Pendekar Pemanah Rajawali 73
Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong Bagian 73
Pendekar Pemanah Rajawali Karya dari Jin Yong Orang itu baru menyanyikan tiga baris katakata, namun Kwee Ceng sudah terkejut sekali, sedangkan Tuli mencucurkan air mata. Jenghis Khan sudah berusia lanjut, belakangan ini kesehatannya sering terganggu. Karena mendapat firasat bahwa mungkin ia tidak bakal hidup lebih lama lagi, ia mengeluarkan titah untuk memanggil Tuli supaya segera pulang dan bertemu dengannya. Dalam penutup titah itu, Khan juga memberitahukan bahwa ia merindukan Kwee Ceng. Maka ia berpesan, kalau di Selatan putranya itu bertemu dengan Kwee Ceng, ia meminta supaya pemuda itu diajak pergi bersama ke Utara, agar Khan yang Agung dapat melihatnya untuk yang terakhir kalinya.... Sampai di situ tanpa sadar Kwee Ceng meng- gurat tenda dengan belati di tangannya, la melompat masuk. "Anda Tuli, aku akan pergi bersamamu!" Serunya. Tuli kaget bukan main, tetapi setelah mengenali pemuda itu, ia girang bukan buatan. Keduanya lantas saling merangkul. Si utusan juga mengenali Kwee Ceng, ia mem- beri hormat sambil terus berlutut, lalu berkata. "Kim Too Huma, Khan yang Agung menitahkan supaya Huma yang Mulia pergi ke Kemah Emas untuk menemuinya!" Hati Kwee Ceng tercekat mendengar ia tetap dipanggil Kim Too Huma. Tentu saja ia khawatir Oey Yong curiga. Maka ia lari ke luar tenda, menghampiri si nona, lantas menariknya seraya berkata. "Yongji, mari kita pergi dan nanti pulang bersama!" Nona itu diam. "Yongji, kau percaya aku atau tidak?** Kwee Ceng bertanya. Tiba-tiba nona itu tertawa dan berkata. "Jika kau berniat untuk menjadi huma atau hugu, akan kupenggal kepalamu!" Huma berarti menantu raja, huruf ma berani kuda, maka Oey Yong menambahkan dan menyebut hugu untuk menggoda. Huruf gu berarti kerbau. Kwee Ceng mempertemukan si nona dengan Tuli, sedangkan Tuli langsung memerintahkan tentaranya untuk bersiap sedia berangkat pulang ke Utara keesokan paginya. Kwee Ceng bersama Oey Yong pulang lebih dulu untuk mengambil kuda dan burung mereka. Pagi berikutnya mereka kembali bergabung dengan pasukan perang Mongolia untuk berangkat ke Utara. Tuli khawatir mereka tidak sempat bertemu de- ngan ayahnya, maka ia menyerahkan pimpinan pasukan kepada wakilnya, sedangkan ia sendiri bersama Kwee Ceng dan Oey Yong berangkat lebih dulu dengan memacu kuda mereka. Maka sebelum sebulan lewat, mereka bertiga telah sampai di Kemah Emas Jenghis Khan. Dari jauh Tuli telah melihat bendera di kemah ayahnya masih terpancang seperti biasanya. Hatinya sedikit lega, namun toh berdebaran juga. Ia melarikan kuda sekencangnya supaya cepat sampai di kemah itu. Kwee Ceng menahan kudanya, pikirannya be- kerja keras, la ingat budi Khan Agung, yang sudah menolong ia dan ibunya, sebaliknya ia juga ingat kematian ibunya yang" Mengenaskan. Jadi Khan adalah penolong sekaligus musuh besarnya! la menyayangi sekaligus membencinya! Bagaimana sekarang? Selama di Siangyang dan di tengah jalan, ia ingin sekali menemui sang penolong, tetapi kini ia ragu. Ia tercenung sambil menunduk. Tidak lama kemudian terdengar bunyi trompet, lalu di muka markas terlihat munculnya dua baris serdadu pengiring. Setelah itu Jenghis Khan keluar dengan berkerobong baju bulu hitam, sebelah tangannya memegangi pundak Tuli. Langkahnya masih lebar, namun tubuhnya sedikit gemetar. Kwee Ceng maju untuk berlutut di tanah. "Bangun, bangun!" Katanya. "Setiap hari aku memikirkanmu...!" Kwee Ceng bangkit. Ia melihat muka Khan keriput dan kedua pipinya celong. Ia yakin orang tua itu tidak bakal hidup lebih lama lagi. Panas hatinya sedikit mereda. Jenghis Khan memegangi pundak Kwee Ceng dan pundak Tuli dengan kedua tangannya. Ia pun mengawasi mereka bergantian. Kemudian ia menarik napas panjang, matanya memandang jauh ke depan, ke gurun yang besar dan luas. Ia termenung. Kwee Ceng dan Tuli tidak dapat menerka isi hatinya, keduanya diam. Sesudah sekian lama diam saja. Jenghis Khan menghela napas. "Dulu mulanya aku bekerja sama dengan Anda Jamukha," Ia berkata. "Siapa tahu akhirnya mau tak mau aku harus membunuh saudara angkatku itu. Aku menjadi khan yang maha agung, tapi dia telah terbinasa di tanganku. Beberapa hari lagi aku sama dengan dia, pulang ke tanah kuning. Siapa berhasil, siapa runtuh, bukankah itu akhirnya tak ada bedanya?" Ia menepuk-nepuk pundak kedua anak muda itu. "Maka mulai hari ini hingga akhir nanti, kalian berdua mesti hidup rukun bersama," Ia berkata. "Sekali-kali janganlah kalian saling bunuh. Anda Jamukha telah mati, kuanggap persoalannya sudah beres, tapi setiap kali aku ingat dia, mataku sukar kupejamkan." Dalam benak Kwee Ceng dan Tuli lantas terbayang peristiwa yang baru saja terjadi di antara mereka di Siangyang. Bukankah mereka bakal saling membunuh? Maka itu mereka malu pada diri sendiri. Setelah berdiri sekian lama. Jenghis Khan merasa kakinya lemas, ia hendak kembali ke dalam markas. Sebelum ia mengajak Tuli dan Kwee Ceng masuk. datanglah sebarisan kecil serdadu berkuda yang dipimpin seseorang yang mengenakan pakaian perang putih dan ikal pinggang emas. Dari dandanannya sudah bisa diketahui bahwa ia orang Kim. Melihat musuh, semangat Jenghis Khan terbangun. Orang Kim itu menghentikan barisannya walau- pun masih jauh. la melompat turun dari kudanya, lalu berjalan menghampiri pendekar Mongolia itu, tetapi tidak berani sampai dekat sekali. Di tempat yang agak jauh ia sudah berlutut untuk memberi hormat. "Utusan Negeri Kim menghadap Khan yang Agung!" Demikian lapornya. "Negeri Kim tak sudi takluk, malahan mengirim utusan, untuk apa?" Tanya Jenghis Khan gusar. Sambil terus berlutut, utusan Kim itu berkata. "Negara kami yang rendah mengetahui kami telah berlaku kurang ajar terhadap Khan yang Agung, dosa kami tak terampuni, karena itu sekarang hamba diutus untuk menghaturkan seribu butir mutiara dengan permohonan agar Khan yang Agung tidak gusar lagi dan sudi memberi ampun. Ini mutiara pusaka negara kami, hamba mohon sudilah kiranya Khan yang Agung menerimanya." Sehabis berbicara, utusan itu menurunkan bungkusan dari punggungnya, membukanya, lalu mengeluarkan sebuah nampan kemala. Dari kantong bersulamnya ia menuang keluar butiran mutiara banyak sekali, lalu menaruhnya di atas nampan itu. Akhirnya kedua tangannya menghaturkan bingkisan itu. Jenghis Khan melirik. Ia melihat mutiara-mutiara sebesar jari telunjuk mengitari sebutir yang sebesar jempol tangan. Harga sebutir mutiara itu saja sudah mahal, apalagi seribu butir. Semuanya berkilauan. Dulu Jenghis Khan pasti girang bukan main melihat mutiara-mutiara itu, namun sekarang ia hanya mengerutkan alis beberapa kali. "Simpanlah!" Katanya pada pengiringnya. Si pengiring menyambut nampan berharga besar itu. Utusan Kim itu girang bukan main melihat bingkisannya diterima, ia lantas menghaturkan terima kasih. Ia berkata bahwa raja serta rakyat negerinya sangat bersyukur dan akan mengingat baik-baik budi Khan yang Agung, karena menerima baik permintaan mereka untuk akur dan bersahabat. "Siapa bilang bersahabat?" Tanya Jenghis Khan tiba-tiba. "Sebentar lagi aku akan menggerakkan angkatan perangku untuk menghajar anjing-anjing Kim! Tangkap dia!" Sejumlah serdadu pengiring lantas maju mencekuk utusan itu. Tapi Jenghis Khan menghela napas dan berkata. "Seribu butir mutiara pun takkan bisa membikin hidupku lebih lama satu hari lagi...." Ia mengambil nampan dari tangan pengiringnya, lantas melemparkannya hingga semua butiran mutiara itu ber- hamburan. Semua orang kaget dan heran, semuanya bungkam. Para serdadu Mongolia memunguti butiran mutia-ra itu, namun masih banyak yang terpendam di antara rerumputan, maka beberapa ratus tahun kemudian ada juga penggembala yang beruntung menemukannya. Dengan masygul Khan yang Agung kembali ke markas. Senja hari ia meminta Kwee Ceng seorang diri menemaninya menunggang kuda, berjalan-jalan di padang rumput sejauh beberapa puluh li sampai di tepi jurang. Kwee Ceng teringat akan masa kecilnya ketika ia bertemu dengan Kanglam Cit Koay, bagaimana suatu malam ia menghajar mampus Tong Si Tan Hian Hong si Mayat Perunggu, bagaimana Ma Giok mengajarinya ilmu tenaga dalam. Mengenang semuanya itu ia merasa bersyukur dan terharu. Tengah ia merenung, kupingnya mendengar suara burung rajawali di udara. Itulah burungnya yang terbang berputar-putar di atas jurang. Rupanya kedua burungnya juga mengenali kampung halaman mereka. Sekonyong-konyong Jenghis Khan mengambil busurnya dan segera membidik kedua rajawali itu. Kwee Ceng kaget sekali, dengan gugup ia ber- seru. "Kha Khan, jangan panah!" Meski tenaganya sudah berkurang, Jenghis Khan masih cukup kuat, waktu si pemuda berseru, anak panahnya sudah melesat. Maka pemuda itu mengeluh, menyesal bukan main. la tahu pendekar Mongolia ini pun jago memanah. Ia sangat men-cemaskan kedua burungnya. Ternyata rajawali betinalah yang dibidik Jenghis Khan. Burung itu melihat datangnya anak panah, ia berkelit menyampok dengan sayap kirinya hingga anak panah itu jatuh. Rajawali yang jantan menjadi gusar. Ia bersuara nyaring, terbang menukik menyambar ke arah Khan yang Agung. Kwee Ceng terkejut tetapi ia membentak. "Hei, kau mau mampus?" Bentakan itu dibarengi dengan menyambarnya cambuk. Burung itu mengenali majikannya , ia batal menyerang. Setelah bersuara beberapa kali ia terbang ke atas, bersama si betina ia melayang jauh.... Paras Jenghis Khan menjadi guram, dengan lesu ia melemparkan busurnya. "Selama beberapa puluh tahun, baru kali ini aku gagal memanah rajawali...,** katanya. "Rupanya memang benar telah tiba saat kematianku..." Kwee Ceng hendak menghibur, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Khan yang Agung menjepit perut kudanya, me- larikan binatang tunggangannya itu ke utara. Kwee Ceng khawatir orang itu akan mendapat celaka, maka ia lantas menyusul. Kuda merahnya berlari kencang sekali, sebentar saja sudah berhasil mengejar dan mendahului kuda Khan. Jenghis Khan menahan kudanya, memandang ke empat penjuru. "Anak Ceng." Ia berkata. "negara besar yang kubangun ini berzaman-zaman tidak ada bandingannya! Dari tengah-tengah negaraku ini untuk sampai di daerah yang paling ujung, timur, selatan, barat, dan utara, membutuhkan tempo perjalanan setahun lamanya! Katakan, di antara pendekar-pendekar di zaman dulu hingga sekarang ini, siapakah yang dapat melawanku?'* Kwee Ceng berdiam sekian lama, lalu baru menyahut. Pendekar Pemanah Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Dalam hal kegagahan, sejak dulu hingga sekarang, lak ada orang dapat menandingi Khan; tapi karena keangkeran Khan, di kolong langit ini entah telah berapa banyak tulang yang bertumpuk, serta berapa banyak air mata anak-anak yatim dan janda yang telah mengalir...." Sepasang alis Jenghis Khan berdiri, cambuknya menyambar ke pundak si pemuda. Kwee Ceng melihatnya, tapi tidak takut, ia diam saja. Cambuk itu berhenti di udara. "Apa kauhilang?" Bentak pendekar Mongolia itu. Kwee Ceng berpikir. "Setelah hari ini dan selanjutnya, pasti aku dan Khan tak bakal bertemu lagi. maka biarpun dia gusar sekali, apa yang kupikirkan mesti kuutarakan!" Maka ia menyahut dengan gagah. "Khan yang Agung! Kau telah membesarkan dan mendidikku, tapi kau juga telah memaksakan kematian ibuku! Itu budi dan dendam pribadi, tak usahlah dibicarakan! Sekarang aku hendak menanyakan padamu satu pertanyaan saja. Kalau orang telah mati, berapa luas tanah yang diperlukan untuk menguburkannya?" Jenghis Khan melengak, lalu mengayunkan cambuknya melingkar. "Kurang-lebih seluas ini," Sahutnya. "Benar," Kata Kwee Ceng. "Hingga kini kau telah membinasakan demikian banyak orang, telah mengalirkan demikian banyak darah, juga telah merampas demikian banyak negara, akhirnya, apa gunanya semua itu?" Khan Agung, pendekar besar Mongolia itu. ter- diam. Ia tidak sanggup membuka mulutnya. Kwee Ceng berkata lagi. "Pendekar zaman dulu hingga sekarang, mereka yang dikagumi di kemudian hari, mestilah orang yang telah membuat rakyat bahagia dan yang mencintai rakyatnya! Menurut pandanganku sendiri, orang yang membunuh banyak orang belum tentu pendekar!" "Pendekar" Yang dimaksudkan Kwee Ceng ialah eng hiong. "Apakah seumur hidup aku belum pernah melakukan perbuatan baik?" Tanya Khan. "Perbuatan baik itu pasti ada dan juga sering sekali," Jawab Kwee Ceng. "Kau telah menyerang ke Selatan dan menyerbu ke Utara, kau telah menumpuk mayat setinggi gunung, apakah itu yang dinamakan jasa atau dosa, itu sukar dibilang...." Kwee Ceng jujur, maka apa yang ia pikirkan segera diutarakannya. Jenghis Khan besar kepala, ia biasa puas akan dirinya sendiri. Sekarang di saat-saat hari akhirnya. ia mesti mendengar kata-kata tajam itu, ia kehabisan kata-kata untuk menjawab. Di benaknya lantas terbayang segala perbuatannya di masa lalu. Ia memandang sekelilingnya, seakan merasa kehilangan sesuatu. Sesaat kemudian mendadak ia berseru, lalu memuntahkan darah hidup. Kwee Ceng kaget. Ia lantas sadar bahwa bicaranya terlalu tajam, la memayang pendekar itu. "Kha Khan, mari kita pulang untuk beristirahat," Katanya. "Barusan aku telah salah omong, harap dimaafkan." Tapi Jenghis Khan tertawa, tawar tawanya, parasnya pun menjadi kuning pucat. "Orang di kiri-kananku," Katanya. "tidak ada seorang pun yang bernyali besar seperti kau, yang berani omong padaku secara begini jujur." Ia mengangkat alisnya hingga tampak jumawa. Ia berkata lantang. "Seumur hidup aku telah malang melintang di kolong langit ini, aku telah memukul musnah negara lain tak terhitung banyaknya, tapi menurutmu aku bukanlah pendekar! Hm, sungguh kata-kata seorang bocah!" Ia mencambuk kudanya, melarikannya pulang. *** Malam itu Jenghis Khan berpulang ke alam lain di dalam Kemah Emas-nya. Sesuai dengan pesannya yang terakhir, Ogotai menggantikannya menjadi khan yang mahaagung. Di saat napas terakhirnya, beberapa kali ia menyebut. "Pendekar... pendekar..." Rupanya ia sangat terpengaruh ucapan Kwee Ceng. Kwee Ceng dan Oey Yong menanti sampai upacara pemakaman selesai. Hari itu juga mereka kembali ke Selatan. Di sepanjang jalan mereka terharu melihat banyaknya kerangka para korban bencana perang berserakan di sela-sela rerumputan tebal. Mereka mengangankan datangnya zaman aman dan damai hingga rakyat dapat hidup tenteram dan bahagia.... TAMAT Tiraikasih WEBSITEhttp.//kangzusi.com / Tiraikasih WEBSITEhttp.//kangzusi.com / Legenda Pendekar Ulat Sutera Karya Huang Ying Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Karya Hong San Khek