Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 12


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 12


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Gadis itu menggigit bibirnya keras-keras.   Dengan nada sendu Murong Yun Hua bertanya.   "Bolehkah aku tahu siapa gadis itu?"   Dua pasang telinga dipasang baik-baik, ingin tahu apa jawaban Ding Tao.   Yang sepasang tentunya milik Murong Yun Hua dan sepasang lainnya adalah sepasang telinga milik Murong Huolin.   Ini pertama kalinya Murong Huolin mengerti rasanya jatuh cinta.   Begitu sengsara, begitu memabukkan, menyakitkan tapi tidak bisa dilupakan.   "Huang Ying Ying, puteri dari Tuan besar Huang Jin, sejak kecil dia sudah baik pada diriku.   Bahkan ketika aku hanya seorang pelayan di sana."   Selesai menjelaskan panjang dan lebar, setelah semuanya dibuka, entah dari mana ada rasa lega timbul dalam hati Ding Tao.   Pemuda itu akhirnya menengadahkan wajahnya, menatap langsung pada Murong Yun Hua, bukan pandangan menghina, tapi pandangan penuh pengertian, seakan berkata, aku bisa merasakan kepedihanmu, jika aku menyakitimu, hal itu pun meyakitiku berkali-kali lipat.   Ditatap Ding Tao seperti itu Murong Yun Hua memalingkan wajahnya, tiba-tiba dia berjalan ke arah kudanya tertambat.   Diambilnya buntalan pakaian Ding Tao, pedang dan bekalnya di kantong yang terikat di sana.   Dengan membawa itu semua dia berjalan ke arah Ding Tao.   Suaranya lirih saat dia berkata.   "Ini barangmu ada yang tertinggal, pergilah, kuharap kau tidak mengingat-ingat dengan buruk apa yang terjadi hari ini. Pergilah, tapi ingatlah, kapanpun kau datang, rumah kami terbuka bagimu."   Menerima barang-barang itu dari Murong Yun Hua, Ding Tao mengangguk terharu.   "Aku mengerti Enci Yun Hua, terima kasih."   Kepalanya tertunduk, malu, Murong Yun Hua ragu-ragu dan tangannya sedikit gemetar, saat dia perlahan meraih tangan Ding Tao dan menggenggamnya.   "Adik Ding, berjanjilah, kau tidak mengingatku dengan buruk apa yang kulakukan tadi"   Ding Tao meremas tangan Murong Yun Hua dengan hangat.   "Aku akan selalu mengingatmu sebagai seorang enci yang baik, Enci Yun Hua."   Murong Yun Hua menengadahkan kepala dan pandang mata mereka bertemu.   Hati Ding Tao tergetar, melihat pandang mata Murong Yun Hua yang penuh kesedihan, cinta dan gairah yang tertahan.   Tiba-tiba di luar dugaannya, Murong Yun Hua mencondongkan tubuh ke arahnya, berjinjit dan bibirnya yang merah basah itu tiba-tiba sudah bertemu dengan bibirnya.   Dengan bibir sedikit terbuka, Ding Tao bisa merasakan lidah Murong Yun Hua menyapu bibirnya.   Ding Tao bereaksi sebelum dia dapat berpikir, sejak awal bertemu dia sudah terpesona pada kecantikan Murong Yun Hua.   Sebagai laki-laki, lepas dari komitmennya untuk memberikan hatinya hanya bagi Huang Ying Ying, keinginan itu ada dalam dirinya.   Seandainya tidak ada Huang Ying Ying, tanpa ragu lagi dia akan menerima cinta Murong Yun Hua.   Masih teringat di benaknya betapa hancur hati Murong Yun Hua oleh penolakannya, terlihat di matanya gairah dan cinta yang membara dan memuja dalam tatapan mata Murong Yun Hua, tidak ada lain yang bisa dilakukan Ding Tao.   Untuk sesaat Huang Ying Ying hilang dari ingatan dan hatinya, dengan sepenuh hati dibalasnya ciuman Murong Yun Hua dengan gairah yang sama.   Sesaat lamanya tubuh mereka merapat, sebelum dengan lembut dan nafas terengah Murong Yun Hua menjauhkan diri.   Debaran yang sama, gairah yang sama, dengan wanita yang berbeda, sebagian kecil dari dirinya mencela apa yang dia rasakan saat itu.   Tapi Ding Tao tidak menyesali apa yang sudah dia lakukan saat dia melihat seulas senyum di wajah Murong Yun Hua yang sendu.   "Terima kasih ingatlah aku seperti ini", bisik Murong Yun Hua.   Berpaling cepat-cepat Murong Yun Hua menggamit Murong Huolin dan dengan gesit menaiki kudanya.   "Adik Huolin mari pulang."   Murong Huolin menengok sekejap ke arah Ding Tao, saat mata mereka bertemu, hatinya berdebaran kencang, dengan muka tersipu gadis itu berlari dan menaiki kudanya.   Hati gadis ini meronta-ronta tanpa dapat dia mengerti.   Dia tahu Ding Tao sudah menjadi milik orang lain, tapi saat dia melihat Ding Tao berciuman dengan Murong Yun Hua, ingin rasanya dia menjatuhkan diri di dada Ding Tao yang bidang dan melakukan hal yang sama.   Tanpa menunggu Murong Yun Hua, dengan hati yang kacau balau, dia memacu kudanya pulang ke rumah.   Murong Yun Hua segera mengikuti adiknya, namun baru beberapa langkah kudanya berjalan gadis itu berpaling ke arah Ding Tao yang masih berdiri menunggu.   "Adik Ding, salahkah aku jika terus menantimu? Salahkah aku jika aku mencintaimu?", tanpa menunggu jawaban dari Ding Tao dia pergi, memacu kudanya menyusul Murong Huolin yang sudah jauh di depan.   Ding Tao berdiri termangu, hatinya meragu, adakah dia sudah mengambil keputusan yang benar? Sudah hal yang umum jika seorang laki-laki memiliki lebih dari 1 isteri, mengapa dia tidak bisa menerima cinta Murong Yun Hua dan Huang Ying Ying bersamaan.   Gairahnya menyala membayangkan hal itu, kepalanya menggeleng cepat, karena apa artinya cinta dan kesetiaan jika lelaki bisa membagi cintanya sesuka hatinya? Menutup mata Ding Tao mengenangkan cinta Huang Ying Ying pada dirinya yang sepenuh hati tanpa terbagi.   Dikenangnya rasa bahagia yang dia rasakan saat dia akhirnya mengerti isi hati Huang Ying Ying.   Dengan menggertakkan rahangnya Ding Tao menetapkan hati.   Memikirkan keputusan yang sudah diambilnya, hatinya berbisik, jika demikian tidak seharusnya dia membalas ciuman Murong Yun Hua.   Tapi yang sudah terjadi tidak bisa diubah, andainya hal itu bisa diulangnya, apakah dia akan melakukan yang berbeda? Menggelengkan kepala, menyerah, Ding Tao memilih untuk melupakan segala urusan cinta dan kembali berjalan ke depan.   Dia sampai lupa untuk bertanya, ke arah mana jalan ini menuju.   Hingga matahari terbenam, Ding Tao belum menemui seorang pun di jalan ini.   Sudah berjam-jam lamanya dia berjalan tanpa henti, kakinya sudah merasa lelah, beberapa bagian tertentu telapak kakinya terkelupas, bukan hanya kakinya yang lelah, pundaknya pun sudah terasa pegal memanggul buntalan yang tidak terlalu berat.   Ketika dia menemukan sebuah ceruk yang terlihat nyaman, Ding Tao memutuskan untuk beristirahat di pinggir jalan.   Dipastikannya tidak ada binatang yang berbahaya di sekitar tempat itu, sebelum dia menghempaskan tubuhnya ke tanah yang berumput tebal.   Baru setelah beristirahat, perutnya terasa lapar.   Dengan kemalasan, dia bangkit berdiri.   Dikumpulkannya beberapa kayu kering untuk dibuat api unggun.   Kemudian di sekitar tempat dia hendak membuat api unggun, dia bersihkan dari rumput- rumput kering.   Tidak lama kemudian sebuah api unggun kecil menyala-nyala.   Dengan puas Ding Tao duduk dan membuka buntalan yang dia bawa.   Pagi ini Murong Yun Hua sudah membungkuskan beberapa roti kering, sebotl arak dan daging kering.   Apa yang dia lihat membuatnya terkejut, di dalam buntalan bukan saja ada pakaian dan makanan kering, tapi dilihatnya sekantung obat dan se   Jilid kitab.   Secarik surat diselipkan di antara halaman kitab itu, sedikit gemetar, Ding Tao membuka surat itu.   Nyala api unggun bergoyang-goyang, terkena angin, membuat bayang-bayang lucu di sekitarnya.   Dengan tangan gemetar dia membuka surat itu.   Adik Ding, rasa malu dan sedihku tidak akan pernah bisa kau bayangkan.   Tapi aku tidak menyesal, aku tidak menyesal telah jatuh hati padamu.   Aku tidak menyesal menunjukkan betapa aku menginginkanmu.   Aku hanya menyesal, tidak berhasil menahanmu untuk tinggal.   Tapi apapun keputusanmu, aku tidak dapat menipu hatiku.   Kupinjamkan kitab yang aku ceritakan sebelumnya.   Di dalamnya bisa kau pelajari apa yang kau perlukan untuk kesembuhanmu.   Aku tidak bisa banyak membantu, karena aku tidak ada di sampingmu.   Beserta kitab ini, kusertakan obat-obatan yang sering dipakai ayahku.   Obat ini mampu menambah kecerdasan orang yang meminumnya.   Membantu lancarnya peredaran darah ke otak, serta merangsang kerjanya syaraf dlm tubuh.   Ilmu dalam kitab ini tentu tidak mudah dipelajari dalam waktu yang singkat.   Meskipun kau berbakat, tapi obat ini kurasa bisa membantumu.   Jika aku boleh memberi saran, tidak perlu adik pergi ke Shaolin atau Wudang.   Berurusan dengan perguruan besar, tentu akan rumit dan merepotkan.   Padahal waktumu tidaklah banyak, baiknya cari tempat yang baik dan fokuskan pikiranmu untuk mempelajari isi kitab ini.   Semoga segala tujuanmu bisa tercapai, doaku untukmu selalu.   Jangan lupa, kembalikan kitab ini setelah kau tidak memerlukannya lagi.   Aku akan sabar menanti kedatanganmu dengan penuh harap.   Murong Yun Hua Dengan penuh haru Ding Tao membuka-buka kitab itu.   Pada sampul buku tertulis Ilmu Tenaga Dalam Inti Bumi.   Dibacanya buku itu sekilas, halaman demi halaman.   Kemudian disimpannya baik-baik buku itu kembali dalam buntalan.   Kemudian bungkusan obat dia buka, di dalamnya ada secarik kertas yang menuliskan nama dan aturan minum obat tersebut.   Nama obat itu, Obat Dewa Pengetahuan.   Puas dengan apa yang dia amati, dia menyimpan semuanya baik-baik dalam lipatan pakaian bersih sebelum kembali dibuntal menjadi satu.   Ding Tao memikirkan nasihat Murong Yun Hua, nasihat itu diberikan dengan maksud yang baik.   Teringat pula keadaannya saat harus bertarung dengan Sepasang Iblis muka Giok.   Hari itu dia beruntung bertemu dengan Murong Yun Hua dan Murong Huolin.   Jika tidak ada mereka, saat ini dia sudah tertawan sepasang iblis itu dan nasibnya akan jauh lebih buruk daripada mati di tangan mereka.   Teringat pula Ding Tao pada taktik yang dia gunakan dan bagaimana belasan orang mati oleh karenanya.   Bergidik pemuda itu menyesali apa yang sudah dia lakukan.   Seandainya saja tubuhnya tidak menyimpan hawa liar Tinju 7 Luka, mungkin dia masih bisa memikirkan siasat yang lain, yang tidak mengorbankan nyawa begitu banyak.   Mengingat itu semua Ding Tao memutuskan untuk menerima saran Murong Yun Hua.   Bila dia tetap memaksa untuk pergi ke Shaolin dalam keadaannya yang sekarang, akan banyak lagi bahaya yang harus dia hadapi, lebih banyak pertarungan dan lebih banyak korban.   Berpikir demikian, hilang sudah keinginannya untuk melanjutkan perjalanan.   Ding Tao bangkit berdiri buntalan bekal disandangnya di pundak.   Ding Tao berjalan mengitari tempat itu, dia tidak pergi terlalu jauh karena hari semakin malam dan dia tidak bisa melihat dengan jelas keadaan di sekelilingnya.   Dicobanya berjalan-jalan sambil menajamkan telinga, mencari apakah ada suara aliran air di dekatnya.   Tapi tidak ada hasil sedikitpun, akhirnya Ding Tao kembali.   Memilih sebuah lokasi yang sedikit jauh dari tempat dia membuat api unggun.   Bersandar pada sebuah pohon, Ding Tao berusaha beristirahat sebisanya.   Pemuda itu tidak berani terlalu lepas saat beristirahat.   Meskipun matanya terpejam, inderanya tetap bekerja sebisa mungkin menyadari keadaan di sekitarnya.   Karena lelah beberapa kali Ding Tao kehilangan kesadaran dan tertidur untuk beberapa saat.   Tapi tidak pernah dia tidur dengan pulas.   Keesokan paginya Ding Tao bangun dengan tubuh pegal-pegal dan kepala terasa berat.   Melihat langit sudah mulai berubah warna, pemuda itu dengan rajin, mulai berlatih.   Berlatih menghimpun hawa murni dan melatih ulang juga setiap jurus yang sudah pernah dia pelajari.   Tidak pernah bosan dia mengulang-ulang apa yang sudah pernah dia pelajari, merenungkannya dan memikirkan pengembangannya.   Ketika dia selesai berlatih, langit sudah terang, keringat membasahi tubuhnya tapi tubuhnya terasa segar.   Ding Tao mulai berpikir ke arah mana dia hendak pergi, setelah mendapatkan kitab dan obat dari Murong Yun Hua, pemuda ini tidak lagi ingin pergi ke kota terdekat.   Sebaliknya dia ingin mencari tempat yang memungkinkan dia untuk berlatih dengan tenang.   Sayangnya mencari tempat seperti itu tidaklah mudah.   Di dalam hutan terkadang lebih sulit mencari air daripada mencari makan.   Karena itu yang pertama dia lakukan adalah menjelajahi hutan yang mengapit jalan kecil itu, mencari tanda-tanda adanya air.   Hutan itu tidak terlalu lebat, dengan mudah dia bergerak, sebisa mungkin Ding Tao tidak menggunakan pedangnya untuk membuka jalan.   Selain untuk menghemat tenaga, pemuda itu juga tidak ingin meninggalkan jejak.   Sempat terpikir untuk kembali ke kediaman Murong Yun Hua, di sana tentu dengan mudah dia dapat berlatih.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tidak perlu mencari persediaan makan, tidak perlu memusingkan di mana dia harus tidur.   Sayang sekarang ada ganjalan antara dirinya dengan Murong Yun Hua dan Murong Huolin, ada kalanya juga Ding Tao tergoda untuk menerima tawaran mereka.   Tapi pemuda ini begitu mengagungkan nilai-nilai luhur yang dia dengar dari orang-orang tua.   Pada cerita-cerita kepahlawanan di masa lalu.   Bukan hanya terpikat pada cerita kepahlawanan, pemuda ini juga terpikat dengan kisah-kisah cinta, tentang sepasang kekasih yang setia hingga ajal menjemput.   Hampir setengah harian pemuda itu menjelajahi hutan dan mengamat-amati keadaan di sekelilingnya sebelum dia menemukan tanda-tanda akan adanya sumber air.   Saat itu dia sudah semakin jauh masuk ke dalam hutan, pepohonan semakin lebat dan suasana menjadi sedikit remang-remang karena sinar matahari tidak mudah menembus lebatnya dedaunan.   Pemuda itu menemukan jalan-jalan setapak, bukan oleh manusia, tapi terbentuk karena sudah menjadi jalur dari beberapa hewan liar yang berulang kali melewati jalur itu.   Dengan semangat yang meninggi mulailah dia mengikuti jalur itu, sesekali jejak yang ada terputus dan dia harus berkeliling mencari-cari tanda-tanda lainnya, hingga akhirnya Ding Tao sampai di sebuah air mata kecil yang membentuk sebuah kolam jernih yang tidak seberapa besar.   Dengan hati-hati Ding Tao memeriksa keadaan di sekitar kolam kecil itu.   Dari bekas-bekas yang ada, dia yakin tempat itu jarang sekali dikunjungi manusia.   Beberapa hewan tampaknya menggunakan kolam itu sebagai tempat mereka melepas rasa haus.   Setelah yakin tempat itu cukup aman dari ular berbisa, Ding Tao mulai mencari dan menyiapkan lokasi yang tepat untuk dia menghabiskan malam.   Matahari sudah condong ke barat saat akhirnya Ding Tao selesai dengan persiapannya.   Seonggok besar kayu kering sudah dia siapkan untuk dipakai selama beberapa hari.   Bekal makanan yang dia bawa, dihitung dan dijatahnya baik-baik.   Sebisa mungkin Ding Tao ingin menghabiskan beberapa hari ke depan tanpa memusingkan soal makanan dan kebutuhan hidup lainnya, hanya mencurahkan waktu dan pikirannya untuk mempelajari kitab yang dipinjamkan Murong Yun Hua padanya.   Tiga hari lamanya Ding Tao dengan tekun membaca kitab itu dari awal hingga habis.   Selama tiga hari itu Ding Tao makan dalam jumlah yang sangat terbatas, saat lapar dia meminum banyak-banyak air yang melimpah di tempat dia tinggal.   Kitab itu tidak terlalu tebal, tapi Ding Tao membaca dengan sangat berhati-hati, dia akan mengulang-ulang tiap bait, hingga dia merasa bahwa dia dapat meresapi maksud dan maknanya, sebelum dia berpindah ke bait selanjutnya.   Tidak mudah untuk dapat mengerti dan memahami apa yang dimaksud penulisnya, tidak ada orang yang membimbingnya untuk mengartikan maksud dari kalimat-kalimat yang ada.   Tiga hari lewat, Ding Tao sudah membaca habis seluruh kitab itu beberapa kali.   Sungguh sebuah tantangan yang sangat sulit bagi Ding Tao, terkadang saat dia merasa sudah dapat mengerti makna dari satu bait, saat dia mulai melanjutkan membaca beberapa bait selanjutnya barulah terasa ada ketidak sesuaian.   Jika menemukan demikian, maka terpaksalah Ding Tao kembali lagi merenungkan ulang bait-bait yang telah dia baca.   Demikian tiga hari lewat dan meskipun sudah beberapa kali membaca kita itu dari awal hingga akhir, pemahamannya akan isi kitab itu masihlah samar-samar.   Hari keempat Ding Tao bangun dari tidurnya dengan rasa kecewa mengingat tiga hari lewat tanpa hasil yang cukup berarti.   Sementara waktu terus berjalan dan tidak menanti Ding Tao menyelesaikan usahanya mempelajari kitab itu.   Isi kitab itu berkaitan erat dengan pengolahan tenaga dan pengerahannya menggunakan pukulan tangan.   Dari apa yang dia tangkap, samar-samar Ding Tao merasakan adanya kesesuaian antara isi kitab itu dengan sifat-sifat hawa pukulan Tinju 7 Luka yang mengeram dalam tubuhnya.   Hari itu Ding Tao memutuskan untuk berhenti sejenak, lagipula persediaan makanan sudah menipis.   Sepanjang hari Ding Tao menjelajahi hutan, mengumpulkan akar-akaran, buah dan jamur liar yang bisa dimakan.   Pengetahuan yang dia dapatkan selama membantu Tabib Shao Yong membantunya menghindari jamur atau buah beracun.   Baru menjelang matahari terbenam pemuda itu berhenti mengumpulkan persediaan makanan dan kembali ke tempat dia berlatih.   Setelah beristirahat sejenak, Ding Tao tidak membuka-buka kitab atau berlatih, pemuda itu menyibukkan diri dengan memastikan makanan yang sudah dia kumpulkan tersimpan dengan baik untuk beberapa hari ke depan, sebelum dia beristirahat tanpa memikirkan sedikitpun isi kitab itu.   Keesokan harinya dengan tubuh dan pikiran yang segar, barulah Ding Tao mulai lagi mempelajari isi kitab itu, kali ini dia mencurahkan lebih banyak lagi perhatian pada tiap-tiap bagian.   Seharian dia membaca dan sedikit sekali kemajuannya.   Di akhir hari itu, Ding Tao menghempaskan diri ke tanah dan mendesah.   Jika saja waktu tidak begitu mendesak, Ding Tao merasa senang bisa mempelajari isi kitab yang begitu rumit dan memusingkan itu.   Tapi Ding Tao mulai menyadari dunia persilatan yang sepertinya tenang ini, sungguh sedang bergelombang hebat di balik permukaan.   Pengkhianatan Tiong Fa hanyalah satu pucuk gunung es yang tampak di permukaan.   Tapi sejak kejadian di rumah keluarga Huang itu, Ding Tao merasakan semacam pertanda akan adanya badai melanda dunia persilatan.   Perasaan ini membuat Ding Tao merasa sedang berada dalam sebuah pertandingan lari dengan musuh yang tidak terlihat.   Lima hari tanpa kemajuan yang berarti membuat Ding Tao merasa jauh tertinggal dari bayangan musuh yang tidak terlihat ini.   Dengan perasaan segan, pemuda ini membuka kantung obat yang diberikan oleh Murong Yun Hua, dibacanya sekali lagi surat Murong Yun Hua dan petunjuk penggunaan Obat Dewa Pengetahuan.   Menurut keterangannya obat itu harus diminum 3 hari sekali, setelah 2 bulan mengkonsumsi obat itu obat diminum 3 hari dua kali dan 2 bulan berikutnya obat diminum 1 kali sehari.   6 bulan lamanya konsumsi obat tidak boleh dihentikan, bila aturan ini dilanggar ada kemungkinan akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi tubuh.   Ding Tao tidak suka menyandarkan dirinya pada hal-hal di luar dirinya sendiri.   Entah itu berupa senjata seperti Pedang Angin Berbisik, ataupun seperti Obat Dewa Pengetahuan yang diberikan oleh Murong Yun Hua ini.   Ding Tao tahu, untuk melatih beberapa ilmu terkadang ada obat yang harus diminum selama latihan.   Entah itu untuk membantu tubuh untuk menerima ilmu itu atau sekedar melindungi organ-organ tubuh dari luka atau cedera yang ditimbulkan oleh latihan yang berat.   Ding Tao bisa menerima hal-hal itu sebagai sesuatu yang perlu tapi dia tidak menyukainya.   Itu sebabnya sampai saat ini dia tidak meminum obat pemberian Murong Yun Hua.   Tapi Ding Tao menghadapi tembok yang tinggi dan waktu terus berpacu dengan dirinya.   Menyerah pada keadaan Ding Tao memutuskan untuk meminum obat itu besok pagi sebelum memulai kegiatannya, sesuai dengan anjuran yang tertulis.   Dengan keputusa itu Ding Tao menutup kembali kitab yang dipinjamkan Murong Yun Hua dan mulai latihan-latihan yang biasa dia lakukan sebelum beristirahat.   Hari ke-enam, Ding Tao mengawalinya dengan meminum obat yang diberikan Murong Yun Hua.   Setelah itu dia diam mengatur nafas, merasakan aliran hawa murni dalam tubuhnya, memberikan kesempatan bagi obat itu untuk bekerja.   Kerja obat itu pada awalnya tidak terasa oleh Ding Tao, tapi bersama dengan berjalannya waktu, Ding Tao mulai merasakan khasiat dari Obat Dewa Pengetahuan.   Ingatannya bekerja jauh lebih baik, panca inderanya menajam beberapa kali lipat, satu tingkat kesadaran dan kewaspadaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.   Sebenarnya ada perasaan ragu akan khasiat obat itu, tapi sekarang Ding Tao mulai menyesal mengapa dia tidak menuruti saja nasihat Murong Yun Hua sejak awal.   Ding Tao belum mulai mempelajari kitab itu lagi, tapi dari apa yang dia rasakan Ding Tao memiliki keyakinan bahwa hari ini dia akan mendapatkan banyak kemajuan.   Tetap dalam posisi duduk bersila dan mata terpejam, Ding Tao mulai menggali ingatannya.   Tanpa perlu membuka kitab itu, Ding Tao bisa mengingat dengan jelas setiap detail dari apa yang pernah dia baca.   Penemuan ini membuat semangat Ding Tao berkobar.   Dengan tekun dalam posisi yang sama pemuda itu mulai mempelajari, merenungkan dan menelusuri apa yang telah dia baca selama beberapa hari ini.   Begitu tenggelam Ding Tao dalam mempelajari ilmu itu, hingga jalannya waktu tidak lagi dia rasakan.   Tanpa terasa hari sudah mulai mendekati malam, tubuhnya terasa lemas dan Ding Tao pun tersadar bahwa dia sudah lupa akan waktu.   Perlahan pemuda itu menenangkan semangatnya dan membuka mata.   Kakinya sudah lama mati rasa dan perutnya sekarang terasa lapar, tapi hal itu tidak dapat membuat Ding Tao kehilangan semangatnya.   Kemajuan yang dia capai dalam satu hari ini jauh melebihi apa yang dia capai selama lima hari sebelumnya.   Dengan fisik lemah tapi semangat berkobar pemuda itu memnuhi kebutuhan fisiknya untuk makan dan beristirahat.   Tidak berani dia untuk meneruskan pembelajarannya, dipaksanya untuk menutup mata dan beristirahat.   Lama kemudian baru Ding Tao bisa tertidur, meskipun sudah biasa melatih agar pikirannya tunduk pada kehendaknya.   Khasiat obat itu membuat pikirannya bekerja dengan energi yang melonjak-lonjak.   Ditambah lagi dengan semangatnya yang bangkit setelah mendapat kemajuan yang berarti.   Keesokan harinya Ding Tao tidak sabar untuk segera mulai merenungkan isi kitab itu.   Tapi kali ini dia tidak sampai lupa dengan kebutuhan fisiknya.   Demikian berlanjut hingga 4 hari lamanya, pada hari ke-11 Ding Tao sudah berhasil memahami isi kitab itu.   Memang benar kata-kata ayah Murong Yun Hua, dengan mengamati sifat hawa liar Tinju 7 Luka yang mengeram di tubuhnya dan pemahamannya akan isi kitab itu, Ding Tao menemukan kecocokan di antara keduanya.   Sehingga pemuda itu yakin bahwa benar kitab ini adalah sumber dari ilmu Tinju 7 Luka milik perguruan Kongtong.   Hanya dalam pengembangannya sifat merusak dan liar dari hawa pukulan itu dikembangkan jauh lebih hebat.   Ketika Ding Tao berhasil mempelajari isi kitab itu, dalam hati dia merasa ngeri melihat arah yang diambil oleh pendiri perguruan Kongtong dalam mengembangkan ilmu itu.   Karena sifat perusak yang begitu dahsyat dan ganas dari Tinju 7 Luka, diiringi dengan timbulnya sifat liar dari hawa murni yang dilatih.   Sifat-sifat ini bukan saja membahayakan korban dari Tinju 7 Luka tapi juga membahayakan pemiliknya sendiri.   Memiliki ilmu Tinju 7 Luka, tidak ubahnya memelihara harimau untuk menerkam lawan.   Jika tidak hati-hati bukan tidak mungkin harimau itu akan berbalik menyerang pemiliknya.   Beruntung Ding Tao mendapatkan kesempatan mempelajari ilmu dari kitab itu, lewat pemahamannya dan hasil renungannya Ding Tao sudah memiliki pegangan tentang bagaimana dia harus menjinakkan hawa liar dalam tubuhnya.   Dengan apa yang sudah dipahaminya mulailah Ding Tao berlatih sesuai jalan yang dia dapatkan.   Pertama-tama Ding Tao mulai menghimpun hawa murni mengikuti petunjuk dari kitab yang dia baca.   Menghimpun dan perlahan-lahan menyatukannya dengan himpunan hawa murni yang sudah dia miliki sebelumnya.   Meskipun berbeda sifat dan dasar, tapi karena cara pengolahan dan penghimpunan hawa murni mengikuti petunjuk kitab itu tidaklah liar dan seganas hawa murni Tinju 7 Luka, Ding Tao tidak mengalami kesulitan untuk menyatukannya dengan himpunan hawa murni yang sudah dia miliki sebelumnya.   Karena sudah memiliki dasar yang baik, dalam 1 bulan, latihan yang dilakukan menunjukkan hasil yang menggembirakan.   Apalagi dalam menjalani latihan itu, Ding Tao hanya mengkonsumsi buah-buahan, akar-akaran dan jamur-jamur liar.   Tubuhnya dipenuhi energi yang lebih murni daripada energi yang dihasilkan dari makanan berjiwa.   Hal ini sangat menunjang dalam latihan tenaga dalam Inti Bumi yang dia lakukan.   Setelah merasa himpunan hawa murni dari tenaga inti bumi cukup berimbang dengan himpunan hawa murni yang telah dia miliki sebelumnya, mulailah Ding Tao berlatih untuk menggunakan kedua hawa murni yang berlainan sifat itu dalam jurus- jurus yang sudah dia miliki sebelumnya.   Tenaga inti bumi, berbeda dengan Tinju 7 Luka hasil pengembangannya, bersifat melumpuhkan tapi tidak melukai.   Sementara hawa murni yang dimiliki Ding Tao sebelumnya memiliki sifat yang ulet dan liat, sesuai untuk bertahan, memperpanjang stamina dan menguatkan tubuh.   Dengan dua jenis hawa murni yang berlainan sifat tapi dikombinasikan penggunaannya dengan indah, jurus-jurus serangan dan pertahanan Ding Tao berkali-kali lipat lebih kuat dan berbahaya.   Menggunakan dua hawa murni yang berbeda sifat tentu bukan hal yang mudah, tapi obat pemberian Murong Yun Hua meningkatkan kemampuan otak dan syaraf Ding Tao, ditunjang dengan dasar dan bakat yang baik.   Apa yang seharusnya butuh waktu bertahun-tahun dapat dikuasai Ding Tao dalam hitungan bulan.   Tiga bulan lamanya Ding Tao dengan tekun mematangkan penguasaannya terhadap dua macam hawa murni yang sekarang ada dalam tubuhnya itu.   Setelah berhasil meyakinkan penguasaannya, butuh 1 bulan lagi lamanya bagi Ding Tao untuk sedikit demi sedikit, membangkitkan hawa liar Tinju 7 Luka yang tertidur dalam tubuhnya dan dengan usaha yang tekun Ding Tao berhasil mengubah sifat liar dan ganas dari hawa liar Tinju 7 Luka, karena pada dasarnya Tinju 7 Luka adalah Tenaga Inti Bumi yang keganasan dan sifat merusaknya diperkuat, maka dengan mempelajari Tenaga Inti Bumi, Ding Tao memiliki jalan untuk mengolah hawa liar Tinju 7 Luka dalam tubuhnya menjadi Tenaga Inti Bumi untuk disatukan dengan hawa murni Tenaga Inti Bumi yang sudah dia himpun sebelumnya.   Demikianlah setelah kurang lebih 4 bulan setengah, Ding Tao terbebaskan dari gangguan yang diakibatkan oleh Tinju 7 Luka.   Bukan hanya itu, dalam waktu yang singkat itu, Ding Tao mengalami peningkatan yang tidak sedikit dalam hal imu silat.   Meskipun jurus-jurus yang dimiliki tidak bertambah, namun dari pengalaman dan dari segi pengendalian tenaga, Ding Tao mengalami peningkatan yang sangat pesat.   Akhirnya Ding Tao mengakhiri latihannya, pagi hari itu Ding Tao mandi berendam di kolam yang ada.   Pada awalnya tubuhnya mengerut merasakan dinginnya air, rasa kantuk yang tersisa langsung terusir jauh-jauh.   Dinginnya air tidak mampu memadamkan semangat Ding Tao yang menyala-nyala, pemuda itu bahkan berendam hingga seluruh tubuhnya masuk ke dalam air.   Setelah beberapa saat tubuhnya mulai beradaptasi dan rasa dingin yang tadi menyerang, sekarang berubah menjadi kawan.   Ding Tao memejamkan matanya, menikmati dinginnya air yang menyegarkan.   Dengan batu-batuan yang ada digosoknya segala daki dan kotoran yang melekat di tubuhnya.   Tidak lupa dia mencuci rambutnya sampai seluruh kulit kepalanya terasa seperti mau tercabut.   Keluar dari kolam Ding Tao sungguh-sungguh merasa sudah menjadi manusia yang baru.   Pakaian yang selama ini dipakainya dibakar habis.   Sudah berbulan-bulan Ding Tao tidak pernah berganti pakaian.   Ada untungnya juga karena sekarang Ding Tao jadi memiliki 2 setel pakaian bersih tanpa perlu mencuci pakaian.   Memakai mata pedang yang tajam, dengan hati-hati Ding Tao mencukur bulu-bulu rambut pendek di wajahnya.   Ketika Ding Tao melangkahkan kakinya keluar dari hutan, dia sudah terlihat segar, rapi dan tampan.   Meskipun tubuhnya sedikit lebih kurus namun dengan langkah kakinya yang makin ringan dan mantap, dan sorot matanya makin tajam, Ding Tao jadi nampak lebih berwibawa dan meyakinkan.   Ada saatnya Ding Tao merasa ragu akan arah tujuannya hari ini, tapi sudah cukup lama dia memikirkannya dan dia memutuskan untuk segera mengembalikan kitab Tenaga Inti Bumi pada Murong Yun Hua.   Ding Tao yakin setelah Murong Yun Hua mendengar penjelasannya gadis itu tentu tidak akan mendesaknya lagi tentang menjadi pewaris keluarga Murong.   Ding Tao juga masih teringat dengan pertemuan mereka yang terakhir, pemuda itu sudah berjanji untuk mengingat kenangan yang manis bersama Murong Yun Hua dan melupakan kejadian yang memalukan di hari dia berpamitan pada Murong Yun Hua.   Ding Tao sudah berjanji tentu akan dia tepati.   Jika hari ini ada keraguan untuk berkunjung, bukankah itu artinya Ding Tao tidak benar-benar melupakan kejadian itu? Lagipula Ding Tao merasa tidak enak menyimpan kitab yang bukan miliknya.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Hatinya pun sedang dalam suasana yang riang, setelah berhasil menyembuhkan dirinya dari bekas Tinju 7 Luka.   Betapapun Murong Yun Hua dan Murong Huolin mendapatkan tempat yang khusus dalam hatinya, dan di saat dia merasa sangat berbahagia ini dia ingin sekali membagikannya pada orang-orang yang dia kasihi.   Setengah berlari pemuda itu pergi menyusuri jalan, menuju ke kediaman keluarga Murong.   Dalam waktu yang singkat, dari kejauhan Ding Tao sudah bisa melihat bangunan rumah keluarga Murong.   Tak urung jantungnya sedikit berdebar-debar, meskipun tidak seluruhnya adalah debar-debar kecemasan.   Sulit untuk menghindaro kenyataan bahwa meskipun dia menolak tapi dirinya menikmati juga apa yang dilakukan oleh Murong Yun Hua.   Tapi sebelum dia sampai di sana tiba-tiba nalurinya merasakan adanya bahaya.   Di luar sadarnya saraf-saraf di tubuhnya menegang, satu hawa membunuh bisa dirasakannya menanti beberapa langkah di depan.   Ding Tao pun berhenti melangkah, ditajamkannya telinga dan mata, diamatinya keadaan di sekelilingnya.   Matanya yang tajam akhirnya menangkap sosok seseorang yang berbaju hijau daun sedang bersembunyi di gerumbulan dedaunan di atas sebuah pohon, tidak jauh lagi dari dirinya.   Tangannya bergerak meraih pedang yang tergantung di pinggang.   Dengan pedang terhunus, dia menunjuk sosok yang sedang bersembunyi itu.   "Hei, sahabat yang ada di sana, mengapa tidak memunculkan diri saja?"   Terdengar tertawa mengikik mendirikan bulu roma.   "Hihihihi Ding Tao Ding Tao lama dicari tidak tahunya bersembunyi di hutan. Kenapa keluar, apakah kau kangen denganku?"   Mendengar suara itu Ding Tao segera mengenalnya, siapa lagi jika bukan Sepasang Iblis Muka Giok.   Tapi kali ini Ding Tao tidak gentar menghadapi mereka.   Dengan kondisinya saat ini dia punya keyakinan untuk melawan sepasang Iblis itu.   Dengan senyum tawar dia menjawab.   "Memang benar, aku sudah kangen, kangen, tidak tahan ingin memberi hajaran pada pantat kalian yang bau itu."   Dengan suitan nyaring sepasang Iblis itu melompat keluar dari tempat mereka bersembunyi.   Kali ini sepasang Iblis itu rupanya sedang ingin menakut-nakuti orang.   Karena dandanan mereka benar-benar cocok jika dikatakan sebagai setan.   Wajah mereka diwarna hingga tampak pucat kehijauan, rambut digerai ke belakang dan bibir merah seperti darah.   Iblis jantan dengan mata menyala memandangi Ding Tao yang berdiri dengan tenangnya.   Melihat sorot mata Ding Tao yang makin tajam, gerak-geriknya yang makin ringan dan mantap, Iblis itu merasa terkejut, tidak disangkanya dalam waktu yang hanya beberapa bulan sudah terjadi perubahan yang begitu besar dalam diri pemuda itu.   "Hmmm rupanya kondisimu membaik sejak pertemuan terakhir kita, bahkan ilmumu pun sepertinya mengalami peningkatan.   Tidak heran sikapmu begitu sombong.   Tapi anak muda, tempo hari pun kami tidak berani menggempurmu dengan sungguh-sungguh, karena kami masih menyayangkan nyawamu.", ancam Iblis jantan dengan wajah dingin.   "Hahaha, Iblis jantan, jangan bilang bahwa sekarang kau sudah tidak tertarik lagi dengan Pedang Angin Berbisik, karena jika kau masih tertarik, tentu kau harus berhati-hati agar jangan sampai nyawaku melayang dan rahasia tentang di mana Pedang Angin Berbisik itu tersimpan, terkubur bersama dengan kematianku.", tawa Ding Tao membuat hati Iblis jantan seperti dikili-kili.   "Setan Alas! Siluman keparat!" "Eh, mengapa kau memanggil temanmu kemari? Apa sepasang iblis masih kurang untuk mengeroyokku hingga kau ingin pula menambah beberapa setan dan siluman untuk membantumu?", ejek Ding Tao sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Kau yang setan! Tutup mulutmu keparat!", bentak Iblis jantan yang dengan marah langsung menerjang, mengirimkan serangan maut ke arah Ding Tao.   Serangan yang dilancarkan dengan pertimbangan yang terburu-buru itu dengan mudah dielakkan Ding Tao.   Memanfaatkan kemarahan Iblis Jantan dengan cepat Ding Tao menggeser posisinya ke arah yang menguntungkan, dari sudut itu posisi Iblis jantan terbuka lebar.   Sebuah serangan segera dilancarkan Ding Tao dari sana, beruntung bagi Iblis jantan karena Iblis betina tidak terlambat untuk menolong.   Dalam waktu yang singkat, ketiga orang itu terlibat dalam pertarungan yang seru.   Belajar dari pengalaman mereka yang sebelumnya, Iblis jantan dan Iblis betina bekerja sama dengan rapat.   Tidak lagi mereka mengepung Ding Tao dari dua arah, yang memberi kesempatan pada Ding Tao untuk memecahkan kerja sama mereka.   Ding Tao pun kali ini tidak memiliki keinginan untuk melarikan diri, kedatangan sepasang Iblis itu dipandangnya sebagai kesempatan yang baik untuk menguji apa yang baru dia mantapkan.   Puluan jurus sudah lewat, namun perlawanan mereka masih berimbang.   Beberapa tempat di lengan dan kaki Ding Tao sudah tergores senjata lawan.   Tapi sepasang Iblis itu juga tidak lepas dari luka-luka.   Sebuah goresan memanjang menghiasi pipi Iblis jantan, menambah seram wajah setannya.   Sementara iblis betina telah terluka di pundaknya, meskipun hanya luka gores yang tidak membahayakan dan mengganggu keganasannya.   Menghadapi kenyataan bahwa Ding Tao mampu mengimbangi mereka, Iblis jantan mulai habis kesabarannya, dia sadar jika dia masih menahan-nahan serangan untuk menangkap Ding Tao hidup-hidup, yang terjadi justru Ding Tao akan memanfaatkan kelemahan itu.   Bersuit panjang, Iblis jantan memberikan kode pada Iblis betina untuk mengubah taktik serangan mereka.   Hilang sudah keinginan Iblis jantan untuk menangkap Ding Tao hidup-hidup.   Jika itu berhasil dilakukannya maka itu satu keuntungan, tapi jika Ding Tao sampai mati di tangannya pun, Iblis jantan tidak akan menyesal.   Gerakan sepasang iblis itu berubah makin ganas, menghadapi sepasang Iblis yang kini mengincar kemenangan dalam bentuk apapun, membuat Ding Tao makin terdesak.   Baru sekarang matanya terbuka akan betapa berbahayanya sepasang iblis itu.   Sepasang iblis itupun baru mulai terbuka matanya akan kedalaman tingkat Ding Tao setelah mereka bersungguh-sungguh berusaha menang dengan segala cara tanpa mempedulikan apakah Ding Tao akan tertangkap hidup-hidup atau terkapar di tanah tanpa kepala.   Sebelumnya mereka selalu berpikir pemuda itu masih mampu bertahan karena mereka belum mengerahkan segenap kemampuan mereka.   Tapi sekarang setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan pun, kemenangan masih jauh dari mata.   Benar mereka berhasil mendesak Ding Tao, tapi pertahanan pemuda itu sendiri tidak sampai melemah.   Sesekali Ding Tao masih sempat menyerang dan memaksa mereka mengendurkan serangan.   Hampir seratus jurus berlalu ketiga orang itu masih bertempur dengan serunya, muka Iblis betina yang didandani dengan warna pucat, semakin pucat, nafasnya mulai tersengal-sengal.   Keringat sudah membasahi tubuh ketiganya tapi di antara mereka bertiga Iblis betinalah yang terlemah.   Sepasang Iblis itu pun mulai merasa putus asa, perlawanan Ding Tao bukannya melemah, justru kedudukannya semakin lama semakin mantap.   Inilah sisi yang paling mengerikan bagi lawan-lawan Ding Tao, kemampuannya untuk membaca pola serangan lawan, menganalisa dan mencari jalan untuk memecahkan serangan dan pertahanan lawan, sambil terus bertarung.   Inilah yang paling mengerikan dari Ding Tao.   Bertarung dengannya seperti sedang mengejar fatamorgana, sesaat tampaknya dekat, tapi setelah sekian lama kita berlari mendekat, tidak juga bayang yang kita kejar itu menjadi semakin dekat.   Bayang-bayang yang kita kejar justru makin menjauh, hingga saatnya kita mulai kehabisan nafas dan bayang-bayang itupun menghilang.   Demikian juga bertarung dengan Ding Tao, saat mulai bertarung dengannya, perhitungan mereka adalah pada jurus ke sekian, pada saat menggunakan jurus tertentu untuk memojokkannya, pada saat penggunaan hawa murni ditingkatkan sampai tahapan ke sekian, dsb, pada saat itu tentu akan tercapai kemenangan.   Kenyataannya saat mereka sudah mencapai titik itu, ternyata kedudukan mereka dan Ding Tao tidak berubah banyak.   Semakin lama bertarung, sementara himpunan tenaga mereka semakin melemah, lawan masih melawan dengan perlawanan yang sama kuatnya jika bukan semakin kuat.   Hingga satu titik di mana Ding Tao berada dalam kedudukan untuk mendikte permainan mereka, saat rasa-rasanya palu pengadilan sudah diketukkan dan sudah diputuskan pada siapa kemenangan akan diberikan.   Bila seseorang menganalisa jurus-jurus lawan, setelah pertarungan berakhir, kemudian berusaha menciptakan cara untuk mengalahkannya.   Ini adalah hal yang biasa, tapi melakukan hal seperti itu dalam pertarungan itu sendiri, dengan hasil yang sedemikian akurat, inilah yang tidak biasa.   Inilah yang dimiliki oleh Ding Tao seorang di jamannya.   Permainan jurus Ding Tao mungkin tidak terlihat ganas, menakjubkan atau mengagumkan.   Fokus anak muda itu pertama- tama adalah pada pertahanan yang kuat dan tidak bisa ditembus.   Jika dia tidak yakin bisa menghancurkan atau mendikte permainan lawan, Ding Tao tidak akan buru-buru menyerang.   Seragan-serangan yang dia lakukan terukur tenaganya dan berfungsi untuk menguji lawan dan sebagai bagian dari pertahanan.   Perlahan-lahan saat dia mulai mengenali permainan lawan, menemukan pemecahannya, barulah dia menerapkannya.   Pada saat dia sudah mulai melakukan itu, kecuali lawan ternyata masih memiliki simpanan lain, pada saat itu sudah bisa ditentukan pada siapa kemenangan akan jatuh.   Tapi jika lawan ternyata memiliki simpanan, hal yang sama akan berulang Ding Tao akan kembali pada sikapnya yang memberatkan pertahanan dan menganalisa permainan lawan.   Itu sebabnya mereka yang hanya menonton dari pinggir arena tidak mudah merasa kagum pada pemuda itu, kecuali jika tingkatan mereka berada di bawah lawan Ding Tao.   Tapi jika tingkatan mereka lebih tinggi dari lawan Ding Tao, maka penilaian yang umumnya mereka berikan tentang kemampuan Ding Tao lebih sering salah daripada benar.   Mereka akan merasa bisa mengalahkan pemuda itu, jika saja mereka yang menghadapinya.   Baru setelah mereka berhadapan, barulah mereka akan merasakan betapa mengerikannya bertarung dengan pemuda ini.   Sepasang Iblis muka giok, mulai merasa putus asa, dengan melemahnya Iblis betina, Iblis Jantan harus mencurahkan sebagian dari perhatiannya untuk melindunginya.   Mata pedang Ding Tao tidak membeda-bedakan lelaki dan perempuan, artinya jika Iblis jantan melupakan pertahanan sendiri mata pedang Ding Tao akan mampir di tubuhnya.   Melewati jurus ke 120, Sepasang Iblis Muka Giok perlahan-lahan semakin jarang menyerang, mereka dipaksa untuk bertahan dan bertahan.   Nasib sepasang iblis itu kini berada di tangan Ding Tao.   Sudah banyak orang mati di tangan sepasang iblis ini, dosa mereka sudah bertumpuk-tumpuk.   Seandainya Ding Tao membunuh mereka hari ini, nama dan kisah kepahlawanannya akan makin melambung tinggi.   Sudah bisa dipastikan akan banyak orang yang simpati pada perjuangan anak muda ini, karena tidak sedikit keluarga dan sahabat dari korban sepasang iblis ini, mendendam tapi tidak ada kemampuan untuk melampiaskan sakit hati.   Kematian mereka akan disambut dengan sorak sorai.   Dalam kisah kepahlawanan yang sering dia dengar di masa kecil dan remajanya, Ding Tao ikut bersorak bersama pendengar dan penonton yang lain, saat sang jagoan berhasil membinasakan iblis yang jahat, pembesar yang korup dan penjahat- penjahat jenis lainnya.   Tapi pengalamannya saat bertarung melawan Fu Tsun, Xiang Long dan sepasang iblis ini beberapa bulan yang lalu, memberikan kesan tersendiri dalam hati dan benak Ding Tao.   Erangan kematian, kengerian tang menyorot di mata mereka.   Entah kejahatan apa saja yang mereka lakukan di kehidupan mereka sebelumnya, seandainya Ding Tao tahu mungkin tidak akan timbul rasa belas kasihan dalam hatinya.   Namun Ding Tao bahkan tidak mengenal mereka sebelumnya, bagi Ding Tao saat itu mereka hanyalah orang-orang, manusia yang tak ada bedanya dengan dirinya.   Yang hanyut dalam permainan kekuasaan segelintir orang, saling bentrok, saling bunuh demi sebatang pedang.   Betapa sia-sianya kematian mereka.   Sekarang pemuda ini kembali dihadapkan pada keadaan yang serupa.   Apakah dia akan membunuh sepasang iblis itu? Tiba- tiba hati Ding Tao melemah, beberapa kali dia melihat hubungan yang dalam antara sepasang iblis itu, saat ada serangan mematikan yang mengarah pada pasangannya, tanpa segan-segan mereka membahayakan diri sendiri demi menyelamatkan pasangannya.   Akibatnya tubuh sepasang iblis itu pun dihiasi dengan lebih banyak luka.   Tindakan itu tentu saja merugikan mereka, karena serangan Ding Tao itu membuka pertahanan dirinya, alangkah lebih baik jika mereka memanfaatkan lobang pertahanan yang terbuka untuk mengirimkan serangan yang mematikan pada Ding Tao.   Tapi rupanya sepasang iblis itu sudah mulai jeri terhadap Ding Tao, mereka tidak berani mengambil resiko.   Ada ketakutan bahwa Ding Tao akan mencoba mengajak mereka mati bersama.   Sehingga Ding Tao akan tetap melanjutkan serangannya meskipun itu mungkin berarti kematian, tapi kematiannya akan diiringi pula dengan kematian seorang dari iblis itu.   Pada awalnya Ding Tao yang melihat hal itu, memanfaatkannya untuk melakukan serangan-serangan tipuan.   Menyerang Iblis betina padahal yang dia incar adalah Iblis jantan, demikian juga sebaliknya.   Tapi lambat laun, kesetiaan pasangan itu, yang rela mati demi kekasihnya menggerakkan hati pemuda ini.   Rasa belas kasihannya timbul, tidak tega dia mendesak terus keduanya.   Tenaganya tidaklah jauh melebihi keduanya, saat ini Ding Tao sudah mulai kelelahan.   Jika ada sedikit kelebihan itu karena Ding Tao lebih pandai mengatur tenaga.   Jika dia mau memenangkan pertarungan, maka tidak ada jalan lain kecuali membunuh salah satu dari sepasang iblis itu.   Tapi hatinya tidak tega, beberapa kali Ding Tao melepaskan kesempatan yang baik, karena tertahan oleh belas kasihan.   "Tahan, mari kita bicara!", pada saat sepasang iblis itu sudah di ambang pintu keputus asaan, tiba-tiba Ding Tao berteriak sambil melompat mundur beberapa langkah jauhnya dari sepasang iblis itu.   Sama sekali tidak terpikir di benak sepasang iblis itu untuk mengejar mundurnya Ding Tao.   Dari tenaga yang digunakan pemuda itu untuk melompat ke belakang, mereka bisa membanding-bandingkan keadaan mereka dan keadaan pemuda itu.   Sepasang iblis itu pun cepat-cepat menggunakan jeda yang ada untuk mengatur nafas.   Iblis jantan yang masih lebih segar dari pasangannya membuka mulutnya.   "Ding Tao apa maumu? Apa kau sudah yakin akan memenangkan pertarungan ini? Dan sekarang kau ingin coba memeras kami? Atau mungkin kau ingin menyombongkan kehebatanmu di depan kami?"   Perlahan Ding Tao maju mendekat sambil menggelengkan kepala, sepasang iblis itu tanpa sadar menegang, tapi Ding Tao tidak menyerang dia hanya bergerak mendekat, meskipun pedangnya masih terhunus dan siap digunakan.   Melihat Ding Tao tidak berniat berbuat curang, sepasang iblis itu sedikit mengendorkan ketegangan mereka.   Dengan jarak yang tidak terlalu dekat tapi juga tidak terlalu jauh, Ding Tao menjawab.   "Tidak, tidak ada maksud untuk memeras kalian ataupun menyombongkan diriku. Meskipun kurasa jika kalian mau jujur, bukanlah satu kesombongan jika kukatakan aku akan bisa mengalahkan kalian dalam beberapa belas jurus lagi." "Kami masih punya ilmu simpanan", ujar iblis jantan pendek, berusaha menyembunyikan kenyataan. Sebelah alis Ding Tao terangkat, ia memandang Iblis jantan dengan sorot mata yang tajam. Di bawah pandangan mata Ding Tao, iblis jantan tiba-tiba merasa gentar. "Terserahlah apa katamu, yang pasti menurut kataku, dalam belasan jurus satu di antara kalian akan mati.", ujar Ding Tao akhirnya, setelah beberapa lama memandang tajam ke arah Iblis jantan, berharap dia mau jujur akan keadaannya. Iblis betina yang sudah mulai teratur kembali nafasnya menjawab dengan sengit.   "Mati ya mati, lalu apa maumu? Ternyata kau hanya hendak menyombongkan dirimu saja!"   Ding Tao menggelengkan kepala.   "Bukan itu maksudku, aku hanya ingin kita sepakat akan keadaan kita saat ini. Aku bisa menang dan hanya bisa menang jika aku membunuh salah satu dari kalian."   Untuk beberapa saat Ding Tao diam menunggu saat dilihatnya sepasang iblis itu tidak menyangkal, dia melanjutkan.   "Tapi aku tidak ingin membunuh kalian" "Hmm apa yang kau mau sebagai gantinya?", desis iblis jantan. "Satu hal saja, jangan ganggu aku lagi.", jawab Ding Tao. Kemudian dia buru-buru menambahkan.   " dan kalau kalian tidak keberatan sebisa mungkin hentikan saja tingkah kalian yang kesetan-setanan itu. Aku tahu kalian pandai menyamar, kalian bisa dengan mudah memulai hidup baru."   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Melongo sepasang iblis itu, jawaban Ding Tao di luar dugaan mereka, bukan hanya jawabannya tapi juga cara pemuda itu menyampaikannya.   Biasanya jika seorang biksu atau pendeta yang taat beragama berhasil menaklukkan kawanan penjahat lalu mengkhotbahi mereka agar kembali ke jalan yang benar, tentu tidak seperti lagak Ding Tao saat ini.   Masa untuk itu pun pemuda itu menambahkan, kalau kalian tidak keberatan "Heh heh..   hehehehe hahah hahahaha.", Iblis jantan tertawa berkakakan, tapi di antara tawanya terdengar kepahitan.   "Anak muda kau ini aneh sekali.   Tidak tahukan kau siapa kami ini? Kami ini Sepasang Iblis Muka Giok, tangan kami sudah berlumuran darah dan kau dengan ringannya mengatakan, jika kami tidak keberatan, baiknya kami memulai hidup baru.", pandang mata iblis jantan saat itu tidak nampak seperti setan, tapi nampak penuh kesedihan.   Ding Tao tentu saja merasa kejut dan heran, dia tidak akan heran jika iblis jantan memakinya atau menyumpahinya atau bahkan dengan licik coba menyerangnya.   Tapi sorot mata yang penuh kesedihan, sangat tidak sesuai untuk seorang iblis seperti dia.   Belum habis keterkejutannya, dia mendengar isak tangis tertahan, saat dia menengok untuk melihat sumber suara itu, ternyata iblis betina sedang meneteskan air mata dan menangis tanpa suara.   "Ini ini kalian ini kenapakah?", antara merasa lega dan bingung Ding Tao tidak tahu harus mengatakan apa atau berbuat apa.   Jika mereka main curang, justru dia tahu apa yang harus dia lakukan.   Jika mereka menyerangnya dengan jurus mereka yang paling keji, dia sudah melihatnya dan tahu cara memunahkannya.   Tapi sekarang mereka menangis, lalu apa yang harus dia lakukan? "Sudahlah, hanya cerita lama yang tidak ingin kukenang.", jawab Iblis jantan dengan singkat.   "Apakah kalian ada kesulitan tertentu hingga terpaksa menjalani hidup sebagai sepasang iblis?", tanya Ding Tao dengan nada bersimpati.   Iblis jantan menatap tajam wajah Ding Tao, jika orang lain yang bertanya mungkin dia akan naik darah dan kembali mengajak adu nyawa, tapi wajah pemuda itu begitu tulus.   Selain memang Ding Tao tidak bersalah, karena tidak banyak yang tahu kisah kelam mereka.   Pemuda itu juga menumbuhkan perasaan suka dalam hati si iblis jantan.   Dunia persilatan penuh kepalsuan, tidak seperti kisah kepahlawanan yang menceritakan persahabatan sejati.   Pahlawan- pahlawan dalam dunia persilatan, tidak jarang adalah orang-orang yang paling munafik dan tidak mengenal kata persahabatan.   Iblis jantan sudah merasakan pahitnya ditinggalkan orang-orang yang memanggilnya sahabat.   Dalam waktu sekejap, yang beberapa hari sebelumnya masih minum arak bersama, tiba-tiba memandang dia seperti memandang seonggok sampah.   Bagi mereka yang sedang menikmati hasil jerih payahnya lewat bermacam intrik dan penipuan, Ding Tao tidak lebih dari anak mudah bodoh yang menyebalkan.   Tapi bagi orang-orang yang tersisih dan dikecewakan, watak Ding Tao yang lugu, terbuka dan santun, membawa kesegaran.   Seandainya saja dulu kami sempat mengenalnya, mungkin kami tidak akan memilih jalan seperti ini, pikir sepasang iblis itu.   Tapi semuanya sudah terlanjur basah, kejahatan mereka sudah bertumpuk-tumpuk seperti gunung.   Mengajak Ding Tao bersahabat sekarang ini, sama saja artinya menghancurkan kehidupan pemuda itu.   Mereka tahu rasanya dimanfaatkan lalu dicampakkan, mereka tidak mau melakukan hal yang sama, hanya demi perasaan pribadi menghancurkan kehidupan orang yang mereka panggil sahabat.   Sepasang iblis itu sudah bersama-sama sekian lamanya, mereka sudah sehati dan sepikir.   "Soal itu kau tak perlu tahu, sudahlah, kami sudah kalah.   Kau melepaskan kami itu adalah hutang budi yang tidak akan kami lupakan.   Pedang itu memang sepantasnya jadi milikmu.", ujar iblis jantan menjawab tawaran Ding Tao.   Sesaat lamanya dia termangu, kemudian sebelum berbalik dia berpesan.   "Hanya satu pesanku, hati-hati dalam pengembaraanmu di dunia persilatan. Banyak serigala menyamar menjadi domba. Bakatmu sungguh luar biasa, dengan pengalaman yang cukup, mungkin kau akan jadi jagoan nomor satu. Satu permohonanku, sebelum hari itu tiba jangan mati dulu."   Dengan pesan itu, sepasang iblis itu membalikkan badan kemudian melompat, berlari dengan cepat, menghilang dalam lebatnya hutan.   Ding Tao memandangi mereka dengan perasaan hangat.   Ya, tiba-tiba saja dada pemuda itu dipenuhi dengan kehangatan.   Sepasang iblis tidak perlu mengangkat persahabatan dengan Ding Tao.   Hati Ding Tao yang peka dapat merasakan pancaran persahabatan yang muncul dari sorot mata mereka.   Penemuan yang baru ini membuat Ding Tao berpikir panjang, merenungi apa yang baru saja terjadi.   Sepasang iblis itu, meskipun banyak melakukan kejahatan, ternyata sangatlah berperasaan.   Jika demikian lalu mengapa mereka sampai menjadi sepasang iblis yang ditakuti banyak orang? Meskipun iblis jantan tidak mau menceritakan apa-apa, dari sikap mereka Ding Tao bisa menduga-duga.   Tentu ada kejadian pahit di masa lalu mereka, mungkin pengkhianatan sahabat atau bahkan saudara.   Sesuatu yang berhubungan dengan orang ternama atau setidaknya dikenal sebagai orang yang lurus, tapi ternyata menyimpan kejahatan dalam hati.   Pesannya yang mengingatkan Ding Tao bahwa banyak serigala berbulu domba mengesankan hal itu.   Apa pun yang terjadi, hal itu mendorong mereka untuk mengambil jalan yang sesat ini.   Lama pemuda itu tercenung di sana, tentang pembunuhan yang dilakukan sepasang iblis itu, bukankah dia pun pernah membunuh orang? Hubungan dalam dunia persilatan terkadang begitu rumit.   Orang membunuh belum tentu karena dia ingin membunuh.   Hari ini Ding Tao melihat sesuatu yang berbeda dalam pandangannya terhadap ilmu pedang.   Teringat pula akan pertandingan persahabatan melawan Feng Xiaohong, Zhu Lizhi dan yang lain.   Ilmu pedang ternyata tidak selalu berarti kematian, selama ini orang menggunakan pedang sebagai senjata untuk membawa kematian.   Tapi nyatanya baik ilmu pedang maupun pedang, keduanya adalah alat yang mati, dirinya sebagai pemilik dari ilmu dan pedang.   Dia berkuasa untuk menentukan, apa yang hendak dia lakukan dengan ilmu dan pedang yang dia miliki.   Dipandanginya pedang yang ada di tangan, dipandangnya dengan cara pandang yang berbeda.   Pedang yang selama ini dia pandang sebagai senjata pembunuh, pembasmi iblis, setidaknya sebagai alat untuk membela diri.   Ternyata bukan hanya bisa membunuh iblis, pedangnya berhasil menari keluar sisi kemanusiaan dari sepasang iblis.   Penemuan ini membuatnya bahagia dan bersemangat, lebih daripada saat dia berhasil mempelajari kitab Tenaga Inti Bumi.   Mendongakkan kepala, memandang langit yang bersih, semangatnya terbang hingga ke puncak.   Satu perasaan euforia yang tak tertahankan.   Dengan satu lompatan tinggi ke angkasa, Ding Tao berteriak nyaring dan mengerahkan segenap tenaganya, menyalurkan semangatnya yang berapi-api.   Kumpulan jurus dan ingatan yang mengendap dalam hati dan benaknya, tiba-tiba saja membentuk satu gerakan yang muncul dengan wajar dari dalam hati.   Dalam sekejapan cahaya pedang seakan memenuhi langit, hawa pedang terasa tajam, meluas sampai beberapa langkah di sekeliling pemuda itu, tapi tidak ada hawa membunuh yang biasanya menyertai hawa pedang.   Bagaikan jaring keadilan penuh kemurahan datang dari langit memenuhi bumi.   Menebar tanpa meninggalkan tempat untuk mengelak, tiap hawa pedang tidak mengandung hawa pembunuhan tapi berat menekan lawan.   Ketika hawa pedang lenyap, terlihat Ding Tao berdiri tegak, tangan kiri menyilang di depan dada, tangan kanan menggenggam pedang berada di belakang punggung.   Di sekitarnya tanah dipenuhi gurat-gurat garis halus bekas sentuhan hawa pedang di atas permukaan tanah.   Lama pemuda itu berdiri tegak, tak bergerak, mengendapkan ledakan semangat yang tadi dia rasakan.   Saat dia kembali melangkah menuju kediaman Murong Yun Hua, senyum bahagia tidak juga hilang dari wajahnya.   Sejak dia mendapatkan Pedang Angin Berbisik dan dipaksa untuk mencapai ilmu pedang tertinggi, hawa pembunuhan seakan menyertai setiap langkah kaki, setiap desiran darah dalam tubuh dan setiap detak denyut jantungnya.   Bayangan pembunuhan seperti arwah gentayangan, tidak terlihat namun bisa dirasakan keberadaannya.   Dalam setiap perenungannya akan ilmu pedang, pokok yang terpenting adalah mengalahkan lawan.    Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Si Rase Hitam Karya Chin Yung Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini