Pendekar Pemanah Rajawali 59
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 59
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Perahu berlayar sampai nampak sungai makin berbahaya. Di kiri dan kanan hamya nampak gunung atau tebing. Kwee Ceng dan Oey Yong pergi ke kepala perahu, mereka melihat segala apa, maka insyaAah mereka akan bahayanya perjalanan ini. Untuk dapat maju melawan air, perahu mesti ditarik orang. Di situ ada beberapa perahu lainnya. Perahu besar membutuhkan beberapa kuli, sedang perahu kecil, perlu delapan atau sembilan orang. Kuli-kuli penarik itu telanjang dadanya dan kepalanya dilibat sabuk putih, sambil menarik mereka mengasih dengar suara bareng dan sama. Perahu yang berlayar milir hanyut pesat sekali. Sepasang muda-mudi ini menduga mereka bakal segera mendekati Chee-liong-tha. Hari pun makin lama makin siang. "Yong-jie," Kata Kwee Ceng perlahan. "Aku tidak menyangka sungai Goan Kang mempunyai bagian yang airnya begini deras dan berbahaya. Mungkin bagian deras ini panjang sekali. Kalau perahu terbalik sedang kau masih belum segar, tidakkah itu berbahaya?" "Habis bagaimana?" "Kita bunuh saja tukang perahu itu lantas kita ke pinggir dan mendarat." Si nona menggeleng kepala. "Itulah tidak menarik hati!" Katanya. "Memangnya sekarang waktunya main-main?" "Aku justru menggemari itu!" Si nona tertawa. Pemuda itu berdiam, ia mengawasi ke depan dan ke kiri dan kanan. Ia lantas berpikir. Berjalan lagi sekian lama, waktu sudah mendekati tengah hari. Setelah melintasi sebuah pengkolan, Kwee Ceng melihat di depan di pinggiran sungai, ada beberapa puluh rumah, yang tinggi dan rendah bergantung sama letaknya tanah pegunungan. Di situ, air jadi semakin deras. Ketika sebentar kemudian perahu tiba di dekat kumpulan rumah-rumah itu, di tepi sungai terlihat beberapa puluh orang yang seperti lagi menantikan. Si tukang perahu lantas melemparkan dua lembar dadung ke darat, dadung mana disambuti beberapa puluh orang itu dan lantas dililit ke sebuah pelatok besar. Dengan ditarik, perahu itu sampai di tempat yang cetek. Tidak lama tiba lagi sebuah perahu yang ditarik kira tigapuluh kuli, perahu itu dikasih berlabuh di situ, sedang di sebelah depan telah berlabuh kira-kira duapuluh perahu lainnya. Lantas ada seorang di daratan yang berkata nyaring. "Tadi malam keluar ular naga, air di gunung banjir, air sungai ini jadi sangat deras, maka sambil menanti air surut, mari semua beristirahat di sini!" "Numpang tanya, toako, tempat ini apa namanya?" Tanya Oey Yong pada seorang di sampingnya. "Chee-liong-cip," Orang yang ditanya menjawab. Nona itu mengangguk, diam-diam ia memperhatikan tukang perahunya. Dia itu berbicara dengan gerakan tangan sama seorang di darat, orang mana bertubuh besar dan kekar. Dia menyerahkan satu bungkusan pada orang itu. Kemudian, mendadak orang itu mengeluarkan kapak dengan apa dia membabat putus dadung penambat perahu, terus dia mengangkat jangkar, terus dia mendorong perahu itu. Maka sekejap saja, dengan tubuh miring perahu itu hanyut terbawa air. Si tukang perahu yang memegang kemudi, mengawasi ke muka air. Dua pembantunya yang masing-masing memegang galah kejen, romannya bersiap-siap akan melindungi si tukang perahu. Mungkin mereka khawatir kedua pemumpangnya menyerang tukang kemudi itu. Kwee Ceng terkejut, ia mengawasi air yang deras. Setiap waktu perahu itu dapat membentur wadas. Itu artinya terbalik dan karam. "Yong-jie, rampas kemudi!" Ia berteriak. Ia pun hendak lari ke buntut perahu. Dua orangyang memegang galah itu mendengar suara si anak muda, mereka bersiap. Ketika mereka mengangkat galahnya, kejennya bergemerlap di cahaya matahari. Itulah tandanya kejen itu tajam sekali. "Perlahan!" Tiba-tiba Oey Yong berseru. "Bagaimana?" Si pemuda tanya. "Kau melupakan burung kita " Si nona berbisik. "Kalau sebentar perahu karam, kita naiki mereka untuk terbang pergi. Aku mau lihat apa mereka bisa bikin " Kwee Ceng sadar. "Pantas Yong-jie tidak takut, kiranya ia telah siap sedia tipu dayanya," Pikirnya. Ia lantas menggapai kepada dua ekor burungnya, untuk disuruh berdiam di samping mereka. Si tukang perahu tidak tahu kenapa anak muda itu batal bergerak, diam-diam ia bergirang. Ia mau percaya mereka kena dibikin jeri oleh arus yang sangat deras itu. Segera juga terdengar suara dari serombongan kuli penarik perahu, lalu terlihat orang-orangnya, yang lagi menarik sebuah perahu dengan gubuk hitam, yang mengibarkan bendera hitam juga. Ketika si tukang perabu melihat perahu itu, dia lantas mengangkat kapaknya dengan apa dia mengapak putus kemudinya, kemudian dia pergi ke pinggir kiri. Terang dia bersiap akan lompat ke perahu yang lagi mendatangi itu. Kwee Ceng melihat aksinya tukang perahu itu. "Naik!" Ia kata seraya menekan punggungnya si rajawali betina. "Jangan kesusu!" Berkata Oey Yong. "Engko Ceng, kau hajar perahu itu dengan jangkar!" Kwee Ceng mengerti maksudnya nona itu, ia bersiap. Tanpa kemudi, perahu hanyut makin pesat, sebentar saja, kedua perahu datang semakin dekat. Perahu yang ditarik mudik itu digeser, supaya tidak sampai diterjang perahu yang hanyut. Tukang-tukang menarik perahu agaknya kaget, mereka pada berteriak. Kwee Ceng menanti saatnya, segera ia melemparkan jangkarnya keras sekali. Ia mengarah pelatok yang dipakai mengikat dadung penarik. Karena perahu pun ditarik keras, maka lemparan jangkar jadi semakin hebat. Begitu terkena, pelatok itu patah, dadungnya terlepas. Selagi tukang-tukang menariknya jatuh ngusruk, perahunya sendiri lantas terbawa air, hanyut keras sekali. Orang banyak pada berteriak kaget. Si tukang perahu kaget sekali. "Tolong! Tolong!" Dia berteriak-teriak saking takut. "Hai, orang gagu bisa bicara!" Kata Oey Yong tertawa. "Inilah keanehan di kolong langit!" Kwee Ceng sendiri mengawasi ke perahu yang hanyut itu, tangannya masih memegangi jangkar yang satunya. Tukang kemudi dari perahu itu lihay, di air deras dia masih mencoba memutar kepala perahu, agar jangan buntutnya yang laju di muka seperti semula. Tepat pada saatnya, si anak muda melemparkan jangkar ke kepala perahu. Si tukang perahu gagu tetiron kaget bukan main. Di saat yang sangat berbahaya itu, dari dalam perahu mendadak lompat keluar satu orang, yang bersenjatakan galah kejen dengan apa dia menyambuti, menyontek jangkarnya Kwee Ceng. Dia bertenaga besar tetapi galahnya ini tidak cukup kuat, galah itu patah, karena itu, tujuan jangkar jadi berkisar. Begitulah jangkar dan patahan galah jatuh ke air. Orang kuat itu berdiri tegar di perahunya, dia mengenakan baju pendek warna kuning, dia berambut putih romannya gagah. Dialah Khiu Cian Jin ketua Tiat Ciang Pang. Dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong menjadi kagum sekali hingga mereka tercengang. Justru itu, tanpa ketahuan, tubuh perahu telah membentur wadas. Keras goncangan benturan itu muda-mudi itu kena terdampar ke pintu gubuk. Mereka kaget, terutama sebab air segera merendam mata kaki mereka. Tidak ada ketika lagi untuk naik ke punggung burung. "Mari!" Kwee Ceng berseru seraya dia berlompat ke arah Khiu Cian Jin. Dia sengaja hendak menubruk ketua Tiat Ciang Pang itu, sebab kalau dia lompat ke lain bagian dari perahu itu, sebelum tiba, dia bisa dipapaki serangan. Itulah berbahaya. Khiu Cian Jin melihat orang berlompat ke arahnya, rupanya dia dapat menerka maksud orang, karena ia tengah memegang galahnya, dengan itu ia lantas memapak. Kwee Ceng melihat penyambutan itu, dia kaget. Khiu Cian Jin melontarkan galahnya, yang menjurus ke dada si anak muda. Ia rupanya menganggap, lebih baik menyerang sambil menimpuk daripada menanti orang tiba di perahunya. Dalam saat sangat berbahaya untuk si anak muda, tiba-tiba terlihat sinar hijau menyambar galah kejen. Karena mana, lenyaplah ancaman bahaya itu. Itulah Oey Yong, yang berlompat menyusul kawannya, yang dengan tongkatnya menangkis galah. Setelah itu, begitu menginjak perahu, si nona segera menyerang pangcu dari Tiat Ciang San, hingga dia menjadi gelagapan, hampir dia kena ditotok. Khiu Cian Jin mengenal baik lihaynya tongkat si nona, maka itu, selagi Kwee Ceng baru menaruh kaki, ia mundur kepada anak muda itu, yang ia sapu. Dengan begitu ia berkelit sambil menyerang. Selagi Kwee Ceng berkelit, ia menyusuli dengan dua serangan saling susul dengan kedua tangannya. Lihay serangannya jago dari Tiat Ciang San ini. Itulah pukulan dari Tiat Ciang Kang-hu, atau ilmu silat Tangan Besi, yang kaum Tiat Ciang Pang andalkan selama mereka menjagoi, bahkan di tangan orang she Khiu ini, jurusnya telah diubah dan ditambah hingga menjadi semakin lihay. Dibanding sama Hang Liong Sip-pat Ciang, ilmu itu kalah keras tetapi menang halus. Begitu dua orang itu bergerak di atas perahu. Perahu sewaannya Kwee Ceng telah patah pinggang dan karam, si gagu dan dua kawannya kecebur ke air dan terbawa arus, sia-sia mereka berenang, mereka terbenam di dalam air menggolak bagaikan pusar air. Perahunya Khiu Cian Jin sendiri, meskipun hanyut keras, masih dapat dipertahankan, karena ada orang Tiat Ciang Pang yang lantas mengendalikannya. Di atasan perahu, terbang mengikuti, adalah kedua burung rajawali serta hiat-niauw, ketika burung itu saban-saban mengasih dengar suaranya. Sampai itu waktu, Oey Yong pun turut berkelahi. Lebih dulu ia mengundurkan beberapa orang Tiat Ciang Pang, yang merintangi padanya, setelah itu ia dekati Kwee Ceng, guna mengepung Khiu Cian Jin. Karena sama-sama lihay, kedua pihak berkelahi dengan rasa risih. Selagi bertempur itu, Oey Yong melihat golok berkelebat di dalam gubuk perahu. Itulah seorang yang tengah membacok. Ia tidak tahu apa yang dibacok itu tetapi ia curiga, maka ia lantas menimpuk dengan jarumnya. Pembacok itu kena lengannya, bacokannya tak dapat diteruskan, goloknya justru mengenai pahanya sendiri sampai dia menjerit. Si nona menyusul seraya berlompat masuk ke dalam gubuk. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia menendang terjungkal orang itu, yang sudah tidak berdaya, lalu dia melihat seorang rebah tidak berkutik di lantai perahu sebab kaki tangannya dibelenggu. Ia tidak usah mengawasi lama akan mengenali Sin-soan-cu Eng Kouw, hingga ia menjadi heran. Tidak sekali disangka, di sini mereka dapat menemui nyonya itu, bahkan dalam keadaan tidak berdaya itu. Tanpa ayal lagi, ia memungut goloknya orang tadi dengan apa ia memutuskan tambang yang mengikat tangan si nyonya. Begitu lekas tangannya bebas, dengan tangan kirinya Eng Kouw merampas golok di tangannya si nona, selagi Oey Yong heran, dia sudah lantas membacok mampus orang Tiat Ciang Pang itu, yang tadi hendak membinasakan padanya. Habis itu baru ia memutuskan tali belengguan kakinya, sedang musuhnya roboh celentang, hingga Oey Yong mengenali, dialah Kiauw Thay. Maka ia kata di dalam hatinya. "Kau sangat jahat, pantas kau mampus!" "Meski kau telah menolongi aku, jangan kau harap aku akan membalas budi!" Kata Eng Kouw pada si nona. "Siapa mengharap pembalasan budimu?" Kata si nona tertawa. "Kau telah menolong aku, maka ini satu kali, aku menolongi kau. Dengan begini, kita menjadi tidak saling berhutang!" Sembari berkata begitu, Oey Yong pergi pula ke luar, untuk membantu lagi kepada Kwee Ceng. Khiu Cian Jin benar-benar lihat, dia dapat bertahan, hanya segera ia menjadi kaget ketika kupingnya mendengar beberapa teriakan beruntun serta suara tubuh tercebur ke air. Sebab Eng Kouw, dalam gusarnya, sudah menghajar semua orang Tiat Ciang Pang yang berada di dalam kendaraan air itu, membikin mereka kecemplung ke air deras. Hingga tidak perduli yang pandai berenang, orang-orang jahat itu jangan harap nanti lolos dari bahaya mampus kelelap! Khiu Cian Jin digelarkan "Tiat Ciang Sui-sing-piauw", atau si Tangan besi yang mengambang di muka air itu bukan berarti dia dapat berjalan di muka air seperti mengambang, itu diartikan lihaynya ilmunya enteng tubuh, jangan kata di air deras demikian, sekalipun di air tenang di telaga, tidak dapat dia jalan ngambang. Maka itu sekarang, hatinya tidak tenang. Ia berkelahi sambil mundur. Kewalahan ia melayani Kwee Ceng yang dibantu Oey Yong. Untuk mencegah si nona menyerang ia dari belakang, ia berdiri membelakangi air. Secara begini ia mencoba bertahan. Oey Yong berkelahi sambil memperhatikan lawannya yang tangguh ini. Sering ia melihat jago itu melirik ke kiri dan kanan. Ia menduga tentulah orang mengharap-harap datangnya lain perahu, ialah bantuan untuk pihaknya. Maka ia juga turut memasang mata. Ia pikir. "Biarnya dia jago, dia bakal dikepung bertiga. Kalau kita gagal, sebenarnya kita ialah kantung-kantung nasi " Eng Kouw di lain pihak telah berhasil menyapu semua orang Tiat Ciang Pang. Ia membiarkan hanya satu orang, ialah si tukang pengemudi. Ia melihat bagaimana dua muda-mudi itu belum bisa berbuat apa-apa terhadap Khiu Cian Jin, maka akhirnya ia menghampirkan mereka. "Nona kecil, kau minggirlah!" Ia kata kepada Oey Yong - ia tertawa dingin. "Mari, kasihkan aku yang maju!" Oey Yong tidak puas sekali. Terang orang memandang enteng padanya. Tapi ia cerdik, ia lantas berpikir. Terus ia mendesak ketua Tiat Ciang Pang itu. Khiu Cian Jin bisa menduga si nona tentulah mau mundur mentaati kata-kata si nyonya, meski ia mengerti, ia toh tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membela diri, karena si nona mendesak, Kwee Ceng tetap menyerang padanya. Oey Yong bukan mundur sendirinya, ketika ia mundur, ia menarik tangan baju kawannya seraya berkata; "Biarkan dia maju sendiri!" Kwee Ceng heran tetapi ia mundur seraya membela diri. Eng Kouw tidak memperdulikan sikap si nona, ia hanya menghadap Khiu Cian Jin, dengan tertawa dingin, dia berkata; "Khiu Pangcu, di dalam dunia kangouw, namamu terdengar cukup nyaring, maka aku heran untuk perbuatanmu yang hina dina! Selagi aku tidur di rumah penginapan, tengah aku tidak tahu apa-apa, mengapa kau menggunai hio pulas dan dengan caramu itu kau membekuk aku? Bagus perbuatanmu itu ya?" "Kau telah dibekuk oleh orang sebawahanku, buat apa kau masih banyak bacot?" Khiu Cian Jin membalasi. "Jikalau aku yang turun tangan sendiri, hanya dengan sepasang tangan kosongku, sepuluh Sin Soan Cu pun dapat aku membekuknya!" Eng Kouw tetap bersikap dingin. "Di dalam hal apa aku bersalah dari kamu kaum Tiat Ciang Pang?" Ia tanya. "Dua binatang cilik ini lancang memasuki Tiat Ciang Hong, tempat kami yang suci," Kata Khiu Cian Jin. "Kenapa kau menerimanya mereka di rawa lumpur hitam? Dengan baik-baik aku minta mereka diserahkan padaku, kenapa kau melindungi mereka dengan kau mendustai aku? Apakah kau sangka Khiu Cian Jin boleh dibuat permainan?" "Oh, kiranya itulah gara-gara dua binatang cilik ini!" Katanya. "Kalau kau mempunyai kepandaian, pergi punya banyak tempo akan campur tahu segala urusan tetek bengek begini!" Lauw Kui-hui lantas mengundurkan diri, ia duduk bersila di lantai perahu, sikapnya sangat tenang. Ia maju jadi si penonton harimau bertarung, akan menyaksikan orang roboh dua-duanya! Sikapnya nyonya ini mengherankan dua-dua Kwee Ceng dan Oey Yong dan Khiu Cian Jin. Itulah mereka tidak sangka. Eng Kouw turun gunung dengan pikiran kacau. Ia mendongkol dan berduka, tidak dapat ia gampang- gampang melampiaskan itu. Ia mendongkol sebab gagal ia membunuh It Teng Taysu. Tidak tega ia melihat sikap tenang dari pendeta itu. Ia bersedih kalau ia membayangi kematian anaknya yang malang itu. Begitu ketika ia mondok di rumah penginapan, ia berlaku alpa, ia kena diasapi orang Tiat Ciang Pang dan kena ditangkap karenanya. Di dalam keadaan biasa, tidak nanti ia kena dibekuk secara demikian. Ia juga tidak menyangka, di dalam bahaya, ia ditolongi Oey Yong. Ia tetap mendongkol, maka itu, ia ingin biarlah muda-mudi itu dan Khiu Cian Jim mampus bersama Oey Yong berpikir cepat. "Baik, kami akan melayani dulu Khiu Cian Jin, habis itu baru kami nanti mengasih lihat sesuatu padamu!" Ia lantas mengedipi mata kepada Kwee Ceng, terus ia menerjang pula pada Khiu Cian Jin. Aksinya ini segera ditiru si anak muda. Begitulah bertiga mereka bergebrak pula. Eng Kouw menonton, dengan asyik. Ia melihat, meski ketua Tiat Ciang Pang itu lihay, dia sukar bisa cepat-cepat merebut kemenangan. Ia bahkan melihat ketua itu mundur. Ia mau percaya, jago dari Tiat Ciang San ini akhirnya bakal mampus atau terluka Kwee Ceng pun melihat sikap lawannya itu, ia menduga orang lagi mencari akal. Dilain pihak ia berkhawatir untuk Oey Yong, yang baru sembuh dan tidak selayaknya mengeluarkan banyak tenaga. Maka akhirnya ia kata; "Yong-jie, baik kau beristirahat, sebentar kau maju pula!" Nona itu menurut. "Baik," Sahutnya seraya ia mundur. Ia tertawa. Eng Kouw mengiri menyaksikan eratnya perhubungan si pemuda dengan si pemudi, terutama perhatiannya si pemuda itu, hingga ia berpikir. "Dalam hidupku, kapannya pernah ada orang berbuat begini macam terhadapku?" Tiba-tiba dari mengiri, ia menjadi cemburu dari cemburu, hatinya menjadi panas. Mendadak ia berlompat bangun dan berkata dengan nyaring. "Dua lawan satu, apa itu namanya? Mari, mari kita berempat menjadi dua rombongan, satu!" Ia lantas mengeluarkan dua batang bambu, tanpa menanti jawaban orang, Ia berlompat menyerang nona Oey. Oey Yong menjadi mendongkol sekali. "Perempuan gila yang lenyap hatinya!" Ia mendamprat. "Tidak heran Loo Boan Tong tidak mencintaimu!" Tapi ini cuma menambah kemurkaannya Eng Kouw, yang menyerang makin hebat. Oey Yong menjadi repot. Ia boleh lihay ilmunya Tah Kauw Pang-hoat tetapi ia kalah tenaga dalam, ia juga belum pulih kesehatannya, maka terpaksa ia menutup diri. Lebih sulit lagi, perahu itu bergerak keras tak hentinya disebabkan derasnya arus. Kwee Ceng sendiri tetap melayani Khiu Cian Jin, ia tidak bisa merebut kemenangan tetapi ia pun tidak kalah. Ketua Tiat Ciang Pang menjadi heran tidak karu-karuan Eng Kouw membantu padanya. Tentu sekali, perubahan sikap si nyonya membuatnya ia girang. Dengan begitu dia jadi seperti tambah semangat, terus ia menyerang hebat. Ketika Kwee Ceng menyerang ia dengan jurus "Melihat naga di sawah," Ia berkelit, habis berkelit, segera ia membalas menyerang, dengan dua tangannya berbareng. Tangan kanan dengan kejennya tangan kiri tangan kosong. Kwee Ceng tidak takut, ia menangkis dengan dua dua tangan juga. Maka tangan mereka bentrok. Lantas mereka sama-sama menyerukan. "Hm!" Dan tubuh mereka mundur masing-masing tiga tindak. Khiu Cian Jin menahan diri dengan memegang tiang kemudi, dan kaki kiri Kwee Ceng terserimpat dadung, hampir dia terguling. Guna menjaga diri agar tidak diserbu, ia meneruskan lompat jumpalitan. Khiu Cian Jin menganggap inilah ketikanya yang baik, dia tertawa nyaring dan lama, lantas dia maju, guna menyerang. Eng Kouw tengah mendesak Oey Yong sampai si nona bernapas sengal-sengal dan peluhnya mengucur tatkala dia mendengar tertawanya ketua Tiat Ciang Pang, dia kaget hingga mukanya beruhah, hingga lupa dia menarik pulang senjatanya yang kiri. Oey Yong melihat lowongan, lantas ia menyerang ke dada, menotok jalan darah sin-kie. Eng Kouw tidak menghiraukan itu, dengan tubuh terhuyung, dia menubruk ke arah Khiu Cian Jin sambil mulutnya berseru. "Kiranya kau!" Ketua Tiat Ciang Pang terkejut, apapula ia melihat muka bengis dari nyonya itu yang mulutnya dipentang, kedua tangannya dibuka. Si nyonya seperti mau menubruk buat menggigit atau menggerogoti orang. "Kau mau apa?" Berseru Cian Jin dalam herannya. Ia juga lompat ke samping. Eng Kouw gagal sama tubrukannya yang pertama itu, dengan mulut bungkam, ia menubruk pula. Ia seperti kalap. Kali ini ia mengajukan kepalanya, untuk menyeruduk. Cian Jin berkhawatir. Ia merasa, celaka kalau ia kena dipeluk perempuan yang telah seperti kalap itu. Ia juga berkhawatir melihat Kwee Ceng merangsak. Maka untuk menolong diri, kembali ia berlompat minggir. Oey Yong segera menarik tangannya Kwee Ceng, buat diajak berdiam di satu pinggiran. Dari situ mereka mengawasi Eng Kouw. Mereka pun heran dan berkhawatir. Nyonya itu kalap seperti orang gila. Terus dia main tubruk, mulutnya senantiasa berseru, giginya dipertontonkan. Terang dia ingin memeluk Cian Jin untuk digerogoti Jago Tiat Ciang Pang itu menjadi kewalahan, ia selalu main berkelit. Beberapa kali tangannya kena terjambret tercakar, hingga tangannya itu berdarah-darah. Dalam khawatirnya, beberapa kali ia berseru; "Pembalasan, pembalasan! Apakah aku mesti terbinasa di tangan perempuan gila ini?!" Eng Kouw mengulangi tubrukannya, sampai Khiu Cian Jin berada di dekat si tukang kemudi. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekarang si nyonya matanya menjadi merah. Rupanya ia tahu, lawannya sangat lihay, sukar ia berhasil menubruk. Mendadak ia menyerang si tukang kemudi, hingga orang menjerit dan terjungkal ke air, menyusul mana, ia menendang tiang kemudi sampai tiang itu patah! Segera karena tak terkendalikan, perahu itu goncang keras, hanyutnya kacau. Oey Yong kaget hingga ia mengeluh. Kalapnya Eng Kouw bisa membikin mereka nanti kecebur ke air, mungkin bakal mati Ia tidak tahu kenapa nyonya itu menjadi kalap mendadak. Karena itu ia mainkan mulutnya, guna memanggil burungnya. Justru itu perahu melintang, segera membentur wadas, nyaring suaranya. Sebagai akibatnya, kepala peranu bocor. Khiu Cian Jin kaget, ia menginsyafi bahaya, maka ia pun menjadi nekat, tetapi ia bukan menempur si nyonya kalap, ia hanya mengenjot tubuhnya, untuk berlompat ke darat. Ia tidak sampai di tepian, ia kecebur, tenggelam ke dalam air. Tapi ia sadar, ia mencoba memegangi batu wadas, dengan berpegangan terus, ia melapai ke pinggiran. Ia telah kena menenggak air, toh ia tiba juga di pinggiran di mana ia merayap naik ke darat, lalu dengan pakaian kuyup ia duduk beristirahat, matanya mengawasi ke perahu yang hanyut jauh, hingga nampak seperti satu titik hitam. Ia bergidik kalau ia ingat kalapnya Eng Kouw. "Binatang ke mana kau hendak lari?" Demikian si nyonya mendamprat melihat musuhnya berlompat ke air. Ia juga ingin berlompat atau sang air lekas sekali membikin perahu lantas terpisah jauh dari ketua Tiat Ciang Pang itu. Kwee Ceng menaruh belas kasihan, ia menjambak punggung si nyonya, untuk mencegah dia terjun, tetapi nyonya itu menyampok ke belakang. Maka "Plok!" Muka si anak muda kena dihajar, sampai ia merasakan pipinya panas dan sakit, hingga ia berdiri menjublak. Oey Yong pun heran, tetapi burungnya sudah datang. maka ia memanggil. "Engko Ceng, mari! Jangan layani perempuan gila itu! Mari kita pergi!" Kwee Ceng menoleh kepada si nona, kemudian ia berpaling pula kepada Eng Kouw. Ketika itu air sudah merendam kaki mereka. Mendadak nyonya itu menekap mukanya dan menangis menggerung- gerung. "Anak. anak!" Dia sesambatan. "Lekas, lekas!" Oey Yong memanggil engko Cengnya. Tapi Kwee Ceng bersangsi. Pemuda ini ingat pesan It Teng Taysu untuk menjaga dan melindungi Eng Kouw. Maka ia teriaki kawannya itu. "Yong-jie lekas kau naik burung dan mendarat! Sebentar kau suruh dia terbang pula ke mari menyambut aku!" "Sudah tidak keburu!" Oey Yong kata, hatinya cemas. "Lekas kau pergi!" Kwee Ceng mendesak. "Kita tidak dapat menyia-nyiakan pesan It Teng Taysu!" Mendengar penyahutan si anak muda, Oey Yong turut bersangsi. Ia pun ingat pesan si pendeta dan ingat pertolongan orang kepadanya., Tengah ia berdiam, mendadak tubuhnya bergoyang keras dan kupingnya mendengar suara nyaring. Nyata perahu mereka telah membentur satu batu besar, hingga air segera menerobos masuk ke dalam perahu itu, badan perahu juga melesak ke dalam air. "Lekas lompat ke wadas!" Oey Yong berteriak. Kwee Ceng pun mengerti bahaya, ia mengangguk. Ia segera menghampirkan Eng Kouw untuk memegang padanya. Kali ini si nyonya berdiam bagaikan orang linglung, dipegangi Kwee Ceng, dia tidak meronta, cuma matanya bengong mengawasi permukaan air. "Mari!" Berseru Kwee Ceng, yang dengan tangan kanannya mengempit tubuh si nyonya dan berlompat. Oey Yong turut berlompat. Mereka berhasil menginjak batu wadas itu, yang besar, hanya pakaian mereka telah basah kecipratan air. Ketika mereka menoleh, mereka mendapatkan perahu mereka sudah karam di pinggir wadas itu. Oey Yong berdiri diam, melihat air, ia seperti kabur matanya. Itulah pengalaman sangat hebat untuknya, meskipun ia sebenarnya pandai berenang. Burung rajawali terbang berputaran di atasan mereka, burung itu tidak mau turun menghampirkan meski berulang-ulang Kwee Ceng memanggil. Terang binatang itu takut air. Kemudian Oey Yong memandang juga kelilingan. Ia melihat sebuah pohon yangliu di tepian sebelah kiri, terpisahnya dari mereka kira sepuluh tombak. Ia lantas dapat akal. "Engko Ceng, kau pegang tanganku," Ia kata. Kwee Ceng tidak tahu orang hendak berbuat apa, ia pegang tangan kiri si nona. Mendadak Oey Yong terjun ke air, terus dia selulup. Pemuda itu kaget, ia lekas-lekas membungkuk dengan tangannya diulur panjang-panjang, sedang kedua kakinya dicantel di batu wadas. Dengan tangan kanan ia terus memegangi tangan si nona. Oey Yong selulup untuk mengambil dadung layar, yang ia bawa kembali ke wadas. Ia menarik dadung hingga panjang duapuluh tombak lebih, ia mengutungi itu, kemudian ia memanggil burungnya, disuruh menclok di pundaknya kiri dan kanan. Kwee Ceng membantui memegangi burung itu, yang sudah besar dan berat tubuhnya, ia khawatir si nona tak kuat memundaki kedua binatang piaraannya itu. Oey Yong mengikat dadung ke kaki burung yang jantan, ia menunjuk ke pohon yangliu, untuk menitahkan burungnya terbang ke pohon itu. Burung itu mengerti, dia terbang ke pohon, setelah terbang memutari, ia terbang balik. "Eh, aku menyuruh kau melibat dadung ini pada pohon!" Kata Oey Yong. Burung itu tidak dapat dikasih mengerti, maka nona ini masgul. "Hayo coba!" Kata Oey Yong kemudian. Ia memberi contoh. Burung rajawali itu terbang pula, ia mesti terbang hingga delapan kali, baru dadung dapat dilibat di pohon. Baru sekarang si nona girang. Kwee Ceng pun girang, sebab ia mengerti maunya kawannya itu. Ujung yang lain dari dadung itu lantas diikat di wadas. "Nah, Yong-jie, kau mendarat lebih dulu!" Kata si pemuda selesai mengikat. "Tidak," Menyahut nona itu. "Aku akan menanti kau. Biar dia naik lebih dulu." Eng Kouw mengawasi muda-mudi itu, ia terus menutup mulutnya. Tapi sekarang ia sudah tenang, ia mengerti maksud orang, maka tanpa bilang apa, ia berpegangan pada dadung, untuk melapai naik, hingga di lain saat ia telah tiba di darat. "Di masa aku kecil, inilah permainanku yang menarik hati," Kata Oey Yong. "Kwee Toaya, aku hendak memberikan pertunjukan, harap kau mengasih hadiah biar banyak!" Setelah berkata begitu, si nona menyambar dadung, untuk berdiri di atas dadung itu, habis mana, dia berlari-lari menyeberang melintasi air deras itu, tiba di pohon, untuk turun ke tanah! Kwee Ceng belum pernah meyakinkan ilmu jalan di atas tambang, ia tidak berani mencoba-coba, khawatir terpeleset dan jatuh ke air, dari itu ia mencontoh Eng Kouw, ia berpegangan pada dadung itu dan melapai. Sambil bergelantungan, ia mengawasi ke darat. Lagi beberapa tombak ia akan tiba di pohon, mendadak ia mendengar seruannya Oey Yong. "Eh, kau hendak pergi ke mana?" Ia terkejut. Itulah seruan kaget. Seruan itu disebabkan Eng Kouw berjalan seorang diri, untuk meninggalkan mereka berdua. Kwee Ceng khawatir nyonya itu belum sadar betul, itulah berbahaya. Maka ia lekas-lekas melapai, belum sampai di cabang pohon, ia sudah lompat turun. "Lihat, dia pergi seorang diri!" Kata Oey Yong, tangannya menunjuk. Kwee Ceng mengawasi, hingga ia menampak Eng Kouw berlari-lari di tanah pegunungan, yang jalanannya banyak batunya dan sukar. Orang sudah pergi jauh, sulit untuk menyandaknya. "Dia pergi seorang diri, pikiran dia was-was, inilah berbahaya," Kata Kwee Ceng. "Mari kita susul." Ia berkhawatir, begitu juga Oey Yong. "Mari!" Menyahut si nona setuju. Hanya ketika ia mengangkat kaki, untuk berlompat, mendadak ia roboh sendirinya, jatuhnya duduk, kepalanya digoyang beberapa kali. Kwee Ceng mengerti nona itu lemas sebab barusan dia memakai terlalu banyak tenaga. "Kau duduk di sini," Ia kata. "Nanti aku yang menyusul sendiri. Aku akan segera kembali." Pemuda itu lari keras, tapi kapan ia tiba di tikungan tiga, ia bingung. Di situ Eng Kouw tak terlihat, setahu dia mengambil jalanan yang mana. Tempat itu sunyi, rumputnya tinggi, hari pun sudah mendekati magrib. Oleh karena mengkhawatirkan Oey Yong terpaksa ia lari balik. Kesudahannya, satu malam mereka berdiam di tepi kali itu dengan menahan lapar. Pagi-pagi mereka sudah berjalan mengikuti tepian di mana ada sebuah jalanan kecil. Mereka mau mencari kuda dan burung api mereka, guna bersama-sama mencari jalan besar. Sesudah jalan setengah harian, mereka dapat mencari sebuah rumah makan. Lantas mereka singgah. Mereka membeli tiga ekor ayam, yang seekor dimatangi, untuk dimakan berdua, yang dua ekor untuk sepasang rajawali. Dua ekor burung itu makan sambil menclok di atas pohon kayu besar. Burung yang jantan baru makan separuh ayam itu ketika dia bersuara nyaring dan panjang, lantas makanannya dilemparkan, terus dia terbang ke utara. Yang betina pun terbang tinggi, setelah dia juga mengasih dengar suaranya, dia menyusul ke utara itu. "Kelihatannya burung kita bergusar," Kata Kwee Ceng. "Mereka melihat apakah?" "Marilah kita lihat!" Kata Oey Yong, yang terus melemparkan sepotong perak. Dengan lantas, mereka lari ke jalan besar, di sana mereka melihat burung mereka terbang berputaran, lalu menukik ke bawah, lalu naik pula, akan seterusnya terbang berputaran lagi. "Mereka bertemu musuh!" Kata Kwee Ceng. "Mari!" Pemuda itu lantas lari, si nona mengikuti. Kira tiga lie, mereka menampak di depan mereka sekumpulan rumah seperti dusun yang ramai, di atas itu kedua burung mereka masih terbang berputaran, agaknya mereka kehilangan sasaran yang mereka cari. Bab 68. BERADU DIAM. Sampai di luar dusun, Oey Yong memanggil turun kedua burungnya, akan tetapi burung itu tetap berputaran, masih saja mereka mencari apa-apa. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Entah dengan siapa mereka bermusuhan hebat " Kata Kwee Ceng heran. Lewat lagi sekian lama barulah kedua burung itu turun. Lantas ternyata kaki kiri yang jantan berdarah, di situ ada bekas bacokan golok, syukur kakinya tidak tertebas kutung. Pantas dia agaknya mendongkol. Muda-mudi itu kaget. Sebelah kaki burung yang jantan mencengkeram suatu barang hitam, setelah diperiksa, itulah kulit kepala orang, yang masih ada rambutnya, yang masih ada darahnya. Sembari memeriksa kulit kepala orang itu, Kwee Ceng berpikir. "Burung ini dipelihara semenjak kecil, dia baik sekali," Kata ia. "Aku tahu mereka belum pernah melukai orang tanpa sebab. Kenapa sekarang mereka berkelahi sama orang?" "Mesti ada yang aneh," Kata Oey Yong. "Mari kita cari orang yang kepalanya kehilangan kulitnya itu " Maka mereka mampir di dusun itu, untuk bermalam. Tapi dusun besar, banyak rumah dan penduduknya. Mereka membuat penyelidikan sampai sore tanpa ada hasilnya. Besoknya pagi, mereka mendapatkan kedua burung mereka membawa pulang kuda mereka. Hiat-niauw tidak ada beserta. "Mari kita cari," Kata Oey Yong, yang mengajaki kembali. Ia sangat sayang burungnya itu. Tapi Kwee Ceng berkhawatir untuk Ang Cit Kong, yang terluka dan entah ada di mana, sedang harian Pee-gwee Tiong Ciu bakal lekas datang, mereka mesti menghadirkan pibu di Yan Ie Lauw di Kee-hin. Ia kata, perlu mereka lekas pergi ke timur. Oey Yong dapat dikasih mengerti, ia suka turut. Demikian dengan naik kuda merah, mereka berangkat. Mereka melarikan kuda mereka keras dan burung mereka mengiringi dari udara. Oey Yong senang sekali, di sepanjang jalan ia banyak omong dan tertawa, gemar ia bergurau. Ia jauh lebih gembira daripada yang sudah-sudah. Bahkan di waktu singgah, sampai jauh malam, ia masih tidak mau tidur, sedang kawannya, yang khawatir ia terlalu letih, menganjurkan ia beristirahat. Ada kalanya, sampai jauh malam, sambil bersila di atas pembaringan, ada saja yang ia omongi sama si anak muda. Pada suatu hari tibalah mereka di tempat perbatasan sebelah selatan antara dua propinsi Ciatkang dan Kang-souw, di sini mereka mengasih kuda mereka lari satu harian hingga singgah di sebuah penginapan. Oey Yong pinjam sebuah rantang rotan dari pelayan, hendak ia berbelanja di pasar. "Kau sudah letih, kita dahar sembarangan saja di sini," Kwee Ceng mencegah. "Aku hendak masak untukmu," Berkata si nona. "Apakah kau tidak sudi makan masakanku?" "Tentu aku suka hanya aku menghendaki kau lebih banyak beristirahat," Kata si anak muda. "Nanti, kalau kau sudah sehat betul, itu waktu masih ada tempo untuk kau masak untukku." "Sampai aku sudah sehat betul " Mengulangi si nona. "Itu waktu " Ia telah bertindak di ambang pintu, baru sebelah kakinya, atau ia berhenti. Kwee Ceng tidak tahu apa orang bilang, tetapi ia menurunkan naya dari lengan si nona. Ia kata; "Ya, sampai kita sudah dapat mencari suhu, baru kau masak, nanti kita dahar bersama-sama " Oey Yong berdiam sekian lama, lalu ia kembali ke dalam, untuk merebahkan diri di atas pembaringan. Ia terus berdiam, rupanya ia kepulasan Kemudian, datang saatnya bersantap. Pelayan telah menyajikan barang makanan mereka. Si pemuda membanguni si pemudi, untuk diajak berdahar. Nona itu bangun seraya berlompat turun. Ia tertawa. "Engko Ceng, kita tidak dahar ini," Ia kata. "Mai turut aku!" Pemuda itu menurut, ia mengikuti. Mereka pergi ke pasar. Oey Yong pergi ke sebuah rumah besar yang temboknya putih dan pintunya hitam. Dia mutar ke belakang. Di sini dia lompat naik ke tembok, untuk ke pekarangan dalam. Si pemuda tidak mengerti tetapi ia mengikuti terus. Oey Yong berjalan hingga ke ruang depan di mana ada api terang-terang, sebab tuan rumah tengah membikin pesta. "Semua minggir!" Berkata si nona sembari tertawa. Ia maju ke depan. Semua orang di medan pesta itu heran. Sama sekali ada tigapuluh orang lebih yang terbagi atas tiga meja. Mereka itu saling mengawasi. Mereka heran mendapat orang adalah satu nona muda dan cantik. Oey Yong menghampirkan satu tetamu yang gemuk, ia menjambak dan mengangkat tubuh orang, kakinya menggaet, maka robohlah si terokmok itu. "Apa kamu masih tidak mau menyingkir?" Ia tanya, sambil tertawa. Orang menjadi heran berbareng takut, mereka itu lantas jadi kacau. "Mana orang? Mana orang?" Tuan rumah berteriak teriak. Dia heran, kaget dan berkhawatir dan mendongkol juga. Segera terdengar suara berisik, di situ muncul dua guru silat beserta belasan pengikutnya. Mereka itu membawa golok dan toya. Oey Yong tidak takut, bahkan dia tertawa terus. Ketika ia menyambut kedua guru silat itu, sebentar saja ia dapat merobohkan mereka, terus ia menyerbu, merampas senjatanya belasan pengikut itu, hingga ruang pesta jadi sangat kacau. Tuan rumah jadi takut, dia hendak lari, tetapi dia dicekuk si nona, jenggotnya ditarik, lehernya diancam dengan golok. Dalam takutnya dia menekuk lutut, dengan suara gemetaran dan tidak lancar dia kata. "Lie-tay-ong oh, nona kau ingin uang, nanti aku sediakan, asal kau ampuni jiwaku " "Siapa menghendaki uangmu?" Kata Oey Yong tertawa. "Mari temani aku minum!" Tuan rumah itu ditarik jenggotnya, ia ketakutan, ia diam saja. "Mari duduk," Kata si nona, yang pun menarik tangan Kwee Ceng. Ia mengajaknya duduk di meja tuan rumah bersama tuan rumah itu. "Kamu juga duduk!" Ia kata pada orang banyak, yang berkumpul di pojokan, bingung dan khawatir. "Eh, kenapa kamu tidak mau duduk?" Ia lantas menancap golok di meja, golok itu berkilauan. Semua tetamu itu ketakutan, dengan saling desak, mereka berebut maju, hingga kursi pada terlanggar terbalik. "Kamu toh bukan bocah-bocah umur tiga tahun!" Si nona menegur. "Apa kamu tidak dapat duduk dengan rapi?" Semua tetamu itu takut, mereka lantas berlaku tenang. Oey Yong minum araknya dengan gembira. "Perlu apa kau membikin pesta?" Ia tanya tuan rumah. "Apakah kau kematian anggota keluargamu?" "Sebenarnya aku tambah anak," Kata tuan rumah. Sekarang is tak terlalu takut lagi. Hari ini adalah hari ulang tahun satu bulan anakku itu dan aku mengundang sahabat dan tetangga-tetanggaku " "Bagus!" Kata si nona tertawa. "Coba kau bawa keluar anakmu itu!" Tuan rumah kaget, mukanya pucat. Ia takut anaknya dibunuh. Dengan membelalak, ia mengawasi pisau yang masih nancap di meja. Tapi karena takut, ia terpaksa menyuruh orang membawa keluar anaknya itu. Oey Yong menggendong itu bayi, ia mengawasi muka orang. Ia pun memandang muka tuan rumah. "Tidak mirip-miripnya," Katanya. "Jangan-jangan ini bukan anakmu sendiri." Tuan rumah itu likat berbareng berkhawatir, kedua tangannya bergemetaran. Semua tetamu merasa lucu tetapi tidak ada yang berani tertawa. Oey Yong mengeluarkan sepotong uang emas berat kira lima tail, ia serahkan itu kepada si babu pengasuh berikut bayinya seraya berkata. "Ini tidak berarti, hitung saja sebagai tanda mata dari nenek luarnya." Semua orang merasa heran dan lucu. Dia orang luar dan menyebut dirinya nenek luar sedang dialah satu nona remaja. Tuan rumah nampaknya girang. "Mari! Aku beri kau selamat satu mangkok!" Kata Oey Yong. Dan ia mengambil satu mangkok besar, ia isikan arak, ia tolak itu ke depan tuan rumahnya. "Aku tidak kuat minum, maaf," Kata tuan rumah itu. Mendadak si nona mengasih lihat roman bengis, tangannya pun menyambar jenggot. "Kau minum atau tidak?" Dia tanya keras. Tuan rumah ketakutan, terpaksa ia menenggak arak itu. "Nah, ini baru bagus!" Kata si nona. "Mari, sekarang kita main teka-teki!" Semua orang takut, maka apa yang si nona inginkan, lantas kejadian. Tapi mereka bangsa saudagar atau hartawan, tidak ada yang pandai main teka-teki, si nona jadi sebal. "Sudahlah!" Katanya. Sementara itu tuan rumah roboh menggabruk. Dia tidak kuat minum tetapi mesti minum banyak arak Si nona tertawa, ia dahar, Kwee Ceng menemani padanya. Akhirnya terdengar tanda jam satu malam, si nona mengajak kawannya pulang, tuan rumah dan tetamunya dibiarkan dalam bingung "Bagus tidak, engko Ceng?" Oey Yong tanya setibanya di pondokan. "Ah, tidak karu-karuan kau membikin orang ketakutan," Kata si anak muda. "Sekarang ini aku mencari kesenangan untukku, aku tidak perduli orang lain ketakutan," Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kata si nona. Pemuda itu heran. Kata-kata itu mesti mengandung arti tetapi ia tidak sanggup menangkapnya. "Aku hendak pergi jalan-jalan, kau turut tidak?" Kemudian Oey Yong tanya. "Di waktu begini mau pergi ke mana lagi?" Tanya si pemuda heran. "Aku ketarik sama bayi tadi. Ingin aku memain dengannya, sesudah beberapa hari, baru aku akan membayarnya pulang " "Eh, mana dapat " Kata Kwee Ceng heran. Tapi si nona tertawa, dia pergi keluar, dia melompat tembok pekarangan. Kwee Ceng menyusul, ia menarik tangan orang. "Yong-jie, kau sudah main-main lama, apakah itu masih belum cukup?" Tanyanya. "Belum cukup," Si nona menyahuti. "Mari kau temani aku, kita main-main sampai puas benar. Lewat lagi beberapa hari bukankah kau bakal meninggalkan aku, kau akan pergi mengawini putri Gochin Baki? Tentu dia bakal tidak mengijinkan kau bertemu pula sama aku Kau tahu, waktunya aku berada bersama kau, lewat satu hari berarti kurang satu hari, maka itu satu hari tempo itu ingin aku bikin menjadi seperti dua hari, seperti tiga hari, ya seperti empat hari! Engko Ceng, hari kita sudah tidak banyak lagi, maka malam juga aku tidak mau tidur, aku mau terus pasang omong dengan kau! Mengertikah kau sekarang? Bukankah kau tidak bakal mencegah aku pula atau menasihati aku untuk beristirahat?" Kwee Ceng terbengong. Baru sekarang ia mengerti perubahan sikap nona ini - sikap yang luar biasa itu. Si nona jadi tak ingin berpisah darinya. Tempo yang pendek hendak dibikin panjang dengan pertemuan lama, tak siang tak malam Ia memegang erat tangan nona itu, ia merasa kasihan, ia mencinta. "Yong-jie, otakku memang tumpul," Katanya. "Sebegitu jauh aku tidak mengerti maksudmu. Aku aku " Ia berdiam tak dapat ia berkata terus. Ia tidak tahu mesti mengatakan apa. Oey Yong bersenyum. "Dulu hari ayah mengajarkan aku membaca banyak syair, yang mengenai kedukaan dan penasaran," katanya. "Aku kira itu disebabkan ayah berduka karena mengingat ibuku yang telah meninggal dunia itu, baru sekarang aku ketahui, hidup di dalam dunia ini, orang benar banyak lelakonnya, sebentar girang, sebentar bersusah hati " Malam itu bulan sisir, udara terang, hawa pun adem. Angin meniup halus. Kwee Ceng jadi berpikir. Ia tidak menyangka si nona mencintai ia demikian rupa. Sekarang ia mengerti akan kelakuan luar biasa nona itu selama beberapa hari yang paling belakangan ini. "Bagaimana kalau kita berpisah nanti?" Pikirnya. "Yong-jie cuma ditemani ayahnya, apa tidak kesepian ia berdiam seorang diri di Tho Hoa To? Dan bagaimana lagi nantinya, kalau ayahnya telah menutup mata? Tidakkah ia akan ditemani hanya hamba-hamba gagu? Mana dia bisa merasa senang-senang?" Mengingat begitu, hati pemuda ini menjadi kecil. Ia pegangi keras tangan si nona, ia menatap mukanya. "Yong-jie," Katanya. "Biar langit ambruk, akan aku menemani kau di Tho Hoa To!" Tubuh si nona bergemetar, ia mengangkat kepalanya. "Apa katamu?" Ia tanya. "Aku tidak memperdulikan lagi Jenghiz Khan atau Gochin Baki," Menyahut si anak muda. "Seumur hidupku, akan aku menemani kau saja!" "Ah " Kata si nona dan ia nyelundup ke dadanya si anak muda. Kwee Ceng merangkul. Sekarang ia merasa hatinya lega. "Bagaimana dengan ibumu?" Si nona tanya selang sesaat. "Aku akan pergi menyambutnya untuk diajak ke Tho hoa To," Sahut si anak muda. "Apakah kau tidak takut pada Jebe, gurumu dan Tuli serta sekalian saudaranya, semua pangeran itu?" "Mereka semua baik terhadapku tetapi aku tidak dapat memecah dua hatiku " "Bagaimana dengan keenam gurumu dari Kanglam serta Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya lagi?" "Pasti mereka bakal gusar tetapi perlahan-lahan saja aku akan minta maaf mereka. Yong-jie, kau tidak mau berpisah dari aku, aku juga tidak mau berpisah dari kau." "Aku ada punya akal," Berkata si nona tiba-tiba. "Kita bersembunyi di Tho Hoa To, untuk selamanya kita jangan berlalu dari situ. Ayah pandai mengatur hingga pulau itu tertutup untuk orang lain, taruh kata mereka dapat mendatangi tetapi tidak nanti mereka dapat mencari kau " Kwee Ceng menganggap akal itu tidak sempurna, ia hendak mengutarakan pikirannya itu atau mendadak ia memasang kupingnya. Ia mendengar tindakan kaki di tempat belasan tombak, tindakan dari dua orang yang biasa berjalan malam, datangnya dari selatan, tujuannya utara. Ia pun dapat mendengar perkataan satu di antaranya. "Loo Boan Tong telah kena terjebak Pheng Toako, kita jangan takuti dia lagi! Mari lekas!" Juga Oey Yong mendengar sama seperti si anak muda. Kedua mereka tidak berniat memikir apa juga, ingin mereka menyenangi hati, tetapi disebutnya nama Loo Boan Tong membuatnya mereka itu berdua berjingkrak berbareng, dengan serentak mereka lari untuk menyusul dua orang itu. Orang-orang yang belum dikenal itu berlari-lari tanpa mengetahui yang mereka lagi dikuntit. Mereka lari terus hingga lima enam lie di belakang dusun itu. Tempo mereka membelok ke sebuah tikungan, dari sebelah depan lantas terdengar suara yang berisik sekali serta cacian. Dengan mempercepat larinya, Kwee Ceng dan Oey Yong lantas sampai di tempat tujuan. Dengan lantas mereka menjadi terkejut dan heran. Mereka telah melihat Ciu Pek Thong lagi duduk bersila di tanah, tubuhnya tak bergerak, entah dia masih hidup atau sudah mati. Dan di depannya, duduk bercokol juga, ada seorang pertapaan sebagaimana dia kenali dari jubahnya. Dialah Leng Tie Siangjin si pendeta bangsa Tibet. Disamping Ciu Pek Thong ada sebuah gua gunung yang mulutnya kecil, yang tiba muat tubuh satu orang dengan orang itu mesti masuk sambil membungkuk. Di luar gua ada enam orang, ialah mereka yang suaranya berisik itu, mereka berani membuka mulut tetapi takut masuk ke dalam gua, seperti juga di dalam situ ada suatu makhluk yang dapat mencelakai orang. Kwee Ceng khawatir Ciu Pek Thong telah menjadi korbannya si Pheng Toako, sebagaimana tadi ia mendengar perkataannya orang, karena itu hendak ia lantas maju mendekati. Oey Yong melihat sikap kawannya, ia mencegah sambil menarik tubuh orang. "Sabar," Kata si nona. "Mari kita memeriksa dulu dengan teliti." Kwee Ceng dapat dicegah maka berdua mereka mengumpatkan diri. Dengan begitu mereka jadi bisa melihat tegas rombongan orang itu, yang kebanyakan ada kenalan-kenalan lama, ialah Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong, Kwie-bu Liong Ong See Thong Thian, Cian-ciu Jin-touw Pheng Lian Houw dan Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay. Dua lagi ialah si orang tukang jalan malam yang tadi, mereka ini tidak dikenal. Oey Yong merasa semua orang itu bukan tandingannya dia serta Kwee Ceng. Dua orang baru itu juga tidak usah dikhawatirkan. Tapi ia masih melihat ke sekitarnya. Di situ tidak ada orang lain. Maka ia kisiki kawannya; "Dengan kepandaiannya Loo Boan Tong, beberapa orang ini pastilah tidak bisa berbuat sesuatu atas dirinya, maka itu, menurut sangkaanku, mesti di sini ada See Tok Auwyang Hong. Entah dia bersembunyi di mana " Si nona lantas hendak mencari tahu atau ia mendengar suara tak sedap dari Pheng Lian Houw. "Binatang, jikalau kau tetap tidak keluar, aku nanti ukup kau dengan asap!" Dari dalam gua, ke dalam mana ancaman Lian Houw diberikan, terdengar jawaban yang berat dan angker. "Kau mempunyai kepandaian bau apa, kau keluarkan saja!" Kwee Ceng terkejut. Ia mengenali suara gurunya yang nomor satu, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok si Kelelawar Terbangkan Langit. Sekarang ia tidak ingat lagi kepada Auwyang Hong, lantas ia berseru. "Suhu, muridmu datang!" Suaranya itu disusul sama lompatannya yang pesat, hingga ia muncul sambil berbareng mencekuk punggungnya Hauw Thong Hay, tubuh siapa lantas dilemparkan! Munculnya si anak muda membuatnya pihak Thong Hay menjadi kaget. Pheng Lian Houw berdua See Thong Thian lantas maju menerjang, sedang Nio Cu Ong pergi ke belakang orang, untuk membokong. Kwa Tin Ok di dalam gua pun turut bekerja. Ia rupanya melihat perbuatan si orang she Nio, ia lantas menyerang dengan sebatang tokleng atau lengkak beracun. Cu Ong terkejut, dia berkelit sambil tunduk, tidak urung kondenya kena tersambar hingga beberapa juir rambutnya putus. Ia kaget bukan main. Ia tahu senjatanya Tin Ok itu beracun, sebagaimana dulu hari hampir saja Pheng Lian Houw terbinasa karenanya. Maka ia berlompat ke samping seraya meraba kepalanya. Ia berlega hati ketika ia mendapat kenyataan kulitnya tidak terluka. Ia lantas mengeluarkan senjata rahasianya, paku Touw-kut-jiam, terus ia jalan mutar ke kiri gua, maksudnya untuk menyerang ke dalam gua secara diam-diam, guna membokong musuh yang ada di dalam itu. Ia baru menggeraki tangannya atau ia merasakan lengannya kaku, pakunya lantas saja jatuh dengan menerbitkan suara nyaring. Tengah ia bingung, ia mendengar suara tertawanya seorang nona yang terus berkata. "Lekas berlutut! Kau akan merasai tongkat lagi!" Nio Cu Ong berpaling. Ia melihat Oey Yong dengan tongkat di tangan, berdiri sambil tertawa haha-hihi. Ia kaget berbareng girang. Pikirnya. "Kiranya tongkat Ang Cit Kong jatuh di tangannya dia ini?" Dengan segera ia mengerjakan dua tangannya berbareng. Tangan kiri melayang ke pundak si nona, tangan kanan menyambar ke tongkat, yang ia hendak rampas. Dengan lincah, Oey Yong berkelit dari sambaran tangan kiri itu. Ia tidak menarik tongkatnya, ia sengaja memberinya ketika hingga ujung tongkat itu kena dipegang perampasnya. Cu Ong girang bukan main. Di lantas menarik dengan keras, di dalam hatinya dia kata; "Jikalau dia tidak melepaskan maka tubuhnya bakal ketarik bersama." Benar saja tongkat itu kena ketarik, tetapi cuma sedetik, cekalannya lolos sendirinya. Sebab selagi ia menarik dan si nona mengikuti, mendadak nona itu mendorong dengan kaget, hingga terlepaslah cekalannya. Tengah ia terkejut, tahu-tahu tongkat itu sudah berbalik, melayang ke kepalanya. Ia kaget melihat tongkat itu berkelebat. Dasar ia lihay, ia lantas menjatuhkan diri, berguling jauh satu tombak. Ketika ia sudah berdiri pula, ia menampak si nona berdiri diam mengawasi ia dengan bersenyum. "Kau tahu apa namanya jurus ini?" Si nona tanya, tertawa. "Kau telah kena aku kemplang satu kali, kau tahu kau telah berubah menjadi apa?" Dulu hari pernah Nio Cu Ong merasa lihaynya tongkat itu, dia dibuatnya Ang Cit Kong "mati dan hidup pula", maka juga meski sang tempo telah lama lewat, dia masih ingat itu dan merasa jeri, sekarang dia merasakannya pula, meski tidak hebat, toh hatinya terkesiap, dia menjadi jeri. Justru itu dia melihat See Thong Thian dan Pheng Lian Houw tengah terdesak hebat, mereka itu cuma dapat membela diri, dia lantas berseru dan memutar tubuh, untuk mengangkat kaki. See Thong Thian kena disikut Kwee Ceng, dia terhuyung tiga tindak. Meneruskan serangannya, tangan kiri si anak muda melayang kepada Pheng Lian Houw. Dia ini tidak berani menangkis, dia berkelit. Tapi dia kalah gesit, tangan kanan anak muda itu kena menyambar lengannya, yang terus dicekal keras. Dia bertubuh kate dan kecil, dengan gampang tubuhnya itu kena diangkat, hingga kedua kakinya seperti bergelantungan di udara Sambil mengangkat tubuh orang Kwee Ceng mengepal tangan kirinya, siap sedia meninju dada orang tawanannya itu. Lian Houw melihat itu, dalam takutnya dia berseru menanya. "Hari ini bulan kedelapan tanggal berapa?" "Apa kau bilang?" Tanya si anak muda tercengang. "Kau memegang kepercayaan atau tidak?" Lian Houw tanya. "Apakah kata-katanya satu laki-laki tak masuk hitungan?" "Apa kau bilang?" Sambil menegasi, Kwee Ceng masih mengangkat tubuh orang. "Bukankah janji kami ialah Pee-gwee Cap-gouw," Kata Lian Houw. "Bukankah janji pertandingan kita di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada tanggal limabelas bulan delapan itu? Dan tempat ini bukannya kota Kee-hin dan sekarang bukannya harian Tiong Ciu! Bagaimana dapat kau mencelakai aku?" Kwee Ceng pikir perkataan orang itu benar juga, ia hendak melepaskan atau mendadak ia ingat suatu apa. "Kamu bikin apa atas dirinya Toako Ciu Pek Thong?" Ia tanya. "Dia sekarang lagi bertaruh sama Leng Tie Siangjin," Menyahut Lian Houw. "Mereka bertaruh, siapa bergerak paling dulu, dialah yang kalah! Urusan dia tidak ada hubungannya sama aku!" Kwee Ceng mengawasi dua orang yang duduk di tanah itu, pikirnya. "Kiranya begitu?" Lantas ia menanya keras; "Toasuhu, adakah kau baik?" Itulah pertanyaan untuk Kwa Tin Ok, gurunya yang nomor satu. "Hm!" Jawab Hui Thian Pian-hok dari dalam gua. Sampai di situ, pemuda ini lantas melepaskan cekalannya sambil ia terus menolak dada orang. "Pergilah!" Ia mengusir. Pheng Lian Houw tidak roboh, karena ia terus berlompat. Ketika kedua kakinya telah menginjak tanah, ia berpaling ke arah kedua kawannya, See Thong Thian dan Nio Cu Ong, maka ia mendapatkan mereka itu sudah pergi jauh. "Celaka, manusia tidak ingat persahabatan!" Ia mencaci di dalam hatinya. Lantas ia memberi hormat kepada Kwee Ceng seraya membilang. "Nanti tujuh hari kemudian, kita mengadu kepandaian pula di Yan Ie Lauw untuk memastikan kalah menang!" Setelah beraksi begitu ia memutar tubuhnya, dengan menggunai ilmu enteng tubuhnya. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia lantas mengangkat kaki! Itu waktu Oey Yong telah menghampirkan Ciu Pek Thong dan Leng Tie Siangjin. Dua orang itu saling mengawasi dengan matanya masing-masing terbuka lebar, tidak ada yang mengedip atau menoleh. Ia lantas ingat perkataannya dua orang yang berjalan malam itu bahwa Pek Thong telah kena ditipu Lian Houw, sekarang ia membuktikan itu. Pasti, karena jeri kepada Pek Thong, jago tua itu telah dipancing kemurkaannya dia diadu dengan Leng Tie Siangjin, dengan cara adunya mereka main diam-diam. Dengan cara begitu juga, Pek Thong jadi dibikin tidak dapat berkutik, hingga mereka itu leluasa mengepung Kwa Tin Ok. Pek Thong gemar bergurau, ia pun polos, gampang saja dia kena diperdayakan, maka juga meski di sampingnya orang bertempur hebat dan mengacau, dia tidak mengambil mumat, dia terus mengadu diam dengan Leng Tie, si pendeta dari Tibet. Dia berduduk tegar, maksudnya yang utama ialah mengalahkan Leng Tie. "Loo Boan Tong, aku datang!" Kata Oey Yong. Pek Thong mendengar itu, tetapi dia takut kalah, dia berdiam saja. "Dengan bertaruh begini kamu menyia-nyiakan waktu," Kata si nona. "Lagi satu jam juga, belum tentu kamu ada yang menang atau kalah! Mana itu menarik hati? Begini saja! Aku yang menjadi wasitnya! Aku akan mengitik kamu, mengitiknya sama, lantas aku mau lihat, siapa yang tertawa paling dulu. Siapa yang tertawa, dialah yang kalah!" Sebenarnya Pek Thong sudah habis sabar, bahwa ia toh tetap berdiam saja, ia penasaran kalau ia sampai kalah, sekarang mendengar usulnya si nona, ia akur. Tapi ia tidak mau mengasih tanda akan kesetujuannya, sebab kalau ia menepi atau bergerak ia kalah. Oey Yong tidak menanti jawaban, ia mendekati mereka, ia memernahkan diri dari di antara merek itu, lalu ia mementang kedua tangannya, dengan berbareng ia menotok ke jalan darah siauw-yauw-hiat mereka itu, ialah urat tertawa. Ia tahu Pek Thong menang unggul dari Leng Tie, ia tidak berlaku curang. Kesudahannya totokannya itu membuatnya heran. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo