Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 54


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 54


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Mendengar kata-kata yang terakhir itu, Oey Yong ingat ayahnya sering mengatakan.   "Apa itu segala kaisar dan panglima perang? Semua itu mahkluk jahat tukang membikin rakyat celaka! Merubah kerajaan, menukar she, semua itu menyusahkan rakyat saja!"   Maka tanpa merasa, gadis itu memuji.   "Nyanyian yang bagus!"   Tukang kayu itu berpaling, ia menancapkan kampaknya di pinggangnya. "Bagus? Apanya yang bagus?"   Dia menanya. Oey Yong hendak menyahuti ketika mendadak ia ingat.   "Dia gemar bernyanyi, kenapa aku tidak mau membalas dia dengan nyanyian juga?"   Maka ia bersenyum, lalu ia bernyanyi dengan suara perlahan.   "Gunung-gunung hijau saling menanti, Mega-mega putih saling mencintai, Tak bermimpikan jubah sulam dan sabuk emas, Cukup dengan sebuah gubuk, Dengan bunga hutannya mekar.   Siapakah yang memusingi.   Siapa bangun, siapa roboh, Siapa berhasil, siapa gagal? Cukup dengan gubuk dan satu sendok! Melarat, semangat tak berubah! Berhasil, cita-cita tak berubah!"   Nona ini lantas menyangka pasti si tukang kayu ialah panglimanya Lam Tee, panglima yang sekarang lagi hidup bersembunyi - yang dulunya pasti berkuasa besar atas bala tentara, maka itu ia memperdengarkan nyanyiannya itu, untuk menimpali nyanyian orang.   Dugaannya memang tepat karena si tukang kayu menjadi girang, sambil menunju ke samping gunung, dia kata.   "Naiklah!"   Di samping gunung itu ada sebuah batu yang besar mirip dengan langan tangan, ketika Kwee Ceng dan Oey Yong memandang ke atas, mereka hanya melihat awan dan bangkonya rotan.   Meski begitu, si anak muda lari menghampirkan rotan itu, untuk disambar, untuk dipakai melapai naik! Kwee Ceng cuma mengerti separuh dari semua nyanyian itu, di sebelah itu, yang ia paling khawatirkan ialah si tukang kayu nanti mengubah pikirannya, maka ia tidak mau membuang tempo lagi.   Dengan kedua tangannya bekerja cepat, dengan lekas ia telah naik belasan tombak tingginya.   Di situ, ia masih dengar nyanyian si tukang kayu.   ".dulu hari itu orang berebutan, Sekarang bagaimana? Menang, semua menjadi tanah! Kalah, semua menjadi tanah!"   Oey Yong di punggungnya si anak muda tertawa. "Engko Ceng,"   Katanya.   "Kalau menurut dia itu, kita tak usah datang ke mari untuk minta diobati!"   Kwee Ceng heran hingga ia melengak.   "Apa!"   Dia tanya. "Semua orang toh bakal mati, bukan?"   Kata si nona tertawa.   "Orang sembuh, dia berubah menjadi tanah! Orang tak sembuh, dia berubah menjadi tanah juga!" "Fui!"   Si anak muda mengasih dengar suaranya. "Sudah, jangan dengari ocehannya!"   Oey Yong itu benar lucu, ia tidak menghiraukan si anak muda, dia bernyanyai perlahan.   "   Hidup, kau menggendong aku! Mati kau menggendong aku juga!"   Kwee Ceng berdiam, ia kewalahan.   Ia lebih memerlukan menggunai terus kedua tangannya, untuk naik ke atas, sampai mereka memasuki awan atau kabut.   Ketika itu musim panas tetapi hawa dingin.   "Di hadapan kita ini terdapat segala pemandangan alam yang indah dan luar biasa,"   Kata si nona kagum.   "Umpama kata aku tidak bakal dapat disembuhkan, taklah kecewa perjalanan kita ini"   "Yong-jie, ah"   Berkata si anak muda, masgul. "Jangan menyebut-nyebut tentang mati atau hidup, bisakah?"   Si nona tertawa, dengan perlahan ia meniup pundak orang. "Eh, jangan main-main!"   Kata Kwee Ceng, yang merasakan pundaknya panas dan gatal.   "Awas, nanti tanganku terlepas, nanti kita jatuh mati berdua"   "Bagus!"   Berseru si nona.   "Nah, kali ini bukanlah aku yang menyebut-nyebut hidup atau mati!"   Saking kewalahan, pemuda itu cuma bisa tertawa.   Lewat sekian lama, setelah melapai terus dengan tetap rajinnya, tibalah muda-mudi ini di bongkot rotan itu, ialah puncak gunung, yang merupakan sebuah tanah datar.   Hanya belum sempat Kwee Ceng menurunkan tubuhnya Oey Yong, keduanya terkejut akan mendadak mendengar suara berisik seperti batu besar jatuh di susuli jeritan kerbau berulang-ulang, di susul lagi sama bentakan satu orang.   "Heran, mengapa di atas gunung begini ada kerbau?"   Kata si anak muda, yang lantas lari ke arah darimana suara datang. Ia tidak sempat menurunkan Oey Yong, yang berkata.   "Bukankah ada si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar? Nah, kalau ada si petani mesti ada kerbaunya!"   Segera mereka mendengar lagi suaranya kerbau, dan sekarang mereka lantas melihat binatang itu, yang tengah mengangkat kepalanya, keletakannya luar biasa sekali, ialah tubuhnya terlentang di atas batu karang besar, keempat kakinya meronta-ronta tanpa dapat bangun, sedang batunya bergoyang-goyang.   Di bawah batu itu dengan memasang kuda-kuda, satu orang mengangkat terbuka kedua tangannya, dipakai menampah batu itu berikut kerbaunya.   Yang lebih hebat, orang itu berdiri di tempat di mana tidak ada tempat mundur lagi.   Kalau tangan orang itu tak kuat menahan, kerbau dan batu itu mesti jatuh, atau orang itu ketimpa atau jatuh bersama kerbau itu, atau sedikitnya orang itu bakal patah tangan atau kakinya.   Rupanya kerbau itu lagi makan rumput, dia terpeleset dan jatuh di batu itu, lalu orang itu mencoba menolongi dengan kesudahannya mereka sama-sama terancam bahaya.   Melihat keadaan manusia dan kerbau itu, Oey Yong tertawa.   Katanya.   "Tadi orang baru menyanyikan lagu San Po Yang, sekarang ini lagu San Po GU!"   Lagu yang dinyanyikan si tukang kayu tadi ialah lagu "San Po Yang"   Atau "Kambing di atas lereng", dan si nona menyebutnya "San Po Gu", ia menukar "Kambing"   Dengan "kerbau" (Gu) Di atas puncak itu ada sawah lebar belasan bauw yang tengah ditanami.   DI pinggir sawah ada sebuah pacul.   Orang yang menahan batu berikut kerbau itu bertubuh telanjang dan kakinya melesak di lumpur sebatas dengkul.   Sembari mengawasi, Oey Yong pikir kerbau itu beratnya di atas dua ratus kati dan berat batunya tak berjauhan, maka itu bisalah dimengerti kuatnya orang itu, yang ia duga mestilah si petani yang dimaksudkan dalam suratnya Eng Kouw.   Kwee Ceng sudah lantas mengasih turun si nona, ia terus lari hendak membantui orang itu.   "Tahan, jangan kesusu!"   Si nona mencegah. Tapi si anak muda itu murah hatinya, dia terus lari, tiba di samping si petani, ia berjongkok, sambil memasang kuda-kudanya, dia mengangkat kedua tangannya guna membantu menahan batu seraya dia berkata pada orang itu.   "Aku nanti menahan batu ini, kau tolong singkirkan dulu kerbau itu!"   Orang itu menurut, akan tetapi ia melepaskan dulu sebelah tangannya, yang kanan, tangan kirinya menahan terus, rupanya ia khawatir si pemuda tak kuat.   Tapi anak muda itu bukan cuma menahan, ia mengangkat batu itu hingga terangkat sedikit, hingga tangan si petani terlepas dari batu.   Kapan ia melihat orang cukup kuat, ia lantas molos keluar, untuk lompat naik ke sebelah atas, darimana barulah ia mau menarik kerbau itu, hanya lebih dulu daripada itu, ia mengawasi si anak muda yang datangnya tiba-tiba sekali.   Segera ia menjadi heran.   Ia melihat seorang bocah umur tujuh atau delapanbelas tahun.   Yang aneh, orang itu menahan batu berikut kerbau tanpa terlihat menggunai banyak tenaga.   Ia menjadi heran dan bercuriga, sebab ia merasa ia sendiri sangat kuat.   Ia melihat ke bawah, ia menampak Oey Yong, seorang bocah yang lain, bahkan ia mendapatkan nona itu lesu, sebagai seorang lagi sakit.   "Sahabat, untuk urusan apakah kau datang ke mari?"   Ia tanya, herannya bertambah. "Aku mao memohon bertemu sama gurumu, Tuan,"   Kwee Ceng menyahut terus-terang. "Untuk urusan apakah?"   Orang itu menanya pula. Kwee Ceng melengak, ia belum menyahut, atau terdengarlah suaranya Oey Yong.   "Kau singkirkan dulu kerbau itu, sebentar kau menanya perlahan-lahan, tak nanti kelambatan! Kalau dia keterlepasan tangan, apakah bukan kerbau dan manusia akan jatuh bersama?"   Dalam herannya, si petani berpkir.   "Dua orang ini datang untuk suhu mengobati mereka, maksud mereka baik, hanya heran kenapa kedua suheng di sebelah bawah tidak melepaskan panah nyaringnya? Kalau mereka ini datang dengan membolos, terang mereka mestinya lihay. Kalau dugaanku ini benar, baiklah aku gunai ketika selagi dia tidak dapat meloloskan diri, aku tanya dulu dia biar terang"   Maka ia menanya. "Apakah kamu datang untuk minta diobati?"   Kwee Ceng mengangguk. Ia pikir, sudah terlanjur omong sebenarnya, baiklah ia berterus-terang terus. Melihat orang mengangguk, paras si petani berubah. "Nanti aku tanya dulu!"   Katanya. Dengan gerakan yang nampaknya enteng sekali, ia berlompat turun. "Eh!"   Kwee Ceng memanggil.   "Kau bantui aku menurunkan dulu batu besar ini!"   "Sebentar saja aku kembali!"   Berkata si petani tertawa.   Melihat kelakuan orang itu, Oey Yong sudah dapat lantas menerka maksudnya.   Dia mau membikin Kwee Ceng lelah, setelah itu dengan gampang dia nanti mengusir mereka berdua.   Karena menduga begini, ia menyesal yang ia lagi sakit hingga ia tidak dapat membantu engko Ceng-nya itu.   Tentu sekali ia bingung, sebab tak tahu ia, berapa lama si petani bakal pergi! "Eh, paman, mari!"   Ia memanggil. Ia bingung berbareng mendongkol pula. Petani itu berhenti, ia tertawa dan berkata.   "Dia bertenaga besar, buat satu jam atau tiga perempat, tidak apa, kau jangan takut!"   Ini jawaban membuat si nona gusar. "Dengan baik hati engko Ceng menolongi padamu, kau sebaliknya hendak menyiksa,"   Pikirnya.   "Apakah kau kira sedikit waku satu jam atau seperempat itu? Biaklah, kau perlu diberikan sedikit pengajaran"   Demikian lantas ia mendapat pikiran, maka ia kata pula pada petani itu.   "Paman, bukankah kau hendak menanyakan gurumu dulu? Itulah pantas. Tapi di sini ada sepucuk surat, dari guruku, Ang Cit Kong, untuk dihanturkan kepada gurumu itu, maka tolong kau bawa sekalian." Mendengar disebutnya nama Ang Cit Kong, petani itu mengasih dengar suara terkejut.   "Oh, kiranya nona muridnya Kiu Cie Sin Kay?"   Katanya.   Terus ia menghampirkan, untuk mengambil surat yang dimaksudkan itu.   Dengan ayal-ayalan Oey Yong membuka kantung di punggungnya, ia beraksi mau mengeluarkan suratnya, tetapi ia terlebih dahulu mengambil baju lapisnya, sembari berbuat begitu, ia menoleh kepada Kwee Ceng.   Mendadak ia memperlihatkan roman kaget, ia pun berteriak.   "Oh, oh, celaka! Tangannya itu bakal nowah! Paman, kau tolongilah dia!"   Petani itu tercengang sebentar, lalu ia tertawa. "Tidak apa-apa,"   Katanya.   "Mana suratmu?"   "Kau tolongi,"   Kata Oey Yong pula.   "Kau tidak tahu, sukoku itu lagi meyakinkan ilmu silat Pek-khong-ciang, kemarin ini tangannya direndam dalam air obat, belum habis latihannya itu, kalau dia menggunai tenaganya terlalu lama, tangannya itu bisa terluka"   Oey Yong tahu dari ayahnya tentang bagaimana Pek-khong-ciang, Tangan Memukul Udara, harus dipelajari, maka itu, ia hendak mengakali di petani ini.   Si petani tidak paham, ilmu Pek-khong-ciang itu sebagai murid lihay, ia pernah mendengarnya dari gurunya, maka itu, mendengar perkataan si nona, ia jadi berpikir.   "Kalau tanpa sebab aku mencelakakan murid Kiu Cie Sin Kay, bukan saja suhu bakal menegur aku, hatiku sendiri pun tidak enak. Sekarang ini dia datang dengan maksud baik. Hanya aku menyangsikan si nona kecil ini, dia omong benar atau dia lagi menggunai akal liciknya untuk menipu aku agar aku membebaskan kawannya itu" Oey Yong melihat orang bersangsi, ia angkat baju lapisnya dan berkata pula.   "Ini baju lapis joan-wie-kah dari Tho Hoa To, yang tak menpam senjata, tolong paman mengerebongkannya di pundaknya, kalau sudah dikerebongi, biarlah batu itu diletakkan pula di pundaknya, dengan begitu, dia tidak nanti dapat pergi, dia pun tak usah terluka. Bukankah itu bagus untuk kedua belah pihak?"   Si petani juga pernah mendengar tentang baju lapis itu, ia hanya tetap ragu-ragu ketika ia menyambuti baju itu. Oey Yong senantiasa mengawasi orang, ia melihat orang tetap bersangsi, maka ia berkata pula.   "Guruku telah mengajari aku tidak boleh aku berdusta terhadap lain orang, maka itu mana berani aku membohongi kau, Paman? Jikalau paman tidak percaya, kau cobalah bacok beberapa kali baju lapisku ini!"   Si petani mengawasi si nona, ia mau percaya orang jujur. Ia berpikir pula.   "Kiu Cie Sin Kay itu orang tua dan terhormat, kata-katanya ada kata-kata bagaikan emas atau kumala, guruku pun sangat menghargainya, sedang nona ini tak macamnya tukang mendusta"   Karena berpikir demikian, ia lantas mencabut golok pnedek di pinggangnya, terus ia membacok baju lapis itu, sampai beberapa kali. Benar ia mendapat kepastian, abju itu tidak rusak. Sekarang ia baru percaya benar. "Baiklah!"   Katanya kemudian.   "Nanti aku mengerebongkannya!"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Petani itu tidak menyangka sama sekali, bahwa walaupun roman Oey Yong sangat polos dan kekanak-kanakan, otaknya sangat tajam, dibatok kepalanya banyak akalnya.   Maka ia menghampirkan Kwee Ceng, ia meletakkan baju itu di lengan si anak muda, siap untuk dikerebongi, setelah mana ia memegang batu, untuk diangkat.   Sembari berbuat begitu, ia kata.   "Kau lepaskan tanganmu, kau pakai pundakmu untuk menahan batu!"   Dengan menyender pada batu, Oey Yong mengawasi petani itu tajam-tajam, begitu lekas ia melihat orang mengangkat batu, mendadak ia memanggil Kwee Ceng.   "Engko Ceng, Hui liong cay thian!"   Kwee Ceng mendengar itu, ia mengerti maksud si nona itu.   "Hui liong cay thian"   Itu ialah salah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang berarti "aga terbang di langit".   Itu pun artinya, ia harus terbang.   Maka begitu ia merasai tindihan kendor, ia menarik tangan kanannya, tangna kirinya ia loloskan di bawah tangan kanannya itu, lalu kakinya menjejak, tubuhnya melessat ke samping Oey Yong! Bukan main sebatnya ia bergerak dengan jurus "Hui liong cay thian"   Itu. "Kurang ajar"   Maki si petani begitu lekas ia ketahui bahwa ia sudah kena ditipu mentah-mentah. Sebab dalam sekejab itu, ialah yang sekarang mesti berdiri diam menahan pula batu serta kerbaunya itu! "Engko Ceng, mari kita pergi!"   Kata Oey Yong. Ia memperlihatkan roman sangat puas, sembari menoleh kepada si petani, ia berkata.   "Paman, tenagamu sangat besar, kau dapat menahan batu itu untuk satu jam atau tiga perempat, tidak nanti terjadi bahaya apa-apa, kau jangan khawatir.!"   "Hai, budak cilik!"   Maki si petani.   "Secara begini kau akali si orang tua! Kau bilang Kiu Cie Sin Kay dapat dipercaya, tapi dengan begitu kau meruntuhkan nama baiknya, kau bocah cilik!" Oey Yong tidak gusar, ia bahkan tertawa. "Apakah yang runtuh?"   Ia berkata.   "Memang guruku itu membilangi aku bahwa aku tidak boleh berdusta akan tetapi ayahku mengatakannya memperdayakan orang bukanlah suatu perkara hebat! Karena aku suka mendengar perkataan ayahku, jadi guruku tidak dapat berbuat apa-apa atas diriku!"   "Siapa ayahmu?"   Tanya si petani mendongkol sekali. "Eh, bukankah aku telah memberikan kau tetika untuk menguji baju lapisku itu?"   Si nona membalikkan. "Ah, biar mampus, biar mampus!"   Mengutuk petani itu.   "Hai, kiranya kau budak setan, kaulah anak setan perempuan dari Oey Lao Shia! Ah, kenapa aku begini tolol?!"   "Memang!"   Kata pula Oey Yong, tetapi tertawa. "Kata-kata guruku memang berat bagaikan gunung, dia belum pernah mendusta, adalah sukar untuk mempelajari itu, sedang aku juga tidak berani mempelajarinya! Menurut aku, peljaran ayahkulah yang cepat!"   Lagi-lagi si nona tertawa, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi.   Mereka mengikuti jalanan, untuk ke depan.   Kwee Ceng girang dan heran.   Ia tidak mengerti kenapa Oey Yong mengakali si petani, hingga petani nitu sendiri yang memapah pula batu serta kerbaunya itu.   Tak lama sampailah mereka di ujung jalan itu.   Di depan mereka melintang sebuah jembatan bagaikan penglari batu, lebarnya kira setengah kaki, kedua ujungnya duduk di antara kedua puncak, karena ada kabut atau awan, ujungnya yang lain tak nampak.   Kalau batu itu terletak di tanah, kecil pun tak berarti, sekarang itulah sebuah jembatan, bawah itu ada jurang yang dalam, sungguh berbahaya.   Dengan melihat saja ke bawah, hati sudah ngeri.   "Sungguh pandai sekali Toan Hongya menyembunyikan diri,"   Kata Oey Yong menghela napas. "Umpama ada seorang bermusuh hebat dengannya, kalau musuh itu dapat mencari sampai di sini, mungkin sakit hatinya akan berkurang separuh."   "Kenapa si tukang pancing mengatakan bahwa Toan Hongya sudah mati?"   Tanya Kwee Ceng. "Perkataannya itu membuat hatiku tidak tentram."   "Ya, memang mengherankan,"   Sahut si nona. "Melihat romannya, dia tidak berbohong. Dia juga mengatakan guru kita melihat sendiri kematian Toan Hongya itu"   "Ah, sudahlah!"   Kata Kwee Ceng akhirnya.   "Sudah sampai di sini, tidak bisa lain, kita mesti jalan terus!"   Ia lantas berjongkok, untuk Oey Yong menggemblok di punggungnya, setelah mana ia berjalan cepat di jembatan batu itu. Ia menggunakan ilmu ringan tubuh "Keng-kang Tee-ciong-sut"   Sebenarnya jembatan batu itu tidak rata dan juga licin sekali, siapa jalan dis itu, semakin perlahan, semakin banyak ketikanya untuk terpeleset dan jatuh, maka Kwee Ceng sebaliknya berjalan seperti berlari.   Hanya ketika sudah melalui kira-kira delapan tombak, Oey Yong lantas teriak.   "Awas, di depan itu putus!"   Kwee Ceng pun telah melihat itu, ia tidak berpikir untuk mencari tahu, kenapa bisa terjadi begitu, ia hanya menjejak, untuk mengenjot tubuh, maka dilain saat ia sudah berlompat ke seberang.   Oey Yong tidak menghiraukan lagi kematian, ia cuma merasa perbuatan si anak muda sangat berbahaya.   Selewat dari situ, ia tertawa.   Ia kata.   "Engko Ceng, terbangmu masih tetap kalah dengan si rajawali!"   Nyatanya jalanan terputus itu, tetapi ada sambungannya pula, bukan hanya ada satu itu, sebaliknya bahkan ada tujuh rintasan, tetapi ketujuh-tujuhnya dapat dilewati Kwee Ceng, maka dilain saat tibalah mereka di ujung jembatan yang terakhir, yang terputusnya agak lebar.   Habis itu barulah tampak sebidang tanah datar.   Di situ terdengar suara orang membaca kitab.   Kwee Ceng menghentikan tindakannya.   Ia mengawasi bagian yang terputus itu, yang lebarnya beberapa tombak lebih.   Tepat di atas tanah itu, yang ceglok, di situ ada seorang yang berdandan sebagai pelajar duduk bersila, tangannya memegang buku, mulutnya membaca.   Surat bacaan tadi keluar dari mulut dia ini.   Di belakangnya ada sebuah lagi jalan yang putus dan ceglok.   "Sukar"   Si anak muda mengeluh.   "Tidak sukar aku melompat ceglokan ini hanya di situ bercokollah si pelajar ini! Mana dapat aku melompati dia? Kalau tidak, di sini tidak ada jalan lain Di mana aku mesti menaruh kakiku?"   Terpaksa ia berkata.   "Paman aku yang muda mohon bertemu dengan gurumu, maka itu, tolong paman memimpin aku menemuinya."   Pelajar itu tidak menyahut, mungkin dia tidak mendengar, sebab dia lagi asyik sekali membaca kitabnya, sambil kepalanya digoyang-goyangkan.   Lagi sekali Kwee Ceng mengajaknya bicara, suaranya dikeraskan, tetapi masih si pelajar diam saja.   "Yong-jie, bagaimana?"   Akhirnya Kwee Ceng tanya pada kawannya.   Oey Yong tidak lantas menjawab.   Ia memperhatikan tempat di mana di pelajar dudukl.   Di situ mereka tidak bisa bertempur, sebab salah satu atau dua-duanya tentu akan celaka.   Pula, taruh kata mereka menang, kemenangan itu tidak ada artinya.   Bukankah mereka datang untuk memohon sesuatu? Mana dapat mereka mencelakakan orang? Maka atas pertanyaan Kwee Ceng itu, ia mengerutkan alisnya.   Dari apa yang ia dengar, si pelajar lagi membacakan kitab Loen Gie, terang dan lancar suaranya.   "Untuk membikin dia membuka mulutnya, tidak ada lain jalan daripada membuat hatinya panas."   Kemudian nona ini membuka berpikir. Maka berkatalah ia mengejek.   "Biarpun Loen Gie dibaca beribu kali putar balik, kalau tak mengerti maksud Guru Besar Khong Coe tentang peribudi besar toh percuma!"   Pelajar itu tampak terkejut, ia mengangkat kepalanya. "Apakah itu peribudi besar?"   Tanyanya.   "Aku mohon pengajaran." Oey Yong memandang pelajar itu, yang usianya limapuluh lebih, yang kepalanya ditutup dengan kopiah sabuk Siauw-yauw-kin, tangannya memegang kipas dan jenggotnya panjang. Dia benar mirip seorang pelajar. "Apakah kau tahu ada berapa banyak murid Khong Coe?"   Ia menanya, suaranya tetap dingin, tertawanya mengejek. "Apakah sukarnya?"   Jawab pelajar itu dengan tertawa.   "Murid Khong Coe ada tiga ribu orang dan yang paling pandai tujuhpuluh dua!"   "Dari tujuhpuluh dua murid itu, orangnya ada yang tua dan ada yang muda,"   Kata si nona.   "Tahukah kau, berapa yang tua dan berapa yang muda?"   Pelajar itu tercengang. Di dalam kitab Loen Gie hal itu tak dibicarakan, dan di kitab-kitab lain pun tidak dicatat. "Aku mengatakan kau tidak mengerti bunyinya kitab, apakah aku salah?"   Tanya Oey Yong disengaja.   "Tadi aku mendengar kau membaca, yang dewasa lina enam orang dan yang bocah enam tujuh orang.   Bukankah lima kali enam menjadi tigapuluh orang? Bukankah enam kali tujuh menjadi empatpuluh dua? Jadi yang muda itu empatpuluh dua orang? Bukankah kalau kedua jumlah itu dijumlah lagi.   semuanya jadi berjumlah tujuhpuluh dua? Hm! Kau belajar tetapi tanpa berpikir, hm, sungguh celaka!"   Pelajar itu tahu orang merebut alasan dengan dipaksakan, tanpa merasa, ia tertawa. Meskipun demikian, ia kagum akan kecerdikan si nona. "Nona kecil, kau sungguh pandai!"   Katanya.   "Aku kagum kepadamu! Kamu hendak mencari guruku, untuk urusan apakah itu?"   Oey Yong berpikir dengan cepat.   "Jikalau terang terang aku memberitahukan, bahwa aku hendak minta diobati, pasti dia menggunakan segala macam cara untuk menghalang-halangi. Tapi pertanyaan ini juga tidak dapat tidak dijawab. Baiklah, dia membaca kitab Loen Gie, baik kejejal dia dengan ujar-ujar Khong Coe juga!"   Maka ia tertawa dan menyambut.   "Nabi itu tidak dapat aku menemuinya, maka dapat menemui kuncu juga bolehlah! Jikalau ada sahabat yang datang dari tempat yang jauh, bukankah itu menggirangkan?"   Pelajar itu dongak, ia tertawa lebar. "Bagus, bagus!"   Katanya.   "Sekarang aku hendak mengajukan tiga pertanyaan padamu, jikalau kau dapat menjawabnya, akan aku membawa kau kepada guruku, jikalau ada satu saja yang kau tidak mampu menjawabnya, maka persilahkan kamu berdua pulang kembali!"   "Ah, hebat, hebat!"   Oey Yong mengeluh.   "Aku tidak pernah membaca banyak kitab, jikalau pertanyaanmu sulit, sungguh aku tidak dapat menjawabnya"   "Tidak sukar, tidak sukar!"   Si pelajar tertawa.   "Di sini ada sebuah syair, yang melukiskan tentang diriku, untukmu cukup kau menjawabnya dengan mempat huruf. Kau coba saja!"   "Baik!"   Si nona menjawab.   "Jadi inilah tebak-tebakan! Teka-teki itu menarik hati! Silahkan kau menyebutnya!" Si pelajar mengurut kumisnya, ia membaca;   "Enam kitab telah lama penah di dada, satu pedang sepuluh tahun digosok di tangan"   "Aha!"   Memuji Oey Yong sambil mengulur lidah.   "Inilah namanya Bun Bu Coan Cay! Sungguh hebat!"   Ia memotong untuk memuji orang pandai dua-dua dalam ilmu surat (bun) dan silat (bu) Si pelajar tertawa, ia melanjuti.   "Di atas bunga Heng ada satu batang melintang, karena khawatir rahasia langit nanti bocor janganlah membuka Mulut. Satu titik bertumpuk-tumpuk besar bagaikan gantang, menutupi Setengah pembaringan hingga tak nampak apa-apa. Habis nama lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal-usul diriku ini?"   Oey Yong segera berpikir. Ia lantas memegang pokok pertanyaan itu.   "Habis nama lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal-usul diriku ini?"   "Kalau melihat romannya, dulunya ia mesti seorang menteri di dalam pemerintahan Toan Hongya,"   Demikian pikirnya.   "Kemudian ia menggantung kopiahnya, dia meninggalkan pemerintahan, mengundurkan diri untuk tinggal menyembunyi di gunung atau rimba. Apakah sukarnya teka-teki ini?"   Maka ia lantas menjawab.   "Huruf Enam itu kalau di bawahnya ditambah satu satu huruf Satu ditambah lagi huruf Sepuluh, itu jadinya huruf Sin. Huruf Heng itu kalau di atasnya ditambah Satu huruf yang melintang dan dibuang huruf Mulut dibawahnya, maka jadilah huruf Bie. Setengah Pembaringan itu kalau ditukar dengan huruf Besar dengan huruf besar itu ditambah Satu titik di atasnya, itulah huruf Cong. Kalau huruf Habis itu di buang kopiahnya, ialah atasannya, maka jadilah dia huruf Goan. Jadi semua itu bunyinya ialah Sin Bie Conggoan! Maaf, maaf, kiranya aku berhadapan sama yang mulia Sin-bie Conggoan!"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Pelajar itu terbengong.   Ia mengganggapnya teka-tekinya itu sulit.   Atau taruh kata orang dapat menjawabnya, mesti lewat dulu sekian lama, tidak sedemikian cepat.   Dua orang itu berada di jembatan tunggal itu, meski si pemuda lihay, tidak nanti ia sanggup menggendong orang berdiam lama-lama di situ, ia menyangka mereka bakal tahu diri dan mundur sendirinya.   Siapa sangka, Oey Yong telah menjawabnya cepat luar biasa, seperti tanpa mikir lagi.   Oleh karena ini, karena si nona cerdas luar biasa, ia lalu memikir untuk mengajukan pertanyaan yang sukar.   Ia lantas memandang ke sekitarnya.   Di pinggiran gunung ia menampak sekumpulan semacam pohon palem, yang daunnya bergoyang-goyang mengikuti tiupan angin, bagaikan kebutan kipas.   Sebagai seorang conggoan- tamatan tertinggi dari Hanlim Academy - ia lantas mendapat pikiran.   Maka ia menggoyang-goyangkan kipasnya, terus ia berkata.   "Aku ada mempunyai sebuah syair bagian atasnya, aku minta nona suka tolong menyambungi bagian bawahnya."   Oey Yong meleletkan lidahnya. "Oh, inilah yang dinamakan twie dan twie ini tak demikian menarik hati seperti teka-teki!"   Katanya.   "Tapi baiklah, silahkan kau menyebutkannya!" Bab 62. It Teng Taysu Pelajar itu menunjuk dengan kipasnya ke kumpulan pohon palem itu, ia membacakan syairnya itu, atau lian, yang dikatakan bagian atasnya.   "Sang angin meniup-niup pohon palem, bagaikan seribu tangan menggoyang-goyang sang kipas."   Syair itu di satu pihak menggambarkan pemandangan alam - ialah yang pohon, di lain pihak menunjuki juga hal dirinya si pelajar - ialah kipasnya, maka Oey Yong lantas berpikir.   "Tidak dapat aku menjawab dia dengan hanya menunjuk serupa benda, mesti juga ada arti yang merangkap di dalamnya."   Ia lantas memandang ke sekitarnya, hingga ia melihat di depannya, di tanah datar, sebuah bangunan sebagai kuil atau biara, di depan mana ada sebuah pengempang teratai.   Ketika itu bulan ke tujuh hampir habis, daun teratai sudah kering kebih dari separuhnya.   Lalu ia tertawa dan berkata.   "Jawabanku itu untuk menyambungi sudah ada hanya aku khawatir aku berbuat salah terhadap kau, paman, jadi tidak leluasa untuk aku mengatakannya."   "Tidak apa, kau sebut saja!"   Menyahut si pelajar. "Jangan kau gusar, paman"   "Tentu sekali tidak."   Oey Yong menunjuk kepada kopiah siauw-yauw-kin di kepala pelajar itu. "Baikah!"   Katanya.   "Sambunganku bagian bawah dari syairmu itu ialah. 'Diantara daun teratai separuh kering, satu memedi kaki tunggal memakai siauw-yauw-kin."   Mendengar itu, si pelajar tertawa terbahak-bahak. "Bagus, bagus!"   Ia memuji.   "Bukan saja jawabannya sangat tepat juga itu dijawabnya cepat sekali." Kwee Ceng mengawasi ke daun-daun teratai di pengempang itu, ia melihat ada selembar daun hampir kering yang duduknya begitu rupa hingga mirip dengan satu setan satu kaki yang memakai kopiah siauw-yauw-kin itu! Maka ia juga tertawa. "Hus, hus, jangan tertawa!"   Kata si nona pada kawannya.   "Tungkulan kau tertawa, kakimu bisa terpeleset, nanti kita berdualah yang bakal menjadi si setan-setan yang tidak memakai kopiah siauw-yauw-kin itu!"   Si pelajar sendiri sementara itu tengah berpkir.   "Dia tidak dapat dirobohkan dengan twie yang umum saja, dia mesti menyaksikan yang sangat sukar."   Lalu ia ingat halnya di masa bersekolah, gurunya pernah memberikan ia twie yang sudah puluhan tahun belum pernah ada lain orang yang dapat menimpalinya. Ia hendak mencoba ini. Ia kata.   "Sekarang aku mempunyai satu lian lagi, aku minta nona kecil menimpalinya. Inilah Kim Sek pie pee, delapan raja besar semua serupa kepalanya."   Mendengar itu tanpa merasa Oey Yong tercengang.   Kim sek pie pee itu, ialah alat-alat tetabuhan semacam gitar, memang semua empat-empat hurufnya berkepala dengan huruf-huruf Ong = Raja di atasnya.   Inilah benar-benar syair atau lian yang sulit untuk ditempeli (twie).   Si pelajar mengawasi orang, senang hatinya menampak si nona menghadapi kesulitan.   Ia lantas berkata.   "Lian bagian atas ini memangnya sukar, aku sendiri tidak dapat menimpelinya dengan pasti, hanya karena kita sudah omong terlebih dahulu, umpama kata nona tidak dapat menempalinya, seperti janji kita, silahkan kamu kembali saja!" Justru orang "mengusir"   Justru Oey Yong mendapat pikiran. Ia tertawa. "Untuk menimpali itu, tidaklah sukar!"   Katanya. "Hanya aku merasa kurang enak di hati menyebutkan itu. Tadi saja aku telah berbuat salah terhadap paman, sedang sekarang aku bakal menyinggung berbareng kamu berempat si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan palajar."   Pelajar ini tidak mempercayai orang. "Untuk menimpali saja sudah sukar sekali, apapula dengan sekaligus mengenai empar orang,"   Pikirnya. "Benarkah itu?"   Lalu ia membilang.   "Asal kau dapat menimpali dengan tepat, bergurau sedikit tidak apa! Si nona tertawa. "Kalau paman bilang begitu, baiklah, lebih dulu aku minta maaf!"   Katanya.   "Sambungannya lian paman itu ialah. Ci Bie Bong Liang, ialah empat setan cilik dengan masing-masing ususnya!"   Cie bie bong liang itu ialah setan hutan, setan gunung, setan tukang makan batok kepala orang dan peri, semua empat huruf berpokok dengan huruf Kwie = Setan.   Mendengar itu, si pelajar terperanjat, lekas-lekas ia berbangkit untuk untuk menjura dalam seraya tangannya dikibaskan.   "Aku menyerah, Nona,"   Katanya. Oey Yong pun lekas-lekas memberi hormat. "Jikalau bukannya paman beramai sangat bersungguh-sungguh menghalang-halangi kami berdua mendaki gunung, sebenarnya juga lian paman ini sangat sukar untuk dijawab!"   "Hm!"   Si pelajar bersuara seraya ia lantas minggir. "Silahkan!"   Katanya.   Ia memutar tubuh dan berlompat dari tempat menghadangnya itu.   Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang dengan perhatian, ia sebenarnya khawatir Oey Yong gagal, maka bukan main girangnya ia mengetahui si nona menang, segera ia berlompat, mulanya di tempat bekas si pelajar, lalu terus ke rintangan lainnya yang paling belakang.   Melihat orang menggendong tetapi gerakannya demikian hebat, si pelajar menghela napas sendirinya dan di dalam hatinya ia berkata.   "Aku bangga atas kepandaianku ilmu surat dan ilmu silat, sekarang ternyata, dalam ilmu surat aku tak ada seperti si nona, dalam ilmu silat tak ada seperti si pemuda, sungguh aku mesti malu"   Ketika ia melirik kepada si nona, nyata sekali nona itu sangat girang akan kemenangannya, rupanya ia memikir ia telah merobohkan satu conggoan. Maka ia pikir.   "Baiklah aku ganggu dia, supaya ia jangan terlalu girang."   Maka ia lantas berkata.   "Nona, meskipun ilmu suratmu lihay, tetapi di dalam halnya prilaku, kau ada cacadnya."   Oey Yong tertawa. "Di dalam hal ini aku minta petunjukmu,"   Ia bilang. "Bukankah di dalam kitab Beng Coe ada bilang, yang dibilang adat-istiadat ialah pria dan wanita tak dapat saling bersentuh tangan?"   Katanya si pelajar.   "Sekarang lihat sendiri, Nona adalah seorang gadis dan dengan engko kecil ini, kamu bukanlah suami-istri, maka kenapa nona membiarkan ia menggendong padamu? Beng Hoe-coe membilang, cuma kalau sang ipar perempuan kelelap maka sang ipar lelaki dapat menolongnya.   Nona ini tidak kelelap, Nona pun bukan iparnya engko kecil ini, kenapa dia menggendong Nona? Itulah sangat besar melanggar adat-istiadat."   Mendengar sindiran atau ejekan ini Oey Yong berpikir.   "Hm! Engko Ceng toh sangat baik denganku. Memang dialah bukan suamiku, suko Liok Seng Hong membilang demikian, sekarang ini conggoan membilang demikian juga"   Ia tidak suka mengalah, maka sambil mainkan mulutnya, ia berkata.   "Beng Hoe Coe itu memang paling suka mengaco-belo! Dapatkah kau percaya kau percaya kata-katanya itu?"   Mendengar demikian, si pelajar menjadi gusar. ia tidak senang Beng Hoe Coe dikatakan mengaco-belo. "Beng Hoe Coe ialah seorang nabi, seorang rasul, mengapa kata-katanya tak dapat dipercaya?"   Dia tanya keras. Oey Yong kata tertawa, bagaikan bersenandung, ia kata.   "Seorang pengemis mana mempunyai dua istri? Seorang tetangga mana mempunyai demikian banyak ayam? Di jaman itu masih ada kaisar dari kerajaan Ciu, kenapa orang mesti omong banyak dengan raja-raja Gui dan Cee?"   Mendengar kata-kata si nona, pelajar itu berdiri menjublak.   Ia mengetahui baik sekali kata-kata nona ini.   Apa yang disebutkan Oey Yong adalah syair karya ayahnya sendiri.   Oey Yok Su pintar akan tetapi tabiatnya aneh, maka itu, sering ia membuat syair dengan apa ia mengejek Khong Coe dan Beng Coe.   Kalau bukan begitu, dialah bukan Tong Shia di Sesat dari Timur.   Beng Coe itu pernah bercerita dari halnya seorang dari negeri Cee mempunyai seorang istri serta seorang gunidk, toh untuk hidupnya, ia pergi mengemis sisa sayur dan nasi dingin, dan halnya seorang yang setiap hari mencuri seekor ayam tetangganya.   Dua cerita itu disyairkan dengan maksud akan dipakai menipu orang.   Tentang yang lainnya.   jaman itu ialah jaman perang antara negara (Cian Kok), itu masih ada raja dari kerajaan Ciu, maka itu Tong Shia menanya, kenapa Beng Cu bukannya menunjang raja Ciu, dia hanya pergi kepada raja muda Liang Hui Hong dan Cee Soan Ong kepada siapa Beng Cu meminta pangkat? Tong Shia menganggapnya itu bertentangan sama prilakunya seorang nabi atau rasul.   Pelajar ini berpikir.   "Si orang negeri Cee dan si tetangga itu cuma cerita, cuma cerita, perumpamaan saja, hanya yang mengenai Beng Coe itu, mungkin Beng Coe sendiri di alam baka sukar menjawab"   Ia melirik pula si nona, ia berpikir lagi.   "Dia masih begini muda, kenapa dia begini cerdik?"   Meski apa yang ia pikir itu, si pelajar membungkam.   Ia hanya memimpin dua muda-mudi itu.   Ketika melewati pengempang, ia memandang kepada daun teratai yang tadi disebutkan si nona itu, kemudian ia melirik kepada si nona.   Oey Yong tertawa dan melengos! Tidak lama sampailah mereka di kuil, si pelajar mengundang kedua tetamunya masuk ke kamar sebelah timur, di mana lantas ada kacung pendeta yang menyuguhkan the.   "Jiewi, harap tunggu sebentar, hendak aku mengabarkan guruku,"   Kata si pelajar. "Eh, tunggu dulu,"   Berkata Kwee Ceng.   "Itu paman petani, di lereng gunung di tengah menahan batu yang ada kerbaunya, dia tidak dapat meloloskan dirinya, baiklah paman pergi menolong dia."   Mendengar ini, si pelajar kaget. Hingga tanpa bilang apa-apa lagi, dia lantas lari keluar. "Nah, lekaslah buka itu kantung yang kuning!"   Kata Oey Yong kepada kawannya. "Ah,"   Kata si pemuda.   "Kalau kau tidak menyebutnya, pasti aku lupa."   Ia lantas mengeluarkan kantung kuning itu, untuk memerika isinya.   Itulah kertas putih tanpa huruf, hanya ada gambar, yang meggambarkan seorang India yang menjadi raja, dengan pisau raja itu telah memotongi dagingnya hingga tak ada tubuhnya yang utuh, sedang darahnya berhamburan.   Di depan raja ini ada sebuah dacin, alat peranti menimbang.   di ujung yang satu ada seekor burung dara putih dan di sebelah yang lain ialah dagingnya itu.   Daging lebih banyak, burung dara lebih kecil, tetapi buktinya, burung dara lebih berat.   Di samping dacin ada seekor burung elang, yang romannya sangat bengis.   Sekian lama Oey Yong mengawasi gambar itu, ia tidak mengerti maksudnya.   Kwee Ceng pun tidak tahu apa artinya itu, karena si nona diam saja, ia turut berdiam.   Maka ia gulung gambar itu, utuk dipegangi dengan digenggam.   Tidak lama terdengar tindakan kaki yang berat dan berisik, lalu nampak si petani datang dengan dipegangi si pelajar, romannya sangat gusar.   Rupanya ia mendongkol sebab kena diakali hingga ia seperti tersiksa.   Dia terus dibawa masuk ke dalam kuil.   Selang tak lama, muncullah satu kacung pendeta.   Dia memberi hormat dengan merangkpa kedua tangannya.   Ia menanya.   "Jiewi datang dari tempat yang jauh, entah ada urusan apa?"   "Kami sengaja datang untuk mohon menghadap Toan Hongya,"   Kwee Ceng menyahuti.   "Kami minta tolong agar kedatangan kami disampaikan."   Pendeta itu merangkap kedua tangannya. "Toan Hongya sudah lama tak ada lagi di dalam dunia ini, maka sayang sekali, jiewi telah bercapai lelah tanpa ada hasilnya. Silahkan dahar dulu, sebentar nanti siauw-ceng mengantarkannya turun gunung."   Kwee Ceng berdiam, karena ia kecele sekali mendapat jawaban itu. Tidak demikian dengan Oey Yong, yang telah melihat kuil itu dan sekarang si pendeta cilik ini. Ia menduga sesuatu. Ia mengambil gambar dari tangannya Kwee Ceng, ia kata.   "Aku telah mendapat luka parah, sengaja aku datang ke mari untuk minta gurumu suka menolongi, dari itu sehelai kertas ini tolong kau menyampaikannya kepada gurumu itu." Kacung itu menerima, ia tidak berani membuka gambar itu, hanya setelah memberi hormat, ia masuk ke dalam. Tapi tidak lama ia keluar pula, sembari menurunkan alisnya, sambil memberi hormat, ia berkata.   "Silahkan jiewi masuk."   Itulah undangan, maka Kwee Ceng menjadi girang sekali.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ia lantas pegangi Oey Yong, untuk diajak mengikuti kacung itu.   Kuil itu kecil tetapi dalam.   Kwee Ceng berdua Oey Yong jalan di satu jalanan batu hijau yang lecil melewati sebuah tempat di mana ada ditanam banyak pohon bambu, yang daunnya lebat, keadaannya sunyi dan tenang, hingga siapa berada di situ, ia tentunya terpengaruh suasana kesucian.   Di dalam rimba bambu itu terlihat sebuah rumah batu terdiri dari tiga ruang.   Si kacung pendeta lantas membuka pintu, untuk mempersilahkan kedua tetamunya masuk ke dalam.   Ia berdiri di pinggaran dengan sikapnya yang sangat menghormat.   Kwee Ceng girang.   Ia bersenyum kepada pendeta itu, sebagai tanda terima kasihnya.   Bersama Oey Yong, ia jalan berendeng masuk ke dalam.   Di atas meja kecil ada pedupaan dari kayu garu.   Di kedua samping itu ada berduduk masing-masing seorang hweeshio atau pendeta.   Yang satu mukanya hitam, hidungnya mancung, matanya dalam.   Dialah seorang India.   Yang lainnya, yang bajunya kasar, mempunyai alis putih yang panjang, ujung alisnya meroyot turun di ujung matanya.   Wajah pendeta ini menunjuk ia murah hati, benar sinar matanya rada guram, mungkin tercampur kedukaan, tetapi umumnya dia halus dan agung.   Si pelajar dan si petani berdiri di belakang pendeta alis panjang ini.   Oey Yong bertindak tanpa sangsi lagi.   Ia menarik tangan Kwee Ceng, untuk menghampirkan pendeta itu, sambil membungkuk ia berkata.   "Teecu Kwee Ceng bersama Oey Yong menghadap Supee."   Kwee Ceng terkejut mendengar nona itu memanggil supee atau paman guru, meski begitu tanpa bersangsi lagi dia menekuk kedua kainya untuk mengangguk sampai empat kali.   Pendeta alis panjang itu bersenyum, ia bangun untuk berdiri, tangannya diulur mengasih bangun pada mereka itu.   Ia pun tertawa dan berkata.   "Saudara Cit telah mendapatkan murid yang baik sekali dan saudara Yok mendapatkan anak yang manis! Menurut katanya mereka ini"   Ia menunjuk kepada si petani dan si pelajar.   "Lihay ilmu surat dan ilmu silat kamu berdua, jauh melebihkan murid-muridku yang bodoh itu. Haha, sungguh kamu berdua harus diberi selamat!"   Mendengar suara itu, Kwee Ceng merasa pasti orang adalah Toan Hongya, maka ia heran kenapa seorang raja boleh berubah menjadi hweeshio dan heran juga bahwa Toan Hongya dikatakan sudah mati, toh orang masih hidup segar-bugar.   Pula ia heran yang Oey Yong lantas mengetahui pendeta itu adalah Toan Hongya sendiri.   Lalu terdengar si pendeta menanya Oey Yong.   "Apakah ayahmu dan gurumu mu baik-baik semua? Ketika dulu hari kita berapat di gunung Hoa San di mana kita merundingkan ilmu pedang bersama ayahmu, ayahmu itu masih sebatang kara, siapa sangka baru berpisah dua puluh tahun, dia telah mendapatkan satu anak perempuan yang cantik dan pintar! Apakah kau ini mempunyai saudara tua dan muda, enci atau adik? Dan kakek luarmu itu, dia orang gagah yang manakah?"   Ditanya begitu, matanya Oey Yong menjadi merah. "Ibuku cuma melahirkan aku seorang,"   Sahutnya. "Ibu pun telah meninggal semenjka siang-siang. Siapa itu kakek luarku, aku tidak tahu"   "Oh,"   Kata pendeta itu, yang dengan perlahan menepuk pundak orang, sebagai tanda menghibur. "Aku telah bersemadhi tiga hari dan tiga malam, baru saja aku pulang. Apakah kamu sudah lama menunggu aku?"   Oey Yong berpikir.   "Dilihat dari sikapnya ini, dia sangat menyukai kami. Maka mungkin di sepanjang jalan tadi, yang menyulitkan kami adalah bisanya muridnya itu"   Karena itu, ia lekas menyahut.   "Teecu juga baru tiba. Syukur beberapa paman telah mempersulit di tengah jalan, kalau tidak, tentulah kami sudah tiba semenjak tadi-tadi, hingga dengan supee tengah bersemadhi mungkin tibanya kami akan sia-sia belaka."   Mendengar itu, si pendeta tertawa riang. "Mereka itu sangat khawatir aku bertemu sama orang luar,"   Katanya.   "Sebenarnya, bukankah kau bukannya orang luar? Ah, anak, muridmu tajam sekali, dasar turunan! Baiklah kamu ketahui, Toan Hongya sudah tidak ada lagi dalam dunia ini, sekarang aku dipanggil It Teng Hweesio. Gurumu ketahui ketika aku mulai menganut agama, ia menyaksikannya, ayahmu mungkin belum mengetahuinya."   Baru sekarang segala apa terang bagi Kwee Ceng. Toan Hongya telah menjadi Hweeshio, dia memakai nama It Teng itu, pantas dia dikatakan sudah menutup mata. Memang siapa menyucikan diri, dia bagaikan menjelma pula.   "Suhu mengetahui tentang supee ini, kalau suhu menyuruh kita ke amri, tidak nanti ia menyebut pula Toan Hongya, hanya It Teng Taysu."   Maka itu, benar-benar Oey Yong cerdik sekali, ia lantas dapat menerka! "Memang juga ayah tidak tahu,"   Berkata Oey Yong. "Benar,"   It Teng pun bilang sambil ia tertawa.   "Tentang gurumu itu, mulutnya itu lebih banyak yang masuk, sedikit yang keluar, yang dimakan banyak, yang dibicarakan sedikit, maka itu urusan aku si pendeta tua tentulah dia tak suka bicarakan itu sama lain orang.   Kamu datang dari tempat jauh, kamu sudah dahar atau belum? Ah."   Mendadak pendeta ini terkejut, lalu ia menarik tangan Oey Yong ke depan pintu di mana ia mengawasi dengan tajam, di sinar matahari.   Di sini dia nampak seperti kaget.   Kwee Ceng benar tak gelap pikirannya tetapi tahulah ia bahwa It Teng Taysu tentu telah mendapat lihat sakitnya Oey Yong, maka itu, hatinya jadi sangat pedih, lantas saja ia menjatuhkan diri di depan pendeta itu, berulang-ulang ia mengangguk.   It Teng meluncurkan sebelah tangannya, akan mengangkat bangun bocah itu.   Kwee Ceng merasakan satu tenaga besar membentur tangannya, ia tidak berani menentang itu, ia lantas mengikuti, maka ia berbangkit dengan perlahan-lahan.   Sembari bangun, ia berkata.   "Teecu mohon supee suka menolongi jiwanya sumoy ini"   It Teng mengangkat si anak muda dengan mengandung dua maksud, satu untuk mengasih bangun benar-benar, yang lain guna mencoba tenaga dalam bocah itu.   Umpama Kwee Ceng melawan, tidak nanti ia membikin orang terluka atau terpelanting, di dalam hal itu, ia pandai mengendalikan tenaganya.   Sebaliknya, meskipun Kwee Ceng mengikuti, ia merasa bahwa anak muda ini juga pandai mengendalikan tenaganya, maka itu ia menjadi kagum.   "Saudara Cit mendapat murid yang bagus sekali,"   Pikirnya.   "Pantas murid-muridku kalah"   Sementara itu, habis orang berkata, Kwee Ceng kaget sekali.   Mendadak ia merasa tubuhnya kena tertarik hingga ia maju satu tindak, ketika ia mencoba menahan diri, mukanya menjadi merah tahu benar lihaynya pendeta tua itu.   Sebenarnya ia menduga It Teng sudah berhenti menguji padanya, ia mengendorkan diri seperti wajar, tidak tahunya, ia diuji terus.   Sekarang ia menginsyafi benar lihaynya Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay.   It Teng dapat melihat sinar mata anak muda itu, ia heran dan kagum, ia menepuk perlahan pundak orang, sembari tertawa ia kata.   "Anak, kau telah mempunyai kepandaianmu ini, sungguh inilah dukar didapat."   Dilan pihak, pendeta ini masih belum melepaskan tangannya yang satu lagi yang memegangi tangan Oey Yong, maka ia lantas menoleh kepada si nona.   Hanya kali ini ia tidak lagi tertawa hanya bersenyum, cuma dengan sungguh-sungguh dengan perlahan sekali, ia bilang.   "Anak, jangan kau takut, kau tetapkan hatimu."   Lalu ia menuntun nona itu, untuk dikasih duduk.   Oey Yong sangat bersyukur.   Seumurnya belum pernah ia merasa orang perlakukan ia begini manis dan halus, tidak juga ayahnya yang aneh itu.   Ayahnya itu menyayangi ia, tetapi sikap mereka berdua mirp sahabat erat, tidak pernah si ayah menunjuk tegas cinta kasihnya seorang ayah sebagaimana umumnya.   Maka itu, tanpa merasa, ia menangis.   "Jangan menangis, anak yang baik, jangan menangis,"   It Teng menghibur.   "Tubuhmu sakit, bukan? Nanti supeemu mengobati kau hingga sembuh."   Hanyalah semakin halus ia pendeta berbicara, semakin sedih hatinya si nona, hingga ia menangis tersedu-sedu tak hentinya.   Kwee Ceng girang mendengar It Teng memberi janjinya itu, tetapi kebetulan ia mengangkat kepalanya dan melihat si petani dan si pelajar, ia terkejut.   Dua orang itu memandang dia dengan wajah bermuram durja tanda dari kemurkaan.   Ia berpikir.   "Kami bisa masuk sampai di sini, semua itu mengandal kepada kecerdikannya Oey Yong, yang pandai menggunai tipu daya, tidak heran, selagi It Teng Taysu begini baik, kenapa keempat muridnya menggunai segala jalan untuk menghalang-halangi kami?"   Pemuda ini baru berhenti berpikir ketika ia mendengar It Teng menanya Oey Yong. Katanya. "Anak, bagaimana caranya kau terluka, dan bagaimana jalannya hingga kau dapat masuk ke mari, coba kau tuturkan pada supeemu."   Oey Yong memberikan keterangan bagaimana ia terlukakan Khiu Cian Jin, yang mula ya ia tidak tahu ada yang tulen dan ada yang palsu, karena kesangsiannya itu, ia mandah saja kasih dirinya dihajar.   Mendengar disebutknya nama Khiu Cian Jin, It Teng Taysu itu mengerutkan alis, hanya sejenak, lalu ia dapat bersenyum pula, ia nampak tenang seperti biasa.   Oey Yong si cerdik bicara sambil diam-diam memperhatikan si pendeta itu, maka air muka orang itu tidak lolos dari pandangan matanya yang tajam.   Begitu ketika ia menutur sampai di bagian mereka bertemu Eng Kouw di rimba rahasia dan rawa lumpur hitam, ia juga mendapatkan si pendeta itu berubah lagi romannya, si pendeta seperti tengah mengenang peristiwa lama.   Karena ini, ia menunda penuturannya itu.   "Kemudian bagaimana?"   Tanya It Teng, yang menghela napas. "Kemudian kami sampai di kaki gunung,"   Melanjuti Oey Yong yang terus menceritakan bagaimana mereka dipersulit si tukang pancing, tukang kayu, yang memberi mereka lewat dengan gampang, sebaliknya, mengenai tiga yang lain, ia sengaja menambah-nambahkan hingga si petani dan pelajar mendongkol bukan buatan.   "Yong-jie, jangan omong sembarangan,"   Beberapa kali Kwee Ceng campur bicara.   "Paman-paman itu tak ada sedemikian galak."   Oey Yong berani bicara begitu rupa, karena ia tahu, di depan gurunya, mereka itu tidak nanti berani berbuat sesuatu atas dirinya.   Ia memang sengaja hendak mengocok isi perut mereka itu.   "Anak-anak itu benar perbuatannya kurang bagus terhadap anak-anak kecil,"   Kata It Teng kemudian. "Biarlah sebentar aku menyuruh mereka menghanturkan maaf kepada kamu."   Oey Yong melirik dua murid itu, selagi ia bercerita terus sampai ia memasuki kuil ini, akhirnya ia tambahkan.   "Begitulah teecu lantas memberikan gambar itu untuk supee periksa. Sedari itu waktu, baru mereka tidak berani menghadang kami lagi."   It Teng nampaknya heran. "Eh, gambar apakah itu?"   Ia tanya. "Itulah gambarnya burung elang, burung dara dan daging yang dipotong,"   Menyahut si nona. "Kau serahkan itu pada siapa?"   It Teng tanya pula. Belum lagi Oey Yong menyahuti, si pelajar telah merogoh sakunya dan mengeluarkan gambar itu. "Gambar itu ada pada teecu, suhu,"   Ia berkata. "Tadi suhu belum selesai bersemadhi, gambar itu teecu tidak berani lantas menyerahkannya."   It Teng menyambuti gambar itu. "Lihatlah!"   Katanya.   "Jikalau kau tidak menyebutkannya, mana aku bisa melihat ini?"   Ia membuka gambar itu perlahan-lahan, terus ia lihat.   Cuma sekelebatan, ia lantas tertawa dan kata.   "Kiranya orang khawatir aku tidak suka menolong kau, maka ia menggunai gambar ini untuk membangkitkan kemendongkolanku, agar hatiku menjadi panas.   Tidakkah dengan begitu ia jadi memandang enteng sekali kepada aku si pendeta tua?" Oey Yong tidak menjawab, ia hanya melirik si petani dan pelajar, hingga ia kembali melihat muka orang suram, agaknya hati mereka cemas dan tetap mendongkol.   Ia menjadi heran sekali.   Ia tanya dirinya sendiri.   "Kenapa mereka tak senang mendengar It Teng Taysu berniat mengobati aku? Kenapa mereka seperti menghendaki kematianku? Adakah itu disebabkan obatnya ada obat dewa?"   Ia mengawasi pula si pendeta, yang lagi memperhatikan gambar itu, yang bahkan dibawa ke terangnya matahari, untuk ddiperiksa dengan teliti.   Dia bukannya membaca hanya memperhatikan kertasnya.   Beberapa kali kertas itu disentil-sentil, dan air mukanya di pendeta menandakan ia ragu-ragu.   "Adakah lukisan ini lukisannya Eng Kouw sendiri?"   Ia menanya. "Benar."   Pendeta itu berdiam sejenak. "Kau melihatnya dengan matamu sendiri?"   Pertanyaan ini heran, maka Oey Yong mengingat-ingat kejadian hari itu. Ia menjawab.   "Di waktu Eng Kouw menulis, ia membelakangi kami berdua, aku cuma melihat ia menggoyangi pit, entah dia menulis surat atau melukis gambar."   "Kau membilang masih ada dua kantung surat lainnya. Mana, kasih aku melihatnya."   Kwee Ceng menyerahkan dua lembar surat wasiat itu. It Teng mengawasi sekian lama, lalu air mukanya berubah. "Benarlah!"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Katanya kemudian. Ia menyerahkan surat itu pada si nona seraya berkata.   "Saudara Yok itu seorang pelukis pandai, kau putrinya, kau tentu mengerti segala apa. Kau lihat ketiga surat itu, ada apakah yang berlainan?"   Oey Yong menyambuti dan memeriksa. "Ini dua kerta giokpoan yang biasa,"   Ia berkata. "Dan gambar ini memakai kertas ciu-song."   It Teng mengangguk. "Mengenai lukisan, akulah si orang diluar kalangan,"   Katanya pula.   "Coba kau bilangi aku pandanganmu tentang gambar ini. Oey Yong meneliti. "Supee pura-pura menjadi orang di luar kalangan!"   Katanya tertawa.   "Sebenarnya supee telah melihatny, ini bukan gambar lukisannya Eng Kouw sendiri!"   Kembali berubah air mukanya It Teng. "Jadi benar ini bukannya lukisannya Eng Kouw sendiri?"   Katanya.   "Aku melihatnya dari jalan pikirannya, bukannya dari gambarnya."   Oey Yong menarik tangan orang. "Mari lihat huruf-hurufnya kedua surat ini,"   Ia berkata.   "Bagaimana halus tekukannya dan indah. Huruf-huruf di dalam gambar sebaliknya kaku! Ah, inilah lukisannya seorang laki-laki! Memang, mestinya dia seorang pria, hanya sayangnya dia tidak mempunyai minat menggambar, lukisannya tak ada harganya. Tetapi tulisannya ini, karena ia menggunai tenaganya, telah menembus ke belakang kertas Air bak ini juga mestinya telah lama sekali, jangan-jangan lebih tua dari usianya"   It Teng Taysu menghela napas. Ia menunjuk kepada sebuah kitab di atas meja, ia menyuruh si pelajar mengambilnya untuknya. Oey Yong membaca judulnya kitab, maka ia kata di dalam hatinya;   "Dia mau bicara tentang kitab suci dengan aku, mana aku mengerti."   Itulah sebuah kitab suci dan pula cetakan tua. It Teng membuka lembarannya kitab itu, lalu di samping itu ia meletaki gambar dari Eng Kouw.   "Kau lihat!"   Katanya. "Eh, kertasnya sama!"   Kata Oey Yong heran. Pendeta itu mengangguk. Kwee Ceng tidak mengerti, sambil berbisik ia tanya si nona, kertas apanya yang sama. "Kau lihat sendiri dan bandingkanlah,"   Kata Oey Yong.   "Bukankah kertasnya gambar dan kitab ini sama saja?"   Si anak muda mengawasi teliti dan memegang juga kedua kertas, yang tebal dan licinnya sama saja. "Benar sama. Habis bagaimana?"   Ia tanya. Si nona tidak menjawab, ia hanya memandang It Teng, untuk memperoleh jawaban. "Kitab ini dibawa oleh adik seperguruanku dari Wilayah Barat,"   Berkata pendeta itu alias Toan Hongya.   Semenjak semula, Kwee Ceng dan Oey Yong tidak memperhatikan si pendeta bangsa India itu, baru sekarang mereka menoleh dan mengawasi.   Pendeta itu tetap duduk bersila, tidak bergerak atau menoleh, tidak memperdulikan orang bicara asyik di dekatnya.   "Kitab ini juga terbuat dari kertas buatan Wilayah Barat, demikian juga kertas dari gambar ini,"   Kemudian It Teng berkata pula.   "Pernahkah kau mendengar namanya gunung Pek To San di Wilayah Barat itu?"   Pek To San ialah gunung Unta Putih. "Gunungnya See Tok Auwyang Hong?"   Tanya Oey Yong terkejut. "Tidak salah,"   Menyahut si pendeta perlahan. "Gambar ini pun dilukis oleh Auwyang Hong. Oey Yong dan Kwee Ceng kaget sampai mereka bungkam. It Teng Taysu bersenyum. "Auwyang Kongcu itu seorang yang pandai berpikir dan jauh pendengarannya,"   Katanya. "Supee, aku tidak tahu kalau gambar ini dilukis oleh si bisa bangkotan itu!"   Kata Oey Yong.   "Kalau begitu dia bermaksud tidak baik tentu."   It Teng bersenyum, tetapi kapan ia melihat parasnya si nona, yang merah, suatu tanda nona ini lagi menahan sakit, ia mengulur tangannya memegang pundak orang.   "Baiklah belakangan saja kita bicara lebih jauh.   Sekarang yang penting ialah mengobatimu,"   Katanya. Lalu ia mengajak si nona pergi ke kamar samping. Belum lagi mereka memasuki kamar itu, si pelajar dan si petani, yang saling melirik, sudah mendahului lompat ke pintu kamar untuk menghalangi di situ. Keduanya lantas berlutut dan berkata.   "Suhu, biarlah teecu saja yang mengobati nona ini."   It Tent menggeleng kepala. "Apakah pelajaranmu telah cukup?"    Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Legenda Pendekar Ulat Sutera Karya Huang Ying Tugas Rahasia Karya Gan KH

Cari Blog Ini