Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 60


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 60


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Pek Thong memang tetap bercokol, tetapi anehnya, Leng Tie pun berdiam saja, pendeta itu seperti tidak merasakan apa-apa dia seperti tidak menggubrisnya godaan itu.   "Heran pendeta ini,"   Pikir si nona.   "Nyata dia lihay ilmunya menutup jalan darahnya. Jikalau aku, tentulah aku sudah tertawa terpingkal-pingkal "   Ia penasaran, maka ia menotok pula, kali ini dengan terlebih keras.   Ciu Pek Thong mengumpul tenaga dalamnya, ia menentang totokannya Oey Yong.   Segera ia menjadi heran.   Ia mendapat kenyataan tenaganya si nona menjadi besar sekali.   Ia melawan terus, ia bertahan, tetapi ia kewalahan.   Diakhirnya, ia melepaskan perlawanannya, sambil berlompat bangun, ia tertawa berkakakkan.   Kemudian ia kata;   "Eh, eh pendeta, kau hebat! Baiklah, Loo Boan Tong menyerah kalah!!"   Oey Yong menjadi menyesal. Ia tidak menyangka Pek Thong begitu gampang saja mengaku kalah. Pikirnya.   "Kalau tahu begini, aku tidak mengganggu dia, aku hanya mengeraskan totokanku kepada si pendeta."   Maka ia lantas menghadapi Leng Tie dan berkata;   "Kau sudah menang, nonamu tidak menginginkan jiwamu! Lekas mabur!"   Leng Tie tidak menyahuti, dia duduk tetap. "He, siapa kesudian menontoni macam tololmu ini?"   Membentak si nona seraya tangannya menolak.   "Kau berpura-pura mampus?"   Oey Yong menolak dengan perlahan, tetapi tubuh si pendeta yang besar dan gemuk itu roboh terguling dengan tiba-tiba, robohnya dengan tangan dan kakinya tidak bergerak, seperti tadi dia bersila.   Si nona terkejut, juga Kwee Ceng dan Pek Thong.   "Apakah ini disebabkan ilmunya menutup jalan darah?"   Tanya Oey Yong.   "Apa ilmunya itu belum sempurna, maka ia gagal bertahan dan menjadi kaku terus-terusan dan mati sendirinya. Ia lantas menaruh tangannya di depan hidung pendeta itu, ia merasakan hawa tarikan napas yang biasa, ia menjadi heran mendongkol dan lucu. "Loo Boan Tong, kau terpedayakan, kau tidak tahu!"   Ia kata sambil tertawa pada Pek Thong.   "Sungguh manusia tolol!"   "Apa kau bilang?"   Tanya si orang tua, matanya dipentang lebar. Si nona tertawa. "Kau bebaskan dulu dia dari totokan jalan darah, baru kita bicara pula!"   Sahutnya.   Si tua jenaka itu melengak, tetapi ia membungkuk kepada Leng Tie Siangjin tubuh siapa ia lantas raba-raba, usap sana dan usap sini, ia juga menepuk-nepuk, dengan begitu ia menjadi mendapat kenyataan, si pendeta telah ditotok seluruh jalan darahnya.   Ia lantas berjingkrak dan berseru-seru;   "Tidak, tidak, inilah tidak masuk hitungan!"   "Tidak masuk hitungan apa?"   Oey Yong menegasi. "Dia ini dipermainkan konconya,"   Kata Loo Boan Tong.   "Sesudah dia duduk tadi, konconya totok dia hingga dia jadi duduk tegak tanpa bisa berkutik. Dengan begitu, meski kita bertaruh sampai lagi tiga hari dan tiga malam, dia pasti tidak bakal kalah!"   Ia berbalik pula pada si pendeta, yang rebah melengkung di tanah, ia kata;   "Mari, mari! Mari kita mulai mengadu pula!"   Sementara itu, hati Kwee Ceng menjadi lega.   Ia melihat orang tidak kurang suatu apa, bahkan sehat sekali.   Maka ia tidak sudi mendengari ocehan orang lebih lama.   Ia ingat kepada gurunya.   Dari itu ia lantas lari ke dalam gua.   Pek Thong sendiri lantas menolongi Leng Tie Siangjin, yang ditotok bebas, sembari menolongi, masih ia mengoceh tak hentinya.   "Mari, mari kita bertaruh pula!"   "Mana guruku?"   Oey Yong tanya dingin kepada orang tua berandalan itu.   "Kau buang ke mana guruku itu?"   Ditanya begitu, Pek Thong terkejut hingga dia berteriak, lantas dia lari ngiprit ke arah gua, hingga hampir saja dia saling tabrak sama Kwee Ceng, yang keluar dari dalam gua itu sambil mempepayang gurunya.   Tiba di luar anak muda ini berdiri menjublak.   Ia melihat Kwa Tin Ok, gurunya yang paling tua itu, melibat kepala dengan sabuk putih, bajunya baju putih juga.   "Suhu, apakah kau sedang berkabung?"   Akhirnya ia menanya heran.   "Jie-suhu dan yang lainnya mana?"   Tin Ok tidak menyahuti, hanya ia mengangkat kepalanya memandang langit.   Dengan lantas ia mengucurkan air mata.   Kwee Ceng heran dan kaget, sampai ia tidak berani lantas mengulangi pertanyaannya.   Ketika itu Pek Thong sudah muncul pula dari dalam gua, ia mempepayang satu orang yang tangannya yang kiri mencekal cupu-cupu arak, tangannya yang kanan memegang daging ayam sebelah potong, sedang mulutnya menggigit satu paha ayam juga.   Dialah Kiu Cie Sin Kay Ang Cit Kong.   Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali.   "Suhu!"   Mereka memanggil.   Justru itu Kwa Tin Ok, dengan romannya yang bengis, menghajar nona Oey dengan tongkat besinya.   Oey Yong sedang bergirang sekali, ia tidak menyangka yang ia bakal diserang.   Itulah satu jurus dari Hok Mo Thung-hoat yaitu ilmu tongkat Menakluki Iblis, yang Tin Ok sengaja menciptakannya di gurun pasir, untuk melawan Bwee Tiauw Hong.   Sebaliknya Kwee Ceng melihat itu.   Bukan main kagetnya murid ini.   Tidak ada tempo lagi untuk mencegah dengan mulut, terpaksa si anak muda mengulur tangan kirinya, guna menyampok tongkat itu, sedang dengan tangan kanannya, ia menyambar ujungnya, guna membikin tongkat itu tidak jatuh.   Dalam kesusu, ia menggunai tenaga besar.   Inilah hebat untuk Kwa Tin Ok.   Dia tersampok dan tertarik, dia tidak dapat mempertahankan dirinya, tongkatnya terlepas, tubuhnya terpelanting jatuh! Kembali Kwee Ceng menjadi kaget.   "Suhu!"   Ia berseru seraya menubruk, guna mengasih bangun gurunya itu. Mulutnya Kwa Tin Ok mengeluarkan darah, sebab dua buah giginya copot, sedang mukanya bengkak akibat jatuhnya itu. "Untuk kau!"   Katanya ketika ia mengambil kedua buah giginya itu dan menyerahkannya kepada muridnya. Tangannya berlepotan darah. Kwee Ceng menjatuhkan diri di depan gurunya itu. "Teecu salah, suhu,"   Ia kata.   "Silahkan suhu menghukumnya "   "Untukmu!"   Kata pula si guru, tangannya tetap dilonjorkan. "Suhu "   Murid itu kata pula sambil menangis. Ciu Pek Thong menyaksikan kejadian itu, yang ia anggap lucu, maka ia tertawa dan kata;   "Semenjak dulu adalah guru yang menghajar murid tetapi hari ini murid menghajar guru! Bagus-bagus!"   Ia tidak memperdulikan lagi bahwa ia justru membikin hati Tin Ok menjadi makin panas. Karena sang murid tidak mau menerima giginya itu, Tin Ok lantas menelan itu! "Bagus, bagus!"   Kembali Pek Thong berseru-seru dan bertepuk tangan. Oey Yong bingung. Ia tidak tahu kenapa Tin Ok hendak membinasakan padanya. Ia mendekati Cit Kong tangan siapa ia cekal. "Biar bagaimana juga teecu tidak berani melawan suhu,"   Kata Kwee Ceng mengangguk-angguk. "Barusan teecu kesalahan tangan, maka itu harap suhu menghukum padaku " "Suhu! Suhu!"   Membentak sang guru.   "Siapa gurumu? Kau mempunyai pemilik dari Tho Hoa To sebagai mertuamu, perlu apa lagi kau dengan gurumu? Kanglam Cit Koay cetek kepandaiannya, mana tepat dia menjadi gurunya Kwee Toaya?"   Kwee Ceng semakin menyesal, ia mengangguk- angguk pula. Hebat sekali kemurkaan guru itu hingga Oey Yok Su disebut-sebut sebagai mertuanya dan ia pun disindir "toaya"   Atau "tuan besar". Ang Cit Kong tidak dapat mengawasi saja. "Kwa Tayhiap,"   Ia berkata.   "Di antara guru dan murid, keterlepasan tangan adalah hal yang umum, oleh karena itu, aku harap kau maafkan muridmu ini. Barusan anak Ceng menggunai jurus dari ilmu silat ajaranku si pengemis tua, akulah yang bersalah, di sini aku hatur maaf kepadamu."   Pengemis itu benar-benar menjura kepada jago Kanglam itu. Mendengar Cit Kong berkata demikian, Pek Thong pikir ia pun baik berbicara. Maka ia kata kepada Hoe Thian Pian-hok.   "Kwa Tayhiap di antara guru dan murid keterlepasan tangan adalah yang umum sekali, karena sambaran saudara Kwee barusan kepada tongkatmu adalah sambaran ajaranku, di sini aku si Loo Boan Tong matur maaf padamu."   Dan ia pun menjura dalam. Dalam murkanya itu, Tin Ok menganggap orang mengejek ia, ia bukan saja mendongkol pada si tua yang doyan bergurau ini, ia juga menganggapnya Ang Cit Kong mau main gila terhadapnya, maka itu dengan sengit ia kata;   "Kamu Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay, kamu semua sangat mengandalkan kepandaian kamu, kamu menganggap kamu dapat malang melintang di kolong langit ini, akan tetapi di mataku, perbuatan kamu semua banyak yang tak pantas, maka akhirnya nanti mesti buruk adanya!"   Pek Thong heran. "Eh, apakah salahnya Lam Tee hingga kau membawa-bawa dia?"   Ia tanya. Oey Yong melihat suasana buruk sekali, kalau ia diam saja, si tua bangka berandalan ini bisa mengacau hebat, karena dalam murkanya itu, Tin Ok mesti dibikin sabar dan bukannya dikocok, maka itu ia lantas menyelak. Ia kata;   "Loo Boan Tong, burung wanyoh mau terbang berpasangan datang mencari kau, apakah kau tidak mau lekas-lekas pergi melihat dia?"   Pek Thong kaget hingga ia lompat berjingkrak. "Apa?"   Ia menanya. "Dia ingin bersama kau di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi mandi baju merah "   Kata pula si nona. Pek Thong menjadi terlebih kaget lagi. "Di mana? Di mana?"   Ia tanya berulang-ulang. "Di sana!"   Sahut Oey Yong, tangannya menunjuk ke arah selatan.   "Di sana! Lekas kau pergi cari dia!"   "Untuk selama-lamanya aku tidak akan menemui dia pula!"   Berseru Pek Thong.   "Nona yang baik, apa juga kau boleh menitahkannya kepadaku asal kau jangan membilangi dia bahwa aku berada di sini !"   Belum berhenti suaranya, dia sudah lari ke utara. "Kau ingat perkataanmu ini ialah janjimu!"   Kata Oey Yong. "Kalau Loo Boan Tong sudah mengatakan, dia tidak nanti menyesal!"   Kata Pek Thong dari jauh, lalu dia lenyap dari pandangan matanya si nona.   Maksudnya Oey Yong ialah memperdayakan si tua jenaka itu pergi mencari Eng Kouw, siapa tahu, Pek Thong takut bertemu sama nyonya itu, dia bahkan kabur.   Tapi biar bagaimana, orang toh telah menyingkir, maka lega juga hatinya nona ini.   Kwee Ceng masih berlutut di depan gurunya, ia masih minta diberi hukuman.   Sambil menangis ia berkata pula.   "Buat guna teecu, suhu bertujuh telah pergi jauh ke gurun di utara, tempat yang bersengsara, maka itu biarpun tubuh teecu hancur lebur, sukar untuk teecu membalas budi suhu semua. Tanganku ini bersalah, baiklah teecu tidak menginginkannya pula!"   Dengan tangan kanannya, si anak muda mencabut pedangnya, dengan itu ia menebas tangannya yang kiri, tetapi Kwa Tin Ok menangkis dengan tongkatnya, hingga kedua senjata bentrok keras, lelatu apinya muncrat, tangan si guru dirasakan sakit.   Itulah bukti yang muridnya itu benar-benar mau mengutungi tangannya itu.   Maka lantas ia berkata.   "Baiklah! Sekarang aku ingin kau melakukan sesuatu!"   "Titahkan saja, suhu, tidak nanti teecu membantah,"   Kwee Ceng bilang. "Jika kau menampik, lain kali jangan kau bertemu pula padaku!"   Kata si guru.   "Biarlah perhubungan kita putus bagaikan ditebas!" "Teecu akan melakukan itu dengan sungguh-sungguh,"   Kata Kwee Ceng.   "Kalau tidak sampai mati baru teecu berhenti."   Tin Ok membanting tongkatnya ke tanah. "Kau kutungi kepalanya Oey Lao Shia serta kepala gadisnya!"   Ia bilang keras. Bukan main kagetnya Kwee Ceng. Itulah titah sangat hebat, yang ia tidak sangka. "Suhu!"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Serunya.   "Suhu !"   "Bagaimana?"   Tanya si suhu bengis. "Entah kenapa Oey Lao Shia bersalah kepada suhu?"   "Hm! Hm!"   Mengejek si guru.   "Aku mengharap Thian memberikan ketika sejenak saja untuk aku bisa melihat, asal aku bisa melihat mukamu binatang cilik yang bong in pwee gie!"   Dia mengangkat pula tongkatnya, niat menyerang.   Bukan main sedihnya Kwee Ceng, yang dikatakan bong it pwee gie - tidak mengenal budi.   Ia melihat tongkat mengancam.   Ia tidak berkisar, tidak berkelit.   Oey Yong terkejut, apa pula ketika ia mendapatkan si pemuda berdiam saja.   "Menolong dulu, itulah perlu!"   Pikirnya.   Maka ia menggeraki tongkatnya, dengan jurusnya "Anjing jahat menghadang jalanan".   Tongkatnya Tin Ok tidak mengenai sasarannya.   Bukan main mendongkolnya ketua Kanglam Cit Koay ini.   Tangkisan si nona membuatnya terhuyung, meski ia tidak jatuh.   Dua kali is menumbuk dadanya sendiri, lantas dia lari ke arah utara.   "Suhu! Suhu!"   Kwee Ceng berteriak-teriak memanggil. "Apakah Kwee Toaya menghendaki jiwa tuaku?"   Guru itu tanya.   Kwee Ceng tercengang.   Ia tidak berani mencegah pula.   Ia menunduki kepala.   Maka itu ia cuma bisa mendengar suara tongkat besi mengenai tanah atau batu, makin lama makin jauh, makin jauh, makin samar, lalu lenyap.   Ia ingat budinya guru itu ia menjatuhkan diri di tanah dan menangis menggerung-gerung.   Sambil menuntun tangan Oey Yong, Cit Kong menghampirkan muridnya itu.   "Dua-dua Kwa Tayhiap dan Oey Lao Shia mempunyai tabiatnya sendiri-sendiri yang sangat luar biasa."   Ia berkata.   "Entah ada terjadi perselisihan hebat apa di antara mereka itu. Sekarang kau jangan bersusah hati, kau serahkan urusan padaku, nanti aku si pengemis tua yang membereskan, supaya mereka menjadi akur pula."   Kwee Ceng berhenti menangis, ia bangun. "Suhu, tahukah suhu apa sebabnya itu?"   Ia tanya. Cit Kong menggeleng kepala, tetapi ia berkata;   "Loo Boan Tong telah kena orang perdayakan. Dia bertaruh mengadu diam maka kejadianlah dia diam tak berkutik. Memangnya kawan manusia jahat itu hendak membikin celaka padaku, kebetulan gurumu itu sampai, dia melindungi aku, dia mengajaknya aku bersembunyi ke dalam gua itu. Dengan mengandal pada lengkak beracun gurumu itu, orang jahat tidak berani memasuki gua. Maka kita dapat bertahan sekian lama. Gurumu itu seorang mulia hati, melindungi aku dengan memberbahayakan dirinya sendiri."   Pengemis itu berhenti bicara, dia mencegluk araknya dua kali, akan menggerogoti paha ayamnya, yang ia terus telan, setelah mana, ia menyeka mulutnya.   Habis itu, baru ia berkata pula.   "Pertempuran barusan hebat sekali.   Celaka untukku, karena kepandaianku telah ludas, aku tidak dapat turun tangan untuk membantu.   Aku bertemu sama gurumu itu tetapi tidak sempat aku bicara dengannya.   Aku percaya kegusarannya barusan pasti bukan karena kau keterlepasan tangan.   Dia seorang berbudi dan jauh pandangannya, tidak nanti dia berlaku dengan cupat pikiran.   Lagi beberapa hari akan tiba waktu perjanjian Pee-gwee Cap-gouw, maka sesudahnya pertandingan di Yan Ie Law nanti aku menjadi orang pertengahan akan mengakuri mereka itu."   Kwee Ceng mengucap terima kasih. "Kepandaian kamu berdua maju sangat pesat anak-anak,"   Cit Kong berkata pula tertawa.   "Kwa Tayhiap ada seorang Rimba Persilatan yang kenamaan tetapi setelah kamu turun tangan, dia jatuh pamornya. Sebenarnya bagaimanakah halnya dengan kamu?"   Kwee Ceng berduka dan malu, ia tidak dapat bicara, maka Oey Yong yang menutur hal perjalanan mereka berdua semenjak mereka berpisah di istana kaisar.   Cit Kong memuji dengan seruannya mendengar Yo Kang membinasakan Auwyang Kongcu.   Ketika ia mendengan halnya Yo Kang menipu Lou Tiangloo sekalian, ia mencaci anak muda itu sebagai anak jadah.   Kemudian ia melongo mendengar halnya It Teng Taysu menolongi nona Oey sampai pada lelakonya Sin Soan Cu Eng Kouw yang penasaran dan mendendam hebat.   Diakhirnya ia bcrseru kaget mengetahui Eng Kouw muncul di Chee-liong-tha di mana nyonya itu menjadi seperti hilang ingatan.   "Suhu, apakah suhu kenal Eng Kouw?"   Oey Yong tanya. "Tidak, aku tidak kenal dia,"   Menyahut guru itu.   "Hanya di waktu Toan Hongya masuk menjadi pendeta, aku berada di sisinya.   Dia telah mengirim surat padaku di Utara, dia mengundang aku datang ke Selatan.   Aku lantas datang karena aku percaya tanpa urusan penting tidak nanti dia mengundang aku.   Aku datang karena sekalian aku ingin mencoba pula makanan Inlam yang lezat, bahkan aku berangkat dengan cepat.   Tempo aku bertemu sama Toan Hongya, dia lesu sekali, dia sangat beda sama waktunya pertemuan di Hoa San di mana dia gagah bagaikan naga dan harimau.   Aku heran sekali.   Besoknya dia mengajaki aku berunding tentang ilmu silat maksudnya untuk mewariskan padaku dua macam kepandaiannya.   Sian Thian Kan dan It Yang Cie.   Kembali aku menjadi heran.   Sian Thian Kang dari Toan Hongya bersama Hang liong Sip-pat Ciang dari aku, Kap Moa Kang dari Auwyang Hong dan Pek Khong Ciang dari Oey Lao Shia, sama tersohornya, sama tangguhnya, maka itu setelah dia pun memperoleh It Yang Cie dari Ong Tiong Yang, pasti sudah dia bakal jadi jago nomor satu di kolong langit ini dalam pertempuran yang kedua di Hoa San.   Tidak karu-karuan sekarang dia mau mewariskan dua rupa kepandaiannya itu padaku, untuk itu ia memakai alasan merundingkan ilmu silat.   Kenapa dia tidak mau mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang dari aku? Mesti ada sebabnya.   Hal itu aku telah memikirkannya.   Kemudian setelah diam-diam aku berbicara dengan empat muridnya, baru aku ketahui sebab aneh itu.   Kiranya, habis mewariskan kepandaiannya padaku, dia hendak membunuh diri "   "Suhu,"   Berkata Oey Yong.   "Toan Hongya itu khawatir, setelah dia mati, It Yang Cie tidak ada yang mewariskan dan itu artinya tidak ada orang yang dapat menguasai lagi Auwyang Hong."   "Benar, aku pun telah melihat hal itu. Karena itu juga, aku bilang aku tidak suka mempelajari dua rupa kepandaiannya itu. Setelah aku menampik, dia baru menutur maksud hatinya. Dia kata keempat muridnya, biarnya mereka jujur dan setia, tetapi sebab perhatian mereka itu ditumpleki pada urusan pemerintah, tidak nanti mereka memperoleh kemajuan. Dia kata pula, tidak apa aku tidak menyukai Sian Thian Kang tetapi It Yang Cie sangat perlu. Dia bilang, apabila It Yang Cie terbawa ke kubur olehnya tanpa ada yang mewariskan, dia malu bertemu Ong Tiong Yang Cinjin di dunia baka. Aku masih membandel tidak mau menerima warisannya itu. Aku pikir, dengan membandel artinya jiwanya dapat ditolong."   "Kejadian itu sungguh aneh,"   Kata Oey Yong. "Semenjak dulu adalah umum, seorang mau belajar dan minta diajari dan orang menolak mengajari, akan tetapi kali ini, orang tidak mau belajar tapi ia justru dibujuki, dipaksa!"   "Oleh karena aku tetap menolak,"   Cit Kong bercerita lebih jauh.   "Toan Hongya habis daya, lantas dia masuk menjadi pendeta, di harian dia dicukuri rambutnya, aku hadir dan mendampingi dia. Itulah kejadian belasan tahun yang lalu. Ah, bagus, bagus sekarang urusan bisa diselesaikan secara begini."   "Suhu,"   Kemudian Oey Yong berkata pula.   "Urusan kami sudah beres, sekarang tetang hal suhu sendiri."   "Urusanku sendiri!"   Kata si orang tua.   "Di istana aku telah makan segala macam masakan lezat "   Dan tak hentinya ia menyebut namanya pelbagai sayur sambil dengan lidahnya menjilati bibirnya.   "Kenapa Loo Boan Tong tidak berhasil mencari suhu?"   "Sebabnya ialah karena koki raja sering kehilangan banyak sayurnya, dapur istana jadi kacau! Semua orang bilang di dapur istana itu muncul dewa rase, lantas mereka memasang hio memuja aku.   Kemudian urusan terdengar oleh pimpinan siewi, dia mengirim delapan siewi untuk menjagai dapur, untuk menangkap dewa rase itu.   Aku jadi sulit, sedang Loo Boan Tong tidak datang-datang.   Terpaksa aku pergi bersembunyi di tempat yang sepi.   Tempat itu dipanggil ruang Gok Lek Hoa-tong.   Di sana ada ditanam banyak pohon bwee.   Itulah tempat raja menggadangi bunga bwee di musim dingin, maka itu di musim panas, di situ tidak ada satu setan jua kecuali beberapa orang kebiri tua tukang nyapu.   Senang aku tinggal di situ.   Di mana saja di dalam istana, orang bisa makan, seratus pengemis tinggal juga mereka tidak bakal kelaparan.   Baru belasan hari aku hidup senang lalu datang gegobrak, mulanya Loo Boan Tong yang main menangis seperti setan mengulun atau anjing membaung atau kucing mengeong, hingga istana jadi kacau, lalu beberapa orang berteriak-teriak.   'Ang Cit Kong Looya-cu! Ang Cit Kong Looyacu!' Aku mengingat, aku mengenali mereka ialah rombongannya Pheng Lian Houw, See Thong Thian dan Nio Cu Ong "   "Mau apa mereka itu mencari suhu?"   Tanya Oey Yong heran.   "Aku pun heran.   Hendak aku menyingkir dari mereka, tetapi Loo Boan Tong berhasil mempergoki aku.   Dia sangat girang, dia peluk aku, dia memuji-muji kepada Thian.   Kemudian dia menitahkan Nio Cu Ong semua berjalan di belakang "   Kembali Oey Yong heran.   "Kenapa Nio Cu Ong semua dapat diperintah Loo Boan Tong?"   "Ketika itu aku pun sangat heran.   Aku melihat mereka sangat takut kepada Loo Boan Tong, apa yang diperintahkan, mereka lantas kerjakan, tidak berani mereka membantah.   Demikian mereka diberi tugas mengiringi, Loo Boan Tong menggendong aku sampai di Gu-kee-cun, untuk mencari kamu berdua.   Di tengah jalan dia menjelaskan padaku bahwa dia bingung tidak dapat mencari aku, sedangnya begitu dia bertemu Nio Cu Ong semua.   Dia hajar mereka itu, dia suruh mereka membantui mencari di segala tempat.   Mereka mengatakan sia-sia belaka mereka mencari di istana sedang istana sangat luas dan lebar."   Oey Yong tertawa. "Loo Boan Tong lihay sekali, dia dapat membikin Nio Cu Ong semua tunduk. Kenapa kawanan iblis itu tidak melarikan diri saja?"   Cit Kong pun tertawa.   "Loo Boan Tong ada mempunyai akalnya sendiri.   Dia kata dia telah membuat obat pel yang dicampuri kotorannya, dia suruh mereka makan satu orang tiga butir, setelah itu dia membilangi, obatnya itu ada racunnya dan akan bekerja selewatnya empatpuluh sembilan hari, bahwa obat pemunahnya cuma ia sendiri yang dapat membikinnya.   Mereka itu jadi ketakutan, mungkin mereka sangsi, tetapi mereka menjadi mendengar kata.   Begitu mereka jadi dapat diperintah segala macam.   Kwee Ceng lagi berduka tetapi mendengar ceritanya sang guru, ia tertawa juga.   "Sampai di Gu-kee-cun, kamu tidak dapat dicari,"   Ang Cit Kong meneruskan keterangannya.   "Loo Boan Tong memaksa mereka itu mencari pula. Kemarin malam mereka pulang dengan lesu, mereka gagal, dari itu Loo Boan Tong mencaci mereka, yang terus diancam, apabila besok mereka gagal pula, mereka akan dikasih makan lagi obat kotorannya itu. Ia menyebut-nyebut air kencing. Mendengar itu, timbul kecurigaan mereka. Mereka percaya bahwa mereka lagi dipermainkan, bahwa sebenarnya mereka bukan dikasih makan racun. Lantas mereka memancing. Dalam gusarnya, Loo Boan Tong membuka rahasianya sendiri tanpa merasa. Aku menjadi berkhawatir. Mereka itu bangsa licik, aku pikir lebih baik mereka disingkirkan saja, supaya mereka tidak menjadi bahaya di belakang hari. Mereka itu benar lihay mereka merasa bahaya mengancam mereka, mereka mendahului turun tangan. Begitulah Pheng Lian Houw menggunai kecerdikannya, dia mau adu Loo Boan Tong dengan Leng Tie Siangjin. Tidak dapat aku mencegah lagi. Untuk menolong diri, aku pergi menyingkir. Kebetulan sekali di luar dusun aku bertemu Kwa Tayhiap. Dia melindungi aku menyingkir kemari, kemudian dia pergi kepada Loo Boan Tong, maka Loo Boan Tong pun datang ke mari, hanya di sini, setelah dikocok Lian Houw, dia mengadu kepandaian duduk diam sama si pendeta."   Oey Yong mendongkol berbareng merasa lucu. "Jikalau tidak terjadi perkara kebetulan, suhu, jiwamu bisa hilang di tangan Loo Boan Tong,"   Kata Ia. "Baiknya kebetulan sekali engko Ceng dan aku mendengar lewatnya dua kawan mereka itu."   "Jiwaku memang sudah tidak berharga, jiwa itu diantarkan di tangan siapa pun sama saja."   Kata sang guru. "Suhu, ketika itu hari kita pulang dari pulau Beng Hee To "   Kata si nona. "Bukan Beng Hee To hanya pulau menggencet setan!"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kata sang guru pula. "Baiklah, pulau menggencet setan,"   Kata sang murid.   "Sekarang ini benar-benar Auwyang Kongcu telah menjadi setan! Ketika itu hari di atas getek kita menolongi Auwyang Hong paman dan keponakan, aku mendengar si bisa bangkotan mengatakan bahwa di kolong langit ini cuma ada satu orang yang dapat menyembuhkan suhu, hanya dia sangat gagah dan lihay, dia tidak bisa dipaksa menolongi sedang suhu tidak sudi menolong diri dengan merugikan lain orang, suhu tidak mau minta pertolongan orang itu. Suhu juga tidak mau membilang nama orang. Sekarang kami tahu siapa orang itu, sebab dialah bukan lain daripada Toan Hongya dulu hari dan It Teng Taysu sekarang ini."   Ang Cit Kong menghela napas. "Jikalau dia menggunai It Yang Cie menyalurkan jalan darahku, memang dia dapat menyemhuhkan aku,"   Ia berkata.   "Hanya karena dia menolong aku, dia bakal menggunai tenaga dalamnya cara berlebihan, setelah itu banyaknya tujuh tahun atau sedikitnya lima tahun, tidak dapat dia memulihkan tenaga dalamnya itu. Mungkin hatinya tawar dan dia tidak menghiraukan lagi urusan pertemuan yang kedua di gunung Hoa San, tetapi dengan usianya sudah enam atau tujuhpuluh tahun, berapa lama lagi dia bisa hidup? Maka itu, mana aku si pengemis tua dapat membuka mulut untuk mohon pertolongannya itu?"   Mendengar itu, Kwee Ceng berjingkrak. "Suhu, mari aku yang mengobati kau!"   Ia berkata. "Aku telah mempelajari It Yang Cie! Apakah tidak baik sekarang juga digua ini aku menyalurkan semua jalan darahmu itu?"   Ang Cit Kong menggeleng kepala. "Tahukah kau kenapa It Teng Taysu mengajari It Yang Cie padamu?"   Ia tanya. Inilah Kwee Ceng tidak pernah pikir, maka itu mendengar pertanyaan gurunya ini, ia lantas mengerti, tanpa merasa ia mengeluarkan peluh dingin. "Ah, It Teng Taysu hendak mencari kematiannya!"   Ia berseru.   "Kalau begitu akulah yang membikin ia celaka!"   "Ketika dia mengobati Yong-jie, jikalau dia tidak melihat kau diam-diam mempelajari ilmunya itu, tempo Eng Kouw mencari dia, mustahil dia berani pasang tubuhnya untuk dibunuh nyonya itu?"   Kata pula guru ini.   "Untuk menolongi aku, untuk mengobati aku, tidak menjadi soal, tetapi bagaimana kalau dalam tempo lima atau tujuh tahun si bisa bangkotan datang untuk membikin celaka padamu? Bagaimana kau nanti melayani dia? Bolehkah kau menyia-nyiakan pengorbanan It Teng Taysu?"   "Jikalau suhu sudah sembuh, suhu dapat melayani si bisa bangkotan itu,"   Berkata sang murid. Cit Kong lagi-lagi menggeleng kepala. "Sukar untuk lukaku ini dapat disembuhkan dalam tempo yang cepat,"   Ia berkata.   "Sebaliknya hari pertandingan di Yan Ie Lauw di Kee-hin sudah sampai bulu alis. Maka itu tentang sakitku ini dan pengobatannya, baik kita bicarakan lain kali saja."   Oey Yong tertawa mendengar orang berebut omong, yang satu memaksa mau mengobati, yang lain menolak. Ia berkata;   "Sudahlah, jangan kamu berebut mulut! Untuk menyalurkan jalan darah dan meluruskan nadi, aku mengerti!"   "Apa katamu!"   Cit Kong menanya heran. Si nona bersenyum, ia menyahuti.   "Bahasa yang aneh yang engko Ceng ingat di dalam hatinya telah disalin jelaskan kepada kami, sekarang aku pikir-pikir, ilmu itu dapat dipakai menolong suhu."   Untuk menguatkan keterangannya, ia menjelaskan penjelasan penjelasan dari It Teng Taysu itu. "Bagus, bagus!"   Kata Cit Kong girang.   "Aku lihat kau memang dapat menolong, cuma untuk itu dibutuhkan tempo sedikitnya setengah sampai satu tahun."   Bab 69. HEBAT. "Suhu,"   Kata Oey Yong kemudian.   "Di dalam pertemuan di Yan Ie Lauw itu, pihak sana pasti bakal mengundang Auwyang Hong, benar Loo Boan Tong tidak bakal kalah tetapi dia berandalan, dia suka mengacau, aku khawatir nanti timbul keonaran, maka itu aku pikir perlu kita pergi ke Tho Hoa To untuk mengundang ayahku. Dengan begitu barulah kita akan merasa pasti akan kemenangan kita!"   "Kau benar,"   Berkata Cit Kong.   "Biar aku yang pergi dulu ke Kee-hin dan kamu berdua pergi ke Tho Hoa To."   "Baiklah kita pergi bersama dulu ke Kee-bin,"   Kata Kwee Ceng. Ia berkhawatir untuk gurunya itu. "Tidak usah, biar aku pergi sendiri,"   Kata guru itu. "Aku akan menunggang kudamu. Umpama kata ada orang jahat, aku dapat mengaburkannya. Siapa dapat menyusul aku?"   Ia lantas lompat naik ke punggung kuda, di mana ia menenggak araknya.   Ketika ia menjepit kedua kakinya, kuda itu berpekik menghadapi Kwee Ceng, terus dia kabur ke arah utara.   Pemuda itu mengawasi gurunya sampai guru itu lenyap dari pandangan matanya, lantas dia mengingat sikap Kwa Tin Ok, gurunya yang ke satu itu dari pihak Kanglam Cit Koay, ia menjadi sangat berduka.   Oey Yong tahu orang bersusah hati, ia tidak membujuki, hanya ia terus menyewa perahu, untuk mengajak orang menaikinya, guna berangkat ke Tho Hoa To.   Di dalam perjalanan ini, mereka tidak mengalami sesuatu, maka mereka tiba dengan tidak kurang suatu apa di pulau yang dituju.   Setelah mendarat dan membayar sewaan perahu, hingga si tukang perahu lantas pergi, baru ia kata kepada kawannya;   "Engko Ceng aku hendak memohon sesuatu kepadamu, kau suka meluluskan atau tidak?"   "Kau sebutkan dulu, aku mendengarnya,"   Menyahut si anak muda.   "Jangan nanti soal yang aku tidak dapat melakukannya."   Oey Yong tertawa. "Aku bukannya minta kau memotong kepalanya ke enam gurumu itu!"   Katanya. Pemuda itu tidak puas. "Perlu apa kau menimbulkan urusan itu, Yong-jie!"   Ia tanya. "Kenapa aku tidak menimbulkannya?"   Si nona balik menanya.   "Mungkin kau dapat melupakan itu, aku tidak! Biarnya aku baik dengan kau tetapi aku tidak suka kepalaku dipotong olehmu "   Anak muda itu menarik napas panjang. "Sungguh aku tidak mengerti kenapa toasuhu demikian gusar "   Katanya. "Toasuhu ketahui baik sekali kaulah orang yang aku cintai. Biar aku mesti mati seribu atau selaksa kali, tidak nanti aku sudi melukai kau biar bagaimana kecil juga."   Oey Yong bersyukur. Ia menarik tangan si anak muda, ia menyenderkan tubuhnya ke tubuhnya. "Engko Ceng, apakah kau anggap Tho Hoa To ini bagus?"   Ia tanya. Ia menunjuk ke barisan pohon yangliu di tepi air. Perlahan suaranya. "Mirip tempat dewa-dewi,"   Kwee Ceng menyabut. Si nona menarik napas. "Ingin aku tinggal hidup di sini, tidak sudi aku di bunuh kau "   Bilangnya.   Kwee Ceng mengusap-usap rambut nona itu.   "Anak tolol! Mana dapat aku membunuh kau "   "Bagaimana kalau kau didesak enam gurumu, ibumu dan sekalian sahabatmu? Kau turun tangan juga atau tidak?"   "Biar semua orang di seluruh jagat memusuhkan kau, aku tetap akan melindungimu!"   Berkata si anak muda. Oey Yong memegang keras tangan orang. "Untukku, kau suka mengorbankan segala apa bukan?"   Ia tanya. Kwee Ceng berdiam, agaknya ia bersangsi. Oey Yong mengangkat kepalanya, ia mengawasi mata orang. Sinar mata itu menunjuki roman kedukaan atau ragu. "Yong-jie,"   Kata si anak muda kemudian.   "Aku telah bilang padamu aku suka berdiam di Tho Hoa To untuk menemani kau seumur hidupku, ketika aku mengatakan itu, aku telah mengambil keputusanku."   "Bagus!"   Si nona berseru.   "Mulai hari ini, kau tidak akan meninggalkan pulau ini!" Kwee Ceng heran. "Mulai hari ini?"   Dia tanya. "Ya, mulai hari ini!"   Berkata si nona.   "Aku akan minta ayah pergi ke Yan Ie Lauw untuk membantu pihakmu, aku bersama ayah nanti pergi membunuh Wanyen Lieh guna membalaskan sakit hatimu, habis itu aku bersama ayahku nanti pergi ke Mongolia menyambut ibumu! Bahkan, akan aku minta ayah menemui keenam gurumu guna memohon maaf untukmu. Aku hendak membikin supaya hatimu lega dan tidak ada apa-apa lagi yang harus dipikirkan!"   Kwee Ceng heran. Aneh sekali sikapnya nona ini. "Yong-jie, apa yang aku bilang, semua itu kata-kataku,"   Ia bilang.   "Kau baiklah bertetap hati."   Si nona menghela napas. "Urusan di dalam dunia ini banyak yang sukar dibilang pasti,"   Ia berkata.   "Ketika dulu hari kau menerima baik perjodohan putri Mongolia itu, mana kau pernah ingat bahwa hari ini kau bakal menyangkal dia. Juga aku sendiri, aku pikir aku dapat melakukan segala apa sesukaku. Sekarang baru aku tahu Ah, apa yang kita pikir baik, Thian justru pikir sebaliknya."   Kedua matanya si nona menjadi merah, lekas-lekas ia tunduk.   Kwee Ceng pun berdiam, pikirnya bekerja.   Ingin ia menemani Oey Yong seumur hidup di pulau Tho Ho To ini, tetapi berat untuk meninggalkan semua urusan di dalam dunia, itulah tidak sempurna.   Hanya kenapa ia tidak dapat menyebutnya.   "Aku bukannya tidak percaya kau dan hendak memaksa kau berdiam di sini,"   Si nona berkata pula sesaat kemudian, perlahan.   "Hanya hanya Di dalam hatiku, aku sangat takut "   Ia lantas mendekam di pundak anak muda itu, ia menangis. Kwee Ceng bengong. Inilah ia tidak sangka. Ia juga heran. "Kau takut apa, Yong-jie?"   Ia tanya.   Si nona tidak menjawab, ia hanya menangis terus.   Kwee Ceng menjadi semakin heran.   Semenjak mengenal si nona, biar bagaimana hehat pengalaman mereka, belum pernah nona itu menangis, dia lebih banyak tertawa, tetapi sekarang, sepulangnya ke pulaunya ini? Inilah kampung halamannya.   Apakah yang dia buat takut? Bukankah dia justru bakal segera bertemu sama ayahnya? "Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan ayahmu?"   Ia tanya akhirnya. Oey Yong menggoyangi kepala. "Apakah kau takut, kalau aku meninggalkan Tho Hoa To, lantas aku tidak kembali?"   Oey Yong menggeleng kepala pula. Dan ini dilakukan terus meski si anak muda menanya pula ia hingga empat atau lima kali. Maka berdiamlah mereka sekian lama. "Engko Ceng,"   Kata si nona kemudian seraya mengangkat kepalanya mengawasi si anak muda.   "Aku takut tetapi tidak dapat aku mengatakan apa sebabnya Kalau aku ingat sikap dan romannya gurumu tempo ia hendak membinasakan aku, aku jadi bingung sekali.   Aku menjadi khawatir, akan ada satu harinya yang kau nanti mendengar perintah gurumu itu hingga kau membunuh aku Maka itu aku minta kau jangan meninggalkan lagi pulau ini.   Kau berjanjilah!"   Kwee Ceng tertawa. "Aku kira urusan besar bagaimana, tak tahunya urusan begini!"   Katanya.   "Ingatkah kau kejadian dulu hari di Pakhia ketika keenam guruku mengatai kau sebagai siluman? Ketika itu aku ikut kau pergi, lalu akhirnya tidak terjadi apa-apa. Memang roman keenam guruku itu bengis tetapi hati mereka baik, maka kalau nanti kau sudah mengenal baik mereka, mereka tentulah akan menyukaimu Jiesuhu lihay ilmunya merabai saku orang, nanti kau bola belajar padanya. Tentang Citsuhu, ia sangat halus dan sabar "   Tapi si nona memotong.   "Dengan begitu, artinya kau mau meninggalkan pulau ini?"   "Kita meninggalkannya bersama-sama,"   Berkata si anak muda.   "Kita sama-sama pergi ke Mongolia untuk menyambut ibuku. Kita bersama-sama membunuh Wanyen Lieh. Lalu bersama-sama juga kita pulang! Bukankah itu bagus?"   Si nona melongo. "Kalau begitu, tidak dapat untuk selamanya kita pulang bersama dan tidak dapat juga untuk selamanya berada bersama,"   Katanya selang sesaat. Kwee Ceng menjadi heran. "Kenapa begitu?"   Ia tanya. "Aku tidak tahu,"   Si nona menggeleng kepala. "Jikalau aku melihat romannya toasuhumu, aku dapat menerka sesuatu. Untuk dia, tidak cukup dia mengutungi saja kepalaku! Dia membenci aku sampai di dalam tulang-tulangnya!"   Kwee Ceng melihat orang bicara secara sungguh-sungguh, nona itu jadi sangat berduka. Ia jadi memikir. Tanpa merasa, ia pun berkhawatir. Ia ingat pula sikap gurunya yang kesatu yang sangat bengis itu. "Dia biasa pandai berpikir,"   Katanya di dalam hati.   "Kalau sekarang aku tidak turuti dia dan kemudian kekhawatirannya berbukti bagaimana nanti jadinya?"   Ia jadi sangat berduka. Tapi ia pun dapat mengambil putusannya. Maka ia kata.   "Baiklah, aku tidak akan berlalu dari sini!"   Mendengar itu, Oey Yong bengong mengawasi pemuda itu, air matanya meleleh dari kedua belah pipinya. "Yong-jie, kau menghendaki apa lagi?"   Tanya si pemuda perlahan. "Aku menghendaki apa lagi?"   Menyahut si nona. "Apa juga aku tidak menghendaki pula."   Lantas sepasang alisnya yang bagus bergerak, lantas dia tertawa. Ia kata pula.   "Kalau aku menghendaki apa-apa lagi, Thian juga tidak bakal meluluskannya!" Saking gembiranya, lantas di situ dia menari-nari, tangan bajunya yang panjang berseliweran, gelang emasnya berkilauan. Kadang-kadang ia menyambar-nyambar pohon bunga dengan bunganya berwarna merah, putih kuning dan ungu, hingga dia mirip seekor kupu-kupu Tiba-tiba ia berlompat naik ke atas pohon, ke pohon yang lain, kembali lagi. Dalam kegembiraannya itu ia bersilat dengan Yan Siang Hui dan Lok Eng Ciang. Menyaksikan si nona, Kwee Ceng seperti ngelamun.   "Dulu ibu mendongeng kepadaku bahwa di laut Tang Hay ada sebuah gunung dewa, bahwa di atas gunung itu ada sejumlah dewinya. Mustahilkah di dunia ada gunung dewi yang terlebih indah daripada pulau Tho Hoa To ini? Mungkinlah benar ada dewi yang melebihkan cantiknya Yong-jie?"   Ia sadar ketika mendadak Oey Yong berseru seraya terus lompat turun, tangannya menggapai padanya seraya dia terns lari ke depan, nerobos di antara rimba.   Kwee Ceng menyusul.   Ia pun khawatir nanti kesasar.   Oey Yong lari berliku-liku sampai ia berbenti dengan mendadak.   "Apakah itu?"   Tanyanya seraya tangannya menunjuk ke depan di mana ada benda bertumpuk.   Kwee Ceng mendahului maju.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Itulah seekor kuda yang lagi rebah.   Bahkan ia lantas mengenali itulah kudanya Han Po Kie, samsuhu atau gurunya yang nomor tiga.   Ia mengulur tangannya memegang perut kuda itu.   Dingin rasanya.   Terang sudah kuda itu telah mati lama.   Berbareng heran, Kwee Ceng berduka.   Kuda ini pernah turut pergi ke gurun pasir dan dengannya Kwee Ceng kenal sejak ia masih kecil.   "Boleh dibilang inilah kuda luar biasa dan kuat, kenapa dia mati di sini?"   Si anak muda berpikir.   "Tentu sekali samsuhu sangat berduka "   Mengawasi lebih jauh, Kwee Ceng dapat memperhatikan, kuda itu bukan mati rebah melonjor hanya keempat kakinya tertekuk meringkuk.   Ia terkejut.   Ia lantas ingat kudanya Gochin Baki, yang terbinasa dihajar Oey Yok Su.   Kuda putri itu mati melingkar, mirip dengan kuda ini.   Maka dengan tangan kirinya ia mengangkat lehernya kuda itu dan dengan tangan kanannya meraba dua kaki depannya.   Untuk kagetnya, ia mendapatkan tulang-tulangnya kuda itu remuk.   Ia lantas meraba punggung kuda itu.   Tulang punggung itu juga patah! Ketika ia mengangkat tangannya, ia melihat tangannya itu berlepotan darah - darah yang sudah berubah menjadi hitam tetapi bau amisnya masih ada.   Mungkin sudah tiga empat hari matinya kuda itu.   Oleh karena penasaran, Kwee Ceng membalik tubuh binatang itu, untuk memeriksa.   Ia tidak mendapatkan luka di luar.   Saking heran, ia duduk dengan menjatuhkan diri di tanah, hatinya bekerja.   "Mungkinkah ini darahnya samsuhu? Habis dimana adanya guruku itu?"   Sekian lama Oey Yong berdiam di samping menyaksikan kelakuannya Kwee Ceng, ia pun heran, tetapi ia dapat menenangkan diri. Maka kemudian ia kata;   "Kau jangan bergelisah. Mari kita memeriksanya dengan perlahan-lahan "   Nona ini maju, ia mementang kedua tangannya membiak pohon-pohon bunga, sembari jalan ia memperhatikan tanah.   Kwee Ceng mengikuti, ia juga mengawasi ke tanah, maka terlihat olehnya titik-titik yang disebabkan berceceran darah.   Saking ketarik dan tegang hatinya, ia sampai melupai jalan yang sesat, ia mendahului si nona, dari jalan perlahan, ia menjadi membuka tindakan lebar.   Tidak heran kalau beberapa kali ia kesasar.   Oey Yong berlaku teliti, ia berjalan hingga di gombolan rumput, di pinggir batu karang.   Di situ tanda darah itu sebentar kedapatan sebentar lenyap.   Ia memeriksa dan melihat tapak serta bulu kuda.   Tanpa mengenal capai, mereka berjalan terus hingga beberapa lie, sampai di depan sekumpulan pohon bunga dan pepohonan lain di mana ada sebuah kuburan.   Melihat itu Oey Yong lari menghampirkan.   Ketika dia pertama kali datang ke Tho Hoa To, Kwee Ceng pernah melihat kuburan itu, yang ia masih mengenalinya.   Itulah kuburan dari ibunya si nona.   Hanya kali ini, kuburan itu tidak utuh seperti dulu hari itu.   Batu nisannya telah roboh.   Ia maju untuk mengangkat itu.   Ia membaca tulisan batu peringatan itu.   Ibunya Oey Yong ada orang she Phang.   Terang tulisan itu ada tulisan Oey Yok Su - tulisannya bagus dan tegak.   Oey Yong melihat pintu pekuburan telah terpentang lebar-lebar.   Ia merasa pasti bahwa di pulaunya ini sudah terjadi sesuatu.   Tadi pun ketika dari atas pohon ia melihat melingkarnya kuda, hatinya sudah bercekat.   Ia tidak lantas bertindak masuk.   Lebih dulu ia memasang mata ke sekitar kuburan.   Di kiri kuburan, rumput hijaunya bekas diinjak-injak.   Di muka pintu terlihat bekas-bekas senjata beradu.   Ia memasang kuping.   Ia tidak mendengar suara apa-apa.   Maka dengan membungkuk, ia masuk di pintu.   Kwee Ceng berkhawatir, ia mengikuti masuk.   Begitu berada di dalam, muda-mudi ini merasakan hati mereka tegang.   Lebih-lebih si pemuda.   Bukankah itu kuburan ibunya? Tembokan pada gugur atau gugus, bekas terhajar senjata tajam akibat suatu pertempuran dahsyat.   Oey Yong memungut suatu barang ketika ia mulai bertindak masuk.   Kwee Ceng mengenali itulah batang timbangan atau dacin, yang menjadi senjata gurunya keenam, Coan Kim boat.   Timbangan itu terbuat dari besi, ukurannya sebesar lengan, tetapi toh orang dapat mematahkannya menjadi dua.   Maka berdua mereka saling mengawasi, mulut mereka bungkam, mereka seperti tidak berani membuka mulut.   Mereka tahu, cuma ada beberapa gelintir orang yang tenaganya kuat istimewa dan untuk di Tho Hoa To, orang itu melainkan Oey Yok Su Kwee Ceng menyambut dari tangan Oey Yong potongan dacin itu, ia lantas mencari potongan yang lainnya, sembari mencari ia merasakan hatinya tertindih berat sckali.   Ia bersangsi, ingin ia mencari dapat, ingin ia tidak dapat mencarinya Lebih jauh ke dalam, tempat kuburan itu menjadi terlebih suram.   Kwee Ceng lantas membungkuk, tangannya meraba-raba ke tanah.   Mendadak tangannya itu membentur sesuatu yang keras, yang lantas ternyata adalah batu timbangan, batu mana dapat dipakai Kim Hoat sebagai senjata rahasia untuk menimpuk.   Hatinya berdebaran.   Ia masuki gandulan itu ke sakunya, ia maju lehih jauh.   Untuk terkesiapnya hatinya, Kwee Ceng kena meraba benda yang dingin tetapi lunak.   Ia meraba-raba.   Akhirnya ia kaget hingga ia berlompat bangun, ia kena pegang muka orang.   Justru ia lompat, justru duk ! Kepalanya membentur langit kuburan itu.   Tapi disaat seperti itu, ia melupakan nyeri.   Maka ia lantas mengeluarkan bahan apinya dan menyalakan itu.   Begitu dapat melihat, begitu ia menjerit, begitu ia roboh pingsan! Api di tangannya pemuda itu tidak padam, dengan cahanya api, Oey Yong bisa melihat tegas.   Coan Kim Hoat rebah terlentang sebagai mayat, kedua matanya terbuka besar.   Di dadanya nancap potongan yang lain dari dacinnya itu.   Maka sekarang duduknya hal telah menjadi terang.   Oey Yong kaget tetapi ia mencoba menentramkan diri.   Dari tangannya Kwee Ceng ia mengambil api, dengan itu ia mengasapi hidungnya si anak muda.   Itulah daya untuk menyadarkan orang pingsan.   Tidak lama, anak muda itu berbangkis dua kali, lantas ia mendusin.   Ia membuka matanya mengawasi si pemudi.   Kemudian ia bangun, untuk berdiri.   Tanpa membilang suatu apa, ia masuk lebih jauh.   Oey Yong mengikuti.   Di ruang dalam, yang merupakan liang kubur asli, segala apa kacau.   Meja sembahyang pecah ujungnya.   Pikulan besi dari Lam Hie Jin nancap di lantai.   Di pinggir kiri kamar itu, rebah melintang tubuh satu orang, ikat kepalanya robek, sepatunya copot.   Dengan melihat dari punggung saja sudah dapat dikenali dialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay.   Dengan tindakan perlahan, Kwee Ceng menghampirkan.   Ia membalik tubuhnya jiesuhu itu, gurunya yang nomor dua.   Ia melihat bibir yang bersenyum, tapi yang sudah dingin, seperti dinginnya seluruh tubuhnya.   Maka anehlah senyumannya Kanglam Cit Koay yang kedua ini.   "Jiesuhu, teecu Kwee Ceng datang!"   Kata si anak muda perlahan.   Setelah itu dengan berhati-hati, ia mengangkat tubuhnya guru itu, atau - tingtang! Ia mendengar suara barang jatuh saling susul.   Itulah jatuhnya dari sakunya banyak barang permata, seperti batu kumala, yang berserakan di lantai.   Oey Yong menjumput beberapa potong barang permata itu, untuk ditelitikan.   Segera ia melemparkannya pula, dengan dingin, ia berkata.   "Ini permata mulia yang dikumpul ayahku yang disengaja dipakai untuk menemani ibuku!"   Kwee Ceng terkejut.   Ia menoleh kepada kekasih itu.   Ia menjadi lebih kaget pula.   Di samping suara dingin dan tak sedap dari nona itu, ia melihat sinar mata yang mencorong tajam dan bengis, dari mata yang merah bagaikan darah.   "Apakah kau maksudkan guruku datang ke mari mencuri permata ini?"   Ia menanya perlahan. Mata si pemudi menatapsi pemuda akan tetapi dia ini tidak dapat mundur, dia bahkan mengawasi, hanya sekarang sinarnya berubah. Itulah sinar mata dari putus asa, dari kedukaan. "Guruku yang kedua seorang laki-laki sejati,"   Kata Kwee Ceng.   "Mana mungkin dia mencuri harta ayahmu? Lebih-lebih tak mungkin dia mencuri barang permata di dalam kuburan ibumu ini!"   Oey Yong mendengar nada orang, dari gusar menjadi berduka.   Memang juga pikiran Kwee Ceng berubah dengan perlahan-lahan.   Ia menyangka si nona menuduh gurunya itu, seorang ksatria, ia menjadi tidak senang, ia menjadi gusar.   Segera setelah itu, ia memikir kepada kenyataan.   Bukankah gurunya itu terkenal sebagai si tangan lihay, yang sangat pandai mencopet? Bukankah semua permata itu meluruk dari sakunya guru itu? Bukankah mereka justru berada di dalam liang kubur di mana harta itu disimpan? Tapi, benarkah gurunya datang ke situ untuk mencuri? Bukankah guru itu laki-laki sejati? Ia menyangsikan gurunya berbuat demikian busuk dan hina.   Maka ia menduga kepada sesuatu yang diluar dugaannya.   Dalam kesangsian itu, antara kegusaran dan kedukaan dan keragu-raguan ia mengepal keras tangannya hingga terdengar suara meretek.   Oey Yong masih mengawasi lalu ia berkata dengan perlahan.   "Ketika itu hari aku melihat air mukanya gurumu yang nomor satu, aku merasa aneh sekali, aku lantas seperti dapat firasat bahwa di antara kita berdua sulit ada akhir yang baik, yang membahagiakan. Jikalau kau hendak membunuh aku, sekarang kau boleh turun tangan. Ibuku ada di sini, maka kau tolong saja mengubur aku di sisinya. Setelah selesai kau mengubur aku, kau mesti lekas mengangkat kaki dari sini, supaya jangan sampai kau bertemu dengan ayahku "   Kwee Ceng tidak menyahuti, ia jalan mondar- mandir, tindakannya lebar dan cepat, napasnya pun memburu.   Oey Yong berdiam.   Ia mengawasi ke gambar lukisan dari ibunya.   Ia melihat sesuatu di situ, ia lantas menghampirkan.   Nyata itulah dua senjata rahasia yang nancap.   Ia menurunkan itu.   Kwee Ceng melihat senjata itu, ia mengenali tokleng, atau lengkak rahasia, dari Kwa Tin Ok.   Oey Yong terus berdiam, tangannya menyingkap toh-wie di belakang meja sembahyang.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Di situ ada pernahnya peti mati dari ibunya.   Ketika ia menghampirkan, mendadak ia menghela napas panjang.   Di belakang peti mati ibunya itu rebah dua mayat dari kakak beradik, atau engko dan adik.   Han Po Kie dan Han Siauw Eng.   Siauw Eng itu terang telah membunuh diri, sebab tangannya masih memegang gagang pedang.   Tubuh Po Kie sendiri menindih peti mati.   Hanya yang hebat, batok kepalanya telah meninggalkan liang bekas lima jari.   Kwee Ceng telah melihat kedua mayat itu.   Ia sekarang bisa berlaku tenang.   Ia memondong turun tubuh gurunya yang ketiga itu, seorang diri ia berkata.   "Aku melihat sendiri kematiannya Bwee Tiauw Hong.   Di kolong langit ini, orang yang pandai Kiu Im Pek-kut Jiauw, siapa lagi kecuali Oey Yok Su?"   Ia mengambil pedangnya Siauw Eng, terus ia bertindak keluar, ketika ia melewati Oey Yong, ia tidak berpaling lagi pada nona itu.   Nona Oey merasa hatinya dingin secara tiba-tiba.   ia terdiam.   Justru itu, ruang itu menjadi gelap, sebab apinya padam.   Ia kaget, hatinya berdebaran.   Itulah kuburan yang ia kenal baik, tetapi di situ sekarang rebah empat mayat dalam caranya yang berlainan, yang mengerikan, maka ia lantas lari keluar.   Satu kali ia terpeleset, hampir ia roboh.   Setibanya di luar baru ia ingat bahwa ia kesandung tubuhnya Coan Kim Hoat.   Sekarang ia melihat batu nisan yang roboh.   Ia hendak menutup pintu kuburan ketika ia ingat satu hal.   Ia lantas kata pada dirinya sendiri.   "Kalau ayah yang membunuh keempat anggota Kanglam Cit Koay ini, kenapa pintu ini tidak dikunci? Ayah sangat mencintai ibu, biarnya ia sangat kesusu, tidak nanti ia membiarkan pintu tinggal terpentang?"   Maka ia menjadi ragu-ragu. Ia menjadi ingat pula.   "Cara bagaimana ayah dapat membiarkan mayat keempat orang ini menemani ibu? Tidak mungkin! Mungkinkah ayah sendiri yang nampak sesuatu yang tidak dinyana?"   Lantas Oey Yong membetulkan batu nisan itu, ia mengunci pintunya, ialah dengan mendorong batu nisan ke kanan tiga kali dan ke kiri tiga kali juga, habis itu ia lari ke arah rumahnya.   Ia dapat menyusul Kwee Ceng meskipun si anak muda telah keluar lebih dulu beberapa puluh tindak.   Anak muda itu berputaran karena kesasar.   Kapan dia melihat si nona, dia lantas mengikuti.   Mereka berjalan tanpa membuka suara, mereka melintasi pengempang, sampai di rumah peranti bersemedi dari Oey Yok Su.   Hanya sekarang rumah itu roboh tidak karuan, di bagian depan terlihat tiang-tiang dan penglari yang patah.   Oey Yong kaget sampai ia menjerit-jerit.   "Ayah! Ayah!"   Dia lari ke dalam rumahnya.   Di situ kursi meja pada terbalik dan segala perabot tulis, buku semua berserakan di lantai.   Di situ tidak ada sekalipun bayangannya Oey Yok Su.   Nona ini berotak tajam, dia cerdas dan lekas berpikir, tetapi kali ini pikirannya kacau.   Ia memegang meja tulis ayahnya, tubuhnya bergoyang-goyang mau jatuh.   Sampai sekian lama, baru ia bisa menetapkan hati.   Ia lari ke samping, ke kamarnya budak-budaknya yang gagu, sia-sia belaka ia mencari, ia tidak dapat menemukan seorang budak juga.   Di dapur sunyi semua.   Rupanya, meski orang tidak mati, semua telah pergi entah ke mana.   Rupanya di pulau itu, kecuali mereka berdua, tidak ada orang lainnya lagi Dengan tindakan perlahan Oey Yong menuju ke kamar tulis, di sana Kwee Ceng berdiri menjublak, matanya mengawasi lempang ke depan.   "Engko Ceng, lekas kau menangis!"   Berkata si nona.   "Kau menangis dulu, baru kita bicara!"   Kwee Ceng tidak menyahuti, hanya dengan mata mendelik ia mengawasi nona itu. Ia sangat mencintai keenam gurunya, sekarang ia mendapat pukulan begini hebat, kedukaannya sampai di puncaknya hingga tak dapat ia menangis. Oey Yong kaget. "Engko Ceng!"   Katanya. Cuma sebegitu ia bisa bilang, lantas ia berdiam. Keduanya berdiri saling mengawasi. Akhirnya si anak muda ngoceh seorang diri "Tidak dapat aku membunuh Yong-jie, tidak dapat aku membunuh Yong-jie!"   Oey Yong lantas berkata.   "Gurumu telah mati, kau menangislah!"   "Tidak, aku tidak menangis!"   Kata Kwee Ceng seorang diri.   Kembali keduanya berdiam.   Sunyi kamar tulis itu.   Cuma di kejauhan terdengar samar-samar suara berdeburnya gelombang.   Oey Yong berpikir keras, ia mengingat segala apa, tetapi tetap ia berdiam.   "Aku mesti mengubur dulu guru-guruku "   Kemudian terdengar Kwee Ceng mengoceh pula. "Benar, semua guru mesti dikubur lebih dulu!"   Menimpali Oey Yong.   Bahkan ia mendahului berjalan kembali ke kuburan ibunya.   Tanpa bersuara, Kwee Ceng mengikuti, selagi si nona hendak mendorong batu nisan, mendadak ia lompat melewati, terus ia menendang batu nisan itu.   Ia menggunai tenaga besar tetapi batu besar dan berat, ia tidak dapat menggempur roboh, sebaliknya, kakinya yang berdarah, hanya ia tidak merasakan itu.   Bagaikan kalap, ia menyerang kalang kabutan dengan pedangnya.   menikam dan menebas, dan tangan kirinya juga menghajar, hingga batu gugur dan gugusannya terbang berhamburan.   Pedangnya tak tahan, pedang itu patah.   Ia menjadi panas, maka ia terus menyerang dengan tangannya.   Kali ini ia berhasil membikin batu patah, hingga terlihat sebatang besi.   Ia pegang besi itu, ia menggoyang-goyang keras.   Dengan satu suara nyaring, besi itu membuatnya pintu kuburan terbuka sendirinya.   Ia melengak, ia kata seorang diri;   "Kecuali Oey Yok Su, siapa dapat membikin pintu rahasia ini dan siapa dapat memancing semua guruku masuk ke dalam kuburan hantu ini?"   Lalu dia berdongak dan berseru nyaring, terus ia melemparkan pedang buntungnya, untuk lari masuk ke dalam kuburan itu! Oey Yong mengawasi pedang buntung dan batu nisan yang patah, yang terkena darahnya si anak muda, ia bengong, hatinya bekerja.   Ia melihat kebencian hebat dari Kwee Ceng itu.   Ia pikir;   "Jikalau dia melampiaskan hawa marahnya dengan merusak peti ibuku, lebih dulu aku akan membunuh diri dengan membenturkan kepalaku kepada peti "   Lantas ia hendak menyusul pemuda itu atau ia melihat Kwee Ceng berjalan keluar dengan memondong tubuhnya Coan Kim Hoat, setelah meletaki tubuh itu, dia masuk pula, akan mengambil mayat Cu Cong.   Perbuatan itu dilanjutkan kepada mayat Han Po Kie dan Han Siauw Eng.   Dengan mata mendelong, Oey Yong mengawasi si anak muda pada air muka siapa kentara sekali cintanya kepada guru-gurunya itu.   Hatinya menjadi dingin.   Ia kata di dalam hatinya itu.   "Nyatalah dia mencintai gurunya melebihkan cintanya kepadaku. Ah, mesti aku cari ayahku, mesti aku cari ayahku "   Kwee Ceng membawa mayat keempat gurunya ke dalam rimba, terpisah dari kuburan ibunya Oey Yong beberapa ratus tindak, di situ barulah ia menggali lobang.   Ia menggali dengan patahan pedang, hebat ia menggunai tenaganya.   Sekian lama ia bekerja, mendadak pedangnya itu bersuara keras - pedang itu patah pula! Justru itu ia merasakan dadanya sesak, hawa panas naik, ketika ia mementang mulutnya, ia memuntahkan darah hidup hingga dua kali, tetapi ia bekerja terus, dengan kedua tangannya ia membongkar tanah, yang ia saban-saban melemparkannya.   Melihat demikian, Oey Yong lari mengambil dua buah sekop peranti bujang gagunya, yang satu ia kasihkan pada si anak muda, yang lain ia pakai sendiri, untuk membantui menyingkirkan tanah.   Kwee Ceng merampas sekop di tangan si nona, ia patahkan itu kemudian dengan sekop yang satunya bekerja sendiri, ia menggali terus lobangnya.   Oey Yong tahu artinya perbuatan pemuda itu, merasakan hatinya sakit, tetapi ia tidak menangis, ia lantas duduk mengawasi saja.    Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini