.   Eng Kouw, yang pergi ke dalam, tak lama datang pula dengan membawa sebuah tetampan, di atas mana ada dua mangkok bubur yang masih panas, asapnya masih mengepul-ngepul.   Harum bubur itu.   Sebagai temannya ada daging ayam dan ikan.   Kwee Ceng lantas saja terbangun selera makannya.   Ia memang sudah lapar sekali.   Ia tidak menyangsikan pula si nyonya.   Tadi ia mengkhawatirkan Oey Yong, ia lupa makan.   Maka ia menepuk-nepuk belakang tangan kekasihnya itu.   "Yong-jie, mari dahar!"   Katanya. Oey Yong membuka matanya, ia menggeleng kepala perlahan. "Dadaku sangat sakit, aku tidak mau dahar,"   Sahutnya. "Hm!"   Eng Kouw tertawa dingin.   "Ada obat untuk melenyapkan rasa nyeri tetapi kamu bercuriga!"   Oey Yong tidak ambil peduli sindiran itu. "Engko Ceng, mari kasih aku sebutir pil Kiu-hoa Giok-louw-wan,"   Kata dia.   Pil itu ada pil pemberiannya Liok Seng Hong semasa di Kwie-in-chung, si nona simpan itu di dalam sakunya, ketika Ang Cit Kong dan Kwee Ceng terluka di tangan Auwyang Hong, mereka makan obat itu beberapa butir, benar obat itu tidak dapat menyembuhkan tetapi bisa menghilangi rasa sakit.   Kwee Ceng menyahuti, ia membuka kantung si nona dan mengeluarkan obat yang diminta itu.   Ketika Oey Yong menyebutkan namanya obat, hati Eng Kouw terkesiap, begitu lekas ia melihat pil merah itu, ia kata dengan bengis.   "Adakah ini Kiu-hoa Giok-louw-wan? Kasih aku lihat!"   Kwee Ceng heran mendengar suara orang demikian aseran, ia menoleh.   Maka ia melihat mata si nyonya bersinar tajam.   Ia menjadi lebih terheran lagi.   Tapi ia menyerahkan semua sekantung obat itu.   Kapan Eng Kouw menyambutnya, ia merasakan bau harum dari obat itu menyampok hidungnya.   Ia lantas merasakan tubuhnya adem.   Ia mengawasi si anak muda, terus ia menanya;   "Obat ini ada obat dari Tho Hoa To, darimana kamu mendapatkannya? Lekas bilang! Lekas!"   Suaranya itu bengis tetapi bengis bercampur nada sedih. Dalam herannya, Oey Yong berpikir.   "Dia hendak mempelajari ilmu Kie-bun-sut, apakah ia mempunyai hubungannya sama salah satu murid ayahku?"   Kwee Ceng sendiri sudah lantas menjawab.   "Adikku ini ialah putrinya pemilik Tho Hoa To!"   Mendadak Eng Kouw berlompat berjingkrak. "Anaknya Oey Lao Shia?!"   Dia berteriak. Kedua matanya lantas bersinar bengis, kedua tangannya terus dipentangkan, agaknya hendak dia menubruk si nona di depannya itu. "Engko Ceng, kembalikan tiga kantung itu!"   Kata Oey Yong.   "Karena dialah musuh ayahku, kita jangan menerima budinya!"   Kwee Ceng mengeluarkan kantungnya hanya ia berayal mengembalikannya. Ia bersangsi. ""Letaki, engko Ceng!"   Kata pula Oey Yong.   "Belum tentu aku mati! Mati pun boleh apa!"   Belum pernah Kwee Ceng tidak meluluskan sesuatu kehendaknya si nona, maka ia meletakinya tiga kantung surat wasiat itu. Eng Kouw memandang keluar jendela, perlahan terdengar keluhannya.   "Oh, Thian, Thian!"   Kemudian dengan lantas ia pergi ke kamar sebelah, di sana ia membaliki tubuhnya, entah apa yang ia lakukan. "Mari kita berangkat!"   Mengajak Oey Yong.   "Aku sebal melihat perempuan ini!" Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, si nyonya sudah kembali. "Aku hendak memperlajari ilmu Kie-bun-sut, perlunya untuk memasuki Tho Hoa To,"   Ia berkata.   "Sekarang gadisnya Oey Lao Shia ada di sini, aku menyakinkannya seratus tahun juga tidak ada gunanya. Dasar nasib, apa mau dibilang? Nah, pergilah kamu! Bawalah kantung itu!"   Ketiga kantung itu, bersama kantung obat, ia sesapkan di tangannya si anak muda. Kepada Oey Yon ia berkata.   "Obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini untukmu ada bahayanya tidak ada faedahnya, maka janganlah kau makan pula, hanya kalau nanti kau sudah sembuh, jangan kau lupa janji kita satu tahun itu! Ayahmu telah membikin rusak seluruh penghidupanku, maka semua barang makanan di sini, lebih suka aku memberikannya anjing yang makan, tak sudi aku memberikannya kepada kamu!"   Lantas bubur dan dua rupa masakannya itu ia lemparkan keluar jendela! Oey Yong gusar bukan kepalang, mau ia membuka mulutnya, atau mendadak ia sadar, maka ia lantas pegangi Kwee Ceng, untuk bangun berdiri.   Dengan tongkatnya, ia menulis tiga baris huruf di atas pasir, setelah mana ia mengajak si anak muda itu bertindak ke luar.   Kapan ia sudah tiba di pintu luar, Kwee Ceng berpaling ke belakang, dengan begitu ia bisa melihat Eng Kouw, yang semenjak tadi berdiam saja, lagi mengawasi ke tanah, agaknya dia berdiri bengong, rupanya dia tengah menghitung..   Sesampainya di muka rimba, Kwee Ceng menggendong Oey Yong, lalu ia bertindak pergi mengikuti jalan masuknya tadi.   Selama itu, ia menutup mulut, karena pikirannya dipusatkan kepada tindakan kakinya itu supaya ia tidak salah jalan.   Adalah setibanya di luar, di tempat aman, baru ia menanya si nona apa yang ditulisnya tadi.   Oey Yong tertawa.   "Aku menulis tiga macam hitungan untuknya,"   Sahutnya.   "Dia boleh memikirkan itu setengah tahun, tidak nanti dia mendapatkan jawabannya. Biarlah rambut putihnya menjadi tambah uban! Siapa suruh dia bersikap demikian kurang ajar!"   "Sebenarnya dia bermusuh apa dengan ayahmu?"   "Aku tidak tahu. Tidak pernah aku mendengar ayah mengomonginya."   Ia hening sedetik. Lantas ia menanya.   "Dimasa mudanya, dia mestinya cantik sekali. Benar tidak engko Ceng?"   Selagi menanya begitu, di hatinya ia menduga apa mungkin nyonya itu pernah saling menyinta dengan ayahnya "Biar dia cantik atau tidak,"   Kwee Ceng menyahut. "Dia lagi memikirkan tulisanmu itu, umpama kata dia mendadak menyesal, tidak nanti dia dapat menyusul kita."   "Entah apa dia tulis di dalam kantungnya itu?"   Tanya Oey Yong.   "Jangan-jangan dia tidak bermaksud baik. Apakah tidak baik kita membuka dan melihatnya?"   "Jangan, jangan!"   Kwee Ceng mencegah.   "Biar kita turut pesannya, sampai di kecamatan Tho-goan baru kita buka" Oey Yong sangat terpengaruhkan keinginan tahunya, ingin ia melihatnya, tetapi Kwee Ceng tetap mencegah akhirnya ia suka mengalah. Sementara itu tanpa terasa sang malam telah berlalu, sang fajar datang menggantikannya, Kwee Ceng naik ke atas sebuah pohon tinggi, untuk melihat kelilingan. Ia tidak melihat orang-orang Tiat Ciang Pang, maka hatinya lega. Ia lantas bersiul memanggil kuda serta burungnya, yang muncul dengan cepat. Yang datang belakangan ialah kedua burung rajawali. "Mari kita berangkat,"   Kata si anak muda setelah ia dan si nona sudah berada di punggung kuda mereka.   Justru itu waktu, di pinggiran rimba terdengar suara orang berseru-seru, lalu terlihat munculnya beberapa puluh orang.   Merekalah orang-orang Tiat Ciang Pang, yang tak putus asa meskipun Eng Kouw telah menampik mereka, dengan terpaksa mereka menanti sambil menyembunyikan diri, baru mereka keluar setelah Kwee Ceng mengasih dengar suaranya yang nyaring memanggil kuda dan burungnya.   "Maaf, tak dapat kami menemani kamu!"   Berkata Kwee Ceng kepada mereka itu seraya ia mengeprak mengasih kudanya lari, maka dalam tempo yang pendek, di kuda merah meninggalkan jauh sekali kawanan pengepungnya itu.   Di waktu tengah hari, Kwee Ceng telah melalui perjalanan beberapa ratus lie, maka ia lantas berhenti di tepi jalan, di mana ada sebuah warung nasi.   Di situ ia bersantap.   Oey Yong lagi sakit, ia makan sedikit bubur.   Habis makan anak muda ini menanya tuan rumah tempat itu apa namanya.   Ia diberi tahu bahwa ia berada di dalam wilayah kecamatan Tho-goan, maka tidak ayal lagi ia mengeluarkan kantung putihnya, untuk dibuka dan diperiksa.   Di dalam situ ada sehelai peta bumi dengan dua baris yang berbunyi.   "Jalan mengikuti petunjuk dalam gambar ini. Di ujung jalanan ini ada sebuah air tumpah yang besar, di samping mana ada sebuah rumah yang atap. Sampai di situ bukalah kantung yang merah."   Tanpa ragu-ragu, Kwee Ceng menuruti surat wasiat itu.   Ia mengasih kudanya lari sampai sekira delapanpuluh lie, sampai jalanan nyata makin jauh makin sempit.   Lagi delapan atau sembilan lie, jalanan merupakan jalanan selat yang sempit, di kiri-kanan ialah tembok gunung.   Jalanan demikian kecil hingga muat hanya satu orang.   Kuda merah juga tidak dapat jalan di situ.   Saking terpaksa, Kwee Ceng menggendong pula Oey Yong dan kudanya ditinggalkan, dibiarkan mencari makanannya sendiri.   Bab 61.   Tukang pancing, tukang kayu, petani dan pelajar Satu jam Kwee Ceng jalan terus.   Kadang-kadang ada tempat demikian sempit hingga untuk lewat di situ, Oey Yong mesti dipondong, tubuhnya dikasih miring.   Ketika itu ada bulan ke tujuh, matahari sangat terik, akan tetapi di situ puncak gunung menghalangi pengaruhnya sang Batara Surya, maka juga jalanan di selat itu sebaliknya menjadi adem.   Kwee Ceng jalan terus sampai ia merasa lapar, maka ia mengeluarkan bekalannya ransum kering, ia menangsel perut sambil jalan, karena ia tidak mau menyia-nyiakan tempo.   Ia telah makan habis tiga biji kue.   Tepat ketika lehernya kering karena ingin minum, kupingnya mendengar suara air.   Dengan lantas ia percepat tindakannya.   Semakin lama suara air semakin nyaring.   Ia mesti jalan mendaki.   Akhirnya si anak muda tiba di atas bukit.   Maka dari situ ia dapat melihat iar tumpah itu, yang besar sekali, airnya meluncur ke bawah, jatuh terbanting keras.   Itulah sebab suara yang nyaring tadi.   Ketika ia mengawasi, di samping air tumpah itu ia tampak sebuah rumah atap.   Ia lantas mencari sebuah batu besar di mana ia berduduk.   Ia lantas mengeluarkan kantung yang merah, yang terus dibuka.   Di dalam situ ada sebuah surat wasiat yang berbunyi.   "Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya yang dapat menolongi"   Membaca surat itu, Kwee Ceng terkejut. "Toan Hongya!"   Katanya kepada Oey Yong. "Bukankah dialah Lam Tee si Kaisar dari Selatan yang namanya kesohornya dengan nama ayahmu?"   Sebenarnya Oey Yong sudah lelah sekali tetapi mendengar disebutnya nama Kaisar dari Selatan itu, Lam Tee, ia menjadi ketarik hatinya. "Lam Tee?"   Katanya.   "Ya, aku pernah mendengarnya dari ayah. Toan Hongya itu adanya di Taili di Inlam dimana ia menjadi raja. Apakah itu bukan"   Ia berhenti berkata karena mendadak hatinya menjadi sangat dingin.   Bukankah Inlam itu ada satu propinsi yang jauh sekali, yang tak dapat dicapaikan dengan perjalanan hanya tiga hari? Ia lantas menguatkan hatinya, untuk berduduk sambil menyender pada tubuh si anak muda.   Ia mau melihatnya sendiri suratnya Eng Kouw itu.   Begini bunyinya surat dari kantung wasiat yang merah itu.   "Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya yang dapat menolongi hanya Toan Hongya itu banyak perbuatannya yang tak selayaknya, karena mana dia jadi tinggal menyembunyikan diri di Tho-goan, hingga orang sangat sukar menemuinya.   Kalau orang bicara dengannya dengan minta diobati, itulah justru pantangannya yang paling besar.   Kalau maksud itu diutarakan, belum lagi orang masuk ke rumahnya, orang bakal dibikin celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar.   Maka itu untuk bertemu dengannya, kamu mesti mendusta.   Kamu bilang saja bahwa kamu datang atas nama gurumu, Ang Cit Kong, untuk bertemu sama Toan Hongya, untuk menyampaikan berita penting.   Apabila kamu telah bertemu sama Toan Hongya, maka kamu serahkanlah isinya kantung kuning.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kehidupanmu tergantung dengan ini."   Habis membaca, Kwee Ceng menoleh kepada Oey Yong. Ia melihat si nona mengerutkan keningnya. Ia menanya.   "Yong-jie, kenapa Toan Hongya melakukan banyak perbuatan tak layak? Kenapa justru permintaan tolong diobati adalah pantangan yang terlebih besar lagi? Dan apa itu artinya kecelakaan di tangan si tukang pancing, tukang kayu, petani dan pelajar?"   Si nona menghela napas. "Engko Ceng, janganlah kau menganggap aku terlalu pintar hingga semua-semuanya aku mesti ada jawabannya."   Sahutnya. Kwee Ceng terkejut, ia mengawasi tanpa menanyakan lagi. Ia pondong nona itu. "Baiklah, mari kita turun!"   Ujarnya.   Tapi, sebelum mulai bertindak, ia mengawasi pula ke bawah ke air tumpah.   Di tepi air, di mana ada sebuah pohon yangliu, ia melihat seorang tengah berduduk, kepala orang itu ditutup sama tudung bambu.   Karena jaraknya jauh, ia tidak dapat melihat tegas.   Terpaksa, ia terus berjalan turun.   Terpengaruh oleh keinginannya lekas-lekas sampai, terbantu oleh jalana di situ tak sesukar tadi, lekas juga Kwee Ceng tiba di bawah, di tepian air tumpah itu.   Sekarang ia melihat orang tadi sedang duduk sambil memancing ikan.   Air tumpah jatuhnya sangat keras, air pun mengalir deras luar biasa, di mana bisa ada ikan di situ? Taruh kata ada ikannya, mana sempat ikan itu mencaplok umpan pancing? Maka anehnya yang orang memancing ikan di air sedemikian itu.   Pemuda itu tidak berani lancang mengganggu orang.   Lebih dulu ia mengawasi saja.   Ia mendapatkan si tukang pancing berumur tigapuluh tujuh atau tigapuluh delapan tahun, kulit mukanya hitam seperti pantat kuali, mukanya berewokan, bulunya kaku seperti kawat.   Kedua mata orang terus dipakai mengawasi tajam ke arah air.   Setelah mengawasi sekian lama, ia turunkan Oey Yong, supaya si nona dapat duduk menyender di pohon, untuk beristirahat, ia sendiri pergi ke tepian, untuk melihat di kobakan air tumpah itu ada ikan apa.   Orang itu tetap diam saja, mereka tidak ditegur sama sekali.   Sekian lama Kwee Ceng mengawasi, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya sinar kuning di dalam air itu.   Si tukang pancing nampak girang, sebab mendadak jorannya melenkung tertarik ke arah air.   Karena ada satu makhluk yang memakan umpan pancing itu - makhluk yang seluruhnya berwarna kuning emas.   Saking heran, si anak muda berseru sendirinya.   "Eh, binatang apakah itu?"   Berbareng sama seruannya si anak muda itu, seekor binatang yang serupa itu melesat pula menyambar pancing, maka si tukang pancing menjadi girang sekali, dengan erat-erat ia mempertahankan jorannya, yang sebaliknya jadi makin melengkung.   Rupanya kuat sekali merontanya si ikan aneh itu, sebentar kemudian, patahlah joran itu, kedua ikannya berloncat ke air, terus berenang pergi, lenyap di kolong batu.   Meski air sangat deras, ikan itu tak hanyut terbawa air.   Si tukang pancing lantas memutar tubuhnya, dia mengawasi Kwee Ceng dengan mata mendelik dan muka merah, tandanya ia murka sekali.   "Hai, bangsat cilik busuk!"   Dia mendamprat. "Setengah hari dan setengah mati aku menantikan di sini, sekejap saja kau membikin kaget dan kabur binatang yang aku lagi pancing itu!"   Terus ia mengangkat tangannya yang besar, seperti dia hendak menyerang, hanya entah kenapa, dia menahannya, hingga tangannya itu mengasih dengar suara meretek. Kwee Ceng tahu ia telah mengganggu orang itu, ia tidak menjadi gusar. "Maaf, paman,"   Katanya merendah.   "Sebenarnya bukan maksudku mengganggu padamu. Sebenarnya ikan apakah itu?"   Orang itu masih tetap gusar. "Buka matamu!"   Katanya sengit.   "Apakah itu ikan? Itulah Kim Wawa!"   Kwee Ceng tertawa. Ia tetap tidak gusar. "Mohon tanya paman, apa itu Kim Wawa?"   Ia tanya. Ia tidak mengerti makhluk itu dinamai "Kim Wawa"   Atau "Anak Emas". "Kim Wawa ialah Kim Wawa!"   Orang itu berteriak semakin gusar.   "Eh, bangsat bau, perlu apa kau banyak bacot?!"   Tetap Kwee Ceng mengendalikan diri. Ia membutuhkan petunjuk untuk mencari Toan Hongya. "Maaf, paman,"   Katanya, sembari ia memberi hormat pula. Tapi Oey Yong tak dapat bersabar seperti engko Ceng-nya itu. "Kim Wawa ialah ikan wawa yang berwarna kuning emas,"   Ia campur bicara.   "Apakah yang aneh pada ikan itu? Di rumahku, aku memeliharanya beberapa pasang!"   Tukang pancing itu heran mendengar si nona mengetahui tentang ikan itu, tetapi hanya sebentar ia tercengang, segera ia mengasih dengar suaranya yang tak sedap.   "Hm, kau ngepul ya? Kau memeliharanya beberapa pasang! Aku tanya padamu, apakah perlunya Kim Wawa itu?"   "Apa perlunya?"   Sahut si nona sabar.   "Aku melihatnya ikan itu bagus, dia dapat bersuara yayaya, seperti anak kecil, maka aku lantas memeliharanya, untuk dibuat main!"   Mendengar keterangan orang, tak salah, pengail itu mulai menjadi sabaran sedikit. "Eh, anak,"   Katanya kemudian.   "Kalau benar kau memelihara ikan itu, kau harus mengganti aku satu pasang!"   "Perlu apa aku mesti mengganti padamu?"   Si nona menanya. Orang itu menunjuk Kwee Ceng, dia menyahutinya."   Aku mengail, aku dapat satu ekor, lantas dia berteriak tak karua-karuan, hingga muncul satu seekor yang lain, hingga kejadian patahlah joranku.   Kim Wawa ini sangat cerdik, selanjutnya dia tak bakal kena dikail lagi, maka itu kalau kau tidak disuruh mengganti, habis bagaimana?"   "Tatuh kata kau dapat memancingnya, kau cuma dapat satu,"   Kata lagi Oey Yong.   "Apa mungkin kau dapat mancing sekali dua?"   Ditanya begitu, orang itu berdiam. Ia menggaruk-garuk kepalanya. "Kalau begitu, kau menggantilah seekor!"   Katanya kemudian. Oey Yong tertawa. Ia berkata.   "Jikalau sepasang Kim Wawa dipisahkan hidup-hidup, maka tak lebih daripada tiga hari, baik yang jantan maupun yang betina, dua-duanya bakal mati sendirinya."   Mendengar begitu, lenyaplah kesangsiannya si pengail, dengan lantas ia menjura kepada sepasang muda-mudi itu. Ia berkata pula.   "Baiklah, anggaplah aku yang tidak benar! Sekarang maukah kau membagi aku satu pasang?"   Oey Yong tersenyum. "Lebih dulu kau mesti menerangkan padaku, perlu apa kau dengan ikan emas itu?"   Ia tanya. Orang itu berdiam, agaknya ia bersangsi. Tapi cuma sejenak, lantas ia membuka mulutnya. "Baiklah, aku nanti menjelaskan kepada kamu,"   Katanya.   "Paman guruku, seorang India, beberapa hari yang lalu telah datang ke mari mengunjungi guruku. Ia telah mendapat tangkap itu sepasang ikan emas, ia girang bukan main. Ia membilangi kita bahwa di negerinya itu ada semacam binatang yang berbisa sekali, yang sangat sukar untuk disingkirkan, kecuali dengan ini ikan, yang menjadi binatang pelumahnya. Dia menyerahkan ikan itu kepadaku, untuk aku merawatnya beberapa hari, nanti setelah ia selesai berbicara sama guruku, diwaktu ia berangkat pulang, hendak ia membawanya sekalian, untuk dipelihara di sana, siapa tahu"   "Siapa tahu kau telah berlaku tidak hati-hati dan kau membuatnya terlepas!"   Oey Yong mendahului. Pengail itu kaget.   "Eh, mengapa kau tahu?"   Tanyanya heran. "Tidakkah gampang menduga itu?"   Berkata si nona tersenyum.   "Ikan itu memangnya sukar dipeliharanya. Aku sendiri mulanya memelihara lima pasang dan kemudian kabur dua pasang." Matanya si tukang pancing bersinar. Agaknya ia sangat tergiur. "Nona yang baik, kau bagilah aku sepasang,"   Ia minta.   "Kamu masih mempunyai dua pasang lagi, tidakkah itu cukup? Kalau paman gusar, itulah hebat untukku"   "Untuk membagi kau satu pasang, itulah urusan kecil sekali;"   Berkata si nona, tetap manis.   "Hanya aku hendak menanya kau, kenapa kau mula-mulanya galak sekali?"   Orang itu jengah, dia bingung. Ia mau tertawa tetapi pun gagal.. "Ah, nona yang baik,"   Akhirnya ia kata.   "Kau ini tinggal di mana? Apakah tidak jauh dari sini?"   "Kalau dikata dekat, tidak dekat,"   Sahutnya.   "Kalau dikata jauh, ya tidak jauh, tetapi kalau beberapa ribu lie, ya ada"   Tukang pancing itu kaget, lantas kumisnya bangun berdiri. "Hai, budak cilik!"   Dia membentak.   "Kiranya kau lagi permainkan tuanmu!"   Dia sudah lantas mengangkat kepalannya yang besar, hendak ditimpahkan kepala orang, akan tetapi kapan dia melihat seorang nona cilik dan nampaknya lemah, dia batal sendirinya.   Kwee Ceng sendiri sudah lantas bersiap, untuk menjambret tangan orang itu.   Oey Yong tertawa.   Sama sekali ia tidak takuti ancaman itu.   "Kenapa terburu nafsu?"   Katanya.   "Aku telah memikirkan jalannya. Eh, engko Ceng, coba kau tolong panggil si rajawali putih!"   Anak muda itu tidak dapat menerka hati kawannya akan tetapi ia menuruti. Kapan si pengail mendengar suara orang, ia terkejut. Suara itu nyaring mendengung, berkumandang di lembah-lembah. Maka sekarang ia kata di dalam hatinya.   "Baiklah tadi aku tidak lantas bertempur dengannya, kalau tidak, aku bisa celaka."   Tak lama datanglah sepasang rajawali mereka.   Oey Yong minta Kwee Ceng mengambil babakan pohon, di situ dengan jarumnya ia mencacah beberapa baris tulisan, singkat bunyinya.   "Ayah! Aku menghendaki sepasang Kim Wawa, maka suruhlah si rajawali membawanya.   Dari anakmu, Yong."   Melihat itu barulah Kwee Ceng mengerti, maka ia menjadi girang sekali.   Ia lantas menyiapkan tali, ialah ikat pinggangnya yang ia kutungi, lalu dengan itu ia ikat surat babakan pohon itu pada kakinya si rajawali yang jantan.   Oey Yong pun lantas berkata kepada si rajawali itu.   "Kau bawa ini ke Tho Hoa To, lekas pergi dan lekas kembali!"   Kwee Ceng masih khawatir burungnya itu kurang mengerti, ia menunjuk ke Timur dan tiga kali menyebutnya.   "Tho Hoa To!" Sepasang burung rajawali jinak itu berbunyi berbareng, lantas keduanya terbang pergi, setelah berputaran di tengah udara, mereka menuju ke timur, sebentar saja mereka lenyap di antara gumpalan mega. Si Tukang pancing melongo matanya dan terpentang mulutnya. "Tho Hoa ToTho Hoa To"   Katanya kemudian, seperti mengoceh tidak karuan.   "Pernah apakah kamu dengan Oey Yok Su Loosianseng?"   Baru sekarang Oey Yong memprlihatkan aksinya. "Ialah ayahku! Habis kenapa?!"   Sahutnya, temberang. "Oh!"   Seru orang itu heran. Oey Yong tidak menggubris sikap orang itu, ia tanya.   "Dalam tempo beberapa hari saja, burung itu bakal membawa datang ikan itu kemari. Tidak terlambat, bukankah?"   "Harap saja"   Kata orang itu, matanya mengawasi sepasang anak muda itu, agaknya ia bersangsi. Kwee Ceng memberi hormat. "Aku belum menanyakan nama she dan nama yang besar dari paman,"   Katanya.   Orang itu tidak menyahuti, sebaliknya ia menanya.   "Perlu apa kau datang ke mari? Siapakah yang menyuruhnya?" Kwee Ceng terus membawa sikapnya yang menghormat.   "Aku yang muda ada mempunyai urusan untuk mana aku memohon bertemu sama Toan Hongya,"   Ia memberitahukan. Ia sebenarnya mau memberi keterangan seperti petunjuknya Eng Kouw, akan menyebutkan nama gurunya, Ang Cit Kong, tetapi ia tidak biasa mendusta, mendadak ia merasa tak dapat ia mengatakan itu. "Guruku tidak dapat menemui orang!"   Orang itu kata dengan keras.   "Mau apa kau mencari guruku itu?"   Untuk sejenak Kwee Ceng terbenam dalam kesangsian.   Ia sebenarnya mau terus bicara secara sebenarnya, tapi mendadak ia ingat keselamatannya Oey Yong.   Tidakkah ia nanti menggagalkan si nona? Bukankah tak apa ia mendusta kali ini? Selagi ia bersangsi, si pengail telah mendapat lihat kesangsiannya itu dan melihat tegas si nona, yang lagi sakit.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Kau mencari guruku untuk minta diobati, bukankah?"   Dia menanya. Disenggapi begitu, pemuda itu tak dapat mendusta lagi. Ia mengangguk. "Benar,"   Sahutnya, sedang hatinya menyesal tak dapat mendusta. "Untuk menemui guruku, jangan harap!"   Kata tukang pancing itu bengis.   "Biar aku ditegur guru dan pamanku, aku tak menghendaki lagi ikanmu itu! Lekas pergi!" Kata-kata itu ketus dan pasti, bagaikan pantek paku, Kwee Ceng menjadi berdiri menjublak, untuk sesaat itu, ia merasakan tubuhnya dingin seluruhnya. Sesaat kemudian barulah ia dapat berkata pula. "Nona yang terluka ini dan membutuhkan pengobatan adalah putri yang dicintai dari Oey Tocu dari Tho Hoa To,"   Ia berkata, ia pun menjura. "Sekarang ini, nona ini pun menjadi Pangcu dari Kay Pang. Maka itu paman, aku minta, dengan memandang Oey Tocu dan Ang Pangcu itu, sukalah kau menunjuki kami jalan, supaya kami diajak bertemu menemui Toan Hongya."   Mendengar disebutkannya Ang Pangcu, roman si tukang pancing sedikit berubah, akan tetapi ia menggeleng kepala. "Nona ini pangcu dari Kay Pang?"   Tanyanya.   "Aku tidak percaya!"   Kwee Ceng menuju kepada tongkat Lek-tiok-thung di tangannya Oey Yong. "Itulah tongkat Tah-kauw-pang dari Ang Pangcu,"   Ia berkata.   "Tentunya paman mengenali tongkat itu"   Tukang pancing itu mengangguk. "Pernah apakah kamu dengan Kiu Cie Sin Kay?"   Ia tanya pula. "Ialah guru kami."   "Oh"   Si tukang pancing bersuara perlahan.   "Jadinya kamu datang ke mari mencari guruku ini karena disuruh gurumu, bukan?" Lagi-lagi Kwee Ceng dibikin ragu-ragu.   Ia ingat baik-baik ajarannya Eng Kouw untuk mendusta tetapi itu bertentangan dengan kejujurannya.   "Benar!"   Oey Yong segera mendahului menjawab. Orang itu bertunduk, terang ia ragu-ragu. Terdengar ia berkata dengan perlahan.   "Bagaimana sekarang? Kiu Cie Sin Kay dengan guruku itu bersahabat luar biasa erat"   Oey Yong ynag cerdik mengerti kesulitan orang itu, ia lantas berkata.   "Guru kami menitahkan kami mencari Toan Hongya, disamping untuk minta dia menolong mengobati aku juga karena ada urusan penting yang mesti disampaikan!"   Mendadak orang itu mengangkat kepalanya. Kembali terlihat ia menjadi bengis. "Benar Kiu Cie Sin Kay yang menitahkan kamu menemui Toan Hongya?"   Ia tanya keras. "Ya,"   Menyahut Oey Yong. Orang itu menegaskan pula.   "Benar Toan Hongya, bukannya orang lain?"   Nama Toan Hongya itu ditekan keras, mendengar itu, Oey Yong menduga pasti ada sebabnya sesuatu, tetapi karena sudah terlanjur, ia tidak dapat lain jalan. "Ya,"   Ia menyahut pasti, mengangguk. Pengail itu maju dua tindak. Tiba-tiba ia berseru. "Toan Hongya sudah mati!"   Oey Yong dan Kwee Ceng kaget bukan kepalang. "Mati?"   Tanya mereka berbareng. "Ketika Toan Hongya mati, Kiu Cie Sin Kay ada disampingnya!"   Berkata si tukang pancing itu, suaranya tetap keras.   "Maka itu cara bagaimana dia boleh menitahkan kalin pergi mencari lagi kepada Toan Hongya? Hayo bilang, siapakah yang menitahkan kamu? Dengan datang kemari, kamu membawa akal busuk apa? Lekas bilang!"   Segara ia maju setindak lagi, tangan kirinya dikipaskan sebagai ancaman, tangannya menyambar ke pundaknya si nona.   Kwee Ceng memang selalu bersiap, maka itu, melihat sikap garang dari orang itu, ia menghadang pula di depan Oey Yong, kedua tangannya bersikap dengan jurusnya "Melihat naga di sawah".   Manampak ini, orang itu heran.   Itu tandanya si anak muda tak mau menyerang kepadanya.   Meski begitu, ia melanjuti sambarannya.   Karena ini mendadak ia merasakan benturan pada tangannya itu, yang bergemetar, terus ia merasakan dadanya panas, sedang tangannya itu mental balik.   Dengan lantas ia lompat mundur, ia khawatir nanti diteruskan diserang anak muda itu.   Selagi berlompat ia ingat pembicaraan Ang Cit Kong bersama gurunya tentang ilmu silat.   Ia ingat, anak muda ini bersilat dengan Hang Liong Sip-pat Ciang.   "Teranglah mereka ini muridnya Ang Pangcu, tidak boleh aku berbuat salah terhadap mereka,"   Begitu ia lantas mendadat pikiran.   Ia lantas mengawasi Kwee Ceng, siapa terus menunjuk sikap menghormat meski terang barusan ia menang unggul, tidak ada romannya yang puas atau temberang.   Tapi ia masih berkata.   "Jiewi benar ada murid-muridnya Kiu Cie Sin Kay tetapi jiewi datang kemari bukan atas titah gurumu itu, benar bukan?"   Kwee Ceng tak tahu maksud orang tetapi rahasia hatinya telah dapat diterka, dengan terpaksa ia mengangguk.   Tukang pancing itu tidak lagi bersikap bengis seperti semula.   "Walaupun Kiu Cie Sin Kay sendiri yang terluka dan datang ke mari, masih siauwko tidak dapat mengantarkan dia naik ke gunung untuk bertemu sama guruku, maka itu haraplah jiewi memaafkannya,"   Katanya. Sekarang ia menyebut diri dengan "siauwko"   Artinya "   Yang muda"   "Apakah benar meskipun guruku sendiri yang datang, masih tidak dapat?"   Oey Yong menegsakan. "Tidak dapat!"   Menyahut orang itu, kepalanya digoyang.   "Biarnya dipukul sampai mati, tidak dapat!"   Oey Yong mencurigai orang ini.   Bukankah dia menyebut Toan Hongya gurunya dan dia juga membilang Toan Hongya sudah mati? Kenapa ia menyebutnya waktu Toan Hongya mati Kiu Cie Sin Kay berada di sampingnya? Tidakkah itu aneh? "Tidak bisa lain, gurunya mesti ada di atas gunung!"   Ia lantas mengambil keputusan.   "Tidak peduli dia Toan Hongya atau bukan, kita mesti menemuinya!"   Maka ia mengangkat kepalanya, mendongak ke atas gunung, yang puncaknya seperti masuk ke dalam awan.   Itulah puncak lebih tinggi beberapa kali lipat daripada puncak Tiong Cie Hong dari Tiat Ciang San.   Benar-benar puncak itu sulit untuk dinaiki.   Kemudian ia mengawasi air tumpah.   Ia memikirkan jalan untuk dapat mendaki gunung itu.   Tengah ia mengawasi itu, ia melihat berkelebatnya sinar kuning di dalam air.   Segera ia bertindak ke tepian sambil ia mengawasi jauh.   Maka terlihatlah olehnya dua ekor ikan tadi berada di bawah batu, ekornya berada di luar guanya itu.   Ia lantas menggapai Kwee Ceng.   Anak muda itu mendekati.   Ia pun lantas melihat ikan itu.   "Nanti aku turun dan menangkapnya,"   Kata Kwee Ceng. "Jangan!"   Mencegah si nona.   "Air deras, mana kau dapat berdiri diam di air? Janganlah berlaku tolol!"   Akan tetapi Kwee Ceng berpikir, kalau ia menempuh bahaya dan menangkap ikan itu, untuk diserahkan pada si pengail, mungkin hati orang ini berubah.   Ia pun tidak dapat menyia-nyiakan waktu lewat berlarut-larut, itulah membahayakan Oey Yong.   Karena ia tahu, nona itu bakal mencegah padanya, maka diam-diam ia lompat ke air tanpa ia membuka lagi sepatu dan pakaiannya.   "Engko Ceng!"   Oey Yong berteriak kaget.   Ia lantas bangun, tetapi kedua kakinya bergoyang, serta tubuhnya terhuyung pula.   Si tukang pancing kaget, ia lompat menyambar nona itu, kemudian ia lari ke arah gubuk, agaknya dia lantas mencapai sesuatu guna menolongi si anak muda.   Oey Yong berduduk di batu, ia mengawasi ke arah Kwee Ceng, yang dapat berdiri tegak di air, gempurannya air tumpah yang dahsyat tak dapat membikin tubuhnya itu bergeming, maka legalah hatinya.   Kwee Ceng sendiri sudah lantas bertindak untuk menangkap ikan.   Ia membungkuk, kedua tangannya dianjurkan perlahan-lahan, sikapnya waspada.   Nyata ia bisa bekerja sebat dan jitu juga tangkapannya.   Dua-dua tangannya bisa mencekal ekornya ikan emas itu, hanya ketika ia mengangkatnya, ia tidak berani mencekal keras-keras, ia khawatir ikan itu mati.   Kesempatan ini digunai kedua ekor ikan itu yang badannya licin, waktu keduanya berontak, mereka dapat lolos dan melentik pula ke air, di mana mereka selulup pula masuk ke kolong batu! Oey Yong menjerit saking menyesalnya karena sayang ikan itu lolos.   Justru itu di belakangnya pun ada orang yang berseru.   Ketika ia berpaling, ia melihat si tukang pancing lagi berdiri bengong di belakangnya, pundaknya memanggul sebuah perahu kecil dan tangannya mencekal sepasang pengayuh.   Rupanya dia hendak menolong orang kecebur.   Kwee Ceng tidak lantas berlalu dari air tumpah.   Ia tetap berdiri tegar.   Ia membungkuk pula.   Kedua tangannya di ulur ke kolong batu, ke gua tempat ikan tadi lari sembunyi.   Tapi ia tidak mau menangkap ikan, yang tidak terlihat, hanya ia memegang batu, untuk diangkat.   Ia girang ketika ia merasa batu itu bergerak sedikit.   Maka sekarang ia menyiapkan tenaganya, untuk jurusnya "aga terbang ke langit".   Dengan mendadak ia mengangkat batu itu, terus dilemparkan ke sampingnya, di lain pihak, kedua tangannya menyambar ke air.   Maka sejenak itu juga, kedua tangannya telah mencekal masing-masing seekor Kim Wawa! Batu besar itu terbanting ke air di samping, berisik suaranya, air muncrat dan mengalir tambah keras.   Kwee ceng sendiri tidak terhuyung tubuhnya ketika ia mengangkat dan melemparkan batu itu.   Si tukang pancing heran dan kagum, tetapi sekarang ia memikir daya untuk menolong Kwee Ceng naik ke darat.   Pemuda itu berada di tempat sekira dua tombak.   Dengan kedua tangan memegang ikan, sulit untuk dia menggunai lagi tangannya itu, atau ikan itu bakal terlepas pula.   Akhirnya ia menyodorkan pengayuhnya, ia ingin anak muda itu mencekalnya, tanpa ia ingat tangan orang lagi memegang ikan.   Tapi Kwee Ceng tidak berkhawatir, setelah melihat ke tepian, ia menjejak dengan kaki kanannya, dengan begitu dia dapat berlompat ke pinggir, di sini ia menaruh kaki kirinya, untuk menjejak pula, maka di lain saat, ia sudah berada di atas di antara si nona dan si tukang pancing.   Oey Yong kaget, girang dan kagum.   Sungguh ia tidak menyangka demikian pesat sudah kemajuannya pemudanya ini.   Tentu sekali sesaat itu ia tidak ingat bahwa Kwee Ceng telah mempertaruhkan jiwanya cuma untuk menolong dia.   Sebenarnya anak muda itu sendiri bergidik kalau ia ingat perbuatannya yang nekat itu.   Lain orang yang tercengang ialah si tukang pancing.   Ia heran dan kagum.   Maka sekarang tahulah ia, anak muda itu lihay tenaga dalamnya dan ilmu ringan tubuh, jangan dibicarakan lagi tentang nyali yang besar.   Segera setelah itu, Kwee Ceng tertawa.   Kedua Kim Wawa di tangannya, sambil meronta-ronta telah mengasih dengar suaranya yang berisik, yang benar seperti gegowakannya seorang bocah! "Ah, pantas dia dipanggil Kim Wawa!"   Katanya lagum.   Kemudian ia mengulurkan tangannya kepada si tukang pancing, untuk menyerahkan ikan itu.   Orang itu terlihat alisnya bergerak, tanda dari kegirangannya.   Ia pun lekas-lekas menurunkan pengayuhnya.   Ketika ia sudah mengulurkan tangannya, mendadak ia menariknya pulang.   "Kau lemparkanlah kembali ke air, aku tidak menghendaki itu!"   Katanya. "Kenapa begitu?"   Tanya Kwee Ceng heran. "Meski aku menerima ikanmu, tidak dapat aku mengantarkan kau kepada guruku,"   Dia menyahut. "Menerima budi tetapi budi itu tidak dibalas, itulah perbuatan yang akan mendatangkan tertawanya orang-orang gagah di kolong langit ini!"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kwee Ceng heran hingga ia tercengang. "Paman,"   Katanya kemudian, sungguh-sungguh.   "Kau tidak dapat meluluskan permintaan kami, pada itu mesti ada sebabnya, baiklah kami tidak hendak memaksakannya. Tapi kedua ekor ikan ini tidak berarti, inilah bukan budi, maka itu paman ambillah!"   Ia mengulur pula tangannya, ia menyerahkan ikan itu.   Kali ini si tulang pancing menyambuti, hanya romannya sangat likat.   Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, ia kata.   "Yong-jie, hidup dan mati itu takdir, umur manusia tak dapat dipastikan, maka kalau benar-benar kau tidak dapat disembuhkan, di dunia baka itu ada jalannya, maka di sana pastilah akan ada engko Cengmu yang akan tetap menemanimu! Mari kita pergi!"   Mendengar suaranya anak muda itu, merah matanya Oey Yong. Tapi ia sudah memikir sesuatu. Ia tidak lantas menyahuti si anak muda. "Paman,"   Ia berkata kepada tukang pancing itu.   "Kau tetap tidak dapat memberi petunjuk pada kami, tidak apalah, hanya ada satu hal yang aku tidak mengerti. Jikalau kau tidak menjelaskannya itu, mati pun aku tidak meram"   "Apa itu?"   Menanya si tukang pancing heran. "Kau lihat puncak itu licin bagaikan kaca,"   Berkata si nona.   "Bukankah tidak ada jalan untuk mendakinya? Maka umpama kata bersedia akan mengantarkan kami, apa salahnya?"   Orang itu berpikir.   "Telah pasti aku tidak dapat mengantarkan dia, maka apa halangannya kalau aku memberikan keteranganku kepadanya?"   Maka ia menajwab.   "Kalau dikata sukar, memangnya sukar, tetapi kalau dibilang gampang, benar-benar gampang sekali. Di sebelah sana, di ujung gunung itu, air tumpah tak sekeras di sini maka jikalau aku duduk di atas perahu besiku dan aku mendayung, aku dapat maju dengan melawan air. Kalau satu orang diantarkan satu kali, maka dua kali saja lantas dua orang dapat tiba di atas!"   "Oh, kiranya begitu!"   Berkata si nona.   "Nah, ijinkan kami pergi!"   Nona ini lantas berbangkit, untuk memegangi tubuh Kwee Ceng, siap untuk berlalu.   Kwee Ceng memberi hormat pada orang itu tanpa membilang apa-apa.   Tukang pancing itu mengawasi orang, kemudian ia lari ke gubuknya, sebab ia khawatir ikannya nanti terlepas pula.   Begitu orang masuk ke dalam, Oey Yong lantas berkata.   "Lekas ambil perahu dan pengayuhnya itu! Mari kita pergi ke atas!"   Kwee Ceng terkejut, ia melengak. "Iniini kurang bagus"   Katanya ragu-ragu. "Baiklah!"   Seru si nona.   "Kau mau jadi kuncu, nah jadilah kuncu!"   Kwee Ceng bingung.   "Mana lebih penting, menolong Yong-jie atau jadi kuncu?"   Demikian otaknya bekerja sulit.   Justru itu, Oey Yong dengan susah payah, sudah bertindak pergi.   Cuma sedetik saja, ia lantas mengambil keputusannya.   Ia lari ke perahu, ia angkat itu, ia melemparkannya ke air, ke atasan air tumpah itu, kemudian ia pergi menyambar kedua pengayuhnya.   Tindakannya yang terakhir adalah menolong Oey Yong untuk lari ke atas, hingga dilain saat mereka sudah berada di atas di mana mereka tampak perahu tadi.   "Ser!"   Demikian suara terdengar, suara dari senjata rahasia.   Dengna mendak, Kwee Ceng membebaskan diri dari senjata rahasia itu, yang jatuh ke dalam perahu mana tepat datang ke dekatnya.   Maka bersama-sama Oey Yong, ia lompat naik ke perahu itu, untuk segera dikuyah mudik Si tukang pancing terdengar caciannya tapi tak nyata apa katanya Kwee Ceng lantas mengayuh.   Mulanya dengan tangan kiri, sebab ia masih memegangi Oey Yong, ketika perahu itu maju, ia melepaskan si nona, ia mengayuh dengan tangan kanannya itu.   Demikian selanjutnya, setiap mengayuh, perahunya maju beberapa kaki.   "Budak busuk! Perempuan hina!"   Demikian sang angin membawa dampartan si tukang pancing, mendengar mana, Oey Yong tertawa.   "Lihat, dia masih menganggapnya kau orang baik! Akulah yang dia caci!"   Katanya.   Kwee Ceng lagi mengayuh, matanya mengawasi ke depan, ia tidak mendengar guraunya si nona.   Ia mesri memakai tenaga dan pikirannya.   Perahu itu besar kepalanya dan enteng buntutnya, dia maju melawan air, yang boleh dibilang deras juga.   Beberapa kali ia hampir terpukul mundur.   Dengan menggunai tipu dari "Sin Liong pa bwee"   Atau "Naga sakti menggoyang ekor"   Dengan cepat ia dapat menguasai kedua pengayuhnya itu, kedua tangannya bergerak dengan cepat dan kuat dan rapi. Senang Oey Yong melihatnya, dengan gembira ia kata.   "Meski si tukang pancing tadi yang mengayuh, tidak nanti dia dapat mengayuh selekas ini!"   Perahu itu maju terus, setelah lewat sekian lama, air menikung, habis itu maka terlihatlah permukaan air yang airnya tenang, di kedua tepinya ada tumbuh pohon yangliu.   Itulah kali kecil yang lebarnya setombak lebih.   Di situ pun ada banyak pohon tho.   Kalau itu waktu musim semi, pastilah indah pemandangan alamnnya.   Sebagai gantinya bunga tho, di tepian ada banyak bunga putih yang kecil-kecil, yang baunya harum.   Dua-dua muda-mudi ini heran dan kagum.   Tidak dinyana, di atas gunung ini ada tempat sepermai itu.   Iseng-isng Kwee Ceng mengayuh dalam, hampir ia membuatnya pengayuhnya terlepas.   Di luar dugaannya, kali itu dalam tak terjajakan oleh pengayuhnya itu.   Di bawahpun air menggolak.   Sekarang kenderaan air dapat dikayuh maju perlahan-lahan, keduanya dapat menikmati pemandangan alam yang indah, makin jauh nampkanya makin menarik hati.   "Jikalau lukaku ini sukar diobati,"   Kata Oey Yong menghela napas.   "Biarlah aku terkubur di sini, tak usah aku turun lagi"   Kwee Ceng berduka, hendak ia menghiburi si nona itu atau ia melihatnya di sebelah depan mereka ada sebuah terowongan, darimana ada terhembus bau harum yang keras sekali.   Perahunya telah lantas masuk ke dalam gua itu yang airnya mengalir sedikit keras.   Segera kuping mereka mendengar suara apa-apa.   "Suara apakah itu?"   Si pemuda tanya. "Entahlah,"   Sahut si nona menggeleng kepala.   Terowongan itu tidak panjang, sebentar kemudian mereka telah keluar di ujung yang lain.   Segala apa menjadi terang seperti tadi.   Bahkan sekarang mereka bersorak.   Di depan mereka terlihat air mancur yang besar sekali, tingginya setombak lebih dan airnya meluncur tinggi bagaikan tiang menjulang ke udara.   Itulah yang mangasih dengar suara tadi.   Sampai di situ, habislah kali di atas gunung itu dan sumbernya kali ialah air mancur ini.   Kwee Ceng membantu Oey Yong naik ke darat, kemudian ia menarik perahunya ke batu, setelah mana bersama si nona ia memandangi air mancur itu.   Di antara sinarnya matahari, air itu mengasih lihat bianglala yang intadh.   Tak tahu mereka bagaimana harus memuji keindahan itu, mereka duduk diam sambil berpegangan tangan.   Mereka masih kesengsem ketika mereka mendengar suara nyanyian yang seperti keluar dari arah belakang bianglala itu.   "Kota dan kalinya rusak semua! Mana si pencinta negara? Memikirkan kemakmuran dan keruntuhan, itulah penderitaan.   Dinasti Tong bangun, itu artinya dinasti Swie roboh.   Jadi miriplah dengan naga yang berubah-ubah.   Cepat, langit dan bumi salah! Lambat, langit dan bumi salah!"   Lantas juga terlihat si penyanyi, tangan kirinya membawa sebatang kayu cemara, tangan kanannya mencekal sebuah kampak.   Maka teranglah, dia seorang tukang kayu - ya seorang tukang mencari kayu bakar.   Setelah melihat pakaian orang itu, Oey Yong ingat tulisannya Eng Kouw, ialah.   ".Kalau orang bicara dengannya dengan minta diobati, orang bakal terbikin celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar.."   Tadi mereka bertemu sama tukang pancing.   Dan ini, bukankah ini dia si tukang kayu? Apakah mereka bakal bertemu sama petani dan si pelajar? Siapa empat orang ini? Murid atau pelayankah dari Toan Hongya? Ia menjadi masgul.   Untuk melewati si tukang pancing demikian sukar, maka entah ini tukang kayu.   Bukankah nyanyian dia ini bukan nyanyian sembarang? Entah bagaimana lagi dengan si petani dan si pelajar? Kembali terdengar orang itu bernyanyi.   "Dari atas jembatan, memandang jauh, Hawa dari kerajaan, telah runtuh.   Di atas panggung tak terlihat kepala perang.   Semenjak dulu, hanya seputaran, semua musnah.   Pahala, tidak kekal! Nama juga tidak kekal!"   Perlahan jalannya si tukang kayu itu, lalu ia mengawasi si muda-mudi, acuh tak acuh lantas ia bekerja, mengampak kayu di pinggiran gunung.   Oey Yong melihat tubuh orang yang kekar dan roman gagah, gerak-geriknya seorang panglima perang, maka coba dia itu bukan dandan sebagai tukang kayu dan lagi berada di hutan ini, dia pasti dapat menjadi seorang kepala perang.   Ia lantas ingat keterangan gurunya bahwa Lam Tee, si Kaisar dari Selatan, ialah Toan Hongya, telah menjadi kaisai di Taili, Inlam, maka apa mungkin tukang kayu ini asalnya ialah panglima perangnya? Nyanyian orang, pula suaranya, semuanya luar biasa.   Lagi sekali tukang kayu itu bernyanyi.   "Puncak gunung bagaikan bertumpuk, Gelombang seperti berangkara murka, Di jalanan kota Tongkwan sana, Memandang ke barat, hati ragu-ragu, Melihat istana, semua runtuh menjadi tanah Bangun, rakyat bersengsara! Musnah, rakyat bersengsara!"    Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng

Cari Blog Ini