Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 18


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 18


Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying   Kuan Tiong-liu menundukkan kepalanya dalam-dalam.   Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.   Para murid Go-bi-pay lainnya juga menundukkan kepala mereka.   Berkali-kali masih terdengar helaan napas panjang.   Hay-liong Lojin mengedarkan pandangannya kepada mereka sekilas.   "Untung kalian masih sempat melarikan diri."   Hay-liong Lojin mendongakkan wajahnya ke langit biru.   "Dapatkah Go-bi-pay tampil kembali ke dunia Kangouw, semuanya tergantung kepada kalian."   Orang tua itu berdiri dan menatap Kuan Tiong-liu.   "Terutama kau manusia she Kuan. Aku tahu bakatmu melebihi orang lain. Kau harus berlatih lebih giat lagi!"   "Susiok, jangan khawatir, aku pasti akan menonjolkan kembali nama Go-bi-pay!"   Sahutnya dengan suara berat.   "Bagus! Ada semangat!"   Orang tua itu menepuk bahu Kuan Tiong-liu dua kali kemudian mengambil benda peninggalan It-im Taysu dan berjalan pergi. Kuan Tiong-liu mengikuti dari belakang. Sesampainya di luar rumah, dia berkata.   "Susiok, apa yang kau katakan memang benar! Aku bukan tandingan Wan Fei-yang."   "Akhirnya kau percaya juga bahwa tempo hari Wan Fei-yang memang mengalah terhadapmu."   "Liong-gi-kiam-hoat dari Bu-tong-pay dan Lok-jit-kiam-hoat kita sama-sama terkenal di dunia Kangouw. Mengapa kita 762 bertarung, terpautnya demikian jauh?"   "Untuk mengembangkan Lok-jit-kiam-hoat diperlukan paduan Im dan Yang. Ciangbunjin generasi lalu keburu meninggal, lagi pula kami baru tahu sesudahnya. Maka dari itu, Lok-jit-kiam- hoat yang kulatih bersama It-im Taysu hanya mengandung kekerasan tenaga Yang, namun kekurangan kelembutan daya Im. Ciangbunjin generasi pendahulu tidak sempat mewariskannya kepada kami. Tentu saja kita tidak bisa mengerahkan Lok-jit-kiam-hoat dengan sempurna,"   Kata Hay- liong Lojin menjelaskan. Kuan Tiong-liu tertegun.   "Kalau begitu, Susiok juga tidak dapat mencapai kesempurnaan dalam berlatih Lok-jit-kiam-hoat."   Hay-liong Lojin tidak mengingkari. Kuan Tiong-liu menarik napas panjang.   "Apakah tidak ada jalan untuk membantu agar Lok-jit-kiam- hoat dapat terlatih sampai sempurna?"   "Bukannya tidak ada ...."   Wajah Hay-liong Lojin menjadi kelam.   "Susiok, katakanlah kepadaku. Bagaimana pun susahnya, aku bertekad untuk melatih Lok-jit-kiam-hoat sampai sempurna."   "Jalan satu-satunya adalah mempelajari kelembutan daya Im."   "Oh?"   Kuan Tiong-liu kurang paham maksud orang tua itu.   Hay-liong Lojin terpaksa menjelaskan lebih terperinci.   763 "Seandainya kau dapat mempelajari Sim-hoat dari Si-im-kung (Istana Akhirat) maka semuanya akan menjadi mudah.   Tapi tempo dulu, Si-im-kung pernah diserbu oleh sembilan partai besar sehingga terdesak keluar dari Tionggoan.   Sejak itu mereka tidak pernah muncul lagi di dunia Kangouw.   Tentu saja Lwekang Sim-hoat dari Si-im-kung tidak ada pewarisnya di daerah Tionggoan."   "Dari mana asal Si-im-kung sebenarnya?"   "Po-se (Portugis).   Mereka pernah menggetarkan Bu-lim dalam jangka waktu yang cukup lama.   Tapi karena mereka tergolong aliran sesat dan banyak membuat kericuhan, akhirnya tidak mampu menahan keroyokan sembilan partai besar dan menghilang begitu saja.   Apakah mereka kembali ke negerinya sendiri atau hijrah ke tempat lain, tidak ada yang tahu lagi."   "Kecuali Lwekang Sim-hoat dari Si-im-kung, apakah tidak ada Sim-hoat lain yang dapat menggantikannya?"   Desak Kuan Tiong-liu.   "Bukan begitu juga.   Menurut cerita, Hek-pay-suang-mo (Sepasang Iblis Putih dan Hitam) dari India juga mempelajari ilmu yang sama.   Malah ada yang mengatakan bahwa tadinya mereka merupakan satu aliran dengan Si-im-kung., Sedangkan Han-ling-cu (Sukma Dingin) dari Tionggoan juga mempunyai semacam ilmu yang menggunakan Lwekang daya lembut ini.   Tapi mereka semua terdiri dari golongan sesat.   Seandainya iman kita tidak kuat, sifat kita akan terpengaruh menjadi jahat.   Lebih baik kita cari akal lain, lihat saja, siapa tahu kita akan dapat menemukan Sim-hoat Go-bi-pay yang hilang itu."   Hay-liong Lojin menarik napas panjang.   "Mungkin dari angkatan pendahulu kita ada yang mempelajari ilmu ini 764 dan ada beberapa, dari mereka yang menurunkan kepada ahli warisnya."   Kuan Tiong-liu tidak bersuara.   Entah apa yang sedang dipikirkannya.   "Aku menyimpan sebuah daftar nama yang di dalamnya tertera nama-nama anak murid Go-bi-pay angkatan pendahulu.   Nanti aku akan menyerahkannya kepadamu.   Tapi kau harus keliling dunia untuk mencari mereka.   Siapa tahu ada di antara mereka yang mengerti Sim-hoat ilmu Lok-jit- kiam-hoat,"   Kata Hay-liong Lojin selanjutnya. Kuan Tiong-liu masih juga tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Akhirnya orang tua itu menyadarinya juga. Kakinya berhenti melangkah.   "Apa lagi yang kau pikirkan!"   "Tidak ada."   Kuan Tiong-liu mengertakkan giginya erat-erat.   "Sejak sekarang, Tecu akan mengelilingi dunia ...."   Hay-liong Lojin tidak menunggu sampai kata-kata Kuan Tiong- liu selesai, dia mengangkat jempolnya memuji.   "Sejak tadi aku sudah mengatakan bahwa kau memang bersemangat besar."   "Biar Liok An berdiam di sini saja, juga para rekan yang lain, Tecu harap Susiok bersedia menampung mereka."   "Omongan apa itu?"   Hawa kemarahan Hay-liong Lojin meluap lagi.   "Aku juga murid Go-bi-pay, tentu saja aku juga mempunyai tanggung jawab untuk menjaga mereka."   Liok An sejak tadi mengintil di belakang Kuan Tiong-liu. Dia tidak dapat menahan dirinya lagi.   "Kongcu, biar aku melayani 765 ...."   Kuan Tiong-liu memalingkan wajahnya menatap Liok An sekilas.   "Ilmu silatmu masih rendah sekali. Lebih baik kau berdiam di sini saja."   Kemudian dia menjura kepada Hay-liong Lojin.   "Susiok, aku berangkat."   "Baik. Kau pergilah!"   Orang tua itu menarik napas panjang sekali lagi.   Setelah itu dia melempar kantong kecil peninggalan It-im Taysu dengan tenaga sekuatnya.   Kantong kecil itu melayang ke tengah lautan.   Ombak putih bergelombang, sebentar saja kantong kecil itu terombang-ambing semakin jauh.   Di bawah aliran air mata para murid Go-bi-pay, Kuan Tiong-liu meneruskan langkahnya untuk mencapai cita-cita membangun kembali Go-bi-pay.   ***** Kesunyian malam semakin merayap.   Dari luar tampaknya Bu- tong-san begitu tenang.   Kenyataannya sejak Wan Fei-yang meninggalkan tempat itu, di Bu-tong-san tidak pernah terjadi kericuhan lagi.   Penjagaan pada malam hari juga tidak begitu diperketat lagi.   Namun malam itu Fu Giok-su masih berhati-hati ketika meninggalkan kamarnya menuju bagian belakang gunung di mana terdapat hutan yang lebat.   Angin bertiup melambaikan dedaunan.   Dengan membelakangi rembulan, manusia tanpa wajah berdiri tegak di antara pepohonan yang lebat.   Dia melihat Fu Giok-su menghampiri ke arahnya.   "Kongcu ...." 766 "Lagi-lagi kau datang ke Bu-tong-san.   Sebetulnya ada keperluan apa?"   Tanya Fu Giok-su dengan nada datar.   "Cujin tidak sabar lagi untuk membalas dendam. Orang tua itu meminta kau segera bertindak,"   Sahut manusia tanpa wajah sambil menyodorkan sepucuk surat kepada Fu Giok-su.   Fu Giok-su mengeluarkan surat tersebut.   Dia berdiri membelakangi rembulan agar mendapat cahaya dan bisa membaca surat itu.   Setelah membaca dengan saksama, dia mengeluarkan batu api lalu menyalakannya.   Surat itu dibakar hingga menjadi abu.   Dia memang seorang yang teliti.   Kemudian dia merenung sejenak.   "Kau pulang ke Siau-yau-kok dan laporkan kepada Yaya.   Dalam jangka waktu sepuluh hari aku akan melakukan semuanya sesuai rencana.   Pokoknya aku akan memancing Yan Cong-tian ke Ci-liong-ceng."   "Kongcu sudah menemukan akal yang baik?"   Fu Giok-su menganggukkan kepalanya.   Sambil berjalan dia menjelaskan apa yang sudah direncanakannya.   Manusia tanpa wajah mendengarkan dengan saksama.   Kepalanya manggut-manggut terus.   Fu Giok-su adalah pemuda yang sangat cerdas.   Siasat yang terpikir olehnya pasti rapi sekali.   Kali ini Yan Cong-tian tentu akan terjebak dalam perangkap yang berbahaya.   ***** Fu Giok-su mengantarkan kepergian manusia tanpa wajah.   767 Dia kembali ke kamarnya.   Belum lagi dia mendorong pintu kamar itu, hatinya sudah merasa curiga.   Tadinya pintu itu dibiarkan sedikit terbuka, sekarang malah tertutup rapat.   Dia menempelkan tangannya pada pintu kamar.   Setelah mempertimbangkan sejenak, dia mendorong pintu itu dengan hati-hati.   Cahaya rembulan menyorot lewat jendela.   Keadaan di dalam kamar remang-remang.   Tapi dia dapat melihat ada seseorang duduk di atas tempat tidurnya.   Meskipun tidak jelas sekali, tapi dia sudah dapat menerka siapa gerangan orang itu.   Dia merapatkan pintu kamarnya kembali.   Fu Giok-su bergegas mendekati tempat tidur.   "Wan-ji, mengapa kau datang pada waktu seperti ini? Orang itu memang Lun Wan-ji.   Tangan kanannya mendekapi ulu hati, seperti ingin muntah, tapi dia bertahan sebisanya jangan sampai muntah di tempat itu.   Kemudian dia berdiri, kepalanya menyusup ke dalam dada Fu Giok-su.   Dia menangis terisak-isak.   "Wan-ji, ada apa?"   Tanya Fu Giok-su lembut.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Giok-su, aku ... aku ada beberapa patah kata yang ingin kukatakan kepadamu."   "Tentang apa?"   Fu Giok-su memandangnya dengan heran. Tubuh Lun Wan-ji semakin merapat ke dalam pelukan pemuda itu. Setelah beberapa saat baru dia membuka suara ....   "Beberapa hari belakangan ini, badanku terasa tidak enak. 768 Aku muntah setiap kali mengisi perut, kepala juga pusing terus. Jangan-jangan ...."   Baru mendengar setengahnya saja, wajah Fu Giok-su sudah berubah hebat. Dia termangu-mangu sekian lama.   "Coba katakan, apa yang harus kita lakukan? Kalau sampai orang tahu aku mengandung anakmu, maka ...."   Suara Lun Wan-ji menjadi serak dan tidak jelas. Dalam waktu singkat hati Fu Giok-su tenang kembali. Dia menepuk bahu Lun Wan-ji dengan lembut.   "Jangan takut. Aku akan mengatur segalanya."   Lun Wan-ji mendongakkan kepalanya. Air mata mengalir deras. Fu Giok-su mengulurkan tangan mengusap pipi gadis itu.   "Tidak perlu khawatir,"   Katanya sepatah demi sepatah.   Kemudian dia mengusap air mata Lun Wan-ji.   Air mata itu terasa dingin di tangan.   Perasaan hati Fu Giok-su pun menjadi sejuk.   ***** Malam panjang berakhir jua.   Pagi-pagi sekali Fu Giok-su sudah mendatangi kamar batu di mana Yan Cong-tian berlatih diri.   Setelah berpikir semalam suntuk akhirnya dia mendapat akal untuk memancing Yan Cong-tian terperangkap dalam jebakannya.   Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa para murid yang berada di kaki gunung menyampaikan berita bahwa Wan Fei- yang dan Thian-ti terlihat di desa Ci-liong.   Dia sudah dapat 769 meraba sifat Yan Cong-tian.   Kalau mendengar berita ini, dia pasti akan segera menyusul ke desa Ci-liong untuk mengadakan perhitungan dengan Wan Fei-yang.   Ternyata apa yang diduganya memang tidak meleset.   Mendengar kabar itu, Yan Cong-tian langsung bersemangat.   "Mengapa Wan Fei-yang bisa bersama-sama dengan makhluk tua itu?"   "Apakah Susiok sudah lupa.   Sebelum meninggalkan Bu-tong- san, makhluk tua itu pernah berkata bahwa Wan Fei-yang adalah hasil didikannya."   "Betul! Tidak heran mereka bisa bersama-sama."   Yan Cong-tian bertanya lagi.   "Dari mana kau mendapatkan berita ini?"   "Bekas murid Bu-tong-pay yang membuka perusahaan pengawalan dekat desa Ci-liong. Orang itu she Suma ...."   "Kim-to (Golok Emas) Suma?"   Suatu ingatan terlintas di benak Yan Cong-tian.   "Apakah Suma Hong?"   "Suma-susiok sudah meninggal. Penggantinya yang sekarang adalah putranya yang bernama Suma Tian."   "Suma Hong juga sudah meninggal?"   Yan Cong-tian menarik napas dalam-dalam.   "Kami adalah sahabat karib. Satu keluarga itu sangat menarik. Mereka semua menggunakan tangan kiri dalam menggenggam golok. Ilmu golok tangan kiri Bu-tong-pay juga hanya mereka yang bisa menguasai dengan baik."   Dalam hati Fu Giok-su agak terkejut. Dia tidak menyangka 770 Yan Cong-tian sedemikian paham. Namun dia tidak menunjukkan perasaan apa-apa.   "Susiok, apa yang harus kita lakukan?"   "Masih perlu tanya? Aku akan segera menyusul ke desa Ci- liong. Aku akan menghancurkan tubuhnya hingga berkeping- keping!"   "Susiok, aku akan menemani kau orang tua ke sana!"   "Tidak perlu! Aku sendiri sudah cukup."   Mata Yan Cong-tian mengerling sekilas.   "Kau sekarang merupakan Ciangbunjin Bu-tong-pay. Kau harus berdiam di sini mengurus hal yang lainnya."   "Justru karena Tecu sekarang sudah menjadi Ciangbunjin, maka Tecu harus ikut pergi ke sana."   "Kalau kau ikut pergi, siapa yang mengurus Bu-tong-pay?"   Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya.   "Lebih baik kau tetap di sini saja."   "Susiok ...!"   "Apakah perkataanku saja sudah tidak kau dengar lagi?"   Wajah Yan Cong-tian berubah kelam.   "Tidak ....   Tapi Suhu dibokong oleh murid murtad itu.   Sekarang sebagai murid, aku sudah menemukan jejak pembunuh tersebut.   Masa aku tidak memberi bantuan sedikit pun? Hati rasanya tidak puas.   Lagi pula apa yang harus Tecu kemukakan di depan umum apabila mereka mengetahui kejadian ini?"   Kata Fu Giok-su dengan wajah sendu. Dia 771 langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Yan Cong-tian.   "Harap Susiok kabulkan permintaan Tecu."   Yan Cong-tian merasa apa yang dikatakan Fu Giok-su memang beralasan. Dia memandang wajah anak muda itu. Penampilannya tulus sekali. Akhirnya dia menganggukkan kepalanya.   "Baik. Kalau kau memang sudah bertekad untuk ikut."   Fu Giok-su menunjukkan tampang gembira.   Cepat-cepat dia menyembah sebanyak tiga kali.   Yan Cong-tian buru-buru memapahnya bangun.   Wajah Fu Giok-su menghadap ke bawah.   Yan-susiok itu tidak dapat melihat bibir pemuda itu yang menyunggingkan senyuman licik.   ***** Di atas gunung hujan turun dengan lebat.   Angin membawa rintikan hujan menerobos lewat jendela yang memercik membasahi wajah Fu Giok-su.   Dia sedang membereskan perbekalan untuk kepergian.   Tanpa terasa sebuah dompet kecil yang memancarkan keharuman terjatuh dari dalam tumpukan pakaian.   Dompet kecil itu pemberian Lun Wan-ji Dia sering membawanya ke mana-mana.   Kadang-kadang dia suka mengeluarkan dompet itu dan menatapnya sampai lama.   Secercah kesunyian merayap dalam hatinya.   Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.   Fu Giok-su masih memegangi dompet kecil tersebut.   Pikirannya melayang- layang.   Dia tidak menyadari suara ketukan di pintu.   Sekali lagi terdengar suara ketukan.   Fu Giok-su tersentak dari 772 lamunannya.   Cepat-cepat dia memasukkan dompet kecil itu di balik pakaiannya, berjalan menuju pintu dan membukanya.   Lun Wan-ji berdiri di depan pintu.   Tampangnya kusut.   Tidak kelihatan semangat hidup sedikit pun.   Wajahnya menyiratkan kesedihan yang dalam.   Fu Giok-su menariknya ke dalam.   "Apakah kau sudah mengatakannya kepada Susiok?"   Lun Wan-ji memandang Fu Giok-su dengan matanya yang sayu.   "Suhu mengatakan bahwa ilmu silatku masih rendah, kalau pergi malah akan merepotkan. Jadi aku tidak boleh ikut."   Fu Giok-su membimbing Lun Wan-ji duduk di atas tempat tidur.   Lun Wan-ji menatapnya lekat-lekat.   Hatinya perih kembali.   Tanpa sadar, air mata sudah menetes dengan deras.   Fu Giok-su menggenggam tangan Lun Wan-ji erat-erat.   Dia duduk di sampingnya.   Lun Wan-ji mengibaskan tangannya, sambil mengusap air mata dia berdiri.   "Biar aku membantumu membereskan perbekalan ...."   Fu Giok-su menarik tangan gadis itu dan memeluknya dalam dekapan. Lun Wan-ji tidak dapat menahan kesedihannya lagi. Dia menangis tersedu-sedu. Fu Giok-su menggelengkan kepalanya berkali-kali.   "Wan-ji ... jangan bersedih. Aku masih mempunyai akal yang lain."   Lun Wan-ji masih terisak-isak.   "Kita toh tidak mungkin menceritakan masalah ini kepada Suhu."   Semakin dipikirkan, hatinya semakin sedih. Air matanya mengalir semakin deras.   "Aku tidak akan meninggalkan kau telantar begitu saja,"   Kata 773 Fu Giok-su sambil mengetatkan pelukannya.   Rintik air hujan terempas lagi ke dalam melalui jendela.   Mata Fu Giok-su mengembang.   Hujankah atau air mata yang membasahi pelupuk matanya itu? ***** Hujan turun lagi.   Juga pada senja hari.   Senja pada hari ketujuh.   Fu Giok-su dan Yan Cong-tian sudah jauh dari Bu-tong-san.   Senja hari ini, mereka masuk ke dalam sebuah penginapan kecil di daerah Pek-ka-cik.   Yan Cong-tian duduk bersandar di atas tempat tidur.   Dia menarik napas berulang-ulang.   Hari ini mereka baru mendengar tentang diserbunya Go-bi-pay oleh Tok-ku Bu-ti.   It- im Taysu dan dua ratus tujuh puluh satu murid Go-bi-pay mati dalam satu hari.   Mereka mati penasaran.   Apalagi Yan Cong- tian pun ada jodoh bertemu muka beberapa kali dengan It-im Taysu.   Hatinya terpukul juga menerima berita tersebut.   Fu Giok-su menuangkan secangkir teh.   Yan Cong-tian menerimanya, kemudian menarik napas lagi.   "Tidak disangka sebuah partai besar seperti Go-bi-pay, bisa mengalami kemerosotan yang demikian mengenaskan."   Fu Giok-su ikut-ikutan menarik napas.   "Seandainya ada beberapa saja murid Go-bi-pay yang dapat diandalkan, Tok-ku Bu-ti juga tidak dapat menghancurkannya dengan demikian mudah."   "Jangan kata Go-bi-pay, bukankah Bu-tong-pay kita juga 774 makin merosot hari demi hari?"   Yan Cong-tian menarik napas dalam-dalam sekali lagi.   Tiba-tiba dia merasakan sesuatu.   Matanya mengerling tajam lalu melesat menuju pintu.   Fu Giok-su juga mendengar sedikit suara.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tubuhnya berkelebat, melesat menuju samping pintu kemudian menariknya dengan cepat.   Seseorang rupanya sejak tadi berdiri di depan pintu tersuruk masuk.   Fu Giok-su mengulurkan telapak tangannya untuk menghantam.   Yan Cong-tian cepat-cepat mencegahnya.   "Orang sendiri!"   Fu Giok-su juga sudah melihat orang itu. Telapak tangannya terhenti di tengah udara. Orang yang tersuruk jatuh ke dalam rupanya Lun Wan-ji. Bahunya menyandang sebuah bungkusan. Wajahnya tampak tersipu-sipu.   "Kau rupanya? Untuk apa kau ke sini?"   Tanya Fu Giok-su pura-pura marah.   Lun Wan-ji tidak menyahut.   Kepalanya tertunduk.   Melihat tampang gadis itu, Yan Cong-tian mengerutkan alisnya ketat.   "Susiok tidak mengizinkan kau ikut serta, tentu ada alasannya.   Kami toh bukan pergi berpesiar, tapi kami sedang menyelidiki jejak pembunuh.   Ilmu silatmu masih rendah.   Bukan menolong akhirnya malah merepotkan.   Kalau sampai terjadi apa-apa, kau suruh aku Ciangbunjin ini bagaimana harus bertanggung jawab? Kalau kau tidak berpikir demi dirimu sendiri, paling tidak kau harus berpikir demi Bu-tong-pay.   Mengapa adatmu selalu begitu keras?"   Fu Giok-su masih mengomel panjang lebar.   775 Apa yang dikatakan Yang Cong-tian hari itu kepada Lun Wan- ji, hampir dikeluarkan semua oleh Fu Giok-su.   Bahkan nada suaranya lebih keras lagi.   Kepala Lun Wan-ji tertunduk semakin rendah.   "Masih tidak cepat pulang?"   Bentak Fu Giok-su sekali lagi.   Lun Wan-ji menatap Fu Giok-su dengan termangu-mangu.   Kebetulan Fu Giok-su memang sengaja berdiri membelakangi Yang Cong-tian.   Dia mengedipkan matanya kepada Lun Wan- ji sebagai isyarat.   Lun Wan-ji segera mengerti.   Dia melirik sekilas ke arah Yang Cong-tian, kemudian membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu.   Yang Cong-tian memang sayang sekali kepada Lun Wan-ji.   Dia tidak sampai hati melihat keadaan gadis itu.   Akhirnya dia membuka suara ....   "Wan-ji, kembalilah."   Suaranya begitu lembut sampai di luar dugaan Fu Giok-su. Fu Giok-su pura-pura memandang Yang Cong-tian dengan tampang penasaran.   "Sudahlah ...."   Kata Yang Cong-tian tidak sabar.   "Susiok ...."   Fu Giok-su seperti masih ingin membantah.   "Kau pergi mencari pelayan, katakan padanya agar menyiapkan sebuah kamar lagi,"   Katanya datar. Fu Giok-su tampak masih bimbang.   "Cepat pergi!"   Bentak Yang Cong-tian sekali lagi.   776 Wajah Lun Wan-ji berseri-seri seketika.   Meskipun Fu Giok-su tidak memperlihatkan apa-apa, tapi dia juga tidak membantah lagi.   Dia mengayunkan langkah lebar keluar dari kamar tersebut.   Yang Cong-tian menggapaikan tangannya.   "Wan-ji, kemarilah,"   Katanya. Perlahan-tahan Lun Wan-ji menghampiri. Dia berhenti di depan meja dan tidak berani maju lagi. Yang Cong-tian memerhatikan dia lekat-lekat.   "Apakah kau sudah makan?"   Tanyanya lembut.   Lun Wan-ji menganggukkan kepalanya.   Yang Cong-tian menarik napas panjang.   "Maksud hatimu, Suhu mengerti sekali.   Tapi kekukuhan Giok- su demi kebaikanmu juga.   Kali ini mungkin kami akan menyerbu ke dalam Siau-yau-kok, bahaya atau selamat masih sulit diduga."   Dia berhenti sejenak.   "Pemuda seperti Giok-su ini sungguh sulit ditemukan duanya. Sudah tahu Bu-tong-pay tidak dapat kehilangan dia, dia malah rela mengorbankan cinta asmaranya. Seharusnya kau meneladani kebaktiannya."   Mendengar kata-kata itu, hati Lun Wan-ji getir sekali. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Yang Cong-tian kembali menarik napas panjang.   "Suhu bukan sengaja bermaksud memisahkan kalian. Tapi Giok-su sendiri yang sudah bertekad demikian. Kau harus memadamkan harapan hatimu dan restui niat baiknya."   Lun Wan-ji menatap Yang Cong-tian dengan pandangan sayu.   777 "Nasib Bu-lim di masa yang akan datang, juga tergantung di tangan generasi muda seperti Giok-su.   Kau harus mengerahkan segenap tenaga untuk membantunya.   Paling tidak kau bisa mengorbankan cinta di hatimu untuk masa depan semua orang.   Ini adalah perbuatan yang mulia.   Jangan karena luapan emosi sesaat, malah terjadi hal yang memalukan nama perguruan kita."   Tubuh Lun Wan-ji gemetar mendengar kata-kata itu.   "Semangat pahlawan hanya sebentar saja. Asmara perempuan hidup sepanjang masa,"   Gumam Yang Cong-tian. Kemudian dia menghela napas berkali-kali. Setelah itu dia mengusap kepala Lun Wan-ji dengan penuh kasih sayang.   "Kau sudah tahu apa yang harus kau perbuat, bukan?"   Air mata Lun Wan-ji semakin deras.   Dia menundukkan kepalanya dengan hati galau.   ***** Siang pada tujuh belas hari kemudian, Yang Cong-tian, Fu Giok-su dan Lun Wan-ji menunggang kuda.   Akhirnya mereka sampai juga di desa Ci-liong.   Saat ini mereka memasuki Kian- wei-piaukiok.   Sepanjang perjalanan, Yang Cong-tian sangat terharu.   Pada waktu pembukaan perusahaan itu dulu, dia juga diundang dan hadir.   Siapa yang membuat papan mereka Kian-wei-piaukiok yang tergantung di atas pintu, masih berkesan dalam ingatannya.   778   Jilid 17 Tata ruangan dan daerah sekitar tidak tampak banyak perubahan, hanya orang-orangnya saja yang dia tidak merasa kenal satu pun.   Terhadap Congpiauthau (kepala pengawal) Suma Tian, dia pun merasa asing.   Ketika pertama kali melihat Suma Tian, dia masih seorang bocah berusia tujuh-delapan tahun.   Tapi dia mempunyai perasaan bahwa Suma Tian yang ada di hadapannya rada tua sedikit dari usia yang sebenarnya.   Yang paling dikenalinya justru golok bergagang emas yang tergenggam di tangan Suma Tian.   "Golok ini merupakan senjata yang mengangkat nama besar ayahmu di zaman dulu."   Ketika mengucapkan kata-kata ini, Yan Cong-tian sudah duduk di tengah ruangan utama. Kian-wei-piaukiok. Suaranya sampai serak karena terkenang sahabat baiknya yang sudah tiada.   "Kau juga menggunakan golok ini sebagai senjata?"   Suma Tian tertawa lebar.   "Seluruh keluarga kami menggunakan golok sejenis ini sebagai senjata,"   Sahutnya.   "Oh?"   Yan Cong-tian tersenyum.   "Samsiokmu tidak menggunakan Swipoa besi lagi sebagai senjata?"   Suma Tian tertegun.   "Akhir-akhir ini ilmu goloknya juga sudah dilatih dengan hebat,"   Sahutnya cepat.   "Mengagumkan!"   Yan Cong-tian menghela napas.   "Aku ingat tempo dulu dia pernah mengatakan bahwa Swipoa besinya merupakan senjata yang paling ideal untuk melawan golok 779 emas ayahmu. Dia tidak bersedia melatih ilmu golok. Urusan ini malah menjadi awal pertengkaran antara mereka. Tidak disangka ketika usianya sudah lanjut malah dia baru berniat melatih ilmu golok. Hati manusia memang tidak disangka- sangka, kadang-kadang perubahan seseorang sering mengejutkan."   Suma Tian tertawa lebar sambil mengangkat cawan araknya dan mengajak Yan Cong-tian minum. Belum lagi Yan Cong- tian menghabiskan araknya sampai kering, dari luar terdengar teriakan lantang....   "Kim-to Suma, di mana kau bersembunyi?"   Yan Cong-tian segera meletakkan cawan araknya di atas meja.   Keningnya berkerut.   Wajah Suma Tian berubah hebat.   Tidak urung wajah Fu Giok-su juga ikut berubah.   Seseorang menyibak kerumunan anak buah Piaukiok dan menerjang masuk.   Orang itu sudah tua sekali, tapi sikapnya masih berangasan, suaranya juga besar.   Matanya mendelik ke arah setiap orang yang ada dalam ruangan.   "Suma Tian, keluar kau!"   Teriaknya sekali lagi. Seseorang Piausu maju mengadangnya.   "Lopek ini ... Congpiauthau kami sedang ada urusan penting. Lebih baik Lopek pulang dulu, besok ...."   "Besok? Ada urusan apa yang lebih penting daripada barang titipanku?"   Hawa kemarahan orang tua itu seakan hampir meledak.   "Bagaimana dengan anakku?"   Teriaknya semakin keras.   "Sebetulnya bagaimana duduk persoalan Lopek ini?"   Tanya Suma Tian sambil berjalan ke depan. 780 "Tidak usah berpura-pura lagi. Aku datang untuk menagih barang titipan dan menagih nyawa!"   "Eh!"   Suma Tian tertegun.   "Suruh Suma Tian keluar!"   Kata-kata orang tua ini membuat para hadirin tercengang. Mata Yan Cong-tian menyorot tajam. Dia mendelik ke arah Suma Tian.   "Suma Tian sekarang sudah berdiri di hadapanmu,"   Sahut Suma Tian cepat. Mata orang tua itu membelalak.   "Kau adalah Suma Tian?"   Dia menggelengkan kepalanya.   "Kau bukan Suma Tian!"   "Apa maksud ucapanmu itu?"   Tanya Suma Tian sambil menenangkan hatinya. Mata orang tua itu mengedar ke sekeliling.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Hari itu ketika aku datang menitipkan barang untuk dikawal, Suma Tian yang kutemui jauh lebih muda. Di pipi kanannya ada guratan luka!"   Suma Tian tertegun. Kening Yan Cong-tian berkerut ketat. Lun Wan-ji menatap dengan penuh kecurigaan. Fu Giok-su malah tegang sekali.   "Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bergurau!"   Wajah Suma Tian berubah kelam.   "Lopek, aku belum pernah bertemu muka denganmu. Aku juga tidak pernah menerima titipan barang darimu. Coba bayangkan, aku Suma Tian mengurus Piaukiok ini kurang lebih sudah tujuh tahunan. Dalam jarak beberapa ratus li, siapa yang tidak kenal aku." 781 "Aku justru tidak mengenalmu!"   "Masih ingatkah kapan Lopek datang ke Piaukiok ini?"   "Tanggal lima belas bulan kemarin!"   Ucapan orang itu sangat yakin.   Tidak tampak seperti sedang berdusta.   Suma Tian juga tidak mirip sedang berdusta.   Dia tertawa dingin.   "Kalau begitu kau salah mengenali orang.   Tanggal lima belas bulan lalu aku sedang berada di Say Pak mengawal barang titipan Lie-wanggwe."   Tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya menatap tiga orang Piausu yang berdiri di sudut ruangan.   "Ketika itu hanya kalian tiga kakak beradik yang ada di sini. Apakah kalian yang bermain setan di belakangku?"   Tiga orang Piausu itu saling melirik sekilas. Ketiganya tampak tertegun. Kemudian salah satu yang paling tua segera maju ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.   "Budak memang pantas dihukum ...."   "Tio Liong, jelaskan semuanya!"   Bentak Suma Tian.   "Budak menyuruh orang menyamar sebagai Congpiauthau."   Kepala Tio Liong tertunduk dalam-dalam.   "Nyalimu besar sekali! Untuk apa kau melakukan semua ini?"   "Pada waktu itu Piauthau dari Peng-a-piaukiok yang berasal dari desa Tung Pen datang bertandang.   Dia adalah To-hen- houw (harimau yang mempunyai cacat bekas tebasan golok).   782 Melihat kedatangan Lopek ini, dia mengajak kami berunding dan menyamar sebagai Congpiauthau.   Pada saat itu, hati kami dipenuhi keserakahan."   "To-hen-houw?"   Suma Tian mendelikkan matanya lebar-lebar.   "Seret dia kemari!"   "Dia sudah mati!"   Sahut Tio Liong gugup.   "Ketika gerobak kita melewati Sat-houw-ko, mereka diadang oleh tentara kerajaan."   "To-hen-houw tidak mengukur kekuatan sendiri. Dengan mengandalkan ilmu silatnya yang begitu rendah, mana bisa dia melewati Sat-houw-ko?"   Sindir Suma Tian.   "Budak tahu salah!"   Kata Tio Liong sambil membenturkan kepalanya di atas tanah. Orang tua itu tampaknya tidak sabar lagi melihat keadaan itu.   "Siapa yang salah di antara kalian, aku tidak mau tahu. Pokoknya ganti kerugian untukku."   "Lopek ...."   Wajah Suma Tian serius sekali.   "Jangan khawatir. Kami pasti akan mengganti kerugianmu. Berapa jumlah nilai karang titipanmu itu?"   "Jumlah seluruhnya lima ribu tiga ratus tahil uang perak!"   Suma Tian merenung sejenak. Dia mengeluarkan selembar Ginbio (semacam cek) dan meliriknya sekilas.   "Ginbio ini bernilai enam ribu tahil. Masih ada kelebihan 783 sebanyak tujuh ratus tahil. Anggap saja sebagai pengganti kerugian dari kami."   Orang tua itu menggelengkan kepalanya.   "Aku hanya ingin lima ribu tiga ratus tahil saja!"   Suma Tian menyodorkan Ginbio tersebut ke dalam genggaman tangan orang tua itu.   "Lopek, kesalahan ada di pihak kami. Kalau kau tidak bersedia menerimanya, kami tentu merasa tidak enak hati."   Akhirnya orang tua itu menganggukkan kepalanya.   "Dengan melihat ketulusan hatimu, Lohu akan menerima uang ini. Tapi nyawa anakku ikut melayang karena ikut dalam pengawalan tersebut. Hal ini tidak bisa disudahi begitu saja."   Suma Tian tertegun.   "Lopek, To-hen-houw sudah mengganti selembar nyawanya, belum lagi para Piausu lain yang ikut berkorban ...."   "Aku tidak peduli.   Kau sendiri yang mengatakan bahwa kesalahan ada di pihakmu.   Seandainya kau tidak memberi keadilan, kita sama-sama menghadap jaksa untuk menyelesaikan masalah ini."   Para hadirin tertegun seketika.   Suma Tian menarik napas panjang.   Tiba-tiba tangannya terulur dan menghantam ubun- ubun kepala Tio Liong.   Laki-laki itu sama sekali tidak menyangka, tentu saja dia juga tidak sempat menghindar.   Dalam sekejap mata dia roboh dengan kepala remuk.   Nyawanya juga melayang seketika.   784 Yan Cong-tian langsung berdiri.   Lun Wan-ji dan Fu Giok-su berubah hebat.   Dua orang Piausu yang tadi berdiri berjejer dengan Tio Liong terkesiap.   Mereka segera menghampiri tubuh saudaranya itu dan memapahnya.   Orang tua itu juga terkejut.   Kakinya sampai mundur dua langkah.   Suma Tian segera berjongkok di depan mayat Tio Liong.   "Hengte, jangan kau kira aku berhati keji.   Hubungan kita selama ini sangat erat, bagai jari tangan layaknya.   Sebetulnya aku tidak tega turun tangan seperti ini, tapi kau benar-benar semakin berubah.   Tempo hari ketika mengawal barang ke Ci- si-ling, kau mencuri uang titipan sebesar dua ratus tahil.   Aku sudah memaafkanmu.   Sekali lagi ketika mengawal barang ke Pek-hua-lin, tiga peti barang titipan hilang di bawah kawalanmu.   Aku tahu semua itu hasil tanganmu sendiri.   Namun aku tidak mengatakan apa-apa.   Aku masih berusaha memaafkanmu dengan harapan kau akan bertobat.   Tapi kali ini ....   Aih ...   dosamu sudah terlalu besar!"   Air matanya mengucur dengan deras. Sesaat kemudian dia mendongakkan wajahnya menatap orang tua itu.   "Lopek, apakah kau sudah merasa puas sekarang?"   Orang tua itu tersurut mundur beberapa langkah. Wajahnya pucat pasi.   "Baik ... baik. Anggap saja aku yang sial!"   Selesai berkata, orang tua itu cepat-cepat meninggalkan tempat tersebut.   "Susiok, Tecu tidak becus mengurus bawahan.   Hanya menjadi bahan tawaan kau orang tua saja." 785 Yan Cong-tian tidak menyahut.   "Dalam hal ini, kau juga tidak dapat disalahkan sepenuhnya."   Malah Fu Giok-su yang menjawab. Suma Tian membungkukkan badannya dalam-dalam.   "Samwi harap masuk dulu ke ruangan dalam. Tecu akan membersihkan tempat ini. Nanti baru masuk dan menemani Samwi lagi."   "Congpiauthau, silakan ...."   Sahut Fu Giok-su cepat.   "Terima kasih."   Suma Tian menepuk tangannya dua kali.   "Kalian antarkan tamu ke ruangan dalam!"   Perintahnya. Dua orang Piausu segera maju ke depan.   "Silakan!"   Kata mereka serentak.   Yan Cong-tian menggelengkan kepalanya sekali.   Dia melangkah ke dalam.   Lun Wan-ji dan Fu Giok-su tentu saja mengiringi dari belakang.   Suma Tian memandang mereka masuk ke ruangan dalam.   Setelah itu dia mengalihkan pandangannya pada mayat Tio Liong yang masih dipeluk oleh dua orang Piausu lainnya.   Kedua orang itu mendelik ke arah Suma Tian.   Mata mereka merah dan mengembeng air mata.   Mereka telah mengangkat saudara dengan Tio Liong.   Yang satu bernama Li Bu.   Sedangkan yang satunya lagi bernama Kiang Cin.   Mereka telah mengucapkan sumpah sehidup semati.   Hubungan mereka ibarat saudara kandung.   786 Suma Tian melirik mereka sekilas.   "Tidak usah bersedih lagi. Cepat kejar orang tua itu!"   Katanya dengan suara berbisik. Li Bu dan Kiang Cin menganggukkan kepala mereka dengan terpaksa. Mayat Tio Liong diletakkan kembali di atas tanah.   "Jangan mengambil tindakan apa-apa. Yakinkan kalau dia benar-benar sudah meninggalkan kota ini."   Li Bu dan Kiang Cin menyahut datar.   Dengan tidak bersemangat mereka membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu.   ***** Begitu masuk ke dalam ruangan dan terlepas dari kedua Piausu tadi, wajah Yan Cong-tian berubah semakin kelam.   "Membunuh orang seenaknya! Apa pantas disebut sebagai murid Bu-tong? Apakah ia memang Suma Tian yang pernah kukenal?"   "Aku pernah mendengar bahwa Suma Tian Suheng seorang manusia yang baik budi dan pekertinya.   Seharusnya dia tidak begitu keji dan membunuh sesama saudara Piausu dengan cara demikian,"   Tukas Lun Wan-ji.   "Kalau dipikir-pikir, memang mencurigakan.   Seluruh keluarga 787 Kim-to Suma selalu menggunakan tangan kiri.   Tapi dia memegang sumpit dengan tangan kanan.   Lagi pula Samsioknya yang selalu menggunakan swipoa besi sebagai senjata tidak mungkin berganti haluan dan mempelajari ilmu golok.   Mungkinkah dia sama sekali tidak tahu adanya Samsiok yang satu itu? Dan mungkinkah jawabannya hanya asal menerka saja?"   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Fu Giok-su yang mendengarkan dari samping segera merasakan ketegangan.   "Dia memang Suma Tian."   Akhirnya dia memberanikan diri berkata.   "Oh?"   Yan Cong-tian terpana.   "Sebelum masuk perguruan Bu-tong, aku sudah pernah bertemu muka dengannya. Pada saat itu sifatnya sudah berangasan. Dia paling benci ketidakadilan dan perbuatan yang semena-mena,"   Kata Fu Giok-su menjelaskan. Tanpa sadar Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya berkali-kali.   "Murid Bu-tong selamanya memang paling benci perbuatan yang semena-mena."   "Mengenai menggunakan tangan kanan ketika memegang sumpit, mungkin dia takut dianggap kurang sopan dalam menjamu tamu,"   Kata Fu Giok-su selanjutnya.   "Memang beralasan,"   Yan Cong-tian merenung sesaat.   "Tapi perbuatannya itu masih rada keterlaluan. Kau sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pay harus menasihatinya baik-baik."   "Saat ini kita masih memerlukan tenaga orang banyak,"   Fu Giok-su merandek sejenak.   "Nanti kalau kita sudah berhasil 788 membereskan Wan Fei-yang, Tecu akan menghukumnya sesuai peraturan kita."   Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya dengan wajah menyiratkan kepuasan. Tiba-tiba dia mengalihkan pokok pembicaraan.   "Kapan kita mulai bergerak?"   "Lebih baik malam hari,"   Giok-su merapikan pakaiannya yang kusut.   "Kita bisa menggunakan waktu ini untuk beristirahat."   Sekali lagi Yan Cong-tian menganggukkan kepalanya.   "Jalan pikiranmu memang selalu tepat,"   Katanya.   Sampai saat itu, Fu Giok-su baru bisa bernapas lega.   ***** Suma Tian sejak tadi menunggu di luar ruangan.   Mendengar kata-kata Fu Giok-su, akhirnya dia baru bisa mengusap keringat yang membasahi keningnya.   Suma Tian yang satu ini sudah dapat dipastikan palsu.   Tetapi dia juga she Suma.   Hanya nama sebetulnya ialah Suma Hung.   Dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan Kim-to Suma yang dikenal Yan Cong-tian.   ***** 789 Satu kentungan telah berlalu.   Li Bu dan Kiang Cin sudah kembali dan masuk ke dalam kamar mereka.   Kiang Cin agak khawatir.   Dia menutupkan pintu kamar itu rapat-rapat.   "Kita disuruh jangan mengambil tindakan apa-apa.   Tapi kau malah menganjurkan agar kita membereskan tua bangka itu.   Coba kau kira-kira, apakah Suma Hung akan mengetahui kejadian ini?"   Tanyanya cemas.   "Dia yang menyebabkan kematian Toako kita. Mengapa kita tidak boleh membunuhnya? Apalagi dia membawa Ginbio sebesar enam ribu tahil,"   Sahut Li Bu sambil tertawa dingin.   "Benar juga. Kalau dia tidak minta penggantian nyawa anaknya, Toako juga tidak akan mati,"   Kata Kiang Cin.   "Aku lihat Suma Hung juga menggunakan kesempatan ini untuk melampiaskan kebencian dalam hatinya.   Ingatkah kau ketika Toako melaporkan Su-tangke bahwa dia telah meracuni salah seorang anak murid Siau-yau-kok? Kali itu dia mendapat hukuman yang berat.   Oleh sebab itu dia meminjam golok membunuh orang."   Kiang Cin menganggukkan kepalanya berulang kali.   Belum lagi dia berkata apa-apa, dari luar pintu terdengar suara langkah kaki seseorang.   Pembicaraan mereka pun terhenti untuk sementara.   Pintu didorong dari luar.   Suma Hung masuk dengan langkah lebar.   Dia memerhatikan kedua orang itu sekilas.   "Apakah kalian sudah mengikuti tua bangka itu? Sampai di mana?" 790 "Sampai lima li di luar kota Say Pak,"   Sahut Li Bu.   Mata Suma Hung mengedar.   Dia menatap ke bawah.   Tiba-tiba tangannya terulur dan mencengkeram pergelangan tangan Li Bu.   Jari tengah Li Bu memakai sebuah cincin giok yang warnanya sudah tua sekali.   Wajah Li Bu segera berubah.   Demikian pula wajah Kiang Cin.   "Kalian membunuhnya?"   Hardik Suma Hung.   "Tidak ...."   Nada suara Li Bu yakin sekali.   "Lalu dari mana datangnya cincin giok ini?"   "Beli di toko,"   Suara Li Bu sudah mula gugup.   "Masih menyangkal?"   Urat hijau bertonjolan di kening Suma Hung.   "Aku ingat dengan jelas, cincin batu giok ini tadi dipakai oleh orang tua itu."   "Kami tidak membunuhnya,"   Sahut Li Bu tetap tidak mau mengaku. Suma Hung melepaskan cengkeramannya. Dia tertawa dingin.   "Urusan ini, sekembalinya kita ke lembah biar Cujin yang putuskan. Kalau kalian mau membantah, membantahlah pada waktu itu."   Setelah itu dia mengibaskan tangannya dan meninggalkan kamar tersebut.   Li Bu dan Kiang Cin memandangi kepergian Suma Hung.   Wajah mereka berubah pucat.   791 "Suma Hung memang merasa sentimen kepada kita.   Sekembalinya kita ke Siau-yau-kok, dia pasti akan membuat kita mati kutu di depan Cujin.   Aku tidak berani membayangkan hukuman yang akan diberikan kepada kita pada saat itu,"   Kata Li Bu dengan kebencian yang meluap.   "Kalau menurutmu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"   Tanya Kiang Cin yang kebanyakan menurut saja.   "Daerah sekitar ini sampai sejauh seratus li, masih ada saja orang-orang Siau-yau-kok. Apabila kita melarikan diri, tentu akan tertangkap kembali dalam waktu yang singkat,"   Li Bu mengertakkan giginya.   "Satu-satunya jalan keluar bagi kita hanyalah memihak kepada musuh ...."   "Musuh? Siapa?"   "Yan Cong-tian!"   Li Bu mengepalkan tinjunya.   "Biar Yan Cong- tian membuka kedok orang itu dan membunuhnya. Dengan demikian tidak akan ada orang yang mengadukan kita lagi. Kita bisa bebas kembali ke Siau-yau-kok dan juga sekaligus sudah membalaskan kematian Toako kita ...."   Kiang Cin tersadar mendengar kata-kata Li Bu.   Matanya bersinar terang.   ***** Siasat Li Bu dan Kiang Cin memang bagus sekali.   Sayangnya 792 Fu Giok-su tetap berdiam di kamar Yan Cong-tian.   Dia melakukan semua ini untuk menghindari kecurigaan Yan Cong-tian dan agar Yan Cong-tian tidak keluar dari kamar seorang diri lalu bertanya macam-macam pada orang-orang lainnya.   Perbuatannya ini malah menyulitkan Li Bu dan Kiang Cin.   Mereka menunggu selama beberapa saat, tapi kesempatan tidak pernah ada.   Akhirnya mereka teringat akan Lun Wan-ji.   Selembar kertas kecil yang di kat dengan batu dilempar ke dalam kamar gadis itu.   Saat itu, waktu sudah memasuki kentungan pertama.   Dalam waktu yang bersamaan, Fu Giok- su melangkah keluar dari kamar Yan Cong-tian.   Mengapa tiba-tiba dia meninggalkan kamar itu? Karena dia mendengar isyarat Suma Hung yang berupa kicauan burung sebanyak dua kali.   Dia segera menyadari ada sesuatu yang telah terjadi.   Fu Giok-su mendengarkan dengan baik-baik ketika Suma Hung melaporkan bahwa Li Bu dan Kiang Cin telah membunuh orang tua yang datang mengacau tadi.   Dia juga diberi tahu bahwa tindak tanduk kedua orang itu agak mencurigakan.   Fu Giok-su segera menduga akan terjadi perubahan pada rencananya.   Dia langsung memutuskan bahwa kedua orang itu tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama.   Jangan sampai mereka keburu mengambil tindakan yang merugikan.   Oleh karena itu Suma Hung diperintahkan untuk membunuh kedua orang itu secepatnya.   Dia sendiri harus segera kembali ke kamar Yan Cong-tian.   Jangan sampai Li Bu serta Kiang Cin menggunakan kesempatan ketika dia tidak ada, menceritakan siasat mereka kepada Supeknya itu.   Setelah kembali ke kamar, dia memerhatikan dengan saksama tingkah laku Yan Cong-tian.   Tidak ada hal yang 793 mencurigakan.   Hatinya menjadi tenang kembali.   Tapi untuk menjaga segala kemungkinan.   Dia harus mengambil tindakan yang positif, yaitu mengajak Yan Cong-tian bergerak secepatnya.   Kalau ditilik dari bakatnya dalam berbicara, mana mungkin Yan Cong-tian tidak sampai terbujuk? ***** Setelah melemparkan kertas surat itu ke dalam kamar Lun Wan-ji, hati Kiang Cin dan Li Bu menjadi agak tenang.   Siapa sangka baru saja mereka mendorong pintu kamar, terlihat Suma Hung sudah menunggu di dalam.   Mereka terkejut sekali, tapi agak lega juga ketika melihat Suma Hung tersenyum.   Baru saja mereka melangkah mendekati, tiba-tiba tangan Suma Hung sudah terulur.   Hanya dengan satu gerakan saja, urat tenggorokan Kiang Cin sudah tercengkeram putus.   Tangan dan tubuhnya berkelebat, Li Bu bermaksud berteriak sekencang-kencangnya, namun mulut belum sempat membuka, telapak Suma Hung kembali bergerak menghantam dadanya.   "Ke mana kalian tadi?"   Bentak Suma Hung.   Sebetulnya dia tidak perlu mengajukan pertanyaan itu.   Isi perut Li Bu sudah terhantam hancur.   Untuk membuka mulut saja sudah tidak bisa, apalagi bersuara.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Dengan susah payah dia berusaha mengangkat kakinya dengan maksud menendang selangkangan Suma Hung.   Tapi tenaganya sudah 794 habis.   Dia jatuh terkulai.   Sedangkan untuk berjaga-jaga Suma Hung tidak kepalang tanggung dalam turun tangan.   Tangannya kembali mencekik leher Li Bu sampai terdengar suara gemertukan tulang patah.   Sekejap kemudian dia mengempas tubuh Li Bu ke atas tanah.   Bibir orang itu menyunggingkan senyuman tipis.   Melihat senyuman itu, tanpa terasa tubuh Suma Hung menggigil.   ***** "Kim-to Suma yang Anda lihat palsu.   Yang aslinya sudah terbunuh dan dikuburkan di belakang gunung.   Hitung pohon Pek Hua-su yang ketiga.   Di bawahnya terkubur mayat Suma Tian yang asli."   Dalam kertas kecil itu hanya ada beberapa baris tulisan.   Tapi itu sudah cukup bagi Lun Wan-ji untuk membuktikan kecurigaannya.   Sekarang dia justru berada di bawah pohon yang dimaksudkan.   Tanah yang menggunduk di sana sudah digalinya.   Terlihat sesosok mayat yang mulai membusuk, tanpa peti mati ataupun kain untuk menutupinya.   Pada bagian kanan pipinya terlihat bekas guratan luka.   Persis seperti yang dikatakan oleh orang tua itu.   Inilah Suma Tian yang asli! Lun Wan-ji menatap wajah itu lekat-lekat.   Tanpa terasa, tubuhnya bergetar.   Di sampingnya dinyalakan sebatang lilin.   795 Apinya bergoyang-goyang, menambah keseraman yang terlihat pada wajah Suma Tian yang sudah menjadi mayat.   Namun yang membuat Lun Wan-ji takut bukan wajah mayat ini, tapi seraut wajah lain yang tampan dan memesona.   Seraut wajah yang berhubungan erat dengannya.   Fu Giok-su! Ternyata Kim-to Suma yang ini palsu.   Namun Fu Giok-su kukuh mengatakan bahwa sebelum naik ke Bu-tong-san dia sudah pernah berjumpa dengan Suma Tian yang ini.   Apa arti ucapannya itu? Tiba-tiba serangkum rasa nyeri menusuk di hati Lun Wan-ji.   Ketika menerima surat tersebut tadi, dia bermaksud mencari Fu Giok-su merundingkan hal ini.   Toh dia sudah menjadi milik Fu Giok-su.   Tentu dia lebih memercayai anak muda daripada siapa pun.   Kemudian ia melangkah keluar dari kamarnya untuk mencari Fu Giok-su.   Tiba-tiba dia melihat anak muda itu sedang berkasak-kusuk dengan Suma Tian palsu.   Kecurigaan kembali menyelinap dalam hatinya.   Gerak-gerik Fu Giok-su tidak seperti biasanya.   Setelah mempertimbangkan berkali-kali, akhirnya dia mengambil keputusan untuk menyelidiki dulu kebenaran kata- kata yang tertulis dalam surat.   Sedangkan siapa yang melemparkan surat itu ke kamarnya, dia sama sekali tidak tahu.   Sekarang dia sudah tahu bahwa apa yang tertulis dalam surat itu memang kenyataan.   Perasaannya saat itu sungguh sulit diuraikan dengan kata- kata.   Dia tertegun beberapa saat.   Kemudian rasa takut menyelinap dalam dirinya.   Tubuhnya bergetar bagai lilin putih yang melambai-lambai di sampingnya.   Dengan sepasang tangannya yang gemetar, dia menguruk kembali tanah di 796 hadapannya dengan gagang pedang.   Setelah selesai, dia berdiri dan berjalan kembali dari arah datangnya semula.   Bukit yang naik-turun ibarat perasaan hatinya yang tidak menentu.   Tampangnya seperti orang yang terserang penyakit ayan dan menjadi idiot mendadak.   Pada saat itu, otaknya bagai baru dicuci dan kosong melompong.   ***** Sekembalinya ke kamar, Lun Wan-ji membersihkan tangannya yang kotor, banyak tanah yang melekat.   Dia duduk termenung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.   Dia juga tidak tahu bagaimana perasaan hatinya sekarang.   Sedihkah? Kecewakah? Dia seperti sedang bermimpi.   Tepat pada saat itu, Fu Giok-su mendorong pintu kamar dan melangkah ke dalam "Wan-ji ...."   Panggil Fu Giok-su dengan suara lirih.   Nadanya masih begitu lembut dan penuh perhatian.   Wajahnya masih demikian tampan serta meyakinkan.   Lun Wan-ji meliriknya sekilas.   Diam-diam dia merasa hatinya bergetar.   Kata-katanya sudah disiapkan di ujung lidah, tapi akhirnya dia tidak sanggup membuka suara.   Fu Giok-su tidak curiga sama sekali, dia mengira gadis itu masih sedih memikirkan kehamilannya.   Dia mengulurkan tangannya dan memeluk bahu Lun Wan-ji lembut.   "Wajahmu tampak kurang sehat. Mengapa tidak beristirahat saja?"   Katanya.   797 Air mata Lun Wan-ji mengalir dengan deras, padahal dia sudah menguatkan diri untuk bertahan sebisanya.   Fu Giok-su mengusap air mata di pipinya.   "Apakah kau khawatir akan terjadi sesuatu yang membahayakan diriku?"   "Apakah kau akan menemui bahaya?"   Lun Wan-ji balik bertanya dengan suara gemetar.   "Mungkin saja,"   Fu Giok-su tidak merasa curiga.   "Menurut cerita orang-orang, barang siapa yang masuk ke dalam Siau-yau-kok, di antara sepuluh orang, sembilan yang mati dan hanya satu yang mempunyai kemungkinan hidup."   "Kalau begitu, Suhu ...."   Tanpa sadar Lu Wan-ji mengucapkan kata itu.   "Wan-ji, apabila aku dan Suhumu sudah berangkat, kau berdiam saja di sini baik-baik dan tunggu sampai kami kembali. Aku sudah berpesan kepada Kim-to Suma untuk menjagamu selama kami tidak ada,"   Kata Fu Giok-su.   "Kim-to Suma?"   "Hati orang ini sebetulnya baik. Aku merasa cocok juga bergaul dengannya."   Lun Wan-ji melirik sekilas kepada Fu Giok-su. Anak muda itu tidak menyadarinya.   "Kau sudah mengandung. Harus baik-baik menjaga diri,"   Kata Fu Giok-su selanjutnya. 798 Lun Wan-ji bagai disambar petir.   "Aku akan berhati-hati."   Kemudian dia menarik napas panjang.   "Kelak nasib anak ini tidak berbeda denganku. Apakah dia terhitung orang Bu-tong atau terhitung keluarga Fu kalian."   Fu Giok-su sama sekali tidak menyadari ada maksud lain dalam ucapan gadis itu. Dia malah tertawa lebar.   "Terhitung golongan apa juga sama saja. Pokoknya kau harus berjanji padaku. Meski apa pun yang terjadi, kau harus mengingat nyawa anak yang sedang tumbuh dalam rahimmu ini."   Lun Wan-ji menganggukkan kepalanya.   "Hari sudah larut. Lebih baik kau kembali ke kamarmu,"   Sahutnya.   "Wan-ji, penderitaanmu ...."   Kembali Fu Giok-su menarik napas panjang. Kepala Lun Wan-ji tertunduk semakin dalam.   "Kata-kata itu, lebih baik tidak usah diulangi lagi!"   Perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya menghadap ke arah lain. Fu Giok-su memandangnya lekat-lekat. Hatinya terharu sekali.   "Jaga dirimu baik-baik,"   Katanya kemudian seraya mengundurkan diri dari kamar itu.   Lun Wan-ji mendengar suara pintu dirapatkan di belakangnya.   Dia membalikkan tubuh dan berdiri.   Baru berjalan satu langkah, dia menghentikan kakinya.   Air matanya tidak dapat dibendung lagi.   Ratapannya begitu menyayat.   Tapi dia berusaha jangan sampai bersuara keras.   Pakaiannya sudah basah kuyup.   Kenangan pertemuan antara dirinya dengan Fu Giok-su melintas di depan mata.   799 Cahaya lilin remang-remang.   Pandangan mata Lun Wan-ji semakin sayu.   Wajah Fu Giok-su yang terlintas di benaknya tiba-tiba berubah kelam.   Lun Wan-ji segera tersadar.   Suara kentungan berkumandang dari luar gedung itu.   Kentungan kedua.   Semakin didengarkan, Lun Wan-ji semakin panik.   Dia bingung mengambil keputusan.   Terbayang olehnya kasih sayang Suhunya selama ini.   Teringat olehnya nasihat dan bujukan Yan Cong-tian kalau dia berbuat kesalahan ataupun marah.   Air matanya berlinang semakin deras.   Akhirnya dia mengertakkan giginya erat-erat dan menghambur keluar dari kamar.   Dia berlari ke kamar Yan Cong-tian.   ***** Lentera belum padam, pintu kamar setengah terkatup, tapi manusianya sudah tidak ada di dalam.   Lun Wan-ji menerjang ke dalam kamar.   Matanya memandang ke sekeliling.   Dia melihat di atas meja terdapat sebuah cangkir yang isinya tinggal setengah.   Tangannya menggenggam cangkir tersebut.   Rasa putus asa tersirat di wajahnya.   Air teh sudah dingin seperti air es.   Yan Cong-tian pasti sudah cukup lama meninggalkan kamar itu.   Mungkin saat ini dia sudah terperangkap dalam bahaya.   Lun Wan-ji memandangi cangkir itu dengan termangu-mangu.   Masih adakah kemungkinan bagi Suhunya untuk meloloskan diri dari maut? Kesempatannya mungkin hanya satu di antara 800 seribu.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   ***** Malam sudah larut.   Gua di gunung itu sama sekali tidak gelap.   Dalam jarak beberapa depa, pasti ada sebuah lampu batu yang aneh.   Lampu batu itu berpijar-pijar.   Entah bahan apa yang membuatnya menyala.   Warnanya kehijauan.   Membuat perasaan semakin tegang.   Fu Giok-su berjalan di muka.   Langkahnya tidak cepat.   Dia bahkan merambat perlahan bagai orang yang pertama kali masuk ke dalam gua itu.   "Suma Tian justru melihat Wan Fei-yang dan makhluk tua itu masuk ke dalam gua ini.   Tidak tersangka di dalam gua masih ada gua lainnya.   Juga ada penerangan.   Rasanya pencarian kita kali ini tidak akan salah lagi,"   Suaranya tidak keras, tapi masih juga bergema di dalam gua. Yan Cong-tian cepat-cepat memperingatinya.   "Jangan bersuara! Mungkin saja ini jalan masuk ke Siau-yau-kok!"   Diam-diam Fu Giok-su menertawakan dalam hati.   Dia menutup mulutnya rapat-rapat.   Gua itu dalam sekali.   Setelah melewati beberapa kelokan akhirnya di hadapan mereka terlihat sebuah pintu masuk.   Di situ pula batas perjalanan mereka.   801 Fu Giok-su berhenti di depan pintu batu.   Dia pura-pura mengulurkan tangannya dan mencoba mendorong.   Tahu-tahu pintu batu itu terangkat ke atas.   Suara gesekan batu memekakkan telinga.   Yan Cong-tian mengira terbukanya pintu hanya kebetulan saja.   "Aneh!"   Kata Fu Giok-su tetap memerankan sandiwaranya.   "Mungkin kebetulan tanganmu menyentuh alat pembuka pintu itu,"   Sahut Yan Cong-tian, setelah tertegun beberapa saat. Fu Giok-su melongokkan kepalanya dalam. Dia tidak masuk.   "Suara apa itu?"   Tanya Yan Cong-tian. Dia bertanya dengan suara keras. Tapi tetap tidak dapat menutupi suara gemuruh yang terpancar dari dalam gua di balik pintu. Fu Giok-su menggelengkan kepalanya.   "Mari kita lihat,"   Kata Yan Cong-tian. Dia mempercepat langkahnya mendahului. Melihat itu, Fu Giok-su sudah merasa gembira dalam hatinya.   "Susiok, hati-hati!"   Mulutnya pura-pura mengingatkan.   "Kau sendiri juga harus berhati-hati!"   Sahut Yan Cong-tian.   Dia memasang sepasang telapak tangannya di depan dada untuk berjaga-jaga.   Setindak demi setindak dia melangkah ke dalam.   Fu Giok-su mengikuti dari belakang.   Seandainya saat itu dia bermaksud membokong Supeknya itu, tentu bisa saja.   Tapi 802 dia tidak mengambil tindakan apa-apa.   Dia sama sekali tidak tahu bagaimana hasil latihan Tian-can-kiat Yan Cong-tian selama berpuluh tahun ini.   Bagaimana kalau sekali serangannya gagal, dan Yan Cong-tian masih mempunyai kekuatan untuk melawan? Selamanya dia tidak pernah melakukan hal yang tidak diyakininya seratus persen.   Ia juga bukan jenis manusia yang terburu nafsu.   Apalagi sekarang Yan Cong-tian sudah berhasil dipancingnya ke sarang Siau-yau-kok.   Di dalam sana sudah menunggu Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek.   Apabila mereka tidak berhasil merobohkan Yan Cong-tian, masih ada kakeknya yang akan turun tangan.   Apabila masih gagal juga, masih belum terlambat baginya untuk membokong Yan Cong- tian.   Tentu saja Yan Cong-tian tidak tahu apa yang sudah direncanakan oleh Fu Giok-su.   Dia juga tidak pernah mencurigai anak muda itu.   Itulah sebabnya dia bisa terpancing ke dalam sarang harimau ini.   Hati Yan Cong-tian tegang sekali.   Dia juga semakin bersemangat.   Dapat menemukan sarang gerombolan Thian-ti sudah pasti suatu hal yang membuatnya bersemangat.   Namun dia sama sekali tidak berpikir panjang.   Bagaimana mungkin lembah Siau-yau-kok yang misteri dapat ditemukan dengan begitu mudah oleh seorang Piausu seperti Suma Tian? Tetapi dia memang tidak menyangka gua ini akan menembus pintu masuk Siau-yau-kok.   Karena di luar dugaannya itulah, maka dia menjadi bersemangat.   Malah demikian bersemangatnya dia sehingga melupakan bahwa sejak melatih ilmu Tian-can-kiat, tenaganya kadang- 803 kadang ada dan kadang-kadang hilang.   Seandainya tempat itu benar-benar Siau-yau-kok dan waktu bertarung dengan penjahat itu tenaganya tiba-tiba hilang, apa akibat yang akan diterimanya? Pada dasarnya dia memang seorang manusia yang terburu nafsu dalam membasmi kejahatan.   Dia juga selalu membanggakan dirinya sendiri.   Kalau tidak, tentu tidak demikian mudah Fu Giok-su berhasil memancingnya masuk ke dalam Siau-yau-kok ini.   Semakin maju, suara gemuruh itu semakin jelas.   Seluruh gua seakan bergetar dibuatnya.   Setelah membelok sebuah tikungan lagi, di hadapan mereka terlihat tirai yang berkilauan.   Tirai tersebut tidak hentinya berkilauan, tidak hentinya bergerak.   Ibarat ada angin yang bertiup terus-terusan dan menjadi jalan keluar dari gua tersebut.   "Ternyata sebuah air terjun!"   Seru Yan Cong-tian yang langsung mengerti suara gemuruh apa yang didengarnya sejak tadi. Tirai itu memang sebuah air terjun yang deras. Tubuh Yan Cong-tian melesat ke dalam air terjun itu.   "Benar-benar sebuah air terjun yang indah. Juga merupakan pintu keluar yang mengagumkan!"   Kata Yan Cong-tian memuji. Fu Giok-su maju beberapa langkah dan berdiri di samping Yan Cong-tian.    Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Si Rase Hitam Karya Chin Yung

Cari Blog Ini