Ilmu Ulat Sutera 8
Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 8
Ilmu Ulat Sutera Karya dari Huang Ying Kata Wan Fei-yang melanjutkan ceritanya. "Tentu menderita sekali terendam dalam air yang begitu dingin sepanjang tahun," Sahut Fu Giok-su seperti kepada dirinya sendiri. Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya. "Ciangbunjin pernah berpesan, siapa pun tidak boleh mendekati telaga dingin itu. Siapa yang melanggar akan mendapat hukuman berat, kecuali aku tentunya." "Eh?" Fu Giok-su tampak kurang percaya. Wan Fei-yang tertawa geli. "Kalau aku tidak mengantarkan makanan untuknya, pasti sejak lama dia sudah mati." "Rupanya kau hanya menjalankan tugas." "Sepuluh hari sekali. Karena hawa di tempat itu sangat dingin, maka makanan tidak akan menjadi basi," Kata Wan Fei-yang. Mata Fu Giok-su beralih ke tempat itu. Tiba-tiba dia tampak terpana. "Di sana ada orang." Wan Fei-yang menolehkan kepalanya mengikuti pandangan Fu Giok-su. Ternyata dia juga melihat bayangan putih melintas lewat. "Rasanya anak muda yang bernama Kuan Tiong-liu. Mungkinkah dia juga mendengar jeritan histeris tadi dan sekarang bermaksud mencari tahu?" 309 Kening Fu Giok-su berkerut mendengar perkataannya. "Kalau begitu kita harus mencegahnya." Wan Fei-yang tidak menunda waktu. Dia segera berlari ke arah bayangan yang terlihat tadi. Fu Giok-su segera menyusul di belakang. ***** Bayangan putih tadi memang Kuan Tiong-liu adanya. Tubuhnya meloncat beberapa kali, akhirnya dia berhenti di depan rumpunan bunga sekitar belakang gunung. "Terang-terangan dari sini asalnya, coba aku lihat ke depan sana," Katanya dalam hati. Baru saja dia bermaksud melangkahkan kakinya, Fu Giok-su melayang di belakangnya, dan mencegah. "Kuan-heng, harap berhenti dulu!" Kuan Tiong-liu melirik Fu Giok-su sekilas. "Ada apa?" "Tempat ini adalah daerah terlarang," Kata Fu Giok-su. "Daerah terlarang?" "Anak murid Bu-tong sendiri tidak boleh menginjak tempat ini, harap Kuan-heng kembali segera." Kuan Tiong-liu mendelik ke arah Fu Giok-su. Tampaknya hawa amarah anak muda itu akan meledak setiap waktu. Namun akhirnya dia dapat juga menahan diri. Bibirnya 310 menyunggingkan senyuman datar. "Bu-tong-pai terkenal sebagai partai lurus dan terbuka. Tidak tahunya ada demikian banyak rahasia yang harus ditutupi," Sindirnya tajam. "Harap Kuan-heng segera kembali," Kata Fu Giok-su berusaha setenang mungkin. Kuan Tiong-liu mendengus sinis. "Barang siapa yang memasuki daerah terlarang, langsung dibunuh tanpa perlu banyak tanya. Ini merupakan perintah suhu. Aku tidak ingin terjadi kesalahan," Kata Fu Giok-su selanjutnya. Kuan Tiong-liu masih tidak bersuara. Pada saat itu, Wan Fei- yang yang tertinggal di belakang menyusul tiba. Melihat Kuan Tiong-liu, dia berdiri terpaku. Anak muda itu hanya meliriknya sekilas. Tiba-tiba petir menyambar lagi. Suara jeritan aneh kembali berkumandang. Kuan Tiong-liu mendengus dingin lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu. ***** Malam semakin larut, hujan semakin lebat. Petir masih menyambar. Suara geledek menggelegar. Dunia seakan terbalik karenanya. Wan Fei-yang belajar membaca dan menulis dengan giat di bawah cahaya lentera. ***** 311 Di dalam kamar tamu sebelah barat, Kuan Tiong-liu duduk dengan mata terpejam. Tampaknya dia sedang beristirahat agar semangatnya pulih kembali. Suara geledek bergemuruh. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke depan jendela. Perlahan dia membuka jendela tersebut. Hujan membasahi seluruh tanah dan bunga-bunga ***** Fu Giok-su berbaring di atas tempat tidur. Matanya terbuka menatap langit-langit. Kemudian beralih ke jendela. Hujan seakan segan berhenti. Lewat cahaya petir yang menyambar, terlihat jelas wajahnya yang resah dan gelisah. Sekali petir menyambar melintasi gunung sebelah belakang Bu-tong-san. Sebuah bayangan berkelebat di bawah hujan lebat. Dia melintasi jalan kecil di belakang gunung tersebut. Ketika kilat menyambar, dia menyurutkan tubuhnya ke balik sebatang pohon besar. Setelah petir reda, dia baru melesat lagi menuju di mana telaga dingin berada! ***** Pada saat yang sama, di luar Bu-tong-san, kira-kira sejauh jarak sepuluh li. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong berlari tanpa henti di bawah curahan air hujan. ***** Pagi menjulang .... Hujan sudah reda. Di dalam sebuah ruangan rahasia yang terdapat di balik pendopo, Pek Ciok sedang meminumkan Kiu- 312 coan-kim-tan kepada Ci Siong tojin. Tosu tua itu menelannya sekaligus. "Kiu-coan-kim-tan dari Go-bi-pai tidak dapat digolongkan dengan obat-obatan biasa. Pasti ada gunanya bagi kesembuhan luka dalamku," Katanya. "Betul, Suhu," Sahut Pek Ciok sambil mengundurkan diri ke samping. "Selama aku menutup diri untuk menyembuhkan luka. Semua urusan Bu-tong kuserahkan kepadamu." "Harap Suhu jangan khawatir." "Mengenai kedua susiokmu Gi-song dan Cang-song, mereka adalah manusia-manusia berhati sempit. Mereka pasti tidak puas terhadapmu." Nada suara Ci Siong tojin menjadi berat. "Tapi kau jangan terlalu mengalah. Apabila ada hal yang kurang beres, kau harus berani menantang. "Tecu mengerti," Sahut Pek Ciok dengan kepala tertunduk. "Keluarlah," Kata Ci Siong sambil mengulapkan tangannya. Pek Ciok mengundurkan diri. Sampai di depan pintu dia berpesan kepada empat orang tosu yang baru datang. "Selama Suhu menutup diri menyembuhkan luka, kalian harus menungguinya. Jangan teledor. Setiap kali menjaga dua orang saja, bergantian siang dan malam. Jangan sekali-kali meninggalkan tempat ini." 313 Empat orang tosu itu mengiakan sambil merangkapkan sepasang tangannya dan menjura dalam-dalam. ***** Menjelang tengah hari, dahan dan daun pohon-pohon baru tersiram oleh air hujan. Tampak lebih segar. Tanah masih belum kering. Beberapa lembar daun masih menggenang air. Pek Ciok memutar satu kali di depan ruang rahasia di mana Ci Siong tojin sedang menutup diri. Dia bermaksud menuju ruang pendopo. Namun belum lagi dia sampai ke tempat tujuannya, terdengar kumandang suara lonceng. "Toa-suheng, suara lonceng ini ...?" Tanya salah satu murid yang kebetulan ada di dekatnya dengan wajah keheranan. "Hm ... suara lonceng tanda bahaya. Berarti ada orang yang menerjang ke atas gunung. Mari kita tinjau ke kaki guntung," Sahut Pek Ciok langsung berkelebat mendahului. Baru mencapai ruangan pendopo, terlihat salah seorang murid Bu-tong lari mendatangi dengan napas tersengal-sengal. Begitu melihat Pek Ciok, langkah kakinya dipercepat. "Toa-suheng ...!" Teriaknya. "Siapa yang menerjang ke atas gunung? "Orang-orang Bu-ti-bun," Sahut murid itu panik. "Mereka masih berada di bawah. Salah satunya yang pernah datang mengantarkan surat tantangan, Kongsun Hong, murid Tok-ku Bu-ti sendiri. Sedangkan yang satunya lagi mengaku sebagai putri Tok-ku Bu-ti, Tok-ku Hong." 314 Pek Ciok mengerutkan keningnya. "Hanya dua orang?" Tanyanya. "Betul, dua orang." "Entah apa maksud kedatangannya kali ini? "Gi-song susiok sudah mengutus orang mengadangnya di bawah." Kening Pek Ciok semakin mengerut. Tepat pada saat itu, Fu Giok-su, Cia Peng, Yo Hong, Kim Ciok dan Giok Ciok juga sudah berdatangan. "Perlukah kita memberitahu suhu masalah ini?" Tanya Fu Giok- su panik. "Suhu sedang menutup diri menyembuhkan luka. Kalau tidak terlalu genting, jangan mengganggu dia orang tua." Pek Ciok mengedarkan matanya. "Cuwi sute, mari kita ke sana!" Semua mengangguk mengiakan. Beramai-ramai mereka mengikuti Pek Ciok yang sudah melesat pergi. ***** Di bawah cahaya matahari, batu besar tempat menyimpan pedang bagi para tamu yang akan mengunjungi Bu-tong-pai masih berdiri tegak. Namun di bawahnya telah tergeletak beberapa murid partai itu sendiri. Terlihat luka di bahu orang- orang itu. Senjata mereka pun terlepas dari tangan masing- masing dan berserakan di sekitarnya. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kongsun Hong dan Tok-ku Hong terus menerjang ke depan. 315 Tok-ku Hong menggunakan dua bilah golok sebagai senjata. Sedangkan Kongsun Hong telah mengganti senjatanya dengan Jit-goat-lun (senjata yang bentuknya seperti roda namun bergerigi dan selalu terdiri dari sepasang). Tujuh orang tosu mengadang di depan mereka. Semuanya tidak bergerak. Gi-song membawa belasan muridnya menyusul tiba. Dari jauh dia sudah berteriak. "Siapa orangnya yang demikian berani mencoba menerobos ke atas gunung?" Sinar mata Tok-ku Hong berputaran. "Suheng, siapa dia?" "Gi-song dari Bu-tong-pai," Sahut Gi-song sendiri. Dia langsung maju ke depan. Melihat Kongsun Hong, dia tertawa terbahak-bahak. "Lagi-lagi engkau. Ada apa? Apakah kau tidak memiliki pedang yang lain sehingga datang ke Bu-tong- san untuk mengambil pedangmu?" Kongsun Hong marah sekali. "Masih ada hubungan apa kau dengan Ci Siong tojin?" Tanya Tok-ku Hong. "Ciangbun-suheng sedang menutup diri. Ada urusan apa-apa yang bersangkutan dengan Bu-tong-pai akulah yang bertanggung jawab," Sahut Gi-song sesumbar. Kongsun Hong mengangkat Jit-goat-lun-nya. "Kalau begitu, biar kubunuh dulu dirimu!" Gi-song terkejut sekali. "Kau adalah pecundang Ciangbun-suhengku, aku tidak akan 316 bergebrak denganmu!" Sahutnya panik. Dia merandek sejenak, kemudian lagi. "Suruh perempuan itu kemari untuk menerima kematian!" Tok-ku Hong marah sekali, sepasang goloknya digetarkan. Setelah berteriak lantang, dia menikam ke depan. Kedua bilah goloknya meluncur secepat kilat, menimbulkan bayangan bagai rangkaian bunga. Gi-song terkejut sekali. Pedangnya segera dihunus. Dia melancarkan sebuah serangan. Sekali bergerak, jurus yang dimainkannya langsung berubah-ubah. "Ting! Ting! Tang! Tang!", senjata kedua orang itu beradu. Tubuh Tok-ku Hong mengikuti gerakan goloknya, sedangkan goloknya sendiri bertindak sebagai perisai. Suaranya menderu-deru bagai angin topan. Gi-song menyambut beberapa jurus sekaligus. Tanpa sadar hatinya bergetar. Setelah menyambut lagi beberapa jurus, dia mulai mempunyai perhitungan. Meskipun ilmu silatnya tidak dapat menandingi Ci Siong tojin, tapi dia mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup luas. Begitu melihat keadaannya yang tidak menguntungkan, dia segera memikirkan jalan keluar. Gi-song menerima lagi tiga kali serangan Tok-ku Hong, kemudian dia mencelat mundur sejauh tiga langkah, lalu berseru. "Berhenti!" Tok-ku Hong terpana. Sejenak kemudian dia tertawa dingin. "Hm! Tidak berani bertarung lagi?" Sindirnya tajam. "Memangnya apa kedudukan pinto ... siapa yang sudi bertarung dengan kaum wanita?" Sahut Gi-song tenang. 317 "Paling tidak wanita yang satu ini sanggup mengalahkanmu!" Bentak Tok-ku Hong sambil menerjang ke depan. Gi-song mundur lagi tiga langkah. Tok-ku Hong mengejar ketat. Para murid Gi-song segera maju ke depan mengadang. Kongsun Hong sudah bersiap-siap sejak tadi. Tubuhnya segera mencelat, sepasang Jit-goat ditanganny bergerak. Dia menghalau pedang-pedang yang mencoba menghalangi Tok- ku Hong. Tiba-tiba terdengar sebuah suara menggelegar. "Tahan!" Seiring dengan suara itu, tubuh Pek Ciok mendarat di tengah arena. Dia membalikkan tubuhnya dan menatap Tok-ku Hong dan Kongsun Hong lekat-lekat. "Liong-wi sicu, ada urusan kita bicarakan baik-baik!" Kongsun Hong melirik Pek Ciok sekilas. Dia tertawa dingin. "Kita jumpa lagi," Katanya datar. "Rupanya Kongsun-heng." "Aku juga tidak lupa. Kau adalah Pek Ciok. Murid pertama Ci Siong tojin!" "Maksud Sicu menerobos gunung kali ini ...?" "Meminta orang kepada Bu-tong-pai!" Sahut Kongsun Hong sambil mengulurkan tangannya. "Siapa?" Tanya Pek Ciok merasa di luar dugaan. "Kuan Tiong-liu!" 318 Jawaban itu semakin di luar dugaan Pek Ciok. Tepat pada saat itu, Kuan Tiong-liu di ringi Liok An dan Jit Po melangkah keluar dari rumpunan pohon. "Siapa yang menginginkan aku?" Tanyanya lantang. Sinar mata Kongsun Hong mengedar. "Teryata memang engkau ...!" "Hai! Apakah kau benar-benar Kuan Tiong-liu yang satu itu?" Bentak Tok-ku Hong meminta penegasan. "Tidak salah!" Kuan Tiong-liu tertawa dingin. "Entah apa maksud kalia mencariku?" "Aku ingin bertanya kepadamu. Mengapa kau harus membunuh semua anggota cabang tiga belas Bu-ti-bun?" "Asal mula persoalan ini, Liong-wi pasti tahu jelas," Sahut Kuan Tiong-liu sambil menengadahkan wajahnya ke atas. Tok-ku Hong menoleh kepada Kongsun Hong. "Suheng ..." "Aku hanya menginginkan utang darah bayar darah dari cabang tiga belas kalian." "Membunuh habis-habisan. Apakah kau tidak merasa cara turun tanganmu itu terlalu keji?" "Tidak perlu ragu kalau yang dibunuh itu komplotan iblis," Sahut Kuan Tiong-liu senang. 319 "Utang piutang ini, Bu-ti-bun akan memperhitungkannya sampai tuntas!" Kata Kongsun Hong sambil menuding Kuan Tiong-liu dengan sepasang Jit-goat-lun di tangannya. "Seorang yang berbuat, seorang yang bertanggung jawab, kalian jangan menimbulkan kesulitan bagi orang-orang Bu- tong-pai!" Sahut Kuan Tiong-liu dengan gaya angkuh. Kongsun Hong menatap Kuan Tiong-liu lekat-lekat. "Baik! Aku lihat kau juga termasuk seorang laki-laki sejati. Kau sendiri yang memutuskan!" Kuan Tiong-liu tertawa terbahak-bahak. "Hanya mengandalkan kalian berdua berani bergebrak dengan aku?" Kongsun Hong dan Tok-ku Hong marah sekali. "Sebentar lagi aku akan meringkus kalian berdua. Setelah itu baru mencari Tok-ku Bu-ti untuk menjelaskan masalahnya," Kata Kuan Tiong-liu kembali. "Kurang ajar!" Bentak Tok-ku Hong. Tangannya masing- masing menggenggam sebilah golok. Dia segera menerjang ke depan. Pek Ciok segera membentangkan tangannya menghalangi. "Tunggu dulu!" Dia menghadap kepada Kuan Tiong-liu. "Sicu sekarang adalah tamu agung Bu-tong-pai, sekarang pun masih berada di wilayah Bu-tong-san. Masalah ini harus diselesaikan oleh Bu-tong-pai," Katanya. Pek Ciok beralih kepada Kongsun Hong dan Tok-ku Hong. 320 Wajah dan suaranya sangat berwibawa. "Kalian berani mengacau di Bu-tong-san. Apakah kalian mengira Bu-tong-pai sudah tidak ada orang lagi?" Tok-ku Hong tertawa dingin. "Ci Siong tojin terluka parah di tangan ayahku, sampai sekarang tentu belum sembuh. Masih ada siapa lagi di Bu-tong-pai yang dapat diandalkan?" Tanyanya sinis. "Masih ada kami!" Sahut Pek Ciok garang. "Kalian?" Kongsun Hong tertawa terbahak-bahak. "Siapa yang tidak memandang sebelah mata kepada kalian?" Para murid Bu-tong menyorotkan sinar kemarahan di mata mereka. Wajah Pek Ciok sendiri tetap tidak berubah. Dengan tenang dia membalikkan tubuhnya. "Siapkan barisan pedang!" Perintahnya. Tujuh orang tosu segera mengiakan. Mereka membentuk barisan Jit-sing-kiam-ceng. "Jit-sing-kiam-ceng ... sudah lama aku memang ingin mengenalnya," Kata Kongsun Hong sambil mengerlingkan matanya. "Pada saat itu, Ciangbun-suheng menurunkan perintah. Anggap saja kau sedang beruntung," Tukas Gi-song masih sok seperti biasanya, Kongsun Hong tetap tertawa lebar menanggapi kata-kata itu. Gi-song ikut tertawa. "Kalau kalian bisa menerobos keluar dari Jit-sing-kiam-ceng, kami akan menyerahkan orang yang kau 321 hendaki," Katanya kemudian. "Apakah kau berhak memberikan keputusan?" Sinar mata Kongsun Hong semakin dingin. Gi-song menepuk dadanya sendiri. Pek Ciok segera menghampirinya. "Susiok ..." "Selamanya tidak ada orang yang sanggup menerobos Jit- sing-kiam-ceng. Apa yang kau takuti? Setujui saja perjanjian itu!" Tukas Gi-song yakin. Kongsun Hong mengalihkan matanya kepada Tok-ku Hong. "Baik! Mari kita pecahkan barisan Jit-sing-kiam-ceng dari Bu- tong-pai ini," Kata Tok-ku Hong. "Bagaimana kalau kalian tidak berhasil menerobosnya?" Tanya Gi-song. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kami akan menarik kembali permintaan kami," Sahut Tok-ku Hong. "Sumoay ... jangan memandang ringan mereka," Kata Kongsun Hong dengan suara berbisik. Tok-ku Hong tergetar juga hatinya, namun dia tidak memperlihatkannya sama sekali. "Apa sih kehebatan ketujuh orang tosu ini?" Sahutnya sambil menggetarkan kedua pergelangan tangannya. Sepasang goloknya berputaran bagai rangkaian bunga. 322 Tubuh tujuh orang tosu itu bergerak serentak. Mereka membentuk lingkaran dan mengurung Kongsun Hong di tengah. "Trang! Trang! Trang", tujuh batang pedang telah dihunus. Sinar dingin memencar. Kongsun Hong berteriak lantang. Jit-goat-lun berputar. Dia mendahului ke depan menerjang. Terdengar suara angin menderu yang diterbitkan ketujuh batang pedang tadi. Cahaya Jit-goat-lun bagai salju beterbangan, berkombinasi dengan sinar pedang. Suara benturan senjata saling susul- menyusul. Jit-goat-lun memang merupakan senjata langka. Hanya perguruan tertentu yang menurunkan ilmu silat dengan menggunakan senjata jenis ini. Pedang dan golok biasanya mudah terkait senjata ini. Namun meskipun Kongsun Hong sudah berusaha beberapa kali, tujuh batang pedang yang dimainkan para tosu Bu-tong-pai itu sama sekali tidak berhasil terkait oleh gerigi senjatanya. Tujuh orang tosu itu bergantian menerima serangan Jit-goat- lun Kongsun Hong, kemudian beralih menyambut serangan golok Tok-ku Hong. Golok dan Jit-goat-lun berhenti, pedang tujuh orang tosu itu juga berhenti. Golok dan jit-goat-lun menyerang, pedang mereka bergantian menyambut. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong mengerahkan berbagai jurus andalan mereka. Beberapa kali berturut-turut mereka menerjang, tapi tetap saja terkurung di dalam barisan. Bayangan tubuh kedua orang itu saling berkelebat. Tok-ku Hong merasa penasaran. "Bagaimana bisa begini? Di depan mata terang-terangan hanya tampak satu orang, tapi dalam sekejap mata ada tujuh batang pedang yang menghalanginya," Katanya heran. 323 "Jit-sing-kiam-ceng ini merupakan ilmu pusaka Bu-tong-pai. Kalau begitu mudah dipecahkan, mana mungkin namanya begitu terkenal?" Sahut Kongsun Hong gugup. "Aku tidak percaya barisan ini dapat mengurung kita," Mata Tok-ku Hong bersinar tajam. "Suheng, kita berpencar dari belakang dan depan lalu membuka jalan darah untuk menerjang keluar," Katanya. Kongsun Hong menganggukkan kepalanya. Tubuh mereka segera bergerak, satu di depan dan satu lagi di belakang. Mereka menerjang dengan kalap. Jit-goat-lun diputar sekuat tenaga, golok Tok-ku Hong menari-nari. "Trang! Trang!", suara benturan senjata memekakkan telinga. Cahaya berpijar, berkelebat-kelebat menutupi tubuh mereka, kemudian memudar kembali. Ternyata Kongsun Hong dan Tok-ku Hong terdesak mundur dan kembali ke tempatnya semula. Tubuh ketujuh tosu itu masih berputaran. "Bu-liang-sou-hud!" Puji mereka serentak. Tok-ku Hong mendengus kesal. Wajah Kongsun Hong berubah menghijau. Tubuh tujuh orang tosu setengah baya itu berputar sekali lagi kemudian memancar, namun tetap membentur lingkaran. Tujuh batang pedang tegak lurus di depan dada. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong tidak bergerak. Mereka masih mencari akal untuk menerobos barisan itu. Tujuh orang tosu juga tidak menyerang. Hawa pedang semakin menebal. 324 ***** Di dalam ruang rahasia.... Asap pedupaan mengepul. Suasananya demikian tenang. Obat Kiu-coan-kim-tan mulai bereaksi. Ci Siong tojin duduk bersila di atas tempat tidur. Dia sudah masuk dalam keadaan lupa diri. Meski ada apa pun yang terjadi di luar ruang rahasia tersebut, dia sama sekali tidak tahu lagi. Kenyataannya, apabila ada seseorang yang masuk ke dalam kamar itu, kecuali jiwanya sudah terancam bahaya, kalau tidak dia pasti tidak menyadarinya. Pintu ruangan rahasia i u setebal tiga cun. Apabila hendak mendobrak pintu tersebut, tentu bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak khawatir. ***** Pedang berkelebat tanpa henti. Berhasil melepaskan diri dari perangkap pedang yang pertama, perangkap kedua sudah di depan mata. Kendala berupa pedang itu susul menyusul bergantian mengurung Kongsun Hong dan Tok-ku Hong. Meskipun mereka mulai menyadari apabila berdiri tidak bergerak, pedang-pedang tidak akan melukai mereka. Namun mereka tetap tidak berhasil menerobos barisan tersebut. Para murid Bu-tong-pai sudah berkumpul di tempat itu. Mereka menonton dari luar barisan. Hati mereka tegang sekali. Cang- songlah yang paling khawatir. Melihat kedua orang lawan berhasil menghindari setiap gerakan pedang, hatinya semakin 325 kebat-kebit. Tiba-tiba dia melihat Lun Wan-ji yang berdiri di ujung. Pikirannya segera tergerak. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri gadis itu. "Wan-ji ..." Lun Wan-ji menatapnya dengan heran. "Ada apa?" Tanyanya. "Kedua orang Bu-ti-bun itu tampaknya berilmu tinggi. Kalau diteruskan, mungkin mereka akan berhasil menerobos barisan Jit-sing-kiam-ceng," Kata Cang-song panik. "Kata Gi-song susiok tidak mungkin," Sahut Lun Wan-ji. "Dia tahu apa?" Cang-song mengecilkan suaranya. "Aku rasa sebaiknya kau undang suhumu ke sini." "Ini ...." Lun Wan-ji tampaknya keberatan. "Paling tidak kau harus melaporkan keadaan di sini, lihat bagaimana reaksinya nanti," Kata Cang-song kembali. "Boleh juga," Sahut Lun Wan-ji setelah berpikir sejenak. Kemudian dia ngeloyor pergi. ***** Ternyata Yan Cong-tian sama sekali tidak kelihatan panik. Dia menunggu Lun Wan-ji menyelesaikan ceritanya. "Kau tidak perlu khawatir. Jit-sing-kiam-ceng terdiri dari empat puluh sembilan jurus. Dua puluh delapan jurus sebenarnya hanya tipuan berupa serangan ataupun tangkisan, sedangkan 326 dua puluh satu jurus lainnya baru mematikan," Katanya menjelaskan. "Tapi sekarang ." "Mereka pasti tidak akan berhasil menerobosnya," Kata Yan Cong-tian yakin. "Dulu guru dari Tok-ku Bu-ti, Sia-hou-tian- cong pernah terkurung dalam barisan yang sama. Setelah tiga hari tiga malam, baru menerjang keluar dengan paksa. Yang datang sekarang hanya dua orang murid Tok-ku Bu-ti, bagaimana mungkin mereka bisa memecahkan barisan ini?" Lun Wan-ji tampaknya masih ragu-ragu. "Apakah ucapan gurumu sendiri sudah tidak kau percayai lagi?" Tanya Yan Cong-tian kurang senang. "Tecu tidak berani," Lun Wan-ji memang tidak berani mengatakan apa-apa lagi. "Urusan kecil semacam ini saja, buat apa kalang kabut," Yan Cong-tian mengulapkan tangannya. "Lebih baik kau kembali ke sana untuk menonton keramaian," Katanya. Lun Wan-ji hanya dapat menganggukkan kepalanya. ***** Pada saat itu, keadaan barisan Jit-sing-kiam-ceng memang sedang seru-serunya. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong berusaha menerjang belasan kali, namun mereka tetap terkurung di dalamnya. 327 Akhirnya mereka berhenti menerjang. Setidaknya pengalaman Kongsun Heng di dalam dunia kangouw sudah cukup luas. "Sumoay, tampaknya mereka sengaja menguras habis tenaga kita," Katanya. Tok-ku Hong tidak menyahut. "Lebih baik kita berhenti dulu. Perhatikan baik-baik perubahan gerakan mereka, nanti kita pikirkan akal lain untuk menerjang keluar," Lanjut Kongsun Hong. Tok-ku Hong mengangguk tanpa menyahut. Tujuh orang tosu itu juga berhenti bergerak. Pedang tegak lurus di depan tiada mereka. ***** Malam semakin kelam. Para murid Bu-tong sudah menyalakan api unggun. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong masih terkurung di dalam barisan. Mereka menerjang lalu berhenti. Setelah itu menerjang kembali. Sampai sekarang sudah merupakan yang ketujuh kalinya. Tapi bagaimanapun, mereka tetap tidak berhasil menemukan kelemahan barisan tersebut. Juga tetap tidak berhasil menerobos keluar. Pakaian Kongsun Hong sudah basah kuyup oleh keringat. Dia duduk di tengah barisan, Tok-ku Hong duduk membelakanginya. Posisi mereka berlawanan. Rambut gadis itu sudah berantakan. Tujuh orang tosu ikut duduk. Posisi mereka masih sama seperti tadi. Membentuk lingkaran. Pedang tergeletak di 328 pangkuan. Mata mereka menatap kedua orang lawan lekat- lekat. Angin masih bertiup. Api unggun menari-nari. Sembilan orang itu duduk tanpa bergerak sedikit pun. ***** Cahaya api tidak dapat mencapai pepohonan di atas gunung. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Namun dari ketinggian di atas sana, barisan Jit-sing-kiam- ceng malah terlihat jelas. Di antara dedaunan yang lebat, tersembul kepala seseorang. Ternyata dia adalah Ciangbunjin Bu-tong-pai, Ci Siong tojin adanya. Kening tosu tua itu terpaut ketat. Tampaknya ada sesuatu yang dipikirkan olehnya. Sebetulnya dia dapat terang-terangan berdiri di depan barisan dan memberi petunjuk kepada para muridnya. Namun dia justru bersembunyi di antara dedaunan yang lebat di atas sebatang pohon. Sebetulnya apa yang terlintas di benaknya saat ini? ***** Tanpa dapat menahan diri lagi, akhirnya Tok-ku Hong bangkit berdiri. Di wajahnya masih tersirat keangkuhan hatinya. Kongsun Hong segera ikut berdiri. "Sumoay ...." Panggilnya. "Suheng, aku tetap tidak percaya kita tidak sanggup memecahkan barisan ini," Katanya kesal. "Lebih baik kita menghemat tenaga. Barisan Jit-sing-kiam- ceng ini mempunyai perubahan yang tidak terduga. Kita sama sekali tidak dapat melihat titik kelemahannya," Sahut Kongsun 329 Hong menasihati. "Maksudmu ...." "Tidak perlu mencari tahu titik kelemahannya. Pergunakan segala cara untuk menerobos barisan ini dan meninggalkan Bu-tong-san untuk sementara," Kata Kongsun Hong lirih. "Boleh juga," Tok-ku Hong setuju. Sepasang goloknya segera digerakkan. Tujuh batang pedang menimbulkan cahaya serentak. Tujuh orang tosu sudah berdiri tegak. Mereka menunggu kedua orang itu mulai menyerang. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong berteriak nyaring. Bersama-sama mereka menerjang. Tapi kaki mereka baru maju tiga langkah, serta merta terdesak mundur kembali. Merek membalikkan tubuh dan menyerang arah yang berlawanan. Tujuh orang tosu itu tenang-tenang saja. Pedang bergerak serentak, hawa dingin menerpa lalu meluncur ke depan. Tok- ku Hong tidak sempat menghindar. Sebuah pedang berkelebat menyayat pahanya. Dengan marah dia terus menyerang. Tidak peduli rasa sakit yang mulai terasa. Kongsun Hong dengan Jit-goat-lunnya mengadang di depan dengan gugup. Suara benturan senjata langsung berkumandang. Kedua orang itu terdesak lagi. Tok-ku Hong semakin penasaran. Wajah Kongsun Hong semakin kelam. Dia nekat mengadang di depan Tok-ku Hong. "Sumoay ... kita tidak boleh menguras tenaga lagi," Katanya. Tok-ku Hong mendengus dingin. 330 "Kalau begini terus, rasanya kita tidak kuat sampai hari terang." "Memangnya kenapa kalau hari sudah terang?" Kongsun Hong hanya tertawa getir. Gi-song yang berada di luar barisan menggunakan kesempatan itu untuk menyindirnya. "Kongsun Tongcu, mengapa tidak menyerang lagi?" Kongsun Hong mendelik kepadanya dengan sorot kemarahan. "Tok-ku Siocia, mengapa masih belum berhasil juga memecahkan barisan Jit-sing-kiam-ceng kami?" Tok-ku Hong menggertakkan giginya dengan benci, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. "Kalian terlalu banyak berbuat kejahatan. Jit-sing-kiam-ceng adalah alat untuk menghukum mati kalian," Kata Gi-song selanjutnya. "Namun kalian boleh berlega hati menuju perjalanan neraka. Murid Bu-tong pasti akan mengadakan upacara sembahyang yang meriah," Sambung Cang-song tak mau kalah. Para murid Bu-tong segera tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan itu. Mata Tok-ku Hong beredar. Wajahnya kaku sekali. "Kalian juga tidak perlu terlalu bangga. Kalau malam ini aku, Tok-ku Hong mati oleh barisan Jit-sing-kiam-ceng, ayahku 331 pasti akan membawa seluruh anak buahnya naik ke atas Bu- tong-san. Pada saat itu kalian juga belum tentu dapat hidup lebih lama," Sahutnya. Gi-song langsung tertegun. Tanpa sadar para murid Bu-tong juga mengusap keringat dingin yang membasahi di kening mereka seketika. Mereka semua terdiam dan tidak berani mengatakan apa-apa lagi. "Kedua orang ini, yang satu adalah putri tunggal Tok-ku Bu-ti, sedangkan yang satunya adalah murid kesayangannya. Seandainya mereka mati di sini, Tok-ku Bu-ti pasti tidak mau menyudahinya begitu saja," Kata Gi-song dengan suara lirih. "Siapa tahu belum sampai batas waktu dua tahun, dia akan membumihanguskan Bu-tong-pai," Sahut Cang-song. Gi-song menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Cepat suruh mereka berhenti," Kata Cang-song kembali. Gi-song tertawa getir. "Kau telah melupakan sesuatu, barisan Jit-sing-kiam-ceng ini tidak boleh dihentikan lagi setelah lewat tujuh jurus. Kalau tidak, kedua pihak sama-sama celaka." "Ini ... sudah pasti ada yang mati." "Maksudmu ... mereka?" "Maksudku ... pihak kita." ***** 332 "Apa akibatnya kalau kedua orang Bu-ti-bun itu mati oleh Jit- sing-kiam-ceng?" Yang mengajukan pertanyaan ini justru manusia berpakaian hitam. Di hadapannya berdiri Wan Fei-yang. Seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Dia baru selesai berlatih. Di sekitar mereka sepi sekali. Cahaya api di tengah pegunungan tidak akan memancar sampai tempat ini. Suara mereka yang ada di sana pun tidak mungkin terdengar sampai di sini. Jaraknya terlalu jauh. Dan Wan Fei-yang merasa heran mengapa suhunya tiba-tiba bertanya demikian. "Bu-tong-pai dan Bu-ti-bun adalah musuh bebuyutan. Pihak mana pun ada yang mati, sebetulnya tidak banyak pengaruh. Namun kedudukan kedua orang ini tidak dapat disamakan. Seandainya mereka mati di dalam barisan Jit-sing-kiam-ceng, Tok-ku Bu-ti pasti akan membalas dendam habis-habisan," Sahutnya. "Tidak salah!" Kata manusia berpakaian hitam tenang. "Kemungkinan besar Tok-ku Bu-ti akan memajukan tanggal perjanjiannya." "Para murid Bu-tong-pai juga mempunyai pikiran yang sama," Sahut Wan Fei-yang. "Kalau ditilik dari keadaan Bu-tong-pai sekarang ini, kekuatannya masih belum dapat menandingi Bu-ti-bun. Apalagi anggota Bu-ti-bun begitu banyak. Bisa jadi Bu-tong disapu bersih dan tidak bisa berdiri lagi." Kening Wan Fei-yang berkerut erat-erat. "Sayang sekali ilmu 333 silatku belum cukup tinggi, lagi pula aku tidak bisa menampilkan muka di depan mereka," Sahutnya. Manusia berpakaian hitam hanya memandangi Wan Fei-yang lekat- lekat. "Bagaimana pun aku ini dibesarkan di Bu-tong-san, begitu ada masalah, masa aku hanya berdiam diri. Hatiku sungguh tidak tenang, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kadang- kadang aku merasa aku benar-benar tidak berguna," Kata Wan Fei-yang kembali. "Siapa bilang?" Nada suara manusia berpakaian hitam berubah menjadi berat. "Fei-yang, sebetulnya ini merupakan kesempatan bagus bagimu untuk membantu Bu-tong-pai." "Eh?" Wajah Wan Fei-yang menyiratkan perasaan heran. "Kalau kau pandai menutup diri lalu memecahkan barisan Jit- sing-kiam-ceng, maka kedua orang itu bisa keluar dan sama artinya kau sudah menolong Bu-tong-pai." "Mengapa aku harus menolong orang-orang Bu-ti-bun?" Desak Wan Fei-yang. "Kalau tidak ingin jatuh korban, satu-satunya jalan hanya demikian," Kata manusia berpakaian hitam itu tenang. "Tidak salah ...." "Lagi pula, ini merupakan kesempatan bagimu untuk menguji ilmu silatmu sendiri." 334 Mendengar ucapan itu, semangat Wan Fei-yang terbangkit seketika. "Baik, aku pergi!" "Ingat! Melihat ilmu kedua orang Bu-ti-bun itu, sampai jurus empat puluh mereka pasti akan mati dengan tubuh hancur oleh barisan Jit-sing-kiam-ceng, maka kau harus mencegah jangan sampai hal itu terjadi. Tepat sebelum jurus keempat puluh dilancarkan, kau sudah harus bergerak. Dan kau juga harus mengantarkan kedua orang Bu-ti-bun itu meninggalkan Bu-tong-san," Kata si manusia berpakaian hitam menjelaskan. "Ini ...." "Mereka sudah terluka. Kita tidak yakin kalau tidak ada orang yang akan menggunakan kesempatan tersebut mencelakai mereka. Kita harus menjaga segala kemungkinan." "Betul juga ...." Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Sekarang ... aku akan mengajarkan caranya memecahkan barisan Jit-sing-kiam-cengl" Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan pandangan penasaran Wan Fei-yang menatap manusia berpakaian hitam. Pengetahuan gurunya ini sungguh luas. Benar-benar di luar dugaannya. Manusia berpakaian hitam itu sama sekali tidak mempedulikan tatapan Wan Fei- yang itu. Dengan sembarangan dia memungut tujuh butir batu kerikil berwarna putih dan dua butir batu berwarna hitam. Dia menyusunnya di atas selembar kain. Kedudukannya persis barisan Jit-sing-kiam-ceng. Kedua butir batu hitam tadi terkurung di tengah. 335 "Jit-sing-kiam-ceng juga disebut Tian-cik-kiam-ceng (barisan pedang penggetar langit). Sebetulnya barisan ini diciptakan menurut posisi bintang tujuh di langit. Dan kemudian dikombinasikan dengan perubahan im dan yang." Mata Wan Fei-yang memperhatikan batu-batu itu dengan seksama. "Ketujuh bintang ini sebenarnya mempunyai nama masing- masing. Setiap titiknya mempunyai fungsi dan tugas tersendiri. Kita tidak boleh terkecoh olehnya. Pusatkan perhatian pada yang tengah. Karena posisi inilah yang paling penting dan mematikan." Wan Fei-yang semakin kagum kepada gurunya. Dia tidak berani ayal dan berpikir pada hal yang lain. "Seluruhnya berjumlah empat puluh sembilan jurus. Banyak yang menyangka bahwa mulai jurus ketujuh, barisan ini tidak bisa dihentikan lagi. Sebetulnya bukan demikian, asal kita tahu cara kerjanya. Malah mulai jurus kedua puluh satulah barisan itu baru benar-benar membahayakan ...." Sambil menjelaskan, manusia berpakaian hitam itu menggerakkan batu-batu di atas kain itu. Tampaknya dia paham sekali mengenai barisan Jit- sing-kiam-ceng ini. Siapa sebetulnya dia? Mengapa dia harus bersembunyi di Bu- tong-san? Apakah dia juga bertujuan mencuri ilmu Bu-tong-pai seperti makhluk aneh yang terkurung dalam telaga dingin? ***** Cahaya keemasan mulai muncul, ayam jantan sudah 336 berkokok. Wan Fei-yang mengenakan setelan pakaian berwarna hitam dan menggunakan sehelai kain untuk menutupi wajahnya. Yang tersembul hanya sepasang matanya saja. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebatang pedang dari kolong tempat tidur dan berkelebat melalui jendela. Di luar tidak ada orang, dia memperhatikan sejenak, kemudian melayang pergi dengan tergesa-gesa. ***** Bumi mulai dihiasi cahaya terang. Meskipun api unggun belum padam, namun sinarnya sudah tidak kentara lagi. Tidak ada yang mempedulikan api unggun tersebut. Mata mereka semua terpusat pada barisan Jit-sing-kiam-ceng. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong masih terkurung di dalam barisan. Tampang mereka sudah tidak karuan. Mereka pasti sudah lelah sekali. Demikian juga ketujuh orang tosu tersebut. Ketujuh orang tosu itu sudah terluka, namun luka yang diderita Tok-ku Hong dan Kongsun Hong jauh lebih parah. Seandainya bertarung satu lawan satu, tidak ada seorang pun dari tosu itu yang dapat mengalahkan salah satu dari kedua murid Bu-ti-bun tersebut. Dan apabila mereka mengeroyok Tok-ku Hong dan Kongsun Hong bertujuh sekaligus tanpa membentuk barisan Jit-sing-kiam-ceng, mereka juga bukan tandingan kedua orang Bu-ti-bun itu. Namun begitu membentuk Jit-sing-kiam-ceng, tenaga tujuh orang tosu itu segera tergabung. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong bukan lagi tandingan mereka. Bahkan mereka berdua 337 juga tidak berhasil menemukan titik kelemahan barisan itu. Oleh karenanya, mereka tetap terkurung sampai saat ini. Sedangkan pengepungan barisan Jit-sing-kiam-ceng semakin lama semakin hebat. Jilid 8 Matahari timbul di ufuk timur. Cahayanya menyinari dari puncak pegunungan. Tujuh orang tosu itu kini sudah berganti posisi, bergerak terus tanpa henti. Sinar matahari menyoroti pedang mereka. Cahayanya berkilauan. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong merasakan bayangan manusia dan pedang berkelebatan. Mereka tidak dapat lagi melihat jelas posisi ketujuh orang tosu tersebut, mata mulai berkunang-kunang. Tepat pada saat itu, dari atas sebatang pohon berjarak tiga depa muncul Wan Fei-yang yang mengenakan pakaian hitam dan menutu[I wajahnya dengan kain hitam pula. Sepasang matanya yang tersembul memperlihatkan ketegangan hatinya. Dadanya berdebar-debaar, tangan menggenggam pedang erat-erat menonjolkan urat berwarna kehijauan. Pek Ciok yang berada di luar barisan tersebut juga tegang sekali. Dia menarik napas dalam-dalam. Dan tiba-tiba berseru. "Yin-ho-lim-heng (sungai jernih meneguk kebencian)!" Tujuh orang tosu itu bergerak cepat, tujuh batang pedang diputar ke atas. Tampak tujuh gulungan cahaya memijar. "Hati-hati!" Teriak Kongsun Hong. Jit-guat-lun tergenggam di 338 kedua tangan dan mengadang di depan Tok-ku Hong. Wan Fei-yang segera menghunus pedangnya. Tubuhnya melesat ke depan. Tepat pada saat itu pula terdengar bentakan yang memekakkan telinga. "Berhenti!" Tanpa sadar Wan Fei-yang menghentikan gerakan kakinya. Tujuh orang tosu itu juga berhenti bergerak. Cahaya pedang perlahan memudar. Tok-ku Hong dan Kongsun Hong saling pandang sekilas. Wajah mereka menyiratkan perasaan tidak mengerti. Orang lainnya juga sama. Serentak mereka menolehkan kepala. Ci Siong tojin berdiri di atas sebuah batu besar. Angin yang bertiup melambai-lambaikan lengan bajunya. Tubuhnya bagai akan terbang tertiup angin. "Bubarkan barisan. Lepaskan mereka yang datang dan biarkan mereka turun gunung!" Bentaknya menggelegar memekakkan telinga. Wajah setiap orang menampilkan perasaan kebingungan. Wan Fei-yang hampir tidak dapat menahan dirinya dan ingin berteriak sekeras mungkin. Cang-song langsung mengelus jenggotnya sendiri. "Biarkan mereka turun gunung?" Tanyanya penasaran. "Melepaskan harimau pulang ke kandang, kelak pasti menimbulkan masalah!" Teriak Gi-song kesal. Wajah Ci Siong tojin sedingin es. Dia mengibaskan lengan bajunya. Sekali melesat, tubuhnya hilang dari pandangan 339 mata bagaikan para dewa di kayangan. Kongsun Hong dan Tok-ku Hong tidak ingin membuang waktu. Mereka menggunakan kesempatan ini untuk menerobos keluar dari barisan Jit-sing-kiam-ceng. Tujuh orang tosu tersebut hanya memandangi mereka dengan mata mendelik. Kongsun Hong menarik tangan Tok-ku Hong dan menyeretnya meninggalkan tempat itu. "Cepat pergi!" Katanya. Para murid Bu-tong yang berkumpul di luar barisan semuanya tidak puas melihat keadaan itu, namun mereka tidak berani mengambil tindakan apa-apa. Mereka terpaksa memberi jalan kepada kedua orang itu. Gi-song dan Cang-song hampir muntah darah karena jengkelnya. "Mari kita naik ke atas dan minta penjelasan!" Teriaknya mengajak. Dia mendahului mereka melesat ke atas. Sedangkan para murid Bu-tong lainnya terpaksa mengikuti di belakang. ***** Suara lonceng berbunyi. Di dalam ruangan pendopo sunyi mencekam. Yang terdengar hanya kumandang suara lonceng. Selain itu tidak terdengar lagi suara lainnya. Seluruh murid Bu-tong berkumpul di dalam ruangan tersebut. Sinar mata mereka terpusat pada Ci Siong tojin yang duduk di tengah ruangan. 340 Ci Siong tojin tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Matanya setengah terpejam. Entah berapa lama sudah berlalu, akhirnya Ci Siong tojin membuka matanya. Gi-song tidak dapat menahan kedongkolan hatinya. "Ciangbun-suheng, kedua murid Bu-ti-bun sudah pasti akan mati dalam barisan Jit-sing-kiam-ceng, mengapa kau malah membubarkan barisan itu dan melepaskan mereka?" Tanyanya penasaran. "Dengan berbuat demikian dan tersebar di luaran, teman- teman di dunia kangouw pasti akan menganggap kita bernyali kecil dan takut urusan. Kelak meskipun orang-orang Bu-ti-bun tidak datang menyerang kita, partai lainnya mungkin akan naik ke Bu-tong dan mencari masalah dengan kita," Sambung Cang-song. "Seandainya kali ini suheng tidak mempunyai alasan yang tepat, para murid Bu-tong pasti tidak mau mengerti," Kata Gi- song sengaja membakar-bakar. "Betul!" Lanjut Cang-song sok serius. Sinar mata Ci Siong tojin bercahaya bagai kilat. Dia menatap tajam kepada Gi-song dan Cang-song. "Kali ini, toh tidak ada anak murid kita yang mati. Kita sudah memberikan pelajaran yang pahit kepada kedua bocah itu. Sudahlah... tidak usah diperpanjang lagi," Sahutnya. Gi-song mendengus dingin. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Datang seenaknya, pergi sesukanya. Kelak mana ada orang lagi yang akan menghargai Bu-tong-pai kami? 341 "Orang menghargai Bu-tong-pai bukan hanya karena ilmu silat kita, tapi juga pribadi kita yang bijaksana dan adil dalam mengambil keputusan," Sahut Ci Siong tojin tenang. Cang-song tertawa dingin. "Aku justru menganggap musuh akan melihat kelemahan kita." Gi-song menganggukkan kepalanya. "Suheng, sejak kau menjadi Ciangbunjin, Bu-tong-pai tampaknya semakin lemah kian hari," Katanya. "Kalau menurut liong-wi sute, apa yang seharusnya kita lakukan?" Tanya Ci Siong tojin dengan wajah tidak berubah meskipun disindir secara terang-terangan. "Seharusnya membiarkan kedua orang itu terbunuh di dalam barisan Jit-sing-kiam-ceng," Kata Gi-song. "Memang seharusnya begitu." Sahut Cang-song menyetujui. "Keenam muridku belum sempurna ilmunya Apabila Tok-ku Bu-ti marah karena kematian putri dan muridnya lalu langsung menyerang dalam waktu dekat, coba liong-wi sute katakan bagaimana kita harus menghadapinya?" Tanya Ci Siong tojin kembali. Gi-song dan Cang-song tertegun. "Kalau kita tidak dapat menahan diri dalam masalah kecil, maka masalah besar akan timbul." Ci Siong menarik napas panjang. Tiba-tiba matanya mengedar. "Kemana perginya 342 Kuan Tiong-liu?" "Apakah suhu ingin tecu mencarinya untuk menanyakan letak duduk persoalan yang sebenarnya?" Tanya Fu Giok-su. Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya. Yo Hong yang berada di sudut ruangan segera berdiri. "Tidak perlu dicari lagi. Tadi aku melihat dia membawa dua pelayannya turun gunung dengan tergesa-gesa," Katanya menjelaskan. Cang-song mendengus dingin. "Pergi tanpa pamit, orang ini benar-benar tidak tahu sopan santun!" Sebuah ingatan melintas di benak Gi-song. "Mungkinkah dia turun gunung mengejar kedua murid Bu-ti-bun itu?" Katanya dengan suara lirih. Mata Cang-song bercahaya seketika. "Bisa jadi ...." Gumamnya. "Kedua orang itu sudah terkurung demikian lama di dalam barisan. Dan mereka juga sudah terluka. Pasti bukan tandingan bocah she Kuan itu." "Tidak salah!" Suara Cang-song semakin rendah sehingga menyerupai bisikan. "Ci Siong tua bangka itu pasti sudah memperhitungkan segalanya." "Hm ... benar-benar siasat melempar batu sembunyi tangan yang hebat." "Jangan dikira musang tua ini tidak lihai," Kata Cang-song sambil melirik sekilas kepada Ci Siong tojin. Sebelah 343 tangannya menutup di samping bibir agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain. Ci Siong tojin tidak mempedulikan mereka sama sekali. Dia hanya tertawa datar. ***** Angin bertiup kencang. Dua ekor kuda yang gagah melangkah perlahan di sebuah jalan kecil. Tok-ku Hong berusaha mempertahankan diri, dia tidak kuat lagi melarikan kudanya cepat-cepat. Kongsun Hong mengendarai kudanya di belakang Tok-ku Hong, tanpa sadar kepalanya berulang kali menoleh ke sekitarnya. Rasanya tidak ada orang yang mengejar. Setelah melalui jalan kecil tadi, Tok-ku Hong baru bisa bernapas lega. Pinggangnya diluruskan, dia menggigit bibir sendiri. "Pada suatu hari nanti, aku akan mencuci Bu-tong-san dengan darah," Gerutunya. Kongsun Hong menjalankan kudanya perlahan. "Dendam ini pasti harus dibalas. Lain kali apabila kita datang lagi ke Bu- tong-san jangan beri ampun. Ketemu satu bunuh satu. Kita gunakan api dan bakar habis seluruh Bu-tong!" Sahutnya dengan amarah yang meluap di dada. Tok-ku Hong mendengus dingin. Dia mengedarkan pandangannya. "Heran mengapa tidak terlihat adanya orang kita yang menyambut?" 344 Kongsun Hong tertawa datar. "Apakah kau lupa, kau sendiri yang menyuruh mereka menunggu di tepi sungai?" Tok-ku Hong mendengus sekali lagi ***** Setelah melintasi padang rumput, di kejauhan sudah tampak air sungai yang beriak-riak. Sebuah perahu besar berlabuh di tepi sungai dan ditambatkan pada sebatang pohon besar. Kongsun Hong menjalankan kudanya menuju ke tempat itu. Dia segera mengenali bahwa yang terlihat di sana memang perahu Bu-ti-bun. Tapi anehnya tidak ada yang berjaga-jaga. Juga tidak ada orang yang menyambut mereka. Kuda dilarikan ke tepi sungai. Mata Kongsun Hong mengedar sekelilingnya. Tanpa sadar dia tertegun. Tok-ku Hong melarikan kudanya menyusul. Wajahnya merah padam karena marah. "Mereka benar-benar mencari mati. Satu orang pun tidak ada yang menjaga di sini!" Gerutunya. Wajah Kongsun Hong malah sedingin es. Tiba-tiba dia menuding. "Sumoay ... lihat!" Tok-ku Hong juga sudah melihat. Seorang anggota Bu-ti-bun tertelungkup di dalam sungai. Tubuhnya terombang-ambing oleh gerakan air dan membentur badan perahu. Kongsun Hong segera turun dari kudanya dan menghambur 345 ke sana. Sebuah titian kayu sudah terpasang sebagai landasan dari daratan untuk naik ke atas perahu. Sekarang terlihat beberapa mayat bergeletak di atas titian kayu tersebut. Darah masih menetes. Air di bawah titian kayu telah berubah warna menjadi merah. Di atas perahu tergantung beberapa sosok mayat. Tanpa ragu lagi, mereka adalah anggota Bu-ti-bun. Perasaan Kongsun Hong tergetar. Dia meloncat naik ke atas titian kayu. Tepat pada saat itu, terdengar suara harpa. Suara itu berasal dari sebuah hutan kecil di ujung sungai. Di depan hutan itu sendiri tidak terlihat satu orang pun. Kongsun Hong cepat-cepat mundur ke samping Tok-ku Hong. "Siapa yang membunuh orang-orang dari Bu-ti-bun kita?" Tanyanya marah. Tidak ada yang menyahut. Suara harpa masih terus terdengar. Nadanya mengandung hawa pembunuhan yang tebal. Kongsun Hong celingak-celinguk. Tok-ku Hong perlahan turun dari kudanya. Dia mendengus dingin. Sepasang goloknya disiapkan di tangan. "Hati-hati," Kata Kongsun Hong memperingatkan. Dia melindungi Tok-ku Hong dari depan. Suara harpa semakin cepat. "Cepat gelinding keluar!" Bentak Tok-ku Hong sinis. Suara harpa meninggi satu kali, lalu berhenti. Dua orang 346 bocah cilik, satu membawa harpa dan satunya lagi membawa pedang melangkah keluar dari dalam hutan. Mereka adalah Jit Po dan Liok An. Kuan Tiong-liu menampakkan diri di belakang. Kedua belah tangannya dipeluk di depan dada. Sikapnya angkuh sekali. Dia menatap angkasa seakan tidak ada orang lain di tempat itu. "Kau rupanya!" Kata Kongsun Hong terkesiap. "Tidak salah!" Sahut Kuan Tiong-liu dengan wajah tetap mendongak ke atas. "Sejak semula aku sudah menduga tentu semua ini hasil perbuatanmu," Kata Kongsun Hong sambil bersiap diri dengan sepasang Jit-guat-lun di tangannya. "Bukankah kalian datang untuk menagih utang? Sekarang kita sudah jauh dari Bu-tong-san, utang piutang kita sudah dapat dihitung dengan tenang," Sahut Kuan Tiong-liu tenang. Tok-ku Hong tertawa dingin. "Menggunakan kesempatan ketika orang terluka, itukah tindakan yang dilakukan partai jurus dan ternama?" "Untuk menghadapi manusia-manusia iblis seperti kalian, buat apa harus mematuhi peraturan dunia bu-lim?" Sinar mata Kuan Tiong-liu menatap Tok-ku Hong lekat-lekat. "Enak sekali kedengarannya." "Apa pun yang kalian katakan ...." Kuan Tiong-liu merandek sejenak. "hari ini, bagaimana pun aku tidak akan melepaskan 347 kalian." Tok-ku Hong menggetarkan kedua bilah goloknya. "Kuan Tiong-liu, jangan dikira kau bisa meraih keuntungan besar hanya karena kami sedang terluka," Sahutnya sinis. "Kalian boleh maju bersama," Kuan Tiong-liu mengulurkan tangannya. "Pedang!" Perintahnya kepada pelayannya. Jit Po segera menyerahkan pedang ke tangan anak muda itu. Tok-ku Hong mendengus dingin. "Untuk menghadapimu, aku seorang saja sudah cukup!?" Katanya. Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Baru saja tubuhnya bergerak, Kongsun Hong sudah mendahului dan melindungi di depannya. Kuan Tiong-liu tertawa dingin. Tubuhnya melesat bagaikan terbang di angkasa, kemudian berjungkir balik dan mendarat di hadapan Kongsun Hong. Jit-guat-lun di tangan Kongsun Hong segera dibenturkan oleh pemiliknya. "trang!", terdengar suara sangat nyaring. Dia langsung menerjang ke arah Kuan Tiong-liu. Dengan gesit pemuda itu menggeserkan tubuhnya. Pedangnya yang panjang menyapu ke kiri dan kanan. Sembilan belas kali sabetan dilancarkannya sekaligus. Kongsun Hong terdesak mundur sepuluh langkah. "Lebih baik kalian maju bersama!" Katanya. Dengan marah Tok-ku Hong tidak memikirkan gengsi lagi. Dia menerjang ke depan. Tangannya masing-masing 348 menggenggam sebilah golok. Kongsun Hong takut terjadi apa- apa pada Tok-ku Hong. Jit-guat-lunnya menyerang Kuan Tiong-liu dengan kalap. Seandainya mereka tidak terluka, dengan bergabung mereka pasti bisa mengalahkan Kuan Tiong-liu. Tapi keadaan mereka sekarang justru bertolak belakang. Luka yang mereka derita tidak ringan dan sangat lelah karena telah terkurung dalam barisan Jit-sing-kiam-ceng selama sehari semalam. Keadaan mereka sekarang sudah kembang kempis. Oleh karena itu, meskipun hanya dengan seorang diri, Kuan Tiong-liu dapat menghadapi kedua orang lawannya dengan tenang. Pedangnya bagai menari-nari, bayangan tubuh bagai kupu-kupu. Melayang ke kiri dan ke kanan. Tangan masih membalas serangan! Belum sampai seratus jurus dia sudah berhasil mendesak Tok-ku Hong berdua sampai tidak dapat melancarkan serangan dan hanya bertahan saja. Pedangnya bergerak, jurus yang digunakan adalah Si-yang-sie-cao. Cia Peng saja tidak sanggup menerima jurus tersebut, apa lagi Tok-ku Hong yang sedang terluka parah. Melihat keadaan itu, Kongsun Hong panik sekali, tanpa memikirkan akibatnya dia segera menerjang ke depan. "Crep!", pedang Kuan Tiong-liu menusuk bahu Kongsun Hong sedalam tiga cun. Anak muda itu meraung murka, namun rasa sakit hampir tak tertahankan. Jit-goat-lun di tangan kanan terlepas jatuh, Jit-goat-lun di tangan kiri segera melancarkan sebuah serangan, tapi kecepatannya sudah jauh berkurang. Dengan seenaknya Kuan Tiong-liu berhasil menghindarkan diri dari serangan tersebut. Telapak tangan anak muda itu 349 bergerak secepat kilat. Dada Kongsun Hong terpukul telak, ia terdesak mundur beberapa langkah kemudian muntah darah. Kuan Tiong-liu tidak berhenti sampai di situ saja. Pedangnya masih berkelebat mengarah tenggorokan Tok-ku Hong. Dengan panik gadis itu menggerakkan kedua bilah goloknya berputaran. Namun biar bagaimana dia berusaha, pedang Kuan Tiong-liu tetap mengejarnya ketat. Sekali lagi pedang meluncur bagai kilat mengancam tenggorokan Tok-ku Hong! Kongsun Hong berniat menolong, namun tidak keburu lagi. Tok-ku Hong juga tampaknya tidak akan berhasil menghindarkan diri lagi. Keadaannya mengenaskan sekali. Rambutnya sudah acak-acakan. Pakaiannya kotor tidak karuan. Dia hanya dapat memejamkan mata menunggu kematian. "Trang!", benturan senjata terdengar memekakkan telinga. Sebatang pedang menangkis serangan Kuan Tiong-liu. "Srettt!", pedang pemuda itu terdorong ke samping. Dengan terkejut Kuan Tiong-liu menolehkan kepalanya. Dilihatnya seorang manusia berpakaian hitam dengan wajah tertutup berdiri di sana. Dia pernah melihat Wan Fei-yang, tapi mana pernah dia membayangkan bahwa manusia berpakaian hitam itu Wan Fei-yang adanya. Hanya sepasang mata yang tersembul dari balik kain hitam tersebut. Mata itu menyorotkan sinar kemarahan yang sulit dilukiskan dan mendelik ke arah Kuang Tiong-liu. Pemuda berpakaian putih itu marah sekali. Dia memperhatikan Wan Fei-yang dari atas kepala sampai ke ujung kaki. 350 "Siapa kau?" Tanyanya garang. Wan Fei-yang hampir saja menyebut namanya sendiri. Namun untung dia cepat tersadar dan membatalkannya. Dia sama sekali tidak menyahut. "Katakan!" Bentak Kuan Tiong-liu sekali lagi. "Bu-beng-siau-cut (prajurit tanpa nama)! Aku katakan juga kau tidak kenal," Sahutnya dengan pada suara dibuat-buat. "Menampakkan ekor menyembunyikan kepala, rasanya kau juga bukan manusia baik-baik!" Kata Kuan Tiong-liu kemudian. "Paling tidak aku tidak pernah menggunakan kesempatan ketika orang terluka untuk menyerang," Sahut Wan Fei-yang. Kuan Tiong-liu semakin marah, pedangnya bergerak bagai kilat meluncur cepat ke arah Wan Fei-yang. Dengan mudah pemuda itu berhasil menghindarinya! Sementara itu Tok-ku Hong dan Kongsun Hong yang melihat keadaan itu menjadi terheran-heran. Mereka tidak habis pikir siapa orangnya yang akan membantu mereka dalam keadaan seperti ini. "Apakah orang itu anggota Bu-ti-bun kita?" Tanya Tok-ku Hong dengan suara rendah. "Rasanya bukan" Sahut Kongsun Hong setelah memperhatikan sejenak. "Lagi pula, kalau dia memang anggota Bu-ti-bun, buat apa di menutupi wajahnya?" "Lalu, siapa dia?" Tanya Tok-ku Hong dengan alis berkerut. 351 "Kalau bukan orang yang kita kenal, dia pasti orang yang dikenal Kuan Tiong-liu. Itulah sebabnya dia takut dikenali sehingga menutupi wajahnya dengan kain hitam," Sahut Kongsun Hong. "Lalu, mengapa dia harus menolong kita?" Tok-ku Hong masih tidak habis pikir. Kongsun Hong juga tidak tahu, maka dia hanya dapat menggelengkan kepala. Pada saat itu, pertarungan antara Wan Fei-yang dengan Kuan Tiong-liu semakin seru. Mereka sudah bergebrak sebanyak seratus jurus lebih. Pada mulanya Wan Fei-yang masih agak gugup. Selama hidupnya dia belum pernah benar-benar bertarung dengan seseorang, namun lambat laun dia mulai bisa menguasai dirinya. Gerakannya semakin mantap dan tenang, tangan juga semakin cepat. Setelah menyambut tiga puluh enam kali serangan Kuan Tiong-liu, akhirnya dia terdesak ke tepi sungai. Dengan kemarahan yang meluap Kuan Tiong-liu tertawa dingin. Gerakannya berubah. Dia mulai menggunakan jurus Si-yang- sie-cao andalannya. Wan Fei-yang cepat-cepat menggeser kakinya. Ternyata jurus yang digunakan adalah Tian-liong-kia- ka, lalu tangannya memainkan Cao-yang-sut. Melihat gerakan itu, wajah Kuan Tiong-liu berubah hebat. Pedang di tangannya digerakkan, sebuah jurus Kim-ciau-si-yi langsung dikerahkan. Telapak tangan Wan Fei-yang ditarik kembali. Jari tengah dan telunjuknya langsung meluncur ke depan dan menotok pergelangan tangan Kuan Tiong-liu. Kuan Tiong-liu menjerit lantang. Pedang di tangan kanannya terlepas. Namun kakinya segera menutul, dengan gesit tangan 352 kirinya menyambut pedang yang masih meluncur di udara. Setelah berhasil, secepat kilat dia menyabet ke arah wajah Wan Fei-yang! "Bret!", kain penutup wajah Wan Fei-yang tersayat koyak. Di keningnya terdapat segaris luka kecil bekas tebasan pedang Kuan Tiong-liu. Pedang pemuda itu sendiri masih terus diluncurkan menyerang ke arah tenggorokan Kuan Tiong-liu. Pemuda murid Go-bi-pai itu terkesiap. Gerakannya terhenti. Wajahnya berubah hebat. Dia mendelikkan matanya lebar- lebar. "Kau rupanya!" Pedang Wan Fei-yang tidak lagi menusuk tenggorokan anak muda itu. Dia memang hanya berniat menghentikan pertarungan antara Kuan Tiong-liu dengan kedua murid Bu-ti- bun. Raja Silat Karya Chin Hung Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo