Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 36


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Bagian 36


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya dari Gan K L   Seru Yong King-tiong ragu2.   "apa yang hendak kaulakukan?" "Jangan kau banyak bertanya." "Masih ada pesan lain Jikohnio?"   Tanya Yong King-tiong -pula.   Thay-siang mengenakan mantel kulit berbulu yang lebar dan panjang, pelan2 dia lepaskan tali sutera dari mantelnya di depan dada, kiranya Thay-siang mengenakan pakaian ketat, di balik mantel tergantung dua buah kantong kulit.   Menuding pada kantong kulit ini dia berkata.   "Coba kau tuang air obat di kantong kulit ini ke dalam kolam, lalu jagalah pinto di mulut lembah, siapapun dilarang kemari."   Semakin curiga Yong King-bong dibuatnya, tanyanya.   "Apa ini kedua kantong ini Jikohnio?" "Obat penawar racun,"   Sahut Thay-siang. Bimbang sekejap Yong King-tiong, kemudian bertanya.   "Jadi Jikohnio mau turun ke dasar kolam? Getah beracun ini hanya dapat ditawarkan oleh Le liong-cu . ...... ' "Sudahlah, jangan banyak bicara, lekas tuangkan seluruhnya."   Terpaksa Yong King-tiong buka ikatan mulut kantong serta menuang kedua isi kantong kedalamkolam.   Waktu itu hari sudah terang tanah, kabut dipermukaan Hek- liong-tam juga sudah semakin tipis, setelah air obat dalam kantong tertuang habis, lekas Thay-siang melongok ke bawah.   Air obat kedua kantong kulit itu adalah obat penawar getah beracun yang dibikin Ling Kun-gi waktu masih berada di Pek-hoa- pang tempo hari.   Waktu diadakan percobaan tempo hari, setetes air obat ini cukup untuk menawarkan segayung getah beracun menjadi air jernih, maka kalau diperhitungkan, dua kantong air obat penawar ini tentu berkelebihan untuk menawarkan getah beracun sekolam ini.   Seyogianya bila obat penawar dituangkan, air kolam seharusnya bergolak dan timbul perubahan, tapi air kolam yang hitam kental itu kini sedikitpun tidak timbul perubahan apa2 Tanpa berkedip Thaysiang awasi permukaan air kolam, ternyata obat penawar yang dia bawa sudah hilang khasiatnya, sorot matanya dari balik cadar tampak mencorong dingin setajam pisau, terdengar mulutnya menggeram gemas, desisnya sambil mengertak gigi.   "Binatang kecil menggagalkan usahaku."   Melihat cuaca sudah terang benderang, sementara dalam kolam tetap tidak tampak reaksi apa2, keruan hati Yong King-tiong gelisah setengah mati, gua di dasar kolam itu diciptakan oleh Sin swi-cu setelah diadakan perhitungan dan percobaan yang seksama, setiap langkah mengandung mara bahaya, kesalahan serambut saja bisa mendatangkan elmaut bagi orang yang masuk ke dalam.   Padahal dia sendiri tak pernah masuk ke sana, entah bagaimana.   keadaan di dalam? Ling-kongcu sudah satu jam lebih berada di dalam, memangnyadiaterjebakdantertimpa malang? Dikala dia merasa kuatir dan was2 inilah Thay-siang masih tetap mengawasi permukaan air kolam, sorot matanya tampak putus asa, tiba2 ia berteriak beringas.   "Anak keparat, kau tidak akan kulepaskan."   Mendadakdia membalikbadan, jengeknya. "Yong-congkoan, kau tahu kejurusan mana Ling Kun-gi pergi?" "Hanya ada satu jalan keluar di Hek-liong tam, Ling-kongcu ... .   "   Belum selesai Yong King-tiong bicara, tepat di pusar kolam tiba2 terdengar suara gemuruh, air kolam yang semula tenang mendadak berpusar semakin kencang pada delapan tempat.   Air beracun yang mengalir dari kepala naga di dinding utarapun seketika berhenti mengalir.   Cepat sekali air kolam yang berpusar itu menyusut rendah.   Sorot mata Thay-siang yang tajam tengah menatap Yong King- tiong, ia mendengus sekali lalu berkata.   "Sudah ada orang masuk ke dasar kolam. Katakan, bocah she Ling itu bukan?"   Tahu bahwa Kun-gi sudah berhasil menunaikan tugasnya, diam2 hati Yong King-tiong sangat senang, tapi barusan sudah merasakan lihaynya ilmu pedang Jikohnio, dari nadanya kini agaknya dia teramat benci dan dendam terhadap Ling-kongcu, maka hatinyapun menjadi gelisah dan kuatir pula bagi keselamatan Ling Kun-gi.   Walau rasa senang lebih merasuk hati, tapi mimik mukanya sedikitpun tidak kentara, ia menyurut selangkah dan menjawab.   "Cayhe betul2 tidak tahu." "Masih bilang tidak tahu,"   Jengek Thay-siang.   "sejak tadi kau berjaga di sini, pasti kau yang membantu dia turun ke bawah dan akan bantu dia naik ke atas pula?"   Urusan sudah telanjur sejauh ini, terpaksa Yong King-tiong berubah sikap, katanya dengan sungguh.   "Jikohnio, engkau seorang cerdik, bahwa Lohwecu mendirikan Hek-liong-hwe adalah untuk menyambut seruan Tuan Puteri, tujuannya merebut kembali tanah air yang terjajah, waktu itu tidak sedikit kelompok patriot kita yang beruntun ditumpas oleh kerajaan, maka buku daftar anggota seluruh pahlawan bangsa di Kangouw oleh Tuan Puteri secara diam2 di simpan di markas pusat Hek-liong hwe kita, buku itu merupakan dokumen paling penting dan rahasia, maka Lohwecu memerlukan membangun Hek-liong-tam ini, tak tersangka Hekliong-hwe telah dijual kepada musuh oleh sekomplotan manusia yang tamak harta dan gila pangkat, pihak kerajaanpun amat getol untuk merebut buku daftar itu, bilamana sampai terjatuh di tangan mereka, entah berlaksa jiwa akan terembet dan menjadi korban tanpa dosa, betapa pula banyak aliran per-silatan di Bu-lim akan ditumpasnya, bahwa selama dua puluh tahun ini Cayhe terima hidup terhina, yang kutunggu adalah hari ini." "Katakan, yang turun ke bawah bocah she Ling itu bukan?"   Thaysiang menegas.   "Betul, memang Ling-kongcu yang turun ke bawah, dia akan menghancurkan buku daftar itu, Cayhe berjaga di sini untuk membantu dari segala kemungkinan, kini dia sudah akan keluar.   Jikohnio adalah angkatan tua Ling-kongcu, kekuatan inti Pek-hoa-pangpun telah kau kerahkan kemari, kalian adalah sanak kadang sendiri, seharusnya saling bantu berdampingan memberantas musuh, bantulah Ling-kongcu untuk menggempur Hek-liong-hwe, karena Hek-liong-hwe yang didirikan ayahmu kini terjatuh ke tangan musuh, Lohwecu......' "Tutup mulut,"   Hardik Thay-siang.   "jangan kau minta ampun bagi bocah she Ling, Hek-liong-hwe terang akan kugempur, tapi aku akan bunuh dulu bocah she Ling itu."   Mulut bicara sementara matanya menatapkedasarkolamtanpaberkedip.   Saat mana air kolam sudah menyurut rendah, tepat di tengah kolam muncul batu karang, tepat di pucuk karang terdapat sebuah batu bulat raksasa, batu itu mulai bergerak mumbul ke atas, kejap lain seorang pemuda berjubah hijau tampak menongol keluar dari lubang di bawah batu bulat itu.   Hari sudah terang benderang, kabutpun sudah menipis, betapa tajam pandangan Thay-siang, sekilas pandang dia sudah mengenali pemuda yang menongol keluar itu memang betul Ling Kun-gi.   Darah seketika merangsang kepala, sembari menggeram pedang ditangan kanannya mendadak dia timpukkan ke bawah, berbareng kedua kakinya menutul, orangnyapun meluncur ke bawah, daya luncurnya teramat cepat, dengan ringan ujung kakinya menginjak di atas batang pedang yang sedang terbang itu.   Cahaya pedang bagai bianglala, dengan terbang naik pedang Thay-siang melompat sejauh dua belas tombak meluncur turun ke puncak karang di tengah kolam.   Melihat orang menimpukkan pedang, semula Yong King-tiong mengira orang menggunakannya sebagai senjata rahasia uuntuk menyerang Ling Kun-gi, maka dia berteriak gugup.   "Jangan Jikohnio ... ."   Demi melihat orang "terbang"   Dengan naik pedang, hati Yong King-tiong semakin kaget dan mencelos.   Betapapun tinggi ilmu silat seseorang takkan mungkin dapat melompati sejauh dua belas tombak dari permukaan kolam ini, tapi ilmu "It-wi-tohkung" (dengan sebatang gala menyeberang sungai) yang dipertunjukkan Thay-siang ini betul2 amat menakjubkan.   Selama dua puluh tahun ini, watak Ji-kohnio ini agaknya makin nyentrik, bila dia betul2 berhasil terjun ke pucuk karang, bukan mustahil akan perang tanding dengan Ling-kongcu, dengan bekal kepandaian silatnya yang bertaraf tinggi itu mungkin Ling-kongcu bukan tandingannya.   Hampir dalam waktu yang sama, dari arah lain sana, tahu2 melayang terbang pula selarik sinar pedang, karena kabut telah menipis, maka samar2 dapat terlihat di atas luncuran sinar pedang itu berdiri juga sesosok bayangan orang yang berkedok serba hitam, pakaian melambai, meluncur dengan cepat dan sasarannya juga ke puncak karang di dasar kolam.   Kembali Yong King-tiong terkejut, batinnya.   "Siapa pula itu?"   Kedua orang sama2 melancarkan Ginkang It-wi-tokang ajaran rahasia Siau-lim-pay yang tidak diturunkan kepada orang luar, jelas bahwa kedua orang ini pasti punya sangkut paut erat dengan Siaulim-pay.   Sama2 naik pedang yang meluncur, meski keduanya terpaut beberapa kejap tapi keduanya hampir bersamaan pula tiba di pucuk karang.   Saat mana Ling Kun-gi baru saja menerobos keluar di bawah batu bulat.   Tahu2 Thay-siang sudah hinggap di atas karang, bentaknya.   "Binatang kecil, kau pantas mampus!"   Pedang terayun, dada Kun-gi ditusuknya dengan beringas. Sebetulnya Kun-gi belum melihat jelas orang di depannya, tapi dia kenal betul suara Thay-siang, tanpa terasa ia menjerit.   "Kau ini Thay-siang!"Sebatsekalidia menyurut mundursambilberkelit. Kejadian berlangsung dalam sekejap dan cukup gawat, dikala Kun-gi mengegos, orang berkedok yang datang belakangan itupun sudah meluncur tiba mengadang di depan Kun-gi. Pedang panjang kontan terayun.   "trang", tusukan pedang Thay-siang kena ditangkisnya, teriaknya."Dik, takboleh kau melukai dia!"   Karena suara orang, kembali Kun-gi di bikin kaget, teriaknya. "Ibu!"   Orang berkedok dan berpakaian hitam yang baru datang ini memang betul ibu kandung Ling Kun-gi, yaitu Thi-hujin alias Thi Ji giok. Wajah Thay-siang teraling cadar, tapi sorot matanya tajam dingin diliputi nafsu membunuh, teriaknya.   "Siapa adikmu? Binatang kecil ini menggagalkan urusanku, aku harus mencabut nyawanya, kau minggir!" "Sret", kembalidia menusuk. Pedang Thi hujin segera menyontek dan menindih gerakan Thaysiang, katanya. 'Dik, jangan kau melupakan persaudaraan. Kau terhitung lebih tua dari dia, umpama kau ingin menghukum dia dengan cara apapun boleh, tapi terhadan anak2 tak pantas kau main senjata." "Jangan cerewet!"   Teriak Thay-siang pula.   "Kalian ibu beranak memang pantas mampus."   Di tengah teriakannya ini, beruntun dia menyerang tiga kali pula. Thi hujin tangkis semua serangan Thay-siang itu, katanya.   "Aku tak boleh mati sekarang, aku akan membunuh bangsat pengkhianat Hek-liong-hwe dengan kedua tanganku sendiri, menegakkan nama baik ayah dan perguruan, menuntut balas sakit hati kematian suamiku."   Walau merasa perbuatan Thay-siang keterlaluan, tapi kini Kun-gi sudah tahu bahwa Thay-siang adalah bibinya sendiri.   Cuma belum diketahui ada perselisihan apa di antara Thay-siang dengan ibunya, sampai sesama saudara ini saling dendam dan bermusuhan? Tapi kedua orang yang lagi gebrak ini adalah angkatan tuanya, walau hati merasa cemas, tak berani dia ikut turun tangan atau membujuk.   Setelah dia keluar dari bawah lubang, batu bulat yang timbul tadi kini sudah turun dan menyumbat lubang tadi.   Peralatan rahasia di Hek-liong-tam ini saling berkaitan satu dengan yang lain bila batu bulat ini sudah kembali pada posisinya semula, kepala naga di dinding utara itupun mulai memancurkan air beracun, sementara air kolam yang semula tersedot ke delapan empang di samping kolam kinikembali mengalirbalik, makavolumeairmulaimeninggipula.   Thay-siang masih mainkan pedangnya sekencang kitiran, seperti orang kalap saja dia menghardik seraya lancarkan serangan, bagai mengadu jiwa layaknya dia cecar Thi-hujin dengan tusukan dan tebasan pedang.   Dengan tenang dan mantap Thi-hujin hanya menangkis dan mematahkan serangan orang, tak pernah balas menyerang, maka suara keras benturan senjata mereka terasa memekak telinga sederas hujan badai.   Kun-gi yang berada di samping cukup tahu situasi yang gawat ini, maka dia berteriak mendesak.   "Thay-siang lekas berhenti. Kalau tidak lekas meninggalkan tempat ini, air kolam segera akan naik pasang."   Mendadak terdengar suara gelak tawa aneh di sebelah atas, disusul seorang berkata.   "Pemberontak bernyali besar, kalian masih ingin pergi dengan selamat dari Hek-liong-tam?"   Belum lenyap suaranya, beruntun terdengar suara jepretan, maka berhamburanlah anak panah beracun bagai hujan lebatnya sama tertuju ke puncak karang.   Sementara cepat sekali air kolam juga semakin tinggi, karangpun hampir tenggelam ditelan air.   Thi-hujin berteriakgugup.   "Dik, lekasnaik!"   Agaknya Thay siang amat jeri juga akan air kolam beracun ini, dengan menggerang gusar segera dia jejak kedua kakinya dan melambung ke atas, pedang panjang di tanganpun ditimpuk ke atas, pedang yang bercahaya kemilau meluncur bagai roket, dengan menaiki pedang itulah Thay siang langsung menerjang ke tepi atas.   Di tengah udara menyongsong hamburan anak panah yang melesat kencang itu, dia kebutkan kedua lengan bajunya, bagai menyibak tangkai bunga layaknya sekejap saja dia sudah hinggap di tepi kolam.   Dikala Thay-siang meleset terbang itu Kun-gi berteriak gugup.   "Bu, lekas engkau naik!"   Thi-hujin tahu dengan membawa Leliong-cu Kun-gi tidak perlu takut air kolam, maka dia berpesan.   "Lekas kaupun pergi saja!"   Segera iapun timpukkan pedang, badan melijit tinggi hinggap di atas pedang terus meluncur ke atas pula, arahnya ke sebelah sana.   Dua puluh empat ahli pemanah tengah berba-ris di tepi kolam dan sibuk dengan anak panahnya kapan mereka pernah lihat ada manusia bisa numpang pedang, apalagi sinar pedang yang ditimpukkan mencorong seterang itu, sehingga anak panah yang mereka bidikkan seketika menyibak rninggir sendirinya, karuan ciut nyali mereka, tanpa disadari beramai2 mereka menyurut mundur.   Lekas sekali Thay-siang manfaatkan peluang ini, setelah kaki hinggap di tepi, sembari tertawa dingin pedangpun bekerja, bagai naga hidup sinar pedangnya menebas kian kemari.   Di mana larikan sinar pedangnya menyamber, jeritan mengerikan seperti berpadu, lima laki2pemanah terpenggalkepalanya.   Berhasil membinasakan lima musuh.   Thay-siang terus berkisar ke kiri, pedangnya kembali menyapu.   Betapa cepat gerakan pedangnya, hakikatnya susah diikuti oleh pandangan mata, tahu2 kilat menyamber dan jiwapun melayang, kembali limasosoktubuh samaterjungkal robohtak berkepala.   Dua kali pedang Thay siang menyapu, hanya sekejap saja hampir separo dari dua puluh empat pemanah telah menjadi korban, sisanya keruan menjadi lemas kakinya saking ketakutan, "   Kenapa kau tidak menungguku?" "Nona mau ke mana? "Kau menyamar lagi bukankah ka hendak menemuka pengejaranmu?" , u n "Betul, kenapa?"   Beramai2 Waktu Thay-siang berpaling, tertampak tiga tombak di atas batu padas besar sana berdiri sejajar belasan orang.   Orang di tengah2 berusia antara 45-an, alis tebal, mata sipit, kulit mukanya semu merah bagai buah apel, mengenakan jubah abu2 bersulam indah, sikapnya kelihatan gagah dan angker.   Di sebelah kirinya adalah seorang Lama berkasa merah.   dua muridnya berdiri di kanan kiri sebelah belakang.   Di sebelah kanannya adalah laki2 berjubah hijau berusia enam puluhan, disusul Yong King-tiong sebagai Hek-liong-hwe Congkoan, dilanjutkan empat laki2 berbaju biru berusia empat puluhan.   Di kedua sisi orang2 ini adalah delapan laki2 seragam hitam berpedang panjang warna hitam pula, jelas mereka adalah jago2 pedang dari Hek-liong-hwe.   Tadi yang bersuara adalah laki2 jubah hijau berusia enam puluhan itu.   Laki2 berjubah abu2 yang berdiri di tengah menatap Thay-siang sekian lamanya, katanya kemudian dengan suara kereng.   "Kau Thi Ji-hoa atau Thi Ji-giok?" "Peduli apa siapa aku?"   Jengek Thay-siang. "Siapa kau?"   Bentak Thi-hujin di sebelah sana. Yong King-tiong menyeringai tawa, katanya.   "Kalian berani menyelundup ke tempat terlarang, kini berhadanan dengan Hwecu kita masih berani bertingkah, hayo lemparkan senjata dan menyerah saja. Memangnya kalian berani memberontak?"   Kata2nya ini memberi kisikan bahwa si jubah abu2 adalah Hek-liong-hwe Hwecu Han Janto adanya.   Sejak kecil Han Janto dibimbing dan dibesarkan oleh Hek-liong- hwe Hwecu yang terdahulu, yaitu Hek-hay-liong Thi Tiong-hong.   Ini berarti bahwa dia tumbuh dewasa bersama Thi-hujin dan Thay- siang, lalu mengapa Thi-hujin dan Thay-siang sekarang tidak mengenalnya? Soalnya dalam ingatan mereka Han Janto adalah pemuda yang cakap bermuka putih bersih, sikapnya sopan dan lembut, kecuali hidungnya yang membetet, tak kelihatan roman mukanya yang jahat dan sadis, tapi laki2 di depan mata mereka sekarang berwajah merah, alis tebal mata sipit, hakikatnya bukan Han Janto yang menjual Hek-liong hwe dan mencelakai suaminya itu.   Sesaat Thihujin menatapsijubahabu2, lalu mendengus hina."Han Janto?"   Ling Kun-gi kini juga sudah naik ke atas dan berdiri di belakang Thi-hujin, katanya lirih.   "Bu, dia mengenakan kedok muka."   Sorot mata si jubah abu2 menatap Kun-gi lekat2, sekilas iapun melirik Leliong cu, tiba2 dia tertawa lebar, katanya.   "Anak muda, kau inikah Ling Kun-gi?"   Kini baru Thi hujin mengenal suara orang, seketika badannya gemetar, pedang menuding, bentaknya dengan suara gemetar. "Kau memang betul Han Janto, kau keparat yang khianat ini, ya, memang kau adanya."   Han Janto tertawa lebar, katanya.   "Betul, memang aku orang she Han, kita kan dibesarkan ber-sama2, dulu kalau bocah she Ling tidak menyelinap diantara kita, kau nona Ji-giok pasti sudah menjadi biniku, tapi hari ini kaupun akan tetap disanjung sebagai isteriku tercinta... ..."   Dulu Han Janto sudah beranggapan bahwa dirinyalah yang pasti akan mewarisi jabatan ketua Hek-liong-hwe dari tangan Thi Tionghong, malah secara diam2 iapun naksir kepada nona Ji-giok, sementara Ji-hoa alias Thay-siang dari Pek-hoa-pang diam2 kasmaran terhadap Ling Tiang-hong, tapi karena Kay-to Tyasu telah memperkenalkan murid premannya yang satu ini, maka Thi Tionghong berkeputusan mewariskan jabatan ketua Hek-liong-hwe kepada Ling Tiang-hong.   Dan lagi mengingat puteri tunggalnya Ji-hoa berwatak nyentrik, cupet pikirannya dan berjiwa sempit, sebaliknya Ji-giok sang puteri angkat berwatak lembut, welas asih, sikapnya ramah dan halus maka dia berkeputusan lebih setimpal menjodohkan puteri angkatnya Ji-giok kepada Ling Tiang-hong.   Keputusan ini sudah melalui pemikiran yang seksama serta dipertimbangkan untung ruginya, sungguh diluar dugaan bahwa keputusan ini justeru membuat puteri kandungnya Ji-hoa minggat tak keruan paran.   Karena cemburu, timbul watak Han Janto yang jahat, secara diam2 dia menyerah kepada kerajaan dan rela diperbudak menjadi antek penjual bangsa.   Perubahan drastis ini sudahtentutakpernahterpikiroleh Lohwecusebelumnya.   Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Begitulah demi mendengar mulut orang yang kotor, sungguh tidak kepalang marah Thi-hujin di samping merasa berduka pula, desisnya sambil menggertak gigi.   "Keparat she Han, ayahku teramat baik terhadanmu, kau malah lupa akan nenek moyang sendiri dan rela menjual keluarga dan bangsa kepada musuh, terima hidup diperbudak menjadi antek penjajah, membunuh para ksatria bangsa sendiri, dua puluh tahun yang lalu aku sudah bersumpah untuk mengorek ulu hatimu buat sesaji didepan pusara ayah dan suamiku, sekaligus menuntut balas pula bagi para pahlawan yang telah gugur. Nah, HanJanto, menggelinding keluarsinikau." "Bu, engkau tak perlu mengeluarkan tenaga, dendam orang tua sedalam lautan, bangsat she Han ini serahkan saja kepada anak untuk membereskannya,"   Seru Kun-gi. Bercucuran air mata Thi-hujin, ucapnya.   "Tidak, sejak ibu meninggalkan Hek-liong-hwe dulu sudah bersumpah kepada ayahmu, dengan kedua tanganku sendiri akan kubunuh keparat she Han yang durhaka ini."   Thay-siang menyeringai dingin, katanya.   "Mencari perkara dengan Han Janto adalah urusan kalian, aku akan pergi saja Ling Kun-gi, persoalanmu menyelundup ke dalam Pek-hoa-pang sejak kini boleh tidak usah kuusut. Nah, serahkan kembali Ih-thiankiam padaku."   Thay-siang tidak tahu bahwa Ling Kun-gi masih memiliki sebilah Seng-ka-loam yang tidak kalah ampuh dan saktinya daripada Ih- thianloam, bahwa dalam keadaan segawat ini sengaja dia meminta balik Ih-thiankiam yang tajam luar biasa, itu berarti telah memperlemah perlawanan Ling Kun-gi pada musuh, tujuannya terang cukup keji juga.   "Thay-siang memang betul,"   Ujar Kun-gi.   "Cay-he memang bukan orang Pek-hoa-pang lagi, sudah tentu harus kukembalikan pedang ini."   Betul2 dia menanggalkan Ih-thiankiam lalu diangsurkan dengan kedua tangan. Thay-siang terima Ih-thiankiam dengan tangan kiri.   "Sreng", tangan kanan segera mencabutnya keluar, tampak jelas nafsu amarahnya yang berkobar, katanya ketus.   "Dua puluh tahun permusuhan ayah bundamu denganku, dengan tabasan ini boleh anggap impas permusuhan kita,"   Seiring dengan ucapannya.   "sret"   Ih-thiankiam tiba2 menabas ke pundak kanan Ling Kun-gi. Betapa cepat tabasan ini,, sampaipun Thi-hujin yang berdiri tidak jauhpun kaget dan tak sempat menolong, teriaknya.   "Dik, kau ...."   Sinar pedang berkelebat.   "tring,"   Pedang Thay-siang tahu2 tersampuk oleh segulung angin selentikan.   Ternyata pada detik2 gawat itu, jari Kun-gi telah menjentik dengan It-cay-sian, ilmu sakti selentikan aliran Hud, sehingga ujung pedang orang terpental ke samping.   "Terima kasih atas kemurahan hati Thay-siang."   Ucap Kun-gi dengan tertawa. Gemetar cadar di muka Thay-siang saking menahan gelora marahnya, sambil mendengus segera ia hendak melompat pergi. Mendadak Han Janto bergelak tertawa, katanya.   "Thi Ji-hoa, kaupun salah seorang buronan penting yang diincar kerajaan, terus terang saudaramu ini tak berani membiarkan kau pergi, Ketahuilah bahwa orang2 Pek-hoa-pang seluruhnya sudah dipancing ke tempat buntu oleh anak buahku, kuharap kau tahu diri, lemparkan pedang dan terima dibelenggu saja."   Thay-siang urungkan niatnya pergi, Ih-thiankiam melintang di dada, suaranya murka.   "Han Janto, kau kira dengan perangkap Hek-liong-hwe seperti itu dapat mengurung orang2 Pek-hoa-pang?" "Tidak salah,"   Ujar Han Janto dengan tertawa.   "Hek-liong-hwe adalah kampung halamanmu, di sini kau tumbuh dewasa, segala peralatan perangkap di sini kau cukup apal, tentu kaupun sudah membekali peta yang terang kepada anak buahmu. Tapi perlu kau ketahui bahwa selama dua puluh tahun ini, kebanyakan tempat sudah kubangun pula perangkap yang aneka ragamnya, kalau anak buahmu hanya bergerak menurut petunjuk petamu, itu berarti mereka sengaja menggali lubang kuburnya sendiri, kini tinggal kau seorang saja yang masih bebas."   Diam2 Kun-gi mengangguk, pikirnya.   "Kiranya dua barisan yang lain telah dibekali gambar peta oleh Thay-siang, hanya rombonganku tidak dibekali apa2, agaknya dia sengaja hendak membinasakan kami dengan meminjam tangan musuh,"   Keruan Thay-siang naik pitam, serunya.   "Sebetulnya aku tidak peduli segala urusan Ji-giok, kalau demikian biar aku membunuh kau lebih dulu." "Thi Ji hoa,"   Seru Han Jan to, 'kau bukan tandinganku."   Lalu dia berpaling kepada si jubah hijau, katanya.   "Tang cong-houhoat, tugasmulah untuk membekuk dia." "Hamba terima tugas,"   Sahut laki2 jubah hijau sambil menjura. "Sreng", pedang panjang di punggung dia cabut, lalu melangkah maju, katanya.   "Sudah lama Losiu dengar nama Thay-siang dari Pek-hoa-pang yang termashur, hari ini kebetulan dapat belajar kenal." "Han Janto,"   Jengek Thay-siang menghina.   "apa kau tak berani melawanku, jangan suruh orang lain menjual jiwa.' Laki2 jubah hijan menarik muka, dengusnya.   "Memangnya Thaysiang juga tidak pandang dengan sebelah mata padaku? Apakah Losiu betul2 mengantar kematian belaka, setelah turun tangan baru akan tahu." "Baiklah,"   Ucap Thay-siang.   "Han Janto, kau sendiri yang melibatkan aku ke dalam persoalan ini."   Sampai di sini ujung pedang terangkat, bentaknya dingin.   "Nah hati2lah kau!" . Segera pedangnya membelah lebih dulu ke arah laki2 jubah hijau. Jurus pertama ini menimbulkan kesiur angin yang menderu, sinar perak kemilau bagai untaian rantai menggulung tiba, betapa hebat serangannya, sungguh tidak malu kalau disebut sebagai ahli pedang yang lihay, perbawanya memang lain. Menyaksikan betapa hebat serangan pedang Thay-siang, laki2 jubah hijau tak berani memandang enteng, serentak berteriak. "Bagus!"   Seringan asap iapun berkelit pergi, pedang segera bergaya seindah orang menari, sinar pedang kemilau terpancar bertaburan ke tubuh Thay-siang Thay-siang mengejek dingin.   "Tak nyana Banhoa kiam-kek (tokoh pedang berlaksa bunga) yang dijuluki raja pedang dari lima propinsi utara juga terima menjadi antek musuh."   Karuan merah selebar muka laki2 berjubah hijau, teriaknya gusar.   "Losiu bertugas dalam pemerintahan untuk membekuk kau pemberontak ini, memangnya salah perbuatanku?"   Mulut bicara kedua orang sudah sama2 saling serang dengan gencar, masing2 mengembangkan kemahiran ilmu pedang sendiri dan berusaha merobohkan lawan lebih dulu.   Dalam sekejap serangan pedang kedua pihak bertambah kencang dan sengit, bayangan kedua orangpun terlibat di dalam lingkaran cahaya kemilau sehingga sukar dibedakan satu dengan yang lain.   Thi-hujin amat getol menuntut balas kematian sang suami, menghadapi Han Janto si durjana, bola matanya menjadi merah membara, ia melihat adiknya Ji-hoa sudah saling labrak dengan laki2 jubah hijau, mana dia kuat menahan sabar lagi, serunya sambii menggreget.   "Bangsat keparat she Han, hari ini kau atau aku yang harus gugur. Nah keluarkan senjatamu?"   Han Jan to berdiri tidak bergerak, katanya kalem .   "Thi Ji-giok, apabetulkau inginbergebrak denganku?" "Sebelum mencacah leburbadanmu itu, sungguhtidakterlampias dendam kesumatku, sudah tentu kau harus hadani tantanganku." "Thi Ji-giok;"   Ujar Han Janto dingin.   "jelek2 kita tumbuh dewasa bersama sejak kecil, tak peduli betapa besar dendammu padaku, aku tidak ingin melukai atau membunuh kau dengan tanganku ... ."   Tiba2 dia berpaling, katanya.   "Yong-congkoan, kau saja yang membekuk dia."   Sambil menenteng pedang pelan2 Yong King-tiong beranjak maju meninggalkan barisannya, tapi setelah satu tinbak jauhnya mendadak dia membalik badan, ujung pedang menuding Han Janto, jubah dibadannya seketika melembung, bola matanya mendelik berapi2, bentaknya lantang .   "Han Janto, kau kunyuk busuk yang menjual bangsa dan negara, keparat yang khianat, selama dua puluh tahun ini Lohu menahan sabar terima hidup dihina, hari ini tiba saatnya berkesempatan memenggal kepalamu dihadapan umum, menuntut balas bagi para ksatria Hek-liong-hwe yang telah gugur, apalagi Ling-hujin dan Ling-kongcu telah tiba, sumpah Linghujin barusan sudah kau dengar pula, nah terima-lah kematianmu!"   Sampai di sini mendadak dia angkat kedua tangan ke atas kepala, teriaknya lantang.   "Hek-liong-hwe sekarang sudah menjadi antek kerajaan, dua puluh tahun kita diperbudak, hayolah kawan yang berjiwa ksatria, pahlawan bangsaku, bangkitlah, marilah kita bersatu padu memberantas kawanan cakar alap2, tegakkan nama baikdan kebesaranHek-liong-hwenan jaya."   Suaranya lantang, diucapkan dengan penuh semangat dan gagah perkasa lagi, tapi tiada seorangpun yang tampil maju menyambut seruannya, sampaipun delapan ahli pedang seragam hitam yang menjadi anak buahnyapun tetap berdiri berpeluk tangan menimang pedang tanpa bergerak, seakan tak pernah mendengar suara apapun.   Han Janto menyeringai puas atas kemenangannya ini, katanya.   "Yong King-tiong, kau berani bersekongkol dengan musuh dan hendak memberontak pula, tapi coba kau lihat, delapan jago pedang anak buahmu sendiripun tiada yang sudi mendengar seruanmu, sekarang kalau kau mau membekuk ibu beranakshe Ling ini masih dapat kau tebus dosamu dengan pahala, kalau tidak, hukuman mati adalah bagianmu, jangan kau menyesal setelah terlambat."   Merah membara roman Yong King-tiong, matanya mendelik gusar, teriaknya.   "Orang she Han, hari ini adalah saat kematianmu, Ling-hujin akan menjatuhkan vonisnya terhadanmu. Wahai, delapan jago pedang Hek-liong-hwe, dengarkan seruanku, kalian mau menurut petunjukku atau tetap terus diperbudak oleh musuh, menjadiantek kerajaandan menindassesamabangsamusendiri?"   Kedelapan jago pedang itu hanya mengawasi Yong King-tiong, semuanya tetap berdiri tak bergerak dan tidak bersuara. Keruan Han Jan to ter-gelak2, katanya.   "Yong King-tiong, sekarang kau harus sadar, memberontak harus dipancung kepalanya, di kolong langit ini takkan ada orang yang rela mengekor oleh hasutanmu dan rela dipenggal kepalanya,"   Mendadak ia memberikan perintah .   "Si-toa-hou-hoat ( empat pelindung tinggi), lekas ringkus Yong King-tiong yang sekongkol dengan pemberontak, kalau berani melawan bunuh saja tanpa perkara,"   Empat laki2 yang berdiri di sebelah kanannya berpakaian biru serentak melolos senjata masing2 terus melangkah maju merubung Yong King-tiong.   Yong King-tiong ter-bahak2 dengan mendongak, serunya.   "Kalian berempat maju bersama lebih baik, supaya menghemat tenagaku."   Pada saat keempat orang ini maju, mendadak Thi-hujin berpaling, katanya lirih.   "Anak Gi lekas jaga arena dan awasi gerak gerik musuh."   Tanpa menunggu jawaban Ling Kun-gi, sekali berkelebat dia menerjang maju menyerang Han Janto sambil membentak.   "Bangsat keparat, serahkan jiwamu!"   Sejak kecil Han Janto dididik oleh Thi Tiong-hong sendiri, usianya lebih tua lima tahun daripada Thi-hujin, pelajaran yang diperoleh jelas lebih banyak dan matang.   Ia tidak tahu sejak dua puluh tahun yang lalu Thi-hujin telah bersumpah untuk menuntut batas bagi kematian suaminya, secara tekun dan rajin berlatih dan menggembleng diri, taraf ilmu pedangnya boleh dikatakan melompat maju berlipat kali lebih tinggi dan sempurna.   Melihat sekali membuka serangan, lawan sudah sedemikian dahsyat dan lihay, mau tidak mau Han Jan to terkejut juga hatinya, timbul rasa waspada dan hati2, tapi mulut masih ter-kekeh2 aneh, sembari berkelit, sebelah tangannya menyampuk serta melolos sebilah pedang panjang warna hitam, bentaknya.   "Thi Ji-giok, sebetulnya aku tidak ingin bergebrak dengan kau, tapi kalau tidak kusambut beberapa gebrak matipun pasti kau tidak akan tenteram. Baiklah kukabulkan keinginanmu!"   Sembari bicara dengan enteng pedangnya menutuk dan menindih.   "trang", tusukan pedang Thihujin kena ditekan ke bawah. Gemeratak gigi Thi-hujin saking menahan marah dan benci, tanpa bersuara kembali pedang membalik, di mana kilat menyamber. dia membabat kencang miring ke atas. Maklum ajaran ilmu pedang kedua orang sama diwarisi dari liok-hay-liong Thi Tiong-hong, meski kedua orang masing2 mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda, tapi sumbernya tetap sama, betapapun ruwet perubahan dan variasi masing2 tetap tak lepas dari intinya semula. Sejak tadi Kun-gi sudah melolos Seng-ka-kiam, dengan seksama dia menonton dan mengawasi gerak-gerik kedua orang yang lagi bertempur, diam2 ia terkejut dan heran mengikuti pertandingan pedang ini. Sejak kecil dia hanya tahu bahwa ibunya sedikitpun tidak pernah belajar silat sehingga waktu mendidik dirinya belajar Hwi-liong-samkiam warisan keluarganyapun sang ibu hanya menggores2 di atas kertas, jadi cuma diajarkan teorinya belaka serta memberi petunjuk dikala dia mempraktekkannya, beliau sendiri belum pernah pegang pedang dan memberikan contoh. Baru tadi dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan ibunya melempar pedang serta naik di luncuran pedangnya untuk mencapai ketinggian tepi Hek-liong-tam, nyata bahwa Ginkang dan ilmu pedang ibunya tidak lebih asor daripada Thay-siang. Ilmu pedang Han Janto memang satu sumber dengan kepandaian Thi-hujin, gaya pedangnya lebih mantap dan matang, perubahannya serba aneh dan tak habis2, malah setiap gerak pedangnya pasti menimbulkan deru angin tajam, dari sini dapatlah dinilai bahwa taraf ilmu pedangnya sudah mencapai puncaknya. Kalau bicara soal Lwekang jelas Thi-hujin setingkat lebih asor, tapi dendam kesumat selama dua puluh tahun yang terpendam dalam sanubarinya kini meledak, dengan dilandasi dendam permusuhan yang menimbulkan kekuatan luar biasa ini, maka setiap gerak serangannya boleh dikatakan dikembangkan dengan segala kemampuannya, pedang merangsek dengan gencar dan tanpa kenal ampun. Bahwa sesengit itu pertempuran berjalan, tapi sejauh ini belum pernah pedang mereka saling bentur meski sekalipun, jelas bahwa betapa sempurna latihan ilmu pedang mereka. Kalau bergebrak terus berlangsung seperti ini, sebelum tiga-lima ratusan jurus pasti belumada kesudahan menang dankalah. Laki2 jubah hijau yang bergebrak melawan Thay-siang, yaitu bernama Banhoa-kiam Tang Cu cin, sebagai Conghouhoat dari Hekliong-hwe, ia dijuluki raja pedang di lima propinsi utara, maka dapatlah dinilai betapa tinggi kepandaian silatnya. Setiap gerak pedangnya pasti menimbulkan ceplok2 sinar besar kecil yang berbeda dan aneka ragamnya sesuai dengan nama julukannya (Banhoa-kiam-ilmu pedang selaksa bunga), justeru karena beraneka ragam ceplok2 bunga sinar pedangnya yang bercampur baur itulah yang membikin silau dan membingungkan lawan. Apalagi ceplok2 bunga sinar pedang itu timbul tenggelam silih berganti, setiapceplokbungasinarpedang itu mengandang pusaran angin tajam beberapa kaki di sekitar gelanggang orang merasakan kulitdaging pedasdanperihsepertiteririspiaau. Yang diperhatikan Ling Kun-gi adalah Yong King-tiong, seorang diri dengan pedangnya dia melawan empat orang jago pelindung Hek-liong-hwe. Keempat Houhoat itu sama menggunakan senjata aneh yang jarang terlihat di Kangouw, seorang menggunakan sepasang gelang terbuat dari emas hitam, seorang pakai bandulan, orang ketiga pakai ganco berkepala ular, yang terakhir menggunakan senjata palu. Bahwa keempat orang ini diangkat menjadi Houhoat tentunya memiliki kepandaian silat dan Lwekang yang tinggi. Kini dari empat penjuru mereka mengeroyok Yong Kingtiong, empat macam senjata mereka sama merangsak kencang silih berganti, begitu cepat dan ganas kerja lama mereka. . Tapi diluar tahu mereka bahwa selama dua puluh tahun ini Yong King-tiong telah berlatih rajin dan tekun secara diam2 sehingga kepandaian aslinya tak pernah diperlihatkan kepada umum, kini dikeroyok empat dan terkepung lagi, mendadak ia ter-gelak2 lalu bersiul panjang, pedang berputar serentak iapun balas menyerang, sinar pedangnya ber-gulung2 bagai damparan ombak, yang satu lebih kuat daripada yang terdahulu. Terdengar serentetan suara benturan keras, sekali gebrak sekaligus empat macam senjata lawan kena dipukul balik. Berhasil membendung rangsakan musuh, sinar pedangnya menyambar lebih lincah lagi, seperti naga sakti selulup timbul di tengah mega, dalam belasan jurus saja, keempat musuh yang mengeroyoknya telah dilibat dalam lingkupan sinar pedangnya. Baru sekarang dia betul2 pamer kepandaian silatnya yang sejati, yaitu Thianlo-kiam-hoat dari Kunlunpay yang sudah lama putus turunan di kalangan Bu-lim. Perhatian Kun gi tertarik ke sini waktu dia mendengar rentetan suara keras benturan senjata, sampai di sini diam2 ia mengulum senyum dan merasa girang. Paman Yong ini ternyata memiliki Lwekang dan kepandaian ilmu pedang begini tinggi, sungguh tak pernah terpikir olehnya, sia2lah rasa kuatirnya tadi. Tatkala dia berpaling kesana, ternyata pada arena pertempuran di sebelah sini telah terjadi perubahan drastis. Bahwasanya Thaysiang yang tinggi hati, suka menang dan mengagulkan diri, sudah seratus jurus melabrak Banhoa-kiam, keadaan tetap setanding, karuan lama kelamaan dia menjadi tak sabar. Sembari menghardik, tiba2 dia melijit ke atas, pedang terayun ke kanan kiri sehingga Ih-tiankiam memancarkan cahaya hijau laksana air bah tumpah dari lembah gunung, manusia bersama pedangnya berubah menjadi segulung sinar mengurung ke atas kepala Banhoa-kiam Tang Cu- cin. Tang Cu-cin tidak tahu bahwa Thay-siang tengah melancarkan No-liong-bankhong (naga mengamuk melingkar di angkasa), jurus ketiga dari Hwi-liong-sam-kiam, maka ia berteriak kaget.   "Ihthiankiam-sut."   Sudah sepuluh tahun dia meyakinkan ilmu pedang, sehingga dijuluki rajanya pedang di lima propinsi utara, betapa luas dban pengalamannyda menghadapi musuh, meski Ih-kiam-sut adalah ilmu pedang tiada taranya di Bu-lim, tapi sedikitpun dia tidak menjadi gugup, sembari mendongak dia menghardik sekali, pedang melindungi badan, segera dia menyambut ke atas.   Serangan balasan ini dilancarkan menghadapi serangan dari atas, dari bawah timbul ceplok2 perak yang tak terhitung banyaknya sehingga seluruh badan se-akan2 dibungkus dan ditumpuki kuntum bunga.   Sudah tentu jurus yang dilancarkan ini bukan melulu untuk bertahan saja, karena ceplok2 bunga itu setiap saat bisa juga balas menyerang melukai musuh.   Kalau yang satu menukik dengan cahaya pedang yang benderang menyilaukan mata, seorang lagi menciptakan ceplok2 bunga perak yang tak terhitung banyaknya membungkus tubuh, perpaduan cahaya pedang mereka menjadikan kolam naga hitam ini terang benderang, hadirin menjadisilau dantak kuasa mementang mata.   Betapa cepat kelangsungan perang tandang ini sungguh laksana kilat menyambar, terdengarlahdering keras memanjang, perakyang berlaksa jumlahnya itu seketika sirna tak berbekas begitu benturan keras berlangsung.   Perang tanding ini jauh berbeda dengan gebrak2 pendahuluan tadi, kalau tadi bilamana cahaya pedang Thay-siang menyambar lewat, ceplok2 bunga lantas tersapu lenyap, tapi begitu cahaya pedang lewat, ceplok2 dan sinar pedang itu timbul kembali, begitulah seterusnya tak ber-henti2.   Tapi kali ini betul2 lenyap tak muncul pula.   Ternyata pedang Banhoa-kiam Tang Cu-cin yang terbuat dari baja murni itu dalam gebrak terakhir ini telah, terpapas putus berkeping2 oleh Ih-thiankiam, yang tinggal hanya gagangnya yang masih terpegang di tangannya.   Meski kehilangan senjata betapapun Tang Cu-cin seorang gembong persilatan yang cukup berpengalaman, ia tahu meski kalah, paling2 kalah oleh karena senjata pusaka yang lebih tajam, kalau sekarang dirinya tidak mundur, hanya bertangan kosong terang lebih2 bukan tandingan lawan.   Maka tanpa sangsi segera ia melejit mundur sejauh mungkin.   Sejak turun tangan tadi marah Thay-siang sudah berkobar, apalagi setelah sekian lama masih belum berhasil merobohkan lawan yang satu ini, hatinya tambah murka, sekali bentrok senjata dia berhasil menghancurkan pedang lawan, sudah tentu kesempatan baik ini tak di-sia2kan.   Sekali tangan berputar sambil masih tetap meluncur ke depan sehingga cahaya pedangnya ikut memanjang di udara mengejar ke arah Banhoa-kiam.   Cukup cepat Banhoa-kiam mengundurkan diri, tapi cara Thay- siang mengejar sambil meluncur ini merupakan hasil gemblengan tiga puluh tahun, Sin liong-jut-hun, salah satu jurus dari Hwi-liong kiam-hoat yang dia lancarkan ini boleh dikatakan sudah mencapai puncaknya.   Kecepatan cahaya pedang yang mengejar itu sungguh sukar dibayangkan.   Padahal Ban hoa-kiam Tang Cu-cin sudah mundur setornbak lebih, belum lagi kedua kakinya berdiri tegak, cahaya kemilau sinar pedang tahu2 sudah menerjang tiba menghujam ke dadanya.   Untung pada saat gawat ini sebagai seorang ahli pedang meski menghadapi bahaya dia tetap tidak menjadi gugup, sedetik sebelum pedang lawan kena sasarannya, tangan kanannya cepat menolak keluar serta mengebutkan secarik kain bajunya sendiri yang dia robek untuk senjata terus diayun ke depan menyongsong kedatangan pedang.   Selama hidup ini dia meyakinkan ilmu pedang, betapa tinggi kepandaian serta Lwekangnya, dengan secarik kainpun cukup ampuh dan tidak kalah hebatnya dibanding sebilah pedang.   Demi mempertahankan jiwa, sudah tentu bukan kepalang tenaga yang dia kerahkansehinggakainditangan itupun menjadi kaku keras.   Sayang sekali pedang Thay-siang justeru adalah Ih-thiankiam yang tajam luar biasa, jangankan hanya secarik kain, umpama pedang baja murni juga tak kuat menahannya.   Sudah tentu hal inipun cukup dimengerti oleh Ban hoa-kiam, tapi keadaan sekarang teramat gawat dan mendesak, terpaksa sekenanya dia berusaha menahan dan menangkis demi keselamatannya.   Kejadian berlangsung dalam sekejap saja, paderi Lama berkasa merah yang sejak tadi menonton diluar gelanggang, demi melihat Banhoa-kiam menghadapi bahaya sembari melompat mundur, sementara Thay-siang mengejar dengan serangan maut, tiba2 ia menggerung keras, kontan dia ayun sebelah tangannya menepuk dari kejauhan ke punggung Thay-siang.   Gerakan tiga pihak boleh dikatakan dilakukan dalam waktu yang sama, semuanya sama cepat lagi, apalagi Thay-siang terlalu bernafsu melukai musuh, sudah tentu tak terpikir bahwa orang lain bakal membokong dirinya.   Tabasan pedang berlalu, darahpun muncrat berhamburan, lengan kanan Ban hoa kiam kena ditabas kutung sebatas pundak.   Beruntung dia, masih sempat mengegos dengan segala kemampuannya di samping kain lengannya berhasil menahan sebagian kekuatan tabasan lawan, badan roboh terus menggelinding jauh ke sana.   Waktu Thay-siang mengendalikan luncuran pedang melukai musuh, saat itu pula terasa pundaknya mendadak ditepuk orang.   Inilah semacam pukulan yang tidak kelihatan bentuknya, datangnya juga tak mengeluarkan suara, padahal tubuhnya tengah terapung, laksana anak panah yang meluncur dan tak mungkin dihentikan.   Setelahpedang menabas musuh dan kakihinggapditanah, barudia merasakan akan serangan gelap dari musuh tadi, pukulan yang mengenai pundaknya tadi meski terasa enteng malah seperti tidak terasa, tapi luka dalamnya hakikatnya sudah teramat berat.   Inilah ilmu Toa-jiu-in dari aliran Ih-ka-bun (Yoga).   Kalau orang lain merasakan luka dalamnya sangat parah, tentu akan berusaha mengerahkan tenaga untuk menyembuhkan luka dalam sendiri, dengan bekal dan latihan Thay-siang, kemungkinan luka2nya masih terobati dan jiwa bisa tertolong.   Tapi dasar wataknya angkuh, keras hati dan suka menang, selamanya dia pandang rendah orang lain, sudah tentu dia tidak peduli akan keadaan diri sendiri dan ingin menuntut balas.   Begitu kaki hinggap di tanah, mengikuti putaran pedang tiba2 badanpun mengisar balik, mata2nya mendelik beringas di balik cadarnya, hardiknya keras.   "Kaukah yang membokong Losin."   Lama kasa merah yakin Toa jiu-insinkang yang dilancarkan tadi umpama lawan tidak mampus seketika juga pasti terluka parah, paling tidak isi perutnya remuk dan takkan mampu bertempur lagi, kenyataan Thay-siang masih kelihatan segar malah menantang.   Dia bergelak tertawa, serunya.   "Tidak salah, pukulan tadi memang hudya yang melancarkan." "Bagus sekali,"   Desis Thay-siang murka.   Mendadak ia melejit ke atas terus menerjang musuh.   Bahwa setelah terkena pukulannya, Thay-siang masih mampu melejit ke atas melancarkan serangan sehebat ini, keruan tidak kepalang kejut Lama kasa merah, lekas dia ayun tangan kanan serta menepuk sekuatnya.   Ilmu yang diyakinkan adalah ilmu Yoga, Lwekangnya sangat tangguh, tepukan yang dilandasi kekuatan besar ini terang berbeda dengan pukulan membokong tadi.   Maka segulung tenaga dahsyat segera menerjang lapisan sinar pedang..   Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Agaknya dia tidak tahu bahwa Thay-siang sudab kalap, jurus yang dilancarkan ini adalah "Naga ber-tempur di tegalan", jurus kedua dari Hwi-liong-kiam-hoat.   merupakan jurus paling kuat; dari paling hebat perbawanya.   Cahaya pedang ber-lapias kemilau itu tiba2 berubah bintik2 dingin laksana kunang2 beterbangan menghambur ke empat penjuru.   Setelah melancarkan dua kali pukulan, Lama kasa merah sudah menyurut mundur cukup jauh, tapi dua muridnya berdiri di kanan-kirinya tadi justeru terlambat bergerak, di mana sinar pedang berhamburan, seketika terdengar dua kali jeritan ngeri dibarengi darah muncrat ke mana2, kedua orang ini tertabas menjadi berkeping2 oleh samberan sinar pedang.   Waktu Thay-siang menarik pedangnya, dilihatnya Lama kasa merah sudah mundur setombak jauhnya, maka dia menghardik pula.   "Ke mana kau akan lari?"   Kembali dia menubruk maju. Sungguh mimpipun Lama kasa merah tak pernah menduga bahwa Thay-siang begini lihay, dengan mata sendiri dia saksikan kedua muridnya hancur lebur, ia menjadi murka juga, teriaknya kalap.   "Hud-ya takkan memberi ampun padamu!"   Belum habis bersuara, keduatangansudah memukultigakalisecaraberuntun.   Tiga pukulan ini dilancarkan dengan hati berang, maka kekuatan pukulannya betul2 dahsyat sehingga badan Thay-siang yang menerjang denganterapungdiudarajuga sedikittertahan.   Waktu Thay-siang menubruk kedua kalinya, kembali Lama kasa merah melontarkan pukulannya pula, badan Thay-siang tertolak berhenti.   Beruntun tiga kali Thay-siang berlompatan, di kala melancarkan serangan ketiga kalinya, jaraknya dengan Lama kasa merah tinggal beberapa kaki lagi, tiba2 ia meloncat lurus ke atas, mendadak ia berteriak nyaring menambah perbawa serangannya, dengan kepala di bawah dan kaki di atas dia menukik dengan tubrukan yang lihay, Ih-thiankiam ditangannya menaburkan cahaya perak yang membendung jalan mundur Lama kasa merah.   Kaget dan gusar pula Lama kasa merah, beruntun dia mundur tiga langkah, kedua tangan memukul ke atas susul menyusul, karena bertangan kosong, telapak tangannya yang lebar dan besar itu menyerupai kampak yang membelah sehingga menimbulkan letupan hawa yang dahsyat, letupan hawa ini semakin tebal menghimpun hawa dingin yang -membungkus sekujur badannya.   Maka tubrukan sinar pedang Thay-siang dari atas itu dapat ditolaknya kembali.   Kalau yang satu menggempur sekuat tenaga dan bertahan dengan kukuh, sementara yang lain menyerang dengan cara menubruk seperti elang menyamber ayam, sinar pedang berpusar kencang, kedua pihak bertahan kira2 setanakan nasi lamanya dan masih tetap setanding.   Kepala gundul Lama kasa merah sudah ditahuri butiran keringat, badanpun basah kuyup seperti kehujanan, padahal Thay-siang harus melancarkan serangan dengan badan terapung.   sudah tentu dia jauh lebih banyak menguras tenaga, lama2 sinar pedangnya menjadiguramdantidakselihay semula.   Melihat kesempatan baik ini, mendadak Lama kasa merah menghardik sekali, sekuatnya dia kerahkan tenaga dan menggempur dengan merangkap kedua telapak tangan mendorong ke atas.   Dengan rangkapan kedua tangan mendorong ke atas ini, maka timbullah kekuatan yang dahsyat, hawa serasa meluber menimbulkan deru yang gegap gempita.   Pada saat yang sama Thaysiang pun menjerit melengking, suaranya mengalun menimbulkan gema panjang, cahaya pedangnya yang hampir pudar tadi tiba2 menyala pula lebih terang, berubah selarik bianglala terus membelah turun ke bawah.   Kedua pihak serempak melancarkan serangan paling dahsyat yang mematikan dengan seluruh sisa kekuatan sehingga sinar pedang dan angin pukulan menimbulkan rentetan suara aneh.   Lekas sekalisinrarpedang dananginpukulanpunsirnatakberbekas lagi.   Setelah melontarkan pukulan terakhir dengan sisa kekuatannya, Lama kasa merah cepat2 melompat mundur, Kasa merah yang dipakainya tampak berlubang dan sobek di beberapa tempat oleh tusukandangoresanpedang, keadaannyatampakkonyol.   Thay-siangpun sudah berdiri tegak di tanah, rambutnya awut2an, cadar yang menutup mukanya sudah kabur entah ke mana, roman mukanya membesi hijau.   Kedua orang sama2 mengunjuk rasa lelah kehabisan tenaga, dada naik turun dengan napas tensenggal2.   Sesaat mendelik kepada Lama kasa merah, akhirnya Thay-siang bersuara lebih dulu.   "Anjing asing, berapa jurus lagi kau mampu menyambut pedangku?"   Sekali berputar, sinar hitam Ih-thiankiam kembali menerjang maju.   Hwi-liong-sam-kiam hakikatnya sudah dia yakinkan dengan sempurna, maka setiap kali melancarkan serangan, badan selalu melayang di udara, menambah perbawa serangan sehingga lebih hidup laksana naga sakti.   Dua gebrakan terdahulu sudah meyakinkan Lama kasa merah bahwa Lwekang Thay-siang tidak lebih unggul dari pada dirinya, kalau lawan tidak menggunakan Ih-thiankiam, pedang pusaka yang lihay, dia yakin dirinya pasti lebih unggul dan sejak tadi sudah merobohkannya.   Tapi setelah berlangsung dua gebrakkan barusan, dia insaf bahwa tenaga murni sendiri sudah terkuras terlampau banyak, untuk bertempur lebih lama jelas keadaan fisiknya tidak mengizinkan, maka dia pikir akan secepatnya mengakhiri pertempuran ini dengan rangsakan gencar.   Di luar dugaan Thay-siang juga mengandung maksud yang sama, malah terus mendahului, kali ini dengan jurus "naga sakti muncul dari mega,"   Hal ini betul2 di luar perhitungannya, maka dia membentak gusar.   "Biar Hud-ya mengadu jiwa dengan kau!"   Dengan telapak tangan kiri beruntun dia memukul dua kali, berbareng badan berkisar ke sebelah kiri.   Sinliong-jut-hun dilancarkan Thay-siang dengan segala kemahirannya, tekadnya teramat besar untuk membelah badan paderi asing ini untuk melampiaskan dendamnya, jelas kekuatan pedangnya yang tajam ini takkan mampu dibendung hanya dengan dua kali pukulan telapak tangan.   Ketika sinar pedang membelah tiba, Lama kasa merah sudah menyingkir mundur, tangan kanan sejak tadi telah disiapkan melontarkan pukulan Toa-jiu-in, sekali membalik dengan gerakan melintang miring tangannya menyampuk ke arah Thay-siang yang menubruk tiba, berbareng ia menyeringai dan membentak.   "Perempuan bangsat, lihat pukulan..."   Dia kira dengan menyurut mundur beberapa kaki sudah cukup jauh untuk menghindari hawa pedang Thay-siang.   Di luar tahunya bahwa Sinliong-jut-hun yang dikembangkan Thay-siang kali ini dilontarkan dengan badan terapung diudara, tapi karena sudah menjiwai ilmu pedang ini, maka gaya serang-annya dapat dia ubah sesuka hati sendiri, maka badan yang seharusnya terapung ke atas kini di ubah dengan meluncur ke depan.   Pada hal dengan meluncur lurus ke depan inipun baru merupakan gaya permulaan dari Sinliong-jut-hun, dan gerak susulannya adalah melancarkan serangan dari udara.   Dari sinilah diperoleh nama Hwi-liong-sam- kiam Hwi-liong atau naga terbang, karena ketiga jurus ini harus dilancarkan dengan badan terapung di udara.   Begitu meluncur tiba, melihat Lama kasa merah mengegos ke samping, diam2 Thay-siang menjengek, badan tiba2 berputar, berbareng pedangpun bekerja.   Kejadian bagai percikan api cepatnya dan sukar disaksikan dengan mata, tampak pancaran sinar hijau kemilau menyapu dengan dahsyatnya.   Lama kasa merah tak sempat berkelit lagi, terdengar lolong panjang yang mengerikan, di ma-na cahaya pedang itu menyamber lewat, badan kekar besar si Lama kasa merah seketika terpental roboh mandi darah.   Kejap lain Thay-siangpun sudah berdiri di samping mayat Lama kasa merah, nafsu membunuh yang menghiasi wajah Thay-siang sudah sirna, kini kelihatan pucat pias, untuk berdiripun dia harus bertopang pada pedangnya, dadanya turun naik menghembuskan napas berat dan sesak, terdengar ia bergumam.   "Anjing asing, akhirnya kau mampus dipedangku!"   Suaranya serak lirih dan lemah, badannya bergoyang dan akhirnya iapun roboh terjungkal.   Sementara itu, dengan sebilah pedang panjangnya Yong King- tiong sedang menunjukkan ketangkasannya, beruntun dia melancarkan Thianlo-kiam-hoat dari Kunlunpay yang telah lama putus di kalangan Kangouw, keempat Houhoat Hek-liong-hwe telah dijagalnya satu persatu, jubah hijaunya berlepotan darah.   demikian pula jenggot dan mukanyapun basah dan kotor oleh keringat tercampur percikan darah musuh.   Delapan jago pedang Hek liong hwe yang menonton di luar arena sama berdiri mematung dengan terbelalak, agaknya mereka takjub dan jeri melihat kehebatan Congkoan mereka, tiada seorangpun yang berani maju lagi.   Tiga kelompok pertempuran sengit yang ber-langsung di pinggir "kolam naga hitam"   Kini dua kelompok di antaranya sudah berakhir.   Kini tinggal Thi-hujin yang masih menempur Han Janto dengan segala kekuatannya, makin gebrak makin seru dan ramai.   Maklumlah kedua orang ditelurkan dari satu perguruan, sama2 hasil didikan Lohwecu yang tidak pilih kasih, apa yang diyakinkan Han Janto juga diyakinkan Thi-hujin, demikian pula sebaliknya, bergantung dari latihan dan penambahan variasi masing2 saja yang berbeda, apalagi taraf permainan mereka sudah sama2 mencapai puncaknya.   Ratusan jaurus kemudian, mereka tetap bertahan sama kuat.   Sudah tentu Thi-hujin lebih diburu nafsu untuk merobohkan lawan demi menuntut balas sakit hati sang suami, maka dia lebih getol menyerang, suatu ketika mulutnya melengking nyaring, sekujur badan seperti dibungkus sinar pedangnya terus menusuk lurus ke depan.   Yang di-lancarkan ini sudah tentu adalah Sinliong-jut-hun, salah satu dari Hwi-liong-sam-kiam.   Melihat lawan menggunakan Hwi-liong-sam-kiam, sudah tentu Han Janto tidak berani ayal, iapun bersiul panjang, badanpun terbungkus bayangan hitam gelap melambung ke atas, yang dia kembangkan juga jurus Sinliong-jut-hun.   Dua larik sinar pedang yang satu mencorong terang dan yang lain guram gelap menjulang tinggi ke udara, seperti bianglala yang menembus tabir matahari.   Mendadak terdengar dering nyaring benturan kedua senjata, percikan apipun bertahuran menghias angkasa.   Dua sosok bayangan orang sama meluncur turun, terpancar cahaya terang laksanarantaiperak disertaibenturan nyaring memekaktelinga.   Sekonyong2 selarik bianglala kembali menjulang ke udara disusul bianglala kedua juga melambung ke atas, di tengah udara kedua jalur bianglala saling bentur dan gubat menimbulkan gema suara yang ramai.   Untuk merebut kesempatan kedua orang berusaha saling mendahului, Hwi-liong-sam-kiam memang ilmu pedang yang harus dilancarkan dengan badan mengapung, tapi pelajaran yang diyakinkan keduanya, sama2 bersumber dari satu perguruan, maka bila yang satu melambung ke udara, lawannyapun ikut mengapung ke udara, salah satu tiada yang mau mengalah.   Begitulah dari permukaan bumi kedua orang bertempur sampai ke udara, dan dari udara kembali berhantam di atas tanah, keduanya masih terus serang menyerang mengembangkan tipu permainan masing2, tapi tiada yang lebih unggul atau asor, kekuatan tetap seimbang.    Walet Besi Karya Cu Yi Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini