Pedang Angin Berbisik 20
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 20
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Chou Liang merenungi perkataan Ding Tao dan menjawab. "Mungkin itu salah satu pengorbanan yang harus ketua berikan demi tercapainya cita-cita. Setiap perjuangan menuntut pengorbanan dan bentuk pengorbanan itupun berbeda-beda. Bahkan di masa yang mendatang, mungkin akan ada saatnya ketua harus mengeraskan hati dan meninggalkan orang-orang yang dekat dengan ketua dalam bahaya demi perjuangan itu. " Mereka sudah sampai di depan pintu kamar saat Chou Liang mengatakan hal itu. Ding Tao terdiam merenungi perkataan Chou Liang, dalam hati dia bertanya, apakah saat seperti itu akan tiba. Jika ya, apa yang akan dia lakukan? Chou Liang yang bisa menduga pergumulan hati Ding Tao ikut terdiam. Perlahan Ding Tao membuka pintu kamar dan mengambil nafas dalam-dalam, kemudian berkata. "Perkataanmu itu berat untuk dijalani, kukira hingga saat seperti itu tiba aku tidak akan pernah tahu pilihan apa yang nantinya akan kuambil." Chou Liang tersenyum dan menjawab. "Jika saatnya tiba, aku yakin ketua akan mengambil keputusan yang tepat." "Semoga saja begitu, baiklah aku beristirahat terlebih dahulu", jawab Ding Tao sambil membalas senyum Chou Liang. Chou Liang pun berpamitan, Ding Tao pun masuk ke dalam kamar dan mulai bermeditasi, menyatukan pikiran dan segenap rasa untuk merenungi pertarungannya dengan pembunuh misterius yang harus dia hadapi untuk kedua kalinya sebagai batu loncatan, jika dia ingin perkumpulan yang dia dirikan menjadi kuat. Semalaman Ding Tao bekerja keras untuk memikirkan cara melawan pemubunuh misterius yang memiliki ilmu pedang yang sulit ditandingi itu.Para pengikutnya tidak ingin mengganggu konsentrasinya, karena itu meskipun Ding Tao tidak muncul pada saat makan malam, mereka tidak pergi untuk mengingatkan Ding Tao. Hanya saja satu baki hidangan, makan dan minum, diletakkan di depan pintu kamar Ding Tao. Keesokan paginya mereka melihat Ding Tao tidak menyentuh hidangan itu sedikitpun, tanpa banyak tanya, mereka pun mengganti hidangan itu dengan satu baki hidangan yang baru. Tengah hari, di hari kedua, Ding Tao berjalan keluar dari kamar, badannya terasa lemas karena sehari semalam tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Badannya boleh lemas, tapi semangatnya justru sedang bangkit, karena Ding Tao merasa mendapatkan satu cara untuk menghadapi pembunuh misterius itu. Begitu Ding Tao membuka pintu dia mendapati makanan dan minuman yang sudah disediakan baginya. Dengan rasa haru, Ding Tao membawa makanan dan minuman itu ke dalam kamarnya. Sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang besar, namun bagi Ding Tao yang tumbuh dan besar sebagai tukang kebun dalam keluarga Huang, mendapatkan pelayanan semacam ini adalah hal yang baru. Setelah sedikit makan dan minum, Ding Tao kembali mulai dengan latihannya. Apa yang ada dalam bayangannya perlahan dia tuangkan dalam gerak. Saat keringat sudah mulai membasahi tubuhnya dia beristirahat sekaligus kembali makan dan minum secukupnya. Demikian hal itu berlanjut sampai hari mulai malam. Saat Ding Tao akhirnya selesai dengan perenungan dan latihannya, diapun duduk mengumpulkan kembali kekuatan dan semangatnya. Setelah nafasnya kembali teratur dan seluruh tubuhnya terasa segar, pemuda itupun mengumpulkan mangkok dan piring yang kosong, ke atas baki. Lalu dibukanya pintu hendak membawa cucian piring itu ke tempatnya. Saat pintu terbuka, Ding Tao pun melihat ternyata sudah ada Chou Liang dan Tabib Shao Yong yang berdiri menunggunya. Chou Liang bergegas mengambil baki makanan yang sudah kosong dari tangan Ding Tao dan berkata. "Ketua, biar aku yang membereskan ini, sementara biarlah Tabib Shao Yong memeriksa kesehatan ketua. Satu hari satu malam ketua berlatih tentu menghabiskan banyak tenaga, sedangkan besok adalah hari penentuan yang penting." Ding Tao tak kuasa mencegah Chou Liang, akhirnya dia pun mengangguk dan tersenyum, menyerah pada pengikutnya itu, "Baiklah, sebenarnya aku merasa baik-baik saja tapi memang sebaiknya Tabib Shao Yong memeriksa kembali untuk memastikan." Berdua Tabib Shao Yong dan Ding Tao masuk kembali ke dalam kamar, duduk di pinggir pembaringan, Tabib Shao Yong mulai memeriksa denyut nadi Ding Tao dengan meletakkan 3 jarinya di pergelangan tangan Ding Tao. Muka tabib tua itu berkerut saat dia berkonsentrasi mengamati denyut nadi Ding Tao. Jari-jari dan perasaannya yang sudah terlatih, begitu pekanya hingga bisa mengamati keadaan tubuh seseorang lewat denyut nadi pada pergelangan tangan. Sesaat kemudian tabib tua itu menghembuskan nafas lega. "Kukira keadaan ketua sehat-sehat saja, bahkan sangat sehat. Kondisi ketua jauh di atas orang-orang pada umumnya. Tapi untuk memastikan, apakah ketua tidak keberatan jika aku memeriksa lebih lanjut?" "Tentu saja, tidak perlu sungkan, Tabib Shao Yong yang lebih mengerti tentang masalah kesehatan tubuh manusia." Tabib Shao Yong pun memeriksa kedua bola mata Ding Tao, meminta Ding Tao untuk menjulurkan lidahnya dan sebagainya. Alis tabib tua itu sedikit berpikir dan merenung, membuat hati Ding Tao sedikit berdebar. "Ketua, sebenarnya semuanya terlhat baik-baik saja dan seperti yang aku katakan, justru kondisi ketua jauh lebih baik dari orang pada umumnya. Bahkan pada pesilat pada umumnya. Dari pemeriksaan yang kulakukan, aku mendapati reaksi dan daya kerja urat dan syaraf ketua beberapa kali lebih cepat daripada kewajaran.", kata Tabib Shao Yong. Ding Tao pun jadi teringat obat sakti pemberian Murong Yun Hua, dalam hati dia berterima kasih pada gadis itu. Sudah beberapa lama dia hidup dalam keadaan demikian hingga daya pikir dan daya tangkapnya yang beberapa kali lipat dibanding sebelum meminum obat itu, tidak lagi menjadi satu hal yang luar biasa. Tapi Ding Tao tidak berani mengungkapkan hal itu pada Tabib Shao Yong, ada kekuatiran dalam hatinya jika dia bercerita tentang obat sakti itu, maka cerita itu bisa merembet pula sampai pada kisah cintanya dengan Murong Yun Hua. Padahal Ding Tao justru ingin mengubur dalam-dalam kisah itu, karena kisah itu bertalian erat pula dengan perasaannya terhadap Huang Ying Ying. Perasaan bersalah membuat Ding Tao terlampau menutup diri dalam satu hal ini. Ding Tao bukannya tidak menyadari hal itu, namun dia tidak mampu menghindarinya. Ding Tao terkadang merasa malu bahwasannya dia tidak memiliki keberanian untuk mengakui apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Murong Yun Hua. Dia merasa bersalah, baik pada Huang Ying Ying, juga pada Murong Yun Hua. Sejenak lamanya Ding Tao terdiam sebelum dia berani memandang wajah Tabib Shao Yong yang menunggu dia menanggapi perkataannya. "Apakah ada masalah dengan hal itu?", tanya Ding Tao pada Tabib Shao Yong dengan wajah tersipu. Tabib Shao Yong pun tersenyum maklum, dia sudah cukup tua dan sudah mengenal Ding Tao cukup lama untuk memahami bahwa ada hal yang tidak ingin diceritakan oleh pemuda di depannya ini. "Tidak ada masalah, justru sepertinya ketua akan mampu meningkatkan kemampuan ketua dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan orang lain. Gerak refleks dan kecepatan reaksi ketua menghadap lawan pun akan beberapa kali lebih cepat dibanding orang biasa." "Oh, begitu", ujar Ding Tao tidak tahu harus berkata apa. "Mari ketua, kita pergi ke ruang tengah, seluruh saudara yang lain sudah berkumpul di sana. Bahkan Tuan dan Nyonya Ma Songquan pun sudah ikut bergabung dengan kita di sini.", kata Tabib Shao Yong memecahkan suasana yang jadi sedikit kaku. "Ah Kakak Ma Songquan berdua juga sudah bergabung, sungguh bagus sekali. Tapi dari mana mereka bisa tahu kita berada di sini?" "Rupanya mereka berdua sudah mengikuti kita sejak kita keluar dari kota Wuling dan kemudian memutuskan untuk melakukan sedikit penyisiran di kota Jiang Ling sebelum bergabung kembali dengan kita. Tentu saja mereka berdua tidak tahu kode untuk masuk ke dalam rumah, tapi dengan sabar mereka berdua menanti sampai melihat Saudara Li Yan Mao keluar dari pintu itu dan menyapanya.", ujar Tabib Shao Yong, menceritakan serba singkat tentang kedatangan sepasang pendekar tersebut. "Ah, kedua orang itu selalu saja mengejutkan, kalau begitulah ayolah cepat, jangan biarkan orang-orang menunggu.", kata Ding Tao sambil bergegas pula menuju ke ruang tengah diikuti oleh Tabib Shao Yong di belakangnya. Di ruang tengah semua orang sudah berdiri menunggu, begitu Ding Tao memasuki ruangan, mereka semua berdiri dengan hikmat dan memberi hormat. Ding Tao membalas penghormatan mereka kemudian duduk di kursi yang sudah disediakan untuknya. Baru setelah Ding Tao duduk yang lain mengikuti. Qin Bai Yu, Tang Xiong dan Chou Liang memilih untuk berdiri karena jumlah kursi yang terbatas. Ding Tao memandang Chou Liang kemudian menganggukkan kepala. Melihat itu Chou Liang pun berjalan ke depan dan menyapa sekalian yang hadir. "Seperti yang sudah kita semua ketahui, kita berencana untuk berhadapan muka dengan muka, melawan Tiong Fa dan orang-orang yang berada di belakangnya. Laporan terakhir mengabarkan munculnya kurir yang sepertinya mengirimkan satu kabar pada Tiong Fa, sebelum kemudian pergi dengan diam-diam." "Kemungkinan besar, keberadaan Ketua Ding Tao dan kita di sini sudah berhasil diketahui lawan. Atau mungkin ada perkembangan lain dalam organisasi lawan yang tidak kita ketahui. Selain kabar yang kurang menyenangkan ini, ada kabar lain yang cukup membuat kita berbesar hati. Orang-orang dalam yang berhasil kita hubungi, sudah menyatakan siap untuk berdiri di belakang kita jika kita hendak melakukan serangan terhadap Tiong Fa." Mendengar kabar itu sekalian yang datang mengangguk dengan puas, dengan bertambahnya pendukung tentu kesempatan mereka untuk menang menjadi semakin besar. "Meskipun demikian, mereka memberikan satu syarat.", ujar Chou Liang melanjutkan penjelasannya. "Syarat apa?", tanya Ding Tao. "Mereka tidak akan segera terjun maju dalam pertempuran itu, melainkan akan berdiri menunggu, dan akan menentukan sikap selanjutnya setelah melihat hasil pertarungan antara Ketua Ding Tao dengan jagoan misterius yang menjadi tulang belakang Tiong Fa. Itu artinya, sampai dengan Ketua Ding Tao berhasil mengalahkan orang tersebut, kita akan bertarung sendirian melawan orang-orang Tiong Fa yang lebih banyak dari segi jumlah.", urai Chou Liang menjelaskan syarat yang diajukan oleh orang-orang bekas pengikut keluarga Huang di kota Jiang Ling. Muka Li Yan Mao memerah, sambil menggeram jago tua itu memaki. "Pengecut! Apa maksud syarat mereka itu?" Ding Tao segera mengangkat tangannya sehingga kekecewaan dan kemarahan yang mulai menyebar itu terhenti, "Sebentar, sebentar, jangan emosi kalian menjadi tinggi karena hal itu. Syarat yang mereka berikan aku terima dan aku pun bisa memahaminya. Sebagian besar yang berada di Jiang Ling adalah perajin dan pedagang, mereka bukan orang yang hidup dengan pedang. Mereka pun tentu tidak ingin keluarganya mengalami nasib seperti apa yang terjadi di kota Wuling." "Kita datang meminta mereka untuk mempertaruhkan keamanan yang mereka miliki saat ini. Janji yang mereka berikan menunjukkan bahwa merekapun tidak menerima keadaan saat ini. Bukan suatu hal yang salah jika mereka menunggu sampai kita bisa memberikan bukti akan kemampuan kita, kesediaan mereka untuk tidak turun dalam pertempuran saja sudah merupakan satu keberanian. Karena jika nanti ternyata kita kalah, tentu sikap mereka itupun akan dihadapi dengan tangan besi oleh Tiong Fa. Akan ada orang yang menanggung hukuman atas sikap menunggu mereka.", ujar Ding Tao berusaha meredakan amarah yang hadir saat itu. Chou Liang mengangguk-anguk puas dan kemudian menyahut. "Sebenarnyalah uraian Ketua Ding Tao cukup tepat mewakili kejadian sesungguhnya. Adalah orang dalam keluarga Huang yang kita hubungi yang berusaha membujuk anggota yang lain untuk bersikap menunggu. Akhirnya mereka semua setuju setelah orang tersebut berjanji akan maju mempertanggung jawabkan semuanya jika kita kalah dalam pertempuran itu." Mendengar penjelasan Ding Tao dan Chou Liang, amarah orang-orang itupun jadi sedikit mereda. "Siapakah orang yang pemberani itu?", tanya Wang Xiaho. "Nama orang itu adalah Qin Hun, ayah saudara kita Qin Bai Yu", jawab Chou Liang sambil tersenyum pada Qin Bai Yu. Tang Xiong yang berada di samping Qin Bai Yu menepuk pundak pemuda itu dengan rasa sayang, yang lain pun menganggukkan kepala pada pemuda itu. Wajah Qin Bai Yu jadi kemerahan karena malu, dalam hati pemuda itu merasa bangga akan sikap jantan ayahnya, sekaligus merasakan kekhawatiran pada nasib yang akan menimpa ayahnya jika sampai mereka gagal. Dengan penuh harap pemuda itu memalingkan wajah pada Ding Tao, orang yang akan menjadi kunci dari pergerakan mereka kali ini. Chou Liang pun berpaling pada Ding Tao dan mewakili yang lain menanyakan apa yang ada dalam pikiran mereka semua, "Ketua, bagaimana hasil latihan ketua? Akankah kita maju atau menunggu lagi sampai beberapa waktu?" Pertanyaan itu menggantung dalam ruangan yang sunyi senyap untuk beberapa lamanya, sebelum kemudian Ding Tao menjawab dengan tegas. "Kita laksanakan rencana itu, jika langit berkenan, besok saat aku bertarung dengannya adalah hari penghabisa bagi dirinya." Tidak terdengar sorak-sorai, namun bagi yang hadir dalam ruangan itu terasalah bagaimana udara dalam ruangan itu serasa dipenuhi oleh sorak-sorai. Ketegangan yang tadi menyelimuti ruangan itu segera meleleh, diganti dengan ketegangan yang berbeda. Ketegangan seekor kuda liar dalam kekangan yang ingin lepas dan berlari di padang rumput. Atau kuda pacuan yang menunggu aba-aba untuk berlari. Hanya Ding Tao yang sedikit berbeda, bukan berarti dia tidak memiliki kemauan atau kesungguhan sekuat pengikutnya, namun bayangan bahwa dirinya harus membunuh seseorang tidaklah menyenangkan hatinya. Sejak peristiwa yang mengakibatkan terbunuhnya Fu Tsun oleh siasat Ding Tao, pemuda ini berusaha untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah. Namun Ding Tao menyadari pentingnya kemenangan esok hari dan pembunuh itu terlalu kuat untuk dapat dia kalahkan tanpa menumpahkan darah. Malam itu mereka membahas rencana mereka untuk keesokan harinya. Tidak ada yang terlampau rumit karena lawan jauh lebih mapan dari kedudukan mereka, sehingga kecil kemungkinan lawan merasa perlu untuk menghadapi Ding Tao dengan siasat. Di saat yang sama, Ding Tao dan kawan-kawannya pun tidak ingin memenangkan pertempuran lewat siasat, karena mereka justru hendak menunjukkan kekuatan mereka kepada orang-orang bekas pengikut keluarga Huang. Menang lewat siasat tidak akan menarik bagi mereka. Ding Tao perlu memenangkan pertarungannya dengan gemilang. Setelah pertemuan yang cukup singkat, masing-masing pergi ke ruangannya untuk beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk pertempuran esok pagi. Masing-masing dengan isi benak dan hati yang berbeda. Pagi itu seperti pagi biasa di kota Jiang Ling, tidak ada yang berbeda. Para pedagang yang mulai memenuhi pasar, berdatangan seperti biasa. Yang pergi bekerja juga pergi bekerja seperti biasa, yang biasa bermalas-malasan mencari kesenangan masih bermalas-malasan di tempat tidurnya. Tapi ada yang tidak biasa di satu tempat di kota Jiang Ling itu. Di depan sebuah bangunan yang menjadi tempat tinggal Tiong Fa terasa satu ketegangan yang mencekam. Orang yang biasa berlalu lalang lewat jalan itu, terhenti beberapa jauh dari bangunan itu. Tidak berani untuk melangkah lebih dekat, tapi tidak kuasa pula untuk berbalik dan menjauh. Hawa pembunuhan memenuhi tempat itu dengan pekat. Berjajar di depan bangunan itu Ding Tao dan segelintir pengikutnya. Di kiri dan kanan Ding Tao berdiri Ma Songquan dan Chu Lin He. Berjajar sedikit di belakang mereka bertiga adalah Tang Xiong, Qin Bai Yu, Li Yan Mao, Wang Xiaho dan Liu Chun Cao. Mereka berdiri dengan tenang, meskipun pedang belum terhunus namun setiap orang yang hendak lewat bisa melihat bahwa mereka sedang mencari gara-gara. Pemandangan itu sekilas nampak konyol bagi orang bayaran Tiong Fa yang sedang berjaga di depan gerbang. Kebetulan ada tiga orang yang bertugas berjaga saat itu. Mereka baru saja membuka gerbang rumah usaha mereka, ketika melihat Ding Tao dan yang lainnya berdiri berjajar, dengan mata tajam memandangi mereka. Sejenak ketiga orang itu saling berpandangan dengan wajah keherenan dan geli, akhirnya salah seorang dari mereka mengangkat bahu lalu maju ke depan. Sambil menunjuk ke arah wajah Ding Tao dan yang lain dia bertanya. "He, kalian ini mau apa? Apa mau cari gara-gara di sini? Sudah sana cepat pergi jangan ganggu usaha orang atau kami akan mengusir kalian dengan jalan kekerasan." Ditunjuk-tunjuk dengan kasar Ding Tao tidak menunjukkan kemarahan, dengan tenang dia mengangguk dan menjawab, "Aku memang kemari untuk mencari perkara dengan kalian. Kami kemari ingin menuntut keadilan bagi keluarga Huang di Wuling. Katakan pada tuanmu, Tiong Fa untuk keluar dan menghadapi kami." Mendengar jawaban Ding Tao yang diucapkan dengan tenang ketiga orang itu makin heran dan tidak habis pikir. Sekali lagi mereka memperhatikan keadaan sekelilingnya, membayangkan ada puluhan orang yang tak terlihat sedang berbaris siap menyerang. Tapi seperti apapun dipandang, yang berdiri di hadapan mereka dan berkata hendak membuat perhitungan jumlahnya tidak lebih dari sepuluh jari mereka. Ingin tertawa dan berolok-olok, namun ketenangan dan keseriusan wajah Ding Tao dan rekan-rekannya membuat hati ketiga orang itu tergetar juga. "Laporkan ke dalam", salah seorang dari antara mereka yang bertindak sebagai pemimpin bagi kawannya akhirnya berkata. "Apa yang harus dilaporkan?", bisik salah seorang dari mereka bertanya, sambil memandangi rombongan Ding Tao dengan wajah bingung. "Bodoh, ceritakan saja apa yang terjadi di sini.", ujar yang seorang lagi. "Pada Tuan besar Tiong Fa?", tanya kawannya lagi, tidak sempat merasa tersinggung oleh makian temannya, karena jantungnya berdebaran dengan kencang menyaksikan tingkah polah Ding Tao dan rekan-rekannya. "Jangan, laporkan saja pada Kakak Fu Shien, biar dia yang memutuskan", jawab yang memimpin di antara mereka, sambil menjawab matanya tidak lepas-lepas mengamati Ding Tao dan rombongannya. Setelah mendapat kepastian, bergegas orang yang dari bertanya masuk kembali ke dalam bangunan. Pada dasarnya jantungnya sudah mengerut melihat ketenangan Ding Tao dan rombongannya. Sebenarnya bukan hanya dia, tapi dua rekannya pun merasakan kegawatan situasi mereka saat itu. Jika segelintir orang bisa mendatangi markas mereka dan dengan tenang menantang Tiong Fa, pimpinan mereka, tentu orang-orang ini punya pegangan yang tidak bisa dianggap enteng. Hanya saja nyali dua orang itu lebih besar dari nyali kawannya yang masuk untuk melapor tadi. Ingin melihat bagaimana reaksi Ding Tao, pemimpin penjaga gerbang itu menggerakkan kepalanya, menunjuk kawannya yang berlari masuk. "Kau lihat, kawanku tadi sudah masuk untuk melapor. Jika kalian masih sayang badan, kusarankan kalian pergi saja sekarang. Jika kalian berlambat-lambat, tentu akan menyesal." Wang Xiaho tidak tahan dan mendengus. "Heh jangan kau anggap kami anak kecil yang tidak memiliki perhitungan dan bisa kau gertak dengan ancaman macam itu. Jika kami berani datang, tentu kami punya perhitungan sendiri pula." Wajah kedua penjaga gerbang itu pun menjadi gelap dan mengeras, tangan mereka meraba gagang golok yang tergantung di pinggang, sadar bahwa sebentar lagi akan terjadi pertarungan hidup dan mati. Ding Tao yang melihat gerak-gerik kedua orang itu berkata pula. "Urusan kami sebenarnya hanyalah dengan Tiong Fa, aku tahu kalian hanya orang bayaran. Jika kalian mau minggir, kami pun tidak akan menurunkan tangan keras pada kalian. Tapi siapapun yang berani menghalangi, kami tidak akan sungkan-sungkan, jika ada darah tertumpah, jangan salahkan kami karena pedang tidak bermata." Kedua orang itu menggertakkan gigi mereka, salah seorang di antara mereka menjawab. "Tidak usah banyak bicara, kita hidup dengan pedang, sudah wajar jika matipun oleh pedang. Jika darah kami bisa tertumpah, demikian pula dengan darah kalian, karena golok kamipun tidak bermata." "Hmm apakah kalian berdua tidak tahu kejadian di Wuling, kami datang menuntut keadilan. Tumpahnya darah kami dan tumpahnya darah kalian tentu saja beda harganya. Jika kami mati, kami mati berusaha menegakkan keadilan. Jika kalian mati, kalian mati hanya karena masalah harta.", jawab Ding Tao dengan dingin. "Hmph Omong kosong dengan keadilan, kalian datang menghantar nyawa, apa kalian tidak tahu berapa jumlah orang yang ada dalam gedung ini?", jawab salah satu penjaga, matanya menyipit tajam, biarpun tidak kentara dan singkat saja, suara golok yang dicabut dari sarungnya terdengar oleh setiap orang. Dengan senyum mengejek Ma Songquan menjawab. "Hmm jika hal kecil begitu saja kami tidak tahu, anggap saja kami memang pantas mati di tangan cecurut macam kalian. Jumlah lelaki yang mampu mengangkat senjata seluruhnya ada 68 orang. 35 di antaranya adalah bekas-bekas pengikut keluarga Huang yang kalian taklukkan. Sedangkan 33 orang sisanya adalah orang-orang bayaran Tiong Fa. Dari 33 orang itu yang bisa dibilang ada harganya tidak lebih hanya 7-8 orang saja dan kalian berdua ini bukan termasuk di antaranya." Memerah wajah kedua penjaga itu, antara menahan marah dan juga tegang karena lawan ternyata bukan hanya bisa bicara kosong saja. Apa yang dikatakan sungguh tepat dengan keadaan sebenarnya. Ada sementara orang semakin ketakutan justru semakin marah untuk menutupi rasa takutnya, demikian juga dengan salah seorang dari penjaga itu. Dengan tangan gemetaran dia mencabut goloknya dan mengacung-acungkannya ke arah Ma Songquan. "Jaga mulutmu, atau kurobek mulutmu yang kurang ajar itu dengan golokku ini!" Ma Songquan tersenyum dingin mendengar ancaman itu, jika kata-kata yang sama didengarnya beberapa waktu yang lalu, orang itu tentu sudah tidak bernyawa saat ini. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Beruntung sifatnya sudah banyak berubah setelah bertemu Ding Tao. "Hoo, kau diam saja, apa kau merasa takut sekarang?", ejek orang itu sambil menggoyangkan goloknya. Ding Tao yang bisa merasakan kemarahan yang menggelegak dalam hati Ma Songquan, meletakkan tangannya ke pundak Ma Songquan, kemudian dengan nada menegur dia menasihati penaga yang mengacung-acungkan goloknya. "Sobat, sarungkan golokmu, tidak ada perlunya mengusik kemarahan kawanku ini. Jika kau memang ingin bertarung, tunggu sebentar sampai tuanmu, Tiong Fa memberikan jawaban. Janganlah ketakutanmu membuatmu kehilangan akal." Dinasihati demikian tentu saja membuat orang itu semakin kebakaran jenggot, dia bergerak seperti akan melangkan maju, namun rekannya jauh lebih bijaksana. Dia segera menahan temannya untuk tidak maju ke depan. "Tunggu dulu, tidak perlu kehilangan kesabaran. Jangan tolol dan maju sembarangan, apa kau mau menjual nyawa sia-sia?" Kemudian dengan dingin dia mengangguk pada Ding Tao, seperti berterima kasih telah bermurah hati pada rekannya. Tampaknya orang itu cukup disegani dan dihormati oleh rekannya, sehingga rekannya tersebut tidak lagi mengumbar caci maki. Suasanapun diliputi kesunyian, karena dari dua kelompok itu tidak seorangpun mencoba mengajak berbicara yang lain. Kesunyian itu baru pecah ketika terdengar suara tertawa keras dari dalam gedung. Seorang lelaki berpakaian mewah keluar dari dalam gedung tapi dia bukan Tiong Fa. Ding Tao memandangi orang yang baru tiba ini dengan kening berkerut. Di belakang lelaki itu mengikut kira-kira tiga puluhan orang lainnya. "Hahahaha, kusangka siapa tamu yang datang, ternyata ada juga wajah kenalan lama di sini. Wang Xiaho! Liu Chun Cao! Apa-apaan kalian ini, mengapa urusan anak kecil seperti inipun kalian bisa ikut tersangkut di dalamnya?", ujar lelaki berpakaian mewah tersebut sambil tertawa-tawa. Wang Xiaho dan Liu Chun Cao pun mengamati orang itu baik-baik, Liu Chun Cao yang terlebih dahulu membuka mulut. "Fu Pendekar pedang ganda, Fu Shien, rupanya kau di sini sekarang." Wang Xiaho yang mulai teringat pula dengan sosok di hadapannya itu menyahut pula. "Bukankah kau jadi pengawal seorang pejabat di istana? Kenapa sekarang berada pula di sini?" Fu Shien tertawa tawa saja. "Wah syukurlah kalau kalian tidak lupa dengan namaku, pejabat itu tertangkap sedang bermain mata dengan isteri seorang pangeran, apa boleh buat aku pun terpaksa mencari pekerjaan baru. Karena itu harap kalian memberi muka dan tidak mengganggu periuk nasiku." "Maafkan kami, tapi kedatangan kami bukan sekedar mencari gara-gara, tapi menuntut keadilan atas nama keluarga Huang", jawab Ding Tao mewakili yang lain. Fu Shien dengan senyum sedikit terpaksa memalingkan wajahnya menghadap ke arah Ding Tao, sebagai angkatan yang lebih tua dia memandang sebelah mata pemuda di depannya ini. "Menuntut keadilan? Apakah kalian memiliki bukti dan saksi bahwa Tuan Tiong Fa tersangkut dalam urusan itu?", tanyanya dengan dingin. "Tentu saja ada, beberapa saudara di sini adalah saksi dari kejadian itu, mereka pun mengetahui ketika Tiong Fa pertama kali berkhianat pada keluarga Huang.", jawab Ding Tao dengan tenang. "Oh, tentang hal itu Tuan Tiong Fa telah bercerita pula pada kami, kejadian itu adalah satu siasat yang sudah disetujui oleh Tuan besar Huang Jin sendiri, untuk mengelabui satu kelompok rahasia yang diduga hendak menyerang keluarga Huang. Siapa sangka serangan itu terjadi lebih cepat dari dugaan mereka berdua. Sekarang Tuan besar Tiong Fa berusaha menyelamatkan sisa-sisa yang ada, agar jerih payah Tuan besar Huang Jin tidak musnah begitu saja.", ujar Fu Shien dengan cerdiknya. Tiba-tiba terdengar teriakan dari kerumunan orang yang menonton kedua kelompok itu dari kejauhan. "Pembohong! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Tiong Fa menerima perintah dan bekerja sama dengan orang-orang yang membantai keluarga Huang di Wuling malam itu!" "Siapa itu? Jika bukan pengecut, keluarlah. Kalau tidak berbohong, mengapa harus bersembunyi!", bentak Fu Shien dengan suara menggelegar. Ding Tao dan orang-orang di sekelilingnya mengerutkan alis, rupanya mereka mengenal suara Tabib Shao Yong yang berteriak dari antara kerumunan orang. Sudah menjadi kesepakatan mereka semalam, bahwa Tabib Shao Yong dan Chou Liang yang tidak memiliki dasar-dasar ilmu silat yang cukup untuk mempertahankan diri dalam satu pertempuran, untuk bersembunyi dan tidak ikut dalam penyerbuan itu. Siapa sangka Tabib Shao Yong tidak mampu menahan diri dan justru menunjukkan keberadaannya pada lawan. Sejak awal Tabib Shao Yong selalu dihantui oleh kejadian saat pembantaian tersebut. Saat dirinya beku oleh rasa takut, bersembunyi dari lawan, tanpa melakukan apa-apa untuk menolong kawan-kawannya. Rasa malu dan penyesalan menumpuk dalam hatinya, saat mendengar Fu Shien memutar balikkan kenyataan dan memuji-muji Tiong Fa, Tabib Shao Yong pun tidak bisa lagi menahan perasaannya. Denga wajah merah padam oleh kemarahan, tabib tua itu berjalan dengan gagah ke arah dua kelompok yang saling berhadapan, penampilannya begitu berbeda dari keadaan biasanya yang penuh belas kasih. Fu Shien memandangi Tabib Shao Yong dengan pandang tertarik, saat Tabib Shao Yong makin mendekat diapun maju ke arah Tabib Shao Yong dan bertanya. "Orang tua, apakah benar perkataanmu bahwa kau adalah saksi mata keterlibatan Tuan besar Tiong Fa dalam penyerangan atas keluarga Huang?" "Tentu saja benar, saudara yang lain kebetulan berada di tempat yang berbeda, hingga mereka tidak menyaksikannya secara langsung. Tapi aku kebetulan berada di tempat yang tepat dan melihat dengan mata kepalaku sendiri Tiong Fa bekerja sama dengan para pembunuh itu!", jawab tabib tua itu dengan tegas. "Hmm, kalau begitu kau adalah satu-satunya saksi mata. Apakah perkataanmu bisa dipercaya?", ujar Fu Shien dengan pandang menghina. Bertonjolan urat di dahi Tabib Shao Yong ditanya demikian. "Tentu saja bisa dipercaya" Tiba-tiba selarik garis gelap berbau amis, melesat ke arah Tabib Shao Yong, Fu Shien saat itu berdiri di antara Ding Tao dan Tabib Shao Yong, menghalangi pandangan Ding Tao, sehingga pemuda itu terlambat beberapa saat untuk menolong Tabib Shao Yong. Liu Chun Cao yang lebih awas dan berada di posisi yang lebih tepat, masih sempat bergerak hendak menolong Tabib Shao Yong, tapi Fu Shien sudah siap dan dengan cepat memotong pergerakan Liu Chun Cao. Nyawa Tabib Shao Yong sudah berada di ujung tanduk, tapi tiba-tiba, satu desingan yang sangat kuat menyambar melewati belakang kepala Fu Shien yang sedang menghadang Liu Chun Cao. Lemparan yang kedua ini lebih kuat dan cepat dari lemparan senjata rahasia beracun yang dilemparkan ke arah Tabib Shao Yong. Bukan hanya kuat dan cepat, tapi ketepatannya pun nomor satu. Lemparan yang kedua dengan tepat menghadang jalan senjata rahasia beracun itu sehingga Tabib Shao Yong pun selamat dari usaha pembunuhan. Waktu yang terciptakan sangat singkat, tapi di saat yang singkat itu dengan cepat Ding Tao sudah melompat melindungi Tabib Shao Yong. Wajah tabib tua itu menjadi pucat, namun tidak dalam waktu yang lama. Tabib Shao Yong sudah cukup dengan rasa takutnya, tidak mau lagi dia membeku oleh rasa takut. Kali ini tabib tua itu bukannya bersembunyi ketakutan, namun justru membusungkan dada dan berteriak. "Pengecut kalian semua! Bukti apa lagi yang kalian perlukan, perbuatan kalian justru membuktikan kebusukan kalian." Liu Chun Cao juga marah karena pihak lawan sudah menyerang secara menggelap. "Fu Shien, manusia rendah, kiranya masih ada yang bersembunyi! Siapa itu? Apa manusia beracun dari Utara?" Fu Shien hanya mendengus saja, dengan satu gerakan tangan, mereka yang berkumpul di belakangnya segera bergerak menyerang Ding Tao dan rombongannya. Ding Tao dan rombongannya tidak kalah sigap, tanpa ragu Ding Tao menggunakan jurus ciptaannya untuk membentuk perisai pelindung bagi dirinya dan Tabib Shao Yong. Ma Songquan dan Chu Lin He dengan sigap memimpin sisanya untuk bertahan menghadapi lawan yang berjumlah lebih banyak. Liu Chun Cao tidak salah menebak, orang yang melemparkan senjata rahasia beracun ke arah Tabib Shao Yong adalah si racun dari utara, beruntung di antara mereka ada Ma Songquan dan Chu Lin He yang keahliannya dalam melempar senjata rahasia tidak berada di bawah jagoa tersebut. Beberapa jagoan ternama lain ikut pula bermunculan di antara tiga puluh orang tersebut. Pertempuran pun terjadi dengan seru, meskipun kalah jumlah, namun Ma Songquan, Chu Lin He dan Ding Tao memiliki kemampuan beberapa tingkat di atas lawan mereka. Serangan ketiganya mampun membuat barisan lawan kocar kacir. Jika bukan karena permintaan Ding Tao semalam, sepasang suami isteri Ma Songquan dan Chu Lin He mungkin sudah berhasil membunuh beberapa orang lawan. Namun tujuan serangan mereka kali ini adalah untuk memancing pembunuh misterius yang mereka jadikan sandaran untuk keluar. Fu Shien dan rekan-rekannya mulai terbuka matanya, tidak berani lagi mereka meremehkan pemuda yang sedang mengamuk dengan jurus pedangnya yang mengurung ke segala arah itu. Ding Tao sendiri sudah mulai ragu-ragu, apakah rencana mereka akan berjalan sesuai rencana. Ataukah orang yang mereka incar tidak mau terpancing dan sudah pergi jauh dari Jiang Ling? Kekhawatiran yang tidak perlu muncul karena pada saat itu sebuah desingan yang tajam menyerang ke arah perisai hawa pedang yang diciptakan Ding Tao untuk melindungi Tabib Shao Yong. Belasan jagoan tidak mampu menggetarkan sedikit mungkin benteng yang diciptakan Ding Tao itu, tapi sebilah pedang dengan jurus yang cepat dan tajam merobeknya tanpa ampun. Ding Tao dengan cekatan mengubah jurus. Tenaga yang menyebar dikumpulkan pada satu titik, kemudian dengan indah dia membentur serangan yang baru datang itu. Dua bilah pedang yang penuh dengan hawa murni berbenturan, dua tenaga sama kuat, suara dentang dan dengungan kedua pedang memekakkan telinga mereka yang berada di dekatnya. Dua orang pendekar pedang berdiri tegak dengan pedang bersilangan, para pendekar tertegun, tergoncang oleh hebatnya benturan yang terjadi. Sejenak mereka terdiam, dengan tegang memandangi Ding Tao dan seorang lelaki bertopeng yang saling berhadapan dan menggenggam pedang yang saling bersilang. Jika diamati baik-baik, maka terlihatlah bagaimana kedua pedang itu bergetar, karena pemiliknya berusaha saling mendorong. "Kita bertemu lagi rupanya", ujar orang bertopeng itu menyapa Ding Tao. "Begitulah, pertemuan kemarin belum ada hasil yang memuaskan", jawab Ding Tao. "Hehehehe, waktu itu perintah yang kuterima adalah untuk membiarkanmu hidup", jengek orang bertopeng itu. "O apakah itu berarti sekarang perintahnya sudah berubah? Dan kau merasa sekarang kau bakal bisa mengalahkanku?" "Hohoho, kenyataannyalah demikian, rupanya perasaan orang padamu sudah berubah, mungkin matanya sudah terbuka dan melihat betapa tidak pentingnya orang macam dirimu ini. Hari ini akan jadi penentuan antara dirimu dan diriku.", jawab pembunuh bertopeng itu dengan nada jumawa. "Saudara, kurasa kita belum pernah bertemu sebelum ini, meskipun aku tidak bisa yakin karena kau memakai topeng. Tapi kau berkata-kata seakan-akan ada urusan khusus antara dirimu dan diriku. Sungguh membuat orang merasa penasaran.", ujar Ding Tao dengan alis berkerut. Orang bertopeng itu tertawa berkepanjangan, pandangannya tak pernah lepas dari Ding Tao, sambil bercakap-cakap, kedua orang itu tidak lupa untuk terus mencari-cari kelengahan lawan. Pedang yang bersilang terkadang condong ke arah Ding Tao, kadang terdorong balik ke arah pembunuh bertopeng itu. Terkadang pedang yang seorang bergeser melepaskan diri, tapi kemudian ditempel pula cepat-cepat oleh yang lain. Secara sekilas sepertinya kedua orang itu hanya sedang bercakap-cakap saja, tapi sebenarnya pertarungan sudah dimulai sejak tadi. Pergeseran-pergeseran pedang dan kedudukan kedua orang itu tidaklah besar dan hanya orang yang benar-benar jeli saja yang bisa melihat pertarungan yang sedang terjadi di antara dua jagoan itu. Karena yang hadir di tempat itu hampir semuanya orang persilatan, tentu saja pertarungan yang unik itu mengundang perhatian mereka. Orang-orang seperti Liu Chun Cao dan Fu Shien yang berpengetahuan lebih luas dibanding rekan-rekan mereka, dalam waktu singkat menjadi komentator bagi pertandingan itu. Ma Songquan dan isterinya, lebih memilih untuk mengamatinya dengan berdiam diri. Wajah keduanya begitu tegang mengikuti pertarungan yang terjadi, maklum di antara banyak orang, mungkin hanya sepasang pendekar ini saja yang benar-benar dapat mengamati apa yang sedang terjadi. Liu Chun Cao, Fu Shien, Li Yan Mao, Tang Xiong, si racun dari utara, Wang Xiaho dan beberapa orang jagoan lain yang sudah kenyang makan asam garam, namun belum sampai pada tingkatan mereka, lebih berada dalam posisi menebak-nebak. Keasyikan mereka menonton, mungkin hanya bisa dimengerti oleh para pecinta catur yang sedang menonton pertandingan antara dua grandmaster catur. Bagi mereka yang tidak mengerti atau tidak menyukai permainan itu, menonton pertandingan begitu membosankan. Tapi bagi mereka yang mengerti dan sedikit banyak bisa meraba apa yang sedang terjadi, menonton pertandingan itu bisa menjadi sesuatu yang mengasyikkan dan menegangkan. Diam-diam berkembanglah rasa penasaran mereka atas dua orang itu. Yang seorang masih sangat muda dan yang lainnya menutupi identitasnya begitu rupa. Hingga ketika menjadi tamu di rumah orang pun selalu saja memakai topengnya. "Jangan kau pikirkan tentang mengapa aku ingin mengenyahkanmu yang pasti keberadaanmu sudah menjadi duri dalam dagingku. Seandainya saja ambisimu tidak terlalu besar dan kau mau menyingkir dari dunia persilatan selama 4-5 tahun, tentu kehidupanmu bakal terjamin langgeng. Sayang, ambisimu terlampau besar, bahkan kau berani bermimpi untuk mejadi Wulin Mengzhu.", ujar orang bertopeng itu, menjawab pertanyaan Ding Tao. Perkataan orang bertopeng itu mengundang berbagai macam reaksi. Orang-orang dari pihak Ding Tao terkejut, mengetahui lawan bisa sampai tahu akan rencana mereka itu. Di mana letaknya kebocoran? Dari pihak lawan sendiri, orang-orang seperti Fu Shien, Si Racun dari utara dan beberapa orang jagoan lainnya, memandang Ding Tao dengan berbagai macam pemikiran. Ada yang menilai pemuda itu kelewat ambisius dan sombong. Ada pula yang diam-diam mengakui kelebihan Ding Tao dalam hal ilmu silat, apalagi jika menilik umur pemuda itu yang masih sangat muda. Tapi secara keseluruhan mereka membenarkan perkataan orang bertopeng itu. Seandainya saja Ding Tao menunggu barang 5 tahun lagi, pada saat itu tentu ilmunya sudah sulit dijajaki, sementara jagoan-jagoan kelas satu di masa ini sudah mengalami masa penurunan. Mereka ini memandangi wajah Ding Tao, penasaran, bagaimana tanggapan Ding Tao atas tuduhan itu. Apakah akan marah karena kedoknya terbongkar? Atau justru bersikap merendah dan menyangkal telah memiliki ambisi sedemikian tinggi? Ding Tao yang sebenarnya juga terkejut karena lawan sudah mengetahui keinginannya untuk mengikuti pemilihan Wulin Mengzhu, otomatis bertanya. "Saudara, dari mana kau mendengar berita itu?" Orang bertopeng itu pun menjawab. "Hmm satu berita, cepat atau lambat tentu akan menyebar. Guru Chen Wuxi tanpa mengira-ngira besar kecilnya kekuatan yang dia miliki sudah mulai menghubungi rekan-rekannya dan menceritakan tentang dirimu dan keinginannya untuk mendukung dirimu menjadi Wuling Mengzhu. Apakah kau masih akan menyangkal lagi?" Mendengar jawaban orang bertopeng itu diam-diam Ding Tao dan rekan-rekannya menarik nafas lega, karena itu berarti tidak ada kebocoran dalam organisasi mereka. Ada juga perasaan bersalah dalam hati Wang Xiaho dan Liu Chun Cao karena mereka lupa memberi kabar pada rekan mereka itu. Tapi sulit untuk menyalahkan kedua orang itu, kejadian demi kejadian berlangsung dalam hitungan hari, sementara di masa itu perjalanan dari kota ke kota membutuhkan waktu yang cukup lama. Mau tidak mau Wang Xiaho dan Liu Chun Cao terikat dengan pergerakan Ding Tao. Tidak mungkin meninggalkan pemuda itu, karena jumlah mereka yang masih terlalu sedikit, sehingga secara tidak langsung rekan-rekan mereka seperti Chen Wuxi dan Fu Tong si tongkat besi, seperti terlupakan. Bagi Ding Tao selain merasa terharu oleh dukungan yang tulus dari Guru Chen Wuxi, dia juga merasa kagum pada jaringan informasi yang dimiliki oleh lawan. Teringat dia dengan penjaga kedai teh di luar kota Wuling dan jaringan yang mulai dibentuk oleh Chou Liang. Dalam hati pemuda itu berjanji, segera setelah mereka berhasil mengenyahkan Tiong Fa dari kota Jiang Ling, sesegera mungkin dia akan menugaskan Chou Liang untuk mengurusi hal yang satu ini. "Kenapa diam saja? Bagaimana jawabmu he?", ujar orang bertopeng itu. Ding Tao menjawabnya dengan tersenyum, hatinya ringan karena lega mengetahui tidak ada kebocoran atau pengkhianat dalam perkumpulan yang baru dibentuk. "Hmmaku tidak menyangkal perkataanmu itu, tapi satu hal perlu kau ketahui, hal itu aku lakukan bukan karena ambisi pribadi. Aku sadar kemampuanku masih jauh di bawah para tetua dalam dunia persilatan. Masih banyak yang lebih pantas untuk menduduki kursi itu dibanding diriku." "Hoo kalau begitu kenapa juga kau masih berniat untuk mengikutinya? Bahkan menyuruh orang-orang seperti Chen Wuxi dan Fu Tong untuk mulai mencari dukungan bagimu?", kejar orang bertopeng itu. Wang Xiaho yang sudah tidak sabar menjawab pertanyaannya sebelum Ding Tao sempat menjawab. "He, pengecut bertopeng, jangan buka mulut jika tidak tahu urusan. Tentang majunya Ding Tao dalam pemilihan Wulin Mengzhu, justru hal itu timbul terlebih dahulu dari pemikiran sahabat Guru Chen Wuxi, Fu Tong, diriku dan rekan Pendeta Liu Chun Cao. Ding Tao sendiri pada awalnya meragu, tapi kamilah yang mendorong dia untuk berusaha mengikuti pemilihan Wulin Mengzhu tersebut." Orang bertopeng itu memandang Wang Xiaho dengan tatapan mata yang dingin, Ding Tao sampai merasa merinding dan berkuatir terhadap keselamatan pengikutnya yang setia itu. "Wang Xiaho umurmu sudah tua, tapi kenapa otakmu belum juga dewasa? Jika benar ceritamu, maka kau dan rekan- rekanmu itu tentu sudah kehilangan akal. Apa yang hendak kalian cari? Apa sudah putus asa melihat keadaan kalian yang tidak juga mengalami perbaikan dalam hidup? Apa ingin cari nama?", jengek orang bertopeng itu dengan suara dingin. Merah wajah Wang Xiaho dikatakan demikian. "Pengecut buduk! Anjing kurap! Jika kau orang kenamaan, buka topengmu! Aku memang cuma kelas rendahan, tapi aku tidak buta, Ding Tao memiliki bakat yang baik, dan terlebih penting dia memiliki sifat2 yang baik. Jika memilih Wulin Mengzhu hanya berlandaskan kekuatan, siapa yang bisa menjamin bahwa dunia persilatan tidak akan dimanfaatkan orang-orang busuk macam dirimu untuk mengejar ambisi pribadi?" Terpancar keinginan membunuh yang kuat dari sorot mata orang bertopeng itu mendengar caci maki Wang Xiaho. Meskipun hanya lirih saja, tapi ada perubahan dalam pergerakan hawa murni dari orang bertopeng itu. Ding Tao yang merasakan pergerakan itu segera pula menyalurkan hawa murni ke dalam pedangnya untuk menekan tempat yang melemah. Tentu saja hal itu tidak luput dari pengamatan orang bertopeng itu, yang segera menarik kembali hawa murni yang tadinya disiapkan untuk melontarkan serangan ke arah Wang Xiaho. Pandang mata orang bertopeng itu pun beralih dari Wang Xiaho ke arah Ding Tao, suaranya tidak keras namun mendirikan bulu roma. "Hmm jangan kau pikir bisa melindungi orang tua itu dari kematian. Hari ini akan kubunuh terlebih dahulu dirimu, baru kemudian segenap orang yang mengikutimu." Kemudian dia kembali memalingkan wajahnya ke arah Wang Xiaho dan menjawab. "Kau sudah bisa menduga bahwa aku memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Namun kau masih berani berkata demikian. Hari ini akan kubuat dirimu menjadi contoh buat segenap kecoak-kecoak dalam dunia persilatan, supaya belajar menaruh hormat pada golongan yang lebih tinggi. Akan kutunjukkan perbedaan antara golongan kami dan golongan kalian, akan kuperlihatkan betapa sia-sianya mimpi-mimpi kalian. Orang lemah jangan harap mengangkat kepala dalam dunia persilatan." Giliran wajah Ding Tao yang menjadi gelap, dengan suara berat dia berkata. "Yang kuat melindungi yang lemah, itu salah satu bagian dari prinsip hidup seseorang yang mendalami ilmu bela diri. Jika kalian semua sudah lupa akan hal itu, jika kalian sudah mabuk oleh kekuasaan dan kekuatan kalian. Maka aku yang masih muda ini akan mengingatkan kalian sekali lagi. Akan aku goncangkan dunia kalian sampai hilang rasa mabuk kalian itu." Tiba-tiba saja udara di sekitar kedua orang itu menjadi pekat. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sarat oleh hawa murni dan semangat bertarung yang meruap keluar dari kedua orang itu. Tanpa terasa segenap orang yang ada di situ melangkah mundur. Bahkan Ma Songquan dan isterinya yang sudah kenyang bertarung dengan jagoan-jagoan kelas atas pun mundur selangkah, tergetar oleh hawa dan semangat yang terpancar. Jika Ma Songquan dan Chu Linhe saja merasa tergetar, bagaimana dengan yang lainnya? Orang-orang seperti Liu Chuncao, Wang Xiaho, Fu Shien dan si racun dari utara, lebih-labih lagi, mereka mundur sampai beberapa langkah. Insting, naluri terdalam dalam diri manusia yang muncul saat merasakan ada bahaya terhadap diri mereka terpicu, menggerakan kaki mereka di luar sadar mereka, menuju ke tempat yang dirasa lebih aman. Beberapa orang yang tingkatannya lebih rendah justru lebih parah lagi, ada yang justru pikiran dan hatinya menjerit untuk lari, namun kakinya sudah tidak mau lagi menurut dan justru mereka terpaku di tempatnya. Di antara orang-orang itu antara lain adalah Qin Bai Yu dan Tabib Shao Yong, untungnya ada Ma Songquan dan Chu Linhe yang cepat tanggap. Segera setelah mereka menguasai diri mereka kembali, sepasang pendekar itu dengan cepat meraih dan menarik kedua orang itu ke tempat yang lebih aman. Terlambat beberapa detik saja mungkin tubuh kedua orang itu sudah dipenuhi oleh sayatan pedang, karena peningkatan semangat dan hawa pedang dari Ding Tao dan orang bertopeng itu dalam hitungan detik sudah mencapai puncaknya. Dengan sebuah teriakan yang mengerikan, kedua orang itu melontarkan jurus-jurus mereka. Menyerang dan bertahan dilakukan dalam selisih waktu sepersekian kejapan mata. Dua orang dari pihak Tiong Fa yang membeku di tempatnya dan tidak sempat diselamatkan oleh rekan-rekannya jatuh menjadi korban dari jurus-jurus serangan Ding Tao dan orang bertopeng itu. Meskipun bukan mereka yang dituju, namun mereka tidak sempat pula untuk menghindari hawa pedang yang berkelebatan memenuhi ruangan di sekitar kedua orang yang bertarung itu. Tanpa sempat mengelak ataupun membela diri, kedua orang itu pun tiba-tiba mendapati tubuhnya tersayat-sayat oleh hawa pedang. Dengan jeritan yang mengerikan, keduanya meregang nyawa, jatuh ke atas tanah dan tidak pernah bernafas lagi. "Bagaimana?", tanya Wang Xiaho kepada Ma Songquan yang saat itu sudah berdiri di dekatnya, membawa Tabib Shao Yong dan Qin Bai Yu bersama mereka. Wajah Ma Sonquan tampak tegang, selamanya wajah itu tidak pernah menunjukkan rasa gentar, bahkan ketika nyawanya terancam, tapi menyaksikan Ding Tao bertaruh nyawa, justru pada saat itu wajahnya mengunjuk rasa tegang yang tidak terkira. Di dekat sepasang pendekar itu, Tang Xiong, Wang Xiaho, Li Yan Mao, Qin Bai Yu dan Tabib Shao Yong menanti jawaban dari Ma Songquan, maklum kali ini mereka sudah merasa tidak bisa lagi mengikuti apa yang sedang terjadi dan hanya bergantung pada Ma Songquan berdua untuk menceritakan pada mereka, analisa dari pertarungan kedua orang itu. Setengah berbisik, Ma Songquan dengan perlahan menjawab. "Sama kuat tapi orang bertopeng itu terlalu bernafsu dan memandang remeh Ketua Ding Tao. Sementara Ketua Ding Tao meskipun amarah dan semangatnya terbangkit oleh perkataan orang bertopeng itu, dia tetap bertarung dengan hati yang dingin." Liu Chun Cao yang matanya melekat memandangi pertarungan kedua orang itu, ikut pula mendengar perkataan Ma Songquan, lama dia merenung dan mengamati, akhirnya perlahan-lahan dia mengangguk. "Benar jika diteruskan, 7 dari 10 bagian Ketua Ding Tao bisa menang." Perkataan kedua orang itu tentu saja membuat hati mereka yang menonton menjadi sedikit berkurang ketegangannya. Sesuai pengamatan Ma Songquan dan Liu Chun Cao, pertarungan antara Ding Tao dan orang bertopeng itu berlangsung sangat ketatnya, dengan orang bertopeng itu menyerang bagaikan semburan air bendungan yang pecah atau semburan gunung berapi yang meledak. Sementara semangat Ding Tao berkobar namun tertahan, ibaratnya danau yang tenang tapi menyimpan jutaan kubik air di dalamnya. Serangan-serangan orang bertopeng tenggelam dalam pertahanan Ding Tao, tapi serangan Ding Tao pun tidak mampu mencapai orang bertopeng itu. Ding Tao tidak pernah sempat mengembangkan serangannya secara sempurna karena serangan orang bertopeng yang bagaikan badai itu memaksa dia untuk lebih banyak bertahan. Beberapa luka kecil mulai tergores di tubuh keduanya, tapi luka itu tidak mempengaruhi jalannya pertarungan. Pertarungan baru berjalan beberapa puluh jurus, namun keringat sudah membasahi tubuh keduanya dan nafas kedua orang itu sudah mulai sulit untuk diatur. Berbeda dengan pertarungan antara Ding Tao melawan sepasang iblis muka giok, di mana kedua pihak bertarung dengan mengatur tenaga. Kali ini kedua pihak menjalankan serangan dengan segenap tenaga dan semangat, memaksa pihak yang bertahan untuk mengimbangi pula dengan pengerahan tenaga dan semangat pada puncaknya. Jika diibaratkan, pertarungan antara Ding Tao melawan sepasang iblis muka giok, mirip sebuah pertandingan lari marathon, di mana antara kecepatan dan stamina harus diatur keseimbangannya. Kali ini pertarungan Ding Tao melawan orang bertopeng lebih mirip pertandingan lari jarak 100m, di mana ledakan tenaga di saat yang singkat lebih diutamakan daripada ketahanan untuk bertarung di waktu yang panjang. Kemampuan Ding Tao untuk menandingi kekuatan jurusnya, membuat orang bertopeng itu semakin emosi. Padahal dalam bayangannya Ding Tao sudah akan terkapar di bawah 10 jurus, kemudian dia akan membantai satu per satu pengikut Ding Tao tanpa ampun. Siapa sangka, pertarungan sudah berjalan melampaui 40 jurus dan Ding Tao belum menunjukkan tanda-tanda kekalahan. Hatinya mulai meragu, di saat yang sama, kemarahannya memuncak. Rasa frustasi memenuhi hatinya, serangannya menjadi semakin keji sementara pengendalian tenaganya semakin liar. Ding Tao pun dipaksa untuk bekerja berkali-kali lipat untuk mempertahankan nyawanya, jika tadi dia masih sempat menyerang, kali ini seluruh perhatiannya tertumpah hanya untuk bertahan. Ma Songquan, Chu Linhe dan Liu Chun Cao yang menyaksikan pertarungan itu pun menjadi semakin tegang, tanpa terasa wajah Liu Chun Cao memucat dan tangannya mengepal keras. Tang Xiong yang melihat hal itu, segera pula bertanya. "Pendeta Liu Chun Cao, ada apa, apakah keadaan membahayakan buat ketua Ding Tao?" Samar-samar Liu Chun Cao mendengar pertanyaan itu, namun mulutnya terkatup bicara, seluruh pikirannya terserap oleh pengamatannya atas pertarungan itu. Pertanyaan Tang Xiong tidak lebih seperti dengungan lalat bagi Liu Chun Cao saat itu. Ma Songquan dan Chu Linhe yang lebih bisa mengendalikan perasaan menjawab pertanyaan Tang Xiong. "Inilah saat yang paling genting, pembunuh bertopeng itu sedang mengerahkan puncak jurus dan segenap sisa tenaganya. Jika Ketua Ding Tao mampu bertahan melewati jurus serangan ini, maka kemenangan pun sudah ada di tangan. Tapi lalai sedikit saja, nyawa Ketua Ding Tao akan melayang." Mendengar jawaban Ma Songquan itu, keruan saja keringat dingin menetesi tubuh Tang Xiong dan yang lainnya, dengan pandangan mata yang nanar mereka mengamati jalannya pertarungan. Jangankan mereka, Ma Songquan dan Chu Linhe pun merasakan ketakutan mencengkeram jantung mereka. Saat ini orang bertopeng itu sedang mengerahkan jurus pamungkasnya. Hingga saat ini, setiap langkah Ding Tao masih berjalan sesuai perubahan dan pergerakan dari jurus pamungkas orang bertopeng itu. Seperti seekor laba-laba yang sedang merajut sarangnya, atau seperti seorang pemain catur sedang mempersiapkan satu serangan skak-mat, seperti itulah sebuah jurus serangan dilakukan. Pembunuh bertopeng itu sudah merasa putus asa dan karenanya menggunakan segenap kekuatan yang dia miliki dalam setiap serangannya. Sementara Ding Tao masih memiliki ketenangan dan tidak berniat untuk mengempos habis tenaganya. Karena dua hal itu, maka sampai gerakan ke sekian ini, Ding Tao selalu kalah perbawa dan bergerak sesuai dengan keinginan lawan, tapi di saat yang sama tenaga lawan terkuras lebih cepat dibanding dengan tenaga Ding Tao. Hingga pada akhirnya orang bertopeng itu sampai pula pada puncak pengembangan jurus pamungkasnya dan dengan teriakan menggelegar dia melontarkan serangan terakhir. "M A T I !!!" "M A T I !!!!", teriak orang bertopeng itu mengiringi serangan yang bergerak dengan kecepatan hampir di luar nalar manusia. Hawa pedang yang tadinya memenuhi ruangan di sekitar kedua orang itu dan membuat sesak nafas mereka yang menonton tiba-tiba mengerucut, mengecil dan terkonsentrasi pada satu titik, pada satu serangan, pada satu sasaran. Ding Tao. Bagi yang menonton perasaan mereka seperti muncul ke permukaan air setelah beberapa lama menyelam di sebuah danau. Setelah beberapa lama berada di bawah tekanan hawa pedang kedua orang itu, sebenarnya mereka sudah mulai beradaptasi dan tekanan itu mulai menjadi bagian dari keadaan sekeliling mereka. Tiba-tiba saja tekanan hawa pedang itu terangkat, tanpa terasa hampir setiap orang yang berada di sana, perasaan mereka seperti sedikit berjingkat. Seperti ketika kedua kakimu sudah berjam-jam berusaha menahan dan mendorong beban yang berat ke atas, tiba-tiba beban itu hilang dari sana. Saat itu hanya sekejap saja, tapi yang sekejap itu sempat membuat mereka hilang pengamatan atas pertarungan yang terjadi di depannya. Dari kelompok Ding Tao hanya Ma Songquan, Chu Linhe dan Liu Chun Cao yang tidak sampai hilang pengamatan. Dalam kasus Liu Chun Cao, pendeta itu sudah begitu terfokusnya pada pertarungan antara Ding Tao dan pembunuh bertopeng itu, keadaannya mirip seorang yang bermeditasi dan sudah sampai pada titik di mana dia berhasil berfokus pada objek yang menjadi pusat meditasi. Dalam keadaan demikian jangankan perubahan yang sedikit saja pada dunia sekelilingnya, ibaratnya langit runtuh pun dia tidak akan lepas dari konsentrasinya saat itu. Di pihak lawan, hanya Fu Shien, Si racun dari utara dan satu orang lagi, yaitu Pang Ho Man, yang berhasil terus mengamati jalannya pertandingan, keadaan mereka serupa dengan Liu Chun Cao. Pengamatan mereka ini nantinya akan membantu mereka untuk meningkatkan pemahaman mereka akan ilmu bela diri yang mereka miliki beberapa tingkat. Pang Ho Man ini sendiri pekerjaan awalnya adalah seorang pengawal kawalan barang terkenal dari ibu kota. Kehidupannya sudah cukup makmur buat seorang jagoan persilatan, nama pun sudah cukup terkenal, namun dia merasa tidak puas dengan kehidupannya yang terasa tanpa tantangan. Perintah Maut Karya Buyung Hok Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo