Bara Naga 19
Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 19
Bara Naga Karya dari Yin Yong "Tay-lik kim kong-ciang yang hebat!" Baru terdengar suaranya, tahu2 Siang Cin sudah melesat sejauh belasan tombak, di tengah udara tubuhnya berputar, mendadak kedua kakinya memancal, maka dua potong batu besar tiruan dengan dua orang didalamnya belum lagi sempat memberikan reaksi, keduanya sudah menjerit dan roboh binasa. Dengan tergelak Sebun Tio-bu memburu maju, mendadak puluhan batu di sekelilingnya menjeplak terbuka, puluhan orang berbaju hitam segera menyerbu. Codet dimuka Sebun Tio-bu mendadak bersemu merah, di tengah gerungan mendadak dia berputar, dikala badan mendak sambil berputar inilah, sebuah senjata panjang dengan lima jari yang terpentang diujung senjata bewarna hitam ini lantas menyambar, hampir bersamaan dengan munculnya senjata aneh ini, puluhan orang berbaju hitam yang menubruk itu sama terjungkal roboh sambil melolong keras darah muncrat, yang mengerikan adalah leher mereka semuanya tercoblos bolong. Tanpa berhenti Sebun Tio-bu melompat ke sana, waktu mash terapung di udara, tangan sedikit menyendal, jari2 tangan yang terbuat dari besi di ujung senjatanya itu kembali menderu kencang. "Blang". diselingi erangan tertahan, seorang berbaju merah bertubuh tinggi besar sudah roboh dengan kepala remuk. Kin Jin tahu2 sudah berada di samping Sebun Tio-bu, dengan tertawa dia berkata. "Thimo- pi (lengan iblis besi) sungguh mengerikan." Sementara itu pahlawan Bu-siang-pay di bawah pimpinan Thong Yang-seng dan Mo Kiong juga telah menyerbu tiba, tanpa menunda waktu terus menerjang musuh, hanya dalam sekejap saja, ratusan orang berbaju merah telah diganyang habis. Siang Cin terus berkelebat kian kemari, di mana dia lewat tubuh manusia lantas beterbangan darahpun berhamburan, jerit para korban yang meregang jiwa berpadu dengan denging senjata yang riuh rendah. Ganas sekali Thi-mo pi milik Sebun Tio bu itu, kalau bukan leher bolong pasti kepala remuk, kembali sepuluh korban telah binasa, sementara Se-bun Tio-bu sudah melejit tiba di 280 samping Siang Cin, teriaknya. "Siang heng, carikan lawan yang setimpal, hanya mengganyang kaum keroco beginian rasanya kurang memenuhi selera. Keparat, memangnya ke mana para pentolan yang biasanya suka tepuk dada, kenyataan kini menjadi kura2?" Baru saja Siang Can mau menanggapi, tiba2 dilihatnya dua pahlawan Bu-siang-pay telah roboh, sambil memeluk dada, padahal jelas bagi Siang Cin di mana pahlawan Busiang pay tadi berada, sekelilingnya tiada kelihatan bayangan musuh, hanya tak jauh di sebelah sana terdapat sebuah batu besar. Dengan tertawa dingin Siang Cin berkata. "Tangkeh, batu di depan itu apakah kau lihat?" Sekilas melirik Sebun Tio-bu sudah mengerti maksudnya, katanya tertawa. "Memangnya kenapa?" Siang Cin mendesis. "Gunakan Thi-mo-pi milikmu itu, renggutlah nyawa dari kejauhan," Sebun Tio-bu lantas berputar. "Wut", Thi-mo-pi yang ujungnya terpasang jari2 tangan besi itu mendadak menyambar ke arah batu di depan sana, maka terdengar suara "Cret", jari besi itu mendadak ambles ke dalam batu, sekali sendal dan tarik, batu besar itu terbawa terbang, di bagian bawahnya kelihatan dua kaki manusia tengah mencak2. Sekuatnya Sebun Tio-bu menyendal pula, seperti main bandulan saja, batu besar itu dilemparnya lima tombak jauhnya. "Wut", jari2 besi itu tertarik balik, kelima jari besinya yang masih terpentang tampak berlepotan darah segar dan cuilan daging. "Bagus, Tangkeh," Puji Siang Cin tenang. "mainan tangan besi milikmu entah terbuat dart bahan apa?" "Terbuat dari anyaman rambut manusia serta kulit badak," Demikian Sebun Tio bu menerangkan dengan tertawa. "Bagus," Ucap Siang Cin tertawa. "sekarang mari kita cari musuh yang lebih setimpal." "Memang begitulah maksudku," Seru Sebun Tio-bu bersemangat. Maka keduanya melayang ke sana, Siang Cin sempat berkata pula. "Lima puluhan tombak di belakang batu sebelah kanan itulah." - Dia mendahului menubruk ke sana. Batu raksasa ini tingginya ada dua tombak, lebarnya ada setombak lebih, bentuknya mirip benteng yang sudah ambruk, di belakang batu adalah sebuah tanah lapang, di sinilah sedang terjadi pertempuran sengit. Waktu Siang Cin berkelebat tiba di samping batu raksasa itu, baru dia melihat jelas, kiranya dua pahlawan Bu-siang-pay dengan pakaian mereka yang khas tengah melabrak 281 empat jagoan Hek-jiu-tong, kedua pahlawan Bu-siang-pay ini, seorang berperawakan kekar, dada bidang, jenggotnya pendek kaku seperti sapu lidi, mata besar mulut lebar, air mukanya kuning, gerak geriknya memperlihatkan betapa gagah perwira dan garangnya. Seorang lagi berkepala kecil lonjong, tubuh kurus kecil, mata sipit hidung pesek, kulitnya putih, tapi setiap gerak serangannya ternyata ganas dan keji mematikan, kedua orang ini sama bersenjata golok sabit, gaman yang menjadi simbol kebesaran pahlawan2 padang rumput. Dua dari ke empat lawannya berpakaian hitam, dua lagi berpakaian serba merah, jelas mereka dari Jik-san-tui, satu di antara kedua orang baju merah ini sudah pernah di lihat oleh Siang Cin, dia bukan lain ialah Toh-gwat-coh-jin Pek Wi-bing, Sam-thauling atau gembong ketiga Jik-san-tui. Pertempuran kedua pihak sudah mencapai babak yang menentukan, tapi jelas meski pihak Hek-jiu tong berjumlah lebih banyak, namun mereka justeru tak mampu memungut keuntungan. Sebaliknya meski pahlawan2 Bu-siang-pay itu dua lawan empat, mereka justeru berada di atas angin. Sekilas menerawang, Siang Cin lantas berkata. "Tangkeh, ke empat orang ini seorang diripun aku mampu menyikat mereka, kupikir biar aku saja tampil untuk menggantikan kedua pahlawan Bu siang-pay itu ..... " "Jangan " Sela Sebun Tio-bu. "biar aku saja yang mencobanya, Lwekang ke empat keparat ini tidak lemah, tak berani aku mengatakan mampu mengalahkan mereka, tapi untuk bertahan beberapa kejap tanggung tidak menjadi soal." Siang Cin tertawa, katanya. "Baiklah, usaha ini kuserahkan kepadamu." Setelah membetulkan pakaian, Sebun Tio-bu dan Siang Cin unjuk diri. Sudah tentu berbeda sikap kedua pihak yang lagi bertempur itu, begitu kedua orang ini muncul, kedua pahlawan Bu-siang pay itu tertawa kegirangan, semangat tempur mereka semakin menyala. Sebaliknya ke empat musuh yang berpakaian hitam dan merah itu berubah hebat air mukanya, semuanya menjadi pucat. Dengan tertawa. Siang Cin berkata. ""Saudara dari Bu-siang ini harap sebutkan nama kalian. Aku Naga Kuning Siang Cin." 282 Laki2 setengah baya berperawakan tinggi kekar dengan berewok pendek itu tergelak2, serunya. "Sungguh beruntung bertemu di sini, aku yang tak becus ini adalah Seng si-to Ih Ce." Yang berperawakan kurus itu sekaligus membacok tujuh kali mendesak mundur musuhnya, lalu berteriak. "Cayhe Pek-wan (lutung-putih) Siang Kong, arak buah Say-jibun Bu-siang-pay." Siang Cin menjura, katanya. "Kiranya Ih-cuncu dan Siang-heng, silahkan kalian mundur dan istirahat, biarkan temanku ini menjajal kemampuan musuh." Dengan tertawa lebar Ih Ce berkata. "Baiklah!" Segera Sebun Tio-bu melompat maju, sekali bergerak tahu2 semua senjata lawan kena disampuknya pergi. Hanya segebrak saja, baik kawan maupun lawan sama berteriak kaget. "Thi-mo-pi!" Sebun Tio-bu bergerak pula, Thi-mo-pi menyambar dengan tenaga dahsyat, angin menderu kencang mendampar ke arah empat musuh. Di luar arena Siang Cin tengah berkata dengan tertawa. ""Ih cuncu, pasukan berkuda di bawah pimpinan Ho-toa-houcu telah menyerbu tiba, silakan Ih cuncu dan Siang-heng pimpin mereka mengganyang musuh." "Kalau demikian, biarlah musuh di sini Siang-heng dan Sebun-heng yang membereskan," Demikian ucap Ih Ce. "ke empat orang ini termasuk pentolan musuh, sekali2 tidak boleh di lepaskan ...." "Cuncu jangan kuatir, kedatangan kami memang untuk mengucurkan darah dan mencabut nyawa, bagaimana mungkin mereka dilepaskan begini saja?" Demikian ucap Siang Cin. Ih Ce memberi tanda kepada Siang Kong, keduanya lantas melompat ke atas terus meluncur ke sana. Siang Cin memandang ke arena, dengan santai ia menyaksikan jagonya berhantam. Tatkala itu Pek Wi-bing tengah putar kencang gelang baja di tangan kanan dan golok ditangan kiri, deru kedua senjatanya menimbulkan suara yang memekak telinga, gelang baja dengan golok melengkung pendek itu ternyata dapat menciptakan cahaya kemilau, indah dan menakjubkan permainan kombinasi kedua senja,ta yang berlainan ini, pantas dia berjuluk Toh-gwat-coh-jim (menyanggah rembulan dan golok kiri). Kawannya yang juga berpakaian merah adalah laki2 berusia empat puluhan, pendek 283 gemuk bagai guci, gerak geriknya lincah dan tangkas, gamannya adalah garu yang bergagang panjang, ternyata permainan senjatanya yang lain dari pada yang lain ini cukup lihay dan ganas pula, kelihatannya dia sudah nekat dan siap mengadu jiwa. Kedua laki2 baju hitam sama berperawakan kurus tinggi seperti tonggak, mukanya yang tirus kehijauan tanpa mengunjuk perasaan, kedua orang sama menggunakan sepasang Hou than kau (gantolan kepala harimau), maju mundur dan menyerang dapat mereka bekerja sama dengan baik. Di antara ke empat orang ini, hanya Pek Wi-bing seorang yang dikenal Siang Cin, tiga yang lain masih asing baginya, tapi tak perlu diragukan bahwa mereka adalah jago penting dari Hek-jiu-tong- atau Jik san-tui. Meski satu menghadapi keroyokan empat musuh, bukan saja tidak gugup atau terdesak, Sebun Tio-bu yang telah mengembangkan cakar-besinya, malah sering menyerang daripada bertahan, musuh didesak dan dicecarnya, betapa lihay dan kuat ke empat lawannya, lambat laun mereka semakin terdesak dan hanya mampu bertahan saja. Dengan mencibir Siang Cin berkata. "Pek Wi bing, sudah lama kudengar namamu, bukankah kau pun tak asing akan nama julukanku?" Keringat sudah bercucuran, sembari putar senjata membendung serangan lawan, Pek Wi-bing meraung dengan napas tersengal2. "Siang Cin kau membantu kejahatan. tanpa hiraukan keadilan dan kebenaran kaum persilatan, kali ini kau tidak akan luput dari tuntutan." Mendadak Sebun Tio-bu menggentak. "Wut"", Thi-mo pi serta merta menyamber, lekas Pek Wi-bing menyampuk dengan gelang baja di tangan kanan. "Traang", bunga api melentik, hampir saja senjatanya mencelat terbang. Mengawasi tingkah laku Pek Wi-bing yang menahan sakit dengan meringis itu, Siang Cin tertawa, katanya. "Waktu di Pau-hoa-ceng tempo hari, Pek Wi-bing, seharusnya kau tahu gelagat serta harus lekas ngacir saja, tapi kau justeru penasaran, sekarang menyesalpun terlambat." Beruntun membacok tiga kali, Pek Wi-bing balas menyerang sambil berkelit, teriaknya. "Siang Cin ..., dulu kau membantu Bu-siang-pay menyerbu Hek-jiu-tong, lalu bantu mereka pula menghadapi Jik-san-tui ......kau, kau sampah persilatan, antek BuBARA NAGA- Koleksi KANG ZUSI 284 siang pay ..... .." "Trang", senjata kedua orang berbaju hitam tersampuk pergi, sementara Thi-mo-pi menyerempet lewat di atas kepala Pek Wi-bing, samberan anginnya yang keras hampir saja menyebabkan Sam-thauling Jik-san-tui ini sesak napasnya, dengan wajah pucat kehijauan, cepat dia melompat mundur dan hampir saja roboh terjengkang. Menyusul Thi-mo-pi memukul pergi garu lawan yang lain, dengan tertawa Sebun Tiobu berkata. "Orang she Pek, kau ini paling2 baru terhitung jago kelas tiga, berani buka mulut menghina sang Naga Kuning yang disegani? Kalau kau dibandingkan dia, umpama kau diharuskan menjilati telapak sepatunya saja masih belum setimpal." Saking murka hampir saja Pek Wi-bing mati kaku, dengan nekat dia menerjang maju, gelang dan golok berputar bersama, seperti harimau gila dia mencecar Sebun Tio-bu. Thi-mo pi di tangan Sebun Tio-bu mendadak mencengkeram, se-olah2 berubah menjadi ratusan jumlahnya, cakar tangan besi ini seperti berubah menjadi wajah setan yang beringas. Inilah jurus ke tujuh yang dinamakan Jian-jiukim-liong (seribu tangan meringkus naga), salah satu jurus lihay dari Hek-sat cap-it pi Sebun Tio-bu yang termasyhur. Maka bayangan cakar tangan bertaburan di angkasa mengaburkan pandangan orang, tampak Pek Wi-bing memutar kedua senjatanya bergetar sekali seperti dipagut ular, mendadak badannya mencelat dan terbanting puluhan langkah jauhnya. Begitu keras dia terbanting, tapi dengan bandel dia berusaha melompat bangun, tapi akhirnya dia terkulai pula dengan lemas, kiranya pundak kiri dan depan dadanya sudah terluka, kulit dagingnya terkelupas, darah berlumuran, malah tulang pundaknya yang patah itu tak menongol keluar dari balik bajunya. Hanya sekejap itu, bagai elmaut membayangi sukma para musuhnya, Sebun Tio-bu bersiul aneh, dia terus tubruk ketiga musuhnya serta menyerang lebih gencar. Siang Cin tertawa dingin, serunya. "Tangkeh, hayolah lekas akhiri!" Terdengar Sebun Tio bu berseru. "Baik, satupun tak boleh ketinggalan hidup." Selangkah demi selangkah Siang Cin menghampiri Pek Wi bing, sorot matanya dingin tajam. Merinding Pek Wi-bing, dengan napas tersengal, dia menatap Siang Cin lekat2, 285 sekujur badan terasa dingin, jantung berdetak keras, begitu tegang dan paniknya sampai luka di pundak dan dadanya tidak terasakan sakit lagi olehnya. Dengan sikap ramah Siang Cin berhenti di depan Pek Wi-bing, katanya dengan nada bersahabat. "Pek Wi-bing, dalam keadaan seperti ini, tiada ampun dan tak mengenal kasihan lagi, bijaksana kepada musuh berarti menyusahkan diri sendiri, betul tidak?" Berhenti sebentar, dia tertawa dan berkata pula. "Aku tidak ingin berlaku kejam terhadap diriku sendiri, oleh karena itu terhadapmu akupun tak boleh menaruh belas kasihan, di Pauhou- ceng tempo hari, beruntung kau lolos dari Kim-lui-jiu Kin Jin, tapi hari ini kau takkan lolos dari Jian-ciang yang kulancarkan." Rasa ketakutan jelas kelihatan di muka Pek Wi-bing, bibirnya tampak gemetar, bola matanya terbelalak, gelang bajanya yang kemilau tajam terangkat di depan dada, dengan suara gemetar ia berkata. "Kau ....apa kehendakmu?" Tertawa penuh arti, Siang Cin berkata. "Kuat hidup kalah mampus, ini adalah hukum yang berlaku di kalangan kalian, hakekatnya kalian tidak perduli akan harkat manusia, tanpa peri-kemanusiaan kalian bekerja asal menang untuk hidup, kini biarlah aku meniru cara yang biasa kalian tempuh, kini aku adalah si kuat dan kau adalah si lemah ....." Dengan suara serak Pak Wi-bing berteriak. "Kau, kau ....Siang Cin, kau hanya memungut keuntungan di kala orang kesusahan." "Terserah apa yang hendak kau katakan, tentunya kaupun maklum, sekalipun kau tidak terluka, kau tetap bukan tandinganku." Baru saia Pek Wi-bing mau bicara lagi. "cret". sebuah suara berkumandang dari sana, lekas dia berpaling ke arah datangnya suara, kiranya kawannya yang bersenjata garu itu tengah sempoyongan dengan kedua tangan memeluk batok kepala yang sudah mumur dan akhirnya terjungkal binasa. Dengan tenang Siang Cin menyaksikan urat hijau menonjol di pelipis Pek Wi bing, katanya dengan santai. "Kau sendiri yang turun tangan atau perlu kulayani?" Napas semakin memburu, keringat dingin mengucur semakin deras, mata Pek Wibing seperti hampir melotot keluar, tubuhnya bergetar, berada di antara mati dan hidup, sekarang baru dia tahu rasanya takut, bahwa dia hakekatnya juga seorang yang takut mati. Dengan sorot mata tajam Siang Cin berkata pula. "Kalau aku yang turun tangan, 286 cepat saja, kau takkan menderita, karena gerakan tanganku melebihi samberan kilat cepatnya ...." Pek Wi-bing betul2 pecah nyalinya, dia tidak tahan rasa sakit luka2nya, Iebih2 tak tahan menghadapi ancaman elmaut yang bakal merenggut nyawanya, dengan lunglai dia berteriak serak. "Siang Cin, aku ....aku mohon kepadamu, lepaskan aku pergi ....ini dapat kau lakukan, kenapa kau harus membunuhku? kau kan tidak bermusuhan dengan aku, semua ini hanya untuk orang lain ... ." "Lepaskan kau? Andaikata aku yang menjadi kau sekarang, apa kaupun mau melepaskan aku?" Biji leher Pek Wi-bing tampak turun naik, ia meratap. "Jangan begitu Siang Cin, mohon ampunilah diriku, aku akan berterima kasih, aku takkan lupa pada kebaikanmu ......" Diam sebentar, akhirnya Siang Cin berkata "Kalau kau ingin hidup boleh, tapi beberapa pertanyaanku harus kau jawab sejujurnya, setelah menjawab pertanyaanku boleh kau pergi." Setelah menarik napas panjang, akhirnya Pek Wi-bing mengangguk, katanya rawan. "Baik, kau boleh tanya, akan kujawab seluruhnya..." "Di Ce ciok-giam ini, perangkap dan muslihat apa yang telah kalian rancang?" Dengan menggertak gigi Pek Wi-bing menerangkan. "Empat ratus orang2 Hek jiu tong dan dua ribu anak buah Jik-san tui dipendam tersebar di seluruh dasar Ce ciok giam ini, Hek jin tong langsung dipimpin oleh sang ketuanya bersama ke tujuh thau-ling, pihak Jiksan- tui di bawah komandoku bersama dua puluhan Jong-tai, di samping itu pihak Hek jiutong dibantu pula oleh kedua Hwi ki su, sedang akupun menyertakan Toan-san je Ting Bu ...." Berpaling ke arena pertempuran sana Siang Cin bertanya pula. "Hwi ki su adalah kedua orang itu? Sedang Toan-san-je adalah orang yang telah mampus itu?" Pek Wi-bing mengangguk dengan lesu. Siang Cin bertanya lebih lanjut. "Jadi, kecuali menggunakan parit dan memasang jaring, kapur dan panah, perangkap apa pula yang telah kalian rencanakan?" 287 Bimbang sejenak, akhirnya Pek Wi-bing berkata. Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Dua ribu batu tiruan yang dibuat dari kulit2 tebal tersebar di dasar Ce-ciok-giam, algojo kami bersembunyi di dalam batu2 tiruan itu, mereka akan keluar dan beraksi bila tiba saatnya ." Lekas Siang Cin menukas. "Hal ini sudah ku ketahui, maksudku adakah muslihat lainnya?" Kembali Pek Wi-bing ragu2 sekian lamanya. Dengan suara kereng Siang Cin mengancam. "Bila kau tidak menepati janji, Pek Wi bing, aku juga boleh ingkar janji " Terpaksa Pek Wi-bing menerangkan pula. "Di tepi Ce-ciok-giam di seberang sana sudah terpendam banyak obat peledak, bila situasi tidak menguntungkan pihak kami, setelah pasukan kami mundur seluruhnya, sumbu akan di sulut ........" "Lalu siapa yang berkuasa memberikan perintah di sini?" Dengus Siang Cin. "Aku atau Can-lomo (ketua Hek jiu tong )" Sahut Pek Wi-bing lesu. Berpikir sebentar, Siang Cin bertanya pula. "Di luar Ce-ciok-giam, masih ada perangkap keji apa yang telah kalian rancang?" Kali ini cukup lama Pek Wi bing berdiam, uap mengepul dari deru napasnya, pakaiannya yang basah kuyup lengket dengan badannya, kulit mukanya tampak berkerut, wajah yang pucat menampilkan rona yang mengerikan ..... .." Seperti menyadari sesuatu Siang Cin mendesak. "Pek Wi-bing, waktu tidak banyak lagi." Menatap Siang Cin dengan bola mata membara, penuh rasa dendam dan kebencian Pek Wi-bing mendesis gemas. "Siang Cin, apa yang kubocorkan sudah cukup parah bagi pihakku, sudah cukup aku menjual sekian banyak jiwa raga kawan2 ku, kau tetap tidak memberi kelonggaran kepadaku, dengan keji kau masih memaksaku ... "Kan mending daripada mampus," Jengek Siang Cin. Dengan menyeringai sedih Pek Wi-bing berkata. "Caramu ini jauh lebih kejam daripada kau membunuhku, kau ingin bikin aku mampus dan tak tenteram di alam baka, kau ingin supaya kawanku menggali liang kuburku, mencacah lebur jasadku ....." " Tanpa mengunjuk perasaan apa2 Siang Cin berkata. "Memangnya kau punya cara lain yang lebih sempurna untuk menghindari kematian?" Tiba2 Pek Wi-bing mendelik beringas, gelang baja yang terpegang di tangan kanan tiba2 ditimpukkan sekuatnya ke leher Siang Cin, begitu cepat dan mendadak serangan ini, dikala sinar gemerdap berkelebat, gelang baja yang tajam itupun sudah meluncur tiba di depan leher Siang Cin. Jilid 15 288 Siang Cin tidak berkelit atau mengegos dia tetap berdiri tenang kedua tangannya mendadak bergerak naik, dengan punggung tangan menyongsong ke atas. "trang!", gelang baja yang tajam berputar itu tahu-tahu mencelat melampaui batu raksasa dan entah jatuh di mana. Sorot mata Siang Cin semakin mencorong sadis, tapi dengan beringas Pek Wi-bingpun tetap mendelik kepadanya, badan yang sudah setengah jongkok pelahan-lahan ambruk, darah merembes dari ujung bibirnya, dia telah bunuh diri dengan menusuk ulu hati sendiri. Rasa heran dan penyesalan timbul dalam hati Siang Cin, sekian lama dia melongo mengawasi jenasah Pek Wi-bing, ketika suara Sebun Tio-bu berkumandang di belakangnya baru dia tersentak sadar dan pelan-pelan berpaling kesana. Sebun Tio-bu tengah menyeka keringat dijidatnya, katanya. "Kenapa kau melongo? Keparat she Pek itu bunuh diri?" Dengan termangu-mangu Siang Cin berkata. "Sebetu lnya dia tidak perlu bertindak nekat begini, mestinya aku tidak akan membunuhnya..." "O, kau akan membebaskan dia?" Seru Sebun Tio bu heran. "bukankah berarti kau menyusahkan dirimu sendiri? Keparat, menangkap harimau lebih mudah dari pada melepaskannya, walau keparat she Pek ini bukan tokoh yang harus disegani, tapi dia cukup licik dan jahat, syukur kalau dia sudah bunuh diri." Waktu Siang Cin menoleh ke sana, kedua Hwi ki su, Hek jiu-tong tadi sudah menggeletak mampus dalam keadaan yang mengerikan, leher keduanya berlubang besar. Sambil menenteng Thi-mo-pi Sebun Tio-bu berkata dengan tertawa. "Kedua keparat ini boleh juga, kalau mereka tidak gugup, mungkin masih kuasa bertahan beberapa kejap lagi." Lalu Siang Cin ceritakan rahasia yang berhasil dia korek dari mulut Pek Wi-bing. Sebun Tio-bu mengumpat "Keparat, keji amat, Siang-heng, urusan tidak boleh lambat, lekas kita beritahukan kepada pihak Bu-siang-pay." Maka kedua orang lantas berlari ke sana, pertempuran sementara itu sudah berkobar ke seberang, jelas pihak Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sudah mulai terdesak mundur, kiranya pasukan inti Bu-siang-pay yang langsung dibawah komando Congtong dan tepat pada waktunya sehingga situasi segera berubah. Kini para pahlawan baju putih dari padang rumput dengan golok panjang melengkung ke lihatan memburu dan membabati musuh yang berusaha melarikan diri, Bagai air bah yang tak terbendung, orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sama mundur dan sembunyi di antara celah-celah batu, mayat bergelimpangan, darah mengalir bagai air sungai, keadaan sungguh amat mengerikan. Secepat terbang Siang Cin dan Sebun Tio bu memburu ke depan, belum lagi mereka terjun ke tengah rombongan besar Bu-siang-pay, sesosok bayangan kurus kecil tampak melayang tiba dari arah samping. Sembari memutar, mata Siang Cin yang tajam sudah melihat jelas pendatang ini, serunya. "Ho-toahoucu ..." 289 Pendatang ini memang Yu hun-kou-cay Ho Siang gwat si kakek kurus kecil ini tertawa, golok sabit ditangannya segera disarungkan, katanya sambil menggosok telapak tangan. "Betul tidak, kalian sudah bentrok dengan jago-jago kosen mereka?" Mengawasi jubah putih Ho Siang-gwat yang berlepotan darah, Siang Cin menjawab pelahan. "Ya." "Bagaimana keempat orang itu?" Tanya Ho Siang Gwat. "Sudah kuganyang semua," Sahut Sebun Tio-bu. "memangnya Toahoucu mau memelihara mereka?" Memandang medan pertempuran di depan sana, Siang Cin bertanya. "Toahoucu, bagaimana hasil pertempuran ini?" Dengan gagah Ho Siang-gwat menengadah katanya. "Sebelum tengah hari, kuyakin sudah dapat menghancurkan musuh, paling tidak pasti akan mendesak mereka keluar dari Ce-ciok-giam ini." Maka Siang Cin lantas menjelaskan rahasia yang berhasil dia korek dari Pek Wi-bing kepada Ho Siang-uwat, Keruan Ho Siang-gwat berjingkat kaget, serunya. "Wah, bisa celaka." Cepat dia memanggil seorang murid Bu-siang-pay serta berpesan. "Lekas laporkan kepada lh-cuncu, katakan ada perintah penting dari Siang-susiok, setelah memukul mundur musuh, dalam jarak seratus langkah dari tepi seberang dilarang mengejar lebih lanjut, barang siapa melanggar perintah ini akan dihukum pancung." Murid Bu-siang-pay itu mengiakan terus berlari pergi, Ho Siang-gwat menyeka keringat sambil menyatakan syukur kepada Siang Cin. Tidak lama kemudian, tiba-tiba di seberang Ce-ciok-giam sana terdengar suara tambur ditabuh keras-keras, begitu gencar suara tambur ini menyebabkan orang merasa tegang dan panik, keruan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui yang lagi berhantam itu lantas putar tubuh dan melarikan diri. Pasukan yang kalah dan mundur ini sungguh laksana air bah yang tak terbendung lagi, Memangnya anggota Hek-jiu-tong biasanya sebuas serigala dan selincah harimau, kejahatan apa saja yang tak pernah mereka lakukan? Kini demi mencari selamat sendiri, yang di belakang mendorong yang di depan terdesak roboh dan di injak-injak kawan sendiri, maka terjadilah saling injak dan saling dorong, keadaan menjadi semakin kacau dan ribut. Mengawasi keadaan yang kemelut itu, Sebun Tio-bu mendadak menoleh dan bertanya. "Siang-heng, tahukah di mana letak sumbu peledak musuh?" Siang Cin maklum maksud Sebun Tio-bu, namun dia menggeleng sahutnya. "Tadi tak sempat kutanyakan." Dengan gegetun Sebun Tio-bu berkata pu la. "Bila tahu tentu menguntungkan kita bisa mendahului pasukan musuh yang mundur ini, bila sumbu kita sulut sekarang pihak mereka sendiri yang bakal menjadi korban malah, tapi kini sudah terlambat ..." 290 "Tempatnya pasti amat dirahasiakan, kalau tidak, ini memang cara yang setimpal untuk membalas kelicikan mereka." Tatkala mana keadaan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui tampak runyam sekali, banyak yang merangkak-rangkak berebut mencapai tepi Ce ciok-giam, pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay terus mengudak dan membabat musuh seperti membabat rumput, kira-kira dua puluhan tombak mendekati seberang Ce-ciok-giam, pada saat genting itulah, tiba-tiba lengking suara tiupan tanduk yang mengalun panjang berirama sendu bergema di angkasa Ce ciok-giam. Maka pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay yang tengah mengamuk di tengah-tengah musuh sama berhenti dan melongo, jelas kelihatan mereka teramat heran dan menyesal, wajah mereka yang sudah beringas seperti binatang buas yang mencium darah tampak penasaran dan gusar, tapi mereka teramat berdisiplin dan patuh pada perintah atasan, meski tak boleh menyerbu lebih lanjut, tapi tombak bersu la di tangan mereka segera ditimpukkan musuh, maka musuh yang lagi lari sipat kuping dan merambat naik ke atas tanggul itu banyak pula yang menjadi korban, tombak menghujam punggung, leher, pinggang atau kaki tangan, ada pula yang batok kepalanya pecah, lebih mengenaskan lagi ada orang yang tubuhnya terpantek tombak pendek yang berat itu. Di kejauhan sana lh Ce tampak berdiri di atas sepotong batu besar, di sampingnya berdiri tiga anak buahnya yang gagah perkasa, tak jauh di sebelah sana Kim-lui-jiu Kin Jin tampak berdiri dengan santai, gagah dan berwibawa. Thong Yang-seng yang sekujur badannya berlepotan darah tampak masih berada di dalam rombongan orang banyak entah apa yang sedang dia bicarakan dengan Coan jit kek Mo hiong. Sisa orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sementara itu sudah naik ke atas tanggu l, syukur pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay tidak mengganyang mereka lebih lanjut, maka semuanya ngelesot di tanah, ada yang duduk, ada yang rebah celenteng, semuanya lemah lunglai dengan napas tersenga l, yang terluka sibuk membalut luka, ada pula yang merintih dan meraung, yang tersisa tiada seorangpun kuat berdiri lagi. Melihat keadaan Ce-ciok-giam yang penuh bergelimpangan mayat dan orang yang terluka parah, lama juga Siang Cin termenung, kalanya kemudian. "Yang gugur dan terluka dari kedua pihak ternyata tidak sedikit jumlahnya." Hong Siang-gwat menghela napas, katanya. "lni kan petempuran, kalau tidak membunuh tentu dibunuh, jumlah orang-orang yang gugur dan terluka sebentar lagi akan ada laporan yang jelas." Dari depan sana bayangan seorang yang kurus kecil tengah berlari datang, sekilas pandang Siang Cin melihat yang datang ini adalah si Lutung putih Siang Kong. Ho Siang-gwat terbelalak heran, teriaknya. "Lo Siang, kenapa kau tergesa-gesa?" Muka Siang Kong basah penuh keringat, dengan napas, tersengal dia memberi hormat kepada Siang Cin serta Sebun Tio-bu, lalu berkata kepada Ho Siang-gwat. "Lapor Toahoucu, Cuncu bertanya bagaimana tindakan selanjutnya?" 291 Ho Siang-gwat berpaling ke arah Siang Cin. Dengan tenang Siang Cin berkata. "Bagi menjadi beberapa kelompok dan siap siaga setiap saat, untuk sementara boleh istirahat tolong dulu yang terluka adalah tugas utama." Siang Kong mengiakan terus berlari balik ke sana, Ho Siang-gwat memanggil seorang murid serta berpesan. "Laporkan kepada Toaciangbun, katakan bahwa Ceciok- giam sudah kita duduki, karena musuh menanam bahan peledak di atas tanggul sana, maka sementara kedua pihak mengadakan gencatan senjata tidak resmi, jangan lupa secepatnya suruh barisan penolong kemari." Murid itu mengiakan terus berlari pergi bagai terbang, Ho Siang-gwat berpikir sejenak, lalu berkata kepada seorang murid Bu-siang-pay tak jauh di sampingnya. "Sampaikan kepada Pau-suheng, katakan kuperintahkan mereka tetap bertahan di luar Ce ciok-giam, sebelum ada perintah tak boleh sembarang beraksi." Murid inipun pergi dengan langkah cepat, Ho Siang gwat menghela napas, katanya dengan nada heran. "Eh, hujan salju sudah berhenti. Kapan sih berhei'tinya?" "Dikala kita mulai terjun ke medan laga tadi," Ucap Siang Cin dengan tertawa. Dalam pada itu dua murid Bu-siang pay telah membentang dua selimut yang tebal di antara batu krikil, maka Siang Cin, sebun Tio-bu dan Ho Siang-gwat sama duduk istirahat. "Menurut perhitunganku," Demikian ucap Siang Cin. "Yang gugur dan terluka dari kedua pihak mungkin melebihi tiga ribu orang." "Ya, kira-kira sebesar itu," Kata Siang gwat. "Barusan Loh lh beritahu kepadaku, bahwa anak buah Say-ji-bun yang dipimpinnya ada separo yang gugur dan terluka, murid-murid yang dikuasai Congtong juga gugur dua tiga ratusan." Menghela napas, Siang Cin berkata "Pertempuran besar-besaran begini, akibatnya sudah tentu serba kejam." Dengan rasa dongko l Sebun Tio bu melirik Siang Cin, katanya. "Memangnya si Naga Kuning juga bicara persoalan kekejaman?" "Kan aku juga manusia biasa, hatiku tidak sekejam seperti yang tersiar di luaran, betapapun harkat manusia masih kuhargai, cuma dalam menghukum orang jahat, caraku turun tangan memang keji, adalah jamak mereka yang pernah kutindas sama menggambarkan diriku bagai iblis laknat. Yang betul, akupun punya kasih sayang sesama manusia, aku menghargai orang lain seperti aku menghargai diriku sendiri, ini terbukti jumlah manusia yang pernah kutolong, dari macam-macam kesulitan yang jauh lebih banyak daripada korban yang pernah kubunuh, kecuali kejahatannya memang sudah kelewat takaran, biasanya pasti kupertimbangkan dulu apakah patut orang itu kubunuh." Ho Siang-goat manggut-manggut, katanya. "Untuk ini akupun bisa merasakab, aku setuju dan bisa menerima penjelasan ini..." "Akupun setuju," Kata Sebun Tio-bu. "Hendaklah Siang heng jangan salah paham..." 292 "Persahabatan harus dilandasi kejujuran serta kebajikan, Tangkeh, masakah aku gampang dibuat salah paham?" Ucap Siang Cin sambil menatap Sebun Tio-bu." Lalu dia kerkata pula kepada Ho Siang-gwat. "Toahoucu, untuk kali ini apakah kalian ada membawa senjata api?" "Ada, Liat yam-kiu dan Hwe-piau buatan khas kami sendiri," Sahut Ho Siang-gwat. "Bian-hok-ti-cu juga kalian bawa bukan?" Tanya Siang Cin pula. "Sudah tentu," Sahut Ho Siang-gwat tergelak. "pusaka ini pasti selalu kami bawa." Berpikir sejenak lalu Siang Cin berkata. "Kalau tidak dipelihara orang di musim sedingin ini, berapa lama binatang ini kuat dan bertahan hidup?" "Bian-hok-ti-cu (labah2 perut sutera) ini biasanya kami pelihara dalam kotak batu kemala yang hangat, jika tidak dipelihara dan berada musim sedingin ini, mungkin hanya kuat bertahan setengah hari, daya hidup labah-labah macam ini sebetulnya amat kuat, bila labah-labah jenis lain, begitu musim dingin akan datang, mungkin siang-siang sudah menggali liang sembunyi dan tak berani bergerak lagi." Lalu dia bertanya. "Apakah kau ada akal baik, Lote?" "Biarlah kupikirkan sebentar, supaya rencanaku lebih sempurna..." Maka Ho Siang-gwat tidak mengganggu pula konsentrasi Siang Cin, sementara Sebun Tio-bu sudah merebahkan diri, Thi-mo-pi dia jadikan bantal. Tak lama kemudian, lima ekor kuda mencongklang kencang mendatangi tiba di pinggir parit lantas berhenti, lima orang dengan langkah cepat tampak menyeberangi Sin-siok-iuh menuju ke sini. Ho Siang gwat berkata pelahan. "ltulah Tay-ciangbun telah datang." Dengan tertawa Siang Cin berdiri, demikian juga Sebun Tio-bu melompat bangun. Memang betul Thi Tok-heng dibawah pengawalan Jik tan-su-kiat tengah mendatangi mereka. Jelas pada saat pertempuran berlangsung tadi, Thi Tok-heng sendiri tidak pernah istirahat. Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat Siang Cin bertiga, dia mempercepat langkah dengan tersenyum, dengan erat dia pegang lengang Siang Cin dan Sebun Tio-bu, katanya dengan suara terharu. "Lote, tentunya kalian sudah lelah." "Tidak apa-apa, mungkin Tay ciangbun yang terlalu banyak berpikir ..." "Tayciangbun," Sela Sebun Tio-bu "mukamu kelihatan kurang sehat, mungkin terlalu tegang. Memang, dalam saat2 seperti ini siapapun pasti tegang." "Untunglah ...." Ucap Thi Tok-heng dengan tertawa. "sementara ini situasi boleh dikatakan aman, dalam gebrak pertama ini kita sudah unggul, tapi untuk maju lebih lanjut tidak sedikit aral melintang yang harus kita hadapi, pihak musuh jelas takkan berpeluk tangan." "Sudah tentu," Kata Siang Cin. 293 Thi Tok-heng berkata pula. "Siang-lote, menurut pendapatmu, bagaimana melanjutkan serbuan seterusnya?" Berpikir sebentar Siang Cin berkata. "Di atas tanggul diseberang Ce-ciok-giam musuh memasang bahan peledak dalam jumlah besar, maka langkah pertama kita harus menghancurkan peledak yang terpendam itu, lalu perintahkan Say-ji-bun berjagadi sini, supaya Ce-ciok-giam kita jadikan benteng yang kukuh untuk maju atau mundur bila perlu di samping kekuatan inti kita terus maju ke depan beberapa kelompok yang lain harus terus gempur pertahankan musuh secara bergiliran supaya musuh tidak ada waktu ganti napas, dengan cara demikian bukan saja tenaga kita bisa dipertahankan semangat juang tetap berkobar, bila perlu seluruh kekuatan masih dapat dikerahkan sekaligus..." "Analisa yang tepat," Ucap Thi Tok-heng. "apa yang diuraikan Lote memang sudah menjadi rancangan dalam benakku, tahap pertama Say-ji-bun memang harus berjaga di Ce-ciok-giam..sementara pasukan Hwi-ji-bun kujadikan pasukan inti dan pasukan Bong-ji-bun sebagai cadangan, kini yang perlu segera diputuskan adalah bagaimana langkah kita selanjutnya ..." "Menurut penilaianku." Demikian Siang Cin berkata. "musuh hanya mengerahkan sebagian kecil saja dari seluruh kekuatannya dalam pertempuran di Ce-ciok-giam ini, kekuatan inti mereka belum dikerahkan, menurut pengakuan Pek Wi-bing, Jik-san-tui hanya mengerahkan dua ribu orang dan empat ratus orang Hek jiu-tong, kukira jumlah ini memang tidak salah, dari hasil penyelidikanku di Pau-hou-ceng dan Toaho- tin tempo hari, Jik-san-tui memang kira-kira mempunyai kekuatan dua ribuan orang, seielah pertempuran tadi, berarti jumlah mereka sudah sisa separo saja." Berhenti sebentar, lalu Siang Cin meneruskan "Sementara pihak Hek jui-tong yang hijrah kemari dan Pi ciok-san, seluruhnya ada seribu lebih, di antaranya ada yang terluka parah dan ringan, kini mereka mengerahkan empat ratusan orang di Ce-ciokgiam ini, berarti separo dari jumlah yang mereka miliki. Maka mulai dari sini dan seterusnya sampai di Tao ho tin, musuh pasti sudah mengatur banyak perangkap dan jebakan, setiap langkah kita pasti ada bahaya dan kekuatan selanjutnya yang bakal kita hadapi jelas adalah orang-orang dari Toa-to-kau, Jit-to hwe, malah mungkin juga dibantu orang dari Ceng siong-san-ceng, menurut penilaianku, anak buah Hek jan kong yang bercokol di Ji-gi-hu tentu sudah menguasai seluruh Toa-hotin, sementara sisa-sisa dari kekuatan Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui paling-paling hanya dijadikan kekuatan samping yang tidak seberapa di sekeliling Ji gi-hu." Tiba-tiba Sebun Tio-bu menimbrung. "Kalau demikian, bukankah Jik-san-tui dan Hek-jiu-tong merosot derajatnya?" Siang Cin mengangguk, katanya. "Betul, sejak lari ke Toa-ho-tin, Hek jiu-tong memang tidak segarang dahulu, pamornya sudah runtuk habis-habisan, sementara Jik-san-tui biasanya memang menuruti segala petunjuk Hek-jan kong, bahwa Hek jiu tong mencari perlindungan di tempat Jik san-tui, mau-tidak-mau mereka harus tunduk juga, maka nasib sudah menentukan demikian, gembong-gembong Hek jiutong yang masih hidup tentu menyesal setengah mati, tapi lahirnya mereka akan tetap unjuk senyum, padahal batin mereka amat menderita. Dengan tersenyum Thi Tok-heng berkata. "Analisa Siang-lote, memang jelas dan tepat, sungguh amat kagum, Siang-lote, menurut pikiranmu, cara bagaimana kita harus melancarkan serbuan selanjutnya?" 294 Dengan kalem Siang Cin berkata. "Gunakan kekuatan Hwi ji-bun untuk menyerbu secara langsung dari depan, sementara kekuatan Bong ji bun dipendam di kiri, mereka akan dikerahkan menurut keadaao. Seluruh kekuatan Congtong dipersiapkan setiap saat menunggu perintah, bila perlu secara langsung merekalah yang harus menerjang masuk ke Toa ho tin, sebelum musuh yang dipendam sepanjang jalan Ce-ciok-giam sampai di Toa-ho-tin tersapu bersih, Cayhe, Sebuntangkeh dan Kin-heng dengan beberapa jago pilihan Bu-siang-pay akan menyelundup masuk lebih dulu ke jantung musuh,tugasnya sekaligus mencari jejak puteri Tayciangbun." Pelahan Thi Tok-heng berkata. "Baik, boleh dilaksanakan sesuai rencana Siangheng, bila ketemu Yang-yang, kalau dia masih bandel, tak usah ragu-ragu, Sianglote boleh meringkusnya dan bawa kemari, mati atau hidup tidak menjadi soal ..." Lama Siang Cin menatap Thi Tok-heng, orang tua yang berhati mulia, Tayciangbun dan Bu-siang-pay, bagaimana perasaan orang sekarang, Siang Cin dapat menyelaminya, katanya dengan tertawa. "Taycangbun tak usah kuatr, Cayhe pasti bekerja melihat gelagat bila kutemukan dia, kesempatan untuk melarikan diri pasti takkan kuberikan." Tiba-tiba Sebun Tio-bu berteriak. "Betul, dengan kekuatan kami kalau tidak mampu membekuk genduk cilik itu, memangnya ke mana pamor kami akan ditaruh?" Terpancar rasa terima kasih yang tak terhingga pada sorot mata Thi Tok heng, katanya. "Betapa syukur dan terima kasih hatiku, budi kebaikan kalian kepada Busiang- pay sungguh tak terukur besarnya ..." Lekas Sebun Tio-bu berkata. "jangan Tay-ciangbun sesungkan ini, berkecimpung di kalangan Kangouw, yang di utamakan adalah "satya", demi kesatyaan, meski awak sendir harus berkorban juga tidak jadi soal, apalagi cuma urusan sekecil ini". "Sudahlah," Ujar Siang Cin. "Tayciangbun tak usah sangsi dan sungkan. Sekarang menurut Tay-ciangbun kapan kiranya akan dimulai serbuan terbuka?" Berpikir sejenak Thi Tok heng berkata. "Kira-kira satu jam lagi bagaimana?" "Baik, sekarang perintahkan supaya semua pasukan istirahat dan mengisi perut sekenyangnya," Ucap Siang Cin. Thi Tok-heng mengangguk kepada Ho Siang-gwat di sebelahnya, lalu dia berpaling dan berkata kepada To Wan kang, salah satu dari Jik-tan-su-kiat. "Wan-kang, biarlah aku makan di sini bersama Susiok berdua." To Wan-kang mengiakan terus berlalu bersama rekannya menyiapkan hidangan, baru saja mereka pergi, dari arah Ce-ciok-giam sebelah depan sana berlari datang seorang laki tinggi besar mirip kerbau. Begitu melihat Thi Tok-heng orang itu lantas menjura serta berkata. "Siang-toa-cui Jit Lip dari Say ji-bun menghadap Tayciangbun, semoga Tayciangbun sehat selalu ..." "Sudah, jangan banyak peradatan,." Ucap Thi Tok-lheng tersenyum. 295 Siang-toa-cui (sepasang gada garuda) Jit Lip ini agaknya pemalu, dia menegakkan badan sambil menyengir lucu, katanya setelah menyeka keringat. "Lapor Tayciangbun, Tecu diutus oleh lh-Cuncu kemari untuk melaporkan tentang para saudara yang gugur, luka parah dan ringan ..." "Baik, boleh kau laporkan," Ucap Thi Tok-heng. "Kawanan kura-kura Hek-jiu-tong mampus dua ratusan orang, yang luka-luka ada tujuh puluhan, korban Jik san-tui lebih besar lagi, yang mati ada seribu dua ratus, yang terluka lima ratus lebih, sisa yang berhasil melarikan diri, menurut perhitungan lh cuncu, orang-orang Jik san-tui masih ada empat ratusan orang, sedang Hek jiutong paling hanya dua ratusan, betapa mengenaskan keadaan mereka sehingga kawan-kawan mereka yang terluka tak terhiraukan lagi ..." Setelah, menelan air liur, Jit Lip berkata pula. "Karena teramat dekat pihak kita melakukan pengejaran, maka menurut lh-cuncu musuh ngacir seperti ... seperti ..." "Seperti anjing mencawat ekor." Sambung Sebun Tio-bu. Jit Lip menghela napas lega, katanya sambil menyeka keringat. "Ya, ya betul. ngacir seperti anjing mencawat ekor ..." "Lalu berapa besar korban pihak kita? Kukira cukup parah juga bukan?" Ucap Thi Tok heng. Jit Lip diam sejenak, wajahnya yang merah kasar mengunjuk rasa sedih, senyum yang menghias wajahnya tadi seketika sirna. "Katakanlah," Ucap Thi Tok-heng dengan tenang. "darah seorang ksatria memang pantas menyiram pasir, gugur di medan laga, semua ini adalah akhir dari kehidupan seorang pahlawan sejati, tiada sesuatu yang harus dibuat sedih, malah sebaliknya kita harus merasa bangga akan keberanian dan jasa-jasa mereka Jit Lip, katakan, berapa besar korban yang kita alami? Apakah lebih parah dari pada mereka?" Gemetar bibir Jit Lip, suaranyapun berubah serak. "Empat ratus dua puluh saudara Sau ji bun gugur, yang luka parah dan ringan ada dua ratusan lebih, anak buah di bawah komando Congtong gugur seratus lima puluh orang, yang luka parah dan ringan ada lima puluhan, jadi jumlah seluruhnya ada tujuh ratusan. Kini yang lukaluka sedang ditolong, enam belas tabib sedang bekerja keras menolong mereka. Tapi saudara-saudara kita memang gagah perkasa, keras hati lagi, dalam keadaan separah itu mereka tetap bertahan, tiada satupun yang mengeluh atau merintih." Dengan memejamkan mata Thi Tok-heng berkata pelahan dan mantap. "Korban yang gugur dalam pertempuran kali ini, pihak musuh satu kali lipat lebih banyak daripada kita, jangan karena kerugian yang kita alami cukup parah lantas patah semangat dan bersedih hati, bawalah kepedihan kembali ke padang rumput, waktu itu, akan diberi kesempatan untuk menangis, akupun akan menyertai kalian, sekarang Jit Lip..." Jit Lip menunduk untuk menyembunyikan air mata yang sudah berkaca-kaca dikelopak matanya, dengan tersendat dia mengiakan. Dengan suara lantang Thi Tok-heng berpesan. "Sampaikan kepada mereka, yang gugur segera dikebumikan di tempat itu juga, yang terluka harus ditolong dengan 296 segala daya upaya, tapi korban dari lawanpun harus dirawat, mereka harus juga menerima pelayanan yang sama dengan murid-murid kita ..." "Tayciangbun," Seru Jit Lip penasaran "para kura-kura itu ...." "ltulah putusanku," Tenang dan berwibawa kata-kata Thi Tok heng. "sampaikan pesanku ini kepada lh cuncu dan harus dilaksanakan, jangan lupa orang-orang itupun seperti kita, manusia biasa yang diiahirkan oleh ayah-bundanya ..." Jit Lip tak berani membantah lagi, setelah mengiakan lekas dia mengundurkan diri. Mengawasi bayangan orang yang gede berlari pergi Siang Cin menghela napas. katanya. "Tay-ciangbun, putusanmu memang betul dan bijaksana." Thi Tok-heng tertawa getir katanya. "lnilah yang dinamakan "peri kemanusiaan" Kehidupan kaum persilatan memang serba mengenaskan, serba kejam ..." Dalam pada itu Jik-san su-kiat sudah datang dengan membawa beberapa kotak kayu yang berisi berbagai macam masakan, seru Sebun Tio-bu sambil berjingkrak senang. "ini dia, perut memang sudah keroncongan, hayolah isi perut dulu, kalau perut kenyang baru punya tenaga untuk berkelahi." Siang Cin tertawa, katanya. "Di mana dan kapan saja tangkeh tidak pernah melupakan soal makan." Sebun Tio-bu berkata. "Sudah tentu, makan kan soal pokok bagi setiap manusia, apalagi setelah mengalami pahit getir seperti ini, selera makan pasti besar dan penting sekali artinya." "Nanti sebentar," Ucap Thi Tok~heng. "aku ingin menyuguh beberapa cangkir arak kepada kalian." Sebun Tio-bu tertawa, katanya. "Tayciangbun, kiranya ada arak juga?" Kata Thi Tok-heng manggut-manggut. "lnilah Say to-ciu nomor satu." "Say-to-ciu?" Teriak Sebun Tio-bu kegirangan sambil menelan ludah. "Bagus sekali, hayolah tenggak dulu setiap orang delapan cangkir, kalau sudah makan hidangan rasanya tentu kurang sedap." Dengan tulus hati Thi Tok-heng berkata. "Setelah urusan di sini selesai, akan kuundang kalian ke padang rumput, kita akan makan-minum sepuas-puasnya di sana, cuma apakah Sebun tangkeh sudi memenuhi undanganku ini." "Pasti kuterima," Teriak Sebun Tio-bu. "cuma, ai, makan minum dengan menganggur, apa tidak membosankan." Tiba-tiba Siang Cin menuding ke depan, katanya. "Kin heng sedang mengawasi gerak-gerik musuh di garis depan bersama lh-cuncu." Lekas Thi Tok-heng berpaling, serunya. "Wan-kang, lekas panggil Kin-susiok untuk makan bersama." 297 Tidak lama Kin Jin tampak berlari datang, ia memberi hormat sambil mohon maaf. "Terlambat selangkah, bikin kalian menunggu. makan di sana sebenarnya juga sama saja." Tidak terlalu lama mnkan siangpun usai, sambil menepuk perut Sebun Tio-bu berkata dengan muka merah. "Puas minum makan kenyang, tibalah saatnva berjuang di medan laga pula." Kin Jin menyeka mulut, katanya. "Siang-heng, bahan peledak musuh di atas tanggul itu, bagaimana cara menyelesaikannya?" "Tak usah kuatir, ada akal untuk memusnahkannya," Ucap Siang Cin dengan tersenyum, lalu dia berpaling kepada Thi Tok-heng, katanya. "Tayciang-bun, menurut Ho-toahoucu, untuk meluruk kemari pihak kalian juga membawa serta senjata api?" "Betul," Sahut Thi Tok-heng. "akhir-akhir ini kami berhasil menciptakan berbagai alat senjata api, di antaranya Liat-yam-kiu (bola api, granat) dan Hwe-piau." Dengan bersemangat Siing Cin berkata. "Nah, sekarang harap perintahkan menggempur pinggir tanggul itu dengan gencar, pertama untuk memukul mundur musuh, supaya kami punya peluang masuk ke jantung musuh dan mungkin dapat pula menyulut sumbu bahan peledak musuh." Thi, Tok-heng manggut-manggut, Siang Cin lantas menambahkan. "Bila serbuan dimulai, Cayhe akan pimpin beberapa utusan kalian menyelinap keluar dan menuju ke Toa-ho-tin untuk mencari jejak puteri Ciangbunjin." Dengan kereng Thi Tok-heng lantas berseru. "Wan- kang, panggil Toacuncu Tiangsun Ki dari Hwi-ji-bun dan Toacuncu Utti Han-poh dari Bong-ji-bun kemari." Hanya sebentar saja tiga bayangan orang tampak lari mendatangi. Seorang setengah-umur berperawakan tinggi kurus bermuka pucat kehijauan. Dibelakangnya adalah seorang tua berbadan gemuk buntak seperti guci, berkepala botak, mukanya bundar mirip patung Mi-lek-hud (Budha) di kelenteng yang selalu tertawa. Mereka datang hanya terpaut selangkah belaka, Sedang To Wan-kang jauh ketinggalan di belakang. Bara Naga Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Thi Tok-heng tertawa ramah, laki-laki muka hijau segera menjura, suaranya berat serak. "Tiangsun Ki menghadap Ciangbun Toasuheng." Kakek buntak tertawa, k.itanya. "Losuko, ada tugas apa pula yang hendak diserahkan kepada Bong-ji-bun kami?" Thi Tok-heng mengangguk pada si tua buntak ini, lalu dia perkenalkan kepada Siang Cin bertiga, Laki-laki kurus muka hijau ini bukan lain adalah Toa-cuncu Hwi-ji bun yang tersohor dengan julukan Ceng-tuo-kun (iblis muka hijau) Tiangsun Ki, sedang laki-laki tua buntak adalah Toacuncu Bong-ji-bun Kian-kun-it-Jiin Uiti Han-poh. Setelah basa basi saling mengucapkan kekaguman, Thi Tok-heng berkatn. "Tiangsun-sute, dalam gerakan selanjutnya, anak buahmu akan diserahi tugas sebagai penyerbu utama, sementara anak murid Utti sute sebagai pendukung." 298 Mantap suara Tiangsun Ki, sahutnya. "Hal itu sudah kudengar dari Ho-toahoucu tadi." "Baiklah," Ucap Thi Tok-heng kemudian. "segera bentuklah barisan, biarlah anak buah lh-sute dan Ho-houcu membersihkan bahan peledak musuh, kalian harus menunggu aba-aba untuk segera menyerbu." Sampai di sini nadanya menjadi kereng berwibawa. "Pada serbuan pertama harus langsung menembus jantung musuh, dilarang berhenti atau membuang waktu, bila terhambat sedetik saja, korban dipihak kita akan lebih banyak, hal ini kalian harus mengerti." Tiangsun Ki dan Utti Han-poh sama mengangguk, Thi Tok-heng berkata lebih lanjut. "Di samping itu kita pilih Tang-haii (rantai panjang) Le Tang dari Hwi-ji-bun dengan Heng-cia Loh Hou dari Bong-ji-bun untuk ikut Siang-lote menyelundup ke Toa-ho-tin agar menyambut serbuan kita di sana nanti." "Apa cukup dua orang saja?" Tanya Tiangsun Ki "Cukup," Lekas Siang Cin menyahut. Tanpa bicara lagi Tiangsun Ki dan Utti Han-poh memberi hormat kepada Thi Tokheng serta Siang Cin dan lain-lain, seperti datangnya tadi, cepat sekali mereka sudah berlari pergi. Thi Tok-heng menghela napas, katanya. "Tiang-sun Ki adalah Cuncu yang memiliki Lwekang paling tinggi di antara enam yang lain, cerdik pandai dan banyak akalnya, keberaniannya luar biasa, usianya sudah lima puluh lebih, namun wataknya tetap berangasan, itulah cirinya yang paling jelek." Sebun Tio-bu tertawa, katanya. "Lahirnya kok tidak kelihatan." "Memang tabiatnya jelek sekali, meski menghadapi kematian tetap tak mau tunduk, tapi lahirnya memang tidak kentara, lahirnya dia kelihatan pendiam dan penurut tapi begitu sifat sejatinya kumat, bagaikan hujan badai yang tak terkendali lagi, Umpamanya dalam perjalanan kcmari, bila aku tidak berulang kali mengendalikan dia, mungkin sejak lama dia sudah meluruk langsung ke Toa-hoa-tin untung reaksinya cukup cekatan meski dalam keadaan murka dan dirundung emosi dia tetap tak pernah bingung atau gugup, oleh karena itulah selama dia berkecimpung dalam dunia persilatan belum pernah dia mengalami kerugian." "Sungguh sulit mencari orang seperti dia, umumnya orang yang bertabiat berangasan otaknyapun tumpul, gagah berani tapi tidak punya akal, apa lagi bila menghadapi urusan besar dan penting akan menjadi kelabakan dan mati kutu, bila seseorang dapat menguasai diri dengan tenang serta bisa mundur-maju secara teratur, dalam keadaan murka akal sehatnya tak pernah pudar, inilah yang membuat kagum," Demikian Siang Cin memberikan komentarnya Dikala mereka bicara itulah, dua orang berperawakan tinggi tujuh kaki, pinggang besar dan kekar tampak berlari datang. Yang disebelah kiri bermuka lebar, mata besar, hidung pesek, mulut tebal kulit badannya coklat mengkilap, lengan besar melebihi paha seorang laki-laki biasa dengan otot daging merongkol. 299 Orang di sebelahnya juga raksasa alisnya tebal, leher besar, rambut hitam, gondrong terurai di pundak, bersenjata toya baja, mukanya memancarkan cahaya penuh semangat, giginya putih tapi dengan dua taring besar yang menonjol. Thi Tok-heng memperkenalkan. "Siang-lote, dia bernama Le Tang, salah satu murid Hwi-ji bun yang paling hebat." Lalu ia menuding laki-laki raksasa yang memegang pentung. "Dia ini Loh Hou, jago yang tak terkalahkan dari Bong-ji bun." Siang Cin menjura kepada kedua orang, sapanya tertawa. "Dapat berkenalan dan kerja sama dengan kalian, sungguh bangga hatiku." Kedua laki-laki besar dan kasar ini ternyata lugu dan tak pandai bicara, sekian lama mereka hanya menyengir saja sambil garuk-garuk kepala, akhirnya yang bernama Le Tang dapat menguasai diri serta berkata. "Ah, jangan sungkan, kami orang bodoh..." Thi Tok-heng tertawa geli, katanya. "Sudahlah, kalian akan ikut bernama Siangsusiok, apapun petunjuk dan perintahnya harus kalian patuhi, demikian pula kalian harus tunduk pada petunjuk Sebun-tangkeh dan Kin-tayhiap, jangan ragu-ragu dan membangkang, tahu tidak?" "Sudah tahu, kami pasti patuh." Kedua laki-laki kasar itu menyahut. Siang Cin mendongak melihat cuaca, baru saja dia mau bicara, dari kiri-kanan Ce ciok giam mendadak bergema lengking suara tiupan terompet yang mengalun sedih memilukan, nyaring dan tinggi suara trompret ini sampai terdengar juga ke seberang, ditengah suara trompret yang melengking tajam itu, terdengarlah suara serta derap tapal kuda yang gemuruh, bentakan orang yang berlari kian kemari, kiranya anak murid Hwi ji-bun dan Bong ji bun tengah mempersiapkan diri. Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung