Pendekar Pemanah Rajawali 55
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 55
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Ia bertanya. "Apakah kau sanggup mengobati hingga sembuh?" "Teecu akan mencoba sebisa-bisanya," Menyahut kedua murid itu. Si pendeta lantas mengasih lihat roman sungguh-sungguh. "Apakah nyawa manusia dapat dicoba-coba?" Ia kata nyaring. "Dua orang ini datang ke mari atas petunjuk orang jahat," Kata si pelajar. "Mereka pasti tidak mengandung maksud baik. Walaupun suhu bermaksud baik hendak menolongi orang tetapi tidak dapat suhu kena diperdayakan akal jahat!" It Teng menghela napas. "Apakah yang setiap hari aku mengajarkan kamu?" Ia tanya perlahan-lahan. "Baiklah kau bawa gambar ini dan pergilah lihat-lihat." Guru ini menyerahkan gambarnya Auwyang Hong itu. Si petani mengangguk dalam. "Suhu, gambar ini dilukis See Tok," Katanya. "Inilah akal busuk dari Auwyang Hong." Kelihatannya murid ini bergelisah sekali, sampai air matanya turun mengalir. Oey Yong dan Kwee Ceng mengawasi dengan bingung. Mereka tidak menyangka, kenapa tindakannya It Teng Taysu untuk mengobati ada demikian rupa sangkut pautnya. Apakah yang menyebabkan sikapnya kedua murid itu? "Bangun, bangun," Kata It Teng perlahan. "Jangan kamu menyebabkan hati tetamu kita menjadi tidak tenang." Suara itu sabar akan tetapi nadanya ialah nada dari putusan mutlak. Kedua murid itu rupanya mengerti, terpaksa mereka berdiam, mereka berbangkit untuk berdiri di pinggaran, kepala mereka tunduk. It Teng Taysu mengajak Oey Yong masuk. "Kau juga masuk!" Ia memanggil Kwee ceng, yang berdiri diam. Pemuda itu bertindak masuk. Setelah itu, It Teng menarik turun sero bambu, terus ia menyulut sebatang hio, untuk ditancap di tempat abu di atas meja. Kamar itu berperabot kecuali sebuah meja bambu itu cuma dengan tiga buah tempat duduk dari tikar. Oey Yong diperintah duduk di tikar yang tengah. Kepada Kwee Ceng ia memesan. "Kau jagai hio itu, kalau sudah terbakar habis, kau beritahu aku." Pemuda itu menyahuti. "Ya!" Lantas It Teng duduk di tikar di samping si nona, matanya memandang ke sero, segera ia memesan pula kepada si anak muda; "Kau jagai pintu juga, jangan ijinkan orang lain masuk ke mari - tidak peduli adik seperguruanku atau murid-muridku, kau jangan kasih masuk!" Kwee ceng heran tetapi ia berikan janjinya. Habis itu It Teng merapatkan kedua matanya. Tapi tak lama, ia melek pula, ia berkata kepada si pemuda. "Jikalau mereka itu sampai menggunai kekerasan, kau lawan! Ingat, di sini ada bergantung jiwanya sumoymu!" Kwee Ceng mengangguk, ia jadi semakin heran, hatinya pun tegang. It Teng lalu berkata kepada Oey Yong. "Kau kedorkan seluruh tubuhmu, tidak peduli ada rasa nyeri atau gatal bagaimana hebat juga, jangan kau membuat perlawanan atasnya!" Si nona tertawa ketika ia menyahuti. "Aku menganggap diriku sudah mati!" Mau tidak mau, It Teng pun tertawa. "Anak yang baik, kau benar-benar pintar!" Ia memuji. Ia lantas menutup pula matanya untuk memusatkan pikirannya. Ketika hio sudah terbakar kira satu dim, mendadak ia berlompat bangun, tangan kirinya diangkat, diletaki di dadanya, tangan kanannya, dengan jari telunjuknya, diarahkan, ditotokan ke jalan darah pek-hwee-hiat di embun-embunan Oey Yong. Ketika ditotok itu, tanpa merasa, Oey Yong berjingkrak sendirinya, terus ia merasa dari embun-embunnya itu keluar hawa panas. Habis menotok, It Teng menarik pulang tangannya itu, hanya belum lewat sejenak, kembali ia sudah menotok, sekarang di jalan darah houw-teng-hiat di belakang jalan darah pek-hwee-hiat itu, terpisahnya cuma satu dim. Setelah itu, dengan saling susul ia menotok terus pelbagai jalan darah lainnya, seperti kiang-kian-hiat, laohu-hiat, honghu-hiat, ah-bun-hiat, taytwie-hiat, totoo-hiat dan lainnya, maka ketika hio terbakar baru setengah batang, dia sudah menotok semua tigapuluh jalan darah. Kwee Ceng telah maju jauh, maka itu ia bisa menyaksikan cara menotok dari It Teng itu, hingga ia melihat tegas kelihayan si pendeta. Sesuatu gerakan beda satu dari lain. Ilmu totok semacam itu, ia belum dapat dari Kanglam Liok Koay, bahkan di dalam kitab bagian ilmu totok dari Kiu Im Cin-keng, tidak ada dicatat juga. Menyaksikan itu, ia kagum hingga mulutnya terbentang dan matanya hampir kabur. Selama itu ia tidak ingat yang It Teng lagi menggunai seluruh tenaga dalamnya guna menyalurkan semua jalan darah dan nadi Oey Yong. Habis menotok itu, It Teng duduk untuk beristirahat. Sesudah itu, sesudah Kwee Ceng menyulut sebatang hio yang lain, ia mulai bekerja pula. Kali ini dia menotok duapuluh lima jalan darah yang disebut bagian nadi dim-meh. Pula kali ini, totokan dilakukan dengan kesebatan, gerakannya bagaikan sesapung menyambar-nyambar air, ia seperti menahan napas. Yang hebat, semua totokan itu tidak pernah gagal. "Sungguh hebat, di kolong langit ini ada kepandaian seperti ini," Kata Kwee Ceng di dalam hatinya saking kagum. Kemudian It Teng Taysu menotok pula empatbelas jalan darah yang disebut im-wie-meh. Juga totokan itu dilakukan dengan lain cara, dengan gerak-gerik kaki "jalan naga" Dan "tindakannya harimau", hingga sikapnya nampak sangat angker, hingga dimatanya Kwee Ceng, dia bukan lagi seorang pendeta suci dan alim, hanya seorang raja dari berlaksa rakyat negeri. Sekali ini It Teng tidak beristirahat lagi, ia meneruskan menotok tigapuluh dua jalan darah dari yang-wie-meh. Totokan ini dari jarak sedikit jauh. Umpama ketika ia menotok jalan darah hongtie-hiat di leher si nona, ia berlompatan dari jarak setombak, habis itu terus ia lompat mundur pula, demikian seterusnya. Menampak cara menotok itu, Kwee Ceng kata di dalam hatinya. "Kalau kita lagi bertempur sama musuh yang tangguh, apabila bertempur dengan rapat berbahaya, bolehlah kita pakai cara jauh ini. Dengan begitu, sambil menyerang untuk merebut kemenangan, kita juga dapat membela diri dengan sempurna." Demikian, sembari menonton, anak muda ini mengingati baik-baik setiap totokan itu, bagaimana sikapnya, dari bersiap sampai menotok dan sampai sesudahnya itu, untuk mulai dengan lain-lain totokan lagi. Diam-diam ia juga mengutuk dirinya, yang dikatakan bebal sekali, yang gampang lupa, hingga ada yang baru dilihat lalu tak teringat lagi. Setelah menukar lagi dua batang hio, It Teng sudah selesai menotok dua bagian jalan darah im-kiauw dan yang-kiauw. Ketika Kwee Ceng melihat totokan pada jalan darah kie-kut-hiat, mendadak ia ingat. "Ah, totokan ini ada termuat di dalam Kiu Im Cin-keng! Dasar aku yang tolol, aku tidak dapat menangkap maksudnya!" Sekarang ia melihat gerak-gerak It Teng sama dengan petunjuk-petunjuk dalam kitab Kiu Im Cin-keng itu. Hal ini menggampangi ia mengingat-ingat, hingga ia mengingat baik tempo It Teng menotok jalan darah ciong-meh. Paling belakang It Teng Taysu hendak menotok jalan darah tay-meh. Untuk itu, ia mesti jalan ke belakang Oey Yong. Pertama kali ia menotok ciangbun-hiat, sedang semuanya ada delapan jalan darah. Sekarang nampak gerakannya si pendeta sangat lambat, agaknya ia bergerak sukar sekali, sedang napasnya sudah memburu dan tubuhnya terhuyung, bagaikan ia tak kuat berdiri lebih lama pula. Kwee Ceng melihat semua itu, ia terkejut apapula kapan ia menampak peluh membasahi jidatnya pendeta itu, mengucur di alisnya yang putih dan panjang itu. Ia ingin maju menolongi tetapi ia khawatir mengganggu. Tempo ia mengawasi Oey Yong, si nona telah bermandikan keringat, pakaiannya basah. Dia pun mengerutkan alis dan menutup mulut rapat-rapat, rupanya ia melawan rasa nyeri yang hebat. Selagi anak muda ini terbengong, mendadak ia mendengar satu suara di sebelah belakang, ialah dari tersingkapnya sero bambu, suara mana disusul sama panggilan nyaring. "Suhu!" Disusul lagi sama masuknya orang yang berseru itu. Belum ia ingat itu, ia segera menyerang ke belakang, dengan salah satu totokannya It Teng barusan. Ia menyerang saling susul dengan cepat sekali hingga empat kali. Sebagai kesudahan dari itu, ia mendengar suara robohnya beberapa orang. Sekarang barulah ia menoleh ke belakang, tepat di saat satu orang, ialah si pelajar, berlomnpat ke belakang, hingga ia bebas dari totokan. Yang roboh ialah si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani bertiga, mereka terus rebah di lantai. Ia bengong mengawasi mereka, sebab tak dipikirnya untuk menyerang mereka itu. Ketika ia memandang si pelajar itu, dia itu lagi mengawasi ia dengan bengis, satu tanda orang ada sangat gusar. "Habis sudah!" Berseru si pelajar dalam murkanya. "Apalagi yang hendak dicegah?" Kwee Ceng menoleh, maka ia melihat It Teng Taysu lagi duduk bersila di atas tempat duduknya, mukanya pucat sekali, bajunya basah dengan peluhnya, sedang Oey Yong telah roboh dengan tubuh tak bergerak, entah dia sudah meninggal atau masih hidup. Maka dalam kagetnya, ia lompat menubruk, guna mengasih bangun. Paling dulu hidungnya mendapat cium bau amis. Muka nona itu pucat bercampur sinar biru, tak ada cahaya dari darahnya, hanyalah sinar hitamnya yang samar-samar sudah lenyap semua. Kwee Ceng mendengari napas orang di hidung, jalan napas itu berat sekali. Tapi dengan mendapat dengar suara napas itu, ia merasa lega sedikit. Ketika itu si pelajar sudah menolongi menotok bebas si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani, bersama-sama mereka merubungi guru mereka, semua membungkam, roman mereka diliputi kedukaan dan kegelisahan. Kwee Ceng tidak memperhatikan mereka itu, ia terus menungggui si nona, muka siapa ia awasi. Maka hatinya menjadi bertambah lega kapan dengan perlahan-lahan ia mendapatkan paras nona itu berubah pula sedikit dadu. Hanya paras dadu itu, lama-lama berubah terus, lalu merah, habis mana kedua pipi nona itu terasa panas begitu pun dahinya, panasnya seperti api ketika dahi itu diraba. Lagi beberapa saat, butir-butir peluh yang besar turun dari jidatnya di nona lalu kembali parasnya berubah, dari merah menjadi putih pula. Kejadian ini terulang sampai tiga kali, tiga kali juga peluh keluar banyak sekali. Diakhirnya, Oey Yong mengeluarkan suara kaget dan kedua matanya dibuka, terus ia menanya. "Engko Ceng, mana dapur? Mana es?" Bukan kepalang girangnya Kwee Ceng mendengar orang dapat berbicara. "Apa dapur? ia bertanya. "Apa es?" Si nona melihat ke seputarnya, ia menggeleng kepala. Akhirnya ia tertawa. "Ah, aku bermimpi hebat sekali!" Katanya. "Aku bermimpikan Auwyang Hong, Auwyang Kongcu dan Khiu Cian Jin. Mereka itu menjebloskan aku ke dalam dapur, untuk dipanggang, lalu mereka mengambil es, dengan apa aku dibikin dingin, setelah tubuhku dingin, dia membakar pulaAh, sungguh menakutkan! Eh, bagaimana dengan It Teng Taysu?" It Teng membuka matanya, ia tertawa. "Lukamu sudah sembuh," Katanya. "Sekarang kau perlu beristirahat satu atau dua hari. Jangan sembarang bergerak, supaya kau nanti sembuh seluruhnya." "Seluruh tubuhku rasanya tidak bertenaga sama sekali," Berkata si nona. "Sampai pun jari tangan malas digeraki" Ketika itu si petani mendelik pada si nona, dia agaknya sangat gusar. Oey Yong melihat itu, ia tidak mengambil mumat. Ia hanya kata kepada paman gurunya itu. "Supee tentulah sangat lelah sebab untuk mengobati aku, supee telah mengeluarkan banyak tenaga. Aku mempunyai obat Kiu-hoa Giok-louw-wan buatan ayahku, apa supee mau memakannya beberapa biji?" "Bagus!" Kata It Teng gembira. "Aku tidak menyangka kau membawa obat mujarab buatan ayahmu itu. Itulah obat untuk menambah tenaga. Ketika kita merundingkan ilmu pedang di Hoa San, tempo semuanya sudah sangat letih, ayahmu membaginya kepada kami beramai, habis makan itu, kita semua menjadi segar sekali." Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Oey Yong lantas mengeluarkan kantong obatnya, untuk diserahkan pada si paman guru. Si petani lari ke dapur, untuk mengambil semangkok air, sedang si pelajar mengeluarkan obat itu, semuanya dikeluarkannya obat itu, lalu semuanya dikasihkan pada gurunya. "Tidak begini banyak!" Berkata It Teng tertawa. "Obat ini sangat sukar dibuatnya. Cukup kita minta separuhnya saja." "Tetapi suhu!" Berkata si pelajar, yang romannya cemas. "Meski obat di dalam dunia digotong semua ke mari, itu masih belum cukup!" Pendeta itu tidak tega menampik, maka ia lantas menelan beberapa puluh butir, yang ia bantu dengan air beberapa ceglukan. Kemudian ia kata kepada Kwee Ceng. "Kau pergi pimpin sumoymu ini untuk beristirahat dua hari, setelah itu kamu pergi turun gunung, tak usah kamu menemui aku lagi. Eh, ada satu urusan yang aku hendak minta dari kamu.." Kwee Ceng sudah lantas menjatuhkan dirinya berlutut seraya mengangguk empat kali hingga kepalanya membentur lantai. Oey Yong pun turut menjura, sambil berkata perlahan. "Supee telah menolongi jiwaku, budimu ini tidak nanti keponakanmu berani melupakannya." It Teng tertawa. "Lebih baik dilupakan, supaya tak usah diingat-ingat lagi," Katanya, seraya ia terus menoleh kepada Kwee Ceng, untuk memberi pesannya. "Kamu telah naik ke gunung ini, hal itu segala kejadian di sini, jangan kamu omongkan kepada orang lain, juga tak usah kau menyebutkannya kepada gurmu." Kwee Ceng tercengang. Ia justru lagi memikirkan bagaimana harus membawa gurunya datang ke mari guna minta pertolongan paman guru ini. It Teng tertawa. Ia berkata pula. "Kamu juga lain kali tak usah datang pula ke mari, kami sekaligus hendka pindah." "Pindah?" Tanya si anak muda heran. "Pindah ke mana, supee?" It Teng tersenyum, ia tidak menjawab. "Ah, engko tolol," Kata Oey Yong tertawa. "Karena tempat supee ini telah ketahuan oleh kita maka supee mau pindah. Mana supee dapat memberi keterangan padamu?" Meski ia berkata begitu, nona ini sebenarnya berduka sekali. Itulah gara-garanya dia maka si supee mau pindah meninggalkan tempat kediamannya yang bagus ini. Mana bisa ia melupakan budi yang sangat besar itu? Mengingat begini, ia mengawasi empat murid orang, yang telah berkumpul semua. Ia ingin berkata-kata kepada mereka itu. Hanya belum lagi ia membuka mulutnya, mendadak paras It Teng menjadi pucat, tubuhnya terhuyung, lalu jatuh dari tempat duduknya! Bab 63 SAPU TANGAN BERSULAM Keempat murid itu tersentak kaget begitu juga Kwee Ceng. Bersama-sama mereka berlompat menubruk. Mereka melihat daging di mukanya pendeta itu bergerak-gerak, tandanya dia lagi melawan rasa nyeri yang hebat. Mereka menjadi bingung sekali, tak tahu mereka bagaimana harus menolongnya. Semua lantas berdiri diam di pinggiran. Tidak lama, It Teng bersenyum. "Anak, adakah obatmu ini buatan ayahmu sendiri?" Ia tanya Oey Yong. "Bukan, supee. Inilah buatannya suko Liok Seng Hong, tetapi ia membuatnya menurut surat obat ayah." "Pernahkah kau mendengar dari ayahmu, kalau obat ini dimakan terlalu banyak dapat berbalik menjadi bahaya?" Si pendeta menanya pula, suaranya sabar. Oey Yong terkejut. "Mungkinkah ada yang tidak benar pada obatku ini?" Pikirnya. Ia lekas menyahuti. "Ayah pernah membilang, semakin banyak dimakan semakin baik, hanya sebab pembuatannya sukar, ayah sendiri tidak berani memakan banyak-banyak." It Teng berdiam, agaknya ia berpikir. Kemudian ia menggeleng kepala. "Ayahmu itu sangat cerdik dan pandangannya sangat jauh," Katanya. "Ia sangat sukar diterka hatinya hingga aku pun tidak dapat membilang apa-apa tentangnya. Mungkinkah ia hendak menghukum Liok Suhengmu maka dia diberikan surat obat yang dipalsukan? Atau mungkinkah Liok Suhengmu itu bermusuh dengan kau maka di dalam obatnya itu dicampuri beberapa biji yang ada racunnya?" Mendengar disebutnya racun, semua orang terkejut. "Suhu, apakah suhu telah keracunan?" Si pelajar tanya. "Syukur di sini ada paman gurumu, maka biarnya racun yang lebih dahsyat lagi tidak akan membikin orang mati," Sahut sang guru. Mukanya keempat murid itu lantas berubah, segera mereka menoleh kepada Oey Yomg dan berkata dengan bengis. "Guru kami bermaksud baik menolongi kau, cara bagaimana kau begini besar hati berani meracuninya?" Segera mereka itu mengurung, agaknya mereka mau lamtas menerjang. Kwee Ceng menjadi bingung sekali. Ia tidak nyana akan perkembangan semacam ini. Oey Yong pun bingung tetapi segera ia berpikir segala sesuatu memgenai obat itu, hingga ia menduga, pada ini tentu ada hubungannya dengan perbuatannya Eng Kouw di rumahnya di rawa lumpur hitam itu. Bukan obat itu telah dibawa si nyonya ke lain kamar, untuk diperiksa, dan sampai sekian lama baru nyonya itu membawanya pula ke luar untuk diserahkan kembali kepadanya? "Supee, aku mengerti sekarang!" Katanya. Sebab segera ia dapat menerka. "Inilah perbuatannya Eng Kouw!" "Benarkah Eng Kouw?" It Teng bertanya. "Ya," Sahut si nona, dan ia tuturkan apa yang terjadi di rumah Eng Kouw, hingga sekarang ia menjadi bercuriga. "Dia pun telah memesan wanti-wanti supaya aku sendiri jangan makan obat ini. Tentu teranglah sudah sebab ia mencampuri racun di dalamnya." "Hm!" Mengejek si petani. "Dia perlakukan kau baik sekali dan maka itu ia khawatir membuatnya kau mampus!" Nona ini sangat berduka yang paman gurunya terkena racun, maka itu ia tidak memikir untuk mengadu lidah dengan murid orang, bahkan dengan perlahan ia kata. "Sebenarnya dia bukannya berkhawatir untuk membikin aku mati, hanya dia khawatir, kalau aku memakannya, supee nanti tidak kena dia racuni" "Dosa, dosa," Berkata It Teng, yang menghela napas. Lantas sikapnya menjadi sangat tenang. Ia kata perlahan kepada muda mudi itu. "Inilah nasib dan dengan kamu berdua tidak ada hubungannya. Juga Eng Kouw sendiri, inilah telah terjadi karena karma. Sekarang pergi kamu beristirahat beberapa hari, habis itu baik-baik saja kamu turun gunung. Benar aku telah terluka tetapi adik seperguruanku pandai sekali mengobati racun, maka kamu tidak usah berkhawatir." Pendeta ini lantas menutup rapat matanya, ia tidak berkata-kata lagi. Berdua muda mudi itu membungkuk, untuk pamitan. Mereka melihat It Teng bersenyum, tangannya dikibaskan, maka itu mereka tidak berani berdiam lebih lama lagi di situ, dengan perlahan mereka memutar tubuh dan mengundurkan diri. Si kacung menantikan mereka di luar kamar, mereka lantas diajak ke sebuah kamar di ruang belakang, kamar mana tidak ada perabotannya kecuali dua pembaringan bambu. Tidak lama, di situ muncul dua orang pendeta tua dengan barang makanan sayur. "Silahkan dahar," Mereka mengundang. "Apakah taysu baik?" Tanya Oey Yong. Ia senantiasa memikirkan paman guru itu. "Siauwceng tidak tahu," Sahut satu pendeta, suaranya tajam. Ia lantas memberi hormat, untuk segera mengundurkan diri. "Mendengar suara mereka, aku mengira wanita," Kata Kwee Ceng. "Mereka thaykam," Berkata Oey Yong. "Tentu mereka itu telah merawati taysu semenjak taysu masih menjadi raja." Kwee Ceng heran. Karena masing-masing berpikir, tidak ada nafsu dahar mereka. Terus mereka berdiam di dalam kamar yang sunyi itu, cuma kadang-kadang saja berkesiur suara angin lewat, membuatnya daun-daun bambu bersuara perlahan. "Yong-jie, kepandaian taysu hebat sekali," Kemudian si pemuda berkata. "Begitu?" Kata si pemudi perlahan dan singkat. "Guru kita," Kata pula Kwee Ceng. "Dan ayahmu juga Ciu Toako, Auwyang Hong dan Khiu Cian Jin, walaupun mereka semua lihay tidak nanti mereka dapat melawan It Teng Supee" "Coba bilang, di antara mereka berenam, siapa yang pantas mendapat sebutan jago nomor satu di kolong langit ini?" Kwee Ceng berpikir. "Sebenarnya sesuatunya dari mereka mempunyai keistimewaannya sendiri-sendiri," Sahutnya sesaat kemudian. "Dari itu tidak dapat dibilang siapa di antaranya yang paling lihay" "Di dalam halnya bun bu coan cay?" Si nona menanya pula, tentang kepandaian orang dua-dua di dalam ilmu surat dan ilmu silat. "Di dalam hal itu, tentulah ayahmu," Menyahut si anak muda. Oey Yong girang, inilah kentara dari romannya. Hanya sebentar, ia lalu menghela napas. "Maka itu inilah anehnya!" Katanya. "Apakah yang aneh?" Tanya Kwee Ceng cepat. Ia heran. "Taysu begini lihay, keempat muridnya lihay juga," Kata Oey Yong. "Tetapi kenapa mereka hidup bersembunyi di tempat sunyi begini? Kenapa asal mendengar ada orang datang, mereka nampak takut seperti juga bencana besar bakal mengancam mereka? Di antara keenam jago, cuma See Tok dan Khiu Cian Jin yang mungkin menjadi musuhnya, tetapi mereka itu berdua berkenamaan, apa mungkin mereka akan datang berdua untuk mengepung taysu?" "Tetapi, Yong-jie," Kata Kwee Ceng. "Biarnya See Tok dan Khiu Cian Jin datang bersama, sekarang kita tidak usah takuti mereka." "Bagaimana itu?" Kwee Ceng nampaknya likat, agaknya ia tak enak hati untuk menjawab. "Eh, kenapakah kau nampaknya sulit bicara?" Si nona menegur. "Kepandaiannya It Teng Taysu pasti tidak ada di bawahan See Tok," Kata si anak muda kemudian. "Atau sedikitnya, mereka berimbang. Menurut penglihatanku, ilmu menotok jalan darah dari taysu mungkin ada cara untuk meruntuhkan Kap Moa Kang dari See Tok itu" "Bagaimana dengan Khiu Cian Jin?" Oey Yong tanya pula. "Apakah si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar, bukannya tandingan dia seorang?" "Benar. Selama di puncak Tiat Ciang Hong, di gunung Kun San, di telaga Tong Teng, pernah aku melayani Khiu Cian Jin. Kalau kita bertempur seratus jurus, mungkin aku dapat melawan seri padanya, tetapi lebih daripada seratus jurus, belum tentu aku dapat bertahan lebih lama pula. Ketika tadi aku menyaksikan Taysu menotok kau" Mendadak Oey Yong menjadi girang, ia memotong. "Kalau begitu kau telah dapat mempelajari kepandaiannya Taysu! Dengan begitu bukankah kau bakal dapat mengalahkan Khiu Tiat Ciang?" "Kau tahu sendiri otakku puntul," Berkata si anak muda. "Dan ilmu totok ini sangat dalam, mana bisa aku lantas berhasil memahamkannya? Hanya benar aku telah mendapatkan beberapa jurus. Aku pikir, untuk segera mengalahkan Khiu Cian Jin, itulah sukar, tetapi buat bertahan sampai satu jam atau tiga perempat, mungkin aku sanggup" Oey Yong lantas menghela napas. "Dan kau pun melupakan satu hal," Katanya masgul. "Apakah itu?" "Sekarang ini Taysu terkena racun dan entah sampai kapan ia bakal sembuh" Kwee Ceng berdiam, lantas ia menjadi sengit. "Kenapa si nenek, Eng Kouw demikian kejam?" Katanya mengeluh. Ia baru berkata begitu, atau ia ingat suatu apa, hingga ia berseru. "Ah, celaka!" Oey Yong kaget. "Apa?" Dia menanya. "Kau telah berjanji dengan Eng Kouw!" Si pemuda memberi ingat. "Setelah kau sembuh, kau mesti menemani dia satu tahun, bukan? Nah, habis bagaimana? Apakah janji itu mesti ditepati atau tidak?" "Kau sendiri?" "Jikalau kita tidak dapat petunjuknya, tidak dapat kita mencari It Teng Taysu. Itu waktu pastilah lukamu Ah, tak dapatlah dikatakan" "Kenapa tak dapat dikatakan? Bilang saja terus-terang. jiwaku tidak dapat ditotong lagi! Kaulah satu laki-laki maka kau tentunya ingin menepati janji itu, bukankah?" Si nona lantas menjadi berduka. Ia ingat Kwee Ceng pun tidak suka melanggar janji perjodohannya dengan putri Gochin Baki dari Mongolia. Air mukanya menjadi guram. Mengenai sifat wanita ini, Kwee Ceng asing, maka itu selagi Oey Yong berduka dan hendak menangis, ia tetapi tidak sadar. Maka ia kata; "Dia membilang ayahmu lihay, memang seratus kali daripadanya, umpama kata kau suka mengajari dia, dia bilang dia tak bakal dapat menyamai kulit atau bulu ayahmu. Dia telah mengetahui itu, habis apa perlunya dia masih menghendaki kau menemani dia?" Oey Yong menutup mukanya, ia tidak menyahuti. Pemuda itu masih tidak sadar, ia mengulangi pertanyaannya. "Eh, tolol, benarkah kau tidak mengerti?" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Akhirnya tanya si nona gusar. Kwee Ceng heran orang gusar tidak karu-karuan. "Ya, Yong-jie, aku memang dasarnya tolol," Ia mengaku. "Maka itu juga aku minta kau suka memberikan keteranganmu." Oey Yong menyesal yang ia telah mengeluarkan perkataan keras itu, sekarang ia mendengar suara orang yang lemah lembut, orang yang telah mengaku ketololannya, ia menjadi sangat berduka, tak dapat tertahan lagi, ia menangis di dalam rangkulan pemuda itu. Masih Kwee Ceng tidak mengerti, ia mengusut- ngusut punggung orang seraya menghibur. Oey Yong menarik ujung baju orang, untuk menyusut air matanya. "Engko Ceng, aku yang salah," Katanya. Mendadak ia tertawa. "Lain kali aku tidak bakal memaki pula kepadamu" "Memang aku tolol, apakah halangannya untuk kau mengatakannya?" Kata si tolol, tetap polos. Nona itu menghela napas. "Ya, kau memang baik, akulah yang buruk," Katanya kemudian. "Mari aku menjelaskan padamu. Eng Kouw itu bermusuh sama ayahku, dia mencari ilmu kepandaian untuk dia pakai menyatroni Tho Hoa To, guna menuntut balashttp.//kangzusi.com / , tetapi dia telah mendapat kenyataan, dalam ilmu silat dia kalah dari kau, maka karena putus asa, dia mengubah siasatnya. Dia sekarang hendak menjadikan aku sebagai manusia tanggungan, supaya ayahku datang menolongi aku. Dengan akal ini, dia jadi menang di atas angin, dia menjadi dapat jalan untuk mencelakai ayahku itu." Baru sekarang si tolol mengerti, maka ia menepuk pahanya. "Oh, benar begitu! Kalau demikian adanya, janji itu tidak dapat ditepati!" Ia berkata. "Kenapa tidak?" Tanya Oey Yong. "Pasti mesti ditepati." "Eh?" Si anak muda heran. "Eng Kouw itu sangat lihay," Berkata si nona, menerangkan. "Lihat saja bagaimana ia telah mencampuri racun di dalam obat Kiu-hoa Giok Louw Wan dengan apa dia mencelakai It Teng Taysu. Maka jikalau dia tidak disingkirkan, dia akhirnya bakal jadi ancaman bencana untuk ayahku. Dia ingin aku menemani dia, aku nanti menemaninya. Sekarang aku telah bersiap sedia, tidak nanti aku kena diakali dia. Aku percaya, tidak perduli dia bakal menggunai tipu apa, aku merasa pasti bakal dapat memecahkannya!" "Tetapi, itulah sama artinya kau menemani seekor harimau betina" Kata si anak muda masgul. Oey Yong hendak berkata pula ketika kupingnya mendengar suara berisik dari sebelah depan, dari kamar sucinya It Teng Taysu. Itulah beberapa kali suara kaget atau seruan. Kwee Ceng pun mendengar itu, maka keduanya saling mengawasi. Selagi mereka memasang kuping, suara berisik itu lantas lenyap. "Entah bagaimana dengan taysu?" Kata si pemuda. Si pemudi menggeleng kepala. "Nah, kau daharlah lantas tidur," Kata Kwee Ceng kemudian. Oey Yong masih menggeleng kepala. Atau mendadak. "Ada orang datang!" Katanya. Benar juga lantas terdengar tindakan kaki beberapa orang, di antaranya ada yang berkata dengan suara sengit. "Budak itu banyak akalnya, baik mampusi dulu padanya!" Itulah suara si petani. Maka Kwee Ceng berdua terkejut. "Jangan sembarang," Terdengar suara si tukang kayu. "Kita menanya jelas dulu." "Apa yang mau ditanyakan lagi?" Kata si petani. "Sudah terang dua bangsat cilik itu disuruh musuh suhu datang kemari! Kita bunuh yang satu, biarkan yang satu lagi, untuk menanyakan keterangannya. Cukup kita memeriksa si tolol!" Selagi mereka bicara, mereka sudah sampai di depan pintu kamarhttp.//kangzusi.com / di mana Kwee Ceng dan Oey Yong berada. Nyata mereka tidak takut yang suara mereka dapat didengar orang di dalam kamar itu. Kwee Ceng mengerti ancaman bahaya, tanpa bersangsi pula dengan pukulan "Hang liong yu hui", ia menghajar tembok di belakangnya, hingga dengan suara sangat berisik tembok itu gempur, membuat sebuah liang. Setelah itu, dengan membungkuk, ia menggendong si nona, terus ia lompat melewati liang itu. Di sana terlihat si petani, yang sangat gesit, sebelah tangannya diulur, guna menyambar kaki kiri si anak muda. Oey Yong tidak berdiam saja, ia melihat sambaran itu, maka dengan tangan kirinya ia mengibas ke belakang, mengebut jalan darah yang tie-hiat dari si petani. Itulah ilmu kebutan, atau totokan, warisan ayahnya. Itulah yang disebut "Lan-hoa Hut-hiat Ciu", atau Bunga Anggrek Mengebut Jalan Darah. Ilmu ini tidak selihay ilmu totoknya It Teng tetapi toh berbahaya untuk lawan. Si petani kaget, lekas-lekas ia menarik pulang sambaranmya, ia membaliki itu, untuk menangkis, tetapi gerakan ini memperlambat gerakannya, maka Kwee Ceng telah berhasil berlompat lewat, akan berlari terus dengan melompati tembok belakang. Di sini ia baru lari beberapa tindak, atau ia menjerit sendirinya, berkeluh kesah. Di depannya itu ada tumbuh pohon duri setinggi sependirian orang, lebat dan banyak durinya, hingga tak dapat dilewati orang. Ketika ia menoleh, ia menampak mendatanginya empat orang ialah si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar. Mereka itu lantas berdiri menghadang. "Taysu menitahkan kami turun gunung, tuan-tuan telah mendengarnya sendiri," Berkata Kwee Ceng. "Kenapa sekarang kamu menghalangi kami?" Si pengail mendelik matanya. "Guru kami sangat baik hatinya, dia pemurah, dengan mengorbankan diri dia menolongi kamu, kenapa sekarang kamu" Kata dia, suaranya mengguntur. Dua-dua muda mudi itu terkejut. "Dia mengorbankan diri?" Tanya mereka berbareng. "Bagaimana itu..?" "Fui!" Berseru si pengail dan petani. Si pelajar tertawa dingin, dia berkata. "Lukamu, nona telah ditolong diobati oleh guruku dengan guruku itu mengorbankan dirinya! Mustahil kau benar-benar tidak ketahui itu?" "Dengan sebenarnya, aku tidak tahu," Menyahut Oey Yong. "Tolong kau menjelaskannya." Pelajar itu mengawasi. Ia melihat roman orang benar seperti tidak lagi mendusta, maka ia berpaling kepada si tukang kayu. Dia ini mengangguk. Lantas ia berkata. "Nona, kau telah mendapat luka yang sangat berbahaya, untuk menyembuhkannya kau mesti dapat penyaluran pada pelbagai jalan darah dan nadimu. Untuk itu dibutuhkan ilmu It Yang Cie Siang-thian Kanghu. Ilmu itu, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang Cinjin, kauwcu dari Coan Cin Pay, cuma guru kami satu orang yang mengerti itu. Meski begitu, kalau ilmu itu dipakai mengobati orang, dia sendiri mesti turut mendapat penyakit sebagai akibatnya, sebab dia mesti menggunai terlalu banyak tenaga terutama tenaga dalamnya. Untuk lima tahun, habislah semua kepandaian silatnya" Oey Yong kaget hingga ia mengeluarkan seruan tertahan. Ia menyesal dan malu sekali. "Selama itu tempo lima tahun, untuk memulihkan diri, orang mesti berlatih dan bersemedhi setiap hari, siang dan malam, kalau dia salah berlatih, maka dia bakal nampak kegagalan dan kepandaiamnya itu tidak akan pulih kembali. Orang yang menjadi korbam begitu, entengnya dia bercacad seumur hidup, hebatnya dia lantas mati. Guruku begitu murah hati menolongi kau, kenapa kau begini jahat, kebaikan dibalas dengan kejahatan?" Mendadak Oey Yong melepaskan diri dari Kwee Ceng, lantas ia berlutut ke arah kamarnya It Teng Taysu, empat kali ia mengangguk, sembari menangis ia berkata. "Supee, sungguh keponakanmu tidak menyangka begini besar kau telah melepas budi menolongi jiwaku" Menyaksikan kelakuan si nona, roman si pengail berempat nampak sedikit sabar. "Ayahmu menitahkan kau menjalankan akalnya ini mencelakai guru kami, benar-benar kau sendiri tidak tahu?" Tanya si tukang pancing. Ditanya begitu, Oey Yong menjadi gusar. "Mana dapat ayahku mencelakai supee?" Katanya keras. "Ayahku itu orang macam apa? Mana dapat ayahku berlaku demikian hina dina?" Si tukang pancing menjura. "Jikalau ini bukan titah ayahmu, nona, harap kau memberi maaf atas kelancanganku ini," Ia berkata. "Hm!" Berkata si nona. "Jikalau perkataanmu barusan dapat didengar ayahku, tidak perduli kau muridnya supee, kau pasti bakal diberi rasa sedikit!" "Hm," Berkata si pengail. "Ayahmu digelarkan Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka itu kami pikir, apa yang dapat diperbuat See Tok, si Bisa dari Barat, tentulah dapat dilakukan juga ayahmu. Sekarang ini rupanya soal adalah lain." "Mana dapat ayahku dibanding dengan See Tok?" Berkata si nona. "Auwyang Hong si bangsat tua itu, apa juga dapat dia lakukan! Apakah yang dia telah perbuat?" "Baik," Si pelajar datang sama tengah. "Sekarang segala apa sudah jelas, mari kita kembali ke dalam untuk bicara lebih jauh." Maka berenam mereka masuk ke kamar, untuk terus berduduk, akan tetapi empat orang itu duduk demikian rupa, hingga sendirinya mereka seperti memegat jalan keluar kedua muda-mudi itu. Oey Yong mengetahui itu, ia bersenyum, ia tidak mau membuka rahasia orang. "Apakah kamu ketahui tentang urusan Kiu Im Cin-keng?" Si pelajar mulai bicara. "Aku ketahui itu. Apakah ada sangkutannya supee dengan kitab itu?" "Ketika diadakan pertemuan pertama di Hoa San itu, soalnya ialah perebutan kitab Kiu Im Cin-keng itu," Berkata si pelajar. "Ketika itu Coan Cin Kauwcu adalah yang terlihay, kitab itu telah jatuh di tangannya. Bahwa semua orang takluk kepada kauwcu itu, itulah bukan soal lagi. Tiong Yang Cinjin sangat mengagumi ilmu Sian Thian Kang dari guru kami, maka juga di tahun kedua bersama-sama adik seperguruannya dia datang mengunjungi guru kami di Tali, ketika itu mereka berbicara banyak tentang ilmu silat itu." "Adik seperguruannya Tiong Yang Cinjin?" Tanya Oey Yong. "Itulah Loo Boan Tong Ciu Pek Thong!" "Benar," Sahut si pelajar. "Nona masih begini muda tetapi banyak sekali orang yang nona kenal" "Ah, jangan kau memuji aku," Berkata si nona. "Paman Ciu itu seorang sangat jenaka, tetapi kami tidak tahu bahwa dia dipanggil Loo Boan Tong si bocah tua bangkotan yang nakal. Ketika itu guru kami masih belum mensucikan diri." "Oh, kalau begitu ketika supee masih menjadi kaisar!" Kata Oey Yong. "Benar. Coan Cin Kauwcu (Dewi-KZ) itu bersama adik seperguruannya tinggal di istana belasan hari, selama itu kami berempat senantiasa mendampinginya. Guru kami telah menjelaskan segala apa mengenai Sian Thian Kang itu, hingga Tiong Yang Cinjin menjadi sangat girang, maka ia pun lantas mengajari ilmu silat It Yang Cie yang menjadi ilmu silatnya yang paling istimewa. Kami mendengari semua pembicaraan akan tetapi pelajaran kami masih sangat rendah dan kami pun tumpul sekali, tak dapat kami mengajari itu." "Habis bagaimana dengan Loo Boan Tong?" Oey Yong tanya. "Kepandaiannya Loo Boan Tong tidak cetek." "Paman Ciu itu seorang gemar bergerak, tak suka dia berdiam, setiap hari dia berputaran saja di seluruh istana. Dia pergi ke timur dan ke barat, ke segala tempat sampai pun dia tidak pandang-pandang lagi keraton di mana permaisuri dan selir-selir bertinggal. Semua orang kebiri dan dayang mendapat tahu dialah tetamu agung kami, tidak ada di antaranya yang berani melarang." Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang dan bersenyum. Mereka tahu baik sifatnya itu engko atau kakak angkat. Cuma di dalam hatinya, mereka kata. "Itu dia sifatnya Loo Boan Tong!" "Ketika Tiong Yang meminta diri," Si pelajar melanjuti. "Dia berkata kepada guru kami. 'Selama yang belakangan ini penyakitku yang lama kembali kumat, maka mungkin aku tidak bakal berdiam lama lagi di dalam dunia ini, karena sekarang sudah ada ahli waris dari It Yang Cie, jadi di dalam dunia ada orang yang dapat menindih padanya, bolehlah tak usah dikhawatir yang dia nanti berani malang melintang bermain gila.' Baru setelah itu guru kami mengetahui maksud utama kenapa Tiong Yang Cinjin melakoni perjalanan demikian jauh datang ke Tali mengunjungi guru kami, maksudnya ialah untuk mewariskan kepandaiannya itu, agar setelah ia menutup mata nanti, ada orang yang dapat mengekang Auwyang Hong. Lima-limanya Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong adalah orang-orang yang namanya sama termashurnya, kalau Tiong Yang Cinjin membilang terus terang dia datanghttp.//kangzusi.com / untuk memberi pelajaran, dia khawatir guru kami merasa dirinya dipandang enteng, dari itu lebih dulu dia minta pelajaran Sian Thian Kang, kemudian baru dia membalas mengajari It Yang Cie. Itulah artinya pertukaran. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Guru kami mengetahui maksud baik dari Tiong Yang Cinjin, ia menjadi bersyukur, ia mengagumi kauwcu itu. Ia lantas memahamkan itu dengan sungguh-sungguh. Kemudian di negara Tali itu telah terjadi suatu hal yang malang, hati guru kami menjadi tawar, maka itu ia pergi mencukuri rambutnya dan masuk menjadi hweeshio." Mendengar itu, Oey Yong berpikir; "Toan Hongya tidak mau menjadi kaisar, dia lebih suka menjadi pendeta, mestinya kejadian malang itu sangat melukai hatinya. Karena muridnya ini tidak mau menjelaskan, tidak dapat aku minta keterangan atas kejadian itu" Ia memandang kepada kawannya. Ia melihat Kwee Ceng seperti hendak membuka mulut, untuk menanya, ia lekas mencegah dengan kedipan matanya. Kwee Ceng mengerti kedipan itu, ia menunda membuka mulutnya. Air muka si pelajar nampak guram. Rupanya ia teringat akan peristiwa dulu itu. Ia berdiam beberapa saat baru ia berbicara pula. "Setahu bagaimana, kemudian hal guru kami mempelajari It Yang Cie itu telah bocor," Katanya. "Pada suatu bari, ini suhengku" Ia menunjuk pada si petani " telah menerima titah suhu, ialah guru kami itu, untuk pergi mencari daun obat-obatan. Suhengku telah pergi ke gunung Tay Soat San di barat Inlam, di sana orang telah melukai ia dengan ilmu silat Kap Moa Kang." "Pastilah penyerang itu si Bisa bangkotan!" Berkata Oey Yong. "Siapa lagi kalau bukannya dia?" Berkata si petani gusar. "Mulanya seorang muda yang tidak karu-karuan yang telah mencari stori denganku, dia membilangnya Tay Soat San itu miliknya dan dia melarang siapa juga mencari daun obat di situ. Aku telah menerima pengajaran suhu, aku berlaku sabar, tapi justru aku mengalah, si anak muda semakin mendesak, dia menyuruh aku mengangguk tigaratus kali kepadanya, baru dia mau mengijinkan aku turun gunung. Karena habis sabarku, aku menempur dia. Pemuda itu benar lihay, sekian lama kita bertempur, kita tetap seri. Itu waktu mendadak muncullah si tua berbisa itu, tanpa banyak omong, dia menghajar aku hingga aku terluka parah, setelah mana si anak muda menggendong aku, mengantari aku pulang sampai di luar kuil Liong Coan Sie di mana suhu berdiam." "Kalau begitu sudah ada orang yang mewakilkan kau membalas sakit hatimu," Berkata si nona. "Pemuda itu ialah Auwyang Kongcu sudah ada yang membunuhnya." "Ah, dia telah mati?" Kata si petani gusar. "Siapakah yang membunuh dia?" "Eh, heran!" Kata Oey Yong. "Ada orang lain membunuh musuhmu, kau masih gusar?" "Musuhku mesti aku yang membalas sendiri!" Sahut si petani. "Sayang kau tidak dapat membalasnya" Kata si nona menghela napas. "Sebenarnya siapakah yang membunuhnya?" "Dia juga seorang busuk. Kepandaian dia itu kalah dari Auwyang Kongcu tetapi dia menggunai akal." "Bagus!" Berkata si pelajar. "Nona, tahukah kau maksudnya Auwyang Hong melukai suhengku ini?" "Tidak sukar untuk menerka itu," Menyahut Oey Yong. "Dengan kepandaiannya See Tok, dengan dua kali turun tangan, dapat dia membinasakan suhengmu, tetapi dia cuma melukai parah, lalu dia mengantarnya pulang ke depan pintu rumah gurumu. Maksudnya itu ialah agar gurumu menghabiskan tenaga dalamnya untuk mengobati suhengmu itu. Barusan kau membilangnya, supee mesti membuang tempo lima tahun untuk memulihkan kepandaiannya, maka itu berarti, kalau nanti diadakan rapat yang kedua di gunung Hoa San, pasti gurumu tak keburu turut mengambil bagian." Pelajar itu menghela napas. "Nona sungguh cerdik, tetapi kali nona cuma dapat menerka separuhnya," Ia berkata. "Kejahatan Auwyang Hong itu sukar diterka dari bermula. Justru di saat suhu mengobati suhengku ini, justru kesegaran suhu belum kembali, dia datang melakukan penyerangan, maksudnya untuk membikin mati pada suhu" "It Teng Supee demikian murah hati, apakah benar dia menyebabkan permusuhan dengan Auwyang Hong?" Kwee Ceng menanya. Anak muda ini heran. "Engko kecil, pertanyaanmu ini tidak tepat," Menyahut si pelajar. "Pertama-tama, si orang murah hati itu justrulah musuh daripada si orang jahat. Si orang jahat tak suka hidup bersama di dalam dunia dengan orang baik hati. Kedua, kalau Auwyang Hong hendak mencelakai orang, dia tentu tidak sudi memperhatikan orang itu bermusuhan dengannya. Karena dia ketahui ilmu silat It Yang Cie dari suhu adalah penumpas dari ilmu silatnya, maka itu dia dapat menggunai seratus atau seribu akal keji untuk membinasakan guru kami." Kwee Ceng mengerti, ia mengangguk beberapa kali. "Habis, apakah supee telah kena dia bikin celaka?" Ia menanya pula. "Setelah suhu melihat lukanya suheng, lantas suhu dapat menerka maksudnya Auwyang Hong," Si pelajar menerangkan pula. "Malam itu juga suhu pindah tempat, dan Auwyang Hong tidak berdaya mencari. Karena tahu Auwyang Hong tidak bakal berhenti sampai di situ, kami mencari tempat-tempat sampai kami mendapatkan ini tempat suci. Setelah suhu pulih kesehatannya, kami berempat mengusulkan suhu pergi mencari See Tok di Pek To San, guna membuat perhitungan dengannya, akan tetapi suhu berpendirian, kalau dapat mengalah baiklah dia mengalah terus dan kami dilarang pergi menerbitkan gara-gara. Demikianlah untuk belasan tahun kami tinggal dengan aman di tempat ini. Siapa tahu sekarang kamu berdua datang kemari! Kami cuma tahu kamu murid- muridnya Kiu Cie Sin Kay, kami menduga kamu tidak bermaksud jahat, maka itu kami merintanginya setengah hati, coba kami berbuat nekat, tidak nanti kami membiarkan kamu masuk ke kuil kami. Sungguh di luar dugaan, toh akhir-akhirnya guru kami telah terkena juga tangan jahat kamu" Setelah berkata begitu, mendadak muka si pelajar menjadi bengis pula, bahkan sambil berbangkit bangun, ia menghunus pedangnya, yang berkilau berkeredepan. Melihat demikian, si pengail, si tukang kayu dan si petani, turut berbangkit juga sambil menghunus senjata mereka, lantas mereka mengambil sikap mengurung. "Ketika aku datang mencari supee untuk minta diobati, aku tidak tahu bahwa pengobatannya itu bakal menghabiskan kepandaiannya selama lima tahun," Berkata Oey Yong. "Bahwa obatku ada racunnya, itu juga aku tidak tahu, sebab itu ada perbuatannya lain orang. Supee telah melepas budi padaku, meskipun kami tidak punya hati, tidak nanti kami membalas kebaikannya dengan kejahatan." "Kalau begitu," Menegur si tukang pancing. "Kenapa selagi kesehatan guru kami belum pulih dan dia pun terkena racun, kamu mengajak musuh mendaki gunung ini?" Ditanya begitu, Oey Yong dan Kwee Ceng kaget bukan alang kepalang. "Tidak sama sekali!" Mereka menyangkal. "Masih menyangkal!" Membentak si tukang pancing. "Begitu suhu terkena racun, kita lantas menerima gelang kumala dari pihak musuh. Kalau memangnya kamu tidak bersekongkol mana bisa terjadi peristiwa begini kebetulan?" "Gelang kumala apa itu?" Oey Yong tanya. Ia benar tidak mengerti. "Hm, masih berlagak piton!" Si tukang pancing mengejek. Mendadak ia menggeraki dua tangannya, maka kedua pengayuhnya lantas menghajar muda mudi di depannya itu. Kwee Ceng duduk berendeng sama Oey Yong, begitu ia melihat datangnya pengayuh, ia berlompat bangun, kedua tangannya bergerak, tangan kanan menyambar satu pengayuh, untuk segera dirampas, tangan yang lain menangkap pengayuh yang kedua, yang terus ia gentak. Si tukang pancing kaget dan tangannya kesakitan, pengayuhnya itu terpaksa dilepaskan. Selagi begitu, Kwee Ceng meneruskan menangkis garunya si petani, hingga kedua senjata bentrok keras dan lelatu apinya muncrat berhamburan. Setelah itu, lekas-lekas ia mengangsurkan, menyerahkan pulang pengayuhnya si tukang pancing, hingga dia ini heran dan tercengang, tetapi cuma sebentar, setelah menyambuti itu, berbareng bersama kampaknya si tukang kayu, dia menyerang pula. Kwee Ceng sementara itu berlaku sangat sebat, begitu ia mundur, begitu ia menolak, menampak mana si pelajar yang mengenali ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, segera meneriaki kedua saudara seperguruannya. "Lekas mundur!" Si tukang pancing dan si tukang kayu adalah murid-muridnya seorang guru yang lihay, mereka menginsyafi bahaya dengan cepat mereka menarik pulang senjata mereka sambil mengundurkan diri juga. Tapi biar bagaimana mereka sebat, mereka masih kalah gesit, mereka tidak dihajar hanya senjata mereka disambar, untuk dirampas pula! "Sambut ini!" Berkata Kwee Ceng, yang kembali mengembalikan senjata orang, sekarang pengayuh dan garu! "Bagus!" Si pelajar memuji sambil ia menikam dengan pedangnya ke iga kanan. Melihat datangnya tikaman, Kwee Ceng terperanjat. Sekarang terbukti, dari keempat murid orang itu, adalah si pelajar ini, yang gerak-geriknya halus, justru yang ilmu silatnya paling lihay. Maka ia tidak mau berlaku alpa. Untuk dapat melindungi Oey Yong, yang tidak boleh mengeluarkan banyak tenaga, ia membela diri dengan gerakannya menuruti barisan Thian Kong Pak-tauw-tin dari Coan Cin Cit Cu. Mula-mula ia hanya mengurung diri, kemudian perlahan-lahan ia memperlebar kurungannya, maka keempat lawan itu terpaksa mundur sendirinya, sampai mereka terdesak ke tembok. Disaat ini, asal ia mau turun tangan, dapat si anak muda melukai mereka itu, atau salah satu di antaranya. Selama itu, Kwee Ceng mempertahankan diri, antaranya ia tidak menambah tenaganya. Dengan begini ia membuatnya mereka dua pihak tidak kalah dan tidak menang. Si pelajar agaknya penasaran, mendadak ia mengubah ilmu pedangnya. Kali ini pedangnya itu mengasih dengar sambaran angin mengaung. Ia menyerang ke empat penjuru, setiap kalinya dengan enam tusukan atau sabetan beruntun. Itulah ilmu pedang Ay Lao Kiam Hoat dari Ay Lao San di Inlam, yang semuanya terdiri dari tigapuluh enam jurus. Tapi terhadap si anak muda, ilmu pedang itu tidak mempan. Tenang-tenang seperti biasa, dengan tangan kanan pemuda ini melayani pedang, dengan tangan kirinya ia menghalau setiap senjatanya si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani. Disaat datangnya tusukan pedang yang ketigapuluh enam, Kwee Ceng menyambut itu dengan sentilannya jari tengah. Itulah dia ilmu silat Tan Cie Sin Thong dari Oey Yok Su, ilmu silat yang tak ada keduanya, sebagaimana terbukti ketika dengan Ciu Pek Thong ia main-main menyentil batu, sedang selama di Kwie-in-chung, dia telah memberi petunjuknya kepada Bwee Tiauw Hong, sementara Kwee Ceng telah melihatnya di Gu-kee-cun, Lim-an, selama Tong Shia melayani Coan Cin Cit Cu. Memang ia belum mencapai kemahiran seperti Oey Yok Su tetapi ketika pedang si pelajar kena tersentil, pedang itu berbunyi nyaring dan mental. Si pelajar merasai tangannya sakit sampai hampir terlepas cekalannya. "Tahan!" Pelajar itu berseru sambil ia lompat mundur. Si tukang pancing sudah lantas menurut, semuanya mengundurkan diri, tetapi mereka sudah terdesak ke tembok, tidak ada ruang lagi untuk mundur, maka itu, si tukang pancing mundur ke pintu, si petani lompat di liang tembok yang gempur, sedang si tukang kayu, yang terus menyelipkan kapaknya di pinggangnya, bukan menyingkir hanya sambil tertawa dia kata. "Aku telah membilangnya kedua tetamu kita ini tidak mengandung maksud jahat tetapi kamu tidak percaya!" Ia berbicara itu sama ketiga saudara seperguruannya. Si pelajar menyimpan pedangnya, ia menjura kepada Kwee Ceng. "Kau baik hati, kau suka mengalah, engko kecil," Katanya. "Terima kasih!" Kwee Ceng lekas-lekas berbangkit untuk membalas hormat. Hanya karena kata-kata si tukang kayu, ia heran, ia kata di dalam hatinya. "Kami memang tidak mengandung maksud buruk, mengapa mereka berempat mulanya tidak mempercayainya? Kenapa baru sekarang mereka percaya?" Oey Yong melihat paras kawannya, ia tahu apa yang orang pikir, maka ia membisik. "Jikalau kau memikir buruk, kau tentunya telah melukai mereka. Sekarang ini, sekalipun It Teng Supee bukanlah tandinganmu." Kwee Ceng pikir itu benar ia mengangguk. Si pelajar berempat telah berkumpul pula di dalam kamar. "Sebenarnya siapa itu musuh dari It Teng Supee?" Oey Yong tanya. "Apa itu yang disebut gelang kumala?" "Menyesal," Menyahut si pelajar. "Bukannya kami tidak suka menjelaskan hanya sebenarnya kami sendiri tidak tahu duduknya hal. Apa yang kami tahu ialah suhu dan orang itu ada mempunyai kepentingan." Oey Yong masih mau menanya ketika si petani berlompat bangun seraya berkata keras. "Ah, inilah berbahaya!" "Bahaya apa?" Tanya si tukang pancing. Si petani menunjuk si pelajar, ia menyahuti. "Suhu sedang kehabisan tenaga, sekarang dia menutur segala apa, kalau kedua tetamu kita ini bermaksud tidak baik, kita sendiri tidak sanggup mencegahnya, apakah kau kira suhu masih dapat ditolongi?" Mendengar kekhawatiran itu, si tukang kayu berkata. "Paduka conggoan pandai berpikir, mustahil hal ini dia tidak dapat memikirkannya? Kalau begitu, mana bisa dia menjadi perdana menteri dari negara Tali? Sebenarnya dia ketahui dari siang-siang bahwa kita bukan tandingannya tetapi dia toh bertindak juga, itulah ke satu untuk mencoba kepandaiannya kedua tetamu kita ini dan kedua untuk membikinnya kau percaya habis!" Si pelajar bersenyum. Si petani dan si tukang pancing mendelik kepada saudaranya, mereka kagum, separuhnya lagi menyesali. Ketika itu terdengar tindakan kaki orang, lalu muncul seorang kacung pendeta, yang lantas memberi hormat seraya berkata. "Suhu menitahkan suheng berempat mengantarkan tetamu pulang." Atas itu semua orang berbangkit. Tapi Kwee Ceng segera berkata. "Supee lagi menghadapi musuh, mana dapat kita lantas berlalu dari sini? Bukankah siauwtee tidak tahu diri tetapi ingin aku bekerja sama suheng berempat untuk mengusir dulu musuh itu." Si tukang pancing berempat saling melirik, mereka memperlihatkan roman girang. "Nanti aku pergi dulu menanyakan suhu," Kata si pelajar, yang lantas berlalu, diikuti ketiga saudaranya. Tidak lama mereka kembali, kali ini lenyap roman mereka yang gembira. Si pelajar lantas berkata. "Suhu mengucap terima kasih atas kebaikan jiewi, tetapi suhu membilang juga, segala apa biar terserah kepada karma, biar orang berbuatnya sendiri-sendiri, dari itu orang luar tidak dapat campur tangan." Tapi Oey Yong memikir lain. "Engko Ceng, mari kita bicara sendiri sama supee!" Katanya. Kwee Ceng menurut. Ketika mereka sampai di kamar It Teng Taysu, pintu kamar dikunci, percuma mereka mengetuk-ngetuk dan memanggil-manggil, tidak ada suara jawaban. Sebenarnya pintu itu bisa digempur tetapi mereka tidak berani berbuat demikian. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Suhu tidak dapat menemui kamu pula, jiewi," Berkata si tukang kayu, yang air mukanya guram. "Karena gunung itu tinggi dan air panjang, baiklah lain kali kita bertemu pula." Oey Yong belum bilang apa-apa, atau Kwee Ceng mendapat satu pikiran, maka ia lantas berkata dengan nyaring. "Yongjie, mari kita pergi! Bukankah supee tidak sudi menemui kita? Sebentar di bawah gunung, supee mengasih ijin atau tidak, kalau kita ketemu orang dan orang itu banyak rewel, kita hajar padanya!" Si nona yang cerdik lantas dapat menerka maksud engko Cengnya itu, ia pun menyahuti dengan nyaring. "Kau benar, engko Ceng! Umpama kata musuhnya supee sangat lihay dan kita mati di tangannya, kita puas, hitung-hitung kita sudah membalas budi supee!" Dua-dua suara itu keras, pasti suara itu terdengar sampai di dalam, maka juga, ketika si muda mudi baru jalan beberapa tindak, mendadak daun pintu dipentang, lalu terdengar suara tajam dari seorang pendeta tua. "Taysu mengundang jiewi!" Kwee Ceng girang sekali, bersama Oey Yong, ia jalan berendeng masuk ke dalam kamarnya It Teng Taysu. Di sana si pendeta, bersama si pendeta dari India, masih duduk bersila. Mereka lantas menghampirkan, untuk memberi hormat sambil berlutut. Ketika kemudian mereka mengangkat kepala, mereka mendapatkan It Teng Taysu bermuka pucat kuning, beda daripada waktu semula mereka melihatnya. Mereka jadi bersyukur berbareng berduka, hingga mereka tidak tahu mesti membilang apa. It Teng Taysu bersenyum. "Semua masuk!" Ia kata kepada empat muridnya, yang menanti di depan pintu. "Aku hendak bicara." Si pelajar berempat menghampirkan, lebih dulu mereka memberi hormat kepada guru mereka itu, juga kepada si pendeta India. Dia ini cuma mengangguk, lantas dia tunduk dan berdiam, kembali tidak memperdulikan semua orang. It Teng Taysu mengawasi asap yang bergulung naik, tangannya membuat main sebuah gelang kumala. Oey Yong melihat itu, katanya dalam hatinya; "Terang itu ada gelang orang perempuan, entah apa maksudnya musuh supee bolehnya mengirimkan ini?" Untuk beberapa detik, semua orang berdiam, kemudian baru terdengar It Teng Taysu menghela napas dan mengatakan. "Setiap hari dahar nasi, tetapi pernahkan memakannya sebutir beras?" Ia lantas menoleh kepada si muda-mudi, untuk melanjuti. "Kamu berdua mulia hati, aku si pendeta tua menerima itu dengan baik, Mengenai urusan ini, jikalau aku tidak menjelaskan, aku khawatir murid-murid atau sahabat-sahabat dari kedua pihak nanti menerbitkan gelombang yang tak diingini. Itulah bukannya kehendakku. Tahukah kamu siapa sebenarnya aku ini?" "Supee adalah kaisar dari Tali di Inlam," Menyahut Oey Yong. "Supee ada satu-satunya kaisar di Selatan yang kesohor sekali, siapakah yang tidak tahu?" It Teng bersenyum. "Kaisar palsu, pendeta juga palsu," Ia berkata. "Kau, nona kecil, kau pun palsu" Oey Yong tidak menginsyafi filsafat si pendeta, ia mengawasi saja. It Teng berkata pula, dengan perlahan. "Negara Tali kami, semenjak Sri Baginda Sin Seng Bun Bu Tee Thaycouw membangun pemerintahan, ialah di tahun Teng-yoe, itulah lebih dulu duapuluh tiga tahun dari berdirinya kerajaan Song oleh Song Thay-couw Tio Kong In. Setelah tujuh turunan, kerajaan diturunkan kepada Baginda Peng Gie. Setelah empat tahun memerintah, Baginda Peng Gie mengundurkan diri dari kerajaan dan masuk menjadi pendeta. Tahta diserahkan pada keponakannya ialah Baginda Seng Tek. Kemudian tahta diturunkan terus kepada Baginda-bagina Hin Cong Hauw Tek, Poo Teng, Hian Cong Soan Jin serta ayahku, Keng Cong Ceng Kong. Semua Baginda itu telah menjadi pendeta juga. Dari Thay-couw sampai pada aku, delapanbelas turunan, ada tujuh raja yang mensucikan diri." Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung