Pendekar Pemanah Rajawali 56
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 56
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Si tukang pancing berempat adalah orang Tali, mereka semua tahu hal ikhwalnya raja-raja mereka itu, cuma Kwee Ceng berdua Oey Yong yang heran, hingga mereka mau memikir, apa mungkin menjadi pendeta lebih senang daripada menjadi raja It Teng Taysu melanjuti keterangannya. "Kamu keluarga Toan kami, dengan berkah kebijaksanaan leluhur kami, telah berhasil menjadi sebuah keluarga kaisar di sebuah negara kecil di Selatan. Semua mereka merasa tanggung jawab itu besar, maka juga hati mereka tidak tenang, tidak berani mereka melakukan apa-apa yang melewati batas. Biarnya begitu, siapa menjadi raja, bukankah dia dapat dahar tanpa meluku, dapat berpakai tanpa menenun? Bukankah kalau keluar dia naik kereta, dan kalau pulang memasuki istana? Bukankah semua itu asalnya dari keringatnya rakyat? Oleh karena itu semua, disaat usianya langsung, mereka menginsyafi capai lelah rakyatnya itu, mereka merasa menyesal, maka diakhirnya mereka telah menjadi pendeta" Selagi mengucap begitu, pendeta ini memandang ke luar, mulutnya memperlihatkan senyuman, tetapi pada alisnya, nampak roman kedukaannya. Maka itu, entahlah dia bergirang atau berduka. Enam orang itu mendengar dengan terus berdiam. It Teng Taysu mengangkat gelang kumalanya, ia masuki itu ke dalam jari telunjuk dari tangannya, ia putar itu beberapa kali. Kemudian ia meneruskan. "Aku sendiri, aku bukannya mengikuti kebiasaan leluhurku itu. Tentang aku, sebab-sebabnya ada sangkut pautnya dengan urusan rapat ilmu pedang di gunung Hoa San, ketika lima jago saling berebutan kitab. Ketika tahun itu Tiong Yang Ong Cinjin dari Coan Cin Kauw memperoleh kitab, di lain tahunnya dia datang sendiri ke Tali, dia mewariskan ilmu silat It Yang Cie padaku. Setengah tahun dia berdiam di dalam istanaku, merundingkan tentang ilmu silat. Kita cocok sekali satu dengan lain, adik seperguruannya, Ciu Pek Thong. Dia ini ternyata tidak betah duduk diam saja, dia lantas pergi putar kayun di seluruh istana. Diluar dugaan, dia telah menerbitkan peristiwa." Mendengar itu, Oey Yong kata di dalam hatinya. "Kalau Loo Boan Tong tidak menerbitkan gara-gara itu barunya namanya heran!" It Teng Taysu menghela napas. "Sebenarnya biang peristiwa adalah pada diriku sendiri," Ia berkata pula. "Aku adalah satu raja kecil, kerajaanku tidak dapat disamakan dengan kerajaan Song, meski begitu, aku mempunyai sedikit permaisuri dan selir. Ya, inilah dosa. Aku gemar ilmu silat, jarang aku mendekati orang perempuan, bahkan permaisuri, aku menemuinya beberapa hari sekali, maka itu bisa dimengerti, mana ada tempo akan menemui segala selir?" Berkata sampai di situ, It Teng memandang keempat muridnya. "Kamu tidak mengetahui tentang ini, sekarang biarlah kamu mendapat tahu juga," Ia menambahkan. Mendengar ini, Oey Yong kata di dalam hatinya. "Benar-benar mereka tidak tahu, mereka jadinya tidak mendustakan aku." "Sekalian selirku melihat aku setiap hari berlatih silat, di antaranya ada yang ketarik hati dan minta diajarkan." It Teng mulai pula. "Aku suka mengajari mereka. Aku pikir, pelajaran itu ada baiknya, untuk mereka menjadi bertambah sehat dan panjang umur. Di antaranya adalah Lauw Kui-hui, yang bakatnya paling baik. Selir ini, begitu diajari, begitu dia bisa. Dia masih muda, dia rajin belajar, dia memperoleh kemajuan pesat. Dasar mau terjadi urusan. Pada suatu hari dia tengah berlatih di taman dia terlihat Ciu Suheng. Ciu Suheng gemar silat, dia polos, dia tidak menghiraukan perbedaan di antara pria dan wanita, begitu melihat Lauw Kui-hui, dia mengajaknya main-main. Tentu sekali Lauw Kui-hui bukanlah tandingannya" Oey Yong terkejut. "Tentulah Loo Boan Tong tidak mengenal kira dan dia melukai kui-hui" Katanya perlahan. "Melukai, itulah tidak," It Teng memberitahu. "Baru dua tiga jurus, dia telah menotok hingga kui-hui roboh, lantas dia menanya, kui-hui takluk atau tidak. Pasti sekali Lauw Kui-hui menyerah kalah. Ciu Suheng puas sekali, setelah menotok bebas kepada kui-hui, ia lantas bicara banyak tentang ilmu totok. Memangnya kui-hui sangat ketarik sama kepandaian itu, padaku ia telah minta diajari berulang-ulang. Coba kamu pikir, ilmu kepandaian semacam itu mana dapat diturunkan kepada kui-hui? Sekarang ada ketikanya, ia lantas minta Ciu Suheng mengajarinya." "Kalau begitu, niscaya Loo Boan Tong puas sekali," Kata si nona. "Apakah kau kenal Ciu Suheng?" It Teng tanya. "Kamilah sahabat-sahabat erat!" Si nona menyahuti tertawa. "Dia pernah tinggal sepuluh tahun di Tho Hoa To, belum pernah dia pergi satu tindak juga!" "Dia dapat berdiam begitu lama sedang sifat dia tak suka diam?" "Sebab dia dipenjarakan ayah!" Sahut si nona tertawa. "Baru yang belakangan ini dia dimerdekakan!" It Teng mengangguk. "Begitu?" Katanya. "Apa sekarang dia baik?" "Dia baik hanya tabiatnya makin tua makin jadi!" It Teng bersenyum. Kembali ia meneruskan. "Sebenarnya ilmu totok itu tidak dapat diajari kecuali ayah dengan gadisnya, ibu dengan putranya dan suami istri. Biasanya guru lelaki tidak menurunkan kepada murid perempuannya dan guru perempuan tidak kepada murid laki-lakinya" "Kenapa begitu supee?" "Itulah sebab lam lie siu siu put cin," Menjawab It Teng. "Pria dan wanita, tidak dapat bersentuh tangan. Coba pikir tanpa meraba jalan darah di seluruh tubuh, mana bisa ilmu itu diajari sempurna?" "Bukankah supee telah menotok sekujur tubuhku?" Si nona tanya. Si pengail dan petani sebal nona ini main potong cerita, mereka mengawasi nona itu dengan mata mendelik. Oey Yong melihat itu, ia balik mendeliki mereka, bahkan dia menegur. "Kenapa? Tak dapatkah aku bertanya?" It Teng bersenyum. "Dapat, dapat!" Katanya lekas. "Kaulah satu bocah, jiwamu pun sangat perlu ditolong, kau mesti dipandang dari jurusan lain." "Baiklah. Bagaimana selanjutnya?" "Selanjutnya yang satu mengajari, yang lain mempelajari," It Teng melanjuti ceritanya itu. "Ciu Suheng sedang gagahnya, Lauw Kui-hui sedang mudanya, tubuh mereka beradu tak hentinya, hari ketemu hari, tanpa merasa, hati mereka berubah, hingga akhirnya mereka mengacau sampai tidak dapat diurus lagi" Oey Yong mau menanya atau mendadak ia mendapat menahan hatinya. Ia pun segera mendengar kelanjutannya cerita. "Lantas ada orang yang memberi laporan padaku. Sebenarnya aku mendongkol, tetapi aku masih memandang Ong Cinjin, aku berpura-pura pilon. Adalah belakangan, hal itu dapat diketahui juga oleh Ong Cinjin." "Urusan apakah sampai tak dapat diurus lagi?" Tanya Oey Yong akhirnya. Ia polos, ia tidak menyangka jelek. It Teng beragu-ragu sedikit. Rupanya sulit ia mencari kata-kata. "Mereka itu bukan suami istri tetapi kenyataannya mereka mirip suami istri," Sahutnya kemudian. "Ah, aku tahu sekarang!" Berkata si nona. "Loo Boan Tong dan Lauw Kui-hui itu kemudian melahirkan anak?" "Itulah bukannya," Berkata It Teng. "Mereka baru berkenalan kira sepuluh hari lebih kurang, mana bias mereka mendapat anak? Ketika Ong Cinjin mendapat tahu itu, dia ringkus Ciu Suheng dan dihadapkan kepadaku, dia menyerahkannya untuk aku memberi hukuman. Kami kaum persilatan, kami menghargai kehormatan dan persahabatan lebih tinggi daripada urusan orang perempuan, maka aku lantas membebaskan Ciu Suheng, lantas aku memanggil Lauw Kui-hui, di situ aku menitahkan mereka menjadi suami istri. Ciu Suheng menampik, dia mengatakan dia tidak tahu bahwa itulah perbuatan salah, bahwa kalau ia tahu itu perbuatan tidak bagus, meski dibunuh juga tidak nanti dia melakukannya. Dia keras menolak menikah dengan Lauw Kui-bui. Ong Cinjin menjadi masgul sekali. Dia kata kalau dia memang tidak tahu Ciu Suheng itu manusia tolol dan tak tahu selatan, tentulah dia sudah membunuhnya." Oey Yong mengulur lidahnya keluar. "Sungguh hebat Loo Boan Tong, dia menghadapi bahaya!" Katanya. "Penampikannya itu membuat aku mendongkol," Berkata It Teng, yang meneruskan ceritanya. "Dengan tandas aku kata padanya. 'Ciu suheng, dengan ikhlas aku menyerahkan kui-hui padamu! Apakah kau menyangka aku mengandung maksud lain? Bukankah semenjak dulu ada dibilang, saudara ialah tangan dan kaki dan istri itu pakaian? Apakah artinya seorang perempuan?" "Eh, eh, supee, kau memandang enteng wanita!" Oey Yong memotong. "Kata-kata supee mirip sama ngaco belo!" Si petani menjadi gusar. "Tak dapatkah kau tidak memotong?" Dia tanya bengis. "Supee omong tidak tepat, itulah mesti dibantah!" Berkata si nona membelar. Keempat murid itu melongo. Bagaimana mereka menghormati guru mereka, maka bagaimana "kurang ajarnya" Bocah wanita ini. It Teng sabar luar biasa, dia tidak menggusari si nona. Dia meneruskan perkataannya. "Mendengar perkataanku itu, Ciu Suheng menggeleng kepala. Maka aku menjadi bertambah gusar. Aku kata padanya. 'Jikalau kau mencintai dia, kenapa sekarang kau menampik? Jikalau kau memang tidak mencintai, kenapa kau lakukan perbuatanmu itu? Negeriku memang negeri kecil, tetapi tidak nanti aku mengijinkan kau menghina kami!' Mendengar itu, Ciu Suheng menjublak sekian lama, akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut di depanku, mengangguk beberapa kali lalu berkata; 'Toan Hongya, aku salah! Aku pergi sekarang!' Aku tidak menyangka akan putusannya ini, aku tercengang karenanya. Dia lantas mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra dari sakunya, dia berikan itu kepada Lauw Kui-hui seraya berkata. 'Ini aku pulangi padamu!' Kui-hui tahu orang bersusah hati, ia tertawa sedih. Ia tidak menyambuti sapu tangan itu, maka sapu tangan itu jatuh di dekat kakiku. Ciu Suheng tidak membilang apa-apa lagi, dia terus berlalu. Sejak itu sudah berselang sepuluh tahun lebih, tentang dia aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ong Cinjin menghaturkan maaf berulang-ulang kepadaku, habis itu ia pun berlalu, sampai kemudian aku mendengarnya ia telah meninggal dunia. Ia berhati mulia tidak ada tandingannya, saying" "Di dalam ilmu silat, mungkin Ong Cinjin lebih lihay daripada kau, supee," Berkata si nona. "Tetapi bicara tentang hati mulia, dia tidak bisa melawan supee sendiri. Habis bagaimana dengan sapu tangan sulam itu?" Si pelajar berempat tidak puas si nona mengingat selalu sapu tangan itu. Tapi guru mereka berbicara terus. "Aku melihat Lauw Kui-hui menjublak saja, seperti yang ditinggalkan arwahnya, aku jadi mendongkol. Aku menjumput sapu tangan itu. Di situ aku menampak sulaman sepasang burung wanyoh memain di air. Hm, tidak salah lagi, itulah barang Lauw Kui-hui untuk kekasihnya. Aku tertawa dingin. Lantas aku membalik sapu tangan itu. Kiranya di situ ada sebaris syairnya" Oey Yong sangat tertarik hingga ia lantas menanya. "Apakah itu berbunyi 'Empat buah perkakas tenun maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan" Si petani habis sabar, dia membentak. "Kami sendiri tidak tahu, bagaimana kau ketahui itu? Ha, kau ngaco saja, kau main potong tak hentinya!" Tetapi It Teng sendiri tidak gusar, ia menghela napas. "Benar begitu," Sahutnya. "Kau juga ketahui itu?" Bab 64 ASMARA DI DALAM KERATON Mendengar suara guru mereka, keempat murid itu tercengang. Kwee Ceng berlompat seraya berseru. "Aku ingat sekarang! Ketika malam itu Oey Tocu meniup seruling, Ciu Toako tak kuat menahan hatinya, kemudian aku mendengar dia membacakan syairnya itu. Ialah. 'Empat buah perkakas tenun maka tenunan burung wanyoh bakal terbang perpasangan sayang, belum lagi tua, tetapi kepala sudah putih Gelombang musim semi, rumput hijau, dimusim dingin, di dalam tempat tersembunyi, saling berhadapan baju merah" Ia menepuk paha kanannya, ia kata pula. "Tidak salah! Ketika itu aku heran sekali. Di dalam segala-gala, Ciu Toako lebih menang daripada aku tetapi selagi aku tidak terganggu serulingnya Oey Tocu, ia sendiri kelabakan, tak kuat ia mempertahankan diri, tidak tahunya dia dapat mengingat peristiwa lama itu hingga pemusatan pikirannya menjadi kacau. Pantaslah dia mencaci orang perempuan! Kau tahu, Yong-jie, dia sampai menasihati aku untuk aku jangan baik dengan kau" "Hm, Loo Boan Tong!" Kata si nona mendongkol. "Lihat kalau nanti aku bertemu padanya, akan aku jewer kupingnya!" Mendadak ia tertawa dan menambahkan. "Ketika di Lim-an aku telah menggodai dia, aku telah mengatakan tidak ada wanita yang akan sudi menikah padanya, agaknya dia mendongkol, rupanya itu pun disebabkan peristiwa itu." "Maka ketika aku mendengar Eng Kouw membacakan itu, aku seperti telah pernah mendengarnya," Kata pula Kwee Ceng. "Hanya itu waktu, biar bagaimana aku memikirkannya, tidak juga aku ingat. Eh, Yong-jie, mengapa Eng Kouw pun mengetahui syair itu?" Ditanya begitu, si nona menghela napas. "Karena Eng Kouw ialah Kui-hui," Sahutnya. Di antara si tukang pancing berempat, adalah si pelajar yang sudah menduga lima atau enam bagian, maka juga tiga yang lainnya menjadi heran, semua mengawasi guru mereka. "Kau sangat pintar, Nona," Kata It Teng Taysu dengan perlahan. "Tidak kecewa kau menjadi putrinya saudara Yok. Lauw Kui-hui itu mempunyai nama kecil, ialah Eng. Aku pun mulanya tidak mengetahui itu. Itu waktu aku telah melemparkan sapu tangan kepadanya, lantas aku tidak melihat pula padanya. Karena aku berduka sekali, aku tidak memperdulikan lagi urusan negara, aku menungkuli diri dengan setiap hari melatih ilmu silat." "Supee, itu waktu di dalam hatimu kau sangat mencinta dia," Kata Oey Yong. "Kau tapinya tidak mengetahui. Kalau tidak, tidak nanti kau menjadi tidak gembira" "Nona!" Berkata si pelajar berempat. Mereka ini tidak senang nona ini berani bicara demikian macam terhadap guru mereka. "Apa? Apakah aku salah omong?" Oey Yong balik menanya. "Supee, salahkah aku?" Air mukanya It Teng Taysu suram. Ia berkata. "Selama itu lebih dari setengah tahun tidak pernah aku panggil Lauw Kui-hui datang menghadap, akan tetapi di dalam impian, sering aku bertemu dengannya. Demikian pada suatu malam, habis memimpikan dia, tidak dapat aku melawan niat hatiku, aku mengambil putusan untuk melihat padanya. Aku tidak memberitahukan niatku kepada thaykam atau dayang, aku pergi sendirian dengan diam-diam. Aku ingin menyaksikan apa yang dia kerjakan. Ketika aku tiba di wuwungan kamarnya, aku mendengar suara anak kecil menangis keluar dari kamarnya itu. Ah! Malam itu salju turun banyak dan angin pun dingin sekali, tetapi di atas genting itu aku berdiri lama sekali, sampai fajar, barulah aku turun dan kembali ke kamarku. Habis itu aku mendapat sakit berat." Oey Yong heran. Seorang raja, dan di tengah malam buta rata, untuk selirnya, telah mesti menyiksa diri secara begitu. Sekarang barulah keempat murid itu ketahui kenapa guru mereka - ketika itu ialah junjungan mereka - yang tubuhnya demikian tangguh, telah mendapat sakit yang berat itu. "Lauw Kui-hui telah mendapat anak, tidakkah itu bagus?" Oey Yong tanya pula. "Supee, kenapa kau tidak menjadi gembira?" "Anak tolol, anak itu ialah anaknya Ciu Suheng." "Ciu Suheng pun telah pergi sedari siang-siang, apakah dia telah datang pula secara diam-diam menemui kui-hui?" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tidak. Apakah kau belum pernah dengar orang menyebutnya kandungan sepuluh bulan?" Si nona itu agaknya sadar. "Ah, aku mengerti sekarang!" Katanya. "Pasti anak itu terlahir mirip Loo Boan Tong, kupingnya lebar dan hidungnya mancung, kalau tidak, mana kau ketahui dialah anaknya Loo Boan Tong!" "Itulah bukannya. Sudah satu tahun lebih aku tidak mendekati kui-hui, maka itu anak itu pasti bukan anakku." Oey Yong berdiam, urusan itu gelap untuknya. "Aku jatuh sakit hingga setengah tahun lebih," Kata It Teng kemudian. "Setelah sembuh, aku tidak suka memikirkan pula urusan itu. Kemudian lewat dua tahun lebih, pada suatu malam, selagi aku bersemedhi di dalam kamarku, mendadak Lauw Kui-hui datang, dia menyingkap gorden dan nerobos masuk, Thaykam dan dua siewi yang menjaga di luar pintu mencegah, tetapi mereka kena dihajar. Ketika aku menoleh, aku melihat kui-hui menggendong anaknya itu. Aku mendapatkan dia bermuka pucat, dengan lantas dia bertekuk lutut di depanku dan menangis menggerung-gerung, sambil mengangguk-angguk, dia kata. 'Aku mohon belas kasihan hongya, supaya anak ini dikasih ampun. '" "Aku berbangkit, akan melihat anak itu. Dia bermuka merah, napasnya memburu. Ketika aku menggendong dan memeriksa, aku mendapatkan tulang iganya patah lima biji. Kui-hui masih menangis, ia kata. 'Hongya aku bersalah, aku harus mati, tetapi aku mohon anak ini diberi ampun.' Aku tanya, anak itu kenapa. Dia mengangguk-angguk terus, dia tidak menjawab aku hanya tetap mohon aku mengampuni anaknya itu. 'Mohon hongya mengampuni dia,' katanya ketika aku menanya pula, hingga aku menjadi heran sekali. 'Kalau hongya menghendaki kematianku, aku tidak penasaran hanya ini anak, ini anak'" "'Siapa yang menghadiahkan kematian padamu?!' Aku tanya pula. Sebenarnya kenapa anak ini terluka?" "Kui-hui mengangkat kepalanya, ia mengawasi aku. 'Apakah bukan hongya yang menitahkan siewi untuk menghajar mati anak ini?' Dia tanya. Aku menjadi heran. Mesti ada apa-apa pada kejadian itu. 'Jadi dia dilukai oleh siewi?' Aku tanya. 'Budak yang mana yang begitu bernyali besar?' Dia terkejut. 'Oh, jadi bukannya hongya yang menitahkan? Kalau begitu, anak ini bakal ketolongan!' Habis berkata begitu dia pingsan." "Aku heran sekali, aku pun merasa kasihan melihat keadaannya kui-hui itu. Aku mengangkat dia bangun, direbahkan di pembaringan. Selang sekian lama, baru dia sadar. Dia lantas menangis, sembari dia menuturkan duduknya kejadian. Katanya, dia lagi menepuk-nepuk anaknya untuk ditiduri, mendadak dari luar jendela berlompat masuk satu orang, ialah satu siewi yang mukanya bertopeng, anaknya lantas dirampas dan diangkat, dihajar punggungnya. Kui-hui kaget, dia mencegah. Siewi itu menolak kui-hui, lagi sekali dia menghajar anak itu, kemudian dia tertawa dan berlompat pergi. Kui-hui tidak mengejar, ke satu siewi itu kosen sekali, kedua dia menyangka siewi itu diperintah olehku. Itulah sebabnya kui-hui lantas membawa anaknya itu datang padaku, untuk minta ampun. Aku menjadi semakin heran. Aku memeriksa teliti anak itu, aku tidak mendapat tahu dia terlukakan pukulan ilmu silat apa. Aku mendapatkan ada otot anak itu yang putus. Aku lantas pergi ke kamar kui-hui, untuk melakukan pemeriksaan, sebab aku percaya si penjahat bukan sembarang orang. Kemudian di atas genteng aku melihat tapak kaki. Aku lantas kata pada kui-hui. 'Penjahat itu lihay sekali, terutama ilmunya enteng tubuh. Di dalam negeri Tali ini, kecuali aku, tidak ada orang yang kedua yang lihay sebagai dia.' Kui-hui menjadi kaget, ia berkata; 'Mustahilkah dia? Perlu apa dia membinasakan anaknya sendiri?' Berkata begitu, mukanya menjadi pucat seperti muka mayat." Oey Yong terkejut. "Tidak nanti Loo Boan Tong berbuat demikian" Katanya perlahan. "Ketika itu aku justru menduga pada Ciu Suheng," Berkata It Teng Taysu. "Kecuali dia, tidak ada orang yang segagah dia. Aku pun menduga, mungkin dia berbuat begitu sebab dia tidak sudi mempunyai anak itu, yang bakal membikin dia malu. Ketika kui-hui mendengar dugaanku itu, ia malu dan cemas, ia kaget. Mendadak ia kata. 'Tidak, pasti bukan dianya! Suara tertawanya orang itu bukan suara tertawanya.' Aku berkata. 'Kau sedang kaget dan ketakutan, mungkin kau kurang jelas?' Tapi ia berkeras, ia kata. 'Suara tertawanya orang itu aku akan ingat buat selama-lamanya, meski aku menjadi setan, tidak nanti aku lupa! Bukan, bukannya dia!'" Mendengar itu, semua orang menggigil sendirinya tanpa merasa. Kwee Ceng dan Oey Yong lantas membayangi roman Eng Kouw ketika si nyonya mengertak gigi. "Mendengar perkataannya kui-hui, aku jadi percaya," It Teng bercerita pula. "Hanya aku tidak bisa menerka si penjahat. Dia begitu kosen, kenapa dia hendak membinasakan seorang anak kecil? Aku sampai menduga-duga kepada murid-muridnya Cinjin umpama Ma Giok, Khu Cie Kee dan lainnya. Mungkin mereka hendak melindungi nama baik partai mereka maka mereka melakukan perjalanan jauh guna melakukan pembunuhan itu" Kwee Ceng hendak membuka mulutnya atau ia mengurungkan itu. Ia tidak seberani Oey Yong, yang tak takut memotong pembicaraan orang suci itu. "Kau hendak membilang apa?" It Teng Taysu menanya kapan ia melihat orang batal bicara. "Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya itu adalah orang-orang suci dan gagah, tidak nanti mereka melakukan perbuatan serendah itu," Kwee Ceng bilang. "Ong Cie It itu pernah aku menemuinya di Hoa San, dia memang seorang laki-laki," Kata It Teng. "Tentang yang lainnya, aku tidak tahu. Memang, kalau benar mereka, dengan satu hajaran saja mereka dapat membinasakan anak itu, maka kenapa mereka menghajar hanya setengah mati?" Sembari bicara, pendeta ini sembari berpikir. Sudah belasan tahun, ia masih belum dapat memecahkan keragu-raguannya itu. Ruang itu menjadi sunyi sekali. "Baiklah, nanti aku menuturkan terus," Katanya kemudian. Tiba-tiba Oey Yong berlompat. "Tidak salah lagi, dia pastilah Auwyang Hong!" Katanya. "Belakangan aku juga pernah menduga dia," Kata It Teng. "Hanya kemudian aku berpikir juga, mustahil dia yang berada jauh di wilayah Barat, sedang dia juga bertubuh tinggi dan besar. Menurut kui-hui, si orang jahat ada terlebih kate dan kecil dari kebanyakan orang." "Benar-benar heran," Kata si nona. "Ketika itu aku sangsi memikirkan anak itu," It Teng berkata pula. "Dia terlukakan tak lebih hebat daripada lukamu, nona, hanya dia masih kecil sekali, tubuhnya sangat lemah, maka untuk mengobati dia, aku mesti mengorbankan tenaga dalamku. Aku jadi bersangsi sebab aku tahu, di dalam rapat yang kedua di gunung Hoa San nanti, pasti aku tidak dapat turut mengambil bagian. Beberapa kali aku hendak menampik, aku gagal. Aku gagal. Aku kasihan melihat Kui-hui, yang menangis saja. Ah, benarlah kata Ong Cinjin bahwa kitab itu bisa mendatangkan kegaduhan dan mencelakai banyak orang. Buktinya aku sendiri, karena memikirkan kitab itu, aku menjadi lain dari biasanya. Lama aku berpikir, baru aku mengambil keputusan untuk mengobati anak itu. Selama aku berpikir itu, aku merasa akulah seorang hina dina mirip dengan binatang. Aku pun masih tidak dapat mengubah kelakuanku meskipun aku sudah mengambil keputusan itu, aku menganggapnya aku menolong lantaran tidak bisa menolak permohonan sangat dari Lauw Kui-hui." "Supee, aku membilang kau sangat mencinta dia, sedikit pun kau tidak salah," Berkata Oey Yong. It Teng seperti tidak mendengar perkataan si nona, dia berkata terus. "Ketika Kui-hui mendengar jawabanku, dia girang sampai dia pingsan. Lehih dulu aku uruti dia, untuk menyadarkannya, baru aku menolongi anaknya itu. Aku menguruti bocah itu dengan Sian Thian Kang. Ketika aku membuka otonya, aku terkejut. Oto itu memakai sulaman sepasang burung wanyoh serta syairnya itu. Oto itu terbuat dari sapu tangan yang Ciu Suheng dulu hari melemparkannya kepadanya. Selagi aku terbengong, kui-hui rupanya melihat sikapku itu. Maka ia mengertak gigi, ia mengeluarkan pisau belati, yang ia tujukan ke dadanya. Ia kata, 'Hongya, aku tidak ingin hidup pula di dunia, maka itu aku memohon belas kasihanmu, kau tolongilah anak ini. Aku menukar dia dengan jiwaku, nanti di lain dunia, aku akan menjadi anjing dan kuda guna membalas budimu ini.' Lantas ia menikam dadanya." Semua orang terkejut, meski mereka tahu Lauw Kui-hui toh masih hidup. Itulah sebab hebatnya suasana yang diciptakan penuturannya It Teng Taysu. Pendeta ini bercerita terus, tapi sekarang ia seperti berbicara seorang diri. Ia kata. "Segera aku mencegah perbuatan Kui-hui dengan merampas pisau belatinya itu. Aku berlaku cepat tetapi toh dadanya tergores juga sedikit hingga dia mengucurkan darah. Karena aku khawatir dia nanti mencoba membunuh diri lagi, aku totok jalan darah di tangan dan kakinya hingga dia tidak dapat bergerak. Habis membalut lukanya, aku kasih di duduk di kursi, untuk beristirahat. Dia tidak membilang apa-apa, dia cuma mengawasi aku, matanya menunjuki kedukaannya yang sangat. Aku pun berdiam saja. Maka di situ Cuma terdengar suara napasnya si anak kecil, napas yang mendesak. Mendengar napas bocah itu, aku jadi ingat segala kejadian yang telah berlalu. Aku ingat bagaimana mulanya dia masuk ke istana, bagaimana aku mengajari dia silat. Aku menyayangi padanya dan dia selalu menghormati aku, dia agak jeri, dengan teliti dia merawat aku, belum pernah dia membantah, hanya bahwa dia tidak pernah mencintai aku, inilah aku tidak tahu, baru aku menginsyafinya setelah datang itu hari yang dia jatuh hati kepada CiuSuheng. Demikian sifatnya kalau seorang wanita mencintai seorang pria. Dia bengong mengawasi sapu tangannya itu, dia bengong mengawasi Ciu Suheng berlalu untuk selamanya. Sinar matanya itu membuat aku tidak tentram tidur dan tidak bernapsu dahar. Sekarang aku melihat pula sinar matanya itu, sekarang disaat dari hancurnya hatinya pula. Cuma sekarang bukan untuk kekasihnya, hanya untuk anaknya." It Teng berdiam sejenak. "Seorang laki-laki diperhina demikian, tidak dapat apapula aku seorang raja! Maka itu, mengingat demikian, hatiku menjadi panas. Dengan tiba-tiba aku menendang bangku gadis di depanku hingga bangku itu rusak. Ketika kemudian aku menoleh pada kui-hui, aku terkejut, aku melengak. 'Eh, rambut rambutmu itu kenapa?' Aku tanya dia. Dia seperti tidak mendengar perkataanku, dia terus mengawasi anaknya. Dulu-dulu aku tidak mengerti orang mempunyai sinar mata demikian itu, sekarang baru aku menginsyafinya. Berapa besar dia harus dikasihani. Dia rupanya telah mengerti yang aku tidak sudi menolongi anaknya itu, maka selama dia masih hidup, ingin dia memandang anaknya itu, makin lama makin baik. Aku mengambil kaca, aku bawa itu kepadanya. 'Lihat rambutmu,' aku kata padanya. Dalam tempo yang sangat pendek itu, dia seperti menjadi lebih tua beberapa puluh tahun, sedang dia sebenarnya baru berumur sembilan belas tahun. Disebabkan kaget, takut, berduka, menyesal, penasaran, putus harapan, mendadak ramhutnya itu berubah menjadi uban!" "Dia tidak memperhatikan sedikit juga roman atau rambutnya itu. Dia menyangka aku pakai kaca untuk menghalangi dia mengawasi anaknya itu. Dia kata padaku, 'Angkat kaca itu.' Dia bicara tegas sekali, dia seperti lupa akulah raja ialah junjungannya. Aku menjadi heran. Aku tahu dia biasanya sangat menyayangi paras mukanya. Aku menyingkirkan kaca, maka terus dia mengawasi anaknya itu. Ah, kalau dia ada seribu arwahnya, tentulah dia serahkan semua itu kepada anaknya, asal anaknya itu hidup. Aku mengerti bagaimana perasaannya itu. Dia ingin mati untuk anaknya itu." Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Di dalam hatinya, mereka saling mengatakan. "Kalau aku pun menampak kesukaran seperti itu, apakah kau juga dapat mengawasi aku demikian rupa?" Tanpa merasa mereka saling menyodorkan tangan, untuk saling memegang erat-erat, hati mereka berdenyutan, tubuh mereka dirasai hangat. "Sebenarnya aku merasa tidak tega," It Teng kemudian melanjuti ceritanya. "Aku berniat menolongi anak itu, apa mau, sapu tangan itu tetap berada di dadanya. Itulah sulaman sepasang burung wanyoh, yang saling menyenderkan leher mereka. Kepalanya burung itu putih. Itulah lambang untuk hidup bersama hingga di hari tua. Maka kenapakah, sebelum tua tetapi rambut sudah putih terlebih dulu? Maka melihat rambut putihnya itu, dengan sendirinya aku mengeluarkan keringat dingin. Mendadak hatiku menjadi keras hati. Aku kata padanya. 'Baiklah, kamu boleh menjadi tua bersama, biarlah aku bersia-sia sendiri di istana sunyi ini tetap sebagai kaisar! Dialah anak kamu berdua, kenapa aku mesti mengorbankan diri untuk menolong menghidupi dia?' Dia memandang aku. Itulah pandangannya yang terakhir. Pada mata itu tertampak sinar kedukaan, penasaran, permusuhan. Semenjak itu, dia tidak pernah melihat aku lagi. Sebaliknya aku, tidak dapat melupakan sinar mata itu. Dia kata dengan dingin. 'Kau lepaskan aku, aku hendak menggendong anakku!' Perkataannya itu mirip firman, membuatnya orang susah membantahnya. Maka aku membebaskan dia dari totokan. Dia menggendong anaknya itu. Anak itu pasti terluka parah hingga tidak dapat ia menangis, mukanya bersinar gelap, matanya mengawasi ibunya, mungkin ia minta ditolongi. Aku sendiri sejenak itu, aku tidak mempunyai rasa kasihan sedikit juga. Aku hanya melihat, rambut hitamnya berubah menjadi putih. Mungkin itulah perasaan belaka. Lalu aku mendengar dia berkata halus pada anaknya. 'Anak, ibumu tidak mempunyai kepandaian untuk menolongi kau, ibumu tidak dapat membiarkan kau tersiksa lebih lama, maka, anak kau tidurlah biar nyenyak Tidur, anak tidur, untuk selama-lamanya jangan kau mendusin pula!' Aku mendengar dia bernyanyi perlahan, menyanyikan lagu mengeloni anak tidur. Sedap nyanyiannya itu Ya, begini, nah kau dengarlah!" Orang heran. Si pendeta mengatakan demikian tetapi di situ tidak ada terdengar suara nyanyian. Mereka saling mengawasi, mereka terkejut. "Suhu!" Kata si pelajar. "Kau telah bicara terlalu banyak, kau lelah, baiklah kau beristirahat." It Teng seperti tidak mendengar. Dia berkata pula. "Anak itu bersenyum. Hanya sejenak, saking sakitnya, dia bergelisah. Lantas ibunya berkata pula padanya halus sekali. 'Jantung hatiku, kau tidurlah, nanti lenyap semua rasa sakitmu, sedikit juga tidak sakit lagi' Sekonyong-konyong terdengar suara menumblas dan pisau belati telah nancap di dadanya!" Oey Yong kaget hingga ia menjerit, kedua tangannya memeluk lengannya Kwee Ceng. Si pelajar berempat pun kaget tidak terhingga, muka mereka menjadi pucat. Hebat penuturannya It Teng itu, yang sebaliknya berbicara terus. "Aku kaget, aku terhuyung, terus aku jatuh ke lantai. Dalam keadaan lapat-lapat aku tidak tahu memikir apa. Aku banya ingat dia berbangkit dengan perlahan-lahan, dengan perlahan dia kata. 'Akhirnya akan ada satu hari yang aku, dengan pisau belatiku ini, nanti menumblas ulu hatimu.' Dia menunjuk pada gelang kumala di tangannya, dia kata pula. 'Inilah gelang yang di hari aku masuk ke istana kau memberikan kepadaku. Kau tunggu saja, di itu hari yang gelang kumala ini aku kembalikan padamu, maka itu hari juga pisau belati ini akan turut datang.'" Sambil berkata begitu, It Teng putar gelang itu di jari tangannya. Ia bersenyum. "Inilah gelang kumala itu," Katanya. "Aku telah menantikan belasan tahun ini hari tibalah harinya itu!" "Supee, dia membunuh sendiri anaknya, ada apa sangkutannya itu dengan kau?" Oey Yong tanya. "Pula dia telah mencelakai kau dengan racun, maka meskipun ada permusuhan dulu hari itu, bukankah itu sudah impas? Biarlah, sebentar di kaki gunung, akan kami menyuruh dia pergi, supaya dia jangan datang mengganggu pula" Tepat selagi si nona berkata itu, satu kacung hweeshio datang masuk. "Suhu," Katanya. "Dari kaki gunung ada lagi yang mengantarkan ini" Dengan kedua tangannya, kacung itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil. It Teng menyambuti, untuk terus dibuka. Untuk kagetnya semua orang, hingga mereka berseru, itulah sehelai oto bersulamkan burung wanyoh, sulaman burungnya hidup sekali, cuma suteranya sudah berubah kuning. Di antara kedua ekor burung itu ada satu liang bekas tusukan pisau, di samping liang ada bagian yang hitam, sisa darah. It Teng meletaki oto itu di lantai, ia bengong mengawasi. Sekian lama ia berdiam, romannya berduka, lalu dia berkata. "Inilah sulaman burung wanyoh yang mau terbang berpasangan. Hm, mau terbang berpasangan, tetapi akhirnya menjadi impian belaka. Dia menggendong anaknya, dia berlompat keluar jendela, sembari berlalu dia tertawa keras dan lama. Setibanya di luar, dia lompat naik ke atas genting, sekejap saja dia lenyap. Aku menjadi tidak dahar dan tidak minum, tiga hari tiga malam aku memikirkannya. Diakhirnya aku sadar, maka itu, aku mewariskan mahkota kepada anakku yang sulung, aku sendiri lantas masuk menjadi pendeta." Dia menunjuk empat muridnya, akan menambahkan. "Mereka ini lama telah mengikuti aku, mereka tidak suka berpisahan, maka mereka turut aku pergi ke Inlam Barat, ke kuil Liong Coan Sie. Mulanya selama tiga tahun pertama, mereka membantu putraku memerintah. Mereka membantu dengan bergiliran. Kemudian, setelah putraku sudah mengerti tugasnya, dan justru telah terjadi itu peristiwa di Tay Soat San di mana Auwyang Hong melukai muridku ini, kita lantas pindah ke mari. Sejak itu kita tidak kembali ke Tali. Hatiku keras, aku tidak suka menolong anak itu, maka itu selanjutnya, sampai belasan tahun hingga sekarang ini, siang dan malam, aku merasa hatiku tidak tenang. Aku memikir untuk lebih banyak menolongi orang, guna menebus dosaku yang besar itu. Mereka ini tidak mengetahui kesengsaraan hatiku, mereka selalu mencegah. Ah, taruh kata aku dapat menolong selaksa jiwa, anak itu toh tetap mati. Kalau bukan aku membayarnya dengan jiwaku sendiri, mana dosa itu dapat ditebus? Maka setiap hari aku menanti-nanti kabar dari Eng Kouw, menanti dia membawa pisau belatinya untuk menumblas dadaku. Aku tadinya berkhawatir dia tak keburu datang, nanti aku mati terlebih dulu, kalau begitu, hebat untukku. Tapi bagus, sekarang temponya telah tiba, harapanku bakal terkabul. Ah, sebenarnya, buat apa dia menaruh racun di dalam obat Kiu Hoa Giok Louw Wan? Kalau aku tahu, dia bakal segera datang, tak usah suteeku menolongi aku menyingkirkan racun itu." Oey Yong tapinya tidak senang. "Perempuan itu jahat!" Ia kata sengit. "Rupanya dia telah ketahui tempat kediaman supee ini, karena khawatir tidak bisa melawan, dia menantikan ketikanya yang baik, maka kebetulan sekali aku terlukakan Khiu Cian Jin, dia sambar ketika ini dia pakai aku sebagai perkakas. Pantas dia menunjuki aku tempat supee. Dia rupanya memikir untuk lebih dulu membikin habis tenaga supee, baru dia mau turun tangan sendiri. Aku menyesal yang diriku kena dipermainkan dia! Supee, kenapa gambarnya Auwyang Hong itu bisa berada di tangannya? Ada apa hubungannya dia dengan gambar itu?" It Teng mengambil sebuah kitab dari atas mejanya dan membalik lembarannya. Ia berkata. "Gambar ini mempunyai lelakon seperti ini. Di sebuah kota di India ada seorang raja yang sujud. Pada suatu hari seekor burung dara terbang kepadanya meminta perlindungan. Burung dara itu dikejar seekor elang. Burung ini meminta burung dara itu, katanya, kalau tidak, dia bakal mati kelaparan. Sulit untuk raja itu, sebab menolong yang satu berarti mencelakai yang lain. Maka akhirnya ia mengambil pisau dan memotong dagingnya sendiri. Si burung elang meminta daging raja yang sama beratnya seperti burung dara itu, maka daging itu ditimbang. Kenyataannya burung dara itu berat luar biasa, daging raja tidak cukup kendati ia sudah memotong seluruh anggota tubuhnya. Ketika raja menimbangkan tubuhnya juga, maka bergoyanglah bumi, langit bergembira, bidadari-bidadari menyebar bunga, harumlah semua jalan, maka juga naga langit dan setan-setan yang berada di udara pada menghela napas dan berkata. 'Siancay, siancay. Kegagahan sebagai ini, sungguh belum pernah ada!'" Itulah dongeng tetapi demikian rupa It Teng menuturnya, semua orang jadi tergerak hatinya. "Sekarang aku mengerti, supee," Berkata Oey Yong. "Dia khawatir supee tidak suka menolong mengobati aku, dia sengaja menunjuki gambar itu untuk membikin hati supee tertarik." "Benar begitu," Kata It Teng bersenyum. "Ketika dulu hari itu dia meninggalkan Tali, tentu hatinya gusar dan penasaran, tentu dia mencari orang gagah, entah bagaimana, dia bertemu sama Auwyang Hong. Pasti Auwyang Hong mengetahui maksud orang maka ia menolong melukis gambar itu. Kitab ini tersiar luas di Wilayah Barat dan Auwyang Hong adalah orang sana, tentu dia mengetahuinya dengan baik." "Sungguh jahat!" Kata Oey Yong sengit. "Si bisa bangkotan menggunai Eng Kouw dan Eng Kouw menggunai aku, ini dia akal jahat meminjam golok membunuh lain orang!" "Jangan kau gusar," Berkata It Teng menghela napas. "Umpama kata dia tidak bertemu sama kau, mesti dia akan melukakan orang, yang dia menyuruhnya datang ke mari meminta aku menolonginya. Cumalah, siapa tidak mempunyai kepandaian, tidak dapat dia datang ke mari. Sudah lama Auwyang Hong melukis gambar ini, maka itu rencananya pasti telah diatur semenjak sepuluh tahun yang lampau. Bukankah ini pun semacam jodoh?" "Benar, supee. Tapi ia masih mempunyai satu maksud lain, yang lebih penting daripada urusannya dengan supee ini." It Teng heran. "Apakah itu?" Ia tanya. "Loo Boan Tong kena dikurung ayahku di Tho Hoa To, dia hendak pergi menolongi," Si nona menerangkan. Ia menerangkan bagaimana Eng Kouw mencoba mempelajari Kie-bun-sut, supaya bisa memasuki Tho Hoa To. Kemudian ia menambahkan; "Kemudian Eng Kouw ketahui, ia belajar lagi seratus tahun juga tidak nanti ia dapat melawan ayahku, maka justru ia melihat aku terluka, lantas ia" Mendengar itu It Teng tertawa panjang, lalu ia berbangkit. "Sudah, sudah!" Katanya. "Segala apa terjadi secara kebetulan, maka sekarang tentulah dia puas!" Ia berpaling kepada empat muridnya, untuk memerintah. "Pergi kamu menyambut dengan baik pada Lauw Kui-hui! Eh, bukan! Kamu menyambut Eng Kouw, kau ajak dia datang kemari. Sedikit juga kamu tidak boleh berlaku tidak hormat kepadanya." Tanpa berjanji, keempat murid itu menekuk lutut mendekam akan menangis menggerung-gerung. "Suhu!" Kata mereka. It Teng Taysu menghela napas. Ia kata. "Kamu telah mengikuti aku untuk banyak tahun, mungkinkah kamu masih belum tahu hati gurumu?" Ia menoleh kepada Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk mengatakan; "Aku hendak meminta sesuatu kepada kamu." "Titahkan saja, supee," Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Menyahut si anak muda. "Bagus!" Kata pendeta itu. "Sekarang pergilah kamu turun gunung. Seumurku, aku banyak berhutang kepada Eng Kouw, maka itu kalau di belakang hari dia menemui sesuatu bahaya, aku minta dengan memandang aku si pendeta tua, haraplah kamu membantui dia secara sungguh-sungguh. Umpama kata kamu dapat merangkap jodoh dia dengan jodoh Ciu Suheng, aku akan lebih-lebih lagi bersyukur." Dua muda-mudi itu tercengang, mereka saling mengawasi. Bukankah Eng Kouw datang untuk menuntut balas? Dengan perbuatannya ini, bukan saja It Teng menutup pintu bagi siapa yang hendak menuntut balas untuknya, dia pula mau membalas kejahatan dengan kebaikan. Menampak dua orang itu berdiam, It Teng bertanya; "Apakah permintaanku si pendeta tua ini sulit untuk kamu menjawabnya?" Oey Yong masih bersangsi tetapi ia menjawab. "Kalau supee minta begitu, baiklah, kami menerima baik." Ia lantas menarik ujung baju Kwee Ceng, untuk diajak sama-sama memberi hormat, guna meminta diri. "Kamu tak usah bertemu muka sama Eng Kouw," It Teng kata pula. "Maka pergilah kamu turun dari gunung belakang." Oey Yong menyahuti, ia tarik Kwee Ceng untuk diajak pergi. Keempat murid itu melihat wajah si nona tenang saja, diam-diam mereka mencaci nona itu tidak berbudi, sebab mereka anggap nona itu tidak memikirkan keselamatannya orang yang telah menolongi dia. Kwee Ceng mengikuti tanpa bicara. Ia tidak percaya Oey Yong demikian tidak berbudi. Ia percaya si nona ada punya maksud lain. Ketika mereka sampai di mulut pintu, si nona lantas berbisik padanya, atas mana ia mengangguk-angguk, terus ia bertindak kembali, tindakannya perlahan. It Teng berkata pada pemuda itu; "Kau jujur dan setia, di belakang hari kau pasti akan berhasil melakukan sesuatu yang besar. Maka itu, urusan Eng Kouw pun aku perserahkan padamu." Kwee Ceng menyahuti baik, akan tetapi berbareng dengan itu, dengan mendadak sekali, dengan kesebatannya yang luar biasa, ia menyambar lengannya si pendeta bangsa India di sisi It Teng Taysu, menyusul mana tangan kiri menotok dua jalan darah hoa-kay dan thian-cu dari pendeta itu, hingga si pendeta tak dapat berkutik dalam detik itu juga. Kejadian ini membikin si pelajar berempat menjadi sangat kaget dan heran. "He, kau bikin apa?" Mereka menegur. Tindakannya Kwee Ceng belum selesai. Ia tidak memberikan penyahutan kepada empat orang itu, sebaliknya tangan kirinya lantas menyambar ke pundaknya It Teng Taysu. Menampak sambaran itu, It Teng menggeraki tangan kanannya, gesit luar biasa, ia menyambut tangan kiri si anak muda, untuk ditangkap. Kwee Ceng menjadi kaget dan heran. Ia tidak menyangka pendeta itu masih bisa menghindarkan diri dari sambarannya. Itulah kepandaian dahsyat, yang ia baru pernah menyaksikannya. Hanya ia mendapat kenyataan, ketika kedua tangan saling membentur, tenaganya si pendeta lemah sekali, maka ia lantas memutar tangannya untuk membalas menangkap. Berbareng dengan itu, dengan tangan kanannya, Kwee Ceng menggunai jurus "Naga sakti menggoyang ekor", guna memukul mundur si pengail dan si tukang kayu, yang menyerang ia dari samping. Sebab kedua murid pendeta itu, dalam kagetnya, sudah lantas menerjang, untuk menolongi guru mereka. Mereka ini cuma bisa maju satu kali saja, lantas mereka dibikin tidak berdaya. Si anak muda meneruskan menotok dua jalan darah mereka, hong-bwee dan ceng-ciok. Ketika itu Oey Yong juga sudah turun tangan. Dengan tongkatnya ia mendesak mundur si petani sampai di muka pintu. Si pelajar menjadi kelabakan. "Berhenti, berhenti!" Ia berseru berulang-ulang. "Mari kita bicara dulu!" Si petani menjadi seperti kalap, dia berkelahi nekat sekali, hendak dia merangsak, akan tetapi dia dirintangi tongkat kaum Pengemis, saban-saban kena dipaksa mundur pula. Kwee Ceng sekarang menerjang keluar dari kamar suci, dia paksa memukul mundur kepada si pengail, si tukang kayu dan si pelajar juga, hingga mereka ini terpaksa mundur setindak demi setindak. Oey Yong dalam melayani si petani telah menotok ke arah alis lawannya itu. Petani itu terkejut, dia berteriak, dengan terpaksa dia berkelit sambil berlenggak sambil berlompat juga. "Bagus!" Berseru si nona selagi orang mundur, lalu dengan sebat ia menutup pintu. Sekarang ia tertawa haha-hihi dan mengatakan. "Tuan-tuan, tahan, hendak aku bicara!" Si tukang kayu dan si tukang pancing telah menangkis serangannya Kwee Ceng, mereka merasakan tangan mereka sakit, mereka terhuyung mundur beberapa tindak, meski begitu, ketika si anak muda maju, mereka pun maju pula dengan berbareng, guna melawan terus. Di dalam keadaan seperti itu, mereka tidak kenal takut. Kwee Ceng telah mendengar suara kawannya, ia berhenti untuk melayani terlebih jauh, cepat-cepat ia menarik pulang tangannya, sembari memberi hormat, ia kata; "Maaf! Maaf!" Keempat murid It Teng menjadi heran dan melengak karenanya. Oey Yong segera berkata; "Kami telah menerima budi guru kamu, budi yang besar sekali, sekarang guru kamu berada dalam bahaya cara bagaimana kami bisa berpeluk tangan menonton saja? Maafkan perbuatan kami ini ada berhubung sama maksud kami untuk memberi pertolongan." Si pelajar menjura. "Musuh majikan kami itu ialah majikan kami juga," Ia berkata. "Di antara kita orang ada tingkat tinggi dan rendah, karena itu, kalau majikan kami yang wanita itu datang ke mari, kami tidak berani turun tangan terhadapnya. Juga guru kami, karena kematiannya sang putra selama belasan tahun, tidak tentram hatinya, maka itu kalau sebentar Lauw Kui-hui datang, jangan kata memangnya telah lenyap kepandaiannya, walaupun ia masih gagah, ia tentu bakal mandah dibunuh Lauw Kui-hui. Maka hal itu sangat menyulitkan kami, kami tidak berdaya. Dari itu nona, jikalau kamu bisa menunjuki jalan keluar kepada kami, meski tubuh kami hancur lebur, tidak nanti kami melupakan budimu yang besar itu." Melihat orang bicara demikian sungguh-sungguh, Oey Yong tidak mau bergurau pula. "Kami mulanya mengharap bantuannya si orang India yang menjadi paman guru kamu," Ia berkata. "Kami tidak menyangka, dia sebenarnya tidak mengerti ilmu silat, karena itu sekarang aku mesti menukar siasat. Tindakan ini luar biasa, besar bahayanya. Umpama kata kita berhasil, di belakang hari tidak bakal ada ancaman bahaya lagi, Eng Kouw sangat licin, kepandaiannya juga tinggi, dari itu aku masih berkhawatir. Aku bodoh, aku tidak dapat memikir lain jalan lagi" Si pelajar berempat mengawasi. "Ingin kami mendengar keterangan nona," Kata si pelajar. Oey Yong menggeraki alisnya yang bagus, terus ia memberikan keterangannya, mendengar mana, keempat muridnya It Teng saling mengawasi, hingga sekian lama mereka tidak dapat membuka suara. * * * Ketika sang lohor tiba, dengan perlahan-lahan, sang Batara Surya turun ke belakang gunung. Tinggal angin gunung, yang masih meniup-niup, membuatnya bergoyang-goyang pepohonan di depan kuil. Juga daun-daun kering di pengempang mengasih dengar suaranya yang halus. Tinggallah sinar layung, yang membuatnya puncak gunung berbayang, rebah bagaikan satu raksasa Si tukang pancing berempat duduk bersila di ujungnya jembatan batu, mata mereka diarahkan ke ujung lain dari jembatan itu. Hati mereka masing-masing tidak tentram. Lama mereka menanti, sampai sang magrib tiba. Beberapa ekor gagak terbang dengan suaranya yang berisik, terbang pergi ke selat gunung. Masih di ujung jembatan sana tak nampak siapa juga. "Mudah-mudahan Lauw Kui-hui mengubah pikirannya," Berkata si tukang pancing di dalam hatinya. "Di dalam hal ini, suhu tidak dapat dipersalahkan. Biarlah dia tak datang untuk selama-lamanya" "Lauw Kui-hui sangat cerdik, tentulah ia sekarang lagi memikirkan akal muslihatnya," Si tukang kayu berpikir lain. Si petani adalah yang paling tak sabaran. "Biarlah dia datang lebih siang, supaya urusan pun beres lebih siang!" Pikirnya. "Biar bahaya biar rejeki, biar baik biar jahat, biarlah lekas ada keputusannya! Dikatakan datang, dia tidak datang, apa itu tidak membikin orang bergelisah?" Si pelajar sebaliknya pikir; "Makin lambat dia datang, makin berbahaya ancaman bencananya. Sebenarnya soal sulit sekali" Sebetulnya pelajar ini pintar dan pandai berpikir, belasan tahun dia menjadi perdana menteri negara Tali, pernah dia menghadapi banyak perkara besar dan peperangan juga, tetapi belum pernah dia menghadapi saat tegang sebagai ini. Maka dia jadi berpikir keras, apapula ketika itu, cuaca jadi semakin gelap, di tempat jauh di sana, tak nampak suatu apa, kecuali suara yang menyeramkan dari si burung malam, si kokok beluk atau burung hantu. Tidak heran kalau kemudian dia ingat kepada dongeng semasa ia kecil. "Si kucing malam bersembunyi di tempat gelap, dia mencuri alisnya beberapa orang, alis yang dapat dia menghitungnya dengan tepat, maka umur dia itu tak menanti sampai fajar" Dengan si kucing malam dimaksudkan si burung hantu. Dan cerita itu dongeng belaka, akan tetapi karena teringatnya di waktu sore, dalam suasana seperti itu, mau atau tidak, bulu roma menjadi terbangun sendirinya. Hebat pengaruhnya suara si burung hantu itu "Mungkinkah suhu tidak bakal lobos dari takdirnya ini, dan ia mesti mati di tangannya seorang wanita?" Si pelajar berpikir. "Nah, dia datang 'tu!" Mendadak terdengar suara si tukang kayu, suaranya perlahan dan bergemetar. Benar saja, di atas jembatan, terlihat berkelebatnya satu tubuh manusia. Tiba di bagian liang atau ceglokan, dengan pesat bayangan itu berlompat. Dia begitu gesit hingga si pelajar berempat menjadi heran, hingga mereka berpikir. "Ketika dia belajar silat pada suhu, kita sudah mewariskan kepandaian suhu, kenapa sekarang dia menjadi terlebih lihay daripadaku? Selama belasan tahun ini, di mana ia meyakinkan ilmu silatnya itu?" Selagi orang itu mendatangi bagaikan bayangan, si pelajar berempat lantas bangun untuk berdiri, segera mereka memecah diri ke kedua sisi. Cepat sekali orang itu telah tiba. Dia mengenakan pakaian hitam, cuaca pun gelap, tetapi dia dapat lantas dikenal. Memang dialah Lauw Kui-hui, selir yang dicintai Toan Hongya. Maka lantas mereka itu memberi hormat sambil mengucapkan. "Siauwjin menghadap Nio-nio!" Mereka menyebut diri. "siauwjin", hamba yang rendah dan memanggil nyonya itu dengan Nio-nio, sebutan mulia untuk seorang permaisuri. "Hm!" Eng Kouw mengasih dengar suaranya, sedang matanya menyapu empat orang itu. "Apakah Nio-nio itu?" Katanya bengis. "Lauw kui-hui sudah lama mati! Aku ialah Eng Kouw. Hai, yang mulia Perdana Menteri, yang mulia Jenderal Besar, yang mula Laksamana dan Pemimpin dari Pasukan Gielimkun, kiranya kamu semua ada di sini! Aku menyangka Sri Baginda benar-benar sudah melupai dunia, dia menjadi pendeta, siapa tahu dia justru bersembunyi di sini, dia tetap masih menjadi kaisar yang berbahagia!" Hati empat orang itu berdenyutan. Suara kui-hui sangat tak enak terdengarnya. "Sekarang ini Sri baginda bukan lagi seperti Sri Baginda dulu hari," Berkata si pelajar, si bekas perdana menteri yang mulia itu. "Kalau Nio-nio melihat padanya, pasti Nio-nio tidak bakal mengenalinya." "Hai, masih kamu menyebut Nio-nio!" Membentak Eng Kouw. "Apakah kamu hendak mengejek aku? Apa perlunya kamu hendak memberi hormat padaku sampai aku mati?" Keempat orang itu saling melirik, lantas mereka bangun berdiri. "Hambamu yang rendah mengharap kesehatan Nio-nio," Kata mereka. Eng Kouw mengangkat tangannya. "Hongya menitahkan kamu memegat aku, perlu apa ini segala macam adat istiadat?" Katanya. "Jikalau kamu hendak turun tangan, lekas kamu menggeraki tangan kamu! Kamu raja dan menteri setahulah kamu telah mencelakai berapa banyak rakyat negeri, maka terhadap aku, seorang wanita, perlu apa kamu masih berpura-pura?" "Raja kami mencintai rakyatnya seperti dia mencintai anaknya sendiri," Berkata si pelajar. "Dia sangat bijaksana dan mulia hatinya, jangan kata mencelakai orang yang tidak bersalah dosa, sekalipun seorang penjahat besar, dia masih menyayanginya! Mustahilkab Nio-nio tidak ketahui itu?" Muka Eng Kouw menjadi merah. "Beranikah kamu main gila terhadap aku?" Dia menanya bengis. "Hambamu tidak berani" "Kamu menyebut hambamu, sebenarnya di antara kita mana ada lagi raja dan menterinya?" Kata Eng Kouw. "Sekarang aku hendak menemui Toan Tie Hin, kamu hendak memberi jalan atau tidak?" Toan Tie Hin itu ialah namanya Toan Hongya alias It Teng Taysu. Si pelajar berempat mengetahui itu tetapi mereka tidak pernah berani menyebut itu, maka itu terkesiap hati mereka akan mendengar Eng Kouw menyebutnya seenaknya saja. Si petani yang asalnya adalah komandan Gielimkun, pasukan raja, menjadi habis sabar. Dia kata dengan keras; "Siapa satu hari pernah menjadi raja, dia agung seumur hidupnya, maka mengapa kau mengucap kata-kata tidak karuan?" Eng Kouw tertawa panjang, tanpa membilang suatu apa, ia berlompat maju. Keempat orang itu mengulur tangan mereka, untuk memegat. Mereka pikir. "Meskipun dia libay, mustahil kita tidak dapat merintangi dia? Biarnya kita melanggar titah Sri Baginda, karena terpaksa, kita tidak bisa berbuat lain" Eng Kouw tidak menggunai kedua tangannya, baik untuk mendorong mereka dapat atau untuk meninju, dia maju terus, bersedia akan membenturkan tubuhnya kepada mereka itu! Si tukang kayu terkejut. Tentu sekali ia tidak berani membiarkan tubuhnya ditubruk, itu artinya mereka saling membentur tubuh. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Maka ia berkelit ke samping, sebelah tangannya diulur, guna menyambar ke pundak si nyonya, bekas junjungannya itu. Ia menyambar dengan cepat, ia juga menggunai tenaga, akan tetapi ketika tangannya mengenai sasarannya, ia heran. Ia menjambak sesuatu yang lunak dan licin, ia gagal mencekuk si nyonya. Justru itu si petani dan tukang pancing, sambil berseru, menyerang dari kiri dan kanan! Eng Kouw tidak menangkis, ia hanya berkelit. Ia mendak, lalu ia molos bagaikan ular licin di bawahan tangan kedua penyerangnya itu. Berbareng dengan itu, si tukang pancing mendapat cium bau yang harum sekali, hingga ia terkejut, hingga lekas-lekas ia menggeser incarannya, khawatir nanti mengenai tubuh nyonya itu. "Bagaimana he?" Membentak si petani, gusar. Dengan sepuluh jarinya yang kuat, ia menyambar ke pinggang selir raja itu. "Jangan kurang ajar!" Membentak si tukang kayu. Si petani tidak menghiraukan bentakan itu, ia meluncurkan terus tangannya, hingga ia mengenakan sasarannya, hanya untuk herannya, ia membentur sesuatu yang licin, hingga ia tidak dapat mencengkeram! Demikian dengan ilmu lindungnya, Eng Kouw meloloskan diri dari rintangannya tiga bekas menterinya itu, maka sekarang tahulah ia mereka tidak dapat mencegah padanya. Karena ini, ia lantas membalas, sebelah tangannya melayang kepada si petani. Melihat demikian, si pelajar menyerang dengan totokannya, ke lengan bekas selir itu, tetapi ini junjungan wanita tidak memperdulikannya, bahkan dia juga mengeluarkan jari tangannya, memapaki totokan itu, hingga tangan mereka bentrok seketika. Bukan main kagetnya si pelajar, hingga dia berseru. Bentrokan itu membikin dia merasa sangat sakit, tubuhnya pun lantas roboh terbanting. Si tukang kayu dan si tukang pancing berlompat, guna menolongi kawannya itu. Si petani dengan kepalannya, menyerang Lauw Kui-hui, untuk merintangi nyonya itu nanti menyusuli serangannya kepada kawannya yang roboh itu. Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo