Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 46


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Bagian 46


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya dari Gan K L   Menurut perhitungan Ki Seng-jiang, asal Tu Hong-seng mampu bertahan dua tiga jurus terhadap Ling Kun-gi, maka orang yang bertugas jaga di losmen Liong-kip akan berbondong2 keluar membantunya.   Begitu terjadi kegaduhan di losmen Liong-kip, maka orang2yangsembunyidihotel2 lainpunakansegera memburu tiba.   jangankan manusia, burungpun jangan harap bisa lolos dari kepungan ketat ini.   Ki-Seng-jiang sudah memberi pesan, mati atau hidup Ling Kun-gi harus ditangkap.   Langkah kedua yang diatur Ki Seng-jiang ini cukup rahasia dan hati2 sekali, sampaipun Lim Cu-jing danGoJong-gipuntidaktahusama sekali.   Dikala Lim Cu-jing beranjak memasuki gang di mana letak deretan hotel2 itu, di ujung jalan sudah berdiri seorang laki2 kekar berpakaian hijau tua, melihat Cu-jing, lekas ia memapak maju, sapanya dengan tertawa.   "Apakah ini Lim-ya?"   Lim Cu-jing melenggong, tanyanya.   "Kau ......"   Belum habis Cu-jing bicara orang itu sudah menambahkan dengan tertawa.   "Hamba mendapat perintah Jin-suya, ada sepucuk surat harus disampaikan kepada Lim-ya,"   Dari sakunya dia mengeluarkansepucuksuratdan diaturkan dengankedua tangan. Jin-suya adalah Jin Ci-kui. Sekilas Cu jing berpikir, lalu ia terima suratitu. Setelahmemberihormatorang itupun melangkahpergi. Diam2 Cu-jing berpikir.   "Kini sudah hampir kentongan pertama, untuk keperluan apa Jin Ci-kui suruhan orang mengantar surat padaku?" -"Ai, tidak benar, darimana dia tahu aku baru kembali lalu suruhanorang menunggudisini?"   Dilihatnya laki2 tadi berjalan dengan cepat, bayangannya sudah lenyap ditelan kegelapan. Hati Cu jing semakin heran dan curiga, lekas dia sobek sampul surat, hanya secarik kertas sempit dan beberapa huruf yang berbunyi.   "Awas hati2, Ki Seng-jiang telah pasang kaki tangannya secara diam2 di hotel2 sekitar losmen Liong-kip, langkahmu harus hati2."   Tulisan ini tiada dibubuhi tanda tangan, tapi dari gaya tulisannya jelas mirip peringatan semalam dengan timpukan gulungan kertas itu, maka dapatlah diterka bahwa penulisnya adalah satu orang.   Mau tidak mau Cu-jing melenggong heran, siapakah orang ini? Berulang dia membantu dan menyampaikan peringatan, darimana pula dia peroleh berita rahasia sepenting ini? Cu-jing merobek kertas itu, dengan langkah lebar dia lantas memasuki Tang-sun-can.   Ia mendekati kamar Go Jong-gi, lekas sekali Go Jong gi membukakan pintu, melihat yang datang Lim Cu- jing, dia menghela napas lega.   katanya sambil membungkuk.   "Limheng telah datang."   Cujing mengangguk, tanyanya."Di sinitiadaterjadi apa2?" "Aman, orang2 kita berjaga ketat siang malam, syukur Lim heng telah kemari." "Aku akan menengok Tu heng, masih ada tugas penting lain yang harus kubereskan selekasnya,"   Lalu Cu jing . menuju kamar Tu Hong-seng serta mengetuk dua kali. Sudah tentu Tu Hong-seng belum tidur, lekas dia membuka pintu. Lim Cu-jing melangkah masuk, katanya tertawa.   "Tu-heng belum tidur?"   Cepat Tu Hong-seng merapatkan pintu, katanya.   "Semula aku merasa aman di sini, tapi melihat gelagatnya aku merasa tidak tenteram." "Sekeliling kamar Tu heng sudah dijaga ketat, kukira Tu heng tidak usah kuatir."   Kecut senyum Tu Hong-seng, katanya.   "Lim-heng bukan orang luar, biarlah kubicara terus terang, Ki-jongtai sengaja suruh kutinggal di sini, tujuannya adalah membuat perangkap, aku dijadikan umpan untuk menjebak Ling Kun-gi. Padahal kutahu ilmu pedang Ling Kun-gi amat tinggi, paling-paling hanya beberapa jurus saja dapat ku-tandingi dia. Barusan aku berbaring sambil memeluk pedang."   Memang Lim Cu-jing melihat di ranjang menggeletak sebilah pedang, tanpa terasa dia tertawa, katanya.   "Tu heng terlalu hati2, bukankah Tu-heng yakin sanggup menandingi beberapa jurus? Bila dia berani masuk ke kamar ini, Tu-heng boleh berteriak saja dan kawan2pastiakan keluar membantumu?" "Teori memang demikian, tapi aku harus waspada, kabarnya Ling Kun-gi pandai menyamar, maka se hari2an ini sampaipun kacung yang mengantar minum dan makan juga kucurigai, sebetulnya aku harap2 cemas supaya dia lekas datang, dengan kekuatan orang banyak dapat kita menumpasnya maka legalah hatiku,"   Lalu dia menuding gulungan kertas di pinggir ranjang serta menambahkan "Barusan Jongtai suruh orang mengantar petasan, katanya bila melihat jejak Ling Kun-gi, aku harus lemparkan petasan itu keluar jendela, orang2 yang membantuku akan segera berdatangan."   Diam2 Lim Cu jing berpikir.   "Surat rahasia yang disampaikan pelajar baju putih itu kiranya tidak salah, bila petasan meledak, orang2 yang dipendam dalam hotel sekitar sini pasti akan segera memburu tiba." -Dengan tersenyum ia lantas berkata. "Perhitungan Jongtai memang baik, tapi bila Ling Kun gi betul2 datang, mungkin Tu-hengtakada kesempatan melemparkanpetasanitu."   Tu Hong-seng berjingkat kaget dan ketakutan. Dengan tersenyum Cu-jing berkata pula.   "Bukankah Tu-heng barusan bilang Ling Kun gi pan-dai menyamar? Mungkin sekarang dia sudah berdiri didepanmu dan kausendiri masihbelumtahu."   Sedikit berubah air muka Tu Hong-seng. Cu jing melangkah maju setindak, katanya katanya.   "Mungkin, Cayhe inilah Ling Kun-gi."   Berdetak jantung Tu Hong-song, keringat dingin sudah mengucur, katanya dengan menyengir.   "Ah, Lim heng suka guyon saja dengan aku."   Meski Lim Cu-jing lagi mendekat selangkah, tapi karena dia adalah Jilingpan, maka Tu Hong-seng tidak berani menyurut mundur. Tangan kiri Lim Cu jing secepat kilat bergerak mencengkeram uratnadiTu Hong-seng. "Kau ...."   Tu Hong-seng berteriak kaget. Tanpa memberi kesempatan bicara Cu-jing menutuk pula Ya- bun-hiat yang membuatnya bisu, katanya tertawa.   "Sekarang Tu-hengsudahtahusiapaaku inibukanbukan?"   Karena urat nadi dipencet, Tu Hong-seng menjadi lemas, kulit mukanya berkerut gemetar, keringat dingin berketes2 membasahi jidat dan mukanya.   Lim Cu-jing merendahkan suara dan berkata dengan kalem.   "Mungkin Yong lopek tidak tahu bahwa dulu kaupun menjual Hekliong hwe, lantaran kau juga salah satu daripada ke 36 panglima maka beliau mengampuni kau.   Tentunya kini masih ingat pesan dan petuah apa yang diberikan Yong-lopek sebelum melepasmu pergi, kita adalah keturunan Ui-te, bangsa Han yang jaya, maka kau diharapkan menjadi manusia baik2, tak nyana jiwamu ini kemaruk harta dan pangkat, watak bejat-mu memang sukar diperbarui, baru sekarangkauharus mengalaminasibjelekini."   Tu Hong-seng ber kedip2 mukanya yang pucat ketakutan, ber gerak2 seperti mau minta ampun atau ingin membela diri, tapi suaranya tidak keluar.   Habis bicara Lim Cu-jing lantas menutuk ulu hatinya, berbareng tangan kiri menarik tubuh orang dan dilempar ke atas ranjang dan ditutupi selimut seperti orang tidur layaknya.   Lalu dia menarik daun pintu, lalu cepat2 ia menuju kamar Go Jong-gi, langsung dia dorong pintu dan masuk.   "Go-heng, segera kau pilih enam orang yang mahir menggunakan senjata rahasia, suruh mereka ikut aku."   Go Jong gi mengiakan, tanyanya sambil mengawasi Lim Cu jing. "Lim-henghendaksuruh merekakemana?" "Sudah kuselidiki pada sebuah rumah penduduk ada sembunyi kaum pemberontak, akan kubawa mereka untuk membekuk orang, kau tak usah banyak tanya."   Toalingpan pernah berpesan agar seluruh anggota bayangkari tunduk pada perintah dan petunjuk Lim Cu-jing, maka Go Jong gi tak berani banyak bicara, setelah mengiakan dan bertanya pula.   "Lim-hengsuruh merekaberkumpuldimana?" "Suruh mereka keluar dari pintu belakang hotel ini, setiba di ujung jalan sana, mereka harus tunggu perintahku di tempat gelap, sementara kau dan empat orang yang lain harus tetap siaga di sini, setapakpun tak boleh pergi."   Go Jong-gi mengiakan terus bergegas keluar.   Lim Cu jingpun segera keluar, tidak lama dia menunggu di ujung jalan kecil sana, maka orang2 yang dia inginkan pun berdatangan.   Cu jing memberi tanda gerakan tangan, segera beberapa orang berlari mendatangi.   Cu jing membawa mereka ke suatu tempat gelap yang tersembunyi, dia hitung jumlah orangnya ada enam orang, katanya.   "Barusan apakah Go lingpan sudah menjelaskan kepada kalian?"   Salah seorang menjawab sambil membungkuk.   "Lapor Jilingpan, Go-lingpan sudah pesan, katanya Jilingpan akan memberi tugas khusus kepada kami, maka kami disuruh tunduk pada perintahmu." "Betul,"   Ucap Cu-jing dengan menahan suara.   "tadi sudah berhasil kuselidiki suatu rumah penduduk yang menyembunyikan kaum pemberontak, mereka akan bertemu pada kentongan kedua malam nanti, kita harus siapkan lebih banyak senjata rahasia, pada saatnya nanti tanpa bersuara dapat kita bereskan mereka dengan senjata rahasia. Keenam orang itu serempak mengiakan. "Baiklah, kalian sekarang ikut aku,"   Ucap Lim Cu jing.   Lalu dia mendahului melompat ke sana diikuti keenam orang itu, cepat sekali merekasudahtiba ditempatyangdituju.   Melihat cuaca Cu jing taksir temponya sudah dekat kentongan kedua, kira2 setengah jam lagi gerakan akan segera dilaksanakan, maka dia pimpin keenam orang itu memasuki jalan sempit yang jorok itu.   Sebelumnya dia menerawang keadaan di sekitar sini maka dia sebar keenam orang itu ke atas wuwungan rumah penduduk di sekitarnya, masing2 di pesan menyiapkan senjata, diserukan sebelum lawan mendekati rumah penduduk nomor lima mereka di larang turun tangan.   "   Setelah mengatur, diam2 Lim Cu jing bergembira, pikirnya. "Setelah kentongan kedua nanti, biarlah kalian saling cakar dan baku hantamsendiri."   Sigap sekali Cu-jing melompat turun, dengan mengembangkan Ginkanglangsungdiaberlarisekencangangin menujukekotabarat, tujuannya adalah kebun bunga keluarga Kauw.   Malam pekat, tembok tinggi memagari taman yang lebat ditanamipepohonan, alamsemestaditabiri kabuttebal.   Karena taman ini menjadi kediaman pribadi komandan pasukan bayangkari macam Ki Seng-jiang yang cukup berkuasa dan disegani, meski berkepandaian tinggi dan nyalinya besar, betapapun Cu jing tidak berani gegabah, setelah hinggap di atas tembok, dengan seksama dia periksa keadaan sekeliling-nya, setelah itu baru melayang turun.   Letak di mana dia turun kebetulan berada di sisi sebuah gunung2an yang tersembunyi, sebuah jalan beralas batu putih tampak menjurus ke sana menuju sebuah gardu kecil gardu pemandangan kecil ini dikelilingi pepohonan yang terawat baik dengan daunnya yang rimbun menghijau.   Sudah tentu Cu-jing tidak sempat perhatikan panorama indah dalam taman, baru saja dia hendak melompat ke sana, tiba2 didengarnya nyekikik tawa geli seseorang, suaranya nyaring merdu, jelas suara seorang perempuan.   Di tempat seperti ini, meski itu hanya cekikik tawa seorang perempuan, tapi bagi pendengaran Lim Cu-jing sungguh amat mengejutkan, lekas dia berhenti beraksi serta pasang mata ke sekelilingnya.   Sebetulnya tak perlu dicari lagi, karena di tengah pepohonan yang rimbun sana pelahan2 telah muncul sesosok bayangan semampai.   Belum lagi Cu-jing melihat jelas siapa bayangan ramping itu, orang berbadan semampai itu, sudah bersuara.   "Lim-kongcu baru datang, sudah lama hamba menunggu di sini."   Nona ini berpakaian hijau pupus dengan gaun putih mulus, perawakannya tinggi semampai, kuncirnya yang besar dan kelam tampak menjuntai di kedua pundaknya, cuma kedua tangannya menutupi muka sambil miringkan badan lagi sehingga tak terlihat jelas roman mukanya.   Dandannya mirip seorang pelayan.   Sekilas melenggong Lim Cu jing lantas bertanya dengan merendahkan suara.   "Nona ....."   Bayangan ramping. itu cekikikan pula, katanya.   "Memangnya Ling-kongcu sudah tidak mengenal-ku lagi? Hamba adalah Ing jun." -Baru sekarang dia berputar menghadap kemari. Betul, memang dia Ing-jun adanya, kini Cu-jing dapat melihat jelas, raut muka bundar laksana biji kwaci yang manis, bola matanya yang jeli, waktu tertawa sungguh menggiurkan. Lim Cu-jing menghela napas lega, tanyanya sambil menatap Ing jun.   "Dari mana nona tahu Cayhe akan datang?"   Ing-jun tertawa manis, katanya dengan nada misterius.   "Kongcu takusahtanya, waktuamat mendesak, lekasikuthamba."   Tindak tanduknya aneh dan misterius serta tetap nakal seperti waktu berada di Coat-sin-san-ceng, tiada pertanyaan yang dijawabnya secara langsung, habis bicara terus putar tubuh melangkah pergi, dari laporan Ting Kiau, Cu-jing tahu bahwa Ingjun adalah mata2 yang ditanam di sini oleh Pek-hoa-pang, maka dia tidak menaruh curiga, tapi dia tetap waspada, tanyanya.   "Kemanakah nona hendak membawaku?"   Sambil berjalan Ing-jun menjawab.   "Hamba akan membawamu ke suatu tempat untuk menolong seseorang." "Menolong orang"   Tanya Cu-jing heran.   "Menolong siapa? ." "Setiba di tempat tujuan, Kongcu akan tahu sendiri,"   Dia tetap tidak mau menjelaskan.   Sambil bicara merekapun telah beranjak cukup jauh, diam2 Cu- jing merasa heran dan bingung, karena Ing-jun berlenggang dengan cepat dan terang2an seperti tidak takut dilihat orang, mau tidak mau hal ini menimbulkan rasa curiga, maklumlah Ing-jun hanya seorang pelayan pribadi, mungkin dia memperoleh kisikan dari sang Pangcu Bok-tan agar menunggu dan menyambut dirinya, tapi itu mestinya dilakukan dengan sembunyi2, membawa seorang luar, apalagi di tengah malam buta, tapi dia berjalan seperti berada di rumah sendiri, tidak kuatir dilihat orang.   Walau merasa urusan agak mencurigakan, tapi dia berkepandaian tinggi, nyalipun besar, apalagi tujuan kedatangannya memang hendak mencari Ki Seng-jiang, peduli musuh bersiap atau tidak menunggu kedatangannya, akhirnya toh harus bergebrak mati2an.   Dengan langkah mantap Cu-jing terus mengikuti langkah Ing-jun dengan cepat, tak lama kemudian tiba di depan sebuah bangunan mungil berloteng.   Mendadak Ing jun berhenti dan menuding ke atas loteng, katanya.   "Orang yang harus Kongcu tolong berada di loteng ini, biarlah hamba berjaga di sini, silakan kau naik ke atas."   Lebih jelas lagi bahwa Ki Seng-jiang memang telah mengatur perangkap di loteng ini. Diam2 Cu-jing tertawa dingin, pikirnya.   "Ki Seng-jiang, seumpama kau sembunyi di sarang harimau dan rawa naga tetap akan kupancung kepalamu, hanya sebuah loteng sekecil ini memangnya dapat mengurung aku?"-Meski berpikir demikian, tapi dia bersikap wajar dan tertawa malah, katanya.   "Terima kasih atas petunjuk nona." "Kongcu harus lekas bekerja, biarlah hamba menunggu di sini saja"   Ujar Ing-jun tersenyum penuh arti.   Cu-jing tidak bicara lagi, dengan enteng dia meloncat ke atas dan hinggap di serambi loteng tingkat kedua.   Lantai kedua ini ada tiga deret kamar, semua gelap gulita tiada tampak sinar lampu dan tak terdengar suara orang, daun pintu yang terukir indah hanya sedikit dirapatkan saja.   Sejenak Lim Cu-jing merandek, lalu dia mengeluarkan Le liong-cu dan mendorong pintu sambil melangkah masuk.   Le-long-cu memancarkan cahaya kemilau di tempat gelap, di bawah penerangan mutiara ini Cu-jing dapat keadaan kamar, seketika ia melenggong.   Kamar pertama rupanya ruangan kerja, kamar ke-dua kamar tidur yang dipajang indah dan mewah, tapi keadaansunyisenyaptakterlihatbayanganseorangpun, jelasdisini tak ada perangkap apapun.   Disamping curiga Cu-jing menjadi bingung pula, di lihatnya di sebelah kanan terdapat sebuah pintu, kerai menjuntai menutupi pintu, karena cahbaya Le liong-cu rentengan mutiara itu menimbulkan kemilau yang beraneka warnanya.   Tiba2 Cu-jing tersentak kaget dan teringat pada orang yang harus ditolongnya seperti apa yang di katakan Ing jun, katanya berada di atas loteng, mungkin berada di kamar sebelah, cepat ia menyingkap keraidan masuk.   Baru saja maju selangkah, hidangnya dirangsang bau harum semerbak, ada almari pakaian berkaca, sebuah meja rias mungil, ranjang berkelambu sutera yang bersulam indah.   Inilah kamar perempuan.   Sekilas Cu-jing melenggong, baru saja timbul niatnya hendak keluar.   Tiba2 dilihatnya tak jauh di depan ranjang sana tanpa bergerak dan tidak bersuara rebah seorang perempuan tua berbaju hijau, sekilas pandang bagi seorang ahli akansegeratahubahwaperempuantua ini tertutukhiat-tonya.   Cu-jing membatalkan niatnya mundur, rasa curiganya bertambah tebal, dengan langkah lebar dia melejit maju, didapatinya di atas ranjang rebah pula seorang perempuan.   Perempuan yang rebah di ranjang ini ditutupi kemul yang bersulam sepasang burung Hong, yang kelihatan hanya wajahnya yang putih halus, rambutnya terurai awut2an.   "bola mata orang yang jeli tengah terbeliak mengawasinya, mulutnya mengeluarkan suara "Uh, uh,"   Agaknya dia telah meronta di dalam kemul. Begitu pandangan Lim Cu jing bentrok dengan wajah perempuan di dalam kemul itu seketika dia terjingkrak kaget. Diabukan lain adalahPuiJi-ping adanya. "Ping-moay,"   Seru Cu-jing gugup, tanpa ayal dia memburu ke depan ranjang, berbareng terus menyingkap kemul.   Begitu kemul tersingkap seketika Cu-jing tersirap kaget, selebar mukanya seketika merah jengah.   Ternyata Pui Ji-ping yang terbungkus selimut telanjang bulat tidak mengenakan seutas benangpun, kaki dan tangannya terpentang lebar dan terikat oleh tali sehingga badannya telentang dengan kaki tangan terpentang lebar.   Badannya yang montok putih dengan bagian tubuh yang menggiurkan terpampang di depan matanya, Tidak sedikit Cu-jing berkenalan dengan gadis2 cantik, tapi adegan bugil seperti yang dilihatnya sekarang belum pernah terjadi, keruan jantung terasa hampir melompat keluar, sesaat dia tertegun dan tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya dengan tersipu2 diatarik kemulpulauntuk menutup badansinona.   Melihat orang yang muncul mendadak ini adalah Ling-toako yang dirindukannya siang dan malam, kini terlihat keadaan dirinya yang bugil begini, keruan malu Ji-ping tak terkatakan, tapi dia juga kejut dan girang.   Malu karena keadaan yang bugil ini sudah terpampang di depan orang, selanjutnya bagaimana dia harus menjadi orang? Kejut dan girang karena Ling-toakonya akhirnya dapat menemukan dia dan menolongnya.   Kedua pipinya tampak merah, matanya terpejam rapat, tak terasa air matapun meleleh.   Lekas Lim Cu jing tenangkan hati, dia ingat menolong orang harus cepat.   Apabila mulut Pui Ji-ping hanya bersuara "uh-uh", mungkin mulutnya tersumbat sesuatu.   Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Cepat Cu jing mengangkat dagu orang, tangan yang lain mengorek mulut si dara dan mengeluarkan segumpal kapas.   Saking gugup dan malu hampir saja Pui Ji-ping menangis, katanya mewek2.   "Toako, kau tidak perlu ragu, lekas lepaskan ikatan kakitanganku."   Betul, berada disarang harimau, sembarang waktu kemungkinan dipergoki musuh.   Tanpa ayal Cu-jing segera bekerja, tapi dia tidak berani menyingkap kemul lagi, hanya kedua tangan yang terjulur masuk, dia kerahkan tenaga pada jari2 tangan, sejak mulai dari pergelangan tangan yang terasa, halus terus naik ke lengan, satu persatu dia jepit putus tali pengikatnya.   Celakanya ditubuh Pui Ji-ping masih ada empat tali pengikat, untuk memutus keempat tali inilah dia merasa serba susah.   Tali pertama melingkar dari depan dada tepat di atas "bukit"   Pui Ji-ping terus melingkar ke belakang, tali kedua melingkari pinggangnya, dua tali yang lain masing2 membelenggu paha dan pergelangan kaki.   Meski teraling kemul, tetap tangannya akan menyentuh bagian badan yang montok dan lunak itu, tidak kepalang malu Pui Ji-ping, tepaksa dia pejamkan mata, jantungnya berdetak laksana deburan ombak samudra.   Untunglah tali yang mengikat dadanya lekas sekali sudah terputus.   Sudah tentu Cu-jing dapat merasakan gerakan badan Pui Ji-ping sehingga kedua tangan yang memang gemetar itu semakin bergetar, jantungnya serasa mau melompat keluar.   Untunglah putusnya tali pengikat telah menyadarkan pikirannya, diam2 dia merasa malu sendiri, lekas dia meraba ke bagian pinggang, beruntun dia putus pula tali pengikatnya.   Kini dia tinggal memutus tali yang melingkari paha dan kaki.   Mungkin sudah teramat lama Pui Ji-ping terbelenggu hingga jalan darahnya terganggu, badan terasa kemeng, seketika kaki tangan tak mampu bergerak, dia meringkuk dalam kemul serta berseru pelahan.   "Toako. lekas carikan pakaianku ... ." "O, ya"   Sahut Cu-jing, dilihatnya di atas kursi sana ada setumpukan pakaian, lekas dia memburu kesana serta melemparkannya ke ranjang. "Toako,"   Seru Ji-ping. Malu2.   "lekas kau putar ke sana."   Tanpa bicara Cu-jing berputar membelakanginya.   Bergegas Pui Ji-ping kenakan pakaiannya, memakai kaos kaki dan sepatu, lalu melompat turun dari ranjang, begitu berdiri lantas dilihatnya perempuan tua yang menggeletak di pinggir ranjang, seketika dia naik pitam, bentaknya.   "Keparat yang pantas mampus!" -Kakinyaterus mendepakdadaperempuan tuaitu. "Ping-moay,"   Seru Cu-jing.   "apa yang kau lakukan?"   Merah mata Pui Ji-ping, katanya.   "Toako, kau tidak tahu, untuk menjilat majikannya perempuan bejat ini membelejeti aku dan mengikatku di atas ranjang, bila kau datang terlambat, mungkin aku ..... terpaksa harus mati saja."   Habis bicara pecahlah tangisnya, lantas dia menubruk ke dalam pelukan Lim Cu-jing alias Ling Kun-gi.   Dalam perjalanan tadi dia sudah mengusap obat riasnya, dengan wajah adanya sebagai Ling kun-gi dia hendak menuntut balas sakit hati keluarga dan dendam seluruh anggota Hek-liong-hwe.   Sejak kini Ling Kun-gitidak perlu menggunakan namasamaranlagi.   Kiranya tanpa sengaja Pui Ji-ping yang minggat ini akhirnya tiba juga di Jiat-ho dan mendapat tahu tempat tinggal Ki Seng-jiang, maka secara diam2 dia menyelundup ke dalam taman ini hendak membunuh Ki Seng-jiang, sayang dia tertawan malah.   Ki Seng-jiang membuka kedoknya dan tahu bahwa dia seorang perempuan, dasar bandot, maka timbul niatnya yang jahat hendak berbuat tidak senonoh.   Loteng mungil ini memang tempatnya untuk berfoya2 dan melakukan perbuatan mesumnya, entah berapa banyak perempuan baik2 telah ternoda olehnya.   Jelas perempuan tua itu adalah pembantunya yang melakukan kejahatan, depakan Pui Ji-ping tadi ternyata membuatnya muntah darah, jiwapun melayang seketika.   Dengan kasih sayang Kun-gi membelai rambut Pui Ji-ping, katanya.   "Hayolah Ping-moay, kita buat perhitungan dengan bangsat tua itu." "Sayang tiada pedang di sini, aku harus cari senjata dulu." "Kau ingin bersenjata, nah, pakailah pedangku ini,"   Dia keluarkan Seng-ka-kiam untuk Ji-ping. Mereka melompat ke bawah loteng, Ing-jun ternyata masih berdiri di bawah pohon, melihat mereka turun cepat dia memapak maju, katanya dengan tertawa.   "Selamat Ling-kongcu berhasil menolong nona Pui." "Siapa kau?"   Bentak Pui Ji-ping sambil menuding dengan pedangnya. "Ping-moay, dianona Ing-jun, orang Pekhoa-pang." "Toako, jelas dia sekomplotan dengan nenek bejat itu, diapun membantunya mengikat aku." "Memang betul,"   Ujar nona Ing-jun.   "tapi nona Pui jangan lupa, Liu-pocu aku pula yang menutuknya roboh, sebetulnya sejak lama aku bisa membebaskan nona, soalnya majikanku berpesan, katanya biarkan nona menderita sedikit, tunggu saja biar Ling-kongcu yang menolongmu."   Merah jengah muka Ji-ping, tanyanya dengan bersungut.   "Siapa majikanmu?"   Ing-jun tertawa penuh arti, katanya.   "Hamba menunggu di sini untuk membawa kalian menemui majikanku." "Ki Seng-jiang berada di mana?"   Tanya Kun-gi. "Ling-kongcu dan nona Pui tak usah banyak tanya, mari ikut hamba saja,"   Ucap Ing-jun. "Baiklah,"   Akhirnya Kun-gi mengangguk.   "silakan nona tunjukkan jalan."   Dengan tersenyum Ing-jun beranjak pergi, Kun-gi dan Ji-ping sama mengintildibelakangnya.   Pepohonan dalam taman betul2 rimbun, malam gelap lagi, meski banyak gardu2 pemandangan yang tersebar di sana sini, tapi hanya kelihatan bayangannya saja tanpa terlihat ada sinar pelita, akhirnya mereka di depan sebuah gedung bertingkat lima.   Gedung ini serba ukiran, dikombinasikan dengan cat warna warni yang serasi, maka kelihatan megah dan angker.   Di depan terdapat lima susun undakan batu marmer.   Taman seluas ini seluruhya gelap gulita, hanya gedung berloteng inilah cahaya lilin masih terang benderang, mungkin di sinilah KiSeng-jiangbertempattinggal.   Ing-jun membawa kedua orang berhenti di depan pintu serta membungkuk, serunya.   "Ling-kong-cu, nona Pui silakan masuk!"   Walau berbagai persoalan mengganjal hatinya, tapi Ling Kun-gi bersikap wajar seperti tak acuh, dengan langkah lebar dia masuk kedalam.   Itulah sebuah pendopo yang besar, meski tidak semewah ruang atau kamar yang lain, tapi meja kursi yang ada di sini semua serba antik, di ruang pendopo inipun tak kelihatan bayangan seorangpun, sudah tentu hal ini membuat Kun-gi bertambah bingung dan keheranan, memangnya Ki Seng-jiang sedang main kucing2an dengan dirinya? Tatkala dia masuk ke ruang pendopo itulah, dari balik pinto bundar di sebelah kanan sana muncul seorang laki2 kurus tua berpakaian kuning tembaga, kulit mukanya merah, tulang pipinya menonjol, sorot matanya berkilat tajam, berdiri sambil menggendong kedua tangan, katanya sambil menggapai.   "Ling hiantit, kenapa baru sekarang datang?"   Kun-gi melenggong sejenak, cepat dia menjura, serunya. "Kiranya kau paman mertua."   Laki2 kurus tua berjubah kuning tembaga ini memang Jicengcu keluarga Un dari Ling-lam, Un It-kiau adanya. Un It-kiau tertawa, katanya.   "Semua sudah berada di sini, lekas kemari."   Bertambah bingung hati Kun-gi, sambil mengiakan dia ikut ke sana, Pui Ji-ping dan Ing-jun ikut di belakangnya.   Itulah sebuah kamar buku, lilin besar terpasang terang benderang, kecuali Un It-kiau, di dalam kamar buku masih ada tiga orang, begitu melangkah masuk seketika Kun gi tertegun pula.   Ketiga orang itu adalah Un It-hong Un locengcu, Un Hoan-kun dan Bok-tan.   Di atas kursi ukiran berlapis kulit di sana, duduk dengan lunglai seorang yang tengah dicarinya, yaitu komandan pasukan bayangkari di istana raja kota Jiat-ho ini, Ki Seng-jiang adanya.   Meski dia duduk di kursi kebesarannya, tapi kedua bola matanya terbeliak, mukanya menampilkan rasa gusar, kaget dan takut pula.   Bagi seorang ahli sekali pandang akan tahu bahwa Hiat-tonya telah tertutuk sehingga tidak bisa berkutik kecuali biji matanya yang jelilatan.   Dalam hati Kun-gi sudah maklum apa yang telah terjadi, dengan kehadiran Un-locengcu di sini, seluruh penghuni taman keluarga Kauw ini pasti sudah terbius seluruhnya, tak heran sepanjang jalan dirinya tak pernah menemui rintangan.   Lekas dia memburu maju dengan membungkuk diri, serunya.   "Siausay (menantu) menghadap Gakhu (mertua)."   Dengan muka jengah lekas Pui Ji ping berlari ke arah Bok-tan dan Un Hoan-kun, teriaknya.   "Cici, ternyata kalian juga datang." "Adik Ji-ping, bikin susah kau saja,"   Ujar Bok-tan, lalu dia berbisik di telinganya.   "Sejak tadi aku datang bersama Un-cici, sebetulnya kami sudah harus menolongmu, tapi Un-Cici usul supaya dia saja yang menolongmu, ini keputusan yang kita ambil setelah disepakati bersama, adikku yang baik, meski kau agak tersiksa tapi imbalannya cukup memadai, kautidaksalahkan kami bukan?"   Sudah tentu Ji -ping maklum kemana juntrungan kata2 Bok tan itu, sebagai gadis suci masih muda sampai dilihat dan diraba oleh Ling Kun-gi dalam keadaan bugil, memangnya kepada siapa dia harus menikah? Kiranya semua ini memang dirancang oleh Bok-tan dan Un Hoan-kun, maksud mereka memang baik, hati Ji-ping menjadi terharu.   Dengan muka merah dan melelehkan air mata dia tetap pura2 mengomel.   "Kalian memang berengsek, selanjutnya bagaimana aku harus jadi manusia?"   Dengan suara lirih halus Un Hoan-kun membujuk.   "Adik Ji-ping, jangan menangis, urusanmu serahkan saja kepada kami."   Mereka bertiga saling berbisik, sementara di sebelah sana Un Ithong tengah berkata kepada Ling Kun-gi.   "Hiansay, waktu amat mendesak, orang she Ki sudah kupunahkan ilmu silatnya, kini tinggaltunggu kedatanganmu, lekaslah kauturuntangan."   Berlinang air mata Ling Kun-gi, katanya dengan dada sesak dan tersengal haru.   "Malam ini Siausay mencarinya untuk membuat perhitungan kematian ayah dan para pahlawan Hek-liong-hwe, berkat bantuan Gakhu, Siausay merasa sangat berterima kasih."   Lalu dia melangkah maju, bentaknya dengan mendelik dan menuding Ki Seng jiang.   "Bangsat keparat she Ki, kau tahu siapa aku?" "Ling-hiantit,"   Kata Un It-kiau.   "Hiat-to bisunya tertutuk, dia tak bisa bersuara."   Kun-gi angkat sebelah tangannya menepuk jidat orang, Hiat-to bisu orang dibukanya. Ki Seng-jiang segera menggeram gusar, teriaknya.   "Kalian kaum pemberontak ini berani bertingkah di sini, kalian berani membunuh Lohu, mungkin kerajaan takkan memberi ampun pada kalian." "Tua bangka keparat,"   Hardik Kun-gi.   "kematian di depan mata masih berani kau menggertak orang dengan nama kerajaan? Sejak kecil kau dididik oleh Ciok-boh Lojin dari Ui-san, Ciok-boh Lojin terkenal bajik dan mempunyai cita2 luhur demi negara dan bangsa, beliau adalah salah satu dari kedelapan Houhoat Thay-yang-kau, sungguh tak kira kau manusia berjiwa kerdil, gila pangkat dan tamak harta, sudi menjadi antek bangsa lain, menindas rakyat bangsa sendiri demi mengejar pahala untuk junjunganmu, tak segan2 kau menjual Hek-liong-hwe sehingga menimbulkan banyak korban jiwa, hari ini aku menuntut balas sakit hati ayahku dan menuntut keadilan bagi para patriot Hek-liong-hwe. Ketahuilah, setiap penghianat bangsa adalah beginilah akhirnya, Tu Hong-seng sudah kubunuh, segera aku akan mencari Ci Kun jin pula, kepalamu harus ku penggal dan kubawa pulang. Pelan2 dia terima pedang dari Pui Ji-ping, pedang pendek yang kemilau itu tampak mengkilapkan hawa ke hijau2an. Pucat pasi muka Ki Seng-jiang karena kejahatannya dibeber, tapi dia seorang yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan, meski pedang sudah mengancam tenggorokan dan tidak mengunjukkan rasa takut dan jeri bentaknya malah.   "Nanti dulu, Lohu ingin bertanya padamu." "Katakan! Bentak Kun-gi. Kau inilah Ling Kun-gi?" "Tidak salah." "Katamu kau telah membunuh Tu Hong-seng?" "Kau kira Tu Hong-seng dijadikan umpan di hotel untuk memancingku masuk perangkap? Ketahuilah, secara terang2an aku berlenggang masuk ke sana, setelah kubunuh Tu Hong-seng dengan berlenggang pula aku keluar, sampaipun petasan yang kau kirim kepadanyapuntakpernahsempatdiusiknya, kaupercaya?" "Itu tidak mungkin."   Teriak Ki Seng-jiang serak. Kun-gi tersenyum, katanya.   "Biar kuberitahu padamu, dengan sedikit menggunakan akal, barisan kesatu dari barisan ketiga pasukan bayangkari kebanggaanmu itu telah kubikin saling bunuh sendiri." "Kau...."desisKiSeng-jiangdengan menggreget. Sebelum orang bicara lagi Kun-gi sudah merogoh keluar sebuah medali perak dari sakunya, katanya sambil membentang telapak tangan ke muka orang.   "Karena aku ini Jilingpan, maka punya hak dan kuasa untuk memerintah mereka, sekarang kau sudah mengerti?"   Mendelik mata Ki Seng-jiang, suaranya gemetar geram.   "Kau Lim Cu-jing!" "Betul, karena tidak ingin membunuhmu di dalam istana, maka kubiarkan kau hidup sehari lebih lama,"   Habis berkata pedang pendeknya bekerja, batok kepala Ki Seng-jiang seketika menggelinding jatuh.   Sejak tadi Un It-kiau sudah siapkan sebuah kantong kertas minyak, lekas dia masukkan batok kepala Ki Seng-jiang ke dalam kantong kertas minyak itu.   Un It-hong keluarkan sebotol Hoa-kut-san, dengan ujung jarinya dia mencukil sedikit bubuk obat terus ditaburkan ke leher Ki Seng-jiang yang putus, lekas sekali sekujur badan Ki Seng-jiang lumer menjadi cairan darah.   Kun-gi simpan pedangnya, katanya.   "Gakhu kalian harus lekas keluar kota dari bergabung dengan ibu di Pek-hun-am, Siausay akan mencari Ci Kun-jin dan membuat perhitungan dengannya, paling lambatsebelumterangtanahpasti akan kususul kalian disana." "Biar aku ikutkau,"sela Boktan. "Akujuga mauikut,"UnHoan-kuntidakmauketinggalan.. Biasanya Pui Ji-ping pasti tidak mau ketinggalan, tapi malam ini dia hanya menunduk saja dengan muka merah dan tak berani bersuara. "Ci Kun-jin adalah majikan Tang-sun-can,"   Ujar Kun-gi.   "untuk membunuh dia aku seorang diri sudah lebih dari cukup. kalian tak usah ikut, tunggu saja di luar kota bersama ibu." -Lalu dia menjura pada Un-cengcu berdua, sekali berkelebat bayangannya melayang keluar jendela dan lenyap ditelan kegelapan. 0-00-0dw0-00-0 Tang-sua-can adalah bangunan tujuh deret, setiap deret dibatasi pekarangan luas. Lapis ketujuh dan terakhir adalah daerah tempat tinggal sang majikan, untuk bangunan lapis ketujuh ini dibuat sedemikian rupa sehingga terasing dari enam lapis yang lain. barisan depannya dipagari tembok setinggi dua tombak, di luar tembok mengalir selokan lebar dan dalam, pepohonan tampak rindang dan tumbuh subur serta terawat baik, tanahnya jauh lebih luas pula dari keenam lapis yang lain, pintunya terbuat dari papan besi yang bercat merah, dua singa2an tembaga bertengger di kirikanan pintu, mungkin setiap hari dibersihkan hingga kelihatan mengkilap. Kedua daun pintu besi ini sepanjang tahun tertutup rapat, untuk masuk ke bilangan terakhir ini dari Tang-sun-can ini harus lewat pintu samping terus masuk lengkong dan serambi panjang sejak mulai deretan rumah kelima. Seperti diketahui lapis keenam merupakan kamar2 hotel yang khusus diperuntukkan orang2 yang berduit, maka pintu2 di sini yang menembus ke segala penjurupun selalu terkunci. Biasanya majikan Tang-sun-can jarang keluar menerima tamu, umpama terpaksa harus keluar juga selalu dikawal oleh lima laki2 kekar jago silat. Tidak banyak orang yang pernah melihat tampang majikan Tang-sun-can, mungkin dia sadar kejahatan yang pernah dia lakukan dulu teramat banyak, dosanya bertumpuk, takut musuhnya menuntut balas, maka selamanya dia mengeram diri bersama para gundiknya, takpernah keluar bila tidakamat penting. Sudah tentu Ling Kun-gi tidak masuk lewat serambi, iapun tidak mengusik orang2 di Tang-sun-can., Tapi dikala dia hinggap di atas tembok pagar lapis ketujuh, dua bayangan orang laksana dua ekor elang menubruk kearahnya, salah seorang diantaranya menghardik galak.   "Siapa kau?"   Kepandaian orang2 ini kalau dinilai dari kaum Busu yang biasa bekerja mengawal para Cukong, boleh dikatakan terhitung kelas satu, sayang mereka berhadapan dengan Pendekar Kidal Ling Kun- gi. Dengan tertawa Kun-gi berkata.   "Inilah aku!"   Hanya dua patah katayangdiaucapkan, tapikedua bayanganyangmenubruk tiba itu seketika jatuh gedebukan terbanting ke tanah.   Tanpa membuang waktu Kun-gi melambung tinggi dan meluncur jauh ke depan ke atas loteng tengah sana.   Waktu itu kentongan ketiga sudah lewat, waktu sudah amat mendesak, sekilas matanya menyapu pandang keadaan sekelilingnya, tampak di atas loteng yang tujuh tingkat ini hanya ada sebuah jendela di sebelah kanan tingkat ketiga yang memancarkan cahaya.   Tanpa ayal Kun-gi meluncur ke sana.   Kiranya itulah kamar agak kecil, tanpa permisi Kun-gi langsung menerobos masuk lewat jendela, dalam kamar seorang gadis remaja lagi mencopot pakaian hendak tidur, begitu merasakan angin berkesiur, sinar pelitapun menjadi guram, tahu2 dihadapannya berdiri seorang pemuda cakap, jantungnya seketika berdebar, dengan menjerit kaget dia menyurut mundur.   Kun-gi tersenyumramah padanya, katanya.   "Nona jangan takut."   Rasa takut agaknya merangsang benak si gadis.. mukanya merah malu, katanya gemetar.   "Kau .... .... apa keinginanmu?" "Cayhemau mencari Kian-lopan, diatinggaldi mana?"   Mengawasi Kun-gi, berubah air muka si gadis, mimiknya menunjukkan rasa kecewa, sambil menggigit bibir dia menggeleng, akhirnya menjawab.   "Aku ......aku tidak tahu."   Kun-gi maju selangkah, katanya.   "Cayhe takkan menyakiti nona, tapi kalau nona tidak mau menerangkan, terpaksa aku menggunakan kekerasan." "Sreet". dia melolos pedang yang kemilau terus menuding ke dada si gadis. Wajah si gadis yang semula merah seketika berubah pucat, serunya gemetar.   "Kau ..... mau membunuhku?"   Tenang suara Kun-gi.   "Aku tidak akan membunuhmu, asal kau tunjukkan tempat tinggal Kian-lopan, jiwamu akan kuampuni." "Dia ......dia tidur di kamar Sam-ih-thay." "Di mana letakkamar Sam-ih-thay?" "Kamar ketiga bagian belakang." "Kautidak mendustaiaku?" "Aku menjawab sejujurnya." "Baik,"   Ujung pedang Kun-gi tiba2 menutul dari balik pakaian dia tutuk Hiat-to penidur orang, lewat jendela dia melompat ke wuwungan terus melejit ke belakang, di sini merupakan pekarangan yang teramat indah, di sebelah depan ada deretan kamar bertingkat pula.   Untuk mengejar waktu Kun-gi terus berlompatan beberapa kali, dikala kakinya menginjak payon seberang rumah sana, tiba2 ia dengar suara hardikan disusul samberan angin senjata tajam yang me-nyerang dari belakang.   Dua sosok bayangan orang menubruk tiba dari kanan-kiri dengan cukup ganas.   Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Dari gerak serangan yang keji ini dapatlah dinilai bahwa kedua penyerang ini memiliki kepandaian yang cukup tangguh.   Tapi Kun-gi terang tidak gentar, tanpa membalik badan, tangan kanan terayun ke belakang, terdengar suara erangan tertahan disusul suara "bruk"   Orang jatuh di atas genteng, penyerang di sebelah kiri terguling ke bawah rumah.   Tangan kanan yang terayun ke belakang itu sekalian meraih dan menggentak, golok tebal dari penyerang sebelah kanan berhasil dipegangnya lalu disodok balik dan mengenai dada tuannya, tanpa bersuara orang inipun terjungkal ke bawah.   Dengan jatuhnya kedua orang yang gedebukan keras ini pasti mengejutkan banyak orang, tapi Ling Kun gi tidak peduli lagi, cepat ia memukul jendela kamar ketiga di depannya terus menerobos masuk.   Itulah sebuah kamar yang dipajang mewah, sayang keadaan kamar gelap gulita, tapi jelas kelihatan di atas ranjang tidur dua orang, mereka terkejut bangun mendengar suara gaduh di luar, tapi saking ketakutankeduanya meringkukberpelukandidalamselimut.   Kun-gi sulut lampu sehingga kamar itu menjadi terang, lalu dia membentak ke arah ranjang.   "Kian-lopan, keluarlah kau."   Ranjang tampak bergoyang keras, sebuah tangan yang gemetar tampak menyingkap kelambu, seraut muka kurus tirus menongol keluar, kulit muka si tua bangka ini tampak pucat, dengan takut dia melorot turun mengenakan sepatu.   Usia laki2 ini sekitar lima puluhan, rambut sudah beruban, kumisnya jarang2 jenggotpun hanya secomot, matanya yang sipit membentuk segi tiga memancarkan rasa takut.   Setelah dia melihat orang yang bertolak pinggang di dalam kamarnya ternyata hanya seorang pemuda yang bertangan kosong, rasa kedernya lantas lenyap sebagian besar, lekas dia tenangkan diri lalu unjuk tawa kecut, katanya munduk2.   "Congsu ini malam buta berkunjung kemari, entah ada keperluan apa?"   Dalam pada itu suara ribut telah terjadi di bawah loteng banyak orang berteriak2 menangkap maling cahaya oborpun kelihatan terang. Kun gi tidak hiraukan kegaduhan di bawah, tanyanya dengan suara kereng.   "Kau inikah Kian-lopan, pemilik Tang-sun-can?"   Mendengar orang bicara dengan nada ramah, apa lagi orang2nya sudah ribut di bawah loteng timbul nyali si tua kurus, katanya mengangguk.   "Lo-siu memang orang she Kian, silakan Congsu utarakan maksud kedatanganmu, asal Losiu mampu ....."   Mendengar orang bicara dengan nada ramah, apa lagi orang2nya sudah ribut di bawah loteng timbul nyali si tua kurus, katanya mengangguk.   "Lo-siu memang orang she Kian, silakan Congsu utarakan maksud kedatanganmu, asal Losiu mampu ....." "Tutup mulutmu!"   Hardik Kun-gi bengis, sorot matanya tiba2 memancarberapi"Akutidakingin memerashartamu."   Kian-lopan menelan air liur, tanyanya.   "Lalu Congsu ....?" "Jawab pertanyaanku, apakah asalmu she Ci?"   Bergidik si tua tirus, sahutnya tergagap.   "Bukan, bukan, Losiu she Kian. Kian artinya ....."   Mungkin dia tidak melihat bahwa Ling Kun-gi menyelipkan pedang pendeknya di pinggang, mendadak dia berteriakkeras."Tolong!Ada maling di sini." "Sret", selarik sinar terang terayun dari tangan Kun-gi, ujung pedangnya yang tajam kemilau mengancam di depan hidung Kian-lopan, jengeknya.   "Orang she Kian, berani kau mungkir akan kuiris duluhidungmu. Lekas katakan, bukankah kau iniCi Kun jin?"   Saking ketakutau Kian-lopan manggut2, sahutnya.   "Ya, ya, aku . ....akumemang Ci......CiKunjin."   Beringas muka Kun gi, tanyanya.   "Baik, jawab pula pertanyaanku, dulu kau pernah menjadi sekretaris Kok thay yang menjabat Gubernur Shoatang?" "Congsu,"   Kata Ci Kun jin dengan muka kecut.   "hal itu sudah lama berselang."   Batang pedang Ling Kun-gi yang mengancam hidung orang tampak gemetar saking menahan emosi. serunya bengis.   "Bagus sekali, tentunya kau masih ingat kejadian dua puluh tahun yang lalu, pernah kau mengusulkan muslihat keji kepada si bangsat tua Kok-thay itu untuk menghancurkan Hek-liong hwe di Kun-lun-san, ratusan patriot bangsa telah gugur karena muslihatmu, Ki Seng- jiangsudahku-penggalkepalanya,kini menjadigiliranmu."   Pucat bagai kertas muka Ci Kun-jin, tiba2 dia menjatuhkan diri menyembah berulang2 seraya berseru.   "Ampun Congsu, Losiu dipaksa untuk melakukan itu." "Tiada ampun bagimu, aku datang ke Jiat-ho ini untuk menuntut balas kematian para pahlawan Hek-liong-hwe, menuntut balas sakit hati kematian ayahku, siapapun yang menjadi pengkhianat bangsa dan sudi menjadi antek penjajah akan menemui ajalnya sesuai dengan ganjaran perbuatannya, dan lagi supaya kau mengerti aku inilah Ling Kun-gi, putera Ling Tiang-hong, Hwecu Hek-liong-hwe dulu, kau sudah dengar jelas?"   Habis bicara.   "crat", begitu sinar pedang berkelebat, batok kepala Ci Kun-jin mencelat dari batang lehernya. Sekali tendang Kun-gi lempar jasad Ci Kun jin, dengan kalem dia masukkan batok kepala orang ke dalam kantong kertas minyak terus melompat keluar jendela, dalam sekejap bayangannya sudah lenyap. Besoknya kota Jiat-ho jadi geger, komandan tertinggi pasukan bayangkari yang paling berkuasa di istana raja ternyata menghilang tanpa jejak, Tu Hong-seng yang tinggal di losmen Liong-kip juga mati, cukong atau pemilik Tang-sun-can "Kian-lopan"   Juga mati terbunuh dengan kepala terpenggal, lebih celaka lagi adalah kelompok barisan pertama pasukan bayangkari telah dihajar habis2an oleh kelompok ketiga dari pasukan yang sama, kedua pihak jatuh korban cukup banyak..   Menurut dugaan kejadian ini adalah berkat kerja dan rencana keji kaum pemberontak yang mau menuntut balas.   Maka keempat pintu kota kini ditutup rapat, rakyat tidak diperbolehkan keluar masuk, kota dirazia, digeledah untuk menangkap kaum pemberontak.   Pada persimpangan jalan sebelah barat kota Jiat-ho, di bawah sebuah pohon besar diparkir sebuah kereta ,yang di tarik seekor kuda, kusir keretanya adalah seorang laki2 tua bermuka kuning.   Dalam kereta duduk empat orang perempuan, ibu beranak, menantu dan seorang pelayannya.   Sang mertua kelihatan berusia enam puluhan, menantunya adalah perempuan muda yang cantik jelita, puterinya adalah gadis remaja yang baru berusia delapan belas, pakaian mereka sederhana, jelas mereka dari keluarga menengah.   Tak jauh di sebelah sana ada dua orang penjual kain kelilingan, seorang berusia lima puluhan, tingkah lakunya lucu seperti orang sinting, seorang tahu laki2 lima puluhan, mukanya merah, tubuhnya kurus.   Dalam jarak satu panahan maju ke depan lagi, masih ada kelompok orang, keadaannya jauh lebih mentereng, mereka adalah ayah beranak lima orang, ada laki2 ada perempuan, sang ayah berwajah putih bersih, jenggot hitam menjuntai di dada, mengenakan jubah biru bersulam kembang, sepatunya tinggi terbuat dari kulit, seorang lagi adalah pemuda bersama tiga orang adik perempuannya.   Si pemuda berperawakan kekar gagah, demikian pula ketiga nona itu sama cantik dan segar bak bunga baru mekar.   Masih ada lagi dua kacung yang merawat kuda.   Dilihat dari dandanan mereka, kemungkinan adalah keluarga berpangkat yang sedang lewat dan istirahat.   paling tidak kaum bangsawan entah dari mana.   Tiga kelompok orang ini meski sama istirahat di tempat yang berlainan, tapi kelihatan mereka seperti sedang menunggu orang, entah siapa? Karena mereka sering berpaling ke arah kota di mana jalan raya itu menjurus, Tentunya para pembaca maklum orang2 ini ialah Thi hujin, Bok- tan, Pui Ji-ping bersama pelayan Ing-jun, kakek yang jadi kusir adalah Ting Kiau.   Kedua penjual kelilingan adalah Un It hong, sementara lima orang di bawah pohon sana adalah Ciam-liong Cu Bun-hoa, Cu Ya- khim, Tong Siau-khing, Tong Bun-khing dan Un Hoan-kun, kedua kacung adalah Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa.   Mereka sudah berjanji dengan Ling Kun-gi untuk menunggu kedatangannya di sini.   Mereka sudah menunggu sekian lamanya, selagi hati tidak sa-bar dan gelisah tertampak dari ujung jalan raya sana muncul setitik bayangan orang meluncur sepesat kuda membedal.   "Nah itu Toako sudah datang"   Pui Ji ping mendahului berteriak sambil berjingkrakgirang.   Yang datang memang Ling Kun-gi, ia membawa sebuah buntalan kertas minyak, jelas isi kantong adalah batok kepala Im si boankoan Ci Kun -jin.   Kun-gi langsung menuju kereta, setelah dekat dia lempar buntalan kertas minyak itu terus menjatuhkan diri berlutut, air matanya bercucuran, serunya.   "Bu, syukurlah anak berhasil menuntut balas sakit hati ayah, menebus dendam kesumat kematian para pahlawan Hek-liong hwe."   Sambil berlinang air mata Thi hujin manggut2, katanya.   "Anak baik, bangunlah, ibu sudah tahu jelas memang tidak malu kau sebagai putera Ling Tiang hong, sebagai cucu yang baik dan berbaktiterhadapkakak luarmu, hayolahkitalekas berangkat."   Bok-tan mengeser tempat duduknya, dengan suara merdu mesra dia berkata.   "Marilah kau naik ke kereta."   Tanpa bicara Kun gi lompat ke atas kereta. Tanpa diperintah lagi Ting Kiau menurunkan kerai terus lari ke depan sambil mengayun cambuk.   "Tar", kuda segera mencongklang kedepan, menyusul Un It-hong, Un It kiau dan lain2 mencemplak kuda masing2 dan menyusul dari kejauhan. Jalan raya ini menjurus ke Pak-kau, tiga kelompok berangkat sendiri2, sudah tentu tidak menarik perhatian orang. Tapi baru kira2 tiga li jauhnya mereka menempuh perjalanan, tampak di kejauhan di tengah jalan raya berduduk tersimpuh lima orang Lama berkasa merah yang berusia lanjut. Mereka bersemadi tak bergeming, meski kereta semakin dekat tapi mereka anggap tidak melihat dan tak mendengar. Cepat sekali keretapun berlari, tiba di depan mereka..Dari kejauhan Ting Kiau sudah ber siap2, kira2 tiga tombak jaraknya dia tarik tali kendali menghentikan lari kudanya, tapi kereta masih terseret maju setombak lebih. "Ting lotoa,"kataThi hujin.   "adakejadianapadidepan?"   Ting Kiau menyahut.   "Lapor Lothay, ada beberapa Lama mengadang di tengah jalan."   Lalu dia menambahkan dengan suara lirih.   "Agaknya mereka bermaksud kurang baik."   Maka terdengar salah seorang Lama yang tertua paling tengah angkat kepala dan bersuara kalem.   "Maksud kami bukan jahat, Lolapberlima hanyaingin menemuisatuorang."   Bok-tan segera berbangkit, katanya sambil menyingkap kerai. "Losuhu, kami kaum perempuan ingin lekas masuk kota, jangan kalian salah alamat." "Mana mungkin Lolap salah mencari orang?"   Ucap Lama tertua, "bukankah dalam kereta kalian ada Siau-sicu she Ling?" -Jelas mereka ingin membuat perhitungan dengan Ling Kun gi. Thi-hujin mengerut kening, katanya lirih.   "Kelima orang ini sepertikaum Lama." "Siancay. Siancay,"   Ucap Lama tertua.   "rekaan Hujin memang betul." "Bu, kalau mereka menunjuk diriku, biarlah anak turun bicara dengan mereka,"   Kata Kun gi. "Kedatangan mereka bermaksud tidak baik, kau harus hati2,"   Demikian pesan Bok-tan. "Biar aku juga turun,"   Seru Ji-ping. Lekas Thi-hujin menariknya, katanya.   "Anak Gi boleh turun dan tanyaimereka, kautak usahturutcampur."   Kun-gi lantas melangkah turun, tampak kelima Lama ini masing2 menduduki satu posisi tertentu, semuanya duduk semadi memejamkan mata hingga berbentuk sebuah lingkaran, cepat dia menjura, sapanya.   "Para Suhu hendak mencari Cayhe, entah ada petunjuk apa?"   Lama tertua yang menjadi pemimpin membuka kelopak matanya, kedua tangan terkatup di depan dada, katanya. "Omitohud! Apakah Siausicu inilah Ling Kun-gi?"   Kun-gi mengangguk, sahutnya.   "Betul, Cayhe memang Ling Kungi." "Adasuatusoalingin kutanyakepadaSiausicu,"   KataLamatua. "Soalapa, silakanbicara." "Lolap punya seorang murid, bernama Pat-toh, apakah dia mati terbunuh oleh Siau-sicu?"   Bergetar hati Kun-gi, seperti diketahui Lama kasa merah yang bernama Pat-toh mati ditangan bibinya sebagai Maha Pangcu Pek- hoa-pang, tapi sang bibi sekarang sudah wafat, biarlah dirinya yang memikul tanggung jawabnya. Maka dia mengangguk, katanya.   "Betul, muridmu itu adalah Hek-liong-hwe Houhoat, Cayhe menuntut balas pada Han Jan-to atas kematian ayah almarhum, tapi muridmu menampilkandiri,terpaksadiagugurdibawahpedangku."   Sikap Lama tua tetap tenang tanpa marah sedikitpun, katanya mengangguk.   "Lolap dengar Siau-sicu ini murid didik Hoan-jiu-ji-lay, sudah lama Lolap dengar nama besar Hoan-jiu-ji-lay, sayang selama puluhan tahun belum pernah bertemu, bahwa Siau-sicu mampu membunuh muridku, itu tandanya Kungfumu sudah tinggi, ilmu pedangmu pasti juga amat lihay, Lolap dan para Sute ingin menjajal dan menyaksikan ilmu pedang Siausicu, bagaimana menurut pendapat Siausicu?"   Diam2 tersirap darah Kun-gi, sungguh tak nyana bahwa kelima Lama tua ini adalah guru dan paman guru Pat-toh yang lihay itu.   Kungfu Pat-toh pernah dia saksikan sendiri, tarapnya jelas tidak lebih rendah daripada Thay-siang, bahwa kelima Lama tua ini adalah guru dan paman gurunya, mereka terang memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari-pada Pat-toh.   Sebelum Kun-gi memberi tanggapan, Lama tua sudah berkata lebih lanjut.   "Lolap juga dengar bahwa Siausicu mahir mainkan Hwiliong-sam-kiam, dengan gaya jungkir balik dan terapung di udara sambil menyerang musuh, Lolap lima bersaudara akan duduk bersimpuh di tempat masing2 dan takkan bergerak dari tempat duduk ini, asalkan Siau-sicu dapat mencelat keluar dari tengah lingkarankami makakamiberlima akan menyerah kalah."   Agaknya dia sudah tahu jelas bahwa Hwi-liong-sam-kiam harus dikembangkan dengan badan terapung dam jumpalitan di udara, dikatakan pula bahwa mereka berlima takkan bergerak dari duduknya, lalu cara bagaimana mereka akan turun tangan? Bila Kun-gi betul2 mengembangkan Sin-liong-jut-hun, dengan mudah dia dapat melambung dan jumpalitan keluar dari dalam lingkaran, kenapa Lama tua ini berani bertaruh begitu.   Tak tahan Bok-tan lantas melompat turun dan berdiri di samping Kun-gi, katanya.   "Maksud Lo-suhu akan bertempur dengan tenaga kalian berlima, kalau demikian biarlah kami berdua menghadani kalian,kan boleh?"   Sekilas Lama tua meliriknya, katanya hambar. "Li-sicu ini lebih baik mundur saja."   Diam2 Kun-gi sudah perhatikan kelima Lama tua ini memang luar biasa, mereka duduk dengan posisi Ngo hing (lima unsur), kemungkinan akan membentuk semacam barisan pedang yang lihay, dirinya telah mempelajari Hwi-liong-kiu sek, bisa jadi mampu mengatasi keroyokan lima lawan.   Tapi Bok-tan hanya membekal tiga jurus ilmu pedang, mungkin takkan kuat bertahan, maka dia berkata.   "Losuhu ini hanya ingin menjajal ilmu pedang yang pernah kupelajari, memang lebih baik kau undurkan diri saja." -Lalu dengan menggunakan ilmu gelombang suara diam2 ia membisiki.   "Aku sudah berhasil mempelajari sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin, umpama tidak menang juga aku masih mampu mempertahankan diri, bila kau berada di sampingku, mungkin malah menghambat gerak-gerikku."   Sementara itu derap kaki kuda ramai mendatangi, kiranya rombongan Cu Bun-hoa telah tiba.   Melihat Kun-gi berdampingan dengan Bok-tan menghadapi lima Lama yang bersimpuh di tengah jalan raya.   Tong Bun-khing dan Un Hoan kun segera, melejit dari punggung kuda mereka terus hinggap di kiri kanan Ling Kun-gi.   Dengan suara merdu Un Hoan-kun bertanya.   "Apa yang terjadi, mereka mencegatmu? Ini soal mudah, biar aku yang bereskan mereka."   Cepat Kun-gi goyang tangan mencegah, katanya.   "Hoan-moay jangan semberono, lekas kalian mundur ke belakang."   Di dalam kereta Thi hujin hanya tenang2 saja, katanya.   "Anak Gi betul, kalian mundur saja, biar anak Gi menghadani para Losuhu ini"   Terpaksa Bok-tan, Un Hoan-kun, Tong Bun-khing turuti nasehat Thi-hujin. Lama tua tertawa tawar, katanya.   "Siausicu sudah siap?"   Sudah tentu Kun-gi tak berani gegabah, segera dia keluarkan Seng ka-kiam.   Sementara kelima Lama itupun mengeluarkan senjata yang bentuknya seperti pedang tapi bukan pedang, panjang dua kaki, bentuknya rada aneh, belum pernah ada senjata semacam ini.   Maklum, senjata ini memang khas kaum Lama, namanya Hiapciang-hiap.   Bentuknya seperti pedang, pada gagangnya digubat benang mas dan bertatahkan mutu manikam, batang pedang hanya sepanjang satu kaki dan berkemilauan tajam, ujungnya berbentuk gurdiyangruncing bulat, bentuknyalebih mirip kepalaular.   Setelah mengeluarkan senjata masing2, para Lama tetap bersimpuh, mata terpejam kepala sedikit menunduk, sikapnya tidak seperti jago yang siap tempur.   Tapi Kun-gi yang sudah berdiri di tengah mereka merasakan secara langsung bahwa kelima Lama ini tengah mengerahkan Lwekang pada batang senjata ampuh mereka, meski belum lagi bergerak, tapi senjata itu sendiri sudah menimbulkan perbawa yang tidak kecil.   Kun-gi tahu pertempuran ini merupakan adu kekuatan yang besar artinya, apakah dirinya mampu menandingi kekuatan gabungan kelima Lama sakti ini masih merupakan tanda tanya besar.   Maklumlah, dia tidak kenal senjata apa yang digunakan lawan? Belum diketahui pula dengan cara bagaimana musuh akan mulai menyerang? Orang kuno sering bilang.   harus tahu kekuatan sendiri dan dapat mengukur kekuatan lawan, setiap kali bertempur tentu menang.   Kini hakikatnya Kun-gi tidak kenal musuh2nya, bagaimana mungkin dia bisa mempersiapkan diri.   Terpaksa dia berdiri diam menanti gerakan lawan lebih dulu.   Cukup lama mereka bertahan, kedua pihak tetap diam saja tanpa bergeming, akhirnya Lama tertua itu membuka suara.      Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo    Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung

Cari Blog Ini