Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 7


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 7


Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying   Pedangnya yang bergerak cepat menangkis datangnya pancingan Han-ciang Tiau-siu.   Kemudian dia balas menyerang.   Belum lagi pedangnya sempat mencapai sasaran, pancingan Han-ciang Tiau-siu kembali meluncur di samping kepalanya.   Kemudian tali pancing ditarik kembali dan dilontarkan ke arah dada Kuan Tiong-liu.   Kuan Tiong-liu menggeser sedikit tubuhnya dan membiarkan pancing itu lewat.   "Ting!", pedangnya digerakkan dan menebas batang bambu di tangan Han-ciang Tiau-siu. Orang tua itu memutar tubuhnya, persis seekor ikan yang berenang dengan gesit. Tali pancingnya bergerak mengarah tenggorokan Kuan Tiong-liu. Pemuda itu berhasil menghindar, namun kembali pancingan sudah melayang kembali dan mengancam tujuh buah jalan darahnya. Pemuda itu menutulkan kakinya ke tanah dan melayang di udara. Serangan pancingan itu luput semuanya. Sikap Kuan Tiong-liu sangat tenang. Mungkin hal ini pula yang membuat Han-ciang Tiau-siu semakin kesal.   "Hari ini Lohu akan membuat kau menjadi umpan ikan!"   Teriaknya keras.   Sekali lagi bambu di tangannya digetarkan.   Sampai saat itu Kuan Tiong-liu masih belum banyak 264 melakukan serangan.   Dia hanya bergeser dan berputaran menghindari ancaman senjata Han-ciang Tiau-siu.   Seratus dua puluh tujuh jurus sudah berlalu.   Kuan Tiong-liu tidak ingin main-main lagi.   Sudah cukup baginya untuk menjajaki ilmu yang dimiliki Han-ciang Tiau-siu.   Kakinya bergerak cepat, pedang berkelebat.   Tubuhnya berubah menjadi bayangan.   Han-ciang Tiau-siu tidak mengira anak semuda itu sudah mempunyai kepandaian demikian tinggi.   Dia bersikap hati-hati.   Tapi Kuan Tiong-liu bukanlah Kuan Tiong-liu kalau dia mau memberi kesempatan kepada musuhnya.   Pedangnya seakan menari-nari di udara.   Han- ciang Tiau-siu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas menyerang.   Dia sudah terdesak mundur beberapa langkah.   Sedangkan pedang Kuan Tiong-liu masih merandek terus.   Tampaknya sekarang pemuda itu yang mempunyai posisi di atas angin.   Han-ciang Tiau-siu berhasil menghindarkan diri.   Kali ini dia sempat menggerakkan pancingannya, namun malang, pedang Kuan Tiong-liu yang secepat kilat sudah berada di depan mata.   Sedangkan Han-ciang Tiau-siu terjatuh ke dalam sungai.   Gerakan pedang Kuan Tiong-liu berhenti.   Dia mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak.   Tidak lama kemudian, terlihat Han-ciang Tiau-siu menyembulkan kepalanya dari dalam air.   Tubuhnya melesat dan berjungkir balik beberapa kali.   Akhirnya dia berhasil mencapai seberang sungai.   Sekali lagi Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak.   "Sungguh banyak orang aneh di dunia ini. Seorang Hu-hoat Bu-ti-bun saja tidak malu berbuat demikian, aku harap murid Bu-tong- 265 pai tidak akan membuat aku kecewa,"   Katanya.   Ternyata dia memang benar-benar hendak menuju Bu-tong- san.   Sebetulnya apa yang di nginkan Kuan Tiong-liu? Apakah dia bermaksud mengadu kepandaian dengan murid Bu-tong- pai? ***** Matahari belum tenggelam.   Keenam murid Bu-tong-pai yaitu Pek Ciok, Kim Ciok, Giok Ciok, Cia Peng, Yo Hong dan Fu Giok-su masih berlatih dengan giat.   Mereka berdiri di atas sebuah batu.   Keenam orang tersebut membentuk lingkaran.   Hanya ada sebuah celah di bagian dalam dan di depannya Ci Siong tojin berdiri.   Ci Siong tojin masih belum sehat, wajahnya masih terlihat pucat.   Sejenak kemudian dia berjalan menuju sebatang kayu tinggi dan duduk di sana.   Dia memperhatikan murid-muridnya berlatih.   Setelah cukup puas, dia pindah ke atas sebuah batu berbentuk pat-kwa.   Batu itu dapat berputar segala arah.   Asalkan Ci Siong tojin menumpu tangannya ke samping dan mengentak.   Dengan demikian, dia dapat memperhatikan muridnya satu per satu dan melihat kemajuan latihan mereka.   Wajahnya tidak kelam.   Tampaknya dia cukup puas dengan hasil yang dicapai keenam muridnya itu.   Keringat sudah membasahi tubuh keenam orang itu.   Tapi mereka tidak bermaksud berhenti berlatih.   Pek Ciok, Cia Peng, Kim Ciok, Giok Ciok dan Yo Hong setia kepada Bu- tong-pai, sedangkan Fu Giok-su memikul beban dendam keluarganya.   Suara teriakan lantang terus terdengar.   Kumandangnya mengaung sampai ruangan depan.   266 ***** Wan Fei-yang melewati tempat latihan itu.   Mendengar suara teriakan, langkah kakinya segera diperingan.   Dia seperti terpesona.   Tanpa sadar langkah kakinya semakin mendekati tempat keenam orang itu berlatih.   Dua orang murid Bu-tong menjaga di luar.   Wan Fei-yang yang melihat mereka, segera menyadari apa yang akan terjadi apabila dia meneruskan langkahnya.   Namun dia tetap nekat.   Dia menghampiri kedua murid Bu tong yang sedang menjaga itu.   Tiba-tiba salah satunya mengadang di depan Wan Fei- yang.   "Berhenti!"   "Untuk apa kau datang ke tempat ini?"   Tanya yang satunya lagi.   "Mengantarkan minuman untuk para suheng yang sedang berlatih."   Hal ini memang benar.   "Suheng berdua menjaga di sini sekian lama, tentu kalian juga sudah lelah dan haus."   "Oleh karena itu, jangan lupakan bagian kami,"   Sahut salah satunya.   "Tentu saja ...."   Sahut Wan Fei-yang sambil meletakkan teko teh dan beberapa cawan di lantai.   Dia menuangkan secawan teh untuk masing-masing orang itu.   Warna teh sangat pekat, harumnya semerbak.   Sekali lihat saja, kedua murid Bu-tong itu segera tahu bahwa teh yang disuguhkan diseduh dari daun teh yang baik.   Apa lagi setelah menghirup wanginya.   Kerongkongan mereka semakin kering 267 saja rasanya.   "Harum sekali,"   Kata salah satu orang itu tanpa sadar.   "Ini adalah teh Lung-cing sebelum musim hujan. Para suhu biasanya menyuguhkan tamu dengan teh sejenis ini,"   Kata Wan Fei sembari mengangkat kembali bakinya dari lantai.   "Tidak heran ..."   Setelah meminum tanpa sadar kedua murid Bu-tong itu menghirupnya dalam-dalam.   "Teh Lung-cing sebelum musim hujan memang paling bagus. Dapat menghilangkan dahaga dan menurunkan demam badan. Lain dengan teh umumnya,"   Kata salah satu penjaga tersebut. Wan Fei-yang tidak ingin kehilangan kesempatan baik.   "Suheng berdua silakan menikmati perlahan-lahan. Aku akan mengantarkan teh ini ke dalam,"   Sahutnya buru-buru.   "Baik!"   Kata penjaga itu sambil terus memuji tiada hentinya.   Wan Fei-yang membawa baki berjalan ke depan.   Mereka sama sekali tidak mempedulikannya.   Hatinya gembira sekali.   Belum sempat dia mendorong pintu ruangan itu, salah seorang murid Bu-tong sudah berdiri dan memalingkan wajahnya.   "Berdiri di tempat!"   Bentaknya. Wan Fei-yang terpana. Orang itu mengulurkan tangannya dan mencengkeram, leher baju anak muda itu.   "Mau ngintip? Tidak begitu mudah!"   Penjaga yang satunya segera menghampiri.   "Kau bermaksud 268 menyuap kami dengan secangkir teh Lung-cing sebelum musim hujan? Kau kira kami tidak tahu apa maksudmu?"   Bentaknya marah.   "Kelihatannya kau cukup jujur, siapa tahu hatimu demikian licik. Sayang sekali kau bertemu dengan kami."   "Jangan mempunyai pikiran yang bukan-bukan. Kami yang akan membawa teh ini ke dalam. Kau kembali dan teruskan pekerjaanmu."   Kedua orang itu saling sahut-menyahut mengatasinya.   Kemudian salah seorang penjaga itu mengambil baki dari tangan Wan Fei-yang.   Sedangkan rekannya yang lain mencengkeram leher baju anak muda itu dan melemparkannya keluar dari tempat tersebut.   ***** Air kolam sangat jernih.   Memandangi bayangan sendiri di dalam kolam, perasaan Wan Fei yang sangat tertekan.   Dia benar-benar tidak mengerti.   Mengapa Ci Siong tojin tampaknya begitu sentimen kepadanya.   Angin malam membawa keharuman dedaunan dari pegunungan.   Di dalam kolam yang jernih terlihat seekor ikan lele sedang berenang ke tepian.   Mata Wan Fei-yang mengedar.   Tiba-tiba dia mengembangkan sebuah senyum.   Tidak ada orang di sekitarnya.   Dia mengulurkan tangan secepat kilat dan menangkap ikan lele itu.   "Wan-ji, aku berhasil menangkap seekor ikan lele!"   Teriaknya tanpa sadar kemudian menghambur keluar.   269 Lun Wan-ji tidak berada di sekitar situ, tentu saja dia tidak dapat mendengarkan teriakannya.   Kenyataannya malah dia tidak tahu bagaimana perasaan Wan Fei-yang kepadanya.   ***** Malam mulai larut.   Di taman bunga sunyi tiada seorang pun.   Sepasang tangan Wan Fei-yang memegang sebuah panci kecil.   Dia berjalan melalui tembok pembatas taman.   Tujuannya kamar Lun Wan- ji.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Langkah kakinya dibuat seringan mungkin.   Dia mondar- mandir di depan pintu kamar.   Beberapa kali dia mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu.   Namun entah kenapa, dia membatalkannya lagi.   Kalau melihat tampangnya, kelihatan sekali dia gugup.   Tangannya yang sudah terangkat ditarik kembali, kemudian diangkat lagi lalu ditarik kembali.   Entah kemana hilangnya keberanian dalam hati anak muda itu.   Akhirnya dia mendapat akal.   Perlahan dia meletakkan panci kecil itu di atas tanah.   Dan dia merasa perbuatannya itu sudah tepat.   Dia menarik napas dalam-dalam.   Kemudian dia membalikkan tubuh dengan maksud meninggalkan tempat itu.   Namun begitu dia membalikkan tubuhnya, dia melihat seseorang.   Mata Wan Fei-yang membelalak, mulutnya terbuka lebar.   Orang itu adalah Lun Wan-ji.   Dia berdiri di gerombolan bunga yang ada di dekatnya.   Wan Fei-yang malah tidak tahu sejak kapan dia sudah berdiri di situ.   270 Dengan perasaan heran dia menatap Wan Fei-yang.   "Untuk apa kau menaruh panci kecil di depan pintu kamarku?"   Tanyanya.   Wajah Wan Fei Yan merah padam.   Untung saja pada saat itu bulan tak menampakkan seluruh dirinya sehingga remang- remang dan Wan-ji pasti tidak akan memperhatikan.   "Aku ...   aku dengar kau sedang kurang sehat.   Tidak mau makan nasi.   Maka aku memasakkan sedikit bubur untukmu ...."   Sahut Wan Fei-yang salah tingkah.   "Kau sungguh baik."   Hati Wan Fei-yang senang sekali mendengar pujian itu.   "Wan- ji kouwnio, mumpung masih hangat ...."   Lun Wan-ji menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.   "Tolong bawakan ke dalam ya ...."   Katanya sambil mendorong pintu kamar.   "Baik,"   Sahut Wan Fei-yang sambil mengangkat panci berisi bubur itu dan membawanya masuk ke dalam kemudian meletakkannya di atas meja.   "Oh ya ...   mengapa tadi tingkahmu aneh sekali.   Aku lihat kau sudah beberapa kali mengulurkan tangan untuk mengetuk pintu tapi tidak jadi,"   Tiba-tiba Wan-ji bertanya. Wajah Wan Fei-yang merah padam.   "Aku ... aku sebetulnya malu bertemu lagi denganmu." 271 "Oh?"   "Sebelumnya aku mengatakan bahwa Ciangbunjin akan menerima aku sebagai murid. Ternyata ... ternyata tidak. Kau pasti mengira aku berdusta lagi."   "Siau Fei ... bagaimana sifatmu aku sangat paham. Kalau memang mau disalahkan, salahkan nasibmu yang buruk,"   Sahut Wan-ji menghibur. Mendengar kata-kata itu, perasaan tertekan Wan Fei-yang menjadi lenyap seketika. Lun Wan-ji membuka tutup panci berisi bubur itu.   "Begini banyak? Aku sendirian bagaimana mungkin menghabisikannya. Kau juga makan sedikit ya,"   Kata gadis itu sambil tersenyum manis.   "Aku ...."   "Kalau kau tidak mau makan, aku juga tidak ...."   "Aku makan ... aku makan."   Sahut Wan Fei-yang panik. Dia cepat-cepat menyendokkan semangkuk penuh untuk Lun Wan-ji. Lu Wan-ji menerimanya dan mencoba satu sendok. Tanpa sadar dia memuji.   "Enak sekali."   Kepalanya manggut- manggut.   "Rasanya manis lagi."   "Tentu saja. Aku memasaknya dengan mencampurkan seekor ikan lele." 272 "Benar?"   Lu Wan-ji tersenyum.   "Merepotkan kau saja,"   Katanya.   Melihat kegembiraan Lun Wan-ji, hati Wan Fei-yang senang bukan kepalang.   ***** Sambil bercakap-cakap dan tertawa, akhirnya bubur sepanci itu habis juga.   Tadinya Wan Fei-yang menganggap terlalu banyak, sekarang malah merasa kekurangan.   Dia berharap dapat agak lama bersama gadis itu.   Maka ketika dia membereskan panci dan mangkuk kotor, dia sengaja bekerja lambat-lambat.   Malam semakin larut.   "Cring!", tiba-tiba semilir angin mengumandangkan sebuah suara. Kedengarannya begitu dekat, namun sepertinya juga sangat jauh. Itu adalah suara harpa. Mendengar dentingan itu, hati Lun Wan-ji semakin gembira. Sebetulnya dia senang membantu Wan Fei-yang membereskan perabotan makan mereka, wajahnya tersenyum terus. Sekarang senyuman semakin lebar, namun gerakan tangannya juga menjadi cepat. Wan Fei-yang malah tidak memperhatikan.   "Taruh saja di situ. Nanti aku yang mencucinya,"   Kata Wan-ji.   "Tidak usah ... tidak usah ."   Baru saja dia menumpukkan perabotan itu menjadi satu Wan-ji sudah menghambur keluar.   Wan Fei-yang terpaksa mengikutinya Suara dentingan harpa masih terus berbunyi, Wan-ji keluar dari kamarnya karena tertarik oleh suara harpa tersebut.   Pikirannya seperti 273 melayang-layang.   "Kalau begitu aku tidak mengantarmu lagi,"   Kata gadis itu selanjutnya.   "Tidak usah ..."   Sahut Wan Fei-yang gugup.   Dia masih ingin meneruskan kata-katanya, tapi Wan-ji sudah mempercepat langkahnya ke depan.   Arah yang diambilnya menuju taman depa Apa yang membuatnya demikian tergesa-gesa? Wan Fei-yang masih merasa heran ketika melihat sesuatu terjatuh dari pinggang Wan-ji.   Dia cepat-cepat memanggil gadis itu.   "Wan-ji kouwnio ...."   "Lain kali kita ngobrol lagi panjang lebar,"   Sahutnya tergesa- gesa.   Sekali berkelebat, tubuhnya menghilang di tikungan.   Mendengar ucapannya, kembali Wan Fei-yang terpana.   Akhirnya dia mempercepat langkahnya.   Sebuah dompet kain bersulam indah tergeletak di atas lantai.   Tidak diragukan lagi kalau benda itu milik Wan-ji.   Gadis itu selalu membawanya ke mana saja, bagaikan harta kesayangan.   Biasanya dia sangat memperhatikan dompet ini.   Mengapa sekarang begitu mudah terjatuh dari sakunya? Apakah dia sengaja meninggalkannya untukku? Wan Fei-yang membungkukkan tubuhnya mengambil dompet kain tersebut.   Dia memandanginya dengan termangu-mangu.   ***** Suara harpa berasal dari bawah sebatang pohon siong tua.   Bintang rembulan bersinar redup.   Pohon siong berdiri tegak.   Giok-su yang duduk dibawah pohon siong dengan wajah 274 termenung, tampak semakin tampan memikat.   Sebuah harpa bersenar lima tergeletak di atas sebuah batu di hadapannya.   Kedua jari tangannya bergerak gemulai.   Laksana tenggelam dalam alunan harpanya sendiri.   Wan-ji melangkah mendekati dengan mengendap-endap.   Dia tidak ingin menimbulkan sedikit suara pun yang akan mengejutkan anak muda tersebut.   Namun Giok-su telah mengetahui kehadirannya.   Tangannya masih memainkan harpa.   "Sumoay ...   kau rupanya ."   Wan-ji tersenyum manis.   "Suheng ... teruskan saja permainanmu,"   Sahutnya.   Giok-su membalas senyumnya.   Suara dentingan harpa masih terus berlanjut.   Wan-ji duduk di atas sebuah batu yang terdapat di samping anak muda itu.   Dia mendengarkan dengan segenap perhatian.   Sekejap saja dia sudah terlena oleh buaian alunan harpa tersebut.   Ditilik dari keadaannya, dia pasti bukan untuk pertama kali mendengar Fu Giok-su memetik harpa.   Lagi pula dia juga tentu senang sekali mendengarkannya.   Mata Giok-su menatap ke arah Wan-ji.   Sepasang jari tangan tetap menari- nari di atas alat musik tersebut.   Iramanya tidak sumbang sama sekali.   Tentu sudah lama dia mempelajari ilmu yang satu ini.   Irama harpa itu ibarat air sungai yang mengalir, segala perasaan seakan hanyut bersamanya.   Sambil memetik harpa, pikiran Giok-su semakin melayang-layang.   Wan-ji tidak 275 merasakannya.   Giok-su tersenyum simpul.   "Sumoay ... bagaimana menurutmu irama yang aku mainkan ini?"   "Bagus sekali,"   Sahut Wan-ji bagai tersadar dari mimpi.   "Aku gembira kau menyukainya."   "Kenapa? Apakah kau sengaja memetiknya untukku?"   Giok-su tersenyum tanpa menyahut. Wajah Wan-ji merah padam.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Suheng, kau Bun-bu-coan-cai (pendidikan dan ilmu silat dikuasai dengan baik). Benar-benar mengagumkan,"   Katanya.   "Lagi-lagi kau berkata demikian,"   Sahut Giok-su tersipu-sipu.   "Betul kok .... Suheng, kapan kau akan mengajarkan aku memetik harpa?"   Tanya Wan-ji selanjutnya.   "Kau benar-benar mau mempelajarinya?"   "Aku serius. Katakan ... kapan kau mau mengajarkan aku?"   "Bagaimana kalau sekarang saja?"   Wan-ji tidak mau kehilangan kesempatan baik, dia segera menganggukkan kepalanya dan menghampiri Giok-su.   Anak muda itu berdiri dan membiarkan Wan-ji duduk di hadapan batu di mana harpa itu tergeletak.   Sepasang jari tangannya menekan di atas senar.   276 "Beginikah caranya?"   Giok-su menggelengkan kepalanya. Jarinya menyentuh senar perlahan.   "Perhatikan baik-baik."   Jarak antara kedua orang itu sedemikian dekat. Giok-su bisa mencium bau harum yang terpancar dari tubuh Wan-ji. Jarinya menyentil.   "tring!", denting suara harpa menggetarkan sanubarinya. Wan-ji belum paham juga. Jarinya mengikuti gerakan Giok-su, namun nadanya demikian rendah dan tidak enak didengar. Dua pasang mata saling pandang. Wajah Wan-ji menampakkan rona memerah. Kepalanya tertunduk malu.   "Mengapa aku tidak bisa memainkannya seperti engkau?"   "Karena gerakanmu salah. Meskipun jari kirimu sudah betul, tetapi tenaga sentilan jari kanan kurang tepat. Seharusnya begini ..."   Perlahan Giok-su mengulurkan tangannya menyentuh jari Wan-ji lembut.   Wan-ji membiarkannya.   Dia tidak melepaskan tangan anak muda itu.   Wajahnya merah padam.   Giok-su memang tidak dapat melihatnya namun dia merasakan tangan Wan-ji bergetar terus.   Sekali lagi terdengar suara "cring!".   Akhirnya nada suara yang terdengar persis seperti yang dimainkan Giok-su sebelumnya.   "Betul kan?"   Lu Wan-ji tidak mengucapkan sepatah kata pun.   277 ***** Penerangan di dalam kamar redup sekali.   Tangan Wan Fei- yang masih menggenggam dompet kain itu.   Dia duduk termenung di sisi tempat tidur.   Masih terbayang di pelupuk matanya ketika dia menikmati bubur ikan bersama Wan-ji.   Bibirnya tersenyum.   Begitu lugunya sehingga mirip orang bodoh.   Entah berapa waktu sudah berlalu, akhirnya dia tersadar dari lamunannya.   Dia mengedarkan pandangannya lalu meloncat dari tempat tidur.   Dia sibuk mencari-cari, akhirnya dia berhasil menemukan secarik kertas dan sekotak tinta.   Dia duduk termenung di samping meja.   Alisnya berkerut.   Lama sekali dia baru tersenyum-senyum.   Dia mulai menggosok-gosok tempat tintanya.   Kemudian mulai menulis.   Jangan lihat tampangnya ketolol-tololan, ternyata tulisannya boleh juga.   ***** Lentera semakin redup.   Di atas lantai berserakan puluhan carik kertas yang telah terpuntel-puntel.   Wan Fei-yang menulis lagi beberapa huruf, dia membacanya sekilas.   Akhirnya dia meremas kertas itu dan membuangnya lagi ke atas lantai.   Dia melakukannya berulang kali.   Kenyataannya, menulis surat bukanlah bakat anak muda itu.   Namun setelah mencoba lagi beberapa kali, dia berhasil juga menyelesaikan sepucuk surat.   Wan Fei-yang mengibas-ngibaskan surat di tangannya agar tinta tulisannya cepat kering.   Setelah itu dia membaca sekali lagi, kemudian melipatnya baik-baik.   Dia memandangi dompet 278 kain yang harum itu, kemudian matanya beralih kembali pada surat di tangannya.   Ia harus mengambil keputusan.   Dimasukkannya lipatan surat tersebut ke dalam dompet kain tadi, lalu dia kembali duduk dengan termangu-mangu.   Sinar matanya menerawang.   Bibirnya tersenyum.   Tangannya menggenggam dompet kain tersebut erat-erat.   Lalu dia memantapkan hatinya dan keluar dari kamar.   Baru berjalan beberapa langkah, dia berhenti lagi.   Tangannya mendekap dada.   Terdengar suara Tik! Tak! Tik! Tak! Detak jantung yang berdebaran.   Dia berdiri merenung sejenak, kemudian membalikkan tubuhnya dan kembali ke kamar.   Dari kotak kayu di kolong tempat tidur, dia mengeluarkan sebotol arak.   Dia teguk arak itu dengan pikiran kacau.   Setelah beberapa teguk, wajahnya mulai merah.   Pakaiannya juga ikut basah terciprat arak yang berceceran.   Dia tidak peduli akan semua itu.   Entah karena semangatnya terpancing atau karena pengaruh arak itu sendiri, akhirnya dia meletakkan botol arak di atas meja dan menghambur keluar dari kamarnya.   ***** Dengan penuh semangat dia berlari menuju kamar Wan-ji.   Langkahnya berhenti di depan pintu.   Matanya celingukan seperti maling.   Di dalam taman itu hanya ada Wan Fei-yang seorang.   Perlu diketahui bahwa rumah jaman dahulu berbeda dengan jaman sekarang, di setiap bagian terdapat taman yang indah.   Biasanya di samping taman-taman itu terdapat beberapa kamar tidur atau ruang tamu.   Wan Fei-yang menggertakkan giginya.   Dia mengeluarkan dompet kain dari balik pakaiannya kemudian menghambur ke kamar Wan-ji.   Namun sampai undakan batu, dia melambatkan 279 kembali langkah kakinya.   Dari dalam kamar terlihat penerangan.   Wan Fei-yang mondar- mandir di depan kamar.   Sejenak kemudian dia menuruni undakan batu kembali.   Mulutnya membuka.   Perkataan yang sudah di ujung lidah ditarik kembali.   Melihat tampangnya, tampaknya lebih gugup daripada ketika mengantarkan bubur tadi.   Karena yang dibawanya sekarang adalah sepucuk surat.   Dia berjalan memutari taman tersebut dengan harapan seperti sebelumnya, Wan-ji berdiri di belakangnya dan menegur.   Dengan demikian dia tidak menemukan kesulitan memberikan surat itu kepada sang gadis.   Dia berjalan berputaran, tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki.   Asalnya dari belakang ....   Langkah kaki terhenti.   Wan Fei-yang pura-pura tidak tahu.   Dia menunggu sampai suara langkah kaki semakin mendekat baru menolehkan kepalanya ....   "Wan ...."   Baru sepatah kata itu keluar dari mulutnya, wajah Wan Fei- yang segera tertegun.   Sepasang tangannya buru-buru diselinapkan ke belakang.   Orang yang datang itu bukan Wan-ji melainkan Gi-song.   Hidung tosu itu sedang bergerak mengendus-endus.   Wan Fei- yang tertawa sumbang.   Sepasang tangannya masih bersembunyi di belakang punggung.   "Apa yang sedang kau lakukan?"   Akhirnya Gi-song mengajukan pertanyaan. 280 "Tidak apa-apa ... aku sedang ... menikmati indahnya rembulan."   "Kurang ajar! Hari ini tanggal satu, mana ada rembulan yang dapat dinikmati?"   Bentak Gi-song marah.   Wan Fei-yang terpana.   Dia mendongakkan wajahnya.   Di atas langit bulan hanya menyembulkan kepalanya sedikit.   Bintang- bintang justru bertaburan.   Sekali lagi hidung Gi-song bergerak- gerak.   "Kau baru minum arak?"   "Aku ...   aku ."   "Apa yang kau sembunyikan di belakang tubuhmu?"   Wajah Wan Fei-yang panik sekali.   "Aku ... aku ti ... dak menyembunyikan apa-apa!"   "Kemarikan!"   Bentak Gi-song sambil mengulurkan telapak tangannya. Sinar matanya laksana kilat. Dengan terpaksa Wan Fei-yang menyerahkan dompet kain tersebut.   "Dompet kain?"   Gi-song juga melihat surat yang terselip di dalamnya.   "Apa lagi ini?"   Bentaknya sambil mengeluarkan surat tersebut. Wajah Wan Fei-yang semakin ketakutan.   "Tengah malam buta, mulut bau arak, tangan memegang 281 dompet perempuan. Tingkah laku mencurigakan. Hm ... pasti kau melakukan perbuatan yang memalukan!"   Bentak Gi-song kembali.   "Aku ... tidak ...."   Begitu paniknya Wan Fei-yang sampai tergagap-gagap.   "Tidak ...?"   Gi-song mengangkat dompet di tangannya.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Dari mana dompet ini?"   Wan Fei-yang menjadi serba salah, tidak tahu bagaimana harus menjawab.   Tepat pada saat itu, Giok-su mengiringi Wan-ji berjalan ke arah mereka.   Melihat kedua orang itu, mereka mempercepat langkahnya.   Wan Fei-yang semakin panik melihat kehadiran Wan-ji.   Gi- song memalingkan wajah ke arah gadis itu.   Wan-ji memperlihatkan tampang heran.   "Susiok ...   mengapa dompetku bisa ada di tanganmu?"   Tanyanya.   "Ini kepunyaanmu?"   Gi-song terpana sejenak. Kemudian dia menuding kepada Wan Fei-yang.   "Mengenai persoalan ini, kau harus bertanya kepada bocah itu. Aku mendapatkannya dari dia."   Wan-ji tertegun. Dia memandang ke arah Wan Fei-yang. Anak muda itu hanya tertawa getir.   "Di dalamnya ada sepucuk surat,"   Kata Gi-song selanjutnya. Dia mengeluarkan surat tersebut dan mengibas- ngibaskannya. 282 "Surat itu bukan kepunyaanku,"   Sahut Wan-ji.   "Lalu siapa punya?"   Tanya Gi-song sambil membuka surat itu.   "Di bawahnya tercantum nama Wan Fei-yang"   Matanya mendelik kepada anak muda itu. Wan Fei-yang hampir semaput dibuatnya.   "Giok-su ... coba lihat apa yang tertulis di dalamnya,"   Kata Gi-song sambil menyerahkan surat tersebut kepada Giok-su. Giok-su menerima surat itu dengan enggan.   "Wan-ji-moay ..."   Baru membaca tiga huruf, alisnya langsung berkerut. Gi-song juga tertegun.   "Teruskan!"   Bentaknya.   "Sehari tidak bertemu bagaikan tiga musim dingin ...."   Wan-ji tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Wajah Wan Fei- yang sudah merah seperti kepiting direbus.   "Giok-su, apa sebetulnya yang kau baca? Apakah kau tidak salah baca?"   "Tecu hanya membaca apa yang tertulis dalam surat ini."   Gi-song merebut surat itu dari tangan Giok-su. Dia menyerahkannya kembali kepada Wan Fei-yang.   "Kau saja yang baca!"   Wan Fei-yang terpaksa menerima surat itu. Dia berdiri dengan tubuh gemetar. Mulutnya terkatup rapat-rapat. 283 "Baca!"   Bentak Gi-song sekali lagi. Wan Fei-yang menenangkan hatinya. Akhirnya dia mulai membaca.   "Wan-ji-moay ... sehari tidak bertemu seakan berpisah tiga kali musim semi."   Tiba-tiba Gi-song tertawa terbahak-bahak.   "Oh ... rupanya surat cinta."   Wan-ji yang berdiri di samping mulai marah.   Matanya mendelik ke arah Wan Fei-yang.   Tanpa berpikir panjang lagi dia menghambur masuk ke dalam kamar dan membanting pintu sekuat-kuatnya.   Dengan wajah ketakutan Wan Fei-yang menatap pintu yang sudah tertutup rapat itu.   Dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang.   Giok-su segera menengahi.   "Wan-heng ... malam sudah larut, lebih baik kau kembali ke kamar dan beristirahat,"   Katanya. Tentu saja Wan Fei-yang mengerti Giok-su sedang membantunya. Dia menganggukkan kepala lalu membalikkan tubuh dengan maksud meninggalkan tempat itu. Siapa tahu Gi-song segera mengadangnya.   "Kau tidak boleh pergi begitu saja!"   Bentaknya garang.   "Tianglo ..."   Hati Wan Fei-yang menjadi tegang kembali. Giok-su segera menghampiri ....   "Susiok ... masalah ini ...."   Gi-song tertawa dingin. 284 "Serahkan kepada Ciangbun-suheng. Lihat bagaimana dia menyelesaikannya."   Mendengar kata-katanya, Wan Fei-yang semakin panik.   Keringat sebesar kacang kedelai menetes di keningnya.   ***** Cahaya lentera remang-remang.   Wajah Ci Siong tojin yang pucat menyiratkan rona merah, tampaknya sedang marah.   Melihat keadaan itu, Giok-su tidak berani bersuara.   Gi-song malah memperlihatkan rasa senang melihat penderitaan orang lain.   "Suheng, kali ini kau harus memberi pelajaran sepantasnya kepada orangmu itu,"   Sindirnya.   Ci Siong tojin malah menjadi tenang.   Matanya menatap Wan Fei-yang lekat-lekat.   "Fei-yang, tanpa mengatakan berani berbuat adalah perbuatan maling.   Kau sudah melanggar peraturan Bu-tong kita.   Bagaimanapun kau harus menerima hukuman yang berat,"   Katanya tegas. Kepala Wan Fei-yang tertunduk dalam-dalam.   "Mulai besok kau harus memikul air selama satu tahun,"   Kata Ci Siong tojin kembali.   "Terima kasih, Ciangbunjin,"   Wan Fei-yang senang mendengar keputusan itu. 285 "Jangan gembira dulu. Yang Punco maksudkan adalah memikul air dari bawah gunung sampai atas sini,"   Kata Ci Siong tojin.   Tampang Wan Fei-yang berubah ketolol-tololan.   Dari bawah gunung ke atas sini, dia tentu sudah dapat membayangkannya.   Tanpa membawa apa-apa sudah pasti seluruh tubuh akan basah oleh keringat.   Apa lagi mengangkut dua gentong air.   "Ada lagi ..."   Wajah Ci Siong tojin sangat serius.   "Sambil mengangkat dua gentong air, kau harus menghafal peraturan Bu-tong-pai, agar kelak bila akan berbuat kesalahan, kau akan mengingatnya kembali."   Wan Fei-yang terpaksa menganggukkan kepalanya.   "Ada lagi ..."   Tampaknya kata-kata Ci Siong tojin masih belum selesai juga. Keringat dingin mulai membasahi tubuh Wan Fei-yang.   "Ciangbunjin, harap kau orang tua melapangkan jiwa."   Ci Siong tojin mengibaskan surat di tangannya. Dia tidak mempedulikan perkataan Wan Fei-yang.   "Melihat banyaknya huruf yang salah kau tulis. Bu-tong-pai benar-benar malu sekali."   Kepala Wan Fei-yang tertunduk semakin rendah.   "Giok-su ... Suhu minta kau mengajarnya membaca dan menulis setiap hari. Bagaimana pendapatmu?"   Tanya Ci Siong 286 tojin. Giok-su segera maju ke depan dan membungkukkan tubuhnya.   "Sudah lama tecu mempunyai niat yang sama, tapi ...."   "Tapi apa?"   "Tecu tidak berani lancang sebelum ada perintah dari suhu."   "Maksudmu ... dia belum tentu mau menerima maksud baikmu itu?"   "Bukan begitu. Fei-yang-heng jujur dan cerdas. Tapi kalau Suhu menghukumnya mengangkat air sepanjang tahun, sore harinya pasti dia sudah sangat lelah. Mana ada semangat untuk belajar lagi?"   Sahut Giok-su.   "Jadi maksudmu ...."   "Harap Suhu mengurangi masa hukumannya."   "Apa yang kau katakan memang beralasan,"   Kata Ci Siong tojin setelah merenung sejenak.   "Suhu akan bermurah hati sedikit. Hukuman mengangkat air dikurangi menjadi satu bulan saja."   "Terima kasih, Suhu!"   Sahut Giok-su sambil menyenggol lengan Wan Fei-yang.   "Terima kasih Ciangbunjin,"   Kata Wan Fei-yang cepat-cepat. Tidak lupa dia menambahkan sepatah.   "Terima kasih Fu- suheng." 287 Gi-song mendengus dingin.   "Keluar!"   Bentak Ci Siong tojin sambil meremas surat di tangannya.   Hancuran kertas segera membuyar dari tangannya dan beterbangan kemana-mana.   ***** Angin bertiup membuyarkan kabut yang tebal.   Juga melambai- lambaikan rambut Kuan Tiong-liu.   Jit Po dan Liok An masing- masing memegang harpa dan pedang mengiringi tuan mudanya dengan ketat.   Mereka sudah berada di kaki gunung Bu-tong-san.   Memandang ke atas, gunung itu diselimuti kabut yang tebal dan melayang-layang.   Seperti bukan suatu tempat yang nyata.   "Banyak pepatah yang mengatakan tentang keindahan pemandangan di suatu tempat.   Bu-tong-san pernah di baratkan sebagai tempat bersemayam para dewa.   tampaknya memang tempat yang tepat untuk dikunjungi,"   Kata Kuan Tiong-liu sambil tertawa datar. Liok An maju ke depan dan memandang di kejauhan.   "Kongcu, di depan ada beberapa jalan kecil. Entah yang mana yang harus kita tempuh untuk mencapai Bu-tong-san?"   Tanyanya.   "Bukankah dengan bertanya kita akan segera tahu?"   Sahut Kuan Tiong-liu. 288 "Tanya siapa?"   Tanya Liok An mengedarkan pandangannya.   Kuan Tiong-liu juga menengok ke sekitar daerah itu.   Kebetulan Wan Fei-yang mendatangi dari arah depan sambil menggotong dua gentong air.   Sembari berjalan, mulutnya tidak henti menghafal.   "Peraturan Bu-tong-pai.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Nomor satu, menghormati guru dan agama.   Kedua, berlatih ilmu dengan giat.   Ketiga, tidak boleh menghina yang lemah ...."   Dia sendiri tidak tahu berapa kali sudah dia mengulangi kalimat yang sama.   Kata-katanya mulai kacau.   Liok An mempercepat langkahnya menghampiri.   Wan Fei-yang tampak tidak menyadari kehadirannya.   Liok An terus mengejar.   Akhirnya dia berhasil mendahului Wan Fei-yang.   Dia mengadang di depan anak muda itu.   Wan Fei-yang tertegun, kemudian dia bergeser ke samping dan meneruskan langkahnya.   "Hei! Kau ...   aku sedang bertanya ...   jalanan mana yang harus kutempuh untuk mencapai Bu-tong-san?"   Teriak Liok An. Wan Fei-yang tidak mempedulikannya. Dia meneruskan hafalannya.   "Kesatu ...."   Suaranya mulai serak. Liok An tidak dapat mendengar dengan jelas. Wan Fei-yang melanjutkan kembali hafalannya.   "Kedua ."   Liok An menjadi bingung.   "Hei ... sebetulnya jalan yang kesatu atau yang kedua?"   Teriaknya kesal. 289 "Ketiga ...."   Liok An tertegun sejenak, kemudian berpaling kepada tuan mudanya.   "Kongcu, dia bilang jalanan ketiga yang harus kita tempuh untuk naik ke Bu-tong-san."      Jilid 7 Kuan Tiong-liu menganggukkan kepalanya. Langkah kakinya dipercepat. Pada saat itu Wan Fei-yang seakan tersadar dari lamunannya, segera ia menyusul dan berteriak.   "Yang betul jalanan yang kedua."   Kuan Tiong-liu tertawa dingin. Liok An di sebelah sana malah mencak-mencak karena kesal.   "Tadi kau bilang yang ketiga!"   Bentaknya lantang.   "Aku ...."   Wan Fei-yang menjadi serba salah.   "Di hadapan kami kau berani main-main!"   Bentak Liok An garang. Kakinya terangkat, segentong air yang dipikul Wan Fei-yang terbalik dan tumpah. Kuan Tiong-liu segera mencegahnya.   "Liok An!"   "Kongcu ...."   Wan Fei-yang mengira Kuan Tiong-liu akan menghajar Liok An, siapa tahu anak muda itu malah berkata.   "Bagaimana biasanya aku mendidikmu. Jaga kedudukanmu sendiri, buat apa mencari gara-gara dengan seorang pelayan?" 290 Mendengar ucapannya, Wan Fei-yang terpaku di tempat. ***** Di samping pedupaan, duduk Ci Siong tojin. Wajahnya semakin kuyu dan tampak tua beberapa tahun. Pek Ciok mengundang Kuan Tiong-liu masuk ke ruangan pendopo. Setelah itu dia mengundurkan diri ke sudut kiri. Kuan Tiong-liu yang melihat keadaan Ci Siong tojin, tanpa sadar tertawa dingin. Rasa angkuhnya terbangkit kembali, namun dia tetap menjura di hadapan orang tua itu.   "Murid Go-bi-pai, Kuan Tiong-liu, mendapat perintah dari suhu untuk menanyakan kesehatan Locianpwe ...."   Mata Ci Siong tojin setengah terpejam. Tiba-tiba dia tersenyum.   "Pinto terakhir bertemu dengan It-im-toheng ketika membahas agama di Ui-san. Sampai sekarang sudah ada dua puluh tahun. Entah bagaimana kabar gurumu sekarang?"   "Suhu dalam keadaan sehat-sehat saja,"   Sahut Kuan Tiong-liu.   "Entah ada keperluan penting apa sehingga It-im-toheng meminta keponakan jauh-jauh bertandang ke Bu-tong-san?"   Tanya Ci Siong tojin.   "Suhu mendengar locianpwe mengadakan pertarungan dengan Tok-ku Bu-ti dari Bu-ti-bun, akibatnya orang jahat itu berhasil membokong Locianpwe sehingga terluka parah.   Boanpwe diutus mengantarkan Kiu-coan-kim-tan (obat mujarab golongan Go-bi-pai), mudah-mudahan ada 291 manfaatnya ...."   "Pinto sama sekali tidak dibokong oleh Tok-ku Bu-ti.   Pertarungan di atas Giok-hong-teng adalah pertarungan sejati,"   Tukas Ci Siong tojin.   "Oh?"   Kuan Tiong-liu seakan kurang percaya dengan keterangan tersebut.   "Kalau begitu ilmu silat Tok-ku Bu-ti benar-benar tidak bisa dipandang ringan."   "Hm ...."   Sahut Ci Siong tojin datar.   "Tugas boanpwe membasmi iblis ini beserta begundalnya, rasanya tidak mudah juga,"   Gumam Kuan Tiong-liu.   Ci Siong tojin tersenyum dingin.   Pek Ciok mengerutkan keningnya.   Kuan Tiong-liu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik pakaiannya.   "Kiu-coan-kim-tan dari Go-bi-pai merupakan obat mujarab yang didambakan ribuan orang di dunia kangouw.   Pinto tidak sanggup menerimanya,"   Kata Ci Siong tojin ketika melihat kotak tersebut.   "Sebelum boanpwe turun gunung, Suhu telah berpesan berulang kali, bahwa boanpwe harus menyerahkan obat ini ke tangan Locianpwe, apabila sekarang Locianpwe sampai menolaknya, bagaimana boanpwe dapat kembali ke Go-bi-san dan melaporkan kejadian ini? "Kalau memang demikian, daripada menyalahi, kan lebih baik menurut.   Harap keponakan bersedia menyampaikan rasa terima kasih Pinto yang sebesar-besarnya kepada Itim- 292 toheng,"   Ci Siong tojin berpaling kepada Pek Ciok.   "Pek Ciok..."   Panggilnya.   Pek Ciok mengiakan lalu maju untuk menerima kotak kecil tersebut.   Kuan Tiong-li menyerahkannya sambil tersenyum lebar.   "Boanpwe masih ada beberapa patah perkataan, rasanya seperti tercekat di tenggorokan apabila tidak dikeluarkan.   Namun apabila Boanpwe mengatakannya, boanpwe takut dikira menghina,"   Katanya.   "Bu-tong dan Go-bi selama ini bagaikan jari-jari tangan, apabila keponakan memang ada masalah dalam hati, katakan saja,"   Sahut Ci Siong tojin.   "Setiap kali ada pertandingan pedang di dunia bu-lim, kebanyakan orang selalu memuji-muji kehebatan Liong-gi- kiam sebagai ilmu pedang nomor satu di dunia,"   Mata Kuan Tiong-liu melirik Ci Siong tojin sekilas.   "Selama sepuluh tahun ini, boanpwe giat berlatih Lok-jit-kiam-hoat (ilmu pedang matahari tenggelam) dari Go-bi-pai. Boanpwe merasa ilmu itu sudah cukup sempurna dan tidak ada kelemahannya. Oleh karena itu, boanpwe selalu berharap akan mendapatkan kesempatan mengunjungi Bu-tong-san dan meminta sedikit pelajaran untuk melihat di mana letak kehebatan Liong-gi- kiam. Kebetulan boanpwe sekarang berada di Bu-tong-san ...."   "Setiap ilmu pedang pasti ada kekurangan maupun kelebihannya, tergantung dari orangnya sendiri,"   Tukas Ci Siong tojin.   "Boanpwe malah menganggap kiam-hoat yang hebat lebih 293 banyak kelebihan daripada kekurangannya,"   Kata Kuan Tiong- liu.   "Lok-jit-kiam-hoat yang dipelajari It-im-toheng merupakan warisan langsung dari Tok-pit-sinni, merupakan pusaka tersendiri bagi dunia persilatan, juga merupakan kiam-sut yang di ncar berbagai kalangan.   Dalam keadaan biasa pun, Pinto merasa bukan tandingannya, apa lagi sekarang badan Pinto sedang terluka parah,"   Sahut Ci Siong tojin merendahkan diri.   "Locianpwe ...."   Pek Ciok segera maju ke depan dan menjura.   "Suhu sudah mengatakannya dengan jelas, Kuan-sicu ...."   Kuan Tiong-liu mengerling Pek Ciok sekilas.   "Sejak dulu ada pepatah, Guru yang pandai menghasilkan murid yang menonjol. Bu-tong mempunyai demikian banyak murid, boanpwe yakin di antaranya pasti ada yang menonjol. Kalau Locianpwe tidak keberatan, bagaimana kalau boanpwe meminta salah satu murid memberi sedikit pelajaran mengenai Liong-gi-kiam?"   Pek Ciok tidak dapat menahan dirinya lagi, hawa amarah mulai menyelinap dalam hatinya. Segera ia tampil ke depan, tapi dicegah oleh Ci Siong tojin.   "Jangan berlaku tidak sopan terhadap tamu,"   Katanya. Kemudian dia berpaling kepada Kuan Tiong-liu.   "Alasan utama orang belajar ilmu silat adalah untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Apabila untuk sekadar mencari kemenangan, mudah sekali hati kita terpengaruh iblis." 294 "Tapi ...."   "Pek Ciok ...."   Panggil Ci Siong tojin.   "Layani tamu baik- baik."   Dia berpaling kembali kepada Kuan Tiong-liu.   "Di atas Bu- tong-san, banyak sekali tempat yang pemandangannya indah. Keponakan sudah datang dari jauh, tinggal ah di sini beberapa hari. Biar Pinto dapat menjadi tuan rumah yang baik."   "Baik,"   Sahut Kuan Tiong-liu sambil tertawa dingin ***** Pemandangan Bu-tong-san memang sangat indah, namun Kuan Tiong-liu sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk menikmatinya.   Tujuannya datang ke Bu-tong-san, memang bukan untuk menikmati pemandangan.   Liok An dan Jit Po dapat merasakan bahwa hati tuan mudanya sedang kesal.   Mereka tidak berani bersuara, hanya mengikuti di belakangnya.   Setelah melewati jembatan, Kuan Tiong-liu menghentikan langkah kakinya.   "Liok An, Jit Po!"   Panggilnya. Kedua tangannya dikacakkan di pinggang. Kepalanya tidak menoleh sama sekali.   "Kongcu ...."   "Coba kalian perhatikan ... apa beda pemandangan antara Bu- tong-san dan Go-bi-san?"   Tanyanya.   295 Liok An dan Jit Po saling melirik sekilas.   "Bu-tong-san lebih tinggi dari Go-bin-san, hawanya lebih dingin.   Kalau dilihat dari bawah, kelihatannya angker dan berwibawa.   Kalau dilihat dari atas, terlihat jurang dan tebing yang terjal.   Namun suasananya tidak sehangat Go-bi-san.   Tempat kita itu lebih rendah, hawa tidak begitu dingin tapi selalu sejuk menyegarkan,"   Sahut Jit Po. Kuan Tiong-liu tertawa puas. Tepat pada saat itu, terdengar suara menyahut dari belakang mereka.   "Tapi justru murid Go- bi-pai sendiri yang kurang hangat dan sama sekali tidak membawa kesejukan."   Tampak Kim Ciok, Giok Ciok, Cia Peng, Yo Hong dan Fu Giok-su mendatangi dari arah pohon-pohon yang lebat.   Mendengar ucapan itu, Kuan Tiong-liu tenang-tenang saja.   Dadanya masih dibusungkan.   Seakan memandang sebelah mata kepada mereka.   Cia Peng menunggu sejenak.   "Kau yang bernama Kuan Tiong-liu dari Go-bi-pai?"   Bentaknya keras.   "Tidak salah!"   Sahut Kuan Tiong-liu tanpa menolehkan kepalanya.   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Cia Peng tertawa dingin.   "Tadi ada orang yang mengatakan bahwa Lok-jit-kiam-hoat dari Go-bi-pai merupakan ilmu pedang terhebat di dunia ini.   Kalau tidak menyaksikannya sendiri, rasanya kami akan menyesal seumur hidup!" 296 "Sayang sekali pedangku harus ditinggal di kaki gunung,"   Sahut Kuan Tiong-liu tetap membelakangi.   "Aku akan memerintahkan seorang saudara kami untuk mengambilkannya,"   Kata Yo Hong. Perlahan Kuan Tiong-liu membalikkan tubuhnya.   "Tidak perlu. Ilmu pedang Go-bi-pai terkenal keji dan telengas. Apa lagi senjata tidak bermata. Lebih baik kita membatasinya dengan saling menutul saja,"   Sahutnya. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara. Sekali loncat setinggi beberapa depa. Gerakannya cepat dan pergelangan tangannya memutar, sebatang ranting pohon sudah berada dalam genggamannya.   "Aku menggunakan ranting pohon ini saja sebagai senjata!"   Cia Peng marah sekali.   "Ranting pohon?"   Makinya penasaran.   "Hah! Menggunakan ranting pohon sebagai senjata sudah umum, buat apa harus diherankan?"   Kata Kuan Tiong-liu sambil tertawa terbahak-bahak.   "Oh ya ... apakah Kuan-heng tidak merasa terlalu menyombongkan diri?"   Tanya Fu Giok-su, Mata Kuan Tiong-liu mengedar.   "Ranting pohon di tanganku ini tidak kalah dengan sebatang pedang, harap Cia-heng hati- hati,"   Katanya.   Cia Peng mendengus dingin.   Tubuhnya melesat.   Telapak tangannya yang satu mengepal dan satu lagi mengambang.   Dia meluncur ke arah Kuan Tiong-liu.   Ranting pohon di tangan 297 anak muda itu digetarkan.   Gerakan yang digunakannya ternyata memang ilmu pedang.   Malah kekejiannya tidak kalah dengan sebatang pedang.   Cia Peng berteriak lantang.   Dia membalas serangan tersebut dengan serangan pula.   Suara yang ditimbulkan telapak tangannya menggelegar di angkasa, memekakkan telinga orang yang mendengarnya.   Kuan Tiong-liu sama sekali tidak tampak khawatir.   Tubuhnya berkelebat.   Enam hantaman telapak Cia Peng berhasil dihindarkannya.   Pedangnya belas menyerang sebanyak sepuluh kali berturut-turut.   Tentu saja pedang yang dimaksudkan di sini adalah ranting pohon tadi.   Kenyataannya memang ranting pohon itu tidak kalah tajam dari sebatang pedang.   Sekali digerakkan oleh Kuan Tiong-liu, lengan baju Cia Peng terkoyak seketika.   Dalam keseluruhannya dia hanya menyerang sebanyak dua belas kali.   Sedangkan Cia Peng sudah menghantam telapak tangannya sebanyak tiga puluh enam kali.   Wajah Cia Peng kelam sekali.   Kedua tangannya membentuk kepala ular dan menyodok ke arah Kuan Tiong-liu.   Sekali lagi ranting pohon di tangan anak muda itu digerakkan.   "Si-yang-sie-cao!" (matahari bersinar cerah) merupakan salah satu jurus Lok-jit-kiam-hoat!"   Teriak Kuan Tiong-liu.   Jurus itu mempunyai tujuh perubahan.   Dia menerjang ke arah Cia Peng.   Murid Bu-tong itu berusaha menghindar dengan jurus Tian-liong-kia-ka (naga langit menggerakkan kakinya), namun terlambat.   Tiba-tiba dia merasakan tubuhnya sakit sekali.   Ternyata pada saat itu, ranting pohon di tangan Kuan Tiong-liu telah menyabet bahu sebelah kanan Cia Peng.   Wajah anak 298 muda itu berubah hebat.   Kakinya terdesak mundur beberapa langkah.   Kuan Tiong-liu menarik kembali ranting pohonnya.   "Cia-heng, kau sudah kalah,"   Katanya. Wajah Cia Peng dari merah padam berubah menjadi pucat. Dia menggertakkan giginya erat-erat. Fu Giok-su yang berdiri di sampingnya segera tampil ke depan.   "Cayhe Fu Giok-su ingin mencoba beberapa jurus ilmu pedang Kuan-heng!"   "Aku saja,"   Tukas Yo Hong tidak mau kalah. Kim Ciok dan Giok Ciok juga saling berebutan. Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak. Bagus ... semuanya saja sekaligus, biar menghemat tenaga!"   Serunya angkuh. Ucapannya ibarat minyak yang disiramkan ke api. Semua murid Bu-tong yang ada di tempat itu marah sekali. Tampaknya setiap waktu pertarungan akan terjadi. Tiba-tiba terdengar bentakan keras.   "Berhenti!"   Pek Ciok melayang turun di tengah mereka.   "Toa-suheng ...!"   "Suhu menunggu di ruangan pendopo. Ada persoalan yang ingin dirundingkan. Kuan-heng, silakan ...."   Katanya tenang.   299 Kuan Tiong-liu tersenyum lebar.   Ranting pohon di tangannya dilemparkan ke tanah.   Liok An dan Jit Po mengiringi dari kiri dan kanan.   Bersama-sama mereka menuju ruangan pendopo.   Wajah Cia Peng dan rekan-rekannya masih menyiratkan kemarahan.   Mereka segera mempercepat langkah kaki mendahului.   ***** Meja hidangan sudah disiapkan di ruangan pendopo.   Meskipun makanan yang dihidangkan hanya terdiri dari sayur mayur, namun arak yang disajikan merupakan arak yang baik.   Ci Siong tojin sebagai tuan rumah duduk di tengah.   Pek Ciok berdiri di sampingnya melayani.   Gi-song dan Cang-song duduk di kiri kanannya.   Di sudut duduk enam murid Ci Siong tojin.   Kuan Tiong-liu duduk berseberangan dengan tempat berdirinya Pek Ciok.   Liok An dan Jit Po berdiri di kedua sisinya.   Mata Kuan Tiong-liu menyiratkan perasaan meremehkan.   Ci Siong tojin menunggu sampai Kuan Tiong-liu duduk di tempatnya.   "Cia Peng ...!"   "Tecu di sini ...."   Sahut Cia Peng dengan kepala tertunduk. Hatinya masih kesal. Sedangkan saudaranya yang lain merasa hati mereka berdebaran.   "Siapa yang mengajarkan engkau demikian tidak tahu sopan santun?"   Tanya Ci Siong tojin penuh wibawa. 300 "Karena luapan emosi, tecu telah menyalahi tamu agung. Tecu bersedia menerima hukuman,"   Sahut Cia Peng setengah terpaksa.   "Kalau begitu, cepat minta maaf kepada Kuan-heng!"   Perintah Ci Siong tojin.   "Suhu ...."   "Cepat ke sana!"   Wajah Ci Siong tojin garang sekali. Dengan menahan kekesalannya, Cia Peng terpaksa berjalan menghampiri Kuan Tiong-liu.   "Cia Peng bertindak tidak sopan. Menyalahi Kuan-heng, harap dimaafkan,"   Katanya dengan kepala tertunduk.   "Tidak apa-apa,"   Kuan Tiong-liu berdiri dan balas menjura. Dia tersenyum kepada Ci Siong tojin.   "Benar-benar sebuah partai yang lurus dan adil."   Tersirat kemarahan di wajah orang-orang yang hadir.   Bocah ini benar-benar kurang ajar, pikir mereka dalam hati.   Tapi Ci Siong tojin tidak menampakkan apa-apa pada wajahnya.   Penampilannya sangat tenang.   "Menurut cerita murid-murid Bu-tong, Cia Peng dikalahkan dengan jurus Si-yang-sie-cao, hal ini membuktikan bahwa Lok-jit-kiam-hoat telah dikuasai dengan baik oleh keponakan.   Benar-benar kabar yang menggembirakan."   Kuan Tiong-liu tersenyum lebar.   301 "Kalau dibilang menguasai dengan baik, boanpwe belum berani menerimanya.   Tapi memang tidak jauh lagi.   Si-yang- sie-cao terdiri dari tujuh jurus yang mempunyai tujuh perubahan.   Boanpwe sudah menguasai seluruhnya,"   Sahut Kuan Tiong-liu angkuh.   Ci Siong tojin ikut tertawa lebar.   "Membalas dengan Tian-liong-kia-ka memang boleh juga, tapi menggunakan jurus Giok-li-cuang-siu (wanita cantik berganti pakaian) salah sekali.   Kemenangan yang dicapai keponakan boleh dibilang adalah kesalahan Cia Peng sendiri."   "Kalau tidak menggunakan Giok-li-cuang-siu, lalu jurus apa lagi yang harus digunakan?"   Tanya Kuan Tiong-liu dengan alis berkerut.   "Seharusnya menggunakan Cao-yang-sut untuk menotok pergelangan tangan keponakan,"   Sahut Ci Siong tojin.   "Kalau begitu, boanpwe akan menggunakan jurus Kim-ciau-si- yi (burung emas kembali ke barat) untuk menyabet bagian pinggangnya,"   Kata Kuan Tiong-liu.   "Kegunaan jurus Cao-yang-sut (memanggil matahari) memang untuk menghadapi Kim-ciau-si-yi dari keponakan,"   Sahut Ci Siong tojin tenang "Oh?"   Kuan Tiong-liu memperdengarkan suara tertawa dingin.   Wajahnya tampak mulai tegang.   "Pada saat itu, pergelangan tangan tinggal memutar, telapak tangan ditarik kembali, jari telunjuk dan tengah diluncurkan 302 untuk menotok urat nadi lengan keponakan maka pedang akan terlepas.   Bagaimana?"   "Pergelangan tangan memutar, telapak ditarik, telunjuk dan jari tengah dikerahkan ..."   Keringat mulai membasahi kening Kuan Tiong-liu.   "Ini ...."   "Pada saat itu, ranting pohon di tangan keponakan terpaksa harus dilepaskan, bukan?"   "Tidak mungkin. Sekaligus memutar pergelangan tangan sambil menarik kembali telapak, tidak sempat lagi mengerahkan telunjuk dan jari tengah untuk menotok,"   Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Kata Kuan Tiong-liu kurang percaya.   "Apakah keponakan ingin mencobanya?"   Tanya Ci Siong tojin.   Kuan Tiong-liu menjawab pertanyaan itu dengan gerakan.   Dia langsung berdiri.   Tubuhnya berkelebat melayang di udara dan mendarat di tengah ruangan.   Ci Siong tojin tersenyum simpul.   Perlahan dia berdiri dan berjalan ke depan.   Kuan Tiong-liu menunggu sampai tosu tua itu berdiri berhadapan dengannya.   "Maaf,"   Katanya. Tiga jari tangan kirinya setengah dibengkokkan, sedangkan dua jari tangan kanannya lurus ke depan seperti sebatang pedang.   "Silakan,"   Sahut Ci Siong tojin.   "Si-yang-sie-cao!"   Teriak Kuan Tiong-liu.   Kedua jari telunjuk dan tengahnya meluncur lurus bagai sebatang pedang.   Ci Siong tojin menggunakan langkah Tian-liong-kia-ka, disusul 303 dengan Cao-yang-sut yang langsung dikerahkan.   Tangannya berubah dalam sekejap mata.   Kuan Tiong-liu agak panik, cepat ia mengubah gerakannya menjadi Kim-ciau-si-yi.   "Telapak ditarik, telunjuk dan jari tengah menyerang, hati-hati pergelangan tangan!"   Seru Ci Siong tojin.   Ucapannya selesai, jari tangannya dengan telak berhasil menotok pergelangan tangan Kuan Tiong-liu.   Anak muda itu tertegun.   Tiba-tiba pergelangan tangannya terasa kesemutan.   Melihat kejadian itu, orang-orang yang ada dalam ruangan segera bersorak.   Wajah Kuan Tiang Liu merah padam.   Ci Siong tojin memeluk kedua tangannya dan tersenyum.   "Dua belas tahun yang lalu, Pinto dan It-im-toheng pernah bertemu satu kali di Ui-san untuk membahas ilmu pedang.   Kami juga sempat disulitkan oleh perubahan jurus ini.   Pada saat itu, It-im-toheng malah menggunakan jurus Lok-sia-ho- ku-ing-ci-fei (pelangi turun dan elang terbang ke udara) untuk membalas serangan.   Sedangkan Pinto menyambutnya dengan Cao-yang-sut."   Wajah Kuan Tiong-liu berubah kelam.   "Lok-sia-ho-ku-ing-ci-fei adalah tiga jurus terakhir dalam Lok- jit-kiam-sut."   "Tidak salah! Tampaknya keponakan belum sempat mempelajarinya?"   "Betul,"   Sahut Kuan Tiong-liu dengan keringat membasahi 304 keningnya.   "Di luar gunung masih ada gunung lainnya, memandang ringan lawan malah merugikan diri sendiri, harap keponakan ingat baik-baik,"   Kata Ci Siong tojin menasihati.   "Sungguh mengagumkan!"   Sahut Kuan Tiong-liu. Sejenak kemudian dia menggelengkan kepalanya.   "Hanya ... sayang sekali ...."   Ci Siong tojin terpana mendengar ucapannya yang terakhir.   "Yang boanpwe kagumkan adalah ilmu pedang Bu-tong-pai ternyata benar-benar nomor satu di dunia ini. Yang disayangkan ...."   Kuan Tiong-liu merandek sejenak. Matanya mengedar ke sekeliling ruangan.   "Anak murid Bu-tong-pai justru belum bisa menerapkan pelajaran ini baik-baik. Kalau ditilik dari keadaan sekarang, boanpwe khawatir kelak tidak ada murid yang dapat menonjolkan nama Bu-tong-pai. Seluruh murid Bu-tong terpana mendengar ucapannya. Wajah Ci Siong tojin berubah kelam. Seakan isi hatinya tertebak telak oleh anak muda itu. Dia menarik napas panjang, Kuan Tiong-liu melangkah lambat-lambat ke tempat duduknya. Dia menuangkan arak ke cawan. ***** Senja hari. Awan tebal berarak. Angin ber tiup kencang. Tiba- tiba hujan turun memba sahi seluruh pegunungan. Pekerjaan Wan Fei-yang rampung. Dia segera membersihkan diri lalu menghambur ke kamar Fu Giok-su. Pada saat seperti 305 ini, biasanya Fu Giok-su berada di dalam kamar dan menunggu kedatangannya serta mengajarkan Wan Fei-yang membaca dan menulis. Tapi ketika dia mendorong pintu kamar anak muda itu, ternyata Fu Giok-su tidak ada di dalam. Kemana perginya Fu Giok-su? Wan Fei-yang masih merasa heran ketika telinganya menangkap suara "tring!", rupanya dia sedang memetik harpa di taman sebelah sana. Pikirannya tergerak, Wan Fei-yang segera membalikkan tubuhnya menuju asal suara harpa tersebut. Akhirnya dia melihat Fu Giok-su, tapi yang memetik harpa malah Lun Wan-ji. Kedua orang itu duduk berdampingan di bawah pohon. Suara mereka berbisik-bisik, entah apa yang mereka bicarakan. Wan Fei-yang melihat semuanya dengan jelas, entah bagaimana perasaan hatinya. Dia mengambil keputusan untuk kembali secara diam-diam. Tapi Fu Giok-su sudah melihatnya. Anak muda itu segera bangkit dari duduknya.   "Wan-heng ...."   "Fu-toako ...."   Wan Fei-yang terpaksa menghentikan langkah kakinya. Lun Wan-ji juga berdiri. Melihat Wan Fei-yang, wajahnya kaku membesi.   "Tidak perlu memikul air lagi?"   Sindirnya. Wan Fei-yang menundukkan kepalanya.   "Sudah selesai .... Aku datang untuk belajar membaca dengan Fu-toako,"   Sahutnya lirih. 306 Lun Wan-ji membalikkan tubuhnya ke arah Fu Giok-su.   "Aku sungguh tidak mengerti. Mengapa kau harus meminta pengampunan untuknya? Kalau aku yang jadi engkau, maka aku akan meminta Suhu menghukumnya lebih berat lagi. Paling tidak memikul air selama sepuluh tahun,"   Katanya. Wan Fei-yang tertawa getir.   "Wan-ji, kau ...."   "Jangan memanggil aku .... Aku benci kepadamu!"   Teriak Lun Wan-ji.   "Me ... mengapa?"   Wan Fei-yang benar-benar keheranan.   "Siapa suruh kau menulis namaku saja tidak becus!"   Teriak Lun Wan-ji sambil membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu. Kedua orang itu segera mengejar. Setelah saling melirik sekilas, keduanya berhenti serentak. Wan Fei-yang tertawa sumbang.   "Fu-toako ... lebih baik kalian teruskan saja latihannya."   Belum Lagi Fu Giok-su menyahut, tiba-tiba petir menyambar.   Suaranya memekakkan telinga.   Petir menyambar sekali lagi.   Terdengar suara jeritan yang menyeramkan.   Entah suara jeritan makhluk apa yang terdengar tadi.   Pokoknya, tidak mirip jeritan manusia.   Laksana dunia sebentar lagi akan kiamat.   Dan angin pun menyurut ketakutan.   Fu Giok-su terkejut sekali.   "Siapa yang datang?"   Tanyanya. Wan Fei-yang malah tenang sekali.   "Itu hanya suara yang berkumandang dari telaga dingin. Tidak apa-apa,"   Sahutnya. 307 "Telaga dingin?"   Tanya Fu Giok-su tidak mengerti.   "Fu-toako ... apakah kau tidak tahu kalau di belakang gunung ini ada daerah terlarang di mana ada sebuah telaga dingin di sana?"   "Tidak tahu ...."   Fu Giok-su tambah penasaran.   "Sebetulnya ada apa di sana? "Di belakang gunung ada sebuah telaga dingin. Airnya laksana es dinginnya. Di sana terkurung seseorang, kami menyebutnya makhluk aneh."   "Makhluk aneh?"   "Kalau tidak salah, dia sudah terkurung di sana selama sepuluh tahun lebih. Boleh dibilang dia sedang menjalani hukuman karena mencuri ilmu silat Bu-tong-pai. Kakinya terikat rantai dan terendam di dalam air telaga itu."   Fu Giok-su tertegun. Tanpa sengaja Wan Fei-yang meliriknya sekilas.   "Apakah kau mendengar apa yang aku katakan?"   Fu Giok-su tersadar dari lamunannya.   Dia menganggukkan kepalanya beberapa kali.   "Masa tidak dengar? Coba teruskan ...."   "Setiap kali turun hujan, air telaga itu akan meluap.   Sebagian tubuhnya terendam air.   Mungkin karena tidak tahan oleh dinginnya air dalam telaga dan jiwa yang sudah lama tertekan, maka setiap kali ada petir menyambar, dia akan menjerit 308 histeris,"    Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Si Angin Puyuh Tangan Kilat Karya Gan Kh

Cari Blog Ini