Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemanah Rajawali 7


Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 7


Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong   Pada Mukhali ia tanya.   "Bagaimana pandanganmu terhadap tentara Kim itu?"   "Seribu serdau kita dapat lawan lima ribu serdadu mereka!"   Sahut Mukhali. Temuchin girang sekali dengan jawaban itu. "Pandanganmu sering cocok dengan pandanganku,"   Ia bilang.   "Katanya negeri Kim ada punya dua juta serdadu, kita hanya lima puluh laksa."   Ketika itu ia menoleh, ia tampak kudanya Tuli, tetapi Tuli sendiri tidak kelihatan orangnya. "Mana Tuli?!"   Ia tanya dengan gusar.   Tuli itu putra yang keempat, masih kecil, akan tetapi dalam hal mendidik anak atau melatih tentara, Temuchin pakai aturan keras, maka itu tak senang ia tidak melihat anaknya itu.   Semua orang menjadi cemas hatinya.   "Dia biasanya tidak berani bangun sampai siang, nanti aku tengok,"   Berkata Boroul, yang menjadi gurunya Tuli, yang khawatir pemimpin itu gusari putranya. Tapi baru ia hendak putar kudanya, di sana kelihatan dua bocah berlari-lari mendatangi sambil berpegangan tangan. Mereka ialah Tuli bersama Kwee Ceng. "Ayah!"   Panggil Tuli kapan ia tiba di depan ayahnya itu. "Kema kau pergi?!"   Tanya Temuchin. "Barusan aku membuat anda bersama saudar Kwee di tepi sungai,"   Sahut Tuli.   "Dan dia menghadiahkan ini padaku."   Membuat "anda"   Itu berarti mengangkat sudara. "Anda"   Itu kata-kata Mongol.   Sambil mengatakan demikian, Tuli ulapkan tangannya yang mencekal sepotong handuk merah yang tersulam bunga-bungaan indah, ialah handuk buatan Lie Peng untuk putranya.   Temuchin segera ingat halnya sendiri bersama Jamukha, tempo masih sangat muda mereka juga telah mengangkat saudara, hatinya menjadi tergerak, ia menajdi tenang.   "Kau sendiri, kau menghadiahkan apa padanya?"   Ia tanya denagn sabar. "Ini!"   Kwee Ceng mendahulukan menyahut seraya ia tunjuk lehernya. Temuchin lihat kalung emas yang biasa dipakai oleh putra itu. Ia tersenyum.   "Baik,"   Katanya.   "Selanjutnya kamu berdua mesti saling mencintai dan saling menyayangi serta saling membantu!"   Tuli bersama Kwee Ceng menyahuti menerima pesan itu. "Sekarang semua naik kuda!"   Temuchin lalu memerintah.   "Kwee Ceng, kau juga turut kami!"   Tuli dan Kwee Ceng girang sekali, sama-sama mereka naiki kuda mereka.   Orang mesti lagi menanti setangah jam barulah Wanyen Yung Chi dan saudaranya selesai dandan dan keluar dari kemahnya.   Wanyen Lieh lihat tentaranya Mongolia demikian rapi, ia lantas perintahkan tentaranya lekas siap.   Wanyen Yung Chi sebaliknya tunjuki tingkah polahnya satu putra raja, denagn ayal-ayalan ia minum araknya dan dahar kue, habis mana dengan perlahan-lahan juga ia naik ke atas kudanya.   Maka itu, lagi kira setengah jam barulah tentara Kim itu siap berangkat.   Pasukan perang itu menuju ke utara, sesudah jalan enam hari, barulah mereka dipapak oleh wakilnya Wang Khan, yang mengutus putranya, Sangum bersama Jamukha.   Kapan Temuchin dengar Jamukha ada bersama Sangum, ia lantas maju ke depan, akan temui saudara angkatnya itu, maka keduanya lantas berpelukan.   Hbais itu semua putra Temuchin menemui dan mengasih hormat kepada paman angkatnya itu.   Wanyen Lieh lihat Jamukha bertubuh jangkung kurus, kumis kuningnya jarang, akan tetapi sepasang matanya sangat tajam dan berpengaruh, menandakan ketangkasannya.   Dilain pihak, Sangum adalah berkulit putih, tubuhnya gemuk, tanda dari hidup senang dan dimanjakan, dia tidak mirip dengan seorang yang dibesarkan di gurun pasir.   Jalan lagi satu hari, rombongan ini sudah mendekati tempat kediaman Wang Khan.   Justru itu dua serdadunya Temuchin yang bertugas jalan dimuka sekali, lari balik dengan laporannya bahwa di sebelah depan ada menghalang tentaranya bangsa Naiman yang berjumlah tiga puluh ribu jiwa.   Wanyen Yung Chi terkejut.   "Hendak apakah mereka itu?"   Dia tanya, hatinya goncang. "Kelihatannya mereka hendak menyerang,"   Sahut di juru warta. "Jumlahnya mereka agaknya lebih banyak dari jumlah kita"   Kata Yung Chi tidak lancar. Temuchin tidak beri kesempatan untuk orang bicara lebih banyak.   "Pergilah kau tanya mereka!"   Ia perintahkan Mukhali. Dengan membawa sepuluh pengiring, Mukhali larikan kudanya ke depan. Karena hal ini, pasukan ini jadi tertunda keberangkatannya. Berselang tidak lama, Mukhali telah kembali dengan laporannya.   "Bangsa Naiman mendengar putra raja kerajaan Kim datang menganugrahkan Khan kami yang terbesar, mereka juga menghendaki anugerah itu. Mereka bilang, apabila mereka tidak diberi anugerah, mereka hendak tangkap dan tahan kedua putra raja Kim."   Wanyen Yung Chi menjadi kaget, wajahnya berubah, tetapi ia mencoba mengendalikan diri. Wanyen Lieh sebaliknya segera mengatur pasukan perangnya, untuk bersiap sedia. "Kakak,"   Berkata Mukhali kepada Temuchin.   "Bangsa Naiman itu sering merampas binatang piaraan kita, mereka sangat suka mengganggu, apakah hari ini kita mesti lepaskan saja pada mereka?"   Temuchin melihat sekitarnya, ia telah lantas dapat memikirkannya.   "Saudara,"   Katanya.   "Biarlah kedua putra raja Kim yang besar ini melihat sepak terjang kita!"   Ia pun lantas bersiul nyaring satu kali, disusul sama dua kali cambukan ke udara dari cambuknya, atas mana tentara Mongolia menyambut dengan seruan perang mereka berulangkali.   Dua saudara Wanyen tidak menyangka mendengar itu dan dan menyaksikan sikap orang, mereka terperanjat.   Segera terlihat debu mengepul di sebelah depan, dan musuh segera mulai tampak.   Tentara terdepan dari pihak Mongol sebaliknya telah mundur kepada barisan mereka.   "Adik,"   Wanyen Yung Chi teriaki saudaranya.   "Lekas suruh tentara kita maju! Ini orang-orang Mongol tidak ada gunanya!"   "Biarlah mereka yang bertempur lebih dulu,"   Wanyen Lieh membisiki kakaknya.   Mendengar itu barulah Yung Chi sadar dan manggut-manggut.   Tentara Mongol masih perdengarkan suara mereka yang nyaring tetapi mereka tidak bergeming.   "Taruh kata kamu berterika-teriak hingga langit bergerak bumi bergoyang, apakah dengan begitu dapat tentara musuh dibikin mundur?"   Berkata Yung Chi. Itu waktu Boroul berada di samping kiri, ia berkata kepada Tuli.   "Pangeran kecil, kau turut aku, jangan kau ketinggalan. Kau lihat bagaimana kami nanti menghajar musuh!" Tuli mengangguk. Bersama-sama Kwee Ceng, ia telad tentaranya ialah berkoak-koak dengan seruan peperangan. Dalam tempo yang cepat sekali, tentara musuh sudah datang dekat beberapa ratus tindak, walaupun demikian, tentara Mongol tetap tidak bergerak, mereka tetap berteriak-teriak saja. Wanyen Lieh menjadi heran.   "Lepas panah!"   Ia mengasih titah.   Ia khawatir tentara Naiman nanti keburu mendahulukan menyerbu kepada mareka.   Tentara Kim menurut titah, mereka lantas menghujani anak panah.   Jarak di antara kedua pihak masih cukup jauh, anak panahnya tentara Kim ini tidak sampai kepada musuh, semuanya jatuh di hadapan mereka itu.   Hanya sementara itu, karena orang datang semakin dekat, Wanyen Yung Chi dapat lihat wajah tentara Naiman itu sangat bengis, sambil mengertak gigi, mereka kepraki kuda mereka untuk menerjang.   Mau tidak mau, Yung berkhawatir pula.   Siwaktu itu, cambuknya Temuchin mengalun pula di tengah udara, suaranya nyaring.   Sekali ini serempak berhentilah seruan-seruan peperangan tentara Mongol itu, yang sebaliknya lalu membagi diri dalam dua sayap, masing-masing dipimpin Temuchin sendiri berdua dengan Jamukha, keduanya ini lantas lari ke tanah tinggi di samping mereka, guna menduduki tempat yang bagus, tentara mereka mengikuti untuk turut ambil kedudukan bagus itu.   Sesudah itu, dari tempat yang lebih tinggi, mereka lantas menyerang tentara Naiman.   Karena ini adalah penyerangan dari jauh, merka menggunai anak panah.   Kepala perang Naiman rupanya melihat kedudukannya tak selayaknya, ia memimpin untuk mencoba merampas kedudukan itu.   Tentara Mongol membuat tembok bentengan yang terdiri dari semacam permadani, benda tebal itu dipasang di depan mereka dengan diri mereka teraling, penyerangan panah dilanjuti.   Hampir semua panah mereka yang gagal.   Temuchin dari tempat yang tinggi menyaksikan penyerangan pihaknya itu, yang membuat musuh kacau, lantas ia berikan titahnya.   "Jelmi, pergi kau serbu bagian belakangnya!"   Jelmi menerima titah itu, dengan membawa goloknya yang besar, ia pergi dengan seribu serdadunya.   Ia ambil jalan memotong.   Jebe dengan tombak panjang di tangan, maju di paling muka.   Sebagai orang baru, ia ingin membuat jasa.   Ia mendekam di bebokong kudanya.   Dalam tempo yang pendek, barisan belakang Naiman menjadi kalu.   Kejadian ini membingungkan pasukan yang berada di sebelah depan.   Selagi kepala perang Naiman bersangsi, Jamukha bersama Sangum menyerang dari kiri dan kanan.   Atas ini, musuh lantas lari serabutan, untuk kembali ke jalan darimana tadi mereka datang.   Jelmi tidak merintangi musuh lari terus, ia biarkan mereka dihajar oleh kawan-kawannya, hanya sesudah musuh tinggal kira-kira dua ribu jiwa lebih, baru ia memegat.   Siasatnya ini memberi hasil.   Musuh menjadi kecil nyalinya, mereka turun dari kuda mereka dan menyerah.   Sebagi kesudahan pertempuran, musuh terbinasa dan luka seribu lebih, tertawan dua ribu lebih.   Di pihak Mongolia, kematian dan luka Cuma seratus lebih.   Temuchin titahkan loloskan seragam tentara Naiman itu, jumlah mereka dua ribu lebih dipecah empat yang sebagian diserahkan kepada dua saudara Wanyen, yang sebagian untuk Wang Khan, yang sebagian untuk Jamukha san yang sisanya untuk dirinya sendiri.   Untuk serdadu-serdadunya yang terbinasa, ia memberi keluarganya lima ekor kuda serta empat tawanan Naiman sebagai budak.   Baru sekarang Wanyen Yung Chi sadar atas caranya bangsa Mongol itu berperang, dengan gembira ia rundingkan itu.   Wanyen Lieh sebaliknya gentar hatinya.   Dengan jumlah yang lebih kecil, Temuchin dan Jamukha telah kalahkan musuhnya yang lebih besar jumlahnya.   "Dengan orang Mongol saling bunuh, maka kami bangsa Kim di Utara dapat merasai aman sentosa,"   Ia berpikir.   "Kalau Temuchin dan Jamukha bisa persatukan pelbagai suku bangsa Mongol itu, itu artinya negaraku tak aman lagi"   Oleh karena ini, ia menjadi berpikir keras. Itu waktu terlihat pula debu mengepul jauh di sebelah depan. Itulah tanda dari datangnya lagi satu pasukan perang. "Bagus!"   Berseru Wanyen Yung Chi.   "Hajar pula padanya!"   Akan tetapi juru warta Mongol datang dengan wartanya.   "Wang Khan sendiri datang dengan pasukan perangnya!"   Mendengar itu Temuchin bersama Jamukha dan Sangum lantas pergi menyambut.   Wang Khan tiba untuk lantas lompatb turun dari kudanya, terus ia tuntun Temuchin dan Jamukha di tangan kiri dan kanannya, untuk berjalan kaki menemui dua saudara Wanyen, di depan kuda dua saudara ini, ia menjalankan kehormatan.   Wanyen Lieh memasang mata kepada Wang Khan, yang tubuhnya gemuk, kumis dan jenggotnya telah putih bagaikan perak.   Dia mengenakan jubah hitam dari kulit binatang tiauw dengan pinggang dilibat ikat pinggang emas.   Nampaknya ia keren sekali.   Segera Wanyen Lieh turun dari kudanya, guna membalas menghormat.   Tidak demikian dengan Wanyen Yung Chi, yang Cuma rangkap kedua tangannya dari atas kuda.   "Hamba dengar bangsa Naiman hendak berbuat kurang ajar,"   Berkata Wang Khan.   "Oleh karena khawatir kedua pangeran kaget maka hamba datang bersama tentaraku ini. Syukur ketiga anak-anakku telah dapat membinasakan mereka!"   Lantas dengan hormat sekali, Wang Khan undung kedua utusan Kim itu datang ke tendanya.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Wanyen Lieh berpikir apabila ia dapatkan di dalam segala hal Wang Khan ada lebih unggul dari Temuchin.   Tidak heran kalau Khan ini menjagoi di Utara..   banyak suka lainnya yang takluk padanya, dan tentaranya kuat.   Ia menginsyafi ancaman bahaya dari pihak ini.   Setelah selesai upacara penganugerahan, malam itu Wang Khan jamu tetamunya.   Ia menyuguhkan nyanyian dan tari-tarian oleh budak-budak wanitanya.   Ramai sekali pesta itu.   Tengah berpesta, Wanyen Lieh berkata.   "Aku ingin menyaksikan orang-orang gagah perkasa bangsa Mongolia."   "Dua anak angkatku ini adalah orang-orang gagah perkasa bangsa Mongol,"   Berkata Wang Khan sambil tertawa seraya menunjuk ke arah Temuchin dan Jamukha.   Sangum tidak puas mendengar perkataan ayahnya itu, untuk mengendalikan diri, saban-saban ia cegluk arakanya dari cawannya yang besar.   Wanyen Lieh awas matanya, ia lihat ketidakpuasaan orang.   "Putramu terlebih gagah lagi,"   Ia puji putra Khan itu.   "Kenapa loo-enghiong tidak menyebut-nyebut dia?"   Sengaja pangeran Kim ini memanggil loo-enghiong, pendekar tua, kepada Khan itu. "Jikalau aku telah menutup mata nanti, sudah sewajarnya dialah yang nanti menggantikan aku memimpin suku kita,"   Berkata Wang Khan sambil tertawa.   "Dia mana dapat dibandingkan dengan kedua anak angkatku? Jamukha pandai dan cerdik, den Temuchin gagah tak tertandingkan. Dengan tangan kosong Temuchin bakal membangun negara. Orang gagah yang mana yang tidak bakal menjual jiwanya untuk Temuchin?"   "Apakah sebawahan loo-engjiong tak dapat melawan dia?"   Wanyen Lieh tanya.   Temuchin lirik putra raja Kim ini.   Kata-kata orang ada mengandung pancingan atau unsur merenggangkan.   Ia lantas berhati-hati sendirinya.   Wang Khan urut kumisnya, ia tidak menjawab.   Ia hanya menghirup araknya.   "Pernah bangsa Naiman rampas beberapa laksa binatang ternakku,"   Katanya kemudian.   "Syukur Temuchin kirim empat panglimanya untuk membantu aku, dengan begitu semua binatang itu dapat dirampas pulang. Anakku? Ah."   Mendengar itu, air mukanya Sangum berubah, ia letaki cangkir araknya dengan separuh dibanting. "Apakah kegunaanku?"   Temuchin lekas berkata.   "Istriku dirampas orang, untuk itu adalah ayah angkatku dan saudara angkatku yang membantu aku merampas pulang."   "Bagaimana dengan empat panglimamu yang kesohor gagah itu?"   Wanyen Lieh tanya.   "Mana mereka itu? Aku ingin melihatnya."   "Suruhlah mereka masuk kemari!"   Wang Khan berkata pula pada Temuchin.   Denga perlahan-lahan Temuchin tepuk-tepuk tangannya, segera setelah itu empat perwira masuk ke dalam tenda.   Wanyen Lieh mengawasi.   Yang pertama adalah satu orang yang romannya lemah lembut, yang kulitnya putih sekali.   Dialah Mukhali yang pandai mengatur tentara.   Yang kedua ada bertubuh kekar dan sepasang matanya tajam seperti burung elang, ialah sahabatnya Temuchin, yaitu Borchu.   Yang ketiga ada berpotongan kecil dan kate tetapi gesit gerakkannya, ia adalah Boroul.   Dan yang keempat ada seorang yang dengan seluruh lengannya bercacat bekas bacokan golok, yang mukanya merah bagai darah.   Dialah Chilaun yang dulu hari pernah tolongi Temuchin dari ancaman malapetaka.   Merekalah orang-orang peperangan yang berjasa membangun negara Mongolia yang Temuchin sendiri menyebutnya empat panglima gagah."   Wanyen Lieh puji mereka itu satu persatu, ia haturkan secawan arak pada masing-masingnya. Habis orang minum, ia berkata pula.   "Tadi di medan perang, ada satu panglima dengan seragam hitam, dia menerjang musuh bukan main gagahnya. Siapakah dia?"   "Dia adalah Jebe, pemimpin komponiku yang baru,"   Temuchin menjawab. "Coba suruh dia masuk kemari untuk minum satu cangkir,"   Wanyen Lieh minta. Temuchin meluluskan, ia beri titah untuk memanggil Jebe. Jebe sudah lantas muncul. Diberikan arak, ia menghanturkan terima kasih. Ketika ia hendak hirup araknya itu, tiba-tiba Sangum berseru.   "Kau cuma kepala komponi yang rendah pangkatnya, cara bagaimana kau beri minum dari cawan emasku?!"   Jebe kaget berbareng murka. Batal ia minum, ia lantas mengawasi Temuchin. Menurut kebiasaan bangsa Mongol, mencegah orang minum arak adalah satu penghinaan besar, apapula dilakukan di muka orang banyak. Maka itu Temuchin berpikir.   "Dengan memandang ayah angkat, biar aku kasih dia ampun."   "Mari cawan itu! Aku berdahaga, kasih aku yang minum!"   Ia ambil cawan itu dari tangannya punggawanya itu, ia lantas tenggak isinya. Dengan mata bengis Jebe awasi Sangum, terus ia bertindak keluar. "Kau kembali!"   Sangum memanggil dengan membentak.   Jebe tidak ambil peduli, ia bertindak terus seraya angkat kepalanya.   Sangum kecele, tetapi ia kata kepada Temuchin.   "Saudara Temuchin ada punya empat pendekar tetapi asal aku keluarkan satu makhluk, tentu empat-empatnya mereka dapat dimakan habis dengan sekali telan!"   Ia pun tertawa dingin. "Makhluk apakah itu?"   Wanyen Yung Chi bertanya. "Mari kita pergi keluar untuk melihatnya,"   Sangum mengajak. "Kita lagi gembira minum arak di sini, kau hendak mengacau apa lagi!"   Wang Khan menegur putranya. Wanyen Yung Chi hendak melihat keramaian, ia berkata.   "Minum arak saja pun kurang gembira, mari kita melihat yang lainnya!"   Ia pun lantas berbangkit dan bertindak keluar.   Terpaksa orang banyak turut keluar pula.   Di luar tenda, bangsa Mongol telah menumpuk beberapa ratus api unggun, mereka tengah berminum, kapan mereka tampak Khan mereka muncul, semuanya lantas bangkit berdiri.   Di terangnya api unggun, Temuchin lihat wajahnya Jebe merah.   Ia mengerti bawahannya itu penasaran dan gusar.   Ia tahu juga bagaimana mesti perlakukan orang polos demikian.   "Ambil arak!"   Ia menitah. Dia lantas dibawakan satu poci besar. Ia angkat poci itu, terus ia berkata dengan nyaring.   "Hari ini kita hajar bangsa Naiman hingga mereka dapatkan kekalahan besar, dengan begitu kamu semua telah bercape lelah!"   Tentara itu berteriak.   "Adalah Wang Khan, Temuchin Kha Khan dan Jamukha Khan yang memimpin kita menghajar mereka!"   "Hari ini aku telah lihat seseorang yang luar biasa beraninya yang sudah menyerbu ke belakang barisan musuh,"   Temuchin berkata pula.   "Beruntun tiga kali dia menyerbu bolak-balik! Siapakah dia?!"   "Itulah Siphu-thio Jebe!"   Sahut banyak serdadu. "Apa siphu-thio!"   Berkata Temuchin.   "Dia-lah pekhu-thio!"   Dengan begitu, dengan sendirinya, sejenak itu juga, Temuchin telah naiki pangkatnya Jebe menjadi pemimpin eskadron. Untuk sejenak, orang melengak, tetapi segera mereka mengerti, maka dengan kegirangan mereka berseru.   "Jebe gagah berani, dia pantas menjadi pekhu-thio!"   "Ambil kopiah perangku!"   Kata Temuchin kepada Jelmi. Jelmi menurut dan menyerahkan kopiah itu dengan kedua tangannya. Temuchin menyambuti, terus ia angkat kopiahnya itu tinggi-tinggi.   "Inilah kopiahku, yang aku pakai untuk membasmi musuh!"   Dia berkata dengan suara nyaring. "Sekarang hendak aku pakai ini sebagai gantinya cawan arak!"   Ia buka tutp poci arak, isinya ia tuang ke dalam kopiah besi itu.   Ia lantas menghirup satu ceglukan, habis itu, kopiah itu ia sadurkan kepada Jebe.   Pekhu-thio itu menjadi sangat bersyukur, sambil tekuk sebelah kakinya, ia ulurkan tangannya untuk menyambuti, terus ia mencegluk beberapa kali.   "Biarpun cawan emas yang paling berharga di kolong langit ini, tidaklah itu dapat melawan kopiah besi dari Kha Khan ini!"   Katanya perlahan.   Temuchin tersenyum.   Ia sambuti pulang kopiahnya itu, untuk dipakai di kepalanya.   Semua punggawa dan serdadu Mongol itu tahu Jebe telah menerima penghinaan, akan tetapi menyaksikan sikapnya pemimpin mereka itu, mereka lantas bertempik sorak.   "Sungguh satu manusia yang luar biasa!"   Pikir Wanyen Lieh.   "Kalau sekarang dia suruh Jebe mati, Jebe tentulah rela!"   Beda dari saudaranya, Wanyen Yung Chi justru pikirkan saja kata-katanya Sangum tentang empat pahlawannya Temuchin.   Ia suruh pengiringnya ambil kursi kulit harimau, di atas itu ia duduk bercokol.   "Kau ada punya makhluk apa yang demikian hebat, hingga ia dapat menelan keempat pahlawan?"   Dia tanya Sangum. Sangum tersenyum.   "Apakah emapt pahlawan saudara angkatnya Temuchin?"   Ia mengulangi.   "Mana dia empat pahlawan yang menggetarkan padang pasir itu?"   Mukhali berempat lantas menghampirinya dan memberi hormat sambil menjura.   Sangum berpaling, untuk bicara perlahan sekali dengan satu pengiringnya.   Pengiring itu menyahuti, terus ia mundurkan diri.   Tidak selang lama lantas orang mendengar suara mengaumnya seekor binatang liar, disusul mana munculnya binatang itu sendiri, yaitu dua ekor macam tutul yang besar, yang bulunya belang bertotolan, dua pasang matanya bersinar mencorot, jalannya ayal-ayalan tetapi sikapnya sangat bengis.   Wanyen Yung Chi kaget hingga ia raba goloknya, setelah mana kedua macam tutul itu sudah datang sekat api unggun, baru hatinya lega.   Binatang itu dikalungi dengan kalung kulit dan setiap ekornya dituntun dua orang yang tubuhnya besar, mereka itu masing-masing mencekal sebatang galah.   Sebab mereka itu adalah si pemelihara binatang buas itu.   Adalah umum orang Mongol memelihara macam tutul, yang dipakai untuk berburu.   Macam tutul baik tenaga maupun kegalakannya melebihi anjing pemburu.   Tapi binatang ini sangat kuat makannya, dari itu kalau bukannya pangeran atau bangsawan, orang tak dapat memeliharanya.   "Kakak,"   Kata Sangum kepada Temuchin.   "Empat pahlawanmu adalah orang-orang gagah, jikalau mereka dapat dengan tangan kosong membinasakan dua ekor macanku ini, barulah aku sangat takluk kepadamu!"   Mendengar ini, keempat pahlawan menjadi sangat dongkol. Mereka dalam hati kecilnya berkata.   "Sudah kau hinakan Jebe, sekarang kau hinakan kami juga. Adakah kami babi hutan atau serigala maka kami hendak diadu sama macan tutulmu?"   Juga Temuchin menjadi sangat tidak senang. Maka ia berkata.   "Aku menyayangi keempat pahlawanku sebagai jiwaku sendiri, cara bagaimana aku bisa biarkan mereka berkelahi sama macan tutul?"   Sangum tertawa terbahak.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Begitu?"   Ia mengejek. "Buat apakah mengepul menjadi orang gagah kalau dua ekor macanku saja takut dilawan?"   Diantara empat pahlawan itu, Chilaun yang paling keras tabiatnya. Ia lantas bertindak maju ke depan. "Khan yang maha besar,"   Katanya.   "Tidak apa orang tertawakan kami, tetapi kau, tak dapat kau hilang muka! Nanti aku lawan macan tutul itu!"   Wanyen Yung Chi menjadi sangat girang. Ia lantas loloskan sebuah cincinnya yang bermata berlian, ia lempari itu ke tanah.   "Asal kau menang, cincin itu menjadi kepunyaanmu!"   Katanya. Chilaun tidak pandang cincin itu, ia hanya bertindak lagi. Mukhali tarik kawannya itu. Dia berkata.   "Kita menggentarkan padang pasir, membunuh musuh, kita telah membunuh cukup banyak, tetapi macan tutul? bisakah binatang itu memimpin tentara? Bisakah binatang itu mengatur tentara bersembunyi dan mengurung musuh?"   Temuchin pun segera berkata.   "   Saudara Sangum, kau menang!"   Dan ia bertindak menjemputi cincin tadi, untuk diletaki di tangannya saudara angkat itu.   Sangum masuki cincin itu ke jari tangannya, ia tertawa besar dan lama.   Ia angkat jari tangannya itu, ia pertontonkan ke empat penjuru.   Tentaranya Wang Khan lantas saja bersorak-sorai.   Jamukha mengerutkan alis, ia tapinya diam saja.   Temuchin juga bersikap tenang dan agung.   Sampai di situ, empat pahlawannya itu mengundurkan diri.   Lenyap kegembiraannya Yung Chi karena gagal menyaksikan pertandingan antara manusia lawan binatang liar itu, tak sudi ia minum arak lebih jauh, ia lants pulang ke tendanya untuk tidur.   Besok paginya Tuli dan Kwee Ceng dengan bergandengan tangan pergi bermain, tanpa terasa mereka bertindak semakin jauh dari tenda mereka.   Tiba-tiba ada seekor kelinci putih lari lewat di samping mereka.   Tuli keluarkan panah kecilnya dan memanah.   Tepat kelinci itu terpanah perutnya.   Tapi tenaganya Tuli sangat terbatas, kelinci itu masih dapat lari terus dengan bawa anak panah yang nancap diperutnya itu.   Tuli bersama Kwee Ceng lantas mengejar dengan berteriak-teriak.   Kelinci itu lari serintasan, lantas ia roboh dengan sendirinya.   Girang Tuli berdua, mereka lompat maju untuk menubruk.   Justru itu dari samping mereka, yang merupakan rimba, muncul serombongan anak-anak, satu yang berumur kira-kira sepuluh tahun, dengan sangat sebat, telah mendahului menyambar binatang itu, dia cabut anak panahnya dan lalu ia buang ke tanah, kemudian setelah ia mengawasi Tuli berdua, dia lari bersama bangkai kelinci itu! Tuli lantas berteriak.   "Eh, kelinci itu akulah yang memanahnya! Kenapa kau bawa lari?!"   Bocah itu menoleh, dia tertawa.   "Siapa yang bilang, kau yang memanah?"   Tanyanya. "Panah ini toh kepunyaanku!"   Jawab Tuli. Bocah itu yang telah berhenti berlari berdiri sepasang alisnya, matanya pun melotot.   "Kelinci ini adalah piaraanku!"   Dia kata.   "Sudah bagus aku tidak minta ganti rugi!"   "Tidak tahu malu!"   Bentak Tuli.   "Terang ini adalah kelinci liar!"   Bocah itu galak, ia menghampiri Tuli dan mendorong pundak orang.   "Kau maki siapa?!"   Tegurnya.   "Kakekku ialah Wang Khan! Ayahku ialah Sangum! kau tahu tidak?! Taruh kata benar kelinci kaulah kau yang panahm kalau aku hendak ambil, habis bagaimana?!"   "Ayahku Temuchin!"   Kata Tuli dengan sama jumbawanya. "Fui!"   Bocah itu menghina.   "Ayahmu adalah hantu cilik yang nyalinya kecil, dia takuti kakekku, dia juga takuti ayahku!" Bocah itu adalah Tusaga, putra tunggal dari Sangum atau cucunya Wang Khan. Mulainya Sangum dapat satu putri, selang lama, barulah ia dapatkan putranya ini, lalu ia tidak punya anak lain lagi. Karena itu, putranya ini sangat disayangi dan dimanjakan, hingga Tusaga menjadi kepala besar. Temuchin telah berpisah lama dengan Wang Khan dan Sangum, karenanya, anak-anak mereka tidak kenal satu sama lain. Tuli gusar sekali yang ayahnya diperhina orang. "Siapa yang bilang?!"   Ia tanya dengan bengis.   "Ayahku tidak takuti siapa juga!"   "Ibumu telah orang rampas, adalah ayahku dan kakekku yang pergi menolongi merampas pulang!"   Sahut Tusaga.   "Apakah kau sangka aku tidak ketahui hal itu? Maka apa artinya kalau aku naru ambil ini kelinci kecil?"   Memang dahulu hari Wang Khan telah bantu anak angkatnya itu, Sangum ingat baik-baik peristiwa itu dan menceritakan kepada orang lain hingga Tusaga yang masih kecil mendapat tahu juga.   Sebaliknya Tuli tidak tahu suatu apa, sebab Temuchin anggap hal itu memalukan dan tidak pernah memberitahukan putranya, apapula putranya itu masih kecil.   Meski begitu, Tuli gusar sekali.   "Akan aku beritahu ayahku!"   Katanya. Ia putar tubuhnya untuk berlalu. Tusaga tertawa terbahak.   "Ayahmu takuti ayahku, kau mengadu juga bisa apa?"   Katanya.   "Tadi malam ayahku keluarkan dua macan tutulnya, empat pahlawan dari ayahmu lantas tak berni bergiming!"   Tuli bertambah gusar. Di antara empat pahlawan, Boroul adalah gurunya.   "Guruku tak takut harimau, apapula segala macan tutul!"   Serunya sengit.   "Hanya guruku tidak hendak melayani!"   Tiba-tiba Tusaga maju dan tangannya melayang ke kuping orang.   "Kau berani membantah?!"   Dia membentak.   "Kau tidak takuti aku?"   Tuli melengak.   Ia tidak sangka orang berani pukul padanya.   Kwee ceng panas hati semenjak tadi, sekarang ia tidak dapat mengatasi pula dirinya.   Dia maju dan seruduk perutnya Tusaga! Putranya Sangum juga tidak menyangka-nyangka, tidak ampun lagi dia roboh terjengkang.   Tuli tertawa seraya tepuk-tepuk tangan.   "Bagus!"   Dia bersorak.   Kemudian dengan tarik tangannya Kwee ceng, ia lari.   Kawan-kawannya Tusaga tidak tinggal diam dan mengejar, maka itu, mereka lantas jadi berkelahi bergumul, kepalan dan kaki digunakan semua.   Tusaga murka sekali, dia merayap bangun, dia pun turut menyerbu.   Pihaknya kebanyakan terlebih tua usianya, dan merekapun berjumlah lebih banyak orang, sebentar saja Kwee Ceng dan Tuli kena dipukul jatuh, lalu ditindihkan.   Tubuh Kwee Ceng diduduki Tusaga, sembari memukul bebokong orang, dia ini berkata.   "Kau menyerah, aku kasih ampun!"   Kwee Ceng berontak, sia-sia saja, ia tak dapat bergerak.   Tuli pun tak dapat bergeming, ditindih oleh dua lawan.   Dalam saat tegang dari bocah-bocah ini, dari kejauhan ada terdengar kelenengan unta, lalu ditepi sungai tertampak rombongan pedagang dari gurun pasir.   Salah satu diantaranya yang menunggang kuda putih, tertawa apabila ia lihat bocah-bocah itu sedang berkelahi.   "Bagus! Kamu lagi berkelahi!"   Katanya. Tapi kapan ia telah datang dekat dan lihat dua anak dikepung beramai, dua bocah itu telah babak-belur dan matang biru mukanya, ia kata nyaring.   "Tidak malukah kamu?! Lekas lepaskan mereka!"   "Minggir! Jangan banyak omong disini!"   Bentak Tusaga. Dia adalah putranya satu jago di Utara, dia termanjakan, siapapun tidak berani lawan padanya. Maka itu ia menjadi besar kepala. "Hai anak, kau galak sekali!"   Kata penunggang kuda itu.   "Lepas tanganmu!"   Ketika itu telah tiba beberapa yang lainnya, lalu satu nona berkata.   "Shako, jangan usilan, amri kita melanjutkan perjalanan."   "Kau lihat sendiri, kau lihat sendiri!"   Kata orang yang dipanggil shako itu shako kakak nomor tiga.   Rombongan kalifah itu terdiri antaranya dari Kanglam Cit Koay, itu tujuh Manusia Aneh dari Kanglam.   Mereka dengar Toan Thian Tek kabur ke utara, mereka menyusul hingga ke gurun pasir.   Untuk enam tahun lamanya mereka mondar-mandir, selama itu tidak pernah mereka dengar halnya si orang she Toan itu.   Mereka semua mengerti bahasa Mongol.   Han Siauw Eng adalah si nona, apabila ia telah melihat denagn tegas, ia lompat turun dari kudanya, ia tarik dua bocah yang mengerubuti Tuli, ia menyempar hingga orang berguling.   "Dua mengepung satu, tak malukah kamu?!"   Tegurnya. Tuli lompat bangun begitu lekas ia merasai tubuhnya enteng. Tusaga menyaksikan kejadian itu, ia heran. Justru ia melengek, Kwee Ceng berontak dan loloskan dirinya seraya lompat bangun juga, lalu bersama kawannya ia angkat kaki! "Kejar!"   Teriak Tusaga gusar.   "Kejar!"   Ia ajak kawan-kawannya mengubar. Kanglam Cit Koay pada tersenyum, Mereka ingat masa kecilnya mereka, yang pun bengal dan gemar berkelahi. "Hayolah jalan!"   Berkata Kwa Tin Ok.   "Kita jangan bikin pasar keburu bubar, nanti kita tak dapat menanyai orang!"   Itu waktu Tusaga beramai telah dapat candak Tuli berdua, mereka itu kembali kena dikurung. "Menyerah atau tidak?"Tusaga tanya. Tuli dengan mata bersinar hawa amarah, menggelengkan kepala. "Hajar lagi padanya!"   Tusaga memberi komando. Anak-anak itu pun lantas maju. Tiba-tiba sebuah benda berkelebat di tangannya Kwee Ceng.   "Siapa berani maju!"   Ia berseru.   Nyata ia mencekal sebatang pisau belati.   Lie Peng menyayangi putranya, senjata peninggalan suaminya itu ia serahkan kepada sang putra, untuk sang putra yang simpan.   Ia mengharap pisau belati itu, sebagai mustika dapat mengusir pengaruh-pengaruh jahat.   Menampak orang bersenjata, Tusaga semua tidak berani maju.   Biauw Ciu Si-seng Cu Cong, yang telah larikan kudanya, lihat sinar berkelebat berkilau itu, ia manjadi heran.   Banyak sudah ia mencuri barang-barang berharga kepunyaan pembesar rakus atau hartawan jahat, maka itu matanya tak pernah salah.   "Benda itu pasti mustika adanya,"   Ia berpikir.   "Perlu aku lihat, benda apakah itu"   Maka itu ia larikan kudanya ke arah anak-anak itu hingga ia menampak Kwee Ceng dengan belati di tangan, sikapnya gagah sekali.   ia menjadi heran.   Kenapa sebuah mustika berada di tangan satu bocah? Ia jadi awasi Kwee Ceng begitu pun semua bocah lainnya.   Semua mereka mengenakan kulit binatang yang mahal, kecuali Kwee Ceng yang dilehernya pun berkalung gelang emas yang indah.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Jadi mereka mestinya adalah anak-anak bangsawan Mongolia.   "Mestinya bocah ini telah curi senjata ayahnya,"   Si setan tangan ulung berpikir pula.   "Dia tentu curi itu untuk dibuat main. Bukannya tak halal kalau aku ambil barangnya orang bansawan"   Dengan timbul keinginannya akan punyai belati itu, Cu Cong lompat turun dari kudanya, dia dekati semua bocah itu sambil ia tertawa haha-hihi. "Jangan berkelahi, jangan berkelahi!"   Katanya. "Hayolah kamu baik-baik bermain!" Ia menyelip di antara bocah-bocah itu, atau sekejap saja belati di tangan Kwee Ceng telah pindah ke dalam cekalannya. Jangan kata baharu Kwee Ceng, satu anak kecil, walaupun kangzusi.com   orang kosen lainnya, pasti dapat senjatanya dirampasnya. Ia lompat pula untuk naik ke atas kudanya, sambil tertawa berkakakan, ia susul kawan-kawannya. "Tak jelek untungku hari ini, aku dapat mustika!"   Kata ia. "Jieko, tak dapat kau ubah tabiatmu yang suka mencopet itu!"   Kata Siauw Bie To Thio A Seng. "Mustika apakah itu? Mari kasih aku lihat,"   Minta Lauw-sie In Hiap Coan Kim Hoat.   Cu Cong ayun tangannya, melemparkan.   Bersinar berkilau belati itu diantara sinar matahari, bagaikan sinar bianglala, hingga semua Kanglam Cit Koay heran dan memuji.   Kim Hoat pun merasa memegang benda yang rasanya dingin.   "Bagus!"   Ia segera memuji, lalu tangannya menyambar ke batu di dekatnya, batu mana terus terbabat kutung. Kemudian ia lihat gagangnya pisau, ia jadi terperanjat. Ia dapatkan ukiran dua huruf "   Yo kang". "Eh, ini namanya orang Han!"   Katanya.   "Kenapa belati ini terjatuh ke dalam tangan orang Mongol? Yo Kang? Yo Kang? Tidak pernah aku dengar orang gagah dengan nama ini.Siapa tak gagah tak pantas ia mempunyai belati ini.."   Bab 9. Si Mayat Perunggu dan Si Mayat Besi Untuk sesaat, Kim Hoat berdiam. Kemudian dia bertanya pula pada kakaknya yang tertua.   "Toako, takukah kau siapa Yo Kang?"   "Yo Kang? Tak pernah aku dengar nama itu"   Jawab Tin Ok.   Yo Kang itu adalah nama yang Khu Cie Kee berikan untuk anak yang masih ada dalam kandungannya Pauw Sek Yok, istrinya Yo Tiat Sim.   Tiat Sim dan Siauw Thian telah saling mengasih tanda mata belati yang terukir nama Yo Kang dan Kwee Ceng, dari itu, tentu saja Kanglam Cit Koay tidak kenal nama Yo Kang itu.   Coan Kim Hoat sabar dan teliti, ia berpikir terus.   Lantas ia ingat akan sesuatu.   Ia berkata kemudian.   "Orang yang khu Totiang cari adalah istrinya Yo Tiat Sim.   Entah Yo Kang ini ada hubungannya sama Yo Tiat Sim atau tidak"   Enam tahun sudah tujuh saudara ini merantau di gurun apsir tanpa ada hasilnya, sekarang mereka dapati ada titik terang, mereka jadi bersemangat, mereka tak hendak melepaskannya dengan begitu saja. "Marilah kita tanya bocah itu!"   Siauw Eng mengusulkan.   Han Po Kie mempunyai kuda yang paling gesit, ia mendahului berlari kepada kawanan bocah itu yang telah kembali bergumul berkelahi.   Ia berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti berkelahi, tetapi ia tidak dipedulikan, maka ia turun dari kudanya, dan kemudian ia langsung tarik beberapa bocah dan balingkan mereka ke pinggiran.   Tusaga lihat orang kuat, ia tak berani berkelahi terus.   Tapi ia tuding Tuli dan menantang.   "Dua ekor anjing cilik, jikalau kau berani, besok kita bertempur pula disini!"   "Baik, besok kita bertempur pula disini!"   Tuli terima tantangan itu.   Ia sudah lantas memikir, kalau sebentar ia pulang, hendak ia meminta bantuan Ogatai, kakaknya yang nomor tiga, dengan siapa ia paling erat hubungannya, sedang kakaknya itupun kuat.   Ia percaya Ogagati akan suka membantu padanya.   Kwee ceng dengan muka berlumuran darah, mengulurkan tangannya pada Cu Cong.   "Mari kasih pulang!"   Katanya. Dengan berani ia minta belatinya kembali. "Gampang untuk pulangi padamu!"   Kata Cu Cong sambil tertawa, seraya tangannya mencekal belati orang. Tapi kau mesti omong dulu biar terang, darimana kau peroleh belati ini?"   Dengan tangan bajunya Kwee ceng susuti darah yang masih mengalir dari hidungnya.   "Ibuku yang berikan padaku,"   Sahutnya. "Apakah she ayahmu?"   Cu Cong tanya pula. Bocah itu melengak. Ia tak punya ayah, tak dapat ia menjawab. Kemudian ia menggeleng kepalanya. Cit Koay lihat orang rada tolol, mereka menjadi putus asa. "Apakah kau she Yo?"   Coan Kim Hoat kemudian menanya.   Ia penasaran.   Kwee menggeleng-gelengkan kepalanya pula.   Kanglam Cit Koay paling menjunjung kehormatan, mereka pegang satu kepercayaan sekalipun terhadap satu bocah, maka itu Cu Cong lantas serahkan belati itu kembali kepada Kwee Ceng., sedang Han Siauw Eng keluarkan sapu tangannya, untuk susuti orang punya darah di hidung.   "Pergilah kau pulang,"   Katanya dengan halus dan ramah.   "Lain kali jangan kau berkelahi pula."   Lantas Cit Koay berangkat, akan susul rombongan kalifah yang mereka ikuti. Kwee Ceng menjublak mengawasi orang pergi. "Kwee Ceng, mari pulang!"   Tuli lantas mengajak. Cit Koay belum jalan jauh. Tin Ok mempunyai kupingnya paling lihay pendengarannya dibandingkan dengan saudara-saudaranya, ia dengar panggilan "Kwee Ceng"   Dari Tuli, mendadak ia rasai tubuhnya menggetar, tanpa bersangsi pula, ia putar kudanya akan kembali kepada si bocah. "Eh, anak, apakah kau bernama Kwee Ceng?"   Ia tanya dengan sabar. Kwee Ceng menberikan penyahutan yang membenarkan. Bukan kepalang girangnya Tin Ok.   "Siapakah nama ibumu?"   Tanya pula, cepat. "Ibu ialah ibu."   Kwee Ceng menjawab. Tin Ok menggaruk-garuk kepalanya.   "Mari antar aku kepada ibumu, Maukah kau?"   Ia tanya lagi. "Ibuku tidak ada disini,"   Bocah itu menjawab. Tin Ok dengar suara yang tak simpatik. Kemudian dia berkata kepada adiknya paling kecil.   "Cit moay, kaulah ynag tanya dia."   Siauw Eng lompat turun dari kudanya dan ia menghampiri bocah itu.   "Mana ayahmu?"   Dia tanya, suaranya tetap ramah. "Orang telah celakai ayahku hingga terbinasa,"   Sahut bocah itu.   "Nanti kalau aku sudah besar, hendak aku cari musuh itu untuk membalaskan sakit hati ayahku!"   "Apakah namanya ayahmu itu?"   Siauw Eng tanya pula. Ia bernafsu, hingga suaranya sedikit menggetar. Kwee Ceng menggoyang kepala. "Siapakah namanya itu orang yang membunuh ayahmu?!"   Tin Ok turt tanya, suaranya dingin. Sambil kertak gigi, Kwee Ceng jawab.   "Dia bernama Toan Thian Tek!"   Memang Lie Peng telah memberitahukan kepada anaknya itu she dan namanya Thian Tek, malah roman mukanya dan potongan tubuhnya.   Nyonya Kwee tahu, jiwanya terancam bayaha sembarang waktu, maka itu ia telah berikan penjelasan kepada anaknya, supaya apabila ada terjadi sesautu atas dirinya, putranya itu sudah tahu segala sesuatunya.   Ia pun telah memberitahukannya berulangkali, hingga Kwee Ceng ingat semua itu.   Cit Koay girang bukan kepalang, si nona Han sampai berseru, sedang Kwa Tin Ok memuji kepada Thian.   Lucunya adalah Thio A Seng, yang sudah rangkul Lam Hie Jin, sementara si cebol Han Po Kie jumpalitan si atas kudanya.   Tuli dan Kwee Ceng mengawasi, mereka merasa lucu dan heran.   "Adik kecil, mari duduk, mari kita bicara perlahan-lahan"   Nona Han berkata dengan suaranya ynag tetap ramah. "Mari pulang!"   Mengajak Tuli, Ia hendak cari kakaknya yang ketiga, untuk ajaki saudarany itu besok membantui ia melawan Tusaga. "Aku mau pulang,"   Kwee ceng berkata kepada Han Siauw Eng. Ia tarik tangannya Tuli dan ia putari tubuhnya, untuk berjalan pergi. "Eh, eh, tunggu dulu,"   Po Kie memanggil.   "Kau tak dapat pergi! Biarkan sahabatmu pulang lebih dulu..!"   Melihat sikap orang yang luar biasa, dua bocah itu menjadi takut, mereka lantas lari. Po Kie berlompat, untuk sambar pundaknya Kwee Ceng. "Shatee, jangan semberono!"   Cu Cong cegah adiknya yang nomor tiga itu. Ia pun bergerak, untuk halangi tangan adiknya. Po Kie heran, ia batal membekuk bocah itu. Cu Cong lari untuk susul kedua bocah itu, ia lantas jemput tiga butir batu kecil.   "Aku akan main sulap untuk kamu!"   Katanya sembari tertawa, sikapnya manis. Tuli dan Kwee Ceng berhenti berlari, mereka berdiam mengawasi. Cu Cong genggam ketiga batu itu di telapak tangan kanannya.   "Menghilanglah!"   Ia berseru. Kapan ia membuka kepalan tangannya, batu itu telah lenyap. Kedua bocah itu heran, mereka mendelong. "Nelusup masuk!"   Seru Cu Cong, yang tepuk kopiahnya. Terus ia buka kopiahnya itu, di dalam situ ada tiga butir batu itu. "Bagus!"   Seru Tuli dan Kwee Ceng. Tanpa merasa, mereka menjadi tertarik. Itu waktu terdengar suara belibis mendatangi, lalu tertampak burungnya terbang mendatangi dalam dua rombongan, datangnya dari utara. "Akan aku suruh toako main sulap,"   Kata ia, yang dapat pikiran baru. Ia lantas rogoh keluar sepotong sapu tangan, yang mana ia kasihkan kepada Tuli, sambil menunjuk kepada Kwa Tin Ok, ia kata.   "Kau tutup matanya."   Tuli menurut, ia ikat matanya orang she Kwa itu. "Mau main petak umpat?"   Tanyanya tertawa. "Bukan,"   Sahut Cu Cong.   "Tanpa mata, ia dapat panah burung belibis itu."   Ia terus serahkan gendewa dan anak panah kepada kakaknya. "Aku tidak percaya,"   Kata Tuli.   Itu waktu kedua rombongan belibis sudah terbang mendekat, Cu Cong menimpuk dengan tiga butir batunya, membuat burung-burung itu menjadi kaget, yang jadi pemimpinnya berbunyi.   Justru karena burung itu berbunyi dan hendak merubah tujuan, panahnya Tin Ok sudah meleset, jitu sekali, burung itu terpanah batang lehernya dan bersama anak panahnya, jatuh ke tanah.   "Bagus! Bagus!"   Tuli dan Kwee Ceng berseru dengan gembira. Mereka pun lari untuk pungut burung itu, hendak diserahkan pada Kwa Tin Ok. Mereka sangat kagum. "Tadi mereka bertujuh atau berdelapan mengerubuti kamu berdua,"   Berkata Cu Cong.   "Coba kamu ada punya kepandaian, kamu tidak usah takut lagi kepada mereka."   "Besok kita bakal berkelahi pula, aku akan minta bantuan kakakku,"   Kata Tuli. "Minta bantuan kakakmu?"   Kata Cu Cong.   "Hm, itulah tidak ada faedahnya. Aku akan ajari kau sedikit kepandaian, aku tanggung besok kamu bakal dapat kalahkan mereka."   "Kami berdua dapat kalahkan mereka berdelapan?"   Tegaskan Tuli. "Ya!"   Cu Cong beri kepastian. Tuli girang sekali.   "Baik! Nah, kau ajarkanlah aku!"   Cu Cong awasi Kwee Ceng, yang berdiri diam saja, dia agaknya tidak tertarik. "Apakah kau tidak ingin belajar?"   Ia tanya bocah itu. "Ibuku bilang, tidak boleh aku berkelahi,"   Kwee Ceng menjawab.   "Kalau aku belajar kepandaian untuk memukul orang, ibu tnetu tidak senang."   "Hm, bocah bernyali kecil!"   Kata Po Kie perlahan. "Habis, kenapa tadi kamu berkelahi?"   Cu Cong tanya lagi. "Mereka itu yang serang kami duluan."   Jawab Kwee Ceng lagi. Tin Ok campur bicara, suaranya tetap dingin.   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kalau kau bertemu dengan sama Toan Thian Tek, musuhmu itu, habis bagaimana?!"   Ia tanya. Kedua matanya Kwee Ceng bersinar.   "Akan aku bunuh dia, untuk balaskan dendaman ayahku!"   Sahutnya. "Ayahmu pandai silat, dia masih dapat dibunuh musuhnya,"   Ton Ok kata pula.   "Kau tidak belajar ilmu kepandaian, bagaimana kau dapat membalas dendam?"   Kwee Ceng tercengang. Kemudian air matanya mengalir keluar. Cu Cong menunjuk ke gunung di sebelah kiri. "Kalau kau hendak belajar kepandaian guna menuntut balas untuk ayahmu,"   Ia bilang.   "Sebentar tengah malam kau pergi ke sana untuk cari kami. Cuma kamu sendiri yang dapat datang, kau tidak boleh beritahukan kepada orang lain. Kau berani tidak? Apakah kau takut setan?"   Kwee Ceng masih berdiri menjublak. "Kau ajarakan aku saja!"   Tuli bilang. Tiba-tiba Cu Cong tarik tangannya bocah itu, kakinya mengaggaet. Tuli rubuh seketika. Ia merayap bangun dengan murka."Kenapa kau serang aku?"   Tegurnya. "Ini dia yang dibilang ilmu kepandaian,"   Cu Cong tertawa.   "Mengertikah kau?"   Nyata Tuli sangat cerdas, segera ia mengerti. Ia manggut-manggut.   "Coba ajarakan aku pula,"   Ia minta.   Cu Cong menyambar dengan kepalannya, Tuli berkelit ke kiri.   Tapi di sini ia dipapaki tangan kiri si penyerang, tepat kena hidungnya, tapi Cuma hidung nempel, kepalan kiri itu segera ditarik pulang.   Bukan kepalang girangnya putra Temuchin itu.   "Bagus! bagus!"   Ia berseru.   "Kau ajari aku lagi!"   Cu Cong mendak, untuk mendongko, lalu ia seruduk pinggang orang. Tampa ampun Tuli berguling, tapi belum sempat ia terbanting ke tanah, Coan Kim Hoat sudah sambar tubuhnya, untuk di kasih tetap berdiri . "Paman, ajari aku pula!"   Seru Tuli. Ia girang luar biasa. "Sekarang kau pelajari dulu tiga jurus ini,"   Kata Cu Cong sambil tertawa.   "Kalau kau sudah bisa, orang dewasa juga nanti tidak gampang-gampang kalahkan kau. Cukup sudah!"   Ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng, akan tanya.   "Apakah kau pun sudah mengerti?"   Kwee Ceng lagi menjublak, ia menggeleng kepala.   Cit Koay hilang kegembiraannya melihat Tuli demikian cerdas tapi bocah she Kwee ini begitu tolol.   Siauw Eng sampai menghela napas dan air matanya berlinang.   "Sudah, kita jangan terlalu capekan hati sekarang,"   Kata Kim Hoat kemudian.   "Paling benar kita sambut ibu dan anak ini pulang ke Kanglam, kita serahkan mereka kepada Khu Totiang. Dalam hal janji pibu, kita menyerah kalah saja"   "Anak ini miskin bakatnya, dia tak berbakatbelajar silat,"   Bilang Cu Cong. "Ya, aku lihat dia tidak punya kekerasan hati,"   Kata Po Kie.   "Ia bakal gagal"   Dalam dialek orang Kanglam, Cit Koay berdamai. "Nach, pergilah kamu!"   Kata Siauw Eng akhirnya.   Ia ulurkan tangan kepada kedua bocah itu, atas mana Tuli tarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi, ia snediri sangat kegirangan.   Selama mereka itu berbicara, Cuma Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin si Tukang Kayu dari Lam San, Gunung Selatan yang berdiam saja.   "Eh, sietee, apa katamu?"   Tin Ok tegur adiknya yang keempat itu. "Baik,"   Sahut Lam Hie Jin. "Apa yang baik?"   Menegaskan Cu Cong. "Anak itu baik,"   Jawab adik keempatnya itu. "Beginilah biasanya sieko!"   Kata Siauw Eng, tak sabaran.   "Susah sekali untuk sieko membuka mulut emasnya, tak hendak ia mengatakannya lebih sepatah kata!"   Hie Jin tertawa.   "Di waktu kecil, aku tolol sekali,"   Katanya.   Lam San Ciauw-cu memang pendiam, untuk mengeluarkan sepatah kata, ia memikirkan dahulu, maka itu asal ia membuka mulut, kata-katanya tentu tepat.   Karena itu juga, enam saudaranya biasa hargakan pikirannya.   Sekarang mendengar keterangannya itu, mereka bagaikan mendapat sinar terang.   "Kalau begitu, kita tunggu sampai nanti malam,"   Kata Cu Cong kemudian.   "Kita lihat dia berani taua tidak datang seorang diri."   "Kebanyakan ia tidak berani,"   Kata Kim Hoat.   "Baik aku cari tahu dulu tempat tinggalnya."   Dan ia lompat turun dari kudanya, dari jauh-jauh ia mengikuti Kwee Ceng dan Tuli.   Ia lihat mereka masuk ke dalam tenda.   Malam itu Cit Koay berkumpul di atas bukit.   Mereka menanti sampai tengah malam, sampai bintang-bintang mulai menggeser, tak ada bayangan Kwee Ceng si bocah itu.   Cu Cong lantas saja menghela napas.   "Kanglam Cit Koay sudah malang melintang seumur hidupnya, kali ini mereka rubuh di tangannya satu imam!"   Katanya masgul. Selagi tujuh saudara itu berduka, tiba-tiba Po Kie berseru tertahan.   "Eh..!"   Dan tangannya pun menunjuk ke depan di mana ada gombolan pohon.   "Apa itu?"   Katanya.   Ketika itu sang rembulan yang terang sudah sampai di tengah-tengah langit, sinarnya sampai kepada rumput tabal di mana ada tiga tumpuk benda putih yang nampaknya aneh.   Coan Kim Hoat lompat menghampiri benda itu, maka ia kenali itu sekumpulan tengkorak, yang bertumpuk rapi dalam tiga tumpukan.   "Entah bocah nakal siapa sudah bermain di sini, tengkorak orang diatur begini"   Katanya.   "Ehapakah ini? Jieko, mari!"   Suaranya sangat kedengarannya sangat terkejut, maka kecuali Kwa Tin Ok, yang lima saudara lainnya lantas menghampiri saudara she Coan itu.   "Lihat!"   Katanya lagi kemudian, yang sodorkan sebuah tengkorak kepada Cu Cong.   Cu Cong dapatkan lima liang di embun-embunan tengkorak itu, romannya seperti bekas jari tangan.   Ia ulur tangannya, tepat lima jarinya masuk ke dalam semua laing itu.   Jadi itu bukanlah perkerjaannya satu bocah cilik.   Ia pungut dua tengkorak lainnya, di situpun kedapatan masing-masing lima jari tangan yang sama.   Ia jadi heran dan bersangsi.   "Mustahil benar ada orang membuat liang ini dengan jeriji tangannya?"   Ia kata dalam hatinya. Ia tak berani utarakan kesangsiannya ini. "Mungkinkah disini ada hantu gunung?"   Tanya Siauw Eng.   "Hantu tukang geregas manusia"   "Benar, itulah siluman,"   Po Kie membenarkan adiknya itu. "Tetapi kenapa tengkorak-tengkorak ini diatur begini rapi?"   Kim Hoat tanya. Saudara ini bersangsi. Kwa Tin Ok dengar saudara-saudaranya itu berbicara. Tiba-tina ia lompat mendekati mereka itu. "Bagaimana itu diatur rapinya?"   Tanya ia. "Semuanya terdiri dari tiga tumpuk, teraur sebagai segi tiga, dan saban tumpukannya sembilan tengkorak."   Coan Kim Hoat kasih keterangan pada kakaknya yang tak dapat melihat itu. "Benarkah itu terbagi pula dalam tiga tingkat?"   Tin Ok tanya.   "Tingkat ynag bawah lima, tingkat tengah tiga dan tingkat atas satu buah?"   "Eh, toako!"   Seru Kim Hoat heran.   "Kenapa toako ketahui itu?"   Tin Ok perlihatkan roman cemas. Ia tidak menjawab. Hanya segera I berkata.   "Lekas jalan seratus tindak, ke arah timur utara dan barat utara! Lihat ada apakah di sana!"   Menampak sikap luar biasa dari saudara tua itu, yang biasanya sangat tabah, enam adik angkat itu lekas bekerja, yang tiga pergi ke timur utara, yang tiga lagi ke barat utara. "Disini pun ada tumpukan tengkorak!"   Begitu suaranya Han Siauw Eng di timur utara dan Thi A Seng di barat utara. Kwa Tin Ok lari ke arah barat utara itu.   "Inilah saat mati hidup kita, jangan bersuara keras,"   Kata ia, suaranya perlahan tetapi nadanya tegas. Thio A Seng bertiga terkejut. Tin Ok lantas lari ke arah timur utara ke Han Siauw Eng, ia pun cegah mereka bertiga omong keras-keras. "Siluman atau musuh?"   Tanya Cu Cong. "Mataku buta, kakiku pincang, semua itu adalah hadiah mereka"   Sahut kakak tertua ini.   A Seng bertiga lari berkumpul sama kakak mereka itu, mereka dengar perkataan si kakak, mereka semuanya jadi heran.   Tin Ok angkat saudara sama enam orang itu, cinta mereka bagaikan cintanya saudara-saudara kandung, meski begitu, ia paling benci orang menyebut-nyebut cacadnya itu.   Semua saudaranya sangka, cacadnya itu disebabkan kecelekan semenjak kecil, tidak ada yang berani menanyakan, sekarang barulah mereka itu ketahui, itulah sebabnya perbuatan musuh.   Tin Ok Demikian lihay, ia toh kalah, dari situ bisa diduga betapa lihaynya musuh itu.   "Apakah tumpukan disini pun tiga?"   Tanya Tin Ok. "Benar,"   Sahut Siauw Eng. "Dan setiap tumpukannya terdiri dari sembilan tengkorak?"   Sekali ini Tin Ok menanya perlahan sekali. Nona Han menghitung.   "Yang satu sembilan,"   Jawabnya kemudian.   "Yang satunya delapan"   "Coba hitung yang sebelah sana, lekas!"   Kata Tin Ok mendesak sekali. Siauw Eng lari ke barat utara, sambil membungkuk ia menghitung, dengan lekas, lalu dengan lekas pula ia lari balik. "Yang di sana setiap tumpukannya tujuh tengkorak,"   Ia beritahu. "Kalau begitu, mereka akan segera kembali!"   Kata Tin Ok, kembali dengan suara perlahan. Enam saudara itu mengawasi dengan melengak, mereka menantikan penjelasan. "Merekalah Tong Sie dan Tiat Sie,"   Tin Ok bilang. Cu Cong terkejut hingga ia berjingkrak.   "Bukankah Tong Sie dan Tat Sie sudah lama mati?"   Dia tanya. "Kenapa mereka masih ada di dalam dunia ini?"   Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Aku juga menyangka mereka sudah mati, kiranya mereka sembuniy disini dan secara diam-diam tengah menyakinkan ilmu Kiu Im Pek-kut Jiauw,"   Kata Tin Ok.   "Saudara-saudara lekas naik ke kudamu masing- masing, segera kabur ke selatan, sekali-kali jangan kamu kembali! Sesudah kabur seribu lie, tunggu aku selama sepuluh hari, jikalau sepuluh hari aku tidak datang menyusul kamu, kamu tidak usah menunggui lebih lama lagi!"   "Toako, apakah katamu?"   Tanya Siauw Eng gelisah. "Kita sudah minum arak bercampur darah, kita sudah bersumpah untuk hidup atau mati bersama, maka itu kenapa kau anjurkan kita lari menyingkir?"   Tin Ok goyangi tangannya berulang-ulang.   "Lekas pergi, lekas pergi!"   Katanya mendesak.   "Lambat sedikit atau sudah tidak keburu lagi!"   Han Po Kie menjadi gusar.   "Apakah kau sangka kita orang-orang yang tidak berbudi?!"   Dia tanya membentak. "Mereka berdua lihay luar biasa,"   Tin Ok bilang.   "Mereka sekarang lagi menyakinkan ilmu Kiu im Pek-kut Jiauw itu, walaupun mereka belum dapat merampunginya, mereka toh sudah paham delapan atau sembilan bagian, dari itu sekalipun kita bertujuh, kita pasti bukan tandingan mereka.   Kenapa kita mesti antaran jiwa secara sia-sia?"   Enam saudara itu ketahui kakak mereka ini beradat tinggi, belum pernah ia puji kepandaian lain orang, sekali pula Khu Cie Kee yang lihay, dia berani lawan, tetapi sekarang ia jeri terhadap dua orang itu, Tong Sie si Mayat Perunggu dan Tiat Sie si mayat Besi, mereka mau percaya sang kakak tidaklah tengah berdusta.   Tentu saja, karenanya mereka menjadi ragu-ragu.   "Kalau begitu, marilah kita pergi bersama-sama,"   Kim Hoat mengajak. Tin Ok tidak setuju, dengan dingin ia berkata. "Mereka sudah celakai aku seumur hidup, saki hati ini tak dapat tidak dibalas!"   Lam Hie Jin segera campur bicara.   "Ada rejeki kita mencicipi bersama, ada kesusahan kita derita bersama juga!"   Katanya. Ia omong singkat tetapi kata-katanya sangat tepat yang tak dapat diubah lagi. Tin Ok menjadi diam dan berpikir. Sadarlah ia bahwa saudara-saudaranya itu sudah berkeputusan bulat. Dia akhirnya menghela napas.   "Baiklah kalau begitu,"   Katanya kemudian.   "Aku cuma minta kalian semua suka berlaku hati-hati. Tong Sie itu ialah pria dan Tat Sie itu wanita, mereka berdua itu adalah suami-istri. Sekarang ini tak ada tempo untuk menjelaskan tentang mereka itu, Cuma hendak aku pesan masing-masing jaga lah diri dengan hati-hati dari cengkraman mereka. Liok-tee, coba jalan seratus tindak ke selatan, lihat benar atau tidak di sana ada sebuah peti mati."   Coan Kim Hoat, adik yang nomor enam, segera lari ke arah selatan.   Setelah seratus tindak, ia tidak lihat peti mati yang disebutukan kakaknya itu, ia Cuma nampak unjungnya sebuah batu lempangan muncul dari dalam tanah, batu itu kotor dengan tanah dan ketutupan rumput hijau.   Ia tarik batu itu tetapi tidak bergeming.   Dengan menggape, ia panggil saudara-saudaranya yeng mengawasi ke arahnya.   Mereka itu segera saja menghampirinya.   Thio A Seng, Lam Hie Jin dan Han Po Kie, setelah melihat batu itu, bantui saudaranya untuk mencabut.   Sekarang barulah papan batu itu dapat disingkirkan.   Di bawah sinar rembulan, di bawah batu itu tertampak sebuat peti mati bercorak kotak atau peti batu dan di dalam situ rebah dua mayat.   Kwa Tin Ok, setelah ia diberitahukan adanya kedua mayat itu, sudah lantas lompat turun ke dalam peti mati yang besar itu.   "Musuhku itu bakal lekas datang kemari untuk melatih ilmu silatnya itu, sebagai alatnya ialah kedua mayat ini,"   Berkata ia.   "Maka itu sekarang hendak aku sembunyi di sini, untuk bokong pada mereka. Saudara-saudara pergi kau ambil tempat berlindung di empat penjuru, jaga supaya mereka tidak dapat ketahui. Kamu mesti menunggu sampai aku telah tidak dapat bertahan, baru kamu keluar untuk mengepung mereka, itu waktu jangan kamu main kasihan-kasihan lagi. Cara membokong ini bukanlah cara yang benar akan tetapi musuh terlalu tangguh dan telangas, tanpa cara ini jiwa kita bertujuh bakalan tidak dapat ditolongi lagi!"    Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini