Pedang Kiri Pedang Kanan 43
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Bagian 43
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya dari Gan K L Kata Kun-gi. "Ada sebuah hal pula, kau harus hati2," Pesan Yong King-tiong lebih lanjut. "di luar kota Sek-tek terdapat delapan kuil Lama, semuanya dikepalai paderi Tibet, mereka adalah murid2 dari aliran Ih-ka-bun, ilmu silat mereka menyendiri, konon waktu Ki Seng-jiang memimpin barisan bayangkari di istana raja pernah mengangkat seorang Lama sebagai guru, maka kuil2 Lama itu kemungkinan bersekongkolan dengan Ki Seng-jiang, hal inipun harus diperhatikan." Mendengar Ban Jin-cun mau pergi, maka Kho Keh-hoa tidak mau ketinggalan, sekarang dia baru dapat kesempatan bicara. "Lingheng sudah berjanji hendak mengajak Ban-heng, memangnya aku disisihkandalamtugas muliaini?" "Betul," Timbrung Tong Siau-khing. "Ling-heng, kalau ayah, Un-lopekdanCu-lopektidakjadipergi, makaakuharusikutpergi." Baru saja Kun-gi mau buka suara, tahu2 Bok-tan, Giok-lan, Tong Bun-khing, Un Hoan-kun dam Cu Ya-khim dan lain2 serempak juga menyatakan mau ikut. Hanya Pui Ji ping seorang yang tunduk kepala tanpa memberi komentar, sudah tentu hadirin tiada yang memperhatikan dia. Thi-hujin tersenyum pada hadirin, katanya. "Kaum muda memang suka bergerombol, tujuan kita bukan untuk tamasya, kalau banyak orang malah menarik perhatian musuh, begini saja, anak Gi boleh seperjalanan dengan Ban-siauhiap, tapi di tengah jalan harus berpencar, pura2 tidak saling kenal, Bok-tan boleh ikut bersamaku untuk memberi bantuan bilamana perlu kepada anak Gi, sementara Giok-lan selekasnya kembali ke Pek-hoa ciu (semenanjung seratus bunga), membubarkan Pek-hoa-pang, sementara para Cengcu diharap pulang membawa puteri masing2 ke Kanglam, kali ini betapapundilarang menyusul keJiat-hosupayatidak terjadisesuatu di luar perhitungan." Rencana yang diatur Thi-hujin sudah tentu tidak sempurna, tapi juga merupakan cara pemecahan untuk sementara, secara tidak langsung dia memperingatkan kepada Thong Thian jong. Un It-hong dan Cu Bun-hoa supaya lebih memperhatikan dam mengendalikan puteri2nya, betapapun Jiat ho adalah daerah kekuasaan kerajaan yang diperkuat dengan barisan bayangkari, jadi jangan disamakan sepertitempat tamasya. "Jadiibujuga maupergi?" TanyaKun-gi keheranan. Thi-hujin tertawa, katanya. "Kalau ibu juga pergi kan dapat memberi bantuan padamu", jangan kuatir pasti tidak akan menambah beban bagimu." "Ibu besan tidak usah kuatir," Timbrung Tong Thian jong, "biarlah kita tinggal di sini beberapa hari sambil menunggu ibu besan dam bakal menantu kita kembali lagi ke sini baru sama2 pulang mengurus pernikahan." "Nah, semua sudah dengar," Sela Un It-hiong, yang tidak punya tugas siapapun dilarang ikut pergi," Yong King-tiong menambahkan. "Baiklah kita atur begini saja, kita menunggu kabar baik di sini sambil mempersiapkan pesta pernikahan, dari-pada berpencar tak keruan paran." Keputusan sudah ditetapkan, walau Kho Keh-hoa, Tong Siau khing dan nona2 yang lain amat getol ingin pergi, tapi tiada seorangpunyangberanibuka mulut. "Kalau ibu tiada pesan lagi, anak ingin berangkat sekarang juga," Demikian Kun gi minta diri. Thi-hujin mengangguk, katanya. "Begitupun baik, berangkat lebih dini lebih cepatsampai ketepattujuan, besokpagi2 ibusegera menyusulmu." Lalu mereka menentukan cara dan tanda2 rahasia untuk mengadakan kontak. Kun-gi dan Ban Jin cun diharuskan ingat semua tanda2 rahasia itu, kemudian satu persatu diizinkan berangkat. Setelah Kun-gi berangkat lebih dulu, diam2 Thi-hujin panggil Ban jin-cun, dengan suara lirih dia memberi pesan entah apa kepada Ban Jin-cun, tampak anak muda, itu mengiakan lalu berangkat. Giok-lan mengajak Ci-hwi dan Hu-yong pamit pada Thi hujin dan lain, merekapun segera berangkat kembali ke Pek-hoa-ciu. Sisa yang lain menetap di Gak koh-bio, setelah makan malam, Pa Thiangi dan Ting Kiau juga pergi secara diam2, mereka memperoleh tugas untuk menyiapkan kereta dan kuda. Malam itu tiada kejadian apa2, hari kedua pagi2 benar Pa Thian- gi sudah kembali, langsung memberi laporan kepada Thi hujin. Ting Kiau sudah menyaru kusir dan menunggu di luar. Sementara Thi-hujin dan Bok-tan menyamar sebagai ibu beranak, setelah berpamitan merekapun meninggalkan Gak-koh-bio secara diam2. Kira2 menjelang tengah hari, Cu Ya-khim tampak berlari2 memasuki pendopo dan berteriak gugup. "Yah, celaka, Piaumoay minggat secara diam2." Cu Bun hoa kaget sekali, tanyanya. "Anak Khim, apa katamu? Ji ping ke mana?" "Waktu bangun tidur tadi pagi Piau-moay sudah mengeluh katanya badannya kurang sehat, barusan akan kutengok dia dikamarnya, tapi tidak kutemukan bayangannya, kemungkinan dia menyusul ke Jiat ho." Cu Bun-hoa berkerut kening, katanya sambil membanting kaki. "Anak ini, ai, kalau betul2 dia menyusul ke Jiat-ho, ini bukan main2. Ling-lote dan Ling-hujin tidak tahu akan hal ini, pasti bisa celaka dia." "Kemarin sudah kurasakan se-olah2 nona Pui dirundung persoalan rumit apa, mungkin karena Thi-hujin kemarin melarang orangbanyakikut, makadan menjadinekat." "Bukan begitu persoalannya," Ucap Cu Ya-khim sambil cekikikan. "Selama ini Piaumoay diam2 kasmaran kepada Piaukonya, jadi dia minggat dengan uring2an." "Anak perempuan, sembarang omong," Cu Bun-hoa segera menegur puterinya. Tong Bun-khing segera mendekati ayahnya serta berbisik sekian lamanya. Tampak Tong Thian-jong mengerut kening, katanya. "Kukira nona Pui belum pergi jauh, marilah kita membagi jurusan untuk menyusulnya kembali, umpama tidak ketemu juga harus selekasnya memberi kabar kepada ibu besan." "Usul Tong-loko memang benar," Sela Yong King-tiong. "Urusan jangan ditunda, marilah kita kerjakan dengan berpencar." "Kalau ketemu lalu bagaimana?" Tanya Un It-hong. "Kukira ibu besan pergi hanya membawa Bok-tan dan Ting Kiau, kalau terjadi sesuatu pasti kekurangan tenaga, apakah perlu kita menyusul lagi satu rombongan, dan secara diam2 memberi bantuan kepada mereka?" "Aku jarang berkecimpung dalam Bu lim di daerah Kanglam, biarlah aku saja yang berangkat," Un It-hong menampilkan diri. "Teman2 Kangouw yang kenal padaku juga jarang2," Cu Bun-hoa ikut bicara. "Baiklah kitabagibegini saja, Tong-lokotetapdi sini, Un-lokodan Cu-loko berpencar dalam dua rombongan, secara diam2 satu dengan lain harus selalu mengadakan kontak untuk mencari jejak nona Pui, ketemu atau tidak harus langsung maju ke Jiat-ho dan secara diam2 memberi bantuan dimana perlu kepada Ling-hujin, jalanan daerah ini aku cukup apal, cuma aku sendiri kurang leluasa ke Jiat ho. biarlah kubantu mencari jejak nona Pui di daerah yang berdekatan sini saja, bagaimana pen-dapat hadirin" Tong Thian-jong tertawa sambil mengelus jenggot, katanya. "Untuk menjagakedudukandisini, memangtepatpilihanjatuhpada diriku." Dia maklum bahwa Yong King tiong memilih dirinya memang tepat dan mengandang arti yang mendalam, karena sebagai Ciangbunjin keluarga Tong, tidak sedikit kaum persilatan dari aliran putih dan golongan hitam yang mengenalnya, bahwa dirinya mendadak muncul di Jiat-ho pasti menarik perhatian banyak orang, maka lebihbaik diaberjagadisini saja. Un It-hong segera berkata. "Baiklah kita atur demikian, aku dengan jite (Un It kiau) dan anak Hoan satu rombongan, sementara Cu-heng dan puterinya satu rombongan." Kho Keh-hoa cepat menimbrung. "Wanpwe ingin pergi bersama Cu-cencu." Diam2 Tong Bun-Khing menjawil engkohnya Tong Siau-khing segera menoleh ke arah ayahnya, katanya. "Yah, anak dan Ji-moay juga ikut pergi, dengan Cu-losiok." Tong Thian-jong mendengus sambil menarik muka. "Lagi2 adikmu yang membikin gara2." Terpaksa Tong Bun khing berteriak. "Yah, izinkanlah kami ikut berangkat?" Tong Thian-jong mengangguk, katanya. "Ya nona Un dan nona Bok-tan juga pergi, kalau puteriku tidak ikut pergi, bukankah orang lain akan merebut pahalanya? Sudah tentu ayah terpaksa menyetujui." "Yah!"seru Tong Bun-khingdengan jengahkarenadiolok2. Tong Thian-jong tergelak2, katanya. "Anak perempuan selalu berkiblat keluar, memangnya ayah salah omong?" "Baiklah, tak perlu banyak bicara," Ajar Cu Bun hoa. "kita harus lekas berangkat. Maka Un It hong dan Cu Bun hoa masing2 memimpin rombongannya terus berangkat, Yong King-tiong juga bawa kelima jago pedangnya menyusul belakangan. O O O Hou-pak-gau merupakan jalan penting keluar masuk tembok besar di sebelah barat laut, di kanan kirinya gunung gunung sambung menyambung tak berujung pangkal, tembok besar bagai ular raksasa menjalar di pegunungan yang turun naik itu, pintu2 gerbang sudah tentu didirikan di pegunungan itu pula, lebarnya cukupuntuk lewatsatukereta, keadaandisini cukupberbahaya. Untuk wilayah Jiat-ho, Hou-pak-gau merupakan pintu gerbang utama hubungan langsung antara Jiat-ho dengan kotaraja, maka setiap hari orang dan kendaraan yang lalu lalang di sini cukup ramai. Tatkala itu menjelang magrib, sang surya sudah hampir terbenam, burung sama terbang kembali ke sarang, barisan keretapun beriring sedang kembali memasuki kota supaya tidak kemalaman dijalan. Pada saat begitulah tiba2 terdangar suara kelintingan berpadu dengan derap tapal kuda tengah berpacu kencang keluar dari Hoa pak-gau ke arah utara, agaknya penumpang kuda itu ada urusan penting, pecutnya diayun berulang kali membedal kudanya semakin kencang, jalan pegunungan yang berdebu itu seketika menjadi berhamburan sehingga orang2 yang beramai mengayun langkah mau masuk kota sama mencaci kalang kabut. Penunggang kuda itu tak peduli dengan caci maki orang, kudanya tetap dibedal kencang dan sekaligus dilarikan puluhan li. Setelah melewati suatu tempat yang bernama La hay-kou penunggang kuda itu merogoh saku mengeluarkan sebuah panji kecil segi tiga terus diayun kian-kemari ke arah hutan di lereng gunung sana, mulutpun berteriak. "Perhatian, sudah datang." -Belum habis bicara, kedua kakinya mengempit perut kuda terus dibedal pula ke depan. Kira2 semasakan air kemudian, dari kejauhan terdangar pula derap tapal kuda yang berlari pelan2 mendatangi, kiranya ada dua ekor kuda yang jalan beriring. Yang di depan adalah kuda warna coklat mulus. di belakangnya adalah kuda warna ceplok putih hitam, kudanya kuda pilihan yang kekar, cuma dilarikan pelan2, jelas kedua penunggangnya memang tidak begitu pandai naik kuda. Meski lambat lari kuda toh lebih cepat daripada orang berjalan, kejap lain kedua kuda itupun sudah tiba didepan hutan. Jarak semakin dekat dan kelihatan penunggang kuda coklat itu adalah pemuda berbaju sutera, usia-nya belum ada dua puluh, alisnya tebal, matanya besar bercahaya, bibirnya merah, kuncir hitam yang cukup besar menjuntai di belakang punggungnya, sungguhgagahdan menariksekali. Yang berkuda ceplok hitam-putih adalah kacung berusia enam belasan, wajahnya bersih dan cukup cakap juga, gerak geriknya tampak cerdik. Majikan dan pelayan dua orang ini jelas adalah anak bangsawan entah keluarga mana di kotaraja yang hendak buru2 masuk ke kota. Tatkala kedua kuda tunggangan mereka hampir mendekati hutan, tiba2 dari dalam rimba berkumandang suitan nyaring melengking. Segera muncul bayangan tujuh delapan orang laki2 berkedok seperti burung terbang melayang hinggap di tengah jalan, golok di tangan mereka tampak mengkilap, cepat mereka berpencar mengurung kedua orang penunggang kuda. Sudah tentu pemuda baju sutera itu menjadi ketakutan, hampir saja dia terjungkal jatuh dari punggung kudanya, giginya berkrutuk saling beradu, katanya gemetar. "Ka .....ka.....kalian.... .mau..... .. mauapa?" Pemimpin rombongan laki2 berkedok membentak. "Jangan cerewet, lekas turun, tuan besar hanya ingin harta tak mau nyawa. kalau kau masih ingin hidup tinggalkan harta bendamu, tuan akan mengampuni jiwa kalian dan boleh lekas masuk kota." Pemuda baju sutera mengiakan berulang sambil melorot turun, tapi segera terjungkalbergulingan saking lemaskakinya. Kacung yang berada di belakangnya juga melompat turun dengan ketakutan, lekas dia memburu maju memapah majikannya, serunya gemetar. "Kongcuya, bagaimana baiknya?" -saking takut kedua lututnya juga lemas tak bertenaga, ada keinginan memapah majikannyatahu2diaikutterjungkalroboh sekaliansalingtindih. Seorang lelaki berkedok menghampiri dengan melotot, sementara pemimpin orang2 berkedok itu mengambil buntalan di punggung kuda terus dibuka, lainya kecuali berapa perangkat pakaian masih ada sebuntal uang emas lima puluh tahil. Sorot mata laki2 ini tampak mengunjuk rasa girang, tapi dia lantas mendengus hardiknya. "Anak bangsawan yang keluyuran dari kotaraja masa hanya membawa sangu sedikit ini? Bagaimana kita harus membagi hasil?" Laki2 bergolok yang menatap kedua majikan dan pelayan itu mendekat serta menodongkan golok-nya, bentaknya. "Lekas katakan, masih ada barang lain di badanmu?" Melihat keadaan gawat, pemuda baju sutera lekas berteriak. "Ceng-ji, lekas ......uang perak perak dikantongmu keluarkan semua." Dengan tangan gemetar kacung itu merogoh kantong dan mengeluarkan uang emas dan beberapa keping uang perak dan diletakan di tanah, katanya. "Semua ......semua ada ...... ada disini." "Hanyainisaja?" Laki2bergolok itu menyeringai. Kacung itu ketakutan, mukanya pucat kuning, sahutnya. "Betul . ..... tiada lagi." Laki2 bertopeng itu menjadi berang, golok dia tempelkan ke leher pemuda baju sutera, ancamnya. "Kalau mau hidup lekas katakan, di mana kau simpan uangmu?" Pemuda baju sutera semakin lunglai ketakutan, mukanya seperti mayat, mulut megap2 dan bersuara lemah. "Toaya, am ....... ampun!" Kacungnya merangkak dan menyembah, serunya. "Tuan2 besar harapmaklum...... Kongcu maupulang ....... uang sangunya sudah habis di tengah jalan, sungguh ....... hanya itu saja yang masih ada." Menyeringai pemimpin rombongan itu, katanya. "Agaknya sebelum melihat peti mati kalian tidak akan menangis, tuan besarmu. ." Takut luar biasa pemuda baju sutera itu, ia berteriak. "Ampun, am... ampun?" Pada saat gawat itulah "tring", tiba2 golok yang mengancam leher pemuda baju sutera itu mencelat, belum lagi pemegang golok itu sempat berteriak kaget, tahu2 goloknya sudah terbang jauh. Terdengar seorang mendengus. "Begal bernyali besar, berani beroperasidijalan raya dekat kota raja?" Sekilas tampak mencorong sorot mata pemuda baju sutera yang masih lunglaiditanah. Kala itu hari sudah mendekati petang, kejadian teramat mendadak, serempak kawanan begal berkedok itu melengak, mereka menoleh kesana. Tampak dari arah Ko-pak-gau entah sejak kapan berdiri seorang laki2 muka merah, jubah panjang warna biru yang dipakainya sudah luntur, terbuat dari kain kasar pula, jelas dia orang dari kalangan kurang mampu. "Saudaradarigolongan mana?"hardik pemimpin begal. Laki2 jubah biru luntur itu menyahut angkuh. "Aku bukan orang dari golongan manapun." Sekilas mengerling ke arah laki2 jubah biru, pemimpin begal menjengek. "Saudara agaknya bukan penduduk setempat, kuharap kautidak mencampuriurusanoranglain, menyingkirlah! Laki2 jubah biru bergelak tawa, katanya. "Setiap orang di kolong langit ini boleh mengurus apapun yang terjadi di kolong langit ini, akutidak senang melihatcara membegaldengan kekerasanbegini." Pemimpin begal terbahak2, katanya. "Anak muda, kenapa tidak kau pentang matamu, memangnya kau belum pernah dengar nama besar Jit hiong (tujuh jagoan) dari Ko-pak-gau?" -Waktu dia mengulap sebelah tangan, dua laki2 berkedok segera mengayun golok menubruk ke arah laki2 jubah biru itu. Keruan pemuda baju sutera kaget. teriaknya kuatir. "Kalian tak boleh membunuh orang" "Hanya dua saja yang maju masih belum tandinganku," Ejek laki2 jubah biru. Waktu bicara ke-dua orang berkedok itupun sudah menubruk tiba, tanpa bicara mereka ayun golok terus membacok dan menabas. Jangankan mengawasi, melirikpun tidak laki2 jubah biru atas serangan kedua golok ini, ia tidak berkelit juga tidak mengegos, waktu mata golok hampir mengenai badannya, tiba2 tangan kanan meraih, sebat sekali pergelangan tangan laki2 sebelah kanan yang pegang golok dia betot terus didorong ke kiri. Hakikatnya tidak terlihat jelas, tahu2 golok dari orang itu sudah didorong menubruk ke sebelah kiri, goloknya terayun kencang melintang. "trang", dengan tepat dia tangkis bacokan golok temannya yang menyerang dari sebelah kiri. Keduanya sama tergetar sakit tangannya oleh benturan keras ini, hampir saja golok tak kuasa dipegang lagi, serempak mereka tertolak mundur dua langkah. Hanya segebrak saja keduanya sudah kecundang, sudah tentu mereka tidak terima, sembari menghardik kembali mereka putar golok menyerbu pula. "Manusia yang tidak tahu diri," Jengek laki2 jubah biru. Tiba2 badannya berputar, kaki kanan terayun menyapu kencang. Gerak sapuan kaki secepat kilat, belum lagi kedua laki2 berkedok itu menubruk tiba, dua2nya sudah tersapu jungkir-balik dan mencelat dua tombakjauhnya. Celakalah mereka menggelinding ke lereng gunung, meski tidak sampai terluka parah, tapi tulang seluruh tubuh serasa retak, setengah harian mereka menjerit kesakitan tak mampu bergerak. Kaget dan gusar pemimpin begal, sambil ang-kat tinggi golok bajanya dia membentak. "Semua maju, cacah hancur tubuh keparat ini!" -Lima orang berkedok serentak merubung maju, sinar golok kemilau segera menyambar. Pemuda baju sutera dan kacungnya kini sudah berdiri, malah mereka tidak menampilkan rasa takut lagi. Kini kedua orang ini dapat menonton, kelima orang berkedok bagai lima ekor harimau kelaparan ingin menerkam mangsanya, mereka menubruk sambil ayungolok membacok dan membabatserabutandarisegalaarah. Tapi laki2 jubah biru itu tetap tenang2, di antara gerakan kedua tangannya, dengan telak tangan kanannya dapat menepuk pundak kiri laki2 berkedok pemimpin begal itu, orang itu mengerang tertahan dan terpental. "bruk", dengan keras terbanting dua tombak jauhnya. Sekali tangan kiri meraih pula laki2 jubah biru tangkap pergelangan tangan seorang lagi, golok yang masih terpegang di tangan orang itu dia angkat untuk mengetuk golok orang ketiga yang menyerang tiba. "Trang", golok orang ketiga kontan mencelat, berbareng dia lepaskan pegangannya sehingga laki2 yang dia pegang itu roboh tersungkur mencium tanah. Sekaligus tiga musuh telah dia bereskan, begitu sikut kanan bekerja, dia sodok pula orang ke empat tepat di bawah ketiaknya. Orang inipun mengerang kesakitan, dengan mundur sempoyongan dia mendekap perutnya sambil menungging. Kembali lengan baju si jubah biru mengebut, dengan telak ujung lengan bajunya menggubat golok orang kelima. Kali ini kepandaian yang dia unjukkan lebih menakjubkan lagi, betapa keras dan tajam golok baja itu, tapi entah mengapa, hanya sekali kebas golok lawan sudah tergulung. " Bruk", tahu2 golok besar itu berubah selarik sinar kemilau terbang tinggi meluncur ke dalam hutan dan lenyap tak keruan paran, pemilik golok sendiri sampai berdarah tangannya, cepat dia melompat mundur sambil mendekap tangan sendiri. Kejadian ini terlalu panjang diceritakan, padahal hanya berlangsung dalam sekejap saja. Bagi pandangan si pemuda baju sutera dan kacungnya, begal2 yang garang itu tahu2 lantas kalang-kabut dihajar oleh penolongnya. Laki2 jubah biru tidak bertindak lebih jauh, dengan berdiri menggendong tangan dia tertawa lantang. "Jago Kok-pak-gau apa segala, kiranya hanya begini saja, malam ini hanya sedikit kuberi peringatan, kalau berani melakukan pembegalan dan mencabut jiwa orang, awas bila kebentur di tangan-ku lagi pasti tidak kuberi ampun." Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lekas pemimpin begal merangkak bangun, setelah menjemput goloknya, tanpa bicara dia memberi tanda kepada keenam saudaranya terus ngacir. Melihat kawanan begal sudah pergi, bergegas kacung itu membenahi barang mereka yang tercecer di jalan. Pemuda baju suterapun menghela napas lega, dia menghampiri serta menjura kepada laki2 jubah biru, katanya. "Syukur tuan telah menolong kami berdua, budi pertolongan jiwa ini takkan kulupakan selamanya, harap terimalah pujihormatku." Lekas laki2 jubah biru balas menjura, katanya. "Berat kata2 Kongcu, kawanan begal ini berani beroperasi di daerah dekat kotaraja, mereka patut dihajar adat, apalagi kebentur di tanganku, sebagai kaum persilatan wajib kubantu yang lemah dan menindas yang lalim. Selanjutnya kuyakin mereka pasti takkan berani bertingkah pula ditempat ini, silakan Kongcu melanjutkan perjalanan, Cayhe juga ingin lekas sampai ke tempat tujuan, mohon pamit," Habis berkata dia menjura terus putar badan dan melangkah pergi. "Tunggu sebentar saudara," Seru pemuda baju sutera. Laki2 jubah biru berhenti, tanyanya menoleh. "Kongcu masih ada urusan apa?" "Saudara seorang pendekar yang membantu kaum lemah dan membela kebenaran. Pernah kubaca dalam hikayat para pendekar di jaman dahulu, kukira jaman sekarang sudah tiada kaum pendekar segala, baru hari ini bertemu dengan saudara sehingga mataku benar2 terbuka, sungguh beruntung sekali aku ini. Kini cuaca sudah hampir gelap, saudara jelas sudah tak keburu masuk kota, tak jauh di depan adalah An kiang tun, umpama saudara buru2 melanjutkan perjalanan juga harus cari penginapan, maka menurut hemat Siaute, bagaimana kalau saudara kuundang ke sana untuk makan minum bersama sambil mengobrol, sudikah kau memberi muka?" Melihat orang memohon dengan tulus dan jujur, tanpa terasa dia tertawa, katanya. "Kongcu sudah bilang demikian, bagaimana pula aku berani menolaknya? Memang Cayhe akan menginap di Ankiang-tun, kalau undangan Kongcu kutolak, rasanya kurang hormat." Pemuda baju sutera kegirangan, serunya. "Saudara sudi memberi muka, sungguh menyenangkan," Ia mengawasi laki2 jubah biru, lalu berkata pula. "Kita bertemu di tengah perjalanan bukan lantaran pertolongan saudara tadi, yang terang kita agaknya memang ada jodoh, panggilan "Kongcu" Padaku sungguh tak berani kuterima, kalau sudi biarlah kita saling membahasakan saudara saja, entah bagaimana pendapatmu?" "Cayhe orang persilatan yang kasar, bagaimana ... ... " "Aku yang muda Pho Kek-pui, kalau saudara sudi boleh panggil akuKekpuisaja, entahsiapanamadarishesaudarayang mulia?". "Cayhe Lim Cu jing." "Kiranya Lim heng, malam sudah tiba, marilah kita berangkat saja. Lim-heng." "Boleh Pho-heng naik kuda saja," Ucap Lim Cu jing. Sudah tentu Pho Kek pui tidak mau naik kuda, katanya. "Dari sini tak jauh ke An-kiang tun, kebetulan mendapat teman Lim-heng, biarlah kita jalan kaki saja sambil ngobrol " -Lalu dia berpaling memberi pesan kepada kacungnya. "Ceng-ji, bawalah kuda berangkatlah lebih dulu ke An-kiang-tun, mintalah Ban-an-can meluangkan dua kamar bersih untuk kami, suruh pula siapkan beberapa macam hidangan kegemaranku, malam ini aku akan ngobrolsemalamsuntuk dengan Lim-heng." Sambil mengiakan kacung itu cemplak kuda terus dibedal ke depan, Pho Kek-pui mengiringi Lim Cu-jing berjalan kaki sambil ngobrol panjang lebar, Terasa oleh Lim Cu jing bahwa pemuda belia ini bukan saja sikapnya ramah, tutur katanya juga lembut, terpelajar, pengetahuannya cukup luas, sehingga percakapan mereka semakin cocok dan intim. Tiba di An-kiang-tun, lampupun telah menyala di mana2, toko2 kecil di pinggir jalan sudah tutup pintu semuanya, hanya kelihatan beberapa sinar pelita masih menyorot keluar dari sela2 pintu jendela, tak jauh di muka tampak sebuah lampion warna kuning dengan sinar guram bergoyang tertiup angin malam, di sanalah letak Ban-an-can, sebuah hotel merangkap rumah makan. An-kiang-tun hanya sebuah tempat persinggahan kaum musafir yang kemalaman di tengah perjalanan, tapi karena letaknya tepat di tengah antara Ko-pak-gau dan Lian-ping, banyak kaum pedagang yang terpaksa nginap di sini, maka jalan raya yang ramai ini menjadi pusat perbelanjaan penduduk setempat. Setelah tutup toko, penduduk suka keluyuran di luar mencari angin dan jajan di warung2, sudah tentu di sini ada pula sarang judi dan perempuan yang siap menghibur laki2 yang kesepian. Ban-an-can memiliki dua macam kamar, kamar biasa dan kamar istimewa, kamar istimewa ini biasa dikhususkan untuk kaum perempuan bangsawan atau isteri pejabat yang kebetulan nginap di hotel kecil ini, di seberang jalan ada pula sebuah rumah makan, meskitidakbesar, tapi menyediakan delapan meja juga. Kamar istimewa Ban-an-can malam ini seluruhnya diborong Pho- kongcu. Kacung cakap itu bersama seorang pelayan hotel telah menunggu di muka pintu, melihat Pho-kongcu datang bersama, Lim Cu-jing, lekas dia memburu maju serta menjura, katanya. "Lapor Kongcu, hamba sudah pesan kamar dan hidanganpun sudah siap, silakan Kongcu masuk kedalam." Pelayan juga maju menyambut serta membungkuk. "Silakan para Kongcu!" Pho Kek-pui berpaling, katanya. "Silakan Lim-heng." Lim Cu-jing balas menyilakan orang, akhirnya mereka masuk bersama keruang depan, tertampak ada beberapa meja, keadaan rada sepi, banyak meja yang kosong, meja yang terbesar dan terletak di tengah tampak sudah siap menghidangkan beberapa macam masakan. Ceng-jidanpelayansama2 melayani mereka makan minum. Pho Kek-pui silakan Lim Cu-jing minum dan makan sambil ajak bicara. "Lim-heng, ke manakah tujuanmu?" Lim Cu-jing hirup secangkir arak lalu menyahut. "Ke Jiat-ho." "Untuk apa Lim-heng ke Jiat-ho?" "Ada seorang paman Cayhe membuka Piau-kiok disana, khusus mengantar barang keluar perbatasan, Cayhe sudah lama berkelana di Kangouw, selama ini tidak membawa hasil apa2, maka ingin kesana mencaripekerjaantetapsaja." Pho Kek-pui mengerling, sorot matanya menampilkan rasa gegetun, mulutnya sudah terbuka tapi urung bicara, tapi akhirnya toh dia berkata juga. "Dengan bekal kepandaian Lim heng yang tinggi ini hanya mau bekerja dalam sebuah Piau-kiok, apakah tidak membenamkan masa depanmu sendiri?" Lim Cu-jing tertawa, katanya. "Cayhe seorang Kangouw, terpaksa harus mencari hidup dalam percaturan dunia persilatan, bekerja di Piaukiok hanyalah jalan satu2nya yang dapat kutempuh?" "Walau Siaute baru pertama kali ini bertemu dengan Lim-heng, tapi rasanya kita seperti sahabat lama saja, kita sudah saling membahasakan saudara lagi, bila Lim-heng sudi pergi ke kotaraja, Siauteakanbantu mencarikan pekerjaandisana." Lim Cu-jing menggeleng, katanya tertawa. "Banyak terima kasih atas kebaikan Pho-heng, kota-raja adalah kota mewah, orang Kangouwsepertidiriku inibelumtentucocokhidup dikotaramai itu. Ceng-jiangkatpoci, dia isi penuhpulacangkir keduaorang. Pho Kek-pui angkat cangkir dan berkata. "Budi pertolongan Limheng yang besar tak berani Siaute bilang akan membalasnya, biarlah kuaturkan secangkir arak ini sekaligus untuk merayakan persahabatan baru kita." -Lalu dia tenggak habis lebih dulu araknya. Lim Cu-jing mengiringi minum, katanya. "Kita kan sudah bersahabat, kalau Pho-heng selalu bicara soal menolong jiwa segala, apa tidak merikuhkan kiranya?" Pho Kek-pui tertawa, katanya. "Lim-heng benar, Siaute memang pantas dihukum " Setelah Ceng-ji mengisi penuh cangkir mereka, kembali dia tenggak habis secangkir, tanyanya. "Di rumah Lim-heng masih punya famili siapa?" "Di rumah masih ada ibunda seorang saja." Berputar bola mata Pho Kek-pui, katanya. "Berapa usia Lim- heng, belum berkeluarga bukan?" Setelah dua cangkir masuk perut, mukanya tampak mulai merah. "Cayhe berusia dua puluh empat, kaum kelana Kangouw, mana berani berumah tangga?" Tiba2 Pho Kek-pui tertawa pula, katanya. "Lim-heng lebih tua empat tahun dari aku, pantasnya aku panggil Toako padamu." -Sebelum Lim Cu jing bicara dia menyambung lagi. "Lim-heng begini gagah dan serba pintar, ada sepatah kata ingin kuutarakan, entah boleh tidak?" "Pho-heng boleh bicara saja." "Siaute punya seorang adik perempuan, tahun ini berusia sembilan belas, Siaute tidak berani mengagulkan dia, tapi dapat dikatakan serba pandai dan cukup sempurna, kalau Lim-heng sudi Siaute suka membantumu ...." Lekas Lim Cu-jing menggoyang tangan, katanya. "Pho heng suka berkelakar, Cayhe seorang gelandangan Kangouw., sekali2 tak beranipikirkansoal nikahsegala." "Kenapa Lim-heng merendahkan derajat sendiri, seorang pahlawan tidak dinilai keturunannya, Siaute sudah bilang Lim-heng pasti bukan orang sembarangan, kalau adikku bisa memperoleh suamisegagahkau justerudiayanguntung." "Pho-heng terlalu memuji, soal ini jangan dibicarakan lagi, Cayhe ...." Kebetulan pelayan mengantarkan hidangan pula, Pho Kek-pui mengawasinya dengan tertawa, tapi dia tidak berbicara lebih lanjut. Lekas sekali hidangan susul menyusul disuguhkan pula sampai memenuhi meja. Meski bukan masakan pilihan, tapi di tempat sekecil ini dapat menghidangkan masakan ini, boleh dikatakan lumayanlah. Menghadani hidangan yang memenuhi meja di depannya, Lim Cu jing menjadi rikuh, katanya. "Buat apa Pho-heng memesan masakan sebanyak ini?" "Siaute dapat berkenalan dengan Lim-heng, sungguh beruntung sekali, maka Siaute perlu merayakannya, malah Siaute kuatir hidanganinitidak memenuhiseleraLimheng." Haru Lim Cu jing dibuatnya, katanya. "Pho-heng terlalu baik padaku." Pho Kek-pui sudah mulai terpengaruh oleh arak yang ditenggaknya, mukanya tampak merah, matanya mengerling, tanyanya. "Orang jaman dulu sering menggunakan arak untuk mengikat persaudaraan, sejak kini Siaute pandang Lim-heng sebagai saha-bat karibku, apakah Lim-heng sudi pandang Siaute sebagai teman sehaluan pula?" "Pho-heng sudi pandang Cayhe sebagai orang sendiri, sudah tentu kuterima maksud baikmu ini." Pho Kek-pui berseru girang. "Apakah kau bicara setulus hati?" "Persahabatan yang sejati harus terukir di dalam hati, sudah tentu Cayhe bicara sejujurnya." "Bagus, Lim-heng, hayo habiskan secangkir lagi, malam ini Siaute benar2 sangat gembira." Begitulah mereka makan minum sampai Pho Kek-pui hampir mabuk, menyadari keadaannya yang sudah tak tahan lagi, Pho Kekpui berkata. "Lim-heng masih kuat minum, tapi Siaute tak tahan lagi, sungguh sayang. Mohon maaf, biarlah Siaute masuk kamar istirahat saja." "Betul, silakan Pho-heng istirahat saja," Ucap LimCu jing. Ceng-ji dan dua pelayan segera melayani Pho Kek-pui masuk ke kamarnya. " Kenapa kau tidak menungguku?" "Nona mau ke mana? "Kau menyamar lagi bukankah ka hendak menemuka pengejaranmu?" , u n "Betul, kenapa?" "Aku ikut, boleh tidak?" K n gi te teg n sah tn a menggeleng "Jangan non cant Malamitutiadaterjadi apa2, esokpagi waktu LimCu-jingbangun tidur dan membuka pintu, seorang pelayan sudah berdiri di depan pintu dan mengangsurkan sepucuk surat, katanya. "Lim-ya sudah "Pho-kongcu ada urusan penting, sebelum fajar telah berangkat lebih dulu," Jawab pelayan. Lim Cu-jing heran, tapi dia manggut2. Pelayan segera berlalu, tak lama kemudian datang pula membawa sebaskom air untuk cuci muka. Lim Cu-jing membuka sampul surat, dia keluarkan secarik kertas yang ditulis dengan huruf yang bergaya indah dan rapi, bunyi surat itu demikian. Diaturkan kepada saudara. Cu jing yang mulia, Persahabatan di rantau sungguh merupakan pengalaman yang menyenangkan selama hidup Siaute. Karena ada urusan penting, pagi2 Siaute sudah berangkat lebih dulu, kuatir mengganggu tidur Lim heng, terpaksa kutinggalkan sepucuk surat ini, dalam perjalanan ke Jiat-ho, bila Lim-heng gagal mendapatkan pekerjaan, di sini terlampir sepucuk surat untuk seorang pembesar kenalanku. boleh saudara ke sana dan mencobanya, kuda seekor kutinggalkan supaya Lim-heng gunakan, demikian pula lima puluh tahil emas ini untuk sangu di perjalanan, untuk ini sudi kiranya Lim-heng menerimanya. Hanyasekiansajayangdapatkuutarakan melaluisuratini, Salam hangat dari adikmu, Pho Kek-pui. Habis membaca surat ini, diam2 Lim Cu-jing membatin. "Dia punya hubungan baik dengan penguasa di Jiat ho, memangnya dia bangsa Ki-jin?" Waktu dia merogoh ke dalam sampul, di dalam memang ada lempitan sampul surat yang lain dan bertuliskan. "Disampaikan kepada Hu-tok-jong pribadi."-Nadanya tidak begitu sungkan. Waktu sampul itu dia balik ternyata tidak direkat, keruan Lim Cu-jing semakin heran, maka dia keluarkan surat di dalamnya dan dibaca, tulisannya hanya sebaris yang berbunyi. "Dengan ini kuperkenalkan sahabatku Lim Cu-jing, harap dilayani semestinya, kebaikan yang diterimanya akan kurasakan juga." -Di bawah tulisan ada sebuah cap bergaris melingkar, waktu ditegasi kiranya dua huruf Boan. Nada surat yang satu ini bila dibanding dengan isi surat yang ditujukan dirinya sungguh sangat jauh bedanya, kalau surat untuk dirinya menyatakan penyesalannya harus berpisah dan betapa tebal rasa persahabatannya, tapi surat yang kedua ini bernada memerintahdariseorang atasankepadabawahannya. Pho Kek-pui, memangnya siapa dia? Segera Cu-jing lempit pula surat itu dan dimasukkan ke dalam sampul terus disimpan dalam kantong, setelah bebenah lalu dia keluar. Rekening hotel jelas sudah dibayar oleh Pho Kek-pui, di luar pelayan sudah menuntun seekor kuda dan menunggunya. Di depan pelana kuda terikat sebuah buntalan warna ungu, bobotnya agak berat, kiranva berisi uang mas. Meski keberatan terpaksa Cu-jing terima juga barang tinggalan ini, sekenanya dia rogoh saku memberi sekeping uang perak kepada pelayan, kuda terus dibedal melanjutkan perjalanan. ooo(00dw00)ooo Kota Seng-tek terletak di barat propinsi Jiat-ho, sebuah kota pegunungan yang permai. Tahun ke-42 kaisar Khong-hi bertahta, dia mendirikan Pi-siok- san-ceng di sini, akhirnya dinamakan villa raja di Jiat-ho, bangunannya megah dan angker, letaknya di atas puncak yang menghadap danau dan membelakangi pegunungan yang indah permai. Meski kota pegunungan, tapi Seng-tek merupakan pusat pemerintahan di daerah ini. Terutama kaisar Khong-hi sering liburan di sini, tamasya dan berburu binatang. Kehidupan dalam kota cukup makmur ramai, meski kurang sepadan dibanding kotaraja, tapi tak kalah ramai dan makmurnya dari pada ibu kota propinsi lain. Kota ini merupakan pusat berkumpulnya suku bangsa Han, Mancu, Mongol, Tibet dan Uigur, orang2 yang berlalu lalang di jalan raya sama mengenakan pakaian adat suku bangsa masing2, meski berbeda bahasa dan tata cara, tapi mereka dapat bergaul dan bersahabat dengan rukun, masing2 berusaha menurut lapangan kerja sendiri, tak pernah terjadi pertikaian. Jadi kota gunung ini seperti sebuah perkampungan besar dari lima suku bangsa yang campur aduk, keadaan yang luar biasa ini takkan terdapat di kota2 lain. Jalan raya yang menjurus ke arah timur terhitung tempat yang paling ramai di seluruh kota, pedagang, restoran, berbagai macam toko serba ada di sini. Maklumlah Sengtek merupakan kota terbesar di daerah Ko-pak-gau, kaum pedagang dari segala penjuru sama berpusat di sini, kalau bukan berbelanja juga mesti menginap dan bertamasya di kota pegunungan yang sejuk dan nyaman ini, sudah tentu keadaan dalam kota semakin ramai. Di jalan raya timur yang agak menjurus ke ujung sana terdapat sebuah gang kecil yang melintang bernama Tam-hoa-pui, agar mengikuti perubahan jaman, gang kecil ini sekarang dinamakan Khek-can oh-hui, karena di gang kecil ini banyak terdapat hotel atau losmen. Di sini ada sembilan hotel besar kecil, yang terbesar adalah Tang sun-can, pintu luarnya saja begitu luas sampai menggunakan tujuh sayap pintu masuk, di dalamnya beberapa lapis pekarangan dan bangunan, bukan saja kamar2 di sini cukup baik, pelayanan pun istimewa, Tang-sun-ting yang terletak dibilangan paling depan merupakan bangunan yang mewah untuk tempat makan minum. tamu2 yang tidak menginap juga boleh makan di sini sesukanya. Kalau jalan raya timur ini paling ramai di seluruh kota, maka gang kecil dengan restoran Tang sun ting dari Tang-sun-can ini adalah paling menonjol di bilangan jalan raya timur ini. Padahal dalam satu gang kecil itu ada sembilan hotel yang sama membuka restoran pula, konon setelah Tang-sun-ting penuh sesak dan tak kuasa melayani arus tamunya baru tamu2 yang datang belakangan mau masuk ke restoran yang lain, tapi restoran yang lain setiap hari juga selalu penuh sesak. Usaha dalam satu bidang adalah jamak kalau bersaing, saling sirik dan dengki, tapi cukong atau pemilik Tang-sun-can ini kabarnya mempunyai asal-usul yang tidak sembarangan, bukan saja di seluruh wilayah Jiat-ho dia cukup terpandang, di kalangan pemerintahan juga dia cukup dihargai, hubungan cukup intim dengan para pejabat yang berkuasa dari kelas rendah sampai tingkat tinggi, kabarnya majikan Tang sun can memang punya tulang punggung yang kuat di kotaraja. Seorang tokoh yang kaya raya, yang punya tulang punggung para pejabat lagi adalah jamak kalau tersohor dan dikenal baik oleh khalayak ramai di Jiat-ho, kenyataan justeru tidak demikian. Anehnya, sampaipun pegawai Tang-sun-can sendiri, kecuali tahu majikan mereka dipanggil Kan loya, segala sesuatu prihal majikannya tiada seorangpun yang tahu. Kan-loya se-olah2 tokoh misterius, orang yang cuma berada di belakang tabir, maka tiada seorangpun yang tahu dan pernah melihat mukanya. Oleh karena itu timbul rekaan orang bahwa pemilik Tang sun-can adalah salah seorang pembesar di kotaraja yang menanam modalnya di sini, sementara Kan-loya tidak lebih hanyalah salah seorang budak yang dipercaya saja untuk mengurusi perusahaannya. Sudah tentu ini hanya rekaan saja, siapapun tiada yang bisa membuktikannya. Pada siang hari itu, di depan pintu Tang-sun-can datang seorang laki2 bermuka merah, usianya paling2 baru empat likuran, mengenakan jubah biru yang sudah luntur warnanya, tapi kuda yang ditungganginya ternyata seekor kuda pilihan yang gagah kekar. Sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia kaum persilatan. Pelayan yang bertugas di luar pintu segera menerima tali kendali, sementara seorang pelayan lagi maju menyambut sambil menjura. "Tuan mau menginap atau mau makan siang sekedar melepas lelah?" "Mau menginap," Sabut laki2 muka merah. "Tuan silakan!" Pelayan munduk2 sambil menyilakan tamunya masukke dalam. Laki2 muka merah segera melangkah masuk ke dalam, pelayan berkata pula. "Tuan mau kamar istimewa atau kamar biasa?" "Kamar istimewa," Sahut laki2 muka merah singkat. Mendengar orang mau menginap di kamar istimewa, semakin lebar tawa pelayan, berulang dia mengiakan, katanya. "Tuan tamu she apa dan datang dari mana." Laki2 muka merah kurang senang, katanya. "Apa2an, nginap di hotel juga harus laporan segala?" "Harap tuan tidak salah paham," Lekas pelayan menjelaskan, "soalnya pihak berwenang di sini semalam mengeluarkan maklumat, barang siapa menginap dihotel harus didaftar, nama dan asal usul serta alamat asalnya, memang demikianlah ketentuan setiap tahun bila tiba musimnya orang berburu, bagi tuan2 tamu lama pasti sudah paham, mungkin tuan baru sekali ini datang ke Jiat ho?" "O," Laki2 muka merah mengangguk maklum. "Baiklah, aku Lim Cu-jing, datang dari Kanglam. Sudah cukup?" "Tuan memang suka berterus terang, soalnya daftar harus dilaporkan, harap tuan tidak kecil hati. Mari kutunjukkan kamarnya." Pelayan segera bawa Lim Cu jing memasuki sebuah kamar kamar istimewa dari Tang-sun-can memang betul2 istimewa, bukan saja kamarnya besar luas, jendelanya juga berkaca dan pintu angin serba ukiran, perabotnya mewah dan antik, kain seprei dan bantal guling semuanya baru. "Bagaimanadengan kamar inituan?" Tanyapelayan. Lim Cu jing manggut, pelan2 dia melangkah masuk. Pelayan segera menuang secangkir teh dan disuguhkan, katanya. "Tuan masih ada pesan apa?" "Sudah tiada," Sahut Lim Cu-jing. Pelayan segera mengundurkan diri sambil menutup pintu dari luar. Lim Cu-jing merebahkan diri di ranjang sesaat lamanya, kemudian membuka pintu dan keluar menuju ke Tan-sun-ting. setelah makan siang baru dia tanya kasir di mana letak jalan "Rejeki", sudah itu lalu dia berlenggang ke jalan raya. Letak jalan Rejeki sudah mendekati pintu gerbang kota selatan, di sini keadaan agak sepi dan tenang, kecuali ada sebuah toko buku daritoko kelontong, tiadaorang lain lagiyangberjualan. Sebetulnya Lim Cu-jing sudah jauh2 hari mencari tahu keadaan di sini, sudah tentu keadaan ini tidak membuatnya heran, sengaja dia mondar-mandir beberapa kali di jalan raya situ baru pelan2 memasuki toko buku, langsung dia menjura kepada seorang tua yang duduk di kursi serta menyapa dengan tawa. "Selamat siang Lotiang." Laki2 tua itu sedang berangin2 sambil mengisap pipa cangklongnya, melihat Lim Cu jing memasuki tokonya segera dia menyambut sambit tertawa lebar. "Siangkong mau membeli buku apa?" "Cayhe bukan mencari buku, mohon tanya kepada Lotiang, di jalan Rejeki ini ada sebuah Tin-wan Piaukiok, entah ke mana sekarang pindahnya?" Laki2 tua memandang Lim Cu-jing sekilas lagi, katanya. "Agaknya tuan baru pertama kali datang ke Jiat-ho sini? Tin-wan Piaukiok sudah lama tutup pintu." Lim Cu-jing pura2 melengak kaget, katanya menegas. "Tin-wan Piaukioksudah tutuppintu?" "Kira2 dua bulan yang lalu, Lo-piauthau Lim Tiang-khing meninggal dunia, maka perusahaan itu-pun menghentikan usahanya." Hou-pian-liong jiau ( cambuk harimau cakar naga) Lim Tiang- khing terhitung jago silat kenamaan di lima propinsi utara, Lionghou-ki ( panji naga harimau ) dari Tin-wan Piaukiok sudah jauh menjelajah keluar perbatasan selama tiga puluhan tahun dan belum pernah mengalami musibah apapun. Lim Cu-jing mengunjuk rasa kecewa, katanya sambil menjura. "Kalau begitu banyak terima kasih atas keterangan Lotiang," Segera dia mengundurkan diri. Beruntun dua hari Lim Cu-jing tinggal di hotel, karena iseng, maka dia sering keluyurandijalanraya. Hati ketiga tengah hari, waktu dia pulang ke hotel, baru saja dia melangkah masuk, pelayan lantas berlari menghampiri, katanya. "Lim-ya, pagi tadi datang seorang Jin-ya mencarimu, hamba bilang engkau sedang pergi, maka Jin-ya itu bilang siang ini akan datang lagi." Lim Cu jing heran, di Jiat ho boleh dikatakan dia tidak punya seorang kenalan siapapun, maka dia bertanya. "Apa dia tidak memperkenalkan namanya?" "Tidak, Jin-ya itu cuma bilang teman baikmu." Lim Cu-jing berpikir katanya. Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aneh, Cayhe selamanya tidak punya teman she Jin." "Mungkin engkau lupa, untung dia tadi bilang mau datang lagi siang ini." Lim Cu jing mengiakan dan kembali ke kamarnya. Pelayan segera mengaturkan minuman. Lim Cu-jing tidak tahu siapa orang she Jin itu? Untuk keperluan apa pula mencari dirinya? Sehabis minum baru saja dia duduk di kursi di dekat jendela, didengarnya orang mengetuk pintu, pelan2 daun pintu terpentang, kepala pelayan tadi tampak menongol, katanya dengan tertawa. "Lim-ya, tuan Jin itu sudah datang mencarimu lagi." Waktu Lim Cu jing berdiri, pelayan sedang berkata pula di luar pintu. "Silakan Jin-ya!" Maka tertampaklah seorang laki2 berusia sekitar lima puluhan mengenakan jubah sutera panjang warna biru tua melangkah masukdengan pelahan. Lim Cu-jing yakin dirinya tidak pernah kenal laki2 ini, tapi karena orang sudah masuk terpaksa dia menyambut kedatangannya. Sebelum Lim Cu-jing buka suara laki2 itu sudah tertawa sambil menjura, katanya."Tuan initentunyaLim-tayhiap?" "Cayhe memang betulLim Cu jing." "Aku yang rendah Jin Ji-kui, pagi tadi aku sudah kecelik. majikan kami sudah tak sabar lagi, baru saja habis makan siang kami didesak pula datang kemari, syukurlah bisa ketemu dengan Limtayhiap. Haha, berhadapan muka lebih jelas dari pada mendengar namanya, sungguh menyenangkan dapat berkenalan dengan Limtayhiap." Melihat sikap orang yang ramah dan berseri, kata2nya mengumpak lagi, diam2 Cu-jing merasa bingung, lekas dia balas menjura dan berkata.. "Jin-lotiang terlalu memuji, pagi tadi Cayhe ada urusan dan keluar hingga tuan kecelik, untuk ini Cayhe mohon maaf, marisilakan Jin-lotiang duduk." Mereka lalu duduk berhadapan di dekat jendela. Lim Cu-jing menuang secangkir teh, katanya. "Jin-lotiang silakan minum." Jin Ji kui menerima dengan kedua tangan, tawanya semakin lebar, katanya. "Terima kasih." "Kedatangan Jin-lotiang entah ada petunjuk apa?" Tanya Lim Cu jing kemudian. "Cayhe pengurus surat2 di balai kota, atas perintah majikan sengaja kemari menyampaikan salam kepada Lim-tayhiap," Kiranya dia adalah sekretaris walikota di sini. Tampak serius muka Lim Cu-jing, katanya. "Kiranya Jin-lotiang adalah sekretaris walikota yang berkuasa, mohon maaf akan kelancangan cayhe ini." "Ah, kenapa Lim-tayhiap bilang demikian, semalam majikan menerima surat dari istana, baru kami tahu bahwa Lim-tayhiap telah berada di Jiat-ho, maka tadi pagi Cayhe lantas diutus ke-mari, Jiatho memang daerah kecil, tapi Lim-tay-hiap adalah tamu terhormat dari majikan kami, apa-puntidakpantas kalau menginap di hotel." Diam2 Lim Cu-jing, sudah maklum apa yang dinamakan surat kiriman dari istana pasti kiriman Pho Kek-pui. Maka dia balas menjura. katanya. "Berat kata2 Jin-lotiang, kedatangan Cayhe ke Jiat-ho ini, tujuan semula adalah cari pekerjaan pada seorang paman. Ini urusan pribadi yang sepele, mana berani kubikin repot pada majikanmu?" "Surat dari istana sudah menjelaskan bahwa Lim-tayhiap punya seorang paman yang membuka Piaukiok di Jiat-ho, Lim-tayhiap diundang untuk membantu usahanya. maka Lim tayhiap tidak mau bekerja di kotaraja. Tapi dengan bekal kepandaian Lim-tayhiap kalau sampai terbenam di kalangan Kangouw kan terlalu sayang, dalam surat majikan kami ada pesan betapapun diharus kau memanfaatkan kehadiran Lim-tayhiap serta bakatmu yang tinggi, waktu Cayhe datang tadi, majikan sudah siap menunggu kedatanganmu, harap sudi kiranya Lim-tayhiap datang dan bicara langsung dengan beliau, bagaimana kalau sekarang juga Lim- tayhiap berangkat?" Lim Cu jing ragu2 katanya. "Cayhe adalah rakyat kecil ...." Sebelum Cu jing habis bicara, Jin Ji kui telah menukas. "Kenapa Lim-tayhiap begini sungkan dan merendah diri, majikan kami adalah anak buah setia yang ditugaskan di sini oleh istana, adalah tugas kami untuk mengundang Lim-tayhiap ke sana, toh kita sudah terhitung satu keluarga. kalau terlalu banyak bicara akan merenggangkan hubungan malah." -Sampai di sini dia mendahului berdiri. "Lim-tayhiap, marilah berangkat sekarang, jangan membuat majikan menunggu terlalu lama," Karena didesak, terpaksa Lim Cu jing ikut berbangkit, katanya. "Jin-lotiang sudah bicara sejelas ini, baiklah Cayhe menurut saja." Jin Ji-kui tergelak2, katanya. "Lim-tayhiap kembali sungkan lagi. Haha, terus terang, entah mengapa, walau baru pertama kali ini kita bertemu, baru bicara beberapa patah kata saja, namun Cayhe merasa Lim-tayhiap sebagai teman lama layaknya, agaknya kita memang berjodoh." "Malah Jin lotiang, yang terlalu mengagulkan Cayhe selanjutnya harap Lotiang suka membantu" Tidak kepalang senang hati Jin Ji-kui karena diumpak, katanya dengan tertawa. "Kita sekali bertemu seperti kenalan lama. selanjutnya memang harus saling bantu." -Tiba2 dia berseru tertahan seperti ingat sesuatu, katanya. "Eh, panggilan Lim-tayhiap tak berani kuterima, usiaku memang lebih tua beberapa tahun, kalau sudi boleh kau membahasakan saudara tua padaku, selanjutnya akan kupanggil kau Lote, bagaimana pendapat Lim- tayhiap?" "Loko sudi mengalah, baiklah Siaute menurut saja " Sahut Cu jing. Jin Ji-kui semakin girang, dia pegang kencang tangan Lim Cu- jing, katanya. "Baiklah, selanjutnya aku menjadi saudara tua," -Sembari bicara mereka lantasberanjakkeluar. Tiba di luar tampak seorang perajurit menunggu di luar pintu sambil menuntun kuda. Sementara kacung kuda tadi juga sudah mengeluarkan kuda tunggangan Lim Cu-jing. Serdadu itu bantu Jin Ji-kui naik ke punggung kuda, setelah Lim Cu-jing juga cemplak ke atas kudanya, kata Jin Ji-kui. "Lim-lote, biar Lokoko menunjukkan jalan bagimu." -Lalu dia mengulap tangan. Serdadu itu segera menarik tali kendali dan jalan di depan, Lim Cu jing jalankan kudanya pelan2 mengikuti di belakang. Tidak lama mereka sudah tiba di balai kota. Tampak di depan pintu gerbang yang megah itu berdiri sebuah tiang bendera besar dan tinggi, bendera kebesaran walikota berkibar2 ditiup angin. Di undakan pendopo berjajar enam serdadu yang berdinas jaga, semuanya menyoreng golok dipinggang. kelihatan garang dan gagah. Setelah turun dari kuda, Jin Ji-kui mengajak tamunya masuk lewat pintu sebelah kanan. Tiba di dalam, mereka berada di sebuah serambi panjang yang menembus ke pintu kedua, di depan pintu berdiri dua serdadu, waktu Jin Ji-kui datang serentak mereka berdiri tegak memberi hormat. Jin Ji-kui tidak hiraukan mereka, dia terus jalan ke dalam membawa Lim Cu-jing memasuki sebuah serambi yang berpagar kayu warna merah, di luar pagar adalah taman bunga, di bawah emper ada beberapa sangkar yang berisi berbagai macam jenis burung yang sedang berkicau, suasana di sini terasa tenteram dan sejuk, harum bunga dan kicau burung terasa mengasyikkan. Sembari jalan Jin Ji-kui berkata lirih. "To Swe mungkin sudah menunggu di kamar buku, biar langsung kubawa engkau ke sana saja." "Loko, sampai detik ini Cayhe masih belum tahu siapa she dan nama To swe?" "To swe (walikota) she Pho, satu marga dengan yang kuasa di istana, namanya Bin thay." "To-swe sedang memeriksa surat dan menyelesaikan urusan dinas di kamar buku. disanalah letak kantornya pula yang penting, cuma kau boleh tak usah menggunakan adat pemerintahan, biasanya jarang dia terima tamu dikantornya itu, soalnya beliau pandang Lote bukan orang luar lagi." "Ya, berkatkebijaksanaanTo-swe,"ucap LimCu-jing. Kebetulan mereka sudah tiba di depan kamar buku, tampak di depan taman bunga ada sebaris rumah2 mungil yang dipajang serba antik dan indah, kerai bambu menjuntai turun, suasana di sini sunyi senyap. Di sini terdapat empat pintu panjang, tembok memanjang mengelilingi bangunan dan taman, pada setiap pintu berjaga dua orang serdadu. Jin Ji-kui langsung mendekati pintu, ia bersuara lirih. "lote tunggu dulu sebentar, biar Lokoko masuk memberi laporan." Setelah itu dia meluruskan kedua tangan, dia membasahi kerongkongan lalu menjura ke arah dalam sambil berseru. "Hamba JinJi-kui mengiringi LimCu-jingsiap menghadap To-swe." Baru habis dia bicara, tampak seorang pengawal baju hijau menyingkap kerai muncul diambang pintu, sekilas dia lirik kedua orang lalu berkata. "Tayjin mempersilakan!" Cepat Jin Ji-kui angkat sebelah tangannya "Silakan Lim-lote!" "Cayhe baru datang, silakan Lokoko dulu," Ucap Lim Cu-jing. Jin Ji-kui terpaksa melangkah masuk dulu, kiranya itulah sebuah ruang tamu yang cukup besar dan luas. di sini terasa nyaman, pajangan serba serasi, di bagian dalam ada sebuah pintu rembulan, melewati pintu bundar ini baru tiba di kamar, buku. Kebetulan dari balik pintu rembulan ini beranjak keluar seorang laki2 bermuka putih bersih, alisnya gombyok, matanya besar tajam. Orang ini terang adalah walikota she Pho adanya. Dengan pakaian preman yang sederhana, sikapnya kelihatan angker dan berwibawa menandakan bahwa dia seorang yang disegani. Bergegas Jin Ji-kui membungkuk sembilan puluh derajat, katanya sambil mengunjuk Lim Cu-jing. "Lapor Tayjin, tuan inilah Lim Cujing adanya." Lim Cu-jing ikut menjura, katanya. "Rakyat kecil Lim Cu jing menyampaikan hormat kepada To-swe Tayjin." Pho-tujong ( walikota she Pho yang sekaligus memegang kekuasaan militer ) menatap Lim Cu-jing sekian lamanya, mukanya yang putih menampilkan secercah senyum, katanya sambil mengangguk. "Lim-congsu tak usah banyak adat, silakan duduk." -Lalu dia menghampiri kursi besar berlapis beludru dan duduk disana. Lim Cu-jing menjura pula tanpa bergerak, katanya. "Di hadapan Tayjin,rakyatkecil macamkuinimanaberani........" Sebelum dia habis bicara Pho-tujong telah menyela . "Lim-congsu jangan sungkan, di sini kamar bukuku, biasanya Lohu tidak suka peradatan, silakan duduk saja." "Memang," Timbrung Jin Ji-kui bermuka2. "To-swe Tayjin paling sukabebas, Lim-congsubolehduduksajauntukbicara." Setelah menyatakan terima kasih, terpaksa Lim Cu-jing duduk di kursisamping Pho-tu-jong. "Ji-kui," Ucap Pho-tu-jong. "kaupun duduklah." Jin Ji-kui mengiakan dengan munduk2, lalu duduk di kursi sebelah Lim Cu-jing. Pengawal tadi segera menyuguhkan dua cangkir minuman terus mengundurkan diri. Pho-tujong mengelus jenggot, katanya dengan tertawa. "Semalam Lohu menerima surat dari istana, baru kuketahui bahwa Lim-congsu telah tiba di Jiat-ho, menurut Thio-po yang mengantar surat, kedatangan Lim-congsu ke Jiat-ho ini berniat mencari kerja di sebuah Piaukiok milik pamanmu? Piaukiok manakah milik pamanmu itu?" "To-swe harap maklum, paman membuka Tin-wan Piaukiok di Jiat-ho ini." "O, maksudmu Hou-pian-liong-jiau Lim Tiang-khing." Ucap Pho-tu-jong, lalu berpaling ke arah Jin Ji kui. "Kalau tidak salah Lim piauthau juga pernah bekerja untuk urusan dinas kita." Jin Ji-kui berdiri dan menjura, katanya. "Ya, Tin-wan Piaukiok pernah dua kali mengawal upeti, malah Lim-piauthau sendiri yang membawanyake-maridari Ki lin." "Em," Pho-tu-jong bersuara puas, lalu berpaling pula, katanya kepada Lim Cu jing. "Masih ada sedikit kesan Lohu atas Lim-piauthau, apakah dia ke-luarga semarga dengan Congsu??" "Bukan, hanya kebetulan saja beliau sahabat karib ayahku almarhum," Sahut Lim Cu-jing. "Jadikau bermaksud kerjadiperusahaanpengawalan itu?" "Bulan lima tahun ini beliau pernah tulis surat padaku supaya aku datang ke Jiat-ho, tapi kemarin waktu aku mendatanginya di jalan Rejeki, konon Piaukiok itu sudah tutup usaha, malah Lim-piauthau sudah meninggal dua bulan yang lalu, keluarganya entah pindah kemana." Sambil mengelus jenggot kambingnya, Pho tu-jong bertanya. "Hok-ti keke sengaja suruh Thio-po menyusul kemari, kepada Lohu dia perkenalkan Lim-congsu karena Lim-congsu memiliki Kungfu yang luar biasa, sayang kalau bakat sebaik ini di sia2kan, kini Tin-wan Piaukiok sudah tutup usaha, biarlah sementara Lim-congsu bekerja dikantor Lohu saja, biar nanti kuperiksa dan kucarikan lowongan yang sepadan dengan bakat dan kemampuan Limcongsu" Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Rase Emas Karya Chin Yung Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo