Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 17


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 17


Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying   719 Tidak lama kemudian Sam cun sudah sampai di depannya.   Nafasnya tersengal-sengal.   Wan Fei Yang menunggu sampai nafasnya reda dan tenang kembali.   "Apa yang terjadi denganmu?"   Tanyanya heran. Sam cun mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik sakunya.   "Obat ini hadiah dari Cu jin untukmu,"   Sahutnya. Wan Fei yang semakin tidak mengerti.   "Aku tidak terluka."   "Cu jin bilang tidak ada apa-apa yang patut dihadiahkan kepadamu. Maka dia menyuruh aku menyusulmu dan memberikan obat buatannya sendiri."   "Ini.   "   Wan Fei Yang bermaksud menolak, tapi Sam cun malah menyusupkan botol obat itu ke dalam tangannya.   "Kau toh bukan tidak tahu bagaimana sifat Cu jin. Cepat terima!"   Katanya.   "Obat ini untuk menyembuhkan penyakit apa?"   Wan Fei Yang malah berbalik bertanya.   "Di permukaan botol ada tulisannya, kau baca saja sendiri."   Kemudian Sam cun mengeluarkan lagi sebuah botol berwarna hijau dari selipan ikat pinggangnya.   "Sebetulnya obat milikku ini lebih berharga. Khusus untuk menyembuhkan luka dalam."   Sam cun menyelipkan botol itu ke tangan Wan Fei Yang. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan melangkah ke depan. Baru beberapa tindak dia berhenti dan menolehkan kepalanya.   "Sebetulnya obat itu aku curi dari kamar Cu jin. 720 Lain kali kalau kau bertemu dengan Cu jin, harap jangan mengatakan apa-apa,"   Katanya.   Dia meneruskan langkahnya kembali.   Wan Fei Yang menatap punggungnya sampai menghilang di kejauhan.   Hatinya terharu sekali.   Setelah beberapa saat, dia baru meneruskan perjalanannya.   *** Tujuh hari sudah berlalu.   Kuan Tiong Liu belum sampai di Go bi san.   It im taisu tampaknya tidak panik.   Dia memang tidak berniat menyerahkan Kuan Tiong Liu kepada Tok ku Bu ti.   Semua tetap seperti rencananya semula.   Pagi-pagi sekali, dia memanggil hwesio terpandai dalam baca dan menulis.   Hong hoat.   Dia menerangkannya secara lisan.   Hong hoat disuruh mengatur kata-katanya dan bersiap-siap mengantarkan ke Bu ti bun.   Siapa sangka, baru saja surat itu disampul rapi, bagian penerimaan tamu sudah melaporkan bahwa Tok ku Bu ti sudah sampai di Go bi san meminta mereka menyerahkan Kuan Tiong Liu.   It im taisu terkejut sekali.   Tapi segera dia menenangkan perasaannya.   "Bagus.   Tepat tujuh hari Silahkan dia masuk." 721 *** Suasana dalam ruangan utama sangat mencekam.   Apakah karena Tok ku Bu ti masuk dengan membawa serombongan anak buahnya atau karena alasan yang lain.   Hal ini mungkin tidak akan ditemukan jawabannya.   Para angkatan tua Go bi pai sudah berkumpul di ruangan tersebut.   Meliaht kehadiran mereka, hati It im taisu menjadi terharu.   Sejak dia menjabat sebagai Ciang bun jin, Go bi pai memang merosot terus.   Dalam generasi muda hanya Kuan Tiong Liu yang dapat diandalkan dan berbakat.   Yang lainnya biasa-biasa saja.   Apakah hal ini disebabkan oleh kewibawaan Go bi pai yang makin menurun? Meskipun It im taisu tidak berani memastikan, tapi dia terlalu memusatkan perhatian dalam pelajaran agama.   Selama ini dia tidak bersungguh-sungguh mencari orang-orang pilihan untuk diajarkan ilmu silat dengan teliti.   Mungkin hal ini juga merupakan salah satu alasan bagi kemerosotan Go bi pai.   Tok ku Bu ti sudah memberi batasan waktu selama tujuh hari.   Pada hari terakhir dia langsung naik ke Go bi san meminta orang.   Tentu dia sudah merencanakan semuanya dengan matang.   Sedangkan apa maksud yang terkandung did alamnya, It im taisu tidak bisa menebaknya.   Dia hanya dapat merasakan bahwa urusan ini tidak sepele.   Sedikit saja dia membuat kesalahan, mungkin Go bi pai akan hancur hari ini juga.   Oleh karena itu, meskipun penampilan wajahnya tenang 722 sekali, namun hatinya sudah berdebar-debar sejak tadi.   Penampilan Tok ku Bu ti tetap sopan.   Dia menunggu sampai It im taisu duduk di kursinya, baru dia mengajukan pertanyaan.   "It im taisu, mana Kuan Tiong Liu?"   It it taisu tertawa datar.   "Tidaka da di sini."   Mata Tok ku Bu ti menatap It im taisu dengan tajam.   "Aku lihat taisu memang tidak berniat menyerahkannya."   It im taisu berusaha setenang mungkin.   "Kalau Kuan Tiong Liu menyalahi Bu ti bun, Go bi pai tetap ada peraturan untuk menghukumnya."   "Bagaimana dengan seratus lebih nyawa cabang ketiga belas Bu ti bun kami?"   "Awal peristiwa ini, Pinceng"   "Tidak usah banyak bicara!"   Nada Tok ku Bu ti melengking tinggi.   "Cepat serahkan Kuan Tiong Liu!"   "Tok ku Sicu, Pinceng sudah mengatakan bahwa Kuang Tiong Liu tidak"   "Baik. Kalau begitu, satu nyawa diganti dengan satu nyawa. Go bi pai harus membawar seratus tiga puluh enam jiwa anggota Bu ti bun!"   Bu Tek sejak tadi berdiri di samping. Mendengar kata-kata Tok ku Bu ti, dia tidak dapat menahan amarahnya lagi. Dia segera melesat ke depan.   "Tok ku Bu ti! Kau jangan terlalu 723 menghina!"   Teriaknya lantang. Mendengar suara itu, Tok ku Bu ti mengalihkan pandangannya. Alisnya berkerut.   "Rasanya aku pernah melihat suhu ini,"   Katanya. Belum lagi Bu Tek menyahut, Cian bin hud sudah maju ke depan dan tertawa lebar.   "Kepala perampok yang menguasai tujuh propinsi, Li Jit, tidak tersangka berdiam di sini dan mengganti pakaiannya dengan pakaian hwesio."   Bu Tek merangkapnya sepasang telapak tangannya.   "Omitohud!"   Ujarnya mengucap nama Buddha.   Cian bin hud mengibaskan tangannya.   "Di sini tidak ada urusanmu.   Mengingat kita pernah saling mengenal, aku akan mengatakan kepada Buncu untuk mengampuni jiwamu kali ini saja."   "Kalau memang teman satu aliran"   "Li Jit sudah mati.   Yang ada di hadapan kalian sekarang adalah murid Go bi pai, Bu Tek!"   Sahut Li Jit tenang.   "Bagus!"   Kata Tok ku Bu ti sambil mendengus dingin. Cian bin hud tertawa terkekeh-kekeh.   "Supanya kau bergelar Bu Tek. Kalau demikian aku akan meminta Bu Tek suhu ini pelajaran barang beberapa jurus."   Bu Tek mulai marah. Pergelangan tangannya berputar. Goloknya sudah tergenggam di tangan. It im taisu cepat-cepat 724 mencegah.   "Bu Tek, tidak boleh kurang sopan terhadap tamu!"   Cian bin hud tertawa lebar.   "Kami lebih tidak sopan lagi!"   Perkatannya selesai, sepasang gelang emasnya sudah berada dalam genggaman.   Suaranya menderu-deru.   Bu Tek ikut tertawa.   Tubuh dan golok meluncur dalam waktu yang ebrsamaan.   Dalam sekejap mata, keduanya sudah bertarung dengan seru.   Di tangan kanan Cian bun hud sudah bertambah sebatang ruyung.   Gelang emasnya diselipkan di pinggang.   Senjatanya itu tampak begitu berat, tapi dia dapat menggerakkannya dengan muda.   Bayangan ruyung memenuhi ruangan.   Suaranya bagai hujan badai menerpa.   Sebelum mencukur rambut menyucikan diri, Bu Tek pernah menjadi kepala perampok dan menguasai tujuh propinsi.   Tentu bukan sembarang orang yang dapat melakukan hal seperti itu.   Dia pasti pernah melatih ilmu golok dalam waktu yang lama.   Tapi kalau dibandingkan dengan Cian Bin hud, kepandaiannya masih terpaut sedikit.   Tepat pada jurus keseratus tiga puluh tujuh, ruyung di tangan Cian bin hud berhasil menghantam dada Bu Tek.   Hantaman itu membuat tubuh Bu Tek terhuyung-huyung, kakinya mundur beberapa langkah, kemudian memuntahkan darah segar.   Akhirnya tubuhnya terkulai ke atas dan nyawanya pun melayang.   Wajah para murid Go bi pai menyorotkan kemarahan.   Wajah It 725 im taisu berubah kelam.   Perlahan-lahan dia bangkit dari kursinya.   Matanya menatap tajam ke arah Cian bin hud.   "Mengapa murid Buddha bisa melakukan hal yang begini kejam?"   "Murid Buddha yang satu ini memang lain dariapda yang lain,"   Sahut Cian bun hud sambil tertawa terbahak-bahak.   It im taisu mengalihkan pandangannya kepada Tok ku Bu ti.   "Tampaknya Tok ku Sicu hari ini benar-benar tidak mau mengerti lagi."   "It im taisu, kejadian sudah terlanjur seperti ini, tidak perlu bercapai hati lagi,"   Katanya datar.   "Sicu, bagaimana kalau kita bertaruh saja?"   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Bertaruh?"   Tok ku Bu ti hampir tidak percaya dengan pendengarannya.   "Apa yang ingin kau pertaruhkan?"   It im taisu mengalihkan pandangannya kepada Cian bin hud.   "Seandainya suhu ini sanggup menerima tiga jurus dariku, maka aku akan menyerahkan Kuan Tiong Liu. Go bi pai akan dibubarkan hari ini juga,"   Katanya.   "Bagaimana kalau dia tidak sanggup?"   Tanya Tok ku Bu ti kembali.   "Pinceng meminta Tok ku sicu mendengarkan seratus delapan kali bunyi lonceng dan beberapa patah nasihat dari pinceng,"   Kata It im taisu. 726 "Aku bukan Li Jit!"   Sahut Tok ku Bu ti tenang.   "Tok ku sicu tidak berani bertaruh?"   Belum lagi Tok ku Bu ti menyahut, Cian bin hud sudah menukas dari samping.   "Buncu, biar hamba menerima tiga jurus darinya."   Tok ku Bu ti mengangguk. Dia berpaling kembali kepada It Im taisu.   "Bagaimana kalau aku sudah mendengarkan seratus delapan kali bunyi lonceng dan beberapa patah nasihatmu?"   Tanyanya kembali.   "Sicu ingin melakukan apa, kami pun tidak sanggup menghalangi."   "Baik!"   Tok ku Bu ti tertawa dingin. Cian bin hud segera maju ke depan. Dia menghentakkan duyungnya di atas tanah.   "Silahkan!"   It Im taisu segera bangkit dari tempat duduknya.   Dia mengambil pedang yang terletak di samping lalu menutul kakinya dan berjungkir balik di udara.   Dia melayang turun di hadapan Cian bin hud.   Ruyung Cian bin hud langsung digerakkan.   Suaranya bagai angin topan yang melanda seluruh Go bisa san.   Dengan keji dia menyerang ke arah It Im taisu.   Pedang Ciang bun jin Go Bi pai itu bergerak perlahan.   Tubuhnya tiba-tiba berkelebat dan melesat melakukan dua puluh tujuh perubahan.   Satu jurus sudah berlalu, dua jurus.   Sekarang jurus ketiga.   727 Cahaya dingin berkelebat.   Sarung pedang sudah menempel di lengan atas Cian bin hud dan apabila dia tadi menekannya dengan keras, pangkal lengan itu pasti sudah remuk.   "Terima kasih!"   Kata It Im taisu sambil menarik kembali sarung pedangnya dan mencelat mundur ke belakang. Wajah Cian bin hud berubah hebat. Dia tertegun di tempatnya. Tok ku Bu ti tidak mengatakan apa-apa. Seakan tidak terjadi apa pun.   "Di mana aku harus mendengarkan seratus delapan kali bunyi lonceng itu?"   Tanyanya tenang.   Pedang It Im taisu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.   "Sicu, harap ikut aku ke ruangan pendopo." *** Ruangan pendopo dengan ruangan utama sama luasnya.   Juga cukup menampung rombongan Tok ku Bu ti yang berjumlah sembilan puluh sembilan orang.   Kecuali Tok ku Bu ti, sisa anggotanya yang berjumlah sembilan puluh delapan orang berpencar diri menjadi dua bagian dan berbaris di kiri kanan pintu ruangan pendopo.   Tok ku Bu ti dan It Im taisu duduk berhadapan di tengah- tengah ruangan.   Jarak mereka tidak lebih dari satu depa.   Di samping kanan It Im taisu terdapat sebuah lonceng besar yang terbuat dari kuningan, sedangkan tangan kirinya menggenggam serenceng tasbih.   Wajahnya tersenyum dan 728 penuh welas asih.   "It Im taisu, hati Tok ku Bu ti sekeras baja.   Buat apa bercapai hati melakukan semua ini?"   Tanya Tok ku Bu ti yang sengaja menyindir dengan tajam.   "Sicu duduk saja di hadapanku. Dengan demikian kau dapat mendengar dengan jelas apa yang kukatakan."   Tangan It Im taisu mulai menghitung biji tasbih.   "Orang yang mensucikan diri seperti aku ini hanya mempunyai sedikit keinginan untuk mengajak sesamanya bertobat. Tapi aku hanya seorang diri, berapa orangkah yang dapat kuajak menghadap pintu Buddha?"   Nafsu besar tenaga kurang, buat apa mencari susah untuk diri sendiri?"   "Namun kalau Pinceng bisa menasehati Tok ku sicu agar berpalingdari tepian dan kembali ke jalan yang benar.   Merubah hati yang hitam menjadi putih bersih, sama artinya aku telah menasehati berjuta oran.   Hal ini patut dicoba."   "Baik.   Coba katakan saja"   Tangan kanan It Im taisu digerakkan. Terdengar suara lonceng yang menggetarkan hati.   "Buddha bersabda, lepaskan golok, ber."   "Paling ke tepian, bukan? Terlalu cetek,"   Sindir Tok ku Bu ti.   "Baik. Kita bciarakan ynag agak dalam."   It Im menggerakkan lonceng kembali.   Dua orang muridnya segera mengantarkan buku kitab suci.   729 It Im mulai membacakan ayat suci, meskipun Tok ku Bu ti meminta agar dia membacakan ayat yang agak dalam maknanya, tapi bagi pendengarannya masih cetek juga.   Suaara lonceng susul menyusul.   Semangat Tok ku Bu ti tanpa sadar ikut terhanyut.   Ditambah dengan kata-kata dari It Im taisu.   Berbagai kenangan melintas di otaknya.   Dia ingat semasa mudanya dia juga sering melepas budi, menolong orang, pernah dijadikan kambing hitam, beberapa kali dihajar orang sampai pontang panting.   Waktu itu dia masih juga merasakan adanya kegembiraan dalam hati.   Berpikir tentang itu, tanpa sadar bibirnya mengulum senyum.   Tampaknya dia mulai terpengaruh.   It im taisu masih melanjutkan kata-katanya.   "Buddha paling benci pembunuhan dan perampokan.   Sedangkan engkau, sengaja mendirikan Bu ti bun untuk melawan partai lurus.   Anak buahmu membunuh, memperkosa kemudian masih merampok juga.   Kau membiarkan semua itu.   Tidak ada hal baik yang pernah dilakukan anak buahmu."   Begitu mendengar kata memperkosa, tubuh Tok ku Bu ti langsung gemetar. Suara lonceng kembali terdengar. Disusul ucapan It Im taisu.   "Hari ini kau membiarkan anak buahmu memperkosa istri orang, kau anggap semua itu adalah suatu kebanggaan. Mungkin pada suatu hari nanti, orang lain yang akan memperkosa istrimu. Bagaimana perasaanmu saat itu?"   Kening Tok ku Bu ti mulai basah oleh keringat dingin.   Dalam benaknya segera terlintas bayangan Ci Siong to jin dan Sen Man Cing yang duduk berdua dan bersenda gurau.   730 Keringatnya mengucur semakin deras.   Meskipun para anggota Bu ti bun tidak mengerti mengapa It Im taisu mau melalahkan diri mengatakan semua itu, tapi kalau melihat tampang Tok ku Bu ti sekarang, mau tidak mau hati mereka menjadi tegang.   Tok ku Bu ti sedang membelalakkan mata lebar-lebar.   It Im tahu Tok ku Bu ti sudah mulai terpengaruh.   Dia tidak tahu persis apa yang mempengaruhinya.   Dia masih juga mendesaknya dengan pertanyaan yang sama "Coba bayangkan, apa yang akan kau lakukan bila semua ini terjadi padamu?"   "Aku aku akan membunuh mereka.   Membunuh mereka sampai tidak tersisa satu pun!"   Teriak Tok ku Bu ti tiba-tiba.   Kemudian laki-laki itu meraung murka.   Dia menjadi kalap seketika.   Mungkin saat itu dia membayangkan It Im taisu adalah Ci Siong to jin yang berzina dengan istrinya.   Tubuhnya melesat secepat kilat.   Kedua telapak tangannya menghantam dada It Im Taisu.   "Blam!"   Dia masih belum puas juga. Diserangnya It Im taisu tanpa pikir panjang lagi.   "Blam! Blam! Blam!"   Entah berapa kali sudah dia menghantam It Im taisu.   Tubuh hwesio tua itu sudah hancur tidak karuan.   Akhirnya terlempar sejauh satu depa.   Seandainya It Im taisu tahu peristiwa tentang jalinan hubungan antara Ci Siong to jin dengan istri Tok ku Bu ti yang bernama Sen Man Cing, dia tentu tidak akan menggunakan 731 kata-kata itu untuk membujuk Tok ku Bu ti.   Sayangnya dia tidak tahu sama sekali.   Sebenarnya Tok ku Bu ti memang sudah terpengaruh tapi mendengar kata-kata tentang memperkosa istri orang, hatinya terpukul seketika.   Peristiwa yang berusaha dilupakannya selama ini terbayang kembali.   Hawa amarahnya pun meluap seketika.   Tok ku Bu ti memandang sekejap mayat It Im taisu.   Tinjunya terkepal erat.   "Anak-anak! Bunuh semua!"   Teriaknya lantang.   Para anggota Bu ti bun segera mengiakan.   Mereka memang sudah menunggu perintah Tok ku Bu ti yang satu ini.   Senjata masing-masing segera dikeluarkan.   Serentak mereka menyerbu para murid Go Bi pai.   Tok ku Bu ti mendahului.   Dia menerjang dan langsung menghantam siapa saja yang ada di hadapannya.   Dalam waktu sekejap kedua telapak tangannya telah membunuh puluhan orang.   Tongkat kepala naganya juga tidak mau ketinggalan.   Darah segar bercipratan di mana-mana.   Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan.   Bahkan lebih menyeramkan daripada ketika makhluk tua membunuh anak murid Bu Tong pai.   Karena jumlah anak buah Tok ku Bu ti jauh lebih banyak, waktu yang diperlukan pun lebih singkar.   Cian bin hud mengikuti di belakangnya.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ruyungnya menyapu ke kiri dan kanan.   Suara jeritan ngeri terdengar di mana-mana.   Boleh dibilang para murid Go Bi pai sama sekali tidak sempat melakukan perlawanan.   Satu demi satu murid Go Bi pai roboh bermandikan darah.   732 Dalam waktu tidak berapa lama mayat bergelimpangan di mana-mana.   Darah mengalir bagai anak sungai.   Jilid 16 Tengah hari, Kuan Tiong-liu baru sampai di Go-bi-san.   Baru melihat pintu masuk saja dia sudah tahu apa yang telah terjadi.   Di mana-mana darah mulai mengering.   Mayat-mayat bergelimpangan.   Tubuh It-im Taysu lebih merupakan seonggok daging yang hancur ketimbang sesosok mayat manusia.   Kalau bukan dari pakaiannya, siapa pun tidak bisa mengenali wajahnya lagi.   ***** Jit Po dan Liok An masih bocah cilik.   Melihat pemandangan itu, mereka langsung saling berpelukan dan menangis tersedu-sedu.   Kuan Tiong-liu berdiri dengan mata menyorotkan kemarahan.   Meskipun dia tidak menangis, tapi justru di ujung pelupuk matanya terlihat darah menetes.   Akhirnya mayat-mayat itu dikuburkan juga.   Jumlah dua ratus tujuh puluh satu mayat.   Kuburan yang baru pun berjumlah sama.   Dengan tangan sendiri, Kuan Tiong-liu mengubur mayat yang terakhir.   Dia berlutut di depan gundukan tanah di mana It-im Taysu disemayamkan.   Jit Po dan Liok An berlutut di kedua sisinya.   Tidak ada pembacaan ayat suci, tidak ada upacara sembahyang.   Seorang Ciangbunjin partai terkemuka mati dalam keadaan mengenaskan.   Sekarang sudah senja hari.   Dua puluh delapan murid Go-bi- pay yang merantau di dunia Kangouw baru menyusul tiba.   733 Mereka melemparkan bungkusan di bahu masing-masing dan menjatuhkan diri berlutut di depan makan It-im Taysu.   Meskipun mereka terdiri dari laki-laki yang sudah banyak melihat berbagai peristiwa, tapi menghadapi dua ratus tujuh puluh satu gundukan tanah baru yang berisi tubuh rekan- rekan mereka, tidak usah dikatakan lagi bagaimana rasa sedih yang menyelimuti hati mereka.   Belum lagi rasa sakitnya karena mereka tidak ada di tempat untuk memberi pertolongan.   Mereka lebih rela mati bersama daripada hidup tapi menyaksikan kematian rekan mereka.   Kuan Tiong-liu membenturkan kepalanya dan menyembah tiga kali.   Kemudian dia berdiri.   Matanya mengedar pada saudara seperguruannya yang masih tersisa.   "Para Suheng-te sekalian, Go-bi-pay merosot sampai begini, rasanya sulit mengangkat kepala untuk menonjolkan diri lagi di dunia Kangouw. Lebih baik kalian pilih saja jalan masing-masing,"   Katanya.   "Kita harus membalaskan dendam para saudara dan Suhu kita. Go-bi-pay tidak akan hidup pada masa yang sama dengan Bu-ti-bun!"   Teriak mereka serentak. Mata Kuan Tiong-liu merah seketika mendengar kata-kata para saudaranya.   "Baik! Kalau begitu, untuk sementara kita menetap bersama Hay-liong Susiok. Kalian memang tidak memalukan disebut murid Go-bi-pay. Kita harus mencari kesempatan untuk membentangkan sayap kembali,"   Sahutnya terharu.   Para murid Go-bi-pay itu juga tidak tahu harus ke mana lagi.   Mendengar kata-kata Kuan Tiong-liu, tentu saja mereka segera setuju.   Tiga puluh satu orang yang menjadi satu 734 rombongan itu menuruni Go-bi-san.   Cahaya mentari bersinar redup di atas kepala mereka.   ***** Senja hari.   Pemandangan di kedua tepian sungai menyejukkan mata.   Burung-burung beterbangan di angkasa.   Tok-ku Hong berjalan di bawah sinar matahari.   Tampaknya begitu sunyi.   Sekarang adalah hari kedua puluh dia meninggalkan Bu-ti-bun.   Dia tidak mempunyai tujuan.   Asal di depannya ada jalan, dia akan terus melangkah.   Meskipun sepanjang perjalanan belum terjadi peristiwa apa pun, tapi hatinya tetap merasa tidak enak.   Ini merupakan pertama kalinya dia berkelana seorang diri.   Di sepanjang perjalanan tidak ada orang yang menjaga atau pun melayaninya.   Padahal sebelumnya sehari-hari dia adalah nona besar.   Apa pun yang di nginkannya tinggal perintah saja.   Pada hari-hari pertama, dia merasa sangat tersiksa.   Namun hatinya memang keras.   Dia malu untuk kembali ke Bu-ti-bun begitu saja.   Meskipun sekarang sudah agak terbiasa, tapi dalam hatinya diam-diam dia merindukan rumahnya.   Sampai kapan kehidupan seperti ini akan berlangsung, dia tidak tahu.   Ada tersirat keinginan dalam hatinya untuk kembali ke rumah.   Beberapa kali dia sudah menghentikan langkah kakinya, namun begitu mengingat tamparan tangan Tok-ku Bu-ti, dia mengeraskan hati dan melanjutkan perjalanannya kembali.   Wan Fei-yang juga tidak terbiasa hidup berkelana.   Tapi kalau dibandingkan dengan Tok-ku Hong, dia masih lebih bisa 735 menahannya.   Di Bu-tong-san dia sudah terbiasa bekerja serabutan.   Meskipun masih terlindung dari hujan dan angin, namun menghadapi cuaca hujan atau angin besar pun baginya bukan sesuatu yang mengherankan lagi.   Oleh karena itu, selama dua puluh hari ini dia terus mengintil di belakang Tok-ku Hong.   Dia tidak merasa apa yang dilakukannya sebagai suatu penderitaan.   Dia berjalan dengan santai, tapi tetap tidak melepaskan diri dari gadis itu.   Sejak meninggalkan tempat kediaman Hay-liong Lojin, dia juga berjalan tanpa arah dan tujuan.   Siapa sangka dalam sebuah gang kecil di desa yang dia singgahi, dia melihat anak gadis Tok-ku Bu-ti.   Tiba-tiba saja dia teringat gurunya, Ci- siong Tojin pernah berpesan apabila ada kesempatan dia harus bertandang ke Bu-ti-bun mencari seorang wanita bernama Sen Man-cing.   Tanpa sadar dia terus mengikuti Tok- ku Hong dan mencoba mencari kesempatan untuk berkenalan dengan gadis itu.   Siapa tahu dia bisa menyelinap ke dalam Bu-ti-bun.   Tiga hari sudah berlalu, tapi kesempatan itu belum ada juga.   Pikiran Tok-ku Hong sedang melayang-layang.   Oleh karena itu, dia sama sekali tidak menyadari bahwa Wan Fei-yang telah mengintil di belakangnya selama beberapa hari.   Kedua orang itu berjalan terus, senja hari mereka mencari penginapan dan beristirahat.   Tentu saja Tok-ku Hong yang di depan dan Wan Fei-yang mengikuti dari belakang.   Setiap kali gadis itu berhenti, dia juga berhenti.   Gadis itu melanjutkan perjalanan, dia pun cepat-cepat menyusulnya.   Dengan demikian, tiga hari berlalu sudah.   ***** 736 Sungai mengalir sampai ribuan li.   Apabila mata menerawang, sungai itu bagai tidak berbatas.   Pemandangan sangat indah, namun Kuan Tiong-liu dengan rombongannya yang berjumlah tiga puluh satu orang sama sekali tidak menikmati keindahan pemandangan itu.   Mereka berjalan menyusuri tepi sungai.   Hati mereka sama tertekan.   Jarak mereka dengan Tok-ku Hong dan Wan Fei-yang kurang lebih satu li.   Arah mereka berhadapan pula.   Seandainya mereka sama-sama berjalan terus, tentu jaraknya akan semakin pendek, dan akhirnya pasti bertemu satu sama lainnya.   Tentu saja Kuan Tiong-liu tidak tahu Tok-ku Hong sedang melangkah ke arahnya.   Dia berjalan terus.   Tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya.   "Tidak benar!"   Serunya. Jit Po yang mengiringi di sampingnya merasa heran.   "Kongcu, ada apa?"   Mata Kuan Tiong-liu berkilau sekilas.   "Semua harap berhatihati!"   Katanya tiba-tiba.   Baru saja ucapannya selesai, beratus-ratus anak panah meluncur ke arah mereka.   Jit Po yang berada paling depan langsung terkena sasaran.   Para murid Go-bi-pay yang lain segera mengeluarkan senjata masing-masing.   Tapi tujuh orang segera roboh ke tanah.   Sejak tadi Kuan Tiong-liu sudah menghunus pedangnya.   Dia segera menyapu ke kiri dan kanan.   Liok An berhasil dilindungi, namun dia terlambat menyelamatkan Jit Po.   Kuan Tiong-liu melesat ke depan dan menyambut tubuh Jit Po 737 yang terjungkal.   "Jit Po!"   Panggilnya dengan suara parau. Jit Po masih bernapas. Dia berusaha menahan sakit yang dideritanya. Matanya setengah terbuka. Dia memandang Kuan Tiong-liu dengan mata sayu.   "Kongcu, aku tidak dapat melayanimu lagi."   Kemudian dia merintih.   "Li ... Liok ... An ...."   Liok An segera menghampirinya.   Namun nyawa Jit Po sudah melayang.   Liok An menangis meraung-raung.   Meskipun Jit Po bukan saudara kandungnya, namun hubungan mereka malah lebih dari saudara sendiri.   Hati Kuan Tiong-liu bagai disayat- sayat puluhan pisau.   Jit Po dan Liok An melayaninya selama bertahun-tahun.   Dia sudah memandang mereka bagai adiknya sendiri.   Panah masih meluncur terus.   Seratus lebih anggota Bu-ti-bun menerjang keluar dari balik gerombolan pohon.   Mereka semua berpakaian serbahitam.   Dalam sekejap mereka sudah mengurung rombongan Kuan Tiong-liu.   Seorang Tancu berpakaian putih keperak-perakan melayang turun dari udara dan berhenti tepat di hadapan Kuan Tiong-liu.   "Lagi-lagi anggota Bu-ti-bun!"   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kuan Tiong-liu tertawa dingin.   "Sebutkan namamu!"   Tancu itu tertawa datar.   "Asal sekitar Kuil Kuan-se, naga sakti menyapu seluruh Wei Kiang."   "Rupanya Sen-po Lu Kin yang dulu membasmi Wei-kiang-pat- sou!" 738 "Eh? Kau juga mengenal aku?"   Lu Kin tertawa terbahak- bahak.   "Tidak disangka setelah sekian tahun membersihkan tangan, hari ini aku dapat memancing seekor ikan besar dari Go-bi-san!"   "Bagus! Kedatanganmu memang tepat sekali!"   Bentak Kuan Tiong-liu lantang. Tubuh dan pedang berkelebat menjadi satu bayangan. Lu Kin segera mengeluarkan senjata cambuknya yang berkepala tiga belas.   "Serbu!"   Serunya memberi perintah.   Para anggota Bu-ti-bun menerjang seperti orang kalap.   Murid Go-bi-pay juga tidak tinggal diam.   Mereka menyambut terjangan orang banyak itu.   Kedua pihak saling bertarung.   Cahaya golok dan pedang bertaburan.   Darah memercik membasahi tanah.   Meskipun jumlah anggota Bu-ti-bun lebih banyak, tapi para murid Go-bi-pay melawan dengan kalap.   Hati mereka masih sedih karena kematian rekan yang begitu banyak.   Semangat mereka bangkit untuk membalaskan dendam bagi mereka.   Perlawanan mereka lebih mirip mengadu nyawa.   Kuan Tiong-liu sudah memerhatikan situasi dengan saksama.   Begitu berhasil melepaskan diri dari belitan cambuk Lu Kin, dia langsung menerjang ke dalam kerumunan anggota Bu-ti- bun.   Sekali gerak dia langsung mengerahkan tiga jurus terakhir Lok-jit-kiam.   Hanya terlihat bayangan pedang berkelebat bersamaan dengan gerakan tubuhnya.   Pedangnya menyapu ke kiri dan kanan.   Satu demi satu anggota Bu-ti-bun roboh bermandikan darah.   Melihat keadaan itu, Lu Kin segera maju mendekati.   Kuan 739 Tiong-liu tidak memedulikannya.   Tubuhnya melesat ke udara bagai seekor kupu-kupu beterbangan.   Pedangnya menikam terus.   Empat puluh enam lagi anggota Bu-ti-bun mati di bawah sapuan pedangnya.   Tentu saja Lu Kin tidak sanggup menghalanginya.   Para anggota Bu-ti-bun mulai tergetar hatinya melihat kekejian anak muda itu.   Saat itu Lu Kin baru sadar kehebatan ilmu yang dikuasai Kuan Tiong-liu.   Benar-benar di luar dugaannya.   Dia sendiri sudah pasti bukan tandingan anak muda tersebut.   Pikirannya segera tergerak.   Dia mundur beberapa langkah.   Siapa tahu Kuan Tiong-liu tiba-tiba melesat ke udara dan melayang turun tepat mengadang di depannya.   Lu Kin mengeraskan hatinya.   Cambuk di tangannya dikebaskan ke depan.   Ilmu cambuknya memang tinggi sekali, tapi ilmu silatnya jauh di bawah Kuan Tiong-liu.   Mereka segera terlihat dalam pertarungan yang seru.   Dalam waktu sekejap saja dia sudah terdesak.   Mana mungkin dia sanggup menandingi Kuan Tiong-liu yang merupakan murid kesayangan It-im Taysu.   Dia sendiri hanya Tancu dari Bu-ti- bun.   Sedangkan Hu-hoat Bu-ti-bun, Han-ciang-tiau-siu saja bukan tandingan Kuan Tiong-liu.   Apalagi dia! Kedudukan dalam Bu-ti-bun ditentukan dari tingginya ilmu silat seseorang, sedangkan ilmu silat Lu Kin hanya pantas menduduki jabatan Tancu.   Tanpa sengaja dia menemukan jejak Kuan Tiong-liu dan rombongannya.   Hatinya segera berpikir untuk membuat jasa besar dan mendapat hadiah dari Tok-ku Bu-ti.   Dia tidak menilai kepandaiannya sendiri apakah mampu mengalahkan-Kuan Tiong-liu.   Apalagi Go-bi-pay dengan mudah berhasil disapu bersih oleh anggota Bu-ti-bun yang lain.   Oleh karena itu dia segera mengumpulkan anak 740 buahnya dan mengadang rombongan Kuan Tiong-liu.   Jumlah mereka memang jauh lebih banyak.   Hal ini tentu saja membesarkan hatinya.   Melihat dari keadaan luarnya, mereka pasti akan meraih kemenangan.   Baru meluncurkan beberapa batang anak panah, delapan orang pihak lawan sudah jatuh roboh bermandikan darah.   Sayangnya, dia terlalu meremehkan ilmu silat Kuan Tiong-liu.   Sebelum berhasil berlatih tiga jurus terakhir dari Lok-jit-kiam-hoat saja, Kuan Tiong-liu sudah berhasil mengalahkan Han- ciang-tiau-siu.   Apalagi tiga jurus terakhir Lok-jit-kiam-hoat sudah dikuasainya dengan baik, Lu Kin lebih-lebih bukan tandingannya lagi.   Seandainya Han-ciang-tiau-siu hidup kembali, belum tentu dia dapat menerima dua puluh jurus dari Kuan Tiong-liu sekarang ini.   Pada jurus keempat belas, cambuk di tangan Lu Kin sudah terlepas.   Sekali lagi Kuan Tiong-liu meluncurkan pedangnya, dia langsung berhasil menusuk dada Lu Kin.   Kuan Tiong-liu mengentakkan pedangnya.   Tubuh Lu Kin melayang di udara dan mencelat sejauh dua depa, lalu jatuh di antara kerumunan anggota Bu-ti-bun yang masih tersisa.   Pedang Kuan Tiong-liu tidak berhenti, berturut-turut dia membunuh puluhan lagi anak murid Bu-ti-bun.   Rekan- rekannya dari Go-bi-pay agak lega mendapat bantuan darinya.   Meskipun di pihak mereka sendiri telah roboh lagi sepuluh orang lebih, tapi korban di pihak Bu-ti-bun jangan dikatakan lagi.   Bagaimanapun mereka pernah berlatih dengan giat di atas Go-bi-san.   Ilmu mereka memang lebih tinggi dari anggota Bu-ti-bun.   Kalau bertanding satu lawan satu saja, tidak ada satu pun yang sanggup menandingi Liok An, si bocah pembawa harpa.   741 Setelah melihat kematian pemimpin mereka, Lu Kin, hati anggota Bu-ti-bun lainnya semakin ciut.   Nyali mereka terbang entah ke mana.   Mereka segera mengambil langkah seribu.   Gerakan mereka kalang kabut.   Tidak peduli lagi arah mana yang harus diambilnya.   "Jangan sisakan satu orang pun!"   Teriak Kuan Tiong-liu lantang.   Dia segera mencelat ke udara dan melayang turun di hadapan empat anggota Bu-ti-bun yang sedang lari pontang- panting.   Dalam tiga kali sapuan pedang saja, keempat orang itu sudah roboh bermandikan darah.   Para murid Go-bi-pay mengejar sisa anggota Bu-ti-bun yang lain.   Sebentar saja hanya tersisa satu orang yang masih hidup.   Orang itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kuan Tiong-liu.   "Tayhiap! Ampuni jiwaku ...."   Ratapnya dengan tubuh gemetaran.   Kuan Tiong-liu menoleh kepada para rekannya.   Berikut Liok An, semuanya hanya tinggal sembilan orang yang hidup.   Hatinya sakit sekali.   Sisa anggota Bu-ti-bun yang hanya sendirian itu mengira Kuan Tiong-liu bersedia melepaskannya.   Dia segera menyembah satu kali, pedangnya diletakkan di tanah, dia berdiri dan berjalan perlahan.   "Mau ke mana?"   Tiba-tiba Kuan Tiong-liu berteriak.   Tubuhnya melesat lalu mengadang di depan orang itu.   Mata orang itu menyorotkan sinar ketakutan.   Belum sempat dia mengucapkan apa-apa, pedang Kuan Tiong-liu sudah menikam jantungnya.   Pedang ditarik kembali.   Orang yang sudah menjadi mayat itu terkulai ke tanah.   Mata Kuan Tiong- 742 liu menatap tajam ke arah seseorang yang sedang berlari mendekati.   Dia adalah Tok-ku Hong.   Dari jauh dia mendengar suara benturan senjata.   Segera dia menghambur menghampiri.   Saat itulah dia sempat melihat Kuan Tiong-liu membunuh orang terakhir tadi.   Tentu saja dia mengenali bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan itu adalah anggota Bu-ti-bun.   Dia teringat ketika Kuan Tiong-liu berusaha membunuhnya ketika dia dan Suhengnya sedang terluka di kaki gunung Bu-tong- san.   Hawa kemarahan segera memenuhi dadanya.   Sepasang golok segera dikeluarkannya.   "Kuan Tiong-liu!"   Bentaknya nyaring. Kuan Tiong-liu tidak menyahut.   "Tok-ku Hong ada di sini. Kemungkinan besar dia datang bersama Tok-ku Bu-ti. Laki-laki sejati harus berani menerima hinaan. Lebih baik menghindarkan diri untuk sementara,"   Pikir Kuan Tiong-liu dalam hati. Begitu ingatan tersebut melintas, dia segera menoleh kepada rekan-rekannya.   "Liok An dan lainnya cepat tinggalkan tempat ini. Aku akan menyusul belakangan!"   Katanya. Liok An tidak berani membantah. Dia menghampiri mayat Jit Po dengan maksud membawanya sekalian, tapi Kuan Tiong- liu sudah mencegah lagi.   "Jangan pedulikan yang lainnya, cepat pergi!"   Para rekan seperguruan yang melihat keseriusan Kuan Tiong- liu, dapat merasakan gentingnya suasana, mereka tidak berani berlambat-lambat lagi.   Semuanya meninggalkan 743 tempat itu dengan tergesa-gesa.   Tok-ku Hong juga tidak memedulikan mereka.   Dia hanya mendelikkan matanya lebar-lebar kepada Kuan Tiong-liu.   "Bagus sekali kau ini! Lagi-lagi membunuhi anggota Bu-ti-bun kami!"   "Ayahmu naik ke Go-bi-san dan membunuh dua ratus tujuh puluh satu jiwa anak murid kami.   Apakah kau tidak tahu masalah ini?"   Sepanjang perjalanannya tadi, Tok-ku Hong memang sudah mendengar berita ini.   Dia juga merasa tindakan ayahnya kali ini agak keterlaluan.   Tapi setelah memandang mayat yang bergelimpangan di sana dan kebanyakan terdiri dari anggota Bu-ti-bun, hawa kemarahannya meluap kembali.   "Hari itu di kaki gunung Bu-tong-san aku sudah terluka parah, tapi kau tetap ingin membunuh aku.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kali ini aku akan bertanding sekali lagi denganmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita,"   Kata Tok-ku Hong datar.   "Pertarungan hidup dan mati?"   Pedangnya bergetar langsung meluncur ke arah Tok-ku Hong.   Sepasang golok Tok-ku Hong dibentangkan dan menyambut datangnya serangan Kuan Tiong-liu.   Golok dan pedang saling berkelebatan.   Golok Tok-ku Hong cepat, pedang Kuan Tiong- liu lebih cepat lagi.   Meskipun dia baru saja bertarung melawan sekian banyak musuh, tapi tenaganya tidak banyak terkuras.   Ilmunya memang jauh lebih tinggi daripada Tok-ku Hong.   Kira- kira sepuluh jurus kemudian, dia mulai menguasai keadaan.   744 Tok-ku Hong sendiri juga merasakan bahwa dia bukan tandingan Kuan Tiong-liu, tapi adatnya keras.   Sepasang goloknya bergerak makin cepat.   Serangannya makin lama makin gencar.   Dengan tidak memedulikan bahaya, dia menebas Kuan Tiong-liu berulang kali.   Tapi tebasannya selalu berhasil dihindari oleh anak muda itu.   Tok-ku Hong semakin kalap.   Sepasang goloknya dengan nekat menjepit pedang Kuan Tiong-liu.   "Lepaskan!"   Teriaknya lantang.   Tanpa dapat dipertahankan lagi, pedang Kuan Tiong-liu terlepas.   Baru saja Tok-ku Hong merasa bangga akan hasilnya, tahu-tahu tubuh Kuan Tiong-liu sudah mencelat di udara dan melayang turun di belakang punggung Tok-ku Hong.   Gadis itu belum sempat membalikkan tubuhnya ketika telapak tangan Kuan Tiong-liu menghantam tiga kali berturut- turut.   Blam! Blam! Blam! Tubuh Tok-ku Hong mencelat sejauh dua depa, kemudian jatuh berdebum di atas tanah.   Mulutnya terbuka, segumpal darah segar terlihat muncrat keluar.   Tubuh Kuan Tiong-liu melesat lagi secepat kilat, dia menyambut pedangnya yang masih melayang di udara.   Semua itu terjadi dalam sekejap mata.   Dia melayang turun di hadapan Tok-ku Hong.   Matanya mendelik ke arah gadis itu.   "Tok-ku-siocia, bagaimana keadaanmu!"   Tanyanya pura-pura menaruh perhatian. Wajah Tok-ku Hong pucat sekali. Dia mendelik kembali kepada Kuan Tiong-liu.   "Membokong secara gelap, apakah kau termasuk laki-laki sejati?" 745 "Dalam bertarung siasat memang diperlukan. Menghadapi komplotan penjahat seperti kalian, untuk apa menuruti peraturan dunia Kangouw? Juga tidak memerlukan tindakan laki-laki sejati!"   "Manusia jenis apa kau ini, kau kira aku tidak tahu. Kau hanya menutupi rasa malumu sehingga mengeluarkan kata-kata seperti itu!"   Sahut Tok-ku Hong sambil berusaha bangkit. Namun baru saja tubuhnya bergerak sedikit, kembali dia memuntahkan darah segar. Tubuhnya terkulai ke tanah.   "Mau bunuh, silakan. Tidak usah banyak bicara!"   "Mau mati? Tidak begitu mudah?"   "Apa yang kau inginkan?"   "Aku akan mengoyak-ngoyak tubuhnya menjadi berkeping- keping, kemudian akan kukirimkan kepada Tok-ku Bu-ti!"   Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak.   Tok-ku Hong terkejut sekali.   Dia tidak meragukan apa yang dikatakan Kuan Tiong-liu.   Hal ini terbukti dari kekejiannya membantai para murid Bu-ti-bun.   "Saat itu ada Wan Fei-yang yang menolongmu.   Kali ini aku ingin lihat siapa yang akan datang menolongmu?"   "Wan Fei-yang?"   Tok-ku Hong malah tertegun.   Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak.   Selangkah demi selangkah dia menghampiri Tok-ku Hong.   Gadis itu panik sekaligus marah.   Dia berusaha untuk bangun, namun lukanya 746 cukup parah.   Akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri.   Melihat keadaan gadis itu, tawa Kuan Tiong-liu semakin keras.   Tiba- tiba dia melihat bayangan berkelebat.   Seseorang sudah berdiri mengadang di depan Tok-ku Hong.   Dia adalah Wan Fei-yang! Suara tawa Kuan Tiong-liu sirap seketika.   "Lagi-lagi kau mengacau!"   Bentaknya marah. Wan Fei-yang tertawa getir. Wajah Kuan Tiong-liu menghijau.   "Kali ini apa maksudmu datang kemari?"   "Aku ... aku hanya kebetulan lewat ...."   Wan Fei-yang menarik napas panjang.   "Tidak usah berpura-pura lagi. Apa yang tersirat di dalam hatimu? Bilang!"   Pedang Kuan Tiong-liu menuding Wan Fei-yang.   "Dia toh sudah terluka parah, buat apa kau harus turun tangan keji lagi?"   Wan Fei-yang melirik sekilas ke arah Tok-ku Hong. Tok-ku Hong sama sekali tidak bergerak. Hati Wan Fei-yang malah menjadi tenang.   "Apa hubunganmu dengannya?"   Bentak Kuan Tiong-liu kembali.   "Dia ... dia tidak ada hubungan apa-apa denganku."   Kuan Tiong-liu mendengus dingin.   "Aku rasa kau adalah anak buahnya. Kau adalah anggota Bu-ti-bun!" 747 "Bukan ... aku bukan ...."   Wan Fei-yang gugup sekali.   "Tidak perlu mungkir lagi. Tempo hari kau menolong dia. Aku sudah curiga kau adalah anggota Bu-ti-bun. Hanya Susiokku saja yang tetap tidak percaya."   "Aku benar-benar bukan ...."   "Tutup mulut!"   Kuan Tiong-liu tidak memberinya kesempatan sama sekali. Dia malah tertawa dingin.   "Ya juga tidak apa-apa, bukan juga tidak apa-apa. Kau mau menolongnya? Tanyakan pada pedangku dulu!"   "Apakah kau hendak memaksa aku turun tangan?"   "Di tempat Susiok tempo hari, aku sudah mengampuni jiwamu. Sekarang tidak lagi! Aku menginginkan nyawamu!"   "Anggaplah aku memohon kepadamu, ampunilah dia kali ini."   "Omong kosong! Susiok mengatakan bahwa kau mengalah terhadapku tempo hari. Sekarang kau boleh keluarkan seluruh kepandaianmu!"   Perkataannya selesai, tubuh dan pedang Kuan Tiong-liu meluncur dalam waktu yang bersamaan.   Sekali gerak dia langsung mengerahkan tiga jurus terakhir Lok-jit-kiam-hoat.   Wan Fei-yang tidak dapat menghindar dari pertarungan ini.   Kakinya segera menjalankan langkah ajaib.   Jurus yang digunakan tentu saja Liong-gi-kiam-hoat.   Sebetulnya dia segan bertarung dengan Kuan Tiong-liu.   Ketika bertarung di pesisir pantai, dia sudah memerhatikan Lok-jit-kiam-hoat yang dipelajari Kuan Tiong-liu.   Kesannya 748 masih mendalam.   Kali ini dia dapat menghadapinya dengan santai.   Pandangan Hay-liong Lojin memang tidak salah.   Ilmunya memang lebih tinggi setingkat daripada Kuan Tiong- liu.   Begitu anak muda itu mengerahkan tiga jurus terakhir Lok- jit-kiam-hoat, pedang Wan Fei-yang sudah berhasil menempel di depan tenggorokan Kuan Tiong-liu.   Perasaan Kuan Tiong-liu saat itu bagai terjatuh ke dalam jurang yang dalam.   Dia berdiri terpaku.   "Mengapa setiap kali kau harus memaksa aku turun tangan?"   Tanya Wan Fei-yang sambil tertawa getir. Kuan Tiong-liu memandang Wan Fei-yang dengan pandangan menusuk.   "Pertarungan di pesisir pantai tempo hari, kau benar-benar mengalah terhadapku?"   Wan Fei-yang tidak menyahut.   "Mengapa kau masih tidak membunuh aku?"   Teriak Kuan Tiong-liu marah.   "Antara kau dan aku sama sekali tidak ada dendam apa-apa,"   Kata Wan Fei-yang sambil menyimpan pedangnya kembali.   "Kalau kau tidak membunuh aku, kelak kau pasti akan menyesal!"   Sahut Kuan Tiong-liu sambil menggertakkan giginya erat-erat. Wan Fei-yang mengibaskan tangannya.   "Lebih baik kau pergi saja."   Hampir saja Kuan Tiong-liu muntah darah karena jengkelnya.   749 Dia mengentakkan kakinya, kemudian membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu.   Wan Fei-yang memandangnya sampai menghilang di kejauhan.   Dia sendiri termenung serta berulang kali menarik napas.   ***** Ketika Tok-ku Hong sadarkan diri, matahari sudah tenggelam.   Pada saat itu Wan Fei-yang sedang membuka mulutnya dan meminumkan air yang diambilnya dengan sarung pedang.   Tok-ku Hong hanya merasa lidahnya menjadi pahit, tapi setelah rasa pahit berkurang, dia malah merasa segar dan nyaman.   Akhirnya dia dapat melihat Wan Fei-yang.   Tok-ku Hong mengejap-ngejapkan matanya.   "Jangan bergerak.   Yang ada dalam mulutmu itu obat.   Cepat telan!"   Kata Wan Fei-yang menyarankan. Kesadaran Tok-ku Hong mulai pulih sedikit demi sedikit. Tanpa sadar dia mengikuti perintah Wan Fei-yang dan menelan obat itu.   "Siapa kau?"   Tanyanya kemudian.   "Aku hanya kebetulan lewat,"   Sahut Wan Fei-yang. Tangannya masih memegangi bahu Tok-ku Hong. Akhirnya gadis itu merasakan. Dia menepiskan tangan Wan Fei-yang.   "Lepaskan tanganmu!"   Wan Fei-yang tertegun. Dia menyingkirkan tangannya. Tubuh Tok-ku Hong hampir terjatuh, tapi gadis yang keras hati itu bertahan sekuatnya. Dia menumpukkan kedua telapak tangannya di atas tanah. Matanya mencari-cari. 750 "Mana manusia she Kuan itu?"   Tanyanya tiba-tiba.   "She Kuan?"   Wan Fei-yang pura-pura tidak mengerti.   "Pemuda yang mengenakan pakaian putih ...."   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Oh .... Pemuda berpakaian putih itu yang kau maksudkan? Dia sudah kabur."   "Kabur?"   Tok-ku Hong kurang begitu percaya.   "Siapa yang sanggup membuatnya kabur? Kau?"   "Aku mana punya kesanggupan sehebat itu,"   Wan Fei-yang menjawab sambil memutar otaknya.   "Seorang Hwesio bergebrak dengannya, pemuda itu tampaknya kalah, terus kabur."   "Hwesio?"   Tok-ku Hong semakin penasaran.   "Bagaimana tampangnya?"   "Usianya sudah lanjut, di kepalanya yang gundul ada sembilan lubang, orangnya agak pendek, rambutnya sudah putih semua, jenggotnya panjang menjuntai. Tampaknya ilmu Hwesio itu tinggi sekali. Baru bertarung beberapa saat, pemuda berpakaian putih itu sudah kabur."   "Kira-kira siapa yang mempunyai kepandaian setinggi itu?"   Tok-ku Hong seperti bertanya kepada dirinya sendiri. Dia merenung beberapa saat. Kemudian dia menoleh lagi kepada Wan Fei-yang.   "Ke mana Hwesio itu sekarang?"   "Dia memerhatikan engkau sambil menggelengkan kepalanya. 751 Kemudian lengan bajunya dikibaskan lalu tubuhnya melesat dan menghilang begitu saja."   "Oh?"   Tok-ku Hong merenung kembali.   "Siapa gelar Hwesio itu?"   "Dia tidak mengatakannya,"   Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya.   "Bagaimana perasaanmu setelah meminum obat tadi?"   Tok-ku Hong mencoba menghimpun hawa murninya, walaupun belum begitu lancar, tapi rasa sakitnya tidak seperti sebelum pingsan tadi lagi.   Malah terasa sekulum hawa yang sejuk menguap naik lewat tenggorokannya.   Dia merasa heran.   "Obat apa yang kau berikan kepadaku?"   "Aku juga kurang paham,"   Wan Fei-yang mengeluarkan botol obat dari balik pakaiannya.   "Obat ini merupakan resep turunan keluarga. Dibuat dari bermacam-macam daun obat-obatan. Menurut apa yang kudengar, obat ini khusus untuk menyembuhkan luka dalam."   Tok-ku Hong memerhatikan Wan Fei-yang dari atas kepala sampai ke ujung kaki.   "Siapa kau sebetulnya?"   "Aku? Kurang jelas juga,"   Wan Fei-yang benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.   "Apa?"   Tok-ku Hong semakin kebingungan.   "Yang aku maksudkan siapa namamu?"   "Aku she Yang. Orang-orang selalu memanggilku Siau Yang. Yang dari huruf Yang Ciu,"   Sahut Wan Fei-yang seakan takut 752 gadis itu kurang paham.   "Tidak ada nama?"   "Ada nama kecil, yaitu A Ha. Tapi lebih baik kau memanggilku Siau Yang saja."   Tentu saja Tok-ku Hong tidak tahu Wan Fei-yang sedang berdusta. Dia malah merasa anak muda ini lucu sekali dan menarik.   "Di mana rumahmu?"   Tanyanya kembali.   "Sebuah desa kecil tanpa nama yang kira-kira jaraknya keberapa puluh li dari sini. Di desa kami itu hanya ada belasan keluarga."   "Untuk apa kau datang ke tempat sejauh ini?"   "Cari pekerjaan,"   Untung saja otak Wan Fei-yang cukup encer.   "Bagaimana dengan kedua orang tuamu?"   Tanpa sadar Tok-ku Hong bertanya terus.   "Semuanya sudah mati,"   Wajah Wan Fei-yang tampak menyiratkan kesedihan. Dia cepat-cepat mengalihkan bahan pembicaraan.   "Kouwnio, aku rasa lukamu tidak ringan. Kalau kau diam di sini terus, nanti bisa masuk angin. Celakalah kau saat itu."   "Siapa yang memerlukan perhatianmu?"   "Jangan berkata demikian. Sekarang kau ibarat pasienku. Kalau sampai terjadi apa-apa pada dirimu, aku tentu tidak bisa makan tidur lagi." 753 "Aku tidak meminta kau bertanggung jawab atas diriku."   "Menolong orang merupakan kewajiban dalam hidup. Mana mungkin sementara aku melihat kau di ambang kematian lalu membiarkan saja?"   Sahut Wan Fei-yang seenaknya.   "Baru membawa obat keluarga saja sudah berani mengobati orang. Nyalimu tidak kecil juga!"   Tok-ku Hong mengomelinya, namun bibirnya menyunggingkan senyuman.   "Kalau nyaliku tidak besar, melihat begini banyaknya mayat yang bergelimpangan, pasti aku sudah kabur sejak tadi."   "Tahukah kau apa yang telah terjadi?"   "Aku tidak tahu.   Tapi aku mengenali sebagian besar dari mayat itu adalah anggota Bu-ti-bun."   "Kau kenal dengan mereka?"   "Tidak kenal.   Tapi, sudah pasti itu dandanan anggota Bu-tibun."   "Tampaknya kau memerhatikan sekali."   "Karena aku memang pernah masuk menjadi anggota Bu-ti- bun."   "Mengapa?"   Kecurigaan Tok-ku Hong bangkit kembali.   "Bu-ti-bun tiada tandingannya di kolong langit. Coba kau perhatikan, mana ada murid Bu-ti-bun yang tidak terlihat 754 gagah?"   Wan Fei-yang sengaja menarik napas panjang.   "Sayangnya harus ada yang memperkenalkan dan ada orang yang menjamin.   Aku sudah pergi ke kantor cabang mereka tiga kali, tapi setiap diuji, aku selalu tidak lulus dan tidak diterima."   "Tahukah kau siapa aku?"   Tanya Tok-ku Hong kembali.   "Siapa juga tidak jadi masalah,"   Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya.   "Siapa tahu aku musuh Bu-ti-bun."   Wan Fei-yang pura-pura terkejut. Kemudian dia menggelengkan kepalanya kembali.   "Apa boleh buat? Melihat kematian tanpa menolong, aku tidak bisa melakukan hal seperti itu,"   Dia seakan teringat sesuatu.   "Oh ya .... Di depan sana ada kuil yang tidak terpakai, mari aku papah kau beristirahat di sana sejenak,"   Katanya. Tangan Wan Fei-yang terulur. Sudah pasti Tok-ku Hong menolaknya.   "Tidak perlu. Aku bisa berjalan sendiri!"   Dia menggunakan goloknya sebagai tongkat dan memaksakan dirinya bangun.   Bagian telapak tangannya masih sakit, walaupun tidak senyeri tadi lagi.   Dia memaksakan dirinya berjalan keberapa langkah, tapi bekas lukanya sakit sekali.   Langkahnya limbung, tubuhnya terhuyung-huyung, hampir saja dia jatuh ke tanah.   Wan Fei-yang yang mengikuti dari samping, cepat-cepat 755 memapahnya.   Tapi Tok-ku Hong masih bermaksud menolak, namun segulungan rasa pening tiba-tiba menyerang kepalanya.   Dia tahu dirinya tidak kuat berjalan, terpaksa dia membiarkan Wan Fei-yang memapahnya.   Diam-diam dia mengatur hawa murninya.   Sejenak kemudian rasa pusingnya agak berkurang.   Dia baru bisa melanjutkan langkahnya perlahan.   Melihat semua itu, diam-diam Wan Fei-yang merasa kagum.   Gadis yang keras hatinya seperti Tok-ku Hong memang tidak banyak.   ***** Jarak kuil kosong itu dari tepi sungai tadi sebetulnya tidak terlalu jauh.   Tapi Wan Fei-yang memapah Tok-ku Hong dan melangkah perlahan.   Ketika mereka sampai di tempat tujuan, malam sudah merayap.   Namanya memang kuil bobrok.   Tapi beberapa hari sebelumnya Wan Fei-yang sudah menghabiskan waktu setengah harian untuk membersihkannya.   Dia juga pernah menginap satu malam di kuil tersebut.   Wan Fei-yang memapah Tok-ku Hong duduk di atas lantai.   Sebentar saja dia sudah mengambil setumpuk kayu kering dan menyalakan api unggun.   Tok-ku Hong memandangnya dengan tatapan heran.   Wan Fei-yang merasa dirinya diperhatikan.   Dia tertawa lebar.   "Kau tidak perlu heran.   Aku pernah tinggal di sini,"   Katanya seakan menjelaskan. 756 Setelah api menyala, dia mengambil sebuah mangkuk yang sudah somplak.   "Kau istirahat dulu sebentar. Aku akan mengambil air dan kau harus minum obat sekali lagi."   Tanpa menunggu jawaban dari Tok-ku Hong, Wan Fei-yang segera menghambur keluar.   Tok-ku Hong terpaksa memandangi punggungnya sampai menghilang.   Setelah merenung sesaat, dia berusaha menegakkan badannya dan menghimpun kembali hawa murninya.   Obat yang diberikan Wan Fei-yang kepada Tok-ku Hong, sudah tidak perlu diragukan lagi merupakan obat racikan Hay-liong Lojin.   Memang bagus sekali untuk menyembuhkan luka dalam.   Sayangnya Wan Fei-yang tidak mengerti bagaimana cara meminumkannya sehingga obat itu tidak banyak menunjukkan reaksinya.   Sekarang Tok-ku Hong membantunya dengan menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh, tentu saja obat itu segera buyar dan bekerja.   Tok-ku Hong merasakan kesegaran dan kenyamanan dalam waktu singkat.   Tok-ku Hong meminum obat itu sekali lagi.   Setelah beristirahat sejenak, tidak lama kemudian dia tertidur dengan pulas.   Ketika dia terbangun kembali, hari sudah pagi.   Cahaya matahari menyorot dari luar kuil.   Tok-ku Hong mengejapkan matanya.   Tiba-tiba dia tersentak, cepat-cepat dia memerhatikan tubuhnya sendiri.   Tapi dia tidak merasakan sesuatu yang tidak beres.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Hatinya menjadi lega.   Kemudian dia melihat Wan Fei-yang membawa sebuah mangkuk di tangan dan menghampirinya.   "Apa lagi itu? Obat?" 757 "Bubur ....   Aku sengaja memasakkannya untukmu."   Di atas tungku api terdapat sebuah panci rombeng.   Di dalamnya terdapat bubur yang masih mengepulkan asap.   Tok- ku Hong memerhatikan Wan Fei-yang sekali lagi.   Pelupuk matanya mulai merah.   Dapat dipastikan bahwa pemuda itu tidak tidur sepanjang malam.   Hati Tok-ku Hong terharu sekali.   Dia menyambut mangkuk dari tangan Wan Fei-yang, kemudian mencicipnya sedikit, rasanya manis dan gurih.   Kalau dibandingkan dengan masakannya sendiri, jelas jauh lebih enak.   "Bubur apa ini?"   Tanyanya tanpa sadar.   "Bubur ikan lele."   Tampaknya Wan Fei-yang gembira sekali.   "Dari mana kau mendapatkan ikan lele?"   Tanya Tok-ku Hong yang keheranannya bangkit kembali.   "Aku menceburkan diri ke dalam sungai dan menangkapnya."   Wan Fei-yang balik bertanya.   "Bagaimana rasanya? "Enak sekali,"   Kata Tok-ku Hong memuji.   "Kepandaianmu banyak juga."   "Sejak kecil aku harus mengurus diriku sendiri, kalau yang beginian saja tidak bisa, sejak dulu aku sudah mati kelaparan."   Mendengar ucapannya, hati Tok-ku Hong semakin terharu. Dia merenung sejenak.   "Bukankah kau tadi mengatakan bahwa kau ingin sekali bergabung dengan Bu-ti-bun? 758 "Sekarang tidak lagi."   Jawaban Wan Fei-yang malah di luar dugaan gadis itu.   "Eh? Mengapa?"   "Aku sekarang sudah yatim piatu. Tidak punya siapa-siapa lagi. Siapa yang akan menjamin? Lagi pula di mana aku harus mencari orang yang bisa mengenalkan aku masuk Bu-ti-bun? "Aku!"   Tok-ku Hong menyuap sesendok bubur.   "Kau? Kenapa kau?"   Tanya Wan Fei-yang seakan curiga. Tok-ku Hong mendengus dingin.   "Tok-ku Bu-ti adalah ayahku. Coba kau pikir, bisa atau tidak aku yang menjaminmu? Dan aku juga yang akan memperkenalkanmu."   Wan Fei-yang sengaja menatap Tok-ku Hong dengan pandangan kurang percaya.   "Anggaplah aku membalas budimu karena sudah merawatku,"   Kata Tok-ku Hong selanjutnya.   "Aku tidak mengharap balas budimu. Aku juga bukan jenis manusia yang sudah menolong orang lalu mengharapkan pembalasanmu,"   Sahut Wan Fei-yang bersungut-sungut.   "Kau kira aku jenis manusia yang sudah menerima pertolongan lalu melupakan begitu saja."   Tok-ku Hong meletakkan mangkuknya di atas tanah.   "Segala hal yang sudah aku tetapkan, tak dapat diubah oleh siapa pun juga!" 759 Wan Fei-yang tampak serbasalah.   "Ini ...."   "Ini itu apa lagi? Plintat-plintut, seperti bukan anak laki-laki saja!"   "Baik. Tapi kau tidak boleh sedikit-sedikit gembar-gembor pada semua orang dengan mengatakan bahwa aku mengandalkan engkau baru bisa menjadi anggota Bu-ti-bun."   Wajah Wan Fei-yang serius sekali ketika mengucapkan kata- kata ini.   "Siapa yang kebanyakan waktu menceritakan engkau?"   Tok-ku Hong geli melihat lagak Wan Fei-yang yang ketolol-tololan.   Dia tertawa cekikikan kemudian menghabiskan sisa buburnya.   Wan Fei-yang sendiri ikut tertawa geli.   Tiba-tiba tawanya sirap.   Dia sedang memikirkan apakah pantas dia mengelabui Tok-ku Hong dengan cara demikian.   Dia sudah berniat mengatakan dengan terus terang, tapi kata-kata yang sudah dipersiapkan dan sudah sampai di ujung lidah ditariknya kembali.   Akhirnya dia memutuskan untuk meneruskan sandiwaranya.   Tok-ku Hong sama sekali tidak menyadari.   Dia sudah memutuskan untuk kembali ke Bu-ti-bun.   Bukan karena Wan Fei-yang saja.   Tetapi dia sudah merasa jenuh dengan kehidupan semacam ini.   ***** 760 Hay-liong Lojin orang yang periang.   Setiap hari dia selalu tertawa bebas.   Tapi ketika mendengar musibah yang terjadi pada Go-bi-pay, wajahnya berubah hebat.   Dia tidak sanggup tertawa lagi.   Dia tidak meragukan apa yang dikatakan Kuan Tiong-liu.   Apalagi luka yang diderita setiap murid Go-bi-pay yang mengiringi kedatangan Kuan Tiong-liu.   Kepala mereka tertunduk dalam-dalam.   Berkali-kali mereka menarik napas panjang.   Semangat mereka entah terbang ke mana.   Di atas meja yang terdapat di hadapannya ada sebuah kantong kecil yang berlumuran darah.   Itulah benda peninggalan It-im Taysu.   Darah sudah mengering.   Warnanya pun sudah mulai memudar.   Mata Hay-liong Lojin menatap benda itu lekat-lekat.   Hatinya semakin berduka.   "Benarkah si tua bangka It-im itu sudah mampus?"   Kata-kata itu memang tidak sopan, tapi mengandung kesedihan yang dalam.   Kuan Tiong-liu menganggukkan kepalanya tanpa menyahut.   Hay-liong Lojin menarik napas dalam-dalam.   "Betul kan? Sejak dulu aku sudah sering mengatakan, tidak perlu melelahkan diri menasihati manusia-manusia jahat seperti itu.   Tempo hari Kui-kiam (Pedang Setan) Bu-tiang datang untuk membalas dendam.   Dia masih mengatakan bahwa pada dasarnya orang itu masih mempunyai sifat yang baik.   Untung saja aku keburu datang, kalau tidak waktu itu saja Pedang Setan Bu-tiang sudah mengantarnya ke neraka, tidak perlu menunggu sampai sekarang,"   Hay-liong Lojin merandek sejenak. Kemudian dia mengomel lagi panjang lebar.   "Tua bangka itu memang terlalu lugu. Sama sekali tidak melihat kenyataan hidup. Sedikit-sedikit Omitohud. Sekarang 761 baru dia rasakan, sekaligus dua ratus tujuh puluh lebih anak muridnya mati penasaran!"    Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Raja Silat Karya Chin Hung

Cari Blog Ini