Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 30


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Bagian 30


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya dari Gan K L   Pertahanan lawan yang mampu menyerang balik ini sungguh di luar dugaannya.   Tapi karena Lam-sat-sin terlalu yakin bila Lansat-ciang mengenai tubuh lawan jiwa orang pasti melayang keracunan, sudah tentu iapun tidak mau mundur meski menghadapi perlawanan yang hebat ini, tenaga malah dipusatkan sementara telapak tangan kanan tetap menepuk, serangan yang semula dia arahkan punggung Ling Kun-gi sekarang malah dia ubah arahnya memapak telapak tangan Ling Kun-gi yang mengipat ke belakang itu.   Jelas tujuannya amat keji dan jahat.   Sayang dia tidak tahu bahwa Mo-ni-in adalah ilmu mukjijat aliran Hud yang sakti, waktu dilancarkan kekuatannya tidak kelihatan besar, bila sudah mengadu pukulan secara telak baru kekuatannya timbul berlipat ganda.   Setelah Lansat-sin menyadari adanya gejala tidak enak, namun sudah terlambat, kekuatan lunak sekokoh baja itupun sudah memukul dadanya.   Lansat-ciang yang dilatihnya selama berpuluh tahun kali ini sama sekali tak mampu dilancarkan, tahu2 terasa sekujur badan mengejang dan bergetar, seperti orang yang didorong mendadak tanpa kuasa dia terhuyung mundur beberapa langkah.   Melihat dia membokong Ling Kun-gi, sudah tentu Kongsun Siang tidak berpeluk tangan, meski pertolongannya terlambat, tapi dia tetap menubruk maju, memang hatinya lagi gusar kebetulan dilihat lawan tergetar mundur, segera dia menubruk miring berbareng pedang menusuk, Kalau dalam keadaan biasa, dengan tingkat kepandaian Dian Yu-hok pasti dengan mudah dia dapat berkelit, apa daya sekarang dia sudah terkena getaran pukulan Mo-ni-in yang hebat itu, badan sendiri sudah tak kuasa dikendalikan, mana dia sanggup berkelit lagi.   "Bles", ujung pedang yang runcing gemilapan tahu2 menembus dada dari belakang.   Lansat-sin hanya merasakan badan tertembus oleh sesuatu yang dingin, matanya terbeliak, waktu menunduk, dilihatnya ujung pedang tembus keluar dari dadanya, tampang kudanya seketika pucat pias, teriaknya tertahan.   "Siapakah yang menusuk Lohu?"   Pelan2 badan menjadi lemas dan jatuh terkulai. Dengan bebrseri tawa Loh-bi-jin menghampiri, katanya.   "Hebat benar ilmu Cong-su cia."   Kun-gi malah mengerut kening, katanya.   "'Mungkin Cayhe terlalu keras memukulnya."   Belum habis bicara, tiba2 ia sendiri terhuyung mundur. Loh-bi jin kaget, tanpa hiraukan adat laki-perempuan lagi lekas dia memapah, tanyanya penuh perhatian.   "Cong-su-cia, kenapa kau?"   Dilihatnya muka Kun-gi pucat dan agak gemetar pula, serunya gugup.   "Hai, lekas kalian kemari, mungkin Cong-su-cia terbokong oleh musuh?"   Ko lotoa, Song Tek seng, Kongsun Siang, Thio Lam-jiang segera merubung datang. Kata Kongsun Siang.   "Cong-su cia, cobalah kerahkan hawa murni, di mana letaksalahnya."   Mata Ling Kun-gi terpejam, dia berdiri diam, sesaat lamanya baru air mukanya tampak bersemu merah, pe-lahan2 dia mengirup napas panjang dan membuka mata.   Melihat Loh-bi-jin memapahnya, sorot matanya menunjuk rasa kaget dan keheranan, iapun merasa rikuh, katanya.   "Terima kasih nona, aku tidak apa2."   Jengah Loh-bi-jin, katanya dengan mengerling.   "Sebetulnya apa yang terjadi Cong su-cia?". "Hianping-ciang Tokko Siu memang lihay sekali,"   Demikian ucap Kun-gi,"   Sedikit lena, badanku terembes hawa dingin, seluruh badan seketika terasa membeku ...." "Sekarang sudah baik bukan?"   Tanya Loh bi-jin penuh perhatian. "Untung segera aku menyadari kelalaianku, sekarang sudah baik."   Ko-lotoa menyelutuk.   "Tokko Siu berjuluk Ping-sin (malaikat es), entah betapa banyak tokoh2 Kangouw yang kecundang oleh Hianping-ciang, malam ini ia kebentur Cong coh, tamatlah riwayat kejahatannya yang kelewat takaran"   Kun-gi menoleh ke sekitarnya, tanyanya.   "Musuh sudah mundur seluruhnya?" "Mendengar suara sempritan, Liu-siancu di arah timur tiba2 mengundurkan diri, sementara kesembilan Sing-siok di sebelah barat telah dibereskan oleh dara kembang dan terbakar menjadi abu oleh peluru Bik-yam-tan."   Kun-gi menghelar napas lega, katanya.   "Thay-siang memang serba tahu, ramalannya tidak pernah meleset, segala gerak-gerik musuh sudah tergenggam di telapak tangannya, sungguh amat mengagumkan."   Ko-lotoa berkata.   "Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing juga segera mengundurkan diri setelah mendengar suara sempritan tadi, karena Cong-coh tidak memberi perintah, kami tidak berani bergerak. Sukalah Cong coh segera ambil tindakan."   Kun-gi memandang ke arah Ui-liong-tong di kejauhan sana, tampak gua itu bermulut besar dan tinggi, pintu gua terbuka lebar, seperti tiada penjagaan, keadaan gelap pekat tak kelihatan keadaan di dalam, diam2 timbul rasa curiganya, katanya setelah tepekur sebentar.   "Ui-liong-tong adalah pusat pimpinan Hek-liong-hwe, kalau pintunya terbuka lebar tentu ada perangkapnya, lebih baik kita bekerja menurut pesan Thay-siang saja."   Loh-bi jin mengiakan, segera dia memberi tanda, empat dara kembang segera pikul tandu kecil itu menghampiri. Inilah bunyi tulisan Thay-sian dalam surat rahasianya.   "Terjang ke bawah Uilionggiam, lemparkan tandu ini ke Ui-liong-tong."   Kun-gi suruh orang banyak berpencaran mencari tempat masing2 dan mengepung Ui-liong-tong dengan ketat, sementara, empat Hou-hoat-su-cia yang angkat tandu itu segera diayunnya bolak-balik terus dilemparkan ku Ui liong-tong.   Karena lemparan yang kuat, tandu itu meluncur kencang ke mulut Ui-liong-tong yang menganga lebar, tertampaklah api tepercik terus terdengar ledakan keras yang menggelegar menggetarkan bumi.   Bumi laksana gempa keras, sementara ledakan masih terus berbunyi saling susul schingga tebing di puncak atas sana retak dan batu2 besar sama menggelindang berjatuhan tercampur dengan padas2 yang terlempar keluar dari dalam gua, terdengar suara jerit tangis dan pekik orang di sana-sini.   puluhan tombak disekitar lembah diliputi asap dan debu yang tercampur dengan batu yang beterbangan, jari tangan sendiri sampai tidak terlihat jelas apa lagi mengawasi teman2 yang lain.   Kiranya tandu itu berisi bahan peledak yang beratnya hampir sekwintal, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat daya ledakannya, ternyata Ui-liong tong telah diledakkan hingga rata dengan tanah.   Ngarai lembah naga kuning di atas sanapun telah gugur rata memenuhi lembah.   Waktu membaca surat rahasia Thay-siang tadi sebetulnya Kun-gi sudah mendapat firasat bahwa yang tersimpan di dalam tandu pasti obat bakar yang amat lihay kekuatannya, baru tandu dilempar ke dalam gua pasti menimbulkan kobaran api besar, karena tak bisa menyembunyikan diri pasti kawanan bangsat Hek-liong-hwe akan terjang keluar.   Oleh karena itu dia suruh 8 Hou-hoat-su-cia dan 20 dara kembang berpencar mengepung Ui-liong-tong, musuh yang lari keluar akan ditumpas atau ditawan hidup2.   Dia sudah perintahkan semua orang bersembunyi agak jauh dari mulut gua, supaya senjata api sendiri tidak melukai mereka, tapi tak pernah terduga olehnya bahwa tandu itu membawa sekwintal bahan peledak, betapa dahsyat kekuatannya, gua sebesar itu serta ngarai diataspun dibikin gugur dan lebur.   Begitu mendengar suara ledakan Kun-gi lantas merasakan getaran hebat mirip gempa bumi, lembah dan ngarai seperti berguncang, keadaan amat ga-wat sekali, lekas dia kerahkan Lwekang serta membentak sekeras guntur.   "Semua mundur!"   Walau dia berseru dengan kekuatan Lwekang yang tinggi, kalau dalam keadaan biasa suaranya mungkin bisa terdengar cukup jauh, tapi kini gunung gugur bumi berguncang hebat, suara ledakan masih terus berkumandang saling susul sehingga seruannya tak terdengar sama sekali.   Melihat gelagat jelek, sekali raih Kun-gi pegang tangan Ko-lotoa yang berdiri disampingnya sembari meloncat mundur sejauh mungkin Kong-sun Siang berdiri di sebelah kiri, mulutnyapun berteriak.   "Song-heng, Thio heng, lekas mundur!"   Begitu bergerak, dengan gaya serigala menubruk sekaligus dia melompat mundur sejauhnya.   Waktu dia berdiri tegak dan menoleh, batu2 sebesar gajah sedang bergelundungan dari atas ngarai, debu beter-bangan dan batu berlompatan menguruk lembah.   Tadi masih terdengar beberapa kali jeritan kaget dan kesakitan di sana sini, kini kecuali batu gunung yang masih bergelindingan dengan suara gemuruh, suara orang tak terdengar lagi.   Agaknya semua orang sudah teruruk di bawah reruntuhan.   Kaget Kongsun Siang, ia coba berteriak.   "Cong-coh, Cong-su-cia . ......."   Didengarnya suara Kun-gi juga sedang berteriak. "Kongsun-heng, kau tidak apa2?" "Ling-heng,"   Teriak Kongsun Siang berjingkrak girang, secepat terbang dia melompat ke arah datangnya suara.   Di tanah lapang berumput agak jauh sana keadaan masih gelap berkabut debu, tampak Ling Kun-gi tengah berjongkok, sebelah tangannya menekan punggung Ko-lotoa, kiranya tengah menyalurkan hawa murni ke badan orang.   Tiba di samping orang Kongsun Siang lantas bertanya.   "Congcoh, kenapa, Ko lotoa?"   Sebelah tangan Kun-gi tetap tak bergerak, katanya gegetun. "Waktu kutarik dia lompat ke belakang dada Ko-lotoa keterjang batu terbang, mungkin ..."   Belum habis dia bicara, dilihatnya Ko-lotoa telah membuka matanya, sinar matanya pudar, bibir bergerak mengeluarkan suara lemah, kata2nya ter-putus2.   "Terimakasih, ....Cong.....   coh, akutak...,taktahan.....lagi, Ui-liong.   ....tong.   ..   ....dibelakangnyaada..   ...ada sebuah.   ..   ..   ..   jalanrahasia......   menembus......   '.'darah segar tahu2 menyembur keluar dari mulutnya, sehingga dia tak mampu meneruskan kata2nya.   Lekas Kongsun Siang berkata.   "Ko-lotoa, tenangkan hatimu, apakah maksudmu bahwa di belakang Ui-liong-tong ada jalan rahasia yang tembus ke mana?"   Kun-gi lepaskan telapak tangan yang menekan punggung orang, katanya rawan.   "Dia sudah mangkat."   Pelan2 dia berdiri, matanya menjelajah sekitarnya, tanpa terasa dia berkata dengan nada, sedih.   "Kongsun-heng, agaknya tinggal kita berdua saja yang masih ketinggalan hidup dalam rombongan besar kita tadi." "Mungkin masih ada yang smpat lolos, debu masih mengepul setebalini dansukar melihatkeadaan,"ujar Kongsun Siang. Kun-gi menggeleng dan berkata setelah menghela napas. "Peristiwa ini terjadiamat mendadak, kitaberdiri limatombakdi luar Ui-liong-tong, begitu melihat gelagat jelek aku segera menarik Ko-lotoa melompat ke belakang, tapi Ko-lotoa tetap keterjang batu, padahal dara2 kembang dan Houhoat-su-cia tersebar disekeliling Uiliong-tong dalam jarak tiga tombak, mana mungkin mereka sempat meloloskan diri? Kesembronoanku yang harus disalahkan, sejak mula harus kuduga bila dalam tandu pasti tersimpan bahan peledak yang amat lihay, seharusnya kusuruh semua orang berdiri lebih jauh lagi."' Kongsun Siang berkata.   "Hal ini tak bisa menyalahkan Cong-coh, kalau Thay-siang membawa dinamit di dalam tandu seharusnya dia jelaskan dalam surat petunjuknya, menurut dugaanku, dinamit yang dapat menggugurkan separo gunung ini kalau tidak sekwintal pasti ada delapan atau sembilan puluh kati beratnya, kalau memang tidak tahu menahu, umpama berdiri jauh dan berilmu silat tinggi juga takkan sempat menghindarkan diri, apalagi menurut petunjuk kita harus menerjang masuk ke Ui-liong-tong, bahwa Cong-coh sudah suruh mereka menyebar sejauh tiga tombak, ini sudah cukup cermat juga."   Secara langsung dia salahkan Thay-siang yang tidak menjelaskanpersoalannyasehingga jatuhkorban sebanyakini. Kun-gi diam sejenak tanpa bersuara, pelan2 kepalanya terangkat dan berkata.   "Kongsun heng, marilah kita berpencar memeriksa keadaan, mungkin masih ada yang cuma terluka parah dan belum ajal, perlu segera kita menolongnya. Kongsun Siang mengangguk, katanya.   "Benar Cong-coh."   Mereka lantas berpencar ke kanan kiri dan memeriksa sekitar Uiliong tong, debu yang beterbangan sudah mulai reda, keadaan sudah mulai terang.   Maka puluhan tombak sekeliling Ui-liong-tong bisa terlihat jelas, ternyata batu2 padas melulu yang berserakan membukit di tempat itu, keadaan sudah berubah bentuk dan tak dikenal lagi.   Pertama Kun-gi menemukan jenazah Song Tek-seng, dia sudah berada tujuh tombak jauhnya dari Ui-liong-tong, punggungnya tertindih batu besar dan mati tengkurap.   Bergidik seram Kun-gi, diam2 ia berkata.   "Song-heng, tenangkanlah dirimu dalam istirahatmu, nanti akan kukebumikan bersama dengan kawan2 yang lain."   Lalu dia maju lebih lanjut, ditemukan pula Loh-bi-jin, tadi dia berdiri tepat di mulut Ui-liong-tong, badannya gepeng tertindih batu besar yang jatuh ke bawah, hanya sebelah tangannya saja yang kelihatan menjulur keluar, kematiannya amat mengenaskan.   Dari lengan bajunya Kun-gi mengenali Loh-bi-jin yang tertindih di bawah batu2 ini, mengingat kebaikan orang yang telah memapah dirinya tanpa hiraukan perbedaan laki perempuan waktu dirinya sempoyongan setelah mengadu kekuatan dengan Hianping-ciang Tokko Siu, sungguh ia berterima kasih dan terharu, kini bertambah lagi sedih dan pilu, kejadian baru berselang beberapa kejap, tapi jiwa orang sudah mangkat mendahului nya.   Pada saat itulah, mendadak seorang berteriak serak di sebelah kiri sana.   "Lekas kemari, tolonglah aku!"   Cepat Kun-gi memburu ke sana seraya berteriak.   "Dimana kau?"   Mendengar suara Kun-gi, agaknya terbangkit semangat orang itu, teriaknya lebih keras.   "Cong-coh, inilah aku Ting Kiau, tertindih di celah2 batu besar ini."   Belum habis dia bicara Kun-gi sudah melompat tiba, tampak olehnya Ting Kiau tertindih di bawah sebuah batu raksasa yang ribuan kati beratnya.   Waktu batu raksasa ini menggelundung dari puncak, kebetulan membentur batu padas yang menonjol dari dinding gunung sebelah belakang dan Ting Kiau kebetulan sembunyi di bawah batu padas yang menonjol ini sehingga batu raksasa tadi tidak menindihnya hancur, dia terjepit di celah2 batu tanpa bisa bergerak, hanya kepalanya saja yang menongol keluar.   "Ting-hengtidakterlukabukan?"   TanyaKun-gi. Badan Ting Kiau meringkal, sahutnya.   "Hamba tidak apa2, tempat ini kebetulan cukup untuk sembunyi, kalau tidak badanku tentu sudah hancur lebur."   Mengawasi batu raksasa ini, Kun-gi memperkirakan batu ini ada seribu kati beratnya, maka dia kerahkan tenaga, pelan2 kedua tanganya menyanggah batu serta mendorongnya ke samping, katanya.   "Awas Ting-heng."   Sekali gentak, batu besar itu kena digeser ke atas. Tanpa ayal Ting Kiau memberosot keluar, katanya sambil melompat berdiri.   "Cong-coh, hamba sudah keluar."   Pelan2 Kun-gi lepaskan batu raksasa itu, katanya kemudian. "Ting-heng, lekassamadisebentar, apakahkauterluka?"   Ting Kiau menggerakkan kaki tangannya serta menghirup napas panjang, katanya tertawa.   "Hamba baik2 saja, sedikitpun tidak terluka..." "Selamat Ting-heng, syukurlah kalau tidak terluka, marilah ikut mencari yang lain mungkin ma-sih ada yang perlu ditolong."   Mereka maju terus ke sekelilingnya, tapi batu melulu yang tertumbuk, kaki tangan manusia berserak di antara himpitan batu2, jadi sukar dibedakan jasat siapa yang telah tak berbentuk itu, semuanya matidalamkeadaanyang mengerikan.   20 dara kembang tiada satupun yang hidup, delapan Hou-hoat- su-cia hanya Ting Kiau seorang yang selamat tiga Houhoat ketinggalan Kongsun Siang sajayanglolosdarielmaut.   Barisanyang meluruk datang ber-bondong2 dengan mengerek panji2 segala kini sudah tertumpas habis oleh ledakan tandu yang dibawa sendiri, jadi bukan mati di medan laga dan gugur bersama musuh.   Peledak itupun sedianya untuk menghancurkan sarang musuh, tak nyana orang sendiripun ikut menjadi korban.   Memangnya ini sudah suratan nasib? Lama Kun-gi berdiri di depan Ui-liong-tong, tak terbilang betapa berat perasaannya Kongsun Siang menghampiri, katanya lirih.   "Cong-coh, bagaimana kita harus bertindak lebih lanjut'?" "Kecuali kita bertiga agaknya tiada yang hidup lagi, tugas kita sekarang yang utama adalah mengumpulkan jenazah mereka sebrta menguburnyad." "Cong-coh meamang benar,"   Tibmbrung Ting Kiau.   "berapa banyak yang dapat kita temukan kita kuburkan bersama supaya mereka tenteramdialam baka."   Mereka segera bekerja keras, mengeduk liang lahat dan mengumpulkan jenazah yang berserakan.   setelah dua liang lahat besar mereka gali, Kun-gi menghampiri jenazah Loh-bi-jin, dia singkirkan batu besar yang menindih tubuhnya serta mengusung jenazahnya ke dalam liang lahat, sementara Kongsun Siang dan Ting Kiau juga sibuk menggotong jenazah dara2 kembang yang lain, kaki tangan yang terputus berserakan di mana2 mereka kumpulkan serta di-uruk menjadi satu.   Pada liang lahat kedua, mereka kebumikan ber-sama Song Tek- seng, Ko-lotoa serta mencari pula, yang lain.   Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      semuanya dalam satu liang lahat.   Berdiri di depan pusara massal itu Kongsun Siang terlongong sekian lamanya, katanya.   "Thio-heng (Thio Lam-jiang) tadi bersamaku waktu tandu dilempar ke dalam Ui-liong-tong, meski tempat kami berdiri tepat di depan Ui-liong-tong, tapi jaraknya sekitar lima tombak, Thio-heng meyakinkan ilmu pedang yang mengutamakan kelincahan mengapung di udara, Ginkangnya cukup tinggi dan melebihi aku, bahwa jiwaku bisa selamat, seharusnya Thio-heng pun bisa lolos dari maut, kenapa jenazahnya tidak kita temukan?"   Maklum, hubungannya dengan Thio Lam-jiang paling intim, tak tertahan air matapun bercucuran, memikirkan nasib teman baiknya itu. "Jangan berduka Kongsun-heng, takdir menghendaki demikian, kita terima saja musibah ini dengan lapang dada,"   Kata Kun-gi. "Cong-coh,"   Ucap Ting Kiau.   "bukankah Thay-siang masih ada sepucuk surat rahasia, entah apa petunjuknya? Cobalah sekarang dibuka." ' Baru Kun-gi teringat akan hal ini, lekas dia mengeluarkan sampul surat itu serta merobeknya, dilolos keluar secarik hertas putih dan dibebernya. begitu kertas terbeber, seketika berubah air muka Kungi. Surat kedua yang dikatakan petunjuk ini hanya merupakan lembaran kertas putih melulu tanpa tulisan sehurufpun. Apakah arti kertas putih po-los ini? Tandu itu memuat bahan peledak, setelah Ui-liong-tong diledakkan, sudah tiada lagi tugas mereka selanjutnya, jadi tidak perlu pakai petunjuk segala? Tapi bila orang banyak tidak mati karena ledakan tadi, umpama memang tiada tugas lainnya lagi, mestinya diberitahu ke mana dan bilamana mereka harus berkumpul atau mundur kembali ke Ciok-sinbio untuk menunggu perintah selanjutnya. Tanpa petunjuk, itu berarti bahwa rombongan besar yangdipimpinnyainisudahtiada lagi, sudahtamatseluruhnya. Rupanya Thay-siang sudah memperhitungkan bahwa rombongan besar ini seluruhnya akan menemui ajalnya di tempat ini. Semakin tempat gelap dapat melihat dengan terang, entah petunjuk apa yang tertulis disurat Thay-siang?" "   Kenapa kau tidak menungguku?" "Nona mau ke mana? "Kau menyamar lagi bukankah ka hendak menemuka pengejaranmu?" , u n "Betul, kenapa?" "Aku ikut, boleh tidak?" Kun-gi tertegun, sahutnya menggeleng.   "Jangan, non cant "Suratrahasiainitanpasatuhurufpun,"kataKun-gi geram. "Mana mungkin?"   Teriak Ting Kiau heran.   "Tanpa petunjuk Thaysiang, ke mana kita harus berkumpul dengan rombongan yang lain?" "Jadi kalian masih ingin menemui Thay-siang?' tanya Kun-gi sengit. "Rombongan besar kita tertinggal kita bertiga yang masih hidup, kukira perlu segera mengadakan kontak dengan dua rombongan yanglain,"demikianusul Kongsun Siang. Tergerak hati Kun-gi, batinnya.   "Maklumlah mereka sama terbius oleh Bi-sinhiang-wan, jadi bahan peledak yang dipasang dalam tandu itu melulu untuk menyingkirkan diriku seorang? Ya, melihat taraf kepandaian yang kuyakinkan, jelas dia sendiri takkan mampu kendalikan diriku, maka bersama dengan tugas menyerbu ke Uiliong-tong ini dia hendak membunuhku dengan kekuatan ledakan dahsyat itu, maksudnya untuk menghindarkan bencana di kemudian hari. Ai, demi diriku seorang, tak segan2 dia mengorbankan jiwa orang banyak untuk mengiringi kematianku, nenek ini sungguh kejam dan menakutkan."   Melihat Kun-gi tepekur sekian lama tanpa bersuara, Ting Kiau lantas bertanya.   "Cong-coh, Ui-liong-tong sudah hancur, apakah kita perlu kembali dulu ke Ciok-sinbin?"   Kun-gi diam saja, dari sakunya dia merogoh keluar kantong sulam pemberian Un Hoankun tempo hari serta membuka ikatannya dan mengeluarkan botol porselin kecil, ia menuang enam butir pil Jing-sintan sebesar kacang hijau serta diangsurkan, katanya.   "Kongsun-heng, Ting-heng, kalian masing2 telan tiga butir obat ini..."   Kongsun Siang terima tiga butir obat itu dan ditelannya tanpa pikir, tanyanya sambil celingukan.   "Apakah Cong-coh melihat gejala2 yang tidak beres?"   Ting Kau juga terima obat itu, dia sedikit ragu2, pelan2 baru menelannya, tanyanya juga.   "Cong-coh, obat apakah ini?"   Kedua orang bertanya dalam waktu yang hampir sama. Kun-gi tertawa tawar, katanya.   "Apakah kalian pernah dengar Bi-sinwan?"   Kongsun Siang melengak, katanya.   "Pernah hamba dengar cerita Suhu, Bi-sinwan adalah sejenis obat bius yang paling keras daya kerja racunnya, konon dulu kaisar Gui-bunto yang mengembang biakannya dari daerah barat, baunya harum semerbak, orang yang menciumnya akan mabuk, malah yang berat bisa mati sesaat kemudian."   Terpentang kedua mata Ting Kiau, katanya dengan rasa curiga. "Jadi obat yang Cong-coh berikan kepada hamba tadi adalah Bi-sinwan?"   Kun-gi tertawa, ujarnya.   "Obat yang kalian makan tadi justeru adalah obat penawar Bi-sinwan itu." "Obat penawar Bi-sinwan? Sejak kapan hamba terkena racun Bi-sinwan?"   Tanya Kongsun Siang heran.   "Kadar racun Bi-sinwan memang amat keras, orang bisa mati bila menciumnya teramat banyak, tapi kalau dapat memanfaatkannya dengan racikan obat lain dan dijadikan pil serta dicampur dalam makanan, maka kau akan memakannya tanpa sadar, khasiatnya secara langsung dapat mempengaruhi daya pikir orang, memang kau kelihatan segar bugar dan jernih pikiran, tapi di luar sadarmu kau telah kehilangan tekad perlawanan dan selalu tunduk setia kepada orang yang telah memberi minum itu, sampai mati takkan berubah haluan."   Terbeliak mata Kongsun Siang, katanya.   "Maksud Cong-coh bahwa Pek-hoa-pang telah memberi Bi-sinhiang kepada kami?"   Sampai di sini tiba2 dia mangut2, katanya pula.   "Betul, setelah hamba ingat2, selama dua tahun ini, peduli apapun yang dilakukan Pek-hoa-pang selalu kurasakan betul, terutama terasa bahwa Thaysiang adalah junjungan yang maha agung dan suci, umpama dia menghendaki hamba segera mati, hamba tidak akan ragu membunuh diri dihadapannya." "Dan sekarang? Bagaimana perasaan Kongsun-heng?"   Tanya Kun-gi.   "Sekarang perasaan hamba nyaman dan lapang, timbul rasa curigaku terhadap Thay-siang dan Pek-hoa-pang, gerak-gerik dan sepak terjang mereka serba misterius, bukan mustahil ada sesuatu hu-bungan rahasia dengan Hek-liong-hwe ...." "Betul,"   Timbrung Ting Kiau.   "hambapun merasakan demikian, Pek-hoa-pang hanya memperalat kita semua."   Kun-gi tersenyum, katanya.   "Syukurlah kalau kalian sudah mengerti.' Kertas putih pemberian Thay-sang dia angkat dan dilambaikan ke atas, katanya.   "Surat ini tanpa tulisan sehurufpun, inilah bukti muslihatnya kalau burung kaget busurpun harus disembunyikan, kelinci matianjing ikut hangus` "Bahwa Thay-siang biarkan kita mati lantaran kita orang luar, tapi Ko-lotoa adalah anak buahnya yang sudah berbakti puluhan tahun padanya, Loh-bi-jin adalah murid didik asuhannya, demikian pula ke20 dara kembang itu apa pula dosanya? Kenapa merekapun harus ikut menjadi korban ledakan ini?" "Ko-lotoa adalah salah satu dari tiga puluh enam panglima Hekliong-hwe, banyak rahasia pribadi Thay-siang diketahuinya, kini ada kesempatan untuk melenyapkan dia, bukankah rahasianya selamanya takkan lagi diketahui orang? Celakalah Loh-bi-jin dan dara2 kembang itu, lantaran bersama kita dia sampai hati mengorbankan mereka pula." "Kenapa Thay-siang hendak membunuh kita semua?"   Tanya Ting Kiau tak mengerti.   "Hek liong-hwe punya tiga seksi, yaitu Hwi-liong-tong, Ui-liongtong dan Ceng-liong-tong.   Pangcu Bok-tan dari Hupangcu Sbo-yok telah diperintahkan untuk menyergap kesana dengan tugas sendiri2, kemungkinan Thay-siang sendiripun sudah meluruk ke sana.   Rombongan kita sepanjang jalan ini kelihatan ber-bondong2, padahal hanya untuk menarik perhatian musuh dan menggertaknya, bahwa kita berhasil menerjang tiba di depan Ui-liong-tong ini membuktikan bahwa kita telah menggempur segala aral rintang dari musuh yang mencegat kita, peledak yang ada di dalam tandu dan dilempar ke dalam Ui-liong-tong sehingga hancur lebur, maka orang2 seperti kita ini dirasa tidak perlu lagi, memang inilah cara sekali tepuk membunuh dua lalat."   Kata Kongsun Siang gusar.   "Mendengar uraian Cong-coh, hamba seketika sadar dan mengerti, rencanadaritujuan Thay-siangternyataamatkeji dan kejam."   Ting Kiau menghela napas, katanya.   "Lalu bagaimana rencana Cong-coh selanjutnya?" "Selanjutnya kalian tak usah memanggil Cong-coh segala, jabatanku sudah ikut terpendam di bawah reruntuhan ledakan tadi,"   Demikian ucap Kun-gi. Ting Kiau tertawa getir, katanya.   "Lalu apa yang harus kita lakukan?" "Racun dalam tubuh kalian sudah ditawarkan, inilah kesempatan baik untuk membebaskan diri dari pertikaian ini, supaya selanjutnya tidak diperalat lagi oleh Pek-hoa-pang, maka menurut pendapatku, lebih baik selekasnya kalian meninggalkan tempat ini saja." "Pernah kudengar Ling-heng bilang ada dua temanmu yang tertawan Hek-liong-hwe, kehadiranmu adalah untuk menolong mereka, untuk ini aku dengan senang hati ingin membantu Ling- heng, meski menerjang lautanapijugaakuakan membantumu." "Nyawa hamba ini juga berkat pertolongan Cong-coh, hambapun takkan pergi begini saja,"   Demikian Ting Kiaupun berkukuh pendapat. "Betapa luhur persahabatan ini, sungguh aku amat berterima kasih .."   Kata Kun-gi. Kongsun Siang menyela.   "Bahwa Ling-heng tidak pandang rendah diriku dan sudi bersahabat denganku, ini sudah mengangkat pamorku pula, kini Ling-heng hendak menyelundup ke Hek-lionghwe seorang diri, meski kepandaian Ling-heng cukup tinggi, tapi jago2 Hek-liong-hwe juga tidak sedikit jumlahnya, di samping menolong teman harus menghadapi musuh lagi, betapapun tenaga seorang terlalu merepotkan, kalau sekarang aku tinggal pergi, memangnya terhitung persahabatan apalagi? Apapun kata dan sikap Ling-heng, aku sudah bertekad untuk mengiringi kepergian Lingheng." "Apa yang diucapkan Kongsun-heng merupakan isi hatiku pula,"   Demikian sambung Ting Kiau.   "kalau Cong-coh tidak terima keinginankami berartipandangrendah kami berdua."   Melihat betapa besar dan teguh keinginan kedua orang ini, tak enak Kun-gi menolaknya lagi, iapun tahu untuk meluruk ke sarang Hek-liong-hwe seorang diri terlalu terpencil, apalagi nanti harus menghadapi pertempuran sengit.   Apa yang diucapkan Kongsun Siang memang tidak salah, di samping berusaha menolong teman, dia harus sibuk menghadapi musuh lagi, keadaan tentu serba repot dan mendesak.   Maka dia manggut dan berkata "Kalau demikian aku takkan banyak omong lagi, cuma Hek-liong-hwe berada di sarang sendiri, bukansajakitaasingkeadaandisini, keadaanmusuhpunbutasama sekali, sebetulnya untuk menolong teman kita bisa bekerja secara diam2 dan main sembunyi lalu menyergap pada saat lawan tidak siaga, tapi setelah Ui-liong-tong kita hancurkan, sementara dua rombongan lain dari Pek-hoa-pang juga telah menyerbu ke Hwiliong-tong dan Ceng-liong-tong, tentu pihak Hek-liong-hwe sudah meningkatkan penjagaan, kita menyelundup ke sarang naga, bukan saja berbahaya, setiap saat kemungkinan kita akan menemui ajal di dalam sana."   Ting Kiau tertawa, katanya.   "Pendapatku justeru sebaliknya, Uiliong-tong sudah hancur, ini kenyataan, rombongan Pangcu dan Hupangcu masing2 menyerbu Hwi-liong-tong dan Ceng-liong-tong, sekarang kemungkinan mereka masih dalam ajang pertempuran sengit, marilah kita masuk secara diam2, umpama kepergok para penjaga, tentu dengan mudah dapat kita sikat, inilah kesempatan paling baik untuk menolong teman."   Kongsun Siang manggut2, katanya.   "   Usul Ting-heng memang baik, Ling-heng, hayolah jangan buang2 waktu, marilah berangkat"   Berkerut alis Kun-gi, katanya.   "Usul kalian memang masuk akal, tapi kita tidak tahu di mana letak pusat markas Herk-liong-hwe, datlam waktu sesinqgkat ini, ke mana kita akan menemukannya?" "Kenapa Ling-heng lupa,"   Kata Kongsun Siang.   "sebelum ajal bukankah Ko-lotoa bilang di belakang Ui-liong-tong ada jalan rahasia, dia hanya mengatakan `tembus', kemungkinan jalan rahasia di belakang Ui-liong-tong itu bisa tembus ke markas pusat Hek-liong-hwe, kenapa tidak kita coba untuk mencarinya?"   Berpikir sejenak akhirnya Kun-gi mengangguk, katanya.   "Apa boleh buat, marilah kita berusaha." "Marilah segera kita masuk,"   Kata Ting Kiau senang. "Nanti dulu, Ui-liong tong sudah hancur, kemungkinan jalan rahasia itupun teruruk, kita ... ." "Tapi mungkin juga karena ledakan ini jalan rahasia itu malah terbuka,"   Kata Ting Kiau dengan tertawa. "Memang mungkin,"   Ujar Kun-gi.   "Kita harus tetap hati2. Pertama, jarak di antara kita bertiga harus tetap dipertahankan untuk menjaga segala kemungkinan. Kedua, aku akan berjalan didepan, Ting-heng di tengah dan Kongsun-heng di belakang, jika diperjalanan terjadi sesuatu di luar dugaan, harus secepatnya mundur, jadi aku akan jaga bagian belakang, untuk ini kalian harus perhatikan betul2."   Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiakan, katanya berbareng. "Ling-heng tak usah kuatir, kami mengerti." ..   "Baiklah, hayo berangkat,"   Ujar Kun-gi, belum habis bicara ia sudah melayang ke arah Ui-liong-tong.   Ui-liong-tong atau gua naga kuning terletak di bawah ngarai, semula merupakan gua besar yang lebar dan luas.   Kini setelah diledakkan gua itu sudah runtuh, ngarai di atasnya yang berpuluh tombak tingginya sama menguruk di depan gua, maka batu2 besar berserakan di mana2 sehingga mulut gua yang besar itupun hampir tersumbat.   Ling Kun gi menyingsing lengan baju dan mengerahkan tenaga, beberapa batu raksasa dia singkirkan, lalu dengan memiringkan tubuh dia dapat menyelinap masuk ke dalam.   Sudah tentu Ui-liongtong seluruhnya juga sudah ambruk dan tidak berbentuk semula, lorongnya penuh batu dan debu, Untunglah dinding batu Ui-liong- tong cukup kuat, meski banyak tempat yang ambruk, tapi bentuk guanya masih tetap ada.   Kecuali bahan peledak kiranya di dalam tandu juga tersimpan minyak bakar, begitu meledak seketika terjadi kebakaran hebat, kobaranapimengikutialiran minyak menjuruskearahbelakang.   Mata Kun-gi dapat melihat di tempat gelap, tapi Ting Kiau dan Kongsun Siang yang ada di belakangnya sukar lagi menggerakkan kaki karena gelap gulita tidak terlihat apa2, terpaksa Kun-gi keluarkan Leliong-cu dan diangkat tinggi di atas kepala.   Maka memancarlah cahaya kemilau dari mutiara mestika itu, sejauh dua tombak dapat mereka pandang walaupun rada samar2.   Langkah Kun-gi amat pelan dan hati2, dia periksa dinding batu dari bekas ledakan dan kebakar-an.   Sudah tentu di banyak tempat kembali dia harus kerahkan tenaga untuk memindah batu besar supaya bisa maju lebih lanjut.   Ting Kiau terus berada di belakang Kun-gi, katanya dengan suara lirih.   "Cong-coh, biarlah hamba bantu memindahkan batu2 ini."   Kongsun Siang tidak mau ketinggalan.   "Mari kubantu juga."   Dengan kerjasama tiga orang dapatlah wereka maju semakin jauh, kini sudah ada di gua belakang.   Ternyata Ui-liong-tong memang amat besar dan panjang lorongnya, bercabang lagi, tempat mereka berada terang berada di perut gunung, kalau gua di depan rusak kena ledakan, tapi keadaan di sini hanya beberapa tempat yang gugur sebagian, beberapa deret kamar yang mereka temukan masih terhitung utuh, tapi ada dua puluhan mayat yang bergelimpangan tanpa luka apa2, rupanya mereka mati pengap karena terjadi ledakan keras di depan gua tadi.   Tanpa terasa Kun-gi menghentikan langkah, katanya.   "Agaknya jalan sudah buntu sampai di sini." "Tapi Ko-lotoa bilang di sini ada lorong rahasia,"   Ujar Kongsun Siang. "Kalau betul ada lorong rahasia, orang2 ini tidak akan mati pengap." "Marilahkitacari,"ajakTing Kiau. Sementara mereka berbicara Kun-gi sudah beranjak ke arah sebuahkamarbatudiujung kanansana. "Ling-heng,"   Seru Kongsun Siang tertahan.   "di atas dinding ada tulisan."   Kun-gi anggkat mutiara di tangannya menyinari dinding, memang dinding di depan pintu ada sekeping papan persegi, di atas papan adasebarishuruf yangberbunyi "Kamarsemadidilarang masuk". "Mungkin di sinilah biasanya Ci Hwi-bing meyakinkan ilmunya,"   Ujar Ting Kiau.   Tergerak hati Kun-gi, segera dia masuk ke situ.   Kamar batu ini dipasang pintu kayu, bagian dalamnya ternyata amat luas, empat dinding sekeliling kamar ditabiri kain layar warna kuning, di ujung atas mepet dinding sana terdapat sebuah dipan yang bercat kuning pula, kasur, bantal guling dan sepreinya masih utuh.   Kecuali dipan itu, tiada benda lain lagi di dalam kamar besar ini, terasa keadaan kosong melompong.   Mungkin karena getaran ledakan, debu pasir tampak berhamburan dari atap kamar.   Kongsun Siang memandang sekeliling kamar, pedang panjang ditangan seeara iseng menyingkap kain layar di depannya.   Ting Kiau juga tidak berpeluk tangan.   "sret", kipas besinyapun bekerja, layar kuning di sebelah dipan juga dia tarik sampai sobek. Mendadak dia menjeritkaget."Nah, disini!"   Tanpa bersuara Kun-gi mendekat, betul di dinding memang ada bekas garis sebuah pintu.   Ting Kiau sudah mendahului maju serta mendorongnya.   Kun-gi mengira di sekitar pintu rahasia ini tentu dipasang alat rahasia, ingin mencegah Ting Kiau sudah tidak keburu, untunglah meski Ting Kiau sudah mendorong sekuat tenaga, pintu batu tetap tidak bergeming.   Kongsun Siang segera maju, dengan teliti dia periksa sekitar pintulalumengetukdan merabasekianlamanya,akhirnyaberkabta.   "Inilahpinturahasia, kukiratidakakansalah." "Mestinya ada tombol rahasianya untuk membuka pintu ini, tombol tentu berada di kamar ini, marilah kita cari dengan teliti, mungkin bisa ketemu," "Ting heng memang benar, pintu batu rahasia terang dikendalikan oleh alat rahasia untuk buka tutup sehingga orang leluasa keluar masuk, seharusnya orang tidak akan mudah menemukannya dan meninggalkan garis2 persegi yang berbentuk pintu ini, tapi karena ledakan dahsyat tadi menimbulkan gempa yang cukup keras dan menggoncangkan gunung ini sehingga pintu inipun menjadi retak, kemungkinan alat2 rahasianya juga ikut rusak karenanya." "Jadi maksudmu jalan rahasia ini sudah buntu dan tak mungkin terbuka lagi?"   Ting Kiau menegas. "Mungkin demikian,"   Ujar Kongsun Siang. "Kalau betul di sini ada pintu, marilah kita coba mendorongnya,"   Ajak Kun-gi. "Pintu rahasia ini dikendalikan alat2 rahasia pula, setelah mengalami goncangan keras tadi, ku-kira alat2nya sudah rusak, tenaga siapa mampu menjebolnya?"   Tapi bagaimana juga Kun-gi adalah bekas atasannya, kepandaian orang juga sudah pernah disaksikannya, maka ia berkata pula.   "Kukira sukar untuk membukanya." "Biar kucoba,"   Ucap Kun-gi. Lalu ia menyerahkan Leliong-cu kepada Ting Kiau, katannya.   "Ting-heng, kau pegang mutiara ini."   Ting Kiau terima mutiara itu, katanya kuatir.   "Cong-coh, berat pintu ini sedikitnya ada ribuan kati, kalau dikendalikan alat rahasia berarti sudah berakar dengan dinding gunung ini, bagaimana mungkin bisa membukanya?"   Kun-gi tersenyum, katanya.   "Memang sulit membuka pintu yang dikendalikan alat rahasia, tapi ucapan Kongsun-heng tidak salah, karena goncangan ledakan tadi sehingga pintu ini menunjukkan bekas, kalau alat rahasianya sudah rusak, mungkin lebih mudah mendorongnya terbuka."   Habis bicara segera ia melangkah setapak, telapak tangan menahan pintu, pelan2 dia mengirup napas dan mengerahkan tenaga mendorong sekuatnya ke depan.   Melihat dia betul2 hendak mendorongnya Kong-sun Siang berserudarisamping."Awas Ling-heng, janganpatahsemangat."   Kun-gi menoleh, katanya tertawa.   "Tidak apa2, aku akan mencobanya."   Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ting Kiau mengacung tinggi2 mutiara di atas kepalanya, dari samping dia mengawasi gerak-gerik Ling Kun-gi, kedua tangan orang sudah menempel pintu dan berdiri tegak tak bergeming, tapi jubah hijaunya yang longgar itu kini pelan2 mulai melembung seperti terisi angjn, mirip balon yang penuh gas.   Dalam hati diam2 dia merasa kaget dan heran, batinnya.   "Usia Cong-coh lebih muda daripadaku, tapi kepandaian silat yang dibekalnya entah berapa tingkat lebih tinggi."   Dikala Ting Kiau termenung itulah tiba2 Kun-gi menghardik sekeras guntur menggelegar, sepenuh tenaga kedua tangan mendorong ke depan.   Maka terdengarlah suara keriat keriut makin lama semakin keras seperti ada rantai besi putus dan benda menjeplak, pelan tapi pasti pintu batu itu mulai terdorong mundur dan terbuka.   Terbeliak mata Kongsun Siang, teriaknya kejut girang.   "Tenaga saktiLing-heng sungguh tiadabandingannyadi kolong langit."   Ting Kiau juga terkesima, katanya sambil menjulur lidah.   "Ilmu saktiapakah ini, Cong-coh? Begituhebatkekuatannya, pintubatuini betul2 terdorong terbuka."   Sementara itu pintu batu yang tebal dan berat itu sudah terbuka seluruhnya oleh Ling Kun-gi, pelan2 dia menarik turun kedua tangannya, hawa murni atau tenaga dalam yang membikin jubahnya melembung juga mulai sirna dan kempes, air mukanya ternyata tidak berubah dan napaspun tidak memburu, katanya kemudian sambil menghela napas panjang.   "Hanya mendorong pintu sampai terbuka, masa terhitung ilmu sakti segala?"   Ting Kiau serahkan kembali mutiara kepada Kun-gi, katanya. "Cong-coh, hari ini hamba betul2 terbuka matanya, tapi Kungfu apakah yang barusan kau gunakan, sukalah kau memberitahu?" "Kalau Ting-heng ingin tahu,"   Ujar Kun-gi.   "biarlah kuberitahu, Kungfu yang kugunakan tadi adalah Kim-kong-sim-hoat." "Kim-kong-sim-hoat? Belum pernah kudengar nama ini,"   Ajar Ting Kiau. "Bekal kepandaian Ling-heng mendapat didikan langsung dari Put-thong Taysu, sudah tentu Kim-kong-sim-hoat merupakan Kungfu yang hebat dari Siau-lim-pay,"   Kata Kongsun Siang.   Di balik pintu batu kiranya adalah sebuah lorong yang gelap gulita, tidak lebar, tiba cukup untuk dua orang berjalan sejajar.   Kungi mendahului melangkah keluar, ternyata banyak liku2 dan bercabang pula lorong panjang gelap ini, bukan saja tidak terasa adanya bau apek dan lembab, malah hawa terasa dingin silir dan segar.   Dengan memegang mutiara Kun-gi maju terus ke depan, kira2 20-30 tombak jauhnya, angin dingin yang meng-hembus dari arah depan terasa semakin dingin dan kencang, kiranya mereka sudah tiba di ujung lorong, di depan mengadang undakan batu.   Ling Kun-gi mempercepat langkah terus naik ke undakan, kira2 ratusan undak telah dilaluinya, akhirnya mereka tiba di sebuah pintu, di luarpintu lapat2sepertiadacahayamatahari.   Diam2 Kun-gi membatin.   "Mungkin sudah sampai di tempat tujuan?"   Segera dia simpan mutiaranya. Lekas Kongsun Siang memburu naik mendampinginya, katanya lirih.   "Apakah Ling-heng melihat sesuatu?" "Tidak,"   Kata Kun-gi.   "di sini ada sebuah pintu, di luar tampak cahaya matahari, mungkin sudah ditempat tujuan, kita harus lebih hati2, jangan sampai mengejutkan pihak musuh."   Kongsun Siang mengiakan.   Kun-gi lantas beranjak maju, KongsunSiangdanTingKiau mengiringidaribelakang.   Ternyata di luar adalah sebuah lembah kecil yang luasnya puluhan tombak, bentuk lembah ini mirip sumur, sekelilingnya dipagari dinding gunung yang curam dan ratusan tombak tingginya.   Kalau mendongak melihat langit seperti duduk dalam sumur melihat angkasa, langit nan biru kelihatan hanya sejengkal saja.   Ternyata inilah lembah sumur ciptaan alam.   Dasar lembah ternyata datar dan tersapu bersih dan licin, di bawah kaki tembok di kanan-kiri masing2 terpasang bangku panjang terbuat dari balok batu.   Di bawah-kaki tembok seberang sana terdapat dua mulut gua yang terbuka lebar.   Gua tidak berpintu, keadaannya gelap tak terlihat barang apa yang ada di dalamnya, suasana sunyi senryap tak terdengar suara apapun, dari lorong bawah tanah Ui-liong-tong sampai di sini, kini mereka diadang oleh dua mulut goa, kedua goa ini tentu menuju ke Ceng- liong-tong dan Hwi-liong-tong.   Kun-gi merandek, tujuannya hendak menolong orang, entah di mana Pui Ji-ping dan Tong Bunkhing sekarang disekap? diam2 ia cemas.   Kongsun Siang melangkah maju setapak, katanya lirih.   "Lingheng, kedua gua ini kemungkih-an menjurus ke Ceng-liong-tong dan Hwi -liong-tong."   Kun-gi manggut, sesaat dia merenung, katanya kemudian.   "Aku sedang berpikir, gua mana yang harus kita pilih?" "Tujuan Cong-coh adalah menolong orang,"   Demikian kata Ting Kiau.   "kalau dalam gua yang satu tidak ketemu boleh kita keluar dan masuk ke gua yang lain, yang terang kita harus berusaha sampai berhasil menolong orang,"   Sembari bicara ia menudang gua sebelah kiri dan melangkah kesana.   "Cong-coh, sekarang biar hamba jadi pelopornya, di dalam lorong gua ini kemungkinan dipasang alat2 rahasia, untuk permainan ini sedikit banyak hamba pernah mempelajarinya."   Terpaksa Kun-gi biarkan orang jalan di depan, dia keluarkan mutiaranya serta disodorkan, katanya.   "Ting-heng bawalah mutiara ini, apapun kau harus hati2." ' Ting Kiau terima mutiara itu sembari berkata.   "Hamba mengerti, tanggung takkan terjadi apa2."   "Sret", dia keluarkan kipas besi serta membukanya untuk melindungi dada terus menyelinap masuk ke gua sebelah kiri. Kuatir orang mengalami bencana lekas Kun-gi mengikutinya, Kongsun Siang tidak mau ketinggalan, ia berada di belakang Ling Kun-gi. Mereka terus maju ke depan, setelah membelok dua kali, keadaan lorong gua ini semakin gelap. Tapi Ting Kiau mengacung tinggi mutiaranya di atas kepala, cahaya mutiara kemilau bagai sinar api di tempat gelap dan dapat terlihat tempat agak jauh. Segera Kun-gi berpesan pula.   "Ting-heng, kerahkan hawa murni dan selalu siaga, jagalah kalau disergap musuh dari tempat persembunyiannya."   Ting Kiau tertawa, katanya.   "Cong-coh jangan kuatir, begitu kulihat ada orang, segera akan kulumpuhkan dia lebih dulu."   Lahirnya dia bersikap riang dan tak acuh, sebetulnya iapun maklum bahwa mereka sudah berada di sarang musuh, setiap saat mungkin sekali menghadapi mara bahaya, setiap langkah mereka berarti semakin dekat pada tujuan, bukan mustahil akan kesamplok dengan penjaga atau barisan ronda mu-suh.   Sebagai pelopor yang jalan di depan dengan penerangan mutiara, berarti musuh di tempat gelap dan awak sendiri di tempat terang dan gampang menjadi sasaran musuh.   Maka sepanjang jalan setiap gerak langkahnya amat hati2 dan diperhitungkan dengan seksama, kipasnya dipegang kencang, mata dan kuping digunakan dengan tajam, dengan pelan mereka terus maju ke depan.   Kira2 puluhan tombak lagi telah mereka capai, tapi tidak kunjung tiba musuh menyergap atau rintangan apapun.   Mendadak Ting Kiau menghentikan langkah, katanya lirih.   "Cong-coh, hamba rasa keadaandisini kurang wajar." "Bagaimana pendapat Ting-heng?"   Tanya Kun-gi.   "Lorong di bawah tanah ini, peduli menembus ke manapun, yang jelas merupakan tempat penting dan rahasia di pusat musuh, seharusnya dijaga dan diadakan ronda, tapi kenyataan keadaan di sini kosong dan tanpa penjaga, masa begitu cerobohnya pihak musuh, kantidak masukakal."   Kun-gi mengangguk, katanya.   "Pendapat Ting-heng betul, akupun merasakan."   Kongsun Siang menimbrung.   "Mungkin rombongan Pangcu dan Hupangcu sudah bentrok berhadapan dengan musuh, mereka tidak sempat memikirkan keamanan lorong rahasia ini."   Kata Ting Kiau pula.   "Kemungkinan Ci Hwi-bing sudah lari kemari, tahu kita mengejarnya, maka sengaja dia memancing kita ke sini." "Semua mungkin, tapi kita sudah berada di sini, umpama ada perangkap juga tidak perlu takut, hayo terjang saja!"   Demikian Kungi mendorong semangat mereka. "Cong-coh benar,"   Ujar Ting Kiau.   "umpama sarang harimau dan kubangan naga juga harus kita terjang."   Lalu dia melangkah ke depan.   Tak lama kemudian lorong berbelok ke kiri, dan tiba di ujung, keadaan di depan ternyata lebar dan terbentang luas.   Mendadak keadaanpun menjadi terang genderang.   Ting Kiau amat cerdik dan hati2, semula dia menggremet maju mepet dinding, begitu melihat di depan ada cahaya segera dia menghentikan gerakan serta menggenggam kencang mutiara di tangannya lantas mundur, katanya lirih.   "Cong-coh, simpanlah mutiara ini, di depan sudah ada cahaya lampu."   Kun-gi terima mutiara itu terus disimpan.   Sementara Ting Kiau sudah bergerak pula ke depan, sekali kelebat dia melompat ke depan mepet dinding dan melihat keadaan di luar.   Kiranya di ujung lorong gelap ini adalah sebuah ruang batu seluas puluhan tombak, tapi keadaan ruang batu ini mirip sebuah lapangan.   Karena di depan sana terdapat sepasang pintu besi, dua gelang besi besar yang mengkilap tergantung di tengah pintu.   Pintu besi tertutup rapat, empat lampu gelas tampak tergantung di kanan kiri pintu, di bawah lampu berdiri empat busu muda yang bersenjata pedang.   Lampu itu memancarkan cahaya redup, tapi di dalam gua bawah tanah yang gulita seperti ini terasa besar sekali manfaat cabaya lampu, puluhan tombak sekeliling lapangan itu menjadi terang dan jelas.   Diam2 Ting Kiau mengerut kening, menurut perhitungannya, dari tempat bersembunyinya ini kira2 ada 12 tombak jauhnya dengan keempat jago pedang itu, kalau untuk menyergap dan menyerangnya secara mendadak, kecuali menggunakan panah dan alat jepretan yang kuat, senjata apapun sukar untuk mencapai musuh.   Dalam pada itu Kun-gi juga sudah menggeremet maju, katanya lirih.   "Bagaimana keadaan di luar?" "Agaknya kita sudah sampai tempat tujuan, ada empat orang menjaga pintu besi itu, Cong-coh tunggu saja di sini, biar hamba yang bereskan mereka,"   Habis bicara sebat sekali ia sudah meluncur keluar gua dan hinggap di tengah lapangan. Batu saja bayangannya berkelebat keluar, keempat jago pedang yang berdiri di depan pintu besi sana segera mengetahui jejaknya, seorang lantas membentak.   "berhenti!"   Gerakan Ting Kiau cepat luar biasa, di tengah bentakan orang bayangannya sudah menerjang tiba, kira2 tiga tombak jaraknya dari pintu besi itu, dua jago pedang berbaju hijau dikanan-kiri segera memapak kedatangannya. orang di sebelah kiri membentak.   "Darimana kau?"   Ting Kiau menghentikan langkah, dia senga-ja pura2 bernapas ngos2an seperti habis lari kencang, lalu katanya sambil menjura. "ParaSaudara, Cayhehendakmenyampaikan laporan... ." "Apa jabatanmu?"   Tanya orang di sebelah kanan. Sambil pegang kipas lempitnya Ting Kiau menjura kepada kedua orang itu, katanya.   "Cayhe Ting Kiau, Sincu dari Ui-liong-tong ....   "   Belum habis dia bicara mendadak dua bintik sinar menyamber keluar tanpa bersuara dari ujung kipasnya mengincar tenggorokan kedua orang.   Kedua jago pedang itu agaknya tidak kira kalau Ting Kiau bakal membokong, apalagi jarakpun sangat dekat, waktu sadar elmaut mengancam jiwa, hendak berkelit atau menangkis sudah tak sempat lagi, kontan mereka roboh terjengkang dan jiwa melayang.   Melihat kedua temannya mendadak roboh binasa, sudah tentu kedua orang yang lain amat ka-get dan membentak gusar.   "Keparat, berani kau main gila di sini."   Sambil melolos pedang, kedua orang lantas menubruk bersama. Ting Kiau tertawa ngakak, sambil mundur setengah tapak, "stet", kipasnya terbentang, katanya tersenyum.   "Kebetulan kalian maju bersama."   Kipas lempitnya terbikin dari batangan besi.   di dalam setiap batangan besi tersimpan jarum2 selembut bulu kerbau yang beracun, begitu kipas terbentang dan sekali kebas, serumpun jarum2 seketika menyamber keluar dengan bentuk membundar mirip lingkaran kipas lempitnya itu.   Baru saja kedua jago pedang itu menubruk maju, belum lagi kaki mereka berdiri tegak, keduanya sudah dimakan jarum terbang yang tak terhitung banyaknya itu, tanpa bersuara keduanya roboh binasa menyusul temannya.   Dengan tertawa bangga dan puas Ting Kiau lem-pit pula kipasnya, katanya sambil bergetak tawa.   "Kiranya kaum keroco yang tak becus."   Kun-gi dan Kongsun Siang segera memburu keluar. Kun-gi pandang keempat korban itu, tanyanya;   "Apakah mereka sudah mati?" "Mereka sama kena bagian yang mematikan, racun bekerja dengan cepat, jiwa mereka melayang seketika,"   Demikian sahut Ting Kiau. "Tadi kulupa memberi tahu kepada Ting-heng, kita harus mengorek keterangandari salahsatudiantara mereka." "Wah, ya, kenapa akupun tidak ingat,"   Demikian kata Ting Kiau gegetun.   Kongsun Siang sedang mengawasi kedua daun pintu, katauya.   "Kalau bukan Ceng-liong-tong, tempat ini pasti Hwi-liong-tong, Tingheng terlalu cepat turun tangan sehingga mereka tidak sempat menyampaikan peringatan bahaya kepada rekan2nya, pintu besar ini tertutup rapat, kemungkinan orang2 disebelah dalam belum tahu kejadian di luar sini."   Ting Kiau tertawa, katanya.   "Itu gampang tugas mereka berjaga di luar pintu, kalau terjadi sesuatu yang gawat sudah tentu di sini ada peralatan untuk menyampaikan peringatan bahaya, marilah kita periksa bersama secara teliti."   Lalu dia rnendahului melangkah ke sana, dengan seksama dia periksa kedua dinding di kanan-kiri serta tatakan tempat keempat lampu kacaditaruh, tapitiada sesuatuyangmencurigakan.   Sedang Kongsun Siang langsung menuju gelang tembaga, gelang di sebelah kiri dia pegang terus dia putar ke kanan-kiri.   Ternyata gelang tembaga ini dapat bergerak, keruan ia girang, serunya.   "Nah, disini!"   Dia coba2 memutar ke kiri tiga kali lalu membalik putar ke kanan tiga kali, lapat2 ia mendengar suara gemuruh dari benda2 keras yangsalinggesek dari balikpintu. Kongsun Siang juga cerdik, segera dia lepas tangan serta mundur, katanya lirih.   "Mundur Ting-heng, kemungkinan ada perangkap di balik pintu besi ini"   Sebat sekali dia melompat mundur sejauh dua tombak.   Ting Kiau juga sudah mundur beberapa tombak jauhnya.   Sedang Kun-gi tetap berdiri di tempatnya, dengan tersenyum dia awasi pintu besi di depannya.   Betul juga tatkala Kongsun Siang dan Ting Kiau mundur, dinding di kanan-kiri kedua lapis pintu besi segera berkeresekan menimbulkan getaran keras kedua daun pintu besi itupun pelan2 terbuka.   Keadaan di dalam gelap gulita, dari ketajaman pandangan Kun-gi samar2 melihat seperti sebuah pekarangan.   Kini pintu besi sudah terbuka lebar, tapi tiada senjata rahasia atau perangkap apapun yang menyemprot keluar.   Kongsun Siang menghampiri Kun-gi dan berdiri di sebelahnya, ditunggu pula sesaat dan keadaan tetap tenang2, tanpa terasa mulutnya bersuara heran, katanya.   "Ini tidak beres." "Terasa di mana yang tidak beres,. Kongsun-heng?"   Tanya Ting Kiau.   "Kedua daun pintu besi ini ada dua gelang tembaga, seharusnya kedua gelang itu di putar dan digerakkan baru pintu besi bisa terbuka, tapi tadi aku hanya memutar gelang sebelah kiri, seharusnya malah menggerakkan alat2 perangkap dan senjata yang menyemprot keluar."   Ting Kiau tertawa, katanya. `Mungkin secara serampangan kita malah mengenai sasaran, gelang kiri itu memang alat untuk membuka pintu besi, kalau kau memutar gelang kanan, kemungkinan kitabakalterperangkap malah."   Melihat sekian lama tetap tiada reaksi apa2 dari dalam baru Kongsun Siang mau percaya, katanya mengangguk.   Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Pendapat Ting-heng memang betul."   Kun-gi tertawa, katanya.   "Aku hanya tahu guru Ting-heng bergelar Sinsincu (si kipas sakti) dan ahli mengenai ilmu bangunan dan pertarungan, tak nyana Kongsun heng ternyata juga ahli dalam bidang peralatan perangkap dan jebakan segala."   Konsun Siang berkata.   "Ling-heng terlalu memuji, guruku punya seorang teman ahli dalam bidang ilmu mekanik, dulu waktu jayanya juga amat tersohor dikalangan Kongouw, belakangan untuk menghindarkan pertikaian yang lebih dalam dengan para musuhnya, terpaksa dia buron jauh ke padang pasir di luar perbatasan, suatu ketika bersua dengan gu-ruku dan sering ber-bincang2, waktu itu aku selalu mengiringi guru, maka tidak sedikit manfaat yang kuperolehdaripembicaraan mereka."   Ting Kiu juga berkata dengan tertawa.   "Mung-kin Cong-coh belum tahu, walau dulu guruku malang melintang di Kangouw dengan kipas lempit bertulang besi, tapi beliau memang benar2 berilmu silat tinggi, hakikatnya di dalam kipasnya tidak menyembunyikan sesuatu. Konon suatu hari beliau pernah dirugikan oleh sepasang senjata Cu-bo-cuan lawan, maka sejak itu beliau memeras otak menciptakan berbagai peralatan rahasia, terutama dalam bidang permainan senjata rahasia, memperoleh kemajuan pesat, pada rangka besi kipas lempitnya sekaligus beliau dapat menyimpan 36 batang senjata rahasia lembut sehingga orang biasa tak mungkin tahu, maka beliau memperoleh julukan "Si-Kipas Sakti", sayang hamba berotak tumpul, ajaran paling cetek dari beliaupun takberhasil kupelajari. Kun-gi tertawa, katanya.   "Umpama betul demikian, yang jelas kalian lebih tahu dalam bidang ini daripadaku", sembari bicara ia tetap menatap ke dalam, karena dia dapat melihat di tempat gelap, lapat2 masihdapatdilihatnyakeadaandidalamsana. Di belakang pintu adalah sebuah pekarangan kecil, maju lebih lanjut adalah undakan batu tiga tingkat, di atas undakan adalah sebuah pendopo yang agak luas, karena jaraknya agak jauh, di dalam juga lebih gelap lagi, lapat2 hanya kelihatan meja kursi dan beberapa perabotanya saja. Sekian lamanya keadaan tetap sunyi dan tiada reaksi apa2 dari dalam. Kun-gi tersenyum, katanya.   "Tanpa menerobos ke sarang harimau bagaimana dapat menangkap anak harimau, kita harus masuk ke sana, cuma harus hati2,"   Lalu dia mendahului melangkah ke dalam.   Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiringinya memasuki pintu besi.   Karena keadaan di dalam memang teramat gelap, terpaksa Kun-gi keluarkan pula mutiaranya langsung menuju ke ruang pendopo.   matanya menyapu pandang sekelilingnya.   Walau kini mereka berada di dalam perut gunung, tapi peka-rangan diluar itu tak ubahnya seperti pekarangan umumnya di rumah orang2 berada, baru saja dia hendak melangkah lebih lanjut, tiba2 didengarnya suara"blang"    Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini