Pendekar Pemanah Rajawali 71
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 71
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Oey Yok Su mengerti jago dari See Hek ini sedang kacau pikirannya, namun heran, serangannya justru lebih hebat daripada waktu ia sadar, la tentu tidak tahu, karena Auwyang Hong belajar Kiu bn CIH Keng palsu yang sangat menyita pikiran dan tenaganya, ia menjadi tersesat, tetapi karena bakatnya baik dan ilmu silatnya sudah tinggi, sesat atau tidak, ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa, hingga dua orang kosen ini menjadi kewalahan. Selang beberapa puluh jurus, Oey Yok Su keteter hingga mesti mundur. Tempatnya segera diambil alih Kwee Ceng yang maju dengan pedangnya. Tiba-tiba Racun Barat menangis dan berkata. "Oh, anakku, kau mati sangat mengenaskan...." Tiba-tiba ia melemparkan tongkat ularnya untuk melompat dan merangkul anak muda di www.kangzusi.com depannya. Kwee Ceng tahu tentunya ia disangka Auwyang Kongcu. Karena mendengar jeritan dan keluhan orang itu, ia menjadi tidak tega menurunkan tangan jahat. Di lain pihak, ia juga takut. Maka ia mengulurkan tangannya untuk menolak. Auwyang Hong lihai sekali. Walaupun ia berkelakuan aneh, gerakannya sangat gesit, tangan kirinya lantas memegang lengan Kwee Ceng dan tangan kanannya memeluk. Si anak muda meronta, tapi kalah tenaga, ia tidak berhasil meloloskan diri. Ang Cit Kong dan Oey Yok Su terkejut, keduanya melompat maju untuk menolong. Dengan It Yang Ci Cit Kong menotok jalan darah hongbwee-hiat di punggung Racun Barat agar Kwee Ceng dilepaskan. Arah aliran darah Auwyang Hong telah ber- tentangan, sehingga ia tidak dapat ditotok. Totokan itu tidak terasa olehnya, ia tidak menghiraukannya. Oey Yong memungut batu untuk menyerang kepala Auwyang Hong, tetapi tangan kanan si Racun Barat meninju batu itu sampai terpental masuk ke jurang. Karena itu, Kwee Ceng dapat memberontak sambil terus melompat mundur. Oey Yok Su juga sudah menyerang si edan itu. Auwyang Hong tidak lagi memakai ilmu silat biasa, tetapi hebat bukan main, sering ia memiringkan tubuh, atau berdiri tegak, atau menjatuhkan diri tengkurap dengan sebelah tangannya menekan tanah, hingga tangannya yang lain dapat digunakan untuk berkelahi terus. Tentu saja cara berkelahi itu sulit dilayani Sesat Timur. Oey Yong khawatir ayahnya akan salah tangan maka ia berteriak. "Suhu, menghadapi orang edan ini jangan kita pakai aturan lagi, mari kita keroyok dia!" "Di waktu biasa, kita bisa berbuat begitu untuk membekuknya," Kata Ang Cit Kong. "Tapi sekarang adalah hari pibu di Hoa San ini. Dunia tahu kita mesti bertempur satu lawan satu, kalau sekarang kita mengepungnya, kita bakal ditertawakan orang kangouw" Selagi Pengemis Utara bicara, serangan aneh Auwyang Hong bertambah dahsyat, bahkan orang itu meludahi Oey Yok Su hingga majikan Pulau Persik itu gelagapan dan melangkah mundur. Sehabis itu Auwyang Hong menyerang sambil membungkuk, berarti ia tidak melihat ke atas. Oey Yok Su girang melihatnya, dalam hati ia berkata. "Dasar dia edan, dia kacau!" Langsung ia menotok jalan darah genghiang-hiat. Totokan itu baru mengenai kulit muka, tapi mendadak Auwyang Hong menyambar dengan mulutnya, menggigil jari telunjuk penyerangnya. Dalam kagetnya Oey Yok Su segera menyerang dengan tangan kirinya ke jalarr darah tayyong-hiat. Tapi Auwyang Hong juga sebat sekali, ia menangkis dengan tangan kanannya dan memperkeras gigitannya. Kwee Ceng maju berbareng bersama Oey Yong, masing-masing dengan pedang kayu dan tongkat bambu. Baru sekarang Auwyang Hong melepaskan gigitannya, tapi sebagai gantinya, ia mencakar ke muka si nona, untuk itu ia memakai kedua tangannya atau kesepuluh jarinya. Selagi berbuat begitu ia memperlihatkan roman bengis sekali, sedangkan mukanya berlepotan darah. Oey Yong kaget hingga menjerit, ia melompat ke samping. Tapi ia disusul. Kwee Ceng menggempur punggung jago dari See Hek itu, ia menangkis. Dengan begitu barulah Oey Yong lolos dari ancaman bahaya. Baru belasan jurus si anak muda melayani orang edan itu, pundak dan pahanya beberapa kali kena hajar, syukur tidak berbahaya. "Anak Ceng, mundur!" Kata Cit Kong. "Biar aku yang mencoba melayaninya!" Pengemis Utara melompat maju, hingga ia bertempur lagi melawan Racun Barat. Kali ini mereka bertempur lebih hebat daripada tadi. Setelah menyaksikan serangan orang itu terhadap Oey Yok Su dan Kwee Ceng, Cit Kong melihat masih ada jalan untuk menghadapi ilmu silat kacau Auwyang Hong itu, maka sekarang ia melawan dengan perhatian. Kap-mo-kang digunakan si Racun Barat secara bertentangan, yang mestinya ke kanan menjadi ke kiri, yang mestinya ke atas menjadi ke bawah, demikian seterusnya. Umumnya, tujuh dalam sepuluh, gerakan itu tidak meleset. Maka, meski keteter Cit Kong bisa juga balas menyerang, satu kali melawan tiga kali. Oey Yok Su juga memperhatikan ilmu silat Racun Barat itu. Selagi anaknya mengurus lukanya, ia meneliti lebih jauh. Dalam hal ini, ia lebih cerdas daripada Ang Cit Kong, maka ia pun lantas menemukan cara menghadapi ilmu itu. Segera ia mengajari Cit Kong berulang-ulang. "Cit Kong, tendang dia! Hajar dia pada jalan darah ki-koat. Serang jalan darah thian-cui" Semua petunjuk ini diberikan selagi semua jalan darah itu terbuka. Sebagai penonton, Oey Yok Su dapat melihat jelas sekali. Ang Cit Kong menuruti petunjuk itu, maka tidak lama kemudian kedudukannya seimbang dengan lawannya. Meski begitu Cit Kong dan Yok Su jengah sendiri, sebab mereka berdua mesti mengepung Racun Barat. Suatu ketika Cit Kong mendapat kesempatan untuk bisa menghajar Racun Barat dengan tepat, namun tiba-tiba Auwyang Hong kembali meludah, hingga Cit Kong batal menyerang dan mesti berkelit. Lalu ia dirabu dan diludahi lagi hingga gelagapan. Biarpun cuma ludah, tapi bisa merusak mata bila mengenainya. Si pengemis tidak sudi mandah begitu saja. Tidak ada jalan lain, ia menangkap ludah itu dengan tangannya, lantas terus menyerang. Baru beberapa jurus kembali Auwyang Hon meludah. Rupanya inilah siasatnya untuk mengacaukan lawan. Cit Kong mendongkol sekali. Ia merasa dirinya seperti dihina. Ia juga jijik dengan ludah Racun Barat yang masih melekat di tangan kanannya, karena sangat repot, ia tidak sempal mengusapkan tangannya ke bajunya. "Kena!" Serunya mendadak setelah lewat beberapa jurus. Tangan kanannya menepuk muka Auwyang Hong. Tampaknya ia hendak memulas muka orang itu dengan ludahnya sendiri, tidak tahunya diam-diam ia hendak menotok dengan It Yang Ci, totokan istimewa untuk menaklukkan Kap-mo-kang. Meski seperti gila, Auwyang Hong sebenarnya sangat gesit dan dapat berpikir, la menanti tibanya tepukan tangan lawan. Ketika jari-jari tangan Cit Kong dikeluarkan untuk menotoknya, ia hendak menyambut dengan gigitannya seperti sebelumnya ia menggigit tangan Oey Yok Su. Oey Yok Su, Kwee Ceng, dan Oey Yong yang pasang mata jadi terkejut. Mereka melihat berkelebatnya gigi putih Racun Barat. Ketiganya langsung berteriak. "Awas!" Mereka lupa bahwa Ang Cit Kong, yang ber- julukan Kiu Ci Sin Kay si Pengemis Aneh Berjari Sembilan, sudah tidak mempunyai telunjuk kanan, yang telah dikutungtnya sendiri untuk mengurangi keserakahannya gegares. Ketika Auwyang Hong menggigit sasaran kosong, seluruh gigi atas dan gigi bawahnya bercatrukan keras sekali. Inilah kesempatan yang paling baik, Ang Cit Kong tidak mau menyia-nyiakannya. Selagi mulut Racun Barat terkatup rapat, Cit Kong mengeluarkan jari tengahnya untuk menotok jalan darah tee-chong-hiat di pinggir mulut lawannya. Ong Tiong Yang dan Toan Hongya biasa meng- gunakan telunjuk, tetapi Cit Kong tidak mem- punyainya, maka ia menggunakan jari tengah sebagai pengganti. Auwyang Hong tidak menyangka, maka ia menggigit seperti biasa untuk menyambut totokan, tidak tahunya ia kehilangan sasaran. Melihat Cit Kong berhasil, Oey Yok Su bertiga akan berseru girang, namun sebelum itu tiba-tiba mereka tersentak. Mendadak Pengemis Utara berjumpalitan roboh ke tanah, sedangkan Racun Barat terhuyung mundur beberapa langkah, gerakannya mirip orang mabuk. Setelah dapat berdiri tegak, ia tertawa terbahak sambil melengak. Sudah diketahui bahwa jalan darah Auwyang Hong telah bertentangan semuanya, maka totokan Ang Cit Kong bukan mengenai tee-chong-hiatt tapi justru jalan darah besar ciok-yang-beng wi-keng. Tapi waktu ditotok tubuh Racun Barat cuma mati sedetik, sehabis itu ia pulih seperti biasa. Maka ia sebat luar biasa balas menghajar pundak lawannya. Cit Kong melihat serangan itu. ia tidak sempat menangkis, ia lantas berkelit. Benar ia kena hajar, tapi karena sembari berkelit, ia bisa membuang diri dengan berjumpalitan. Tentu saja ia tidak menyerah begitu saja. sambil berkelit tadi ia berbareng menyerang dengan jurus Kian Liong Cay Tians tapi karena kenanya tidak telak, Racun Barat cuma terhuyung. Cit Kong tidak terluka parah. Sejenak tubuhnya terasa kaku, ia tidak dapat lantas bergerak leluasa, tidak dapat segera maju lagi. Karena orang ternama, ia malu dengan kekalahannya, maka setelah bangun lagi ia memberi hormat pada Racun Barat seraya berkata. "Saudara Auwyang, aku si pengemis tua takluk padamu, kaulah orang kosen nomor satu di kolong langit ini!" Auwyang Hong mendongak, ia tertawa lama. Kemudian ia mengulap-ulapkan kedua tangannya ke udara. "Toan Hongya." Katanya pada Oey Yok Su. "kau takluk atau tidak padaku?" Sesat Timur mendongkol sekali, dalam hati ia berkata. "Bagaimana bisa gelar orang gagah nomor satu di kolong langit ini dirampas orang edan? Bagaimana kami bisa menemui orang banyak?" Meski begitu ia menginsafi kenyataan, la tidak bisa melawan jago dari Barat ini. Maka akhirnya ia mengangguk. Ia pun tidak peduli dipanggil Toan Hongya oleh si edan itu. Auwyang Hong lantas berpaling pada Kwee Ceng. "Nak," Katanya. "ilmu silat ayahmu sangat lihai, di kolong langit ini tak ada tandingannya lagi, kau girang atau tidak?" Orang-orang merasa aneh mendengar Racun Barat memanggil anak pada keponakannya. Itu tidak mengherankan, karena tidak seorang pun mengetahui rahasianya. Sebenarnya Auwyang Kongcu dilahirkan oleh kakak ipar Auwyang Hong setelah berbuat serong dengannya, maka walaupun bagi orang luar mereka itu anak dan keponakan, sebenarnya mereka adalah ayah dan anak. Ia belum sadar, ia masih menganggap Kwee Ceng sebagai anaknya, seperti ia mengira Oey Yok Su adalah Toan Hongya. Setelah puluhan tahun, ia seolah membuka rahasianya sendiri dengan menyebut-nyebut anaknya itu. Kwee Ceng jujur, tanpa menghiraukan panggilan orang itu ia berkata. "Kami semua tak sanggup mengalahkanmu." Auwyang Hong tertawa geli sekali. "Nona mantuku yang baik, kau girang atau tidak?" Ia bertanya pada Oey Yong sambil memandangnya. Oey Yong tengah masygul, karena terpaksa menyaksikan ayahnya, Ang Cit Kong, dan Kwee Ceng dipecundangi Racun Barat, hingga ia me- mikirkan upaya untuk menghadapi orang kosen yang edan ini. Begitu sekarang ditegur si edan. ia langsung menyahut. "Siapa bilang kau orang kosen nomor satu di kolong langit ini? Ada satu orang yang mesti kauhadapi, kau pasti tak sanggup mengalahkannya!" Mendengar perkataan itu Auwyang Hong gusar hingga-menepuk dadanya. "Siapa? Siapa dia?" Tanyanya keras. "Suruh dia datang melawanku!" Oey Yong menatap mata orang itu. Ia memusat- kan tenaganya untuk Uap Sim Tay-hoat ilmu mempengaruhi hati dari Kiu im Cin Keng yang semacam ilmu sihir. Selama rapat di Gunung Kun San, Telaga Tong Teng, ia telah mempergunakan ilmu itu terhadap Pheng Tianglo hingga pengemis itu tertawa tidak mau berhenti. Kalau diterapkan terhadap orang yang tenaga dalamnya cetek, ilmu itu gampang mempan; namun tidak demikian halnya terhadap orang lihai. Dalam kitab itu tercantum pesan bahwa ilmu itu tidak dapat sembarang digunakan, sebab bisa mencelakai diri sendiri. Tapi Oey Yong menggunakannya juga karena tidak menemukan cara lain, sedangkan Auwyang Hong tampaknya kacau pikirannya. Dalam keadaan biasa, memang Auwyang Hong tidak dapat dipengaruhi Oey Yong, yang tenaga dalamnya kalah jauh, kalau dibalik ia bisa celaka. Tapi sekarang ia sedang kacau, ia tidak dapat melawan. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sambil mengawasi ia masih bertanya. "Siapa? Siapa dia? Suruh dia datang melawanku!" "Dia lihai luar biasa, kau pasti tak dapat melawannya!" Kata Oey Yong, matanya tetap mengawasi tajam. "Siapa? Siapa dia? Suruh dia datang melawanku!" "Dia bernama Auwyang Hong!" "Auwyang Hong?" Racun Barat menggaruk-garuk kepalanya. "Benar, Auwyang Hong! Kau boleh lihai, tapi kau tak bakal dapat melawan Auwyang Hong!" Kacau pikiran Racun Barat. Ia merasa mengenal baik nama Auwyang Hong itu, tetapi tidak dapat mengingatnya. Ia cuma merasa Auwyang Hong itu sangat berdekatan dengannya, hanya entah siapa.... "Sebenarnya siapa aku ini?" Tanyanya kemudian. "Kau adalah kau!" Jawab Oey Yong tertawa dingin, matanya terus menatap. "Kau sendiri tak tahu, mengapa kau menanyaiku?" Auwyang Hong bingung. Ia seperti berpikir keras untuk mengetahui siapa dirinya sendiri. "Aku ini siapa? Sebelum dilahirkan, aku ini apa? Setelah mati, aku ini apa?' Lalu ia bertanya lagi. "Sebenarnya aku siapa? Aku berada di mana? Aku kenapa?" "Auwyang Hong mau mencarimu untuk mengadu kepandaian!" Kata si nona. "Dia hendak merampas kitabmu, kitab Kiu Itn Cin Keng\" "Mana dia sekarang? Dia ada di mana?" "Itu dia, di belakangmu!" Jawab Oey Yong sambil menurfjuk ke belakang Racun Barat. Auwyang Hong memutar tubuhnya cepat luar biasa, lantas melihat bayangannya sendiri yang berdiri di belakangnya. Ia melengak. "Lihat, dia hendak menghajarmu!" Kata Oey Yong cepat. Auwyang Hong mendak, segera menyerang- Ka- rena ia bergerak, bayangannya turut bergerak. Ia terkejut. Segera ia menyerang lagi, tangan kiri dan kanannya bergantian. Ia bergerak sangat cepat, bayangannya bergerak- sama cepatnya. Satu kali ia melompat berkelit, tubuhnya diputar hingga ia menghadap matahari. Sudah tentu ia kehilangan bayangannya. "Hai. kau lari ke mana?" Teriaknya. Ia melesat ke kiri. Di sebelah kirinya ada lereng, di situ terlihat bayangannya. Tidak ayal lagi Auwyang Hong meninju. Tentu saja ia menghajar batu gunung. Ia merasa sakit bukan main dan berteriak. "Kau sangat lihai!" La lantas menendang. Tentu saja ia berjengit sendiri, sebab ia menendang gunung dan kakinya terasa sakit sekali seperti kepalannya barusan. Sekarang ia jadi jeri sendiri. Mendadak ia memutar tubuhnya dan lari. Karena berlari ke arah matahari, ia tidak melihat bayangannya lagi. Setelah lari beberapa tombak, ia menoleh. Ia kaget melihat bayangannya berada di belakangnya dan berteriak. "Biar kau saja yang menjadi orang kosen nomor satu di kolong langit ini! Aku menyerah kalah!" Karena ia berhenti lari dan tidak bergerak, bayangannya pun diam. Ia tidak berkata apa-apa lagi, ia memutar tubuh lagi untuk berlalu. Namun ia masih menoleh, hingga melihat bayangannya itu mengikutinya. Ia menjadi kaget dan takut, lantas berlari sekeras-kerasnya sembari menjerit-jerit. Ia menuruni gunung, sampai sekian lama masih terdengar jeritannya. "Jangan kejar aku! Jangan kejar aku!" Oey Yong dan Ang Cit Kong saling mengawasi, sama-sama menghela napas. Mereka tidak menyangka, demikian rupa nasib jago yang lihai sekali. Oey Yong duduk bersila. Sehabis mengerahkan tenaga dan pikirannya demikian keras, ia letih. Setelah sekian lama bersemadi, ia baru bangkit. Suara Auwyang Hong kadang-kadang masih ter- dengar, tetapi ia sudah terpisah dari mereka beberapa //'. Yang terdengar adalah kumandangnya. "Dia tak bakal hidup lebih lama lagi," Kata Cit Kong. "Aku... aku siapa ya?" Mendadak Kwee Ceng bertanya seorang diri. Oey Yong terkejut. Ia mengira pemuda tolol ini tentunya telah dibikin bingung oleh Racun Barat. "Kau Kwee Ceng! Kau Kakak Ceng!" Kata Oey Yong lekas-lekas. "Jangan pikirkan dirimu, pikirkan diri orang lain!" Anak muda itu melengak. lalu sadar. "Benar!" Katanya. "Suhu, Tuan, mari kita turun gunung!" "Anak tolol!" Bentak Cit Kong. "Kau masih memanggilnya Tuan! Nanti kau kugaplok!" Kwee Ceng melengak, ia menatap Oey Yong yang tersenyum. "Ayah Mertua!" Panggilnya kemudian dengan* jengah. Oey Yok Su tertawa, rupanya ia senang dipanggil Ayah Mertua. Ia menarik tangan anak gadisnya, lalu menarik tangan menantunya itu. dan berkata pada Pengemis Utara. "Saudara Cit, hari ini barulah kita berdua mengerti, ilmu silat itu tak ada batas habisnya, jadi di kolong langit ini juga tak ada orang kosen nomor satu!" "Tapi aku berani bilang ilmu masak Anak Yong paling hebat!" Kata Pengemis Utara tanpa ditanya. Oey Yong tersenyum. "Jangan puji-puji aku!" Katanya. "Mari kita lekas-lekas turun gunung! Kalian akan kumasakkan beberapa macam hidangan!" PENUTUP OEY YONG berempat tiba di kaki gunung, lalu mereka mencari penginapan. Si nona benar-benar menepati janjinya, ia memasak berbagai hidangan lezat terutama untuk gurunya. Malamnya mereka beristirahat di dalam dua kamar, Oey Yok Su bersama putrinya, dan Ang Cit Kong bersama Kwee Ceng. Keesokan paginya ketika mendusin. Kwee Ceng tidak melihat gurunya. Di atas meja ia melihat tiga huruf yang terukir dalam. "Aku telah pergi" Jelas tulisan itu diukir dengan jari. la heran, lekas-lekas ia pergi ke kamar mertuanya untuk memberitahukan kepergian gurunya itu. Oey Yok Su menghela napas. "Biarlah!" Katanya. "Memang demikian sepak terjang Saudara Cit, seperti naga sakti yang kepalanya tampak tapi ekornya tidak...!" Kemudian ia melirik si pemuda dan anak gadisnya, lantas meneruskan berkata. "Anak Ceng, ibumu telah menutup mata, maka sekarang orang yang paling dekat denganmu tinggallah gurumu, Kwa Tin Ok, Maka sebaiknya kau turut aku pulang ke Pulau Persik, di sana kau mohon gurumu itu menjadi wali agar merampungkan pernikahanmu dengan Yongji." Kwee Ceng sedih berbareng girang sampai tidak bisa bilang apa-apa, melainkan mengangguk berulang-ulang. Oey Yong hendak mengatai kekasihnya itu tolol, tapi batal karena ada ayahnya. Ia diam saja sambil melirik ayahnya. Tiga orang ini memulai perjalanan pulang ke Pulau Persik. Sepanjang jalan mereka menggunakan kesempatan untuk menikmati keindahan alam. Mereka menuju tenggara. Suatu hari tibalah mereka di selatan jalan perbatasan antara timur dan barat Provinsi Ciatkang. Itu berarti Pulau Persik sudah tidak jauh lagi. Begitu sampai di situ mereka mendengar suara burung rajawali di udara, lantas terlihatlah sepasang burung itu terbang mendekat dari utara. Kwee Ceng girang sekali, lantas memanggil. Kedua burung itu menghampirinya lalu menclok di pundaknya. Ketika meninggalkan Mongolia, anak muda ini tidak sempat membawa burung-burung itu, maka bisa dimengerti kegirangannya. Ia mengusap-usap kedua rajawali itu. Tiba-tiba ia melihat ada sesuatu di kaki burung yang jantan. Ternyata itu sehelai kulit yang digulung kecil sekali, la membuka simpul tali pengikatnya, lalu membeberkannya, hingga terlihat ukiran huruf-huruf berikut. Angkatan perang kami berangkai berperang ke Selatan dan akan menyerang kota Siangyang. Berhubung dengan itu, karena aku tahu kau sangat setia pada negara, dengan menempuh bahaya aku menyampaikan kabar ini padamu. Aku telah menyebabkan kematian ibumu yang sangat menyedihkan, aku malu bertemu lagi denganmu, maka sekarang aku berangkat ke Barat, di daerah yang terasing, untuk tinggal bersama kakak sulungku. Seumur hidup aku tidak akan kembali ke negeriku. Kuharap kau menjaga diri baik-baik, semoga kau panjang umur! Surat itu tanpa alamat dan tanpa tanda tangan, tetapi Kwee Ceng tahu itu surat Putri Gochin Baki. la menyalin surat itu untuk memberitahu Oey Yok Su dan Oey Yong, kemudian ia bertanya pada mertuanya, tindakan apa yang harus mereka ambil. "Kita sekarang berada dekat dengan kota Liman," Kata Oey Yok Su. "Tapi jika kita menyampaikan berita pada pemerintah, artinya kita terlambat. Pemerintah pasti bertindak sangat pelan dan kota Siangyang terancam bahaya. Kuda merahmu kencang larinya, berangkatlah langsung ke Siangyang untuk menemui kepala perang di sana. Umpama dia mau mendengar nasihat, bantulah dia membela kota itu bersama. Sebaliknya, kalau dia menentang, hajar mampus dia, lantas gantikan dia. Kau bekerja sama dengan semua pasukan dan rakyat kota itu, melawan angkatan perang Mongolia. Aku akan pulang bersama Yongji, di Pujau Persik aku me-nantimu." Kwee Ceng menerima baik perkataan mertuanya. Oey Yong diam tetapi tampak tidak senang. Oey Yok Su melihat roman muka anak gadisnya, ia tertawa. "Baiklah, Yongji, kau boleh pergi bersamanya!" Ia berkata. "Begitu urusan beres, kau mesti lekas pulang. Jangan pedulikan seandainya pemerintah memberi ganjaran padamu." Gadis itu girang sekali. "Itu pasti!" Sahutnya. Lantas sepasang muda-mudi ini berangkat ke barat, mereka melarikan kuda mereka. Kwee Ceng tidak mau ayal-ayalan, ia khawatir musuh akan keburu sampai. Jika kota Siangyang pecah, celakalah penduduk kota itu. Ia menginsafi kekejaman tentara Mongolia. Suatu malam mereka singgah di dekat perbatasan selatan Liang-ciat dan barat Kanglam. Si pemuda duduk diam, pikirannya kusut. Ia teringat bunyi surat Putri Gochin, maka ia teringat juga saat ia dan putri itu masih sama-sama kecil, mereka hidup rukun hingga besar. Si nona membiarkan pemuda itu berpikir, ia sendiri duduk menjahit bajunya. "Yongji," Tiba-tiba si anak muda bertanya. "dia menulis bahwa ibuku mati mengenaskan dan dia tak punya muka menemuiku lagi. Kau tahu apa artinya itu?' "Ayahnya memaksakan kematian ibumu, sudah tentu dia tak tega dan sedih karenanya," Sahut si nona. "Tentu dia sangat menyesal." Kwee Ceng diam, membayangkan kematian ibu- nya itu. Mendadak ia melompat bangun, tangannya menepuk meja keras sekali. "Aku tahu sekarang!" Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Serunya. "Kiranya demikian!" Oey Yong terkejut, jarum yang dipegangnya menusuk jarinya hingga berdarah. "Eh, kau kenapa?" Ia bertanya sambil tertawa. "Sekarang aku mengerti duduk persoalannya," Sahut si pemuda. "Ketika aku dan ibuku membuka surat rahasia dari Jenghis Khan hingga kami memutuskan untuk pulang ke Selatan, di sana tak ada orang lain, tapi Jenghis Khan bisa tahu rencana itu, lantas memergoki dan menawan kami. Karena sudah putus asa, Ibu bunuh diri. Bagaimana rencana kami bisa bocor? Sekian lama aku memikirkannya, baru sekarang aku tahu. Jadi rupanya dialah yang membocorkan rencana kami pada ayahnya." Oey Yong menggelengkan kepalanya. "'Putri Gochin sangat mencintaimu, dia tak mungkin membocorkan rahasia itu hingga mencelakai-mu," Katanya. "Tapi dia bukan hendak bikin celaka, dia cuma hendak mencegah keberangkatanku. Dia berada di luar tenda, mendengar pembicaraan kami berdua, terus melaporkannya pada ayahnya. Dia yakin ayahnya akan tidak mengizinkan kami berangkat, siapa tahu akibatnya adalah bencana hebat...." Ia menghela napas. "Karena dia berbuat tanpa sengaja, kau harus pergi ke Barat mencarinya!" Kata Oey Yong. Kwee Ceng menggeleng. "Aku dan dia seperti kakak dan adik saja," Katanya. "Sekarang dia tinggal di wilayah Barat itu bersama kakaknya. Hidupnya mulia, buat apa aku pergi mencarinya?" Oey Yong tertawa, hatinya girang. Besoknya perjalanan dilanjutkan terus sampai suatu hari mereka tiba di Kecamatan Bu-leng di Kawedanan Liong-hin. Mereka melintasi Ok-lim dan Tiang Nia, mereka melihat pemandangan alam seperti semasa mereka bertemu dengan Cin Lam Khim di tempat mereka menangkap burung hiat-niauw. "Kakak Ceng," Kata Oey Yong tertawa. "Di mana saja berada kau main asmara, dan sekarang kau kembali akan bertemu dengan sahabat lamamu...." "Jangan ngaco. apa itu sahabat lama dan bukan sahabat lama!" Kata si pemuda yang polos. Oey Yong tetap tertawa. "Kalau umpama kembali turun hujan besar, dia pasti akan mengambil payung untuk memayungimu, bukannya aku!" Ia menggoda. Baru saja si nona menutup mulut, tiba-tiba terdengar suara kedua burung mereka yang mengikuti sembari terbang. Kedua rajawali itu terdengar gusar, lalu menukik ke dalam rimba dan lenyap. "Mari kita lihat!" Ajak Kwee Ceng. Ia menduga sesuatu. Si nona juga menduga demikian. Mereka melarikan kuda memutari rimba. Lantas mereka menampak kedua rajawali itu terus beterbangan, sedang bertarung dengan seseorang. Anehnya, hiat-niauw. si burung api. juga ada di situ dan turut membantu bertarung. "Bagus!" Seru Oey Yong. Ia girang bertemu dengan burung yang sangat disayanginya itu. Sekarang mereka melihat tegas, orang itu adalah Pheng Tianglo dari Kay Pang. Ia membela diri dengan memutar goloknya, maka ketiga burung tidak bisa mendekatinya. Tapi kemudian rajawali betina dapat menyambar ikat kepalanya dan mematuk kepala pengemis itu. Pheng Tianglo membacok, ia berhasil membabat bulu binatang itu hingga berhamburan. Karena ikat kepala orang itu terlepas. Oey Yong dapat melihat sebagian kulit kepalanya yang tanpa rambut. Segera ia teringat. "Dulu burung ini terpanah dadanya dengan anak panah pendek, kiranya pengemis busuk inilah yang memanahnya. Ketika bertarung di Chee-liong-thoa, kedua burung ini membawa kulit kepala orang, jadi itu milik pengemis ini! Oey Yong lantas memungut beberapa butir batu, berniat membantu burung-burungnya, tetapi belum sampai ia turun tangan ia sudah melihat burung api menyambar dan bacotnya yang panjang mematuk biji mata si pengemis. Orang itu sedang melindungi kepalanya, tidak tahu burung kecil ini menyambar dari bawah. Ia kesakitan bukan main hingga menjerit, ia melemparkan goloknya, terus berlari masuk ke gerombolan duri. Untuk menyelamatkan jiwanya ia tidak memedulikan duri menusuk sana-sini. Ketiga burung tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Hiat-niauw melihat si nona dan terbang menghampiri. Kedua rajawali masih terbang berputaran di atas gerombolan duri itu. "Sebelah matanya sudah buta, beri dia ampun!" Kata Kwee Ceng pada kedua rajawalinya. Setelah itu Kwee Ceng mendengar suara anak kecil beberapa kali. Ia heran hingga berseru tertahan. Suara itu datangnya dari sampingnya, tempat tumbuh rumput tinggi dan tebal. Langsung ia melompat turun dari kuda, berlari ke rerumputan itu dan menyibakkannya. la menemukan seorang anak kecil sedang duduk sendirian, kedua tangannya memegangi seekor ular berbisa yang meronta-ronta tapi tidak dapat meloloskan diri. Kwee Ceng kaget dan tercengang. Keheranannya semakin bertambah ketika ia melihat di samping anak itu terjulur sepasang kaki wanita. Maka ia menyibakkan rerumputan di sana hingga mendapati seorang wanita berbaju hijau sedang tergeletak pingsan. Ia segera mengenali wanita itu sebagai Nona Lam Khim. Karena khawatir ular itu akan mencelakai si anak, Kwee Ceng mengulurkan tangannya untuk menarik, namun anak itu sudah melemparkan ular berbisa itu. Binatang itu bergerak-gerak sebentar, lantas terdiam mati, sebab ternyata telah dipencet anak itu. Pemuda ini semakin heran. Ia menduga anak itu belum berumur dua tahun. Ia membungkuk memeriksa Nona Lam Khim, lalu menekan hidungnya. Selang tidak lama, Lam Khim mendusin. Waktu membuka mata dan melihat Kwee Ceng, ia me- lengak, merasa seakan tengah bermimpi. "Kau... kau kan Kakak Ceng...," Katanya dengan suara bergetar. "Ya, aku Kwee Ceng!" Sahut si anak muda mendahului. "Nona Cin, apakah kau terluka?" Nona itu bergerak akan bangun, namun roboh kembali. Ternyata tangan dan kakinya terikat. Oey Yong segera menghampiri dan memotong belenggu itu. "Terima kasih." Kata Lam Khim yang terus menggendong anaknya. Ia duduk diam. "Sebenarnya, Nona, apa yang telah terjadi atas dirimu?" Tanya Kwee Ceng. Lama nona itu diam, akhirnya dengan likat ia menuturkan juga hal ihwal dirinya. Di puncak Tiat Ciang Hong, kehormatannya telah dicemarkan oleh Yo Kang, lantas ia hamil, la melahirkan anaknya di kampung halamannya. Karena tidak punya apa-apa lagi, ia tetap hidup sebagai penangkap ular. Ia terhibur dengan adanya anaknya yang cerdik sekali itu, anak itu seakan tahu kesengsaraan sang ibu. Hari itu Lam Khim membawa anaknya mencari kayu bakar. Kebetulan ia bertemu dengan Pheng Tianglo yang sedang lewat di sitn. Nafsu binatang pengemis itu timbul melihat kecantikan Lam Khim. Si pengemis akan main gila. Lam Khim telah mempelajari ilmu yang diajarkan Kwee Ceng, tubuhnya menjadi sehat dan kuat. Sayang ia bertemu dengan Pheng Tianglo, salah satu di antara keempat pemimpin Kay Pang, ia dikalahkan dan diringkus. Bersama Lam Khim ada hicu-niauw, si burung api. Sejak berpisah dari Kwee Ceng dan Oey Yong di Chee-liong-thoa, burung itu pulang ke kampungnya, tinggal bersama Nona Cin. Burung ini tahu si nona sedang dalam bahaya, maka ia menyerang Pheng Tianglo hingga keduanya jadi bertarung. Tidak lama kemudian datang bantuan kedua rajawali. Lantaran ini, pengemis itu tidak sempat melampiaskan nafsu binatangnya. Lam Khim sendiri lantas jatuh pingsan, karena melihat beberapa ular berbisa datang ke situ. Ia mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Ia tidak menyangka ketika mendusin ia mendapati sepasang muda-mudi itu dan anaknya ternyata tidak kurang suatu apa. Malam itu Kwee Ceng dan Oey Yong singgah di rumah Nona Cin. Si pemuda senang melihat roman muka si anak kecil, yang mengingatkannya pada Yo Kang yang tersesat itu. Ia menghela napas. " "Kakak Kwee," Kata Lam Kim kemudian. "coba tolong beri nama anak ini." "Dengan ayahnya aku bersaudara angkat," Kata Kwee Ceng. "Sayang ayahnya tersesat hingga hubungan kami berdua memburuk. Sebenarnya aku menyesal tak bisa melakukan kewajibanku sebagai sahabat. Kuharap setelah anak ini dewasa, sifatnya berbeda dari sifat ayahnya. Menurutku sebaiknya dia diberi nama Ko alias Kay Ci. Apakah kau setuju?" "Ko" Berarti salah atau kesalahan, dan "Kay" Berarti mengubah itu atau mengubah kesalahan. Setelah besar, anak itu diharapkan dapat mengubah kesalahan ayahnya dan menjadi orang bijaksana. "Terserah padamu, Kakak," Sahut Lam Khim sambil meneteskan air mata. "Semoga dia menjadi orang baik-baik." Harapan mereka ini di kemudian hari terkabul. (Sebagaimana kisahnya dapat dibaca dalam Sin Tiauw Hiap LuRajawali Sahi dan Pasangan Pendekar, sambungan kisah ini.) Kwee Ceng dan Oey Yong tidak bisa tinggal di rumah Lam Khim. Mereka mempunyai urusan yang sangat penting. Ketika mereka akan berangkat, Kwee Ceng memberikan uang emas seratus taU, sedangkan Oey Yong menghadiahkan serenceng mutiara. Oey Yong tidak mengajak hiat-niauw meskipun sangat menyukainya, karena burung itu lebih dibutuhkan untuk menemani Nona Cin. Lam Khim merasa berat berpisah, teiapi tidak dapat menahan muda-mudi itu. Ia terharu dan menyesal, lalu mendoakan supaya mereka berhasil. Kwee Ceng berdua menuju ke barat, lalu tiba di selatan Lian Ouw yang terletak di antara dua provinsi, yaitu Ouwlam dan Ouwpak. Mereka membelok ke utara. Suatu hari tibalah mereka di tempat tujuan mereka, kota Siangyang. Lega hati mereka, lernyata musuh belum sampai. Penduduk tenang, kota ramai, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahaya perang. Kota Siangyang memegang peranan penting di Utara. Di zaman Lam Song, atau Song Selatan, di situ ditempatkan pembesar tinggi An-bu-su, komi-saris keamanan, dengan pasukan tentaranya yang kuat untuk menjaga keselamatan kota, atau lebih tepatnya tapal batas. Karena pentingnya urusan, tanpa menanti mencari penginapan lagi Kwee Ceng mengajak Oey Yong segera pergi ke kantor An-bu-su untuk menemui pembesar militer itu. Tentu saja tidak gampang menemui pembesar itu. An-bu-su itu pangkal tinggi. Meskipun di Mongolia Kwee Ceng menjadi panglima perang, di sini Kwee Ceng adalah rakyat jelata yang tidak dikenal. Tapi Oey Yong tidak kurang akal. Ia menyerahkan uang emas satu tail kepada penjaga pintu, yang langsung bersikap manis, tapi masih berkeberatan untuk segera melaporkan. Katanya, menurut kebiasaan, untuk bertemu dengan pembesar itu orang mesti menanti paling cepat setengah bulan. Apalagi biasanya yang diterima menghadap adalah pembesar, bukan orang semacam si pemuda. Akhirnya Kwee Ceng mendongkol. "Ini adalah urusan tentara yang sangat penting, mana bisa aku menanti lama-lama!" Katanya bengis. Sebaliknya Oey Yong berpikir lain. Ia mengedipkan mata pada kekasihnya, menarik tangannya untuk mengajaknya minggir, dan berbisik. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Nanti malam kita menyelundup masuk untuk menemuinya dengan paksa." Kwee Ceng setuju, maka mereka mengundurkan diri untuk mencari tempat menginap lebih dulu. Begitu pukul dua dini hari tiba, mereka lantas menyatroni gedung pembesar itu. An-bu-su itu seorang bermarga Lu. Ketika Kwee Ceng dan Oey Yong masuk ke gedung, ia sedang bersenang-senang makan-minum sambil memeluk gundiknya. "Hamba hendak melaporkan urusan militer penting!" Kata Kwee Ceng sambil menjura. Lu An-bu-su kaget sekali. "Ada pembunuh!" Jeritnya sambil mendorong gundiknya. Ia sendiri menyelusup masuk ke kolong meja. Kwee Ceng melangkah dan mencekal tubuh orang itu, lalu mengangkatnya. "An-bu, jangan takut!" Katanya. "Hamba tidak berniat membikin celaka." Ia mendorong tubuh si pembesar hingga terduduk lagi di tempatnya. Pembesar itu masih ketakutan, mukanya pucat, tubuhnya gemetaran. Segera muncul beberapa puluh serdadu pengiring yang hendak menolong atasan mereka, tetapi Oey Yong mengancam dada si pembesar dengan belatinya untuk menahan mereka maju. Para serdadu itu cuma bisa berteriak-teriak. "Suruh mereka jangan bikin berisik!" Perintah Oey Yong pada An-bu-su. "Mari kita bicara!" Dengan bingung An-bu-su memerintahkan orang- orangnya supaya diam. Maka sunyilah ruangan itu. Kwee Ceng mengeluh dalam hati menyaksikan pembesar yang berpangkat tinggi dan memikul tanggung jawab besar ini ternyata cuma kantong nasi, tapi tidak mudah mengubah sikap orang itu. Ia lantas menyampaikan laporan tentang angkatan perang Mongolia yang bakal datang menyerang kota itu secara mendadak. Ia meminta pembesar ini segera mengambil tindakan memperkuat penjagaan untuk menyambut musuh. Lu An-bu-su tidak mempercayai laporan itu, tetapi menyahut. "Ya, ya!" "Kau dengar tidak?" Tanya Oey Yong yang melihat orang itu gemetar saja. "Dengar, dengar...." "Kau dengar apa?" "Aku dengar bangsa Kim bakal menyerbu dan kami mesti bersiap sedia...." "Bangsa Mongol, bukan bangsa Kim!" Oey Yong membetulkan. Pembesar itu heran. "Bangsa Mongol? Tak mungkin!" Katanya. "Bangsa Mongol telah berserikat dengan perdana menteri kita untuk bersama menyerang bangsa Kim! Mereka takkan bermaksud lain...." Oey Yong sebal, matanya mendelik. "Aku bilang bangsa Mongol!" Bentaknya. "Bangsa Mongol!" Pembesar itu ketakutan. "Ya, bangsa Mongol, bangsa Mongol...," Katanya seraya mengangguk-angguk. Kwee Ceng lantas berkata dengan sabar tapi bersungguh-sungguh. "Kota ini dan penduduknya di bawah perlindungan Tuan, kota Siangyang ini juga merupakan tirai kerajaan Selatan kita, maka kuminta Tuan memperhatikannya baik-baik." "Benar, yang Saudara bilang itu benar," Kata pembesar itu. "Sekarang silakan!" Kwee Ceng dan Oey Yong menghela napas, tanpa banyak omong lagi, mereka menyingkir dari gedung itu. Tapi mereka mendengar teriakan-teriakan di belakang mereka. "Tangkap orang jahat! Tangkap orang jahat!" Suara itu berisik dan kacau. Mereka kembali ke tempat penginapan sambil menanti sepak terjang An-bu-su, tetapi dua hari lamanya penantian mereka sia-sia. Kota tetap tenang, tidak ada tindakan apa-apa dari pihak pembesar. "Pembesar itu busuk!" Kata Kwee Ceng. "Lebih baik kita bertindak seperti yang diajarkan ayahmu! Kita binasakan dia. lantas kita mengambil tindakan." "Pembesar anjing itu memang pantas dibinasakan, tak patut diselamatkan," Kata Oey Yong. "Tapi musuh bakal sampai dalam beberapa hari ini, tentara dan rakyat tentulah kacau karena tak ada yang memimpin. Bagaimana musuh bisa dilawan?" Kwee Ceng mengerutkan alisnya. "Benar, sulit...," Katanya. "Bagaimana sekarang?" Oey Yong berpikir, kemudian berkata. "Dalam kitab Co Toan ada dongeng yang mungkin dapat kita tiru, yaitu dongeng Hian Kho memberi hadiah pada tentaranya." Kwee Ceng girang. "Yongji, manfaat membaca kitab memang tak ada habisnya," Ia berkata. "Dongeng itu bagaimana? Coba kauceritakan padaku. Mungkin kita dapat mencontohnya." "Mencontoh tentu bisa. cuma itu tergantung padamu...." Si pemuda heran. "Apa?" Ia menegaskan. Si nona tidak lantas menjawab, hanya tertawa. Kwee Ceng mengawasi, menanti cerita itu. Oey Yong berhenti tertawa, kemudian baru memulai. "Baiklah, akan kututurkan. Di zaman Cun Ciu. di Negeri The ada seorang saudagar bernama Hian Kho. Dia berdagang dengan merantau. Suatu kali, di tengah jalan dia bertemu dengan angkatan perang Negeri Cin. Angkatan perang itu akan menyerbu Negeri The. Negeri The tidak bersiap sedia. Kalau musuh tiba mendadak, pasti negeri itu bakal musnah. Walaupun saudagar, Hian Kho sangat mencintai negaranya, dia hendak menolong menyelamatkan negaranya. Apa akalnya? Dia lantas membawa dua belas ekor kerbau pada pasukan Negeri Cin itu, dia menemui kepala perangnya. Dia bilang dia diperintahkan Raja The untuk menghaturkan hadiah pada pasukan Cin itu. Di lain pihak, diam-diam dia mengirim kabar kilat kepada Raja The, memberitahukan kedatangan pasukan musuh. Panglima Negeri Cin mengira Negeri The sudah bersiap sedia, maka dia tak berani melanjutkan gerakannya untuk menyerbu Negeri The, bahkan menarik pulang pasukannya." "Siasat itu bagus sekali," Kata Kwee Ceng girang. "Tapi kenapa kau bilang siasat itu tergantung padaku?" "Ya, aku hendak pinjam tubuhmu." "Bagaimana caranya?" "Bukankah tadi kukatakan ada dua belas ekor kerbau?" Kata si nona tertawa. "Bukankah shio-mu Gu?" Kwee Ceng melonjak. "Bagus, dengan jalan memutar kau mencaciku!" Katanya. Pemuda ini ber-shio Gu, kelahiran tahun Gu, dan Gu itu berarti kerbau. Maka ia mengulurkan tangannya untuk menggelitiki si nona. Si nona lantas berkelit sambil tertawa. Kwee Ceng pun turut tertawa. "Sekarang begini rencanaku," Kata si nona, setelah mereka berhenti bergurau. "Malam ini kita menyelundup masuk ke kantor An-bu-su, kita curi uang emas dan permatanya. Besok aku akan menyamar sebagai pria, aku akan dandan sebagai pegawai negeri, lantas aku akan memapak angkatan perang Mongolia dan menghadiahkan barang-barang itu pada mereka. Kau sendiri mesti bekerja di dalam kota. mencoba menjalin kerja sama dengan tentara dan rakyat untuk mengatur penjagaan." Kwee Ceng setuju, dengan girang ia bertepuk tangan. Malam itu mereka mulai bekerja. Lu An-bu-su punya banyak simpanan uang dan permata. Sampai terang tanah, tidak ada yang mengetahui pencurian yang mereka lakukan. Pagi hari Oey Yong melanjutkan rencananya, menyamar sebagai pegawai negeri pria. Dengan naik kuda merah dan membawa kantong besar, ia pergi ke luar kota utara, menyambut angkatan perang Mongolia. Tengah hari kedua, Kwee Ceng menuju pintu kota utara untuk memandang jauh ke luar. Ia menanti kekasihnya. Segera ia melihat kuda merah menghampirinya, ia menyambutnya. Oey Yong menahan kuda itu, roman mukanya tampak gelisah. Ketika berbicara, suaranya bergetar. "Jumlah tentara Mongolia itu mungkin belasan laksa. Mana dapat kita melawan mereka?" Kwee Ceng pun kaget. "Begitu banyak?" Ia menegaskan. "Kelihatannya Jenghis Khan ingin sekali memusnahkan Kerajaan Song," Kata si nona. "Aku menemui punggawa terdepannya dan menyerahkan hadiah itu. Dia tak tahu kita sudah mendengar kabar mengenai kedatangan mereka. Dia mengatakan membawa pasukan perang itu untuk menyerang Negeri Kim, bukan Negeri Song. Waktu kubeberkan rahasianya, dia kaget, lantas menahan pasukan perangnya. Mungkin dia mau melapor dulu pada kepala perangnya." "Kalau mereka terus pulang, itu bagus," Kata Kwee Ceng. "Kalau mereka maju terus, aku khawatir...." Oey Yong mengerutkan alis. "Aku telah berpikir sehari semalam, tapi belum juga mendapat akal," Ia berkata. "Kakak Ceng, kalau kita bertempur satu lawan satu, cuma ada dua-tiga orang yang dapat melayani kita, tapi sekarang kita mesti menghadapi belasan laksa orang, Bagaimana caranya?" Kwee Ceng menghela napas. "Sebenarnya rakyat Song jauh lebih banyak daripada rakyat Mongolia," Katanya kemudian. "Di antara para tentara dan rakyat itu, masih ada yang setia pada negara. Kalau mereka bisa bersatu, kita tak usah takut menghadapi tentara Mongolia itu. Sayang banyak pembesar negeri ini yang tolol dan bernyali kecil, cuma bisa memeras dan menyiksa rakyat, tanpa sadar mereka mencelakakan negara." "Kalau terpaksa, biarlah kita coba melabrak pasukan Mongolia itu," Kata Oey Yong. "Kita bisa mengandalkan kuda merah kita...." "Yongji, sikapmu keliru," Kata Kwee Ceng sungguh-sungguh. "Kita telah mempelajari kitab perang Gak Bu Bok, kenapa kita tak mau meniru kegagahannya dalam membela negara dengan ber-bekalkan kesetiaan kita? Kalau kita berkorban untuk negara, kita takkan mengecewakan orangtua yang telah merawat kita dan guru yang telah mendidik kita!" Si nona menghela napas. "Aku memang telah menduga pasti hal seperti ini akan terjadi," Katanya. "Baiklah, mati atau hidup kita tetap bersama!" Setelah berpikir demikian, mereka menjadi sedikit lega. Lantas mereka kembali ke penginapan mereka. Kali ini hubungan mereka semakin erat. Mereka minum arak sampai pukul dua. Saat akan berangkat tidur, mereka dikagetkan bunyi riuh dari luar kota. "Mereka tiba!" Kata si nona. "Ya!" Sahut si pemuda. Keduanya berlari keluar, terus menuju tembok kota. Mereka menyaksikan rakyat negeri, tua-muda, pria-wanita, berduyun-duyun dan berkumpul di balik tembok kota hendak masuk kota, namun mereka dihalangi. Pintu kota dikunci rapat. Kemudian datang pasukan yang dikirim Lu An-bu-su yang siap dengan panah. Mereka memerintahkan rakyat menyingkir menjauh. "Tentara Mongolia datang menyerang! Lekas buka pintu, biarkan kami masuk!" Rakyat berteriak-teriak. Pintu kota tetap tertutup. Saking takutnya, rakyat berteriak-teriak makin hebat, banyak pula yang menangis. Kwee Ceng berdua memandang ke tempat jauh, mereka melihat cahaya api berlugat-legot bagaikan naga api sedang mendekat. Itulah pasukan depan angkatan perang Mongolia. Jelas mereka tidak kembali ke negara mereka, melainkan maju terus, berarti rakyat dan tentara pembela kota bakal bertempur. Dalam keadaan seperti itu, mendadak pemuda ini mengambil keputusan. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiba-tiba ia berseru-seru. "Kalau kota Siangyang pecah, tak seorang pun bakal hidup! Siapa yang merasa laki-laki sejati, man turut aku menerjang musuh!" Punggawa di pintu kota itu orang kepercayaan Lu An-bu-su, ia gusar sekali melihat perbuatan Kwee Ceng. Ia berteriak menitahkan. "Tangkap orang itu! Dia mengacaukan rakyat!" Tapi Kwee Ceng sudah bertindak. Ia melompat turun, menyambar dada punggawa itu, mengangkat tubuhnya, maka sekejap kemudian ia menggantikan duduk di punggung kuda si punggawa. Di antara para tentara itu. banyak yang gagah dan mencintai negara. Mereka tidak tega menyaksikan rakyat di balik tembok berteriak-teriak dan menangis minta dibukakan pintu kota. Mereka menyambut sepak terjang Kwee Ceng, tidak meng- ambil mumet titah punggawa mereka. Kwee Ceng senang melihat sikap pasukan itu. "Lekas perintahkan membuka pintu kota!" Perintahnya. Si punggawa masih menyayangi jiwanya, ter- paksa ia menurut. Begitu pintu kota dibuka, bagaikan banjir yang meluap rakyat berlomba masuk. Kwee Ceng menyuruh Oey Yong menjaga si punggawa, sedangkan ia sendiri menuju ke luar kota dengan menunggang kuda dan membawa tombak. "Baik." Sahut si nona. Ia menyuruh si punggawa melepaskan baju perangnya untuk dipakai Kwee Ceng. Setelah itu ia berbisik pada kekasihnya. "Dengan memakai perintah palsu, pergilah kau membawa tentara ke luar kota." Kwee Ceng girang. Siasat itu baik sekali. Maka ia maju dan segera berseru. "Atas perintah Sri Baginda Raja, An-bu-su kota Siangyang, yang tolol dan memandang enteng musuh, dipecat dari jabat-annya! Para tentara semua, ayo ikuti aku menghadang musuh!" Dengan bantuan tenaga dalamnya, Kwee Ceng bersuara keras hingga terdengar sampai jauh, walaupun di balik tembok suasana sangat berisik. Semua serdadu mendengarnya dengan nyata. Banyak serdadu yang menyangsikan titah yang datangnya mendadak itu. tetapi banyak juga yang tahu bahwa an-bu-su mereka memang tolol dan mereka mengerti pentingnya melawan musuh itu, maka segera terdengar seruan sambutan yang riuh. Sebentar saja Kwee Ceng sudah berada di luar tembok kota bersama sekitar tiga ribu serdadu, la menyesal melihat tentara itu tidak tertib. Mana bisa mereka diajak berperang melawan musuh yang berjumlah besar? Ia ingin menerapkan siasat Gak Hui, saat terjepit, lebih baik menggunakan akal muslihat, la memerintahkan seribu serdadu pergi ke balik gunung sebelah timur untuk bersembunyi. Mereka dipesan, kalau mendengar tanda letusan meriam, mereka mesti bersorak-sorai sambil melambai-lambaikan bendera tapi jangan keluar berperang. Seribu serdadu lebih lainnya diperintahkannya sembunyi di balik gunung barat dengan tugas "serupa. Sampai fajar tiba, barulah semua rakyat berhasil masuk kota dengan selamat. Sebagai ganti mereka, segera terlihat kedatangan para musuh. Bunyi tetabuhan perang serta langkah kaki pasukan musuh itu berisik sekali. Debu mengepul tinggi. Selagi musuh berdatangan, Oey Yong menotok punggawa yang diserahkan padanya. Ia melemparkan orang itu ke luar pintu kota, lantas meminta kuda dan tombak dari salah satu serdadu untuk menyusul Kwee Ceng. "Pentang keempat pintu kota.'*" Kwee Ceng memberikan perintahnya lagi. "Semua rakyat harus sembunyi di dalam rumah.' Siapa yang lancang keluar akan dihukum penggal!" Perintah itu ditaati terutama oleh rakyat, tanpa titah itu pun mereka tidak akan berani muncul di luar rumah. Di dalam gedungnya, An-bu-su bersembunyi di bawah kasur dengan tubuh gemetaran. Pasukan Mongolia telah sampai dengan cepat. Mereka melihat pintu-pintu kota terpentang dan kota dalam keadaan sepi. Di muka jembatan gantung bersiaga sepasang pria dan wanita yang menunggang kuda dan bersenjatakan tombak. Punggawa yang memimpin pasukan depan itu seorang cianhu-tio. Ia heran, maka ia lantas melapor pada kepalanya, seorang banhu~rio. Orang ini pun tidak kurang herannya. Ia langsung maju untuk menyaksikan sendiri, Banhu-tw ini terkejut ketika mengenali Kwee Ceng. Selama berperang ke Barat, Kim Too Huma itulah yang paling berakal dan gagah, sehingga tentara berpayungnya berhasil merampas kota Samarkand. Ia curiga melihat pintu kota dipentang dan kota kosong. Cepat-cepat ia menghampiri Kwee Ceng, lalu turun dari kudanya dan memberi hormat. Ia memanggil. "Kim Too Huma yang mulia!" Kwee Ceng membalas hormat, tanpa bilang apa-apa. Segera banhu-tio itu mengundurkan diri sembari mengundurkan pasukannya. Segera ia mengirim kabar kepada kepala perangnya. Sejam kemudian muncul pasukan dengan bendera besar, dipimpin oleh seorang panglima muda yang diiringi banyak punggawa. Ia adalah Pangeran Keempat, Tuli. Si pangeran langsung melarikan kudanya keluar dari barisan dan maju. "Anda Kwee Ceng!" Serunya. "'Kau baik-baik saja?" Kwee Ceng melarikan kudanya untuk menyambut. "Anda Tuli!" Serunya. "Kiranya kau!" Biasanya kalau bertemu, mereka berdua saling merangkul, namun sekarang mereka tidak terlalu mendekat, melainkan sama-sama menahan kuda masing-masing. "Anda," Kwee Ceng bertanya. "kau mengepalai pasukan perang untuk menyerang Negeri Song, bukan ?" "Aku menerima titah ayahku, aku tidak merdeka," Sahut Tuli. "Kuminta kau mau memaafkanku." Kwee Ceng memandang pasukan musuh yang entah berapa laksa jumlahnya. "Kalau pasukan berkuda itu menyerbu, hari ini habislah jiwaku...," Pikirnya. Lantas ia menghadap pada pangeran Mongolia itu lagi dan berkata. "Baiklah! Nah. ambillah jiwaku.'" Tuli terperanjat, ia pun segera berpikir. "Dia sangat pandai mengatur tentara, aku bukan tandingannya. Lagi pula. kami bagaikan saudara kandung, mana bisa aku merusak persaudaraan ini...?" Oleh karena itu. ia menjadi ragu-ragu. Oey Yong menyaksikan semua itu. ia lantas berpaling ke arah kota, melambaikan tangan kanannya. Tentara di dalam kota melihat isyarat itu, mereka langsung menyulut meriam. Maka bergemalah bunyi ledakan, disusul dengan sambutan tentara yang bersembunyi di balik gunung timur. Mereka bersorak-sorai dan melambai-lambaikan bendera. Tuli kaget hingga air mukanya berubah. Ledakan meriam yang pertama disusul dengan yang kedua dan disusul lagi dengan sambutan tentara yang bersembunyi di balik gunung barat. "Celaka, aku terjebak!" Pikir pangeran ini kaget. Tanpa membuang waktu lagi ia menitahkan pasukan perangnya mundur sampai tiga puluh li. Untuk ini, tentaranya cuma perlu membalik tubuh, maka lantas pasukan belakang menjadi pasukan depan dan pasukan depan sendiri menjadi pasukan belakang. Tuli tidak tahu berapa besar pasukan musuh, tetapi karena ia sudah jeri terlebih dulu terhadap Kwee Ceng, mundur adalah jalan yang paling aman baginya. Melihat mundurnya musuh, Kwee Ceng berpaling pada Oey Yong dan tertawa, si nona menyambutnya sambil tertawa juga. "Kakak Ceng, aku memberimu selamat untuk Khong Shia Kee ini!" Si nona memuji. Khong Shia Kee adalah akal muslihat mengosongkan kota untuk menggertak musuh. Siasat itu juga dapat dipakai untuk menjebak musuh agar masuk ke kota dan kemudian dikepung. Sehabis tertawa, Kwee Ceng memperlihatkan roman berduka. "Tuli itu gagah dan ulet," Katanya. "Sekarang dia memang mundur, tapi besok dia pasti bakal datang lagi. Bagaimana kita melawannya?" Oey Yong menginsafi itu, ia lantas berpikir. "Aku punya satu cara, tapi aku khawatir lantaran kau mengingat persaudaraanmu dengannya, kau takkan sudi turun tangan melakukannya." Katanya kemudian. Kwee Ceng terkesiap. "Kau menghendaki aku pergi membunuhnya diam-diam?" Tanyanya. "Dia putra kesayangan Jenghis Khan," Kata si nona. "Dia juga berbeda dari panglima-panglima perang lainnya, satu kali dia mati, pasti musuh mundur dengan sendirinya!" Kwee Ceng tertunduk diam. Mereka kembali ke dalam kota. Semua tentara ditarik pulang, semua pintu kota ditutup rapat dan dijaga. Untuk sesaat kota tampak kacau. Setelah mendapat laporan bagaimana dengan omong sedikit saja Kwee Ceng berdua dapat mengundurkan musuh. Lu An-bu-su sendiri pergi menemui muda-mudi itu untuk menghaturkan terima kasih. Kwee Ceng menggunakan kesempatan itu untuk membicarakan soal pembelaan kota. An-bu-su menjadi berkecil hati dan tubuhnya lemas begitu mendengar bahwa musuh akan datang lagi besok, sampai-sampai ia tidak dapat buka suara, kemudian berulang-ulang menitahkan. "Siapkan joli, pulang!" La telah memutuskan untuk kabur meninggalkan kota. Kwee Ceng berduka. Meski Oey Yong telah memasak sayur lezat, ia tidak bernafsu makan. Apalagi ketika malam datang dan sang jagat gelap gulita, di sana-sini terdengar tangis rakyat yang ketakutan. Ia membayangkan besok siang tentu bakal tidak ada lagi tentara atau rakyat, semuanya bakal terbasmi habis oleh tentara Mongolia yang ganas itu. Di depan matanya berkelebat peristiwa dahsyat, kejam, dan menyedihkan di kota Samarkand. "Yongji." Katanya, mendadak tangan kirinya menggebrak meja. "Di zaman dulu. demi negara orang dapat membunuh sanak atau temannya sen- diri, maka sekarang mana bisa aku memberatkan saudara angkat lagi!" Oey Yong menarik napas panjang. "Memang urusan kita ini sulit sekali," Katanya. Kwee Ceng telah memutuskan, maka ia lantas berganti pakaian, lalu bersama Oey Yong ia menunggang kuda merahnya menuju ke utara. Setelah mendekati kubu tentara Mongolia, mereka menambatkan kuda mereka di kaki gunung, lalu dengan berjalan kaki mereka menghampiri musuh untuk mencari kemah Tuli. Tidak sulit mereka menemukannya. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mula-mula Kwee Ceng membekuk dua serdadu ronda dengan menotok mereka. Sesudah mereka tidak berdaya, ia merampas seragam mereka untuk dipakainya bersama Oey Yong. Dengan begini mereka bisa berkeliaran dengan lebih leluasa. Ia mengerti bahasa Mongol, juga segala peraturan ke-tentaraannya, maka dengan cepat mereka berdua tiba di kemah Tuli. Karena langit gelap, mereka berhasil menyelinap ke belakang tenda dan bersembunyi sambil mengintai. Tuli belum beristirahat, bahkan masih mondar-mandir dengan gelisah. Lalu ia berkata. "Kwee Ceng, Anda! Anda Kwee Ceng!" Kwee Ceng terkejut, ia menyangka Tuli sudah mengetahui kedatangannya hingga ia nyaris menyahut. Oey Yong melihat gelagat itu, maka buru-buru ia membekap mulut si pemuda. "Ah...!" Pikir Kwee Ceng tersadar. Ia sedih. Dalam hati ia memaki ketololannya. Oey Yong menghunus belatinya sambil berbisik di kuping kekasihnya. "Lekas turun tangan! Seorang laki-laki mesti tegas, tak boleh ragu!" Berbareng dengan itu, dari kejauhan terdengar derap langkah kuda, lantas tampak seorang penunggang kuda mendatangi kemah besar itu. Kwee Ceng tahu, itu berarti ada urusan penting. 'Tunggu dulu," Bisik si nona. "Kita dengar dulu apa kabar penting ini." Penunggang kuda itu seorang pesuruh berseragam kuning, la melompat turun dari kuda, lalu berlari ke dalam kemah, setelah menghormat pada Tuli, ia berkata. "Tuan Pangeran, ada titah dari Khan yang Agung!" "Apa kata Kha Khan?" Tanya Tuli. Bangsa Mongol belum lama mempunyai bahasa tulis, apalagi Jenghis Khan tidak dapat membaca dan menulis, maka apabila mengeluarkan perintah, ia memberikannya secara lisan. Supaya tidak lupa, si pesuruh disuruhnya menghafalkan titahnya dulu hingga mengingat dengan baik. Titah itu dilagukan. Demikian juga utusan ini, sambil berlutut ia menyanyikan titah Khan Agung yang telah dihafalnya luar kepala. Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Warisan Jenderal Gak Hui Karya Chin Yung Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo