Ceritasilat Novel Online

Rahasia Si Badju Perak 10


Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Bagian 10


Rahasia Si Badju Perak Karya dari G. K. H   Hun-tai Siancu segan menolak, tapi dikasih hati mereka malah menjadi tuman, terutama muridnya yang bernama Ban Ai-ling itu, hatinya jahat, kekejiannya melebihi gurunya, sering juga dia ikut datang untuk mendekati Cia In-hun, membuatnya sangat muak dan benci.   O, jadi begitu, demikian batin Thian-ih.   Belum lama mereka berada diatas puncak cuaca sudah hampir petang, matahari kebetulan hampir tenggelam di peraduannya dengan memancarkan sinar kuning keemasan yang mempesonakan.   Thian-ih sampai kesima melihat pemandangan yang sedemikian indah.   Terdengar Cia In-hun mendesak di belakangnya.   "Engkoh Thian-ih, mari kita pulang, lambat sedikit waktu saja mungkin kita tak dapat melihat jalan. Kalau terlambat pulang pasti Suhu akan menegor kita." Melihat cuaca memang hampir petang Thian-ih juga tidak berani tinggal terlalu lama lagi, cepat-cepat mereka berlari turun gunung sambil mengembangkan ilmu ringan tubuh supaya secepatnya tiba di Hun-tiong-khek. Betapapun cepat lari mereka karena jarak terlalu jauh, baru sampai dibawah gunung cuaca sudah petang dan tidak dapat melihat jalan lagi. Angin gunung menghembus dengan kerasnya menderu-deru, daun pohon berkeresekan dihembus angin, seakan-akan ada orang mengejar di belakang mereka. Diam-diam Thian-ih dan Cia In-hun mengeluh, mereka tidak membawa bahan api terpaksa harus maju menggeremet didalam dasar jurang yang gelap pekat. Seumpama berkepandaian setinggi langit juga dalam keadaan yang begini tak berguna lagi, terpaksa mereka bergandengan tangan terus menggeremet maju. Umumnya hati seorang perempuan lebih penakut, tangan yang tergenggam oleh Thian-ih itu terasa gemetar dan berkeringat. Sedikit meleng hampir saja kaki Thian-ih terjerumus dan terjungkal ke dalam jurang. Karena tidak melihat tegas keadaan sekelilingnya mereka tak berani sembarangan maju dan bergerak. Kata Thian-ih akhirnya. "Adik Hun, terang kita terlambat untuk pulang, terpaksa mencari sebuah tempat untuk menginap saja disini."   Apa boleh buat, Cia In-hun mengiakan setuju.   Pelan-pelan Thian-ih manjat ke lamping gunung mendapatkan sebuah gua, untung keadaan dalam gua ini kering dan bersih.   Thian-ih mengundang Cia In-hun masuk ke dalam, dengan daun-daun kering ditebar di atas tanah sebagai kasuran mereka bersiap untuk bermalam di tempat ini.   Gua itu tidak begitu besar cukup untuk rebahan seorang saja.   Begitu Cia In-hun berbaring, mengingat adat istiadat yang melarang persentuhan badan muda mudi, sekuatnya Thian-ih tahan rasa kantuknya berjaga dimulut gua, dengan bersenjatakan sebuah dahan pohon ia mondar mandir di depan gua.   Sungguh celaka pada tengah malam mendadak terbit angin badai membawa hujan lebat.   Terpaksa Thian-ih harus berdiri ditimpah hujan sampai badannya basah kuyup.   Untung Cia In-hun terkejut bangun dari tidurnya, berulang kali ia minta Thian-ih masuk gua.   Tapi Thian-ih berpikir, toh sudah basah kuyup, kehujanan lagi beberapa jam apa halangannya.   Memang mulutnya mengiakan tapi kakinya tidak bergerak, saking gugup akhirnya Cia In-hun yang berlari keluar dan menyeretnya masuk ke dalam gua.   Dalam kegelapan terasa tangan Cia In-hun tengah meraba-aba badannya, didapatinya seluruh tubuh Thian-ih basah kuyup, seakan baru keluar dari sungai, maka omelnya.   "Engkoh Thian-ih, mengapa kau menyiksa dirimu sendiri.   Beginikah pambek seorang kesatria kalangan persilatan, mengapa kau begitu sungkan dan malu-malu !"   Lalu berulang kali ia mendesak Thian-ih menanggalkan pakaian luarnya supaya tidak sakit kedinginan.   Sudah tentu Thian-ih tidak mau mencopot pakaiannya.   Tapi sikap Cia In-hun justru sangat polos dan terbuka, segera diulurkan tangannya hendak membukakan baju orang.   Keruan Thian-ih menjadi gugup sendiri.   "Ya, ya biar aku copot sendiri !"   Tanpa merasa jantung Thian-ih berdebur sangat keras, teringat pengalaman dalam gua ini tidak seberapa besar bedanya dengan pengalamannya dalam kuburan waktu menolong Hong-gi tempo hari.   Kelak kalau tidak diketahui orang itulah baik, kalau tidak ini merupakan dosa yang susah dapat ditebus dengan apa juga.   Mendadak dilihatnya tidak jauh di sebelah samping sana sinar api berkelap kelip, hatinya bersorak girang, cepat ia berlari keluar mencarinya.   Itulah di sebuah rimba kecil ditengah rimba ini terdapat sebuah rumah batu, dari dalam rumah batu inilah mencorong keluar sinar pelita itu.   Diam-diam Thian-ih merambat maju, maksudnya hendak mengetok pintu dan minta api.   Tapi waktu langkahnya semakin dekat mendadak terdengar suara keriyat-keriyut yang aneh, waktu ia mengintip melalui lobang jendela, dia menjadi kaget dan gusar.   Dari sinar pelita keadaan dalam ruang dalam terlihat sangat jelas, diatas dua dipan kayu terlihat dua laki-laki dan dua perempuan tengah melakukan adegan yang sangat memalukan.   Waktu ditegasi begitu melihat salah seorang laki-laki yang berada dekat jendela ini Thian-ih lebih terkejut lagi.   Kiranya orang ini bukan lain adalah Ban Ai-ling.   Sedikit meleng karena terkejut tubuh Thian-ih menumbuk dinding sampai mengeluarkan suara.   Ban Ai-ling yang dekat jendela mendengar suara yang mencurigakan segera melompat keluar begitu mereka berhadapan, melihat orang di depannya ini adalah Thian-ih mendadak Ban Ai-ling bergelak ter- tawa.   "Haha, ternyata adalah saudara Thian-ih. Selamat bertemu, hari ini entah angin apa yang membawamu ke tempat ini ! mari, kita bersalaman..............."   Mengulur tangan dia terus menarik Thian-ih. Thian-ih muak dan benci melihat tampang orang kotor ini, tanpa membuka mulut dia putar tubuh terus hendak tinggal pergi. Ban Ai-ling segera mendesak maju mencegat didepannya, jengeknya dingin.   "Begini gampang kau hendak tinggal pergi, kurasa tidak sedemikian mudah? marilah kita bermain-main dulu, coba kulihat adakah sundel cantik itu akan datang menolongmu lagi ?"   Mendadak ia turun tangan menyerang dengan tipu Hwi-ing-cu-lip (elang terbang menutul pari) menutuk pundak Thian-ih tepat di jalan darah Cian-kin-hiat.   Thian-ih tidak berkelit atau menyingkir, dengan jurus Heng-gan-siang-hong (memandang kepuncak) tubuh sedikit mendak kedua tangannya terus didorong ke depan mengarah perut dan dada lawan, jurus serangan ini menggunakan delapan bagian tenaganya, tujuannya supaya lawan tahu diri dan cepat-cepat menarik kembali serangannya.   Untuk selamatkan diri benar juga Ban Ai-ling berkelebat ke samping terus mengirim lagi sebuah pukulan.   Thian-ih himpun tenaganya menyambut pukulan lawan.   "Blang", ternyata Ban Ai-ling tidak kuat menahan tangkisan tenaga Thian-ih yang dilandasi kegusaran sampai tubuhnya sempoyongan, mulutnya berseru tertahan menyatakan keheranannya.   Sungguh diluar sangkanya, pemuda yang tempo hari terjungkal di tangannya, baru berpisah berapa lama saja sudah bertambah pesat kepandaiannya.   Ban Ai-ling menginsyafi bahwa Lwekang lawan sudah lebih unggul dari dirinya.   Hatinya menjadi takut tak keruan paran, tiba-tiba ia berteriak ke arah batu rumah.   "Suhu, lekas keluar."   Yang benar Thian-ih sudah kerahkan seluruh tenaganya baru sedikit unggul saja.   Begitu mendengar orang berteriak, hatinya sedikit terkejut, apakah seorang pria lain dalam rumah itu adalah gurunya Pak ko-seng? Kalau dia ikut turun tangan, mana dirinya menjadi tandingan orang, lantas teringat Pak-ko-seng dan muridnya ini adalah bangsa rendah yang tidak tahu malu, tanpa merasa timbul hawa amarah dalam benaknya, ingin rasanya segera menghancur-leburkan tubuh kedua guru dan murid ini.   Melihat Ban Ai-ling sudah ketakutan, Thian-ih bergerak semakin cepat dengan serangan yang gencar, sampai musuhnya kelabakan mencak-mencak, jurus-jurus yang dilancarkan adalah ilmu yang dipelajari dari Hun-tai Siancu.   Namun sebelum ia berhasil merobohkan musuh keji ini, dari dalam rumah berkelebat keluar sebuah bayangan, dimana terlihat lengan bajunya dikebutkan, sebuah jalur angin kencang segera menerjang kearah Thian-ih.   Sontak Thian-ih merasa dadanya seperti ditindih batu besar sampai susah bernapas, darah hampir menyembur keluar sampai ditenggorokannya.   Tahu dirinya terancam bahaya cepat-cepat ia melesat mundur.   Gerakan Pak-ko-seng sungguh cepat dan lincah sekali, sekejap saja mendadak ia mendesak tiba disamping Thian-ih sambil perdengarkan gelak tawanya yang bergelombang seperti suara kokok-beluk.   Sekuat tenaga Thian-ih lompat menyingkir, tapi angin pukulan lawan mengekang dirinya seumpama dinding kokohnya, sehingga sia-sialah usahanya hendak menjebol keluar.   Pak-ko-seng hanya menarikan kedua lengan bajunya tanpa turun tangan lebih lanjut, tapi hanya angin pukulannya itu sudah cukup mengekang Thian-ih dalam kurungannya.   Melihat Thian-ih berlarian kian kemari tumbuk sana terjang sini selalu terpental balik dengan sempoyongan, seperti tikus dipermainkan kucing saja, pak-ko-seng tertawa gelak-gelak menikmati hasil karyanya yang sangat dibanggakan selama ini.   Terdengar Ban Ai-ling berteriak dari samping.   "Suhu, tutuk dia, aku hendak bertanya pada dia!"   Benar juga dengan dua jari tangan kanannya Pak-ko-seng menutuk jalan darah pelemas ditubuh Thian-ih.   Dengan mendelik Thian-ih awasi wajah orang, tapi tak mampu berontak atau bergerak lagi, begitu kiok-ti-hiat terasa linu dia lantas tersuruk jatuh.   Bentak Ban Ai-ling.   "Kau datang bersama Cia In-hun bukan? Dimana dia sekarang?"   Thian-ih berpikir, kalau Cia In-hun masih belum bangun, kalau sampai terbekuk oleh mereka guru dan murid akibatnya tentu susah dibayangkan. Maka pejamkan mata tanpa bersuara. Ban Ai-ling terloroh-loroh, bentaknya lagi.   "Thio Thian-ih, kau masih berani tidak buka suara? Biarlah kau merasakan kenikmatan tutukanku ini."   Disertai dengan ancamannya itu kedua jarinya segera menutuk jalan darah dibawah ketiaknya.   Seketika Thian-ih merasa seakan-akan seluruh tulang dan otot-ototnya lumer dan copot semua, laksana ribuan semut sedang merambat diseluruh tubuhnya, saking kesakitan ia menggigit gigi sekencang-kencangnya sampai mengeluh kesakitan tanpa tertahan.   Ban Ai-ling tersenyum ejek, desaknya lagi.   "Katakan tidak? Rasakan kelihayan tutukanku ini! Lekas katakan, dimana dia sekarang?"   Sungguh tidak memalukan watak Thian-ih sebagai seorang kesatria yang kuat menahan segala uji.   Dia tahu kalau dirinya sedang disiksa dengan semacam ilmu membagi urat mencopot tulang, sakitnya bukan buatan, tapi dia masih berusaha tidak membuka mulut.   Tak lama kemudian sambil melihat cuaca segera Pak-ko-seng membuka suara.   "Anak Ling cepat kau cari sendiri, waktu dia datang kan ada jejak kakinya, sekarang hujan sudah reda, pasti jejak kakinya masih jelas terlihat....'' Baru sekarang Ban Ai-ling sadar, serunya kegirangan.   "Suhu pikiranmu ini tepat sekali. Kalau dia bersembunyi dalam gua disekitar sini. Haahha......"   "Cekluk"   Dia menelan ludah. Pak-ko-Seng seorang tua bangkotan yang licik dan banyak akalnya, katanya tertawa.   "Kalau dia masih berada dalam gua, saat ini hari kebetulan akan terang tanah, mungkin dia masih belum bangun, sangat tepat kepergianmu ini !"   Sejenak berhenti lalu pesannya lagi.   "Tapi kau harus hati-hati, terlebih dulu kau harus tutuk jalan darahnya, jangan sampai dia melarikan diri, kalau Hun-tai Siancu itu sampai marah, wah tambah berabe nanti !"   Ban Ai-ling menyeringai tawa. "Suhu, ucapanmu tepat sekali. Baiklah aku akan berbuat menurut petunjukmu. Kalau nasi sudah menjadi bubur, tidak takut gurunya itu tidak melulusi."   Secepat terbang segera Ban Ai-ling berlari keluar.   Segera Pak-ko-seng menjinjing Thian-ih, sekali meraba-aba ditubuhnya, kontan rasa kesakitan tadi segera lenyap.   Tapi badannya masih sangat lemah tak bertenaga.   Sekali lempar tubuh Thian-ih terbang tinggi dan sebelum menyentuh tanah, mendadak Pak-ko-seng berteriak kejut, terus menyambar tubuhnya lagi terus dibawa lari kearah puncak secepat angin.   Dalam pada itu Ban Ai-ling sudah memasuki gua dimana tempat Cia In-hun tengah tidur nyenyak, sambil menyeringai iblis segera ia peluk tubuh yang tidur celentang itu.   Sekonyong-konyong Cia In-hun melompat bangun dan "Blang"   Dengan telak pukulannya mengenai pundaknya.   Keruan Ban Ai-ling menjerit kesakitan, dan terperanjat sekali.   Tanpa berani berpaling lagi segera Cia In-hun menerobos keluar terus lari sekencang-kencangnya.   Luka Ban Ai-ling tidak berat, tapi nafsu birahinya masih menyala-nyala, sungguh sesalnya bukan buatan, mengapa tadi tidak menutuknya lebih dulu, dengan sempoyongan segera ia mengejar keluar.   Mendadak terdengar dari kejauhan sana teriak orang sedang memanggil-manggil.   "In-hun! In-hun! Thian-ih! Dimana kalian?"   Mendengar suara Hun-tai Siancu ini bagai kelinci mendengar guntur, cepat-cepat Ban Ai-ling menyelinap masuk kembali kedalam gua.   Sejenak kemudian dia merasa dengan sembunyi ditempat ini bukan tempat yang aman, siapa tahu kalau Cia In-hun sudah bertemu dengan Hun-tai Siancu dan tahu kalau dirinya berada dalam gua ini bukankah mereka akan segera meluruk kesini ! Cia In-hun saja susah dilawan apalagi bersama gurunya.   Maka sambil menahan kesakitan dia menggeremet keluar.   Untung bayangan Hun-tai Siancu dan Cia In-hun tidak terlihat, bergegas ia lari terbirit-birit ke puncak kanan dibelakang Hun-tai-san, yaitu rumah batu kediaman gurunya itu.   Melihat kelakuan muridnya yang serba runyam ini, segera Pak-ko-seng menanyakan pengalamannya, dengan tergagap Ban Ai-ling menuturkan.   Pak-ko-seng berjingkrak murka, makinya.   "Goblok, sudah kusuruh kau menutuk jalan darahnya. Apa kau sudah linglung?"   Ban Ai-ling mewek-mewek, sahutnya.   "Ya, Suhu memang aku sudah linglung."   Melihat tingkah muridnya ini, Pak-ko-seng menjadi jengkel dan geli lagi, katanya.   "Tidak lekas kau bawa orang she Thio itu masuk kedalam lorong bawah tanah! Apa lagi yang kau tunggu berdiri disitu?"   Ban Ai-ling mengiakan sambil membungkuk-bungkuk tubuh, tersipu-sipu ia berlari masuk kedalam kamar terus jinjing tubuh Thian-ih, setelah menekan knop pintu rahasia terus masuk kedalam lorong bawah tanah yang peranti dibuat berbuat mesum mereka guru dan murid.   Dalam kamar bawah tanah itu Ban Ai-ling lampiaskan kedongkolan hatinya sambil menggebuki dan menendangi tubuh Thian-ih sampat babak belur, dimaki kalang kabut lagi.   Karena jalan darah tertutuk dan tidak mampu bergerak, Thian-ih mandah saja dirinya disiksa.   Dari mulut orang yang mengomel panjang pendek, Thian-ih menarik kesimpulan bahwa Cia In-hun tentu belum sampai ternoda, legalah hatinya, diketahui pula kalau mereka guru murid tentu tak lama lagi akan menyusul tiba, timbullah setitik harapan dalam benaknya.   Tak lama kemudian Thian-ih mendengar suara Pak-ko-seng tertawa diatas.   "Kukira siapa? Ternyata tetangga agung datang bertandang, mengapa sepagi ini? Ada urusan apakah? Lho nona Cia, kenapa kau terpeleset jatuh ? Sampai pakaianmu kotor dan robek?"   Terdengar suara Hun-tai Siancu berkata dingin. "Muridku ini bukan jatuh, adalah karena terbokong oleh bangsat rendah yang kurang ajar. Mana muridmu itu ? Kuminta panggil dia keluar!"   "Muridku, Ban Ai-ling maksudmu ? Dua hari yang lalu dia pergi ke Tang-hay, kira-kira sepuluh hari lagi baru pulang."   Sekarang nada perkataan Hun-tai Siancu mengandung kemarahan, semprotnya.   "Pak-ko Toyu, ucapan seorang kalangan kita selamanya mengutamakan kepercayaan dan kenyataan.   Terang gamblang jejak kaki muridmu menghilang sampai disini.   Kalau kau mengatakan tidak ada, apakah kau tidak terlalu menghina orang!"   Pak-ko-seng juga berkata keras.   "Aneh, dia benar-benar tidak ada, kalau tidak percaya silakan kau geledah!"   "Tamuku di Hun-tiong-khek bernama Thio Thian-ih kemaren malam mendadak hilang, kukira dia sekarang berada dirumah batu itu, harap lepaskan dia keluar."   "Hahaha, Siancu, kau ini main kelakar sama aku! Tamumu hilang kenapa minta ganti kepadaku, kan aku bukan penyamun atau bangsa penculik. Kapan aku pernah kenal orang yang bernama Thio Thian-ih apa segala. Ini bukan guyon-guyon !"   Sayangnya Thian-ih tidak bisa bersuara, ingin menggunakan kepalanya untuk membentur dinding supaya bersuara, tapi seluruh badan lemas lunglai tiada sedikit tenagapun.   Terdengar olehnya suara Siancu mulai mengancam.   "Pak-ko-seng, kalau kau tidak serahkan mereka berdua, aku pasti tidak akan berhenti."   "Kalau kau tidak percaya, suruh aku bagaimana? Silakan kau periksa saja, rumah batu ini terbagi tiga kamar, jauh lebih kecil dan sempit dari Hun-tiong-khek kediamanmu itu. Kau tidak percaya cobalah kau geledah sendiri !"   "Sreng"   Terdengar suara pedang dilolos dari sarungnya, lantas terdengar lagi Siancu berkata penuh tekad.   Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "In-hun, menghadapi orang macam ini jangan terlalu percaya, biar aku awasi dia, kau masuk memeriksa."   Dikejap lain lantas terdengar derap langkah Cia In-hun melangkah kian kemari diatas. Saking tegang Ban Ai-ling berkeringat basah kuyup. Agak lama berselang baru terdengar suara Cia In-hun penuh kemarahan dan putus asa.   "Suhu, tidak ada."   Terdengar gelak tawa pak-ko-seng, serunya.   "Bagaimana? Kataku kalian ini terlalu banyak curiga, mengandal nama dan ketenaranku, masa aku bisa mencelakai tamumu? Dan lagi kalau kelakuan muridku tidak genah, pasti aku tidak lepaskan dia, apalagi sampai menggoda dan kurangajar terhadap nona Cia, pasti akan kubekuk dan kutelikung diserahkan pada Siancu.   Tapi bukan mustahil nona Cia sendiri yang salah lihat orang, mungkin tamu kalian yang bernama Thio Thian-ih itu yang berbuat kurangajar terus melarikan diri........hahaha.   Siancu, coba katakan betul tidak rekaanku ini?'' Derap langkah Hun-tai Siancu dengan Cia In-hun semakin menjauh dan hilang.   Terdengar Pak-ko-seng masih mengoceh.   "Aku tidak salahkan kalian. Kita kan tetangga saling bantu adalah jamak. Baiklah, begitu anak Ling kembali pasti aku akan gusur dia dan menanyakan dihadapan kalian.... baiklah......selamat bertemu......"   Mendadak Ban Ai-ling melompat bangun sambil menghela napas panjang-panjang.   Sebaliknya Thian-ih merasa pilu sedih dan putus harapan.   Ruang bawah tanah ini meski hanya berpaut selapis batu dinding, sedemikian dekat tapi Hun-tai Siancu dan Cia In-hun tak dapat menemukan tempat itu.   Nanti punya nanti akhirnya Pak-ko-seng turun ke ruang bawah tanah ini, katanya sambil mengerutkan kening.   "Sungguh sukar menghadapi mereka, untung tempat ini sangat bagus bangunannya, sedikitpun tidak kelihatan bekas-bekasnya."   "Suhu,"   Kata Ban Ai-ling, "Thio Thian-ih ini harus diapakan, dibunuh saja bagaimana atau dibuang kedalam jurang?"   Pak-ko-seng merenung sebentar lalu katanya.   "Semua cara itu kurang sempurna. Meskipun mungkin Hun-tai Siancu tidak mengetahui, tapi jangan sampai menimbulkan kecurigaan! Cara yang terbaik adalah menggunakan golok orang lain untuk membunuhnya. Benar, anak Ling, kau bawa dia ke-pulau Elang saja, biar Iblis elang itu yang membunuhnya, ini jadi tidak menyangkut pada kita, bukankah cara ini paling baik dan sempurna?"   "Akal bagus !"   Teriak Ban Ai-ling memuji muslihat gurunya, "Suhu, apa sekarang juga berangkat?"   "Bocah goblok yang tidak tahu urusan,"   Omel Pak-ko-seng merengut.   "Kau sangka Hun-tai Siancu dan muridnya sudah pergi? Hm, mereka tengah sembunyi disekitar rumah batu kita ini! Kita harus mengulur waktu sampai mereka benar-benar sudah pergi baru berangkat. Apalagi sejak saat ini kau jangan terburu-buru pulang, sementara waktu kau sembunyi ditempat Susiokmu. Setelah pertikaian ini padam baru kau boleh kembali. Selanjutnya baru kita pikirkan lagi cara untuk menundukkan mereka guru dan murid, tidak perlu terburu nafsu."   Dua hari sudah berlalu, Thian-ih terkurung dalam ruang bawah tanah itu, badan lemas tak bertenaga, dalam keadaan perut lapar dan dahaga kesehatannya semakin jelek pikirannya jadi kurang waras diantara sadar tak sadar.   Sampai hari ketiga, Pak-ko-seng memasukkannya kedalam sebuah kantongan besar, dipanggul diatas pundaknya terus dibawa lari secepat terbang.   Yang terasa hanya angin menderu dipinggir telinga, entah sudah berapa jauh jalan ditempuh, akhirnya mereka tiba dipinggir laut dimana Ban Ai-ling mengendalikan sebuah perahu tengah menanti.   Pak-ko-seng mengeluarkan Thian-ih lalu membebaskan tutukan jalan darahnya serta memberi makan dan minum.   Setelah itu jalan darah pelemasnya ditutuk lagi supaya dia meringkuk lemas diatas perahu.   Lalu dia berpesan kepada Ban Ai-ling.   "Setelah sampai dipulau Elang baru kau bebaskan tutukannya. Iblis Elang itu paling suka mendapat seorang pemuda lincah yang pandai silat! Ingat jangan lupa pesanku ini!" Ban Ai-ling mulai mengayuh perahunya menuju ke tengah lautan. Kira-kira setengah harian kemudian dari jauh terlihat sebuah pulau muncul dihadapan mereka. Dengan hati-hati Ban Ai-ling melabuhkan perahunya dipinggiran terus menggendong Thian-ih kedaratan, setelah membuka jalan darahnya, seperti dikejar setan saja, dia terus lari terbirit-birit naik ke atas perahunya lalu mengayuhnya cepat. Walaupun jalan darah sudah bebas tapi untuk sementara waktu darah masih belum normal berjalan jadi tubuh juga susah bergerak dalam sementara waktu. Hanya derita yang dialami selama ini akan siksaan Pak-ko-seng dan muridnya yang membuatnya sangat menderita maka untuk sementara waktu ia masih lemas lunglai rebah diatas tanah. Tak lama kemudian diatas angkasa mendadak muncul sebuah benda melayang-layang diatas kepalanya, sebentar lagi lantas berdatangan lagi beberapa ekor, lambat laun terbang semakin rendah semua mengelilingi Thian-ih, sikapnya garang seperti hendak menyambar turun. Sekilas pandang saja lantas Thian-ih paham asal usul nama dari pulau ini. Elang-elang raksasa yang terbang diatas kepalanya ini sebesar meja, patuknya tajam luar biasa, cakarnya runcing dan keras bagai tembaga. Mereka tengah menanti hendak merobek-robek tubuh Thian-ih untuk dimakan. Cepat-cepat Thian-ih harus mengerahkan hawa murni memulihkan tenaga, sebelum dirinya diserang tenaga harus sudah pulih dan melarikan diri. Gerombolan burung elang ini semakin lama semakin banyak, tatkala itu tiba tengah hari, saking banyak elang bergerombol sampai sayapnya itu menutupi sinar matahari, sehingga Thian-ih merasa seperti disaat magrib. Tiba-tiba salah seekor elang yang terbang rendah menukik turun, agaknya dia sudah tak sabar menunggu lagi, cakar dan patuknya berbareng menyerang kearah Thian-ih. Maka elang-elang lain kuatir ketinggalan tak mendapat hidangan lezat beramai-ramai lantas menerjang turun sambil memekik-mekik ! Mendadak Thian-ih loncat bangun.   "Wut, wut", dua kali pukulannya dilancarkan. Tujuh delapan elang yang menerjang terdepan sekaligus terjungkal jatuh kena angin pukulannya, sambil memekik-mekik elang-elang yang lain segera terbang tinggi. Menggunakan kesempatan ini segera Thian-ih angkat langkah terus berlari kencang menyusup kedalam rimba. Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan panjang dibelakangnya, lantas terlihat sebuah bayangan hitam besar tengah mengejar bagai terbang. Bayangan ini seperti elang juga, membuntuti dibelakang Thian-ih sejauh dua tiga rombak. Thian-ih sudah lari terbirit-birit sekencangnya, tapi masih belum dapat menghindarkan kejaran bayangan hitam itu, selalu mengikuti dibelakangnya berjarak dua tiga tombak. Begitu Thian-ih mengendorkan larinya, dia juga terbang lamban. Seakan-akan memang sengaja hendak mempermainkan Thian-ih. Waktu ia berpaling dilihatnya jelas bahwa bayangan hitam itu juga manusia adanya, tapi bayangan itu agaknya malu-malu kucing, begitu dipandang dia lantas memungkur hanya kelihatan punggungnya saja. Tampak dia mengenakan jubah hitam, rambutnya panjang terurai, kakinya telanjang, bentuk yang aneh ini seperti setan ditengah alas pegunungan. Hati Thian-ih kebat-kebit, melihat orang tidak bergerak, dengan membesarkan hati segera ia menggeremet maju hendak melihat tegas, sampai jarak mereka tinggal tiga empat kaki, mendadak orang aneh itu kebutkan lengan panjangnya kebelakang. Kontan Thian-ih merasa seperti dadanya dipukul godam, badannya terus roboh terkapar. Orang aneh itu mendadak pentang kedua tangannya terus loncat keudara terbang seperti burung elang, kedua lengan panjangnya itu menari-nari ditengah udara seperti dua sayap besar, Thian-ih merasa setiap kali lengannya itu bergerak lantas tubuhnya disambar angin tajam sampai seluruh badan terasa seperti disayat-sayat, sakitnya bukan kepalang. Terdengar pula suara tawa orang aneh itu laksana tangisan setan gentayangan, lambat laun lantas teringat oleh Thian-ih, bukan mustahil orang inilah yang dimaksudkan sebagal iblis elang yang diperbincang oleh Pak-ko-seng guru dan murid itu. Dilihat bentuknya yang jelek seram pasti hatinya kejam dan telengas. Orang yang terjatuh di tangan manusia macam ini pasti tiada harapan untuk hidup. Saking putus harapan tiba-tiba ia berteriak memaki. "Ing-mo (iblis elang)! Lekas bunuhlah aku!"   Mendadak orang aneh itu malah menghentikan aksinya, terdengar suaranya melengking bertanya.   "Apa kau bilang? Tadi kau panggil aku apa?"   Lantas dia menggumam dan berkata sendiri.   "Ing-mo ! Baik juga nama ini !"   Harus diketahui selama bertahun-tahun dia hidup seorang diri diatas pulau kosong hanya berkawan dengan elang melulu, hakikatnya dia tidak mempunyai nama.   Bagi dunia ramai yg mengetahui adanya seorang tokoh lihay diatas pulau ini, maka lantas memberikan nama sebagai Ing-mo tapi dia sendiri bahwasanya belum pernah mendengar akan nama julukan ini.   Ing-mo mendadak bersuit panjang, suaranya tinggi menusuk hati seperti tangisan gendruwo, terlihat dia menari-nari sambil menggerakkan kedua tangannya saking kegirangan sambil berteriak-teriak.   "Aku sudah punya nama ! Haha, Ing-mo, mereka menganggap aku sebagai Iblis ! Haha para iblis menganggap seorang orang tulen, dinamakan iblis. Haha, geli sungguh menggelikan !"   Sejenak berhenti, lantas dia menggumam lagi.   "Dari sini dapat kusimpulkan kalau para iblis itu takut pada aku, hahaha, sungguh girang aku, sungguh girang aku."   Seperti bocah kecil yang diberi permen oleh ibunya dia mencak-mencak dan meloncat-loncat.   Mendadak ia mengerakkan kedua lengan panjangnya itu berloncatan ke tengah udara, sambil menyerang dengan angin kebutannya itu.   Saking tidak tahan menderita pukulan yang hampir menghancurkan seluruh tulang belulangnya, Thian-ih memaki dengan gusar.   "Iblis durjana, kau ini setan jahat.   Kenapa tidak segera kau bunuh aku? Aku tidak bermusuhan dengan kau, mengapa kau siksa aku sedemikian rupa ?"   Ing-mo menyeringai tawa seram, ujarnya.   "Siapa berkata kita tidak bermusuhan, semua orang kuanggap mempunyai dendam dengan aku. Justru aku tidak senang segera membunuhmu, pelan-pelan akan kusiksa kau sehingga kau menderita supaya lambat laun mati sendiri."   Thian-ih menjadi gusar, semprotnya.   "Kenapa semua orang mempunyai dendam kepada kau, selamanya aku tidak kenal kau bagaimana bisa dikatakan bermusuhan denganmu !"   Sahut Ing-mo .   "Sebab di dunia ini tiada seorang baik, semua orang jahat ! Maka aku anggap mereka semua adalah musuhku !"   Saking tak tahan lagi Thian-ih berteriak memaki.   "Kentut ! Kalau kau bermusuhan dengan semua insan di seluruh dunia ini, mengapa kau mengeram dan sembunyi diri diatas pulau kosong ini. Naiklah ke daratan besar sana untuk membunuh orang. Beranimu sembunyi di atas sarangmu ini menghadapi orang tak berdaya dan menyiksanya sampai mati. Terhitung orang gagah macam apa kau ini?"   Dengan makiannya yang pedas ini sangka Thian-ih pasti iblis elang ini akan berjingkrak gusar, diluar dugaannya, sebaliknya si iblis ini malah menghentikan serangannya.   Sudah berapa tahun lamanya dia tidak pernah dimaki orang, karena semua orang yang terjatuh dalam cengkeramannya, selalu menyembah-nyembah iblis keji ini.   Begitu Ing-mo tertegun diam, segera Thian-ih berusaha lompat bangun sambil mengerahkan seluruh sisa tenaganya, makinya sambil menuding Ing-mo.   "Kau ini iblis jahat, kukira dulu kau pernah dianiaya orang, maka anggapannya bahwa semua orang didunia ini adalah jahat. Kau lampiaskan rasa rindu dendammu kepada mereka yg tak berdosa dan kalah ilmu silatnya dibanding kau ! Masa kau tidak tahu betapa besar dunia ini, berapa ribu berapa laksa manusia hidup di mayapada ini. Sudah tentu ada yang jahat tapi juga ada yang jujur dan baik. Seumpama rumput atau pohon-pohon ada yang tinggi dan ada yang rendah, kembang saja ada perbedaan bagus dan jeleknya, masakan pengertian yang sepele ini tidak terpikirkan olehmu. Dan kau karena pernah teraniaya oleh sementara orang jahat lantas kau menuduh dan mencap semua manusia hidup ini adalah jahat dan terkutuk. Pandangan semacam ini sangat cupat dan sangat kerdil pengetahuanmu. Apalagi apa kau tidak pernah dengar sebuah kata "tepo seliro", artinya kalau kau tidak mau orang lain menyakiti kau, maka kau sendiri jangan menyakiti orang lain? Kalau orang jahat sudah menyiksa kau, kau sendiri tidak rela mati, lalu kenapa kau menyiksa orang lain malah sampai membunuhnya ! Dengan sepak terjangmu ini tidaklah berkelebihan kalau orang memberi julukan Iblis kepadamu. Perbuatan jahat yang membunuh orang seperti kucing membunuh tikus ini, benar-benar membuat muak dan jijik saja, pasti kau dikutuk oleh Tuhan. Mungkin semua korban yang telah kau bunuh itu tiada satupun yang pernah menyadarkan pikiran cupatmu ini, itu karena mereka takut mati, maka mereka minta ampun, menyanjung puja kepadamu, mereka tidak berani mengorek borokmu yang jelek. Tapi aku lain, walau pun ilmu silatku rendah, seumpama harus mati aku tidak akan mengerutkan kening. Tapi sebelum ajal aku harus melampiaskan penasaranku dengan membuka kedok kesalahanmu dan dosamu yang bertumpuk-tumpuk. Dan yang terakhir biarlah aku adu jiwa dengan kau !"   Ing-mo jatuh terduduk diatas tanah tanpa bergerak dan bersuara. Sekarang Thian-ih melihat tegas wajahnya yang jelek sekali, rambut panjang menutupi seluruh mukanya, timbul rasa benci dan murka. Teriaknya keras.   "Iblis terkutuk, sambutlah pukulanku ini !"   Seluruh tenaganya dikerahkan terus menggenjot sekuatnya. "Blang"   Terdengar benturan dahsyat seperti geledek menggelegar, pukulannya itu dengan telak mengenai tubuh Ing-mo, tapi sedikitpun tubuhnya itu tidak bergeming seakan tidak terjadi suatu apa. Thian-ih bertambah gusar dan penasaran, bentaknya lagi.   "Biar aku adu jiwa dengan kau. Sebagai penuntut balas bagi mereka yang telah ajal dengan penasaran ditanganmu !"   "Menuntut balas ! Menuntut balas ! Kau juga bisa menuntut balas?"   Sambil menggumam Ing-mo perlahan-lahan bangkit berdiri.   Tanpa hiraukan segala akibatnya lagi, Thian-ih rangkap kedua jarinya terus menutuk kearah dada orang, jalan darah yang diarah adalah Kio-koan-hiat salah satu jalan darah besar yang mematikan.   Tapi si iblis ini seumpama tidak merasa apa-apa.   Sebaliknya Thian-ih yang menyerang dengan kekuatan seluruh tenaga itu seolah-olah membentur dinding baja saja kerasnya sampai kedua jarinya kesakitan hampir patah.   Entah ilmu macam apakah yang telah dilatih sempurna oleh iblis jahat ini.   Badannya kebal segala serangan.   Sambil memijat-mijat kedua jarinya Thian-ih memaki lagi penuh kebencian.   "Bangsat terkutuk, sayang kepandaianku cetek. Baiklah silakan kau bunuh aku. Kalau kau seorang gagah, maka kuharap kau bisa memberi kelonggaran kepadaku, supaya aku bisa secepatnya mangkat. Kalau tidak aku sendiri bisa mati, tak rela aku kau siksa !"   Kini terdengar iblis itu berkata pelan.   "Kau jangan ribut, berilah waktu untuk aku berpikir dulu !"   Habis berkata dia bertopang dagu dan tenggelam dalam pikirannya.   Thian-ih menjadi terheran-heran, apa mungkin iblis ini mulai sadar akan kesalahannya setelah dimaki kalang kabut ini.   Dengan seksama ia awasi wajah orang, tampak hidungnya tinggal separo, giginya prongos bibirnya dower, kedua kupingnya juga hilang, kulit mukanya seperti hangus terbakar bersemu merah melepuh malah sebagian sudah ada yang membusuk tampak tulang putihnya.   Sekilas pandang seperti mayat hidup yang menakutkan.   Selebar mukanya yang masih utuh tinggal sepasang matanya saja yang bundar besar berkilat, alisnya panjang kelopak matanya berkedip-kedip, dari gerakan inilah orang akan mengetahui bahwa dia adalah seorang manusia.   Malah dapat dibayangkan bahwa beberapa tahun yang lalu wajahnya itu dan seluruh tubuhnya pasti juga seperti kedua matanya itu indahnya.   Thian-ih menanti sebentar, mendadak dilihatnya Ing-mo mengalirkan airmata, wajahnya kelihatan berkerut-kerut agaknya tengah menahan penderitaan hatinya, lambat laun dia mulai sesenggukan suaranya semakin keras dan akhirnya menangis tergerung-gerung, suaranya penuh mengandung penyesalan yang tak terhingga.   Melihat orang menangis sedemikian sedih, rasa dongkol dan gusar Thian-ih rada terlampias, maka katanya.   "Hai, apa yang kau tangisi? Sudah menyesal? Menyesal juga tidak perlu nangis! Sudahlah berhenti saja!'' Kata Ing-mo sambil masih sesenggukan.   "Bocah bagus, hatiku sedih sekali, kuminta kau pukul aku mau tidak? Kau gebuklah sekuat tenagamu, pasti aku tidak membalas!"   Sepasang matanya penuh mengandung pengharapan dan permintaan memandang kearah Thian-ih. Thian-ih heran, kini hatinya mulai lega dan simpatik terhadap orang, namun dia masih tidak mau turun tangan, Ing-mo menjadi gugup, serunya.   "Aku memang benar-benar sedih sekali. Seorang yang telah berbuat salah sudah jamak harus menerima hukuman, sudilah kau memberi sedekah kepadaku ? Jikalau aku terhukum olehmu itu berarti aku sudah menebus dosa-dosaku, ini akan membuat hatiku senang! Lekas, lekaslah kau pukul. Pukulan atau tendangan tutukan juga boleh, membagi urat mencopot tulang juga boleh deh, asal kau mau turun tangan, cepat, cepat!"   Teriaknya tak sabar lagi. Thian-ih sudah angkat tangan hendak menampar muka orang, namun serta melihat bentuk wajahnya yang tidak sempurna itu, matanya juga memancarkan sorot penyesalan, lurus setia dan penuh harapan, hatinya menjadi berpikir.   "Ai, wajahnya ini, entah siapa yang begitu tega merusak sampai jadi begitu rupa. Meskipun buruk dan menyeramkan, tapi dalam pandanganku sekarang adalah sedemikian jujur bijaksana dan indah sekali, masa aku tega hendak menyakiti badanmu lagi."   Tangan yang diangkat tinggi jadi tak kuasa bergerak. Ing-mo masih meminta dengan suara yang memilukan. "Lekas, ayo cepat pukul aku. Aduh tolong! Hatiku sedih sekali!"   Sambil berteriak-teriak tiba-tiba ia lompat berdiri terus menerjang kearah Thian-ih seperti orang gila.   Mendadak tangan Thian-ih itu diayun menepuk kearah pundaknya.   Kali ini agaknya Ing-mo sudah kehilangan tenaganya, Thian-ih hanya menggunakan empat lima bagian tenaganya, tapi Ing-mo sudah tergetar roboh bergulingan ditanah.   "Bagus sekali, mari sekali lagi !"   Demikian teriak Ing-mo girang.   Thian-ih memukul lagi tubuh yang sedang merangkak bangun itu.   Tahu dia kalau pikiran orang sedang berbalik, bagi orang yang sesal kemudian besar harapannya badannya sendiri ditimpa penderitaan yang semakin besar.   Maka dijemputnya sebuah dahan pohon terus dihantamkan di-tempat-tempat yang tidak membahayakan.   Sebetulnya Thian-ih tidak tega turun tangan, tapi terpikir olehnya.   "Kalau aku memikirkan perbuatan jahatnya, pasti aku dapat memukul semakin gemes."   Memejamkan mata dia bayangkan orang-orang yang telah menjadi korban diatas pulau Ing-yu-to ini, dengan menggerakkan kedua lengan baju dia menerjang berulang-ulang sampai orang yang tidak berdosa merasakan kesakitan seperti diiris-iris pisau tajam, saking menderita akhirnya mati dengan mengenaskan.   Karena terbayang adegan yang menggiriskan bulu roma ini, hatinya menjadi geram, dahan pohon ditangannya lantas memukul semakin keras.   Agaknya daging diatas tubuh Ing-mo sangat kekar dan kuat sekali, dipukul dan dihajar sedemikian rupa oleh Thian-ih tidak mau menyingkir hanya berteriak-teriak saja, malah menganjurkan memukul semakin keras, akhirnya mulutnya menggumam.   "Aku bersalah! Aku bersalah! Selanjutnya aku tidak berani lagi! Tidak berani lagi!"   Diumpamakan oleh Thian-ih kalau orang yang tengah dihajar ini adalah Pak-ko-seng dan Ban Ai-ling, maka pukulan dahan pohonnya semakin gencar dan berat, sampai kedua tangannya merasa linu baru dia berhenti.   Sementara itu Ing-mo rebah diam tak bergerak lagi, teriakan seraknya juga sudah berhenti, Thian-ih seperti baru sadar dari impiannya.   Agaknya saking bernafsu sampai dia tidak perhatikan bahwa pukulannya terlalu berat, dilihatnya baju orang robek-robek, seluruh tubuhnya jalur2 dan mengeluarkan darah, melihat orang rebah tak bergerak agaknya jatuh pingsan, hatinya menjadi menyesal sekali.   Cepat-cepat Thian-ih memayang tubuh orang.   Baru saja tangannya menyentuh badan orang, hidungnya lantas diserang bau apek dari amisnya bau burung yang memualkan.   Tapi Thian-ih sedang dirundung sesal tak terhingga, sudah terlupakan olehnya apa itu kotor dan buruk rupa apa segala.   Dipeluknya tubuh orang erat-erat sehingga wajah orang yang jelek seram itu tertampak didepan matanya.   Dicarinya sebuah sungai dan digayungnya air yang jernih itu kemulut orang sambil memanggil-manggil.   "Cianpwe ! Cianpwe. Sadarlah!"   Sepasang mata Ing-mo yang indah itu pelan-pelan terbuka. Segera Thian-ih berkata.   "Cianpwe, harap kau maafkan aku, aku memukulmu sampai terluka begini rupa!"   Ing-mo terlongong memandangi wajah Thian-ih, entah karena terharu atau terketuk hatinya, airmata mengalir lagi semakin deras sampai sesenggukan, kurang lebih sepeminuman teh kemudian baru berhenti menangis.   Dengan lemah lembut Thian-ih membujuk supaya orang beristirahat.   Sampai belakangan meskipun sudah menghentikan tangisnya tapi Ing-mo masih tersengguk-sengguk.   Katanya.   "Bocah bagus, apa betul kau tidak jijik melihat tampangku yang buruk serta tidak mual mengendus bauku yang amis ini dan rela menjadi sahabat sejatiku?"   Tanpa berpikir lagi segera Thian-ih menjawab.   "Sudah tentu, jikalau Cianpwe sudi melihat mukaku, ingin sekali aku bersahabat dengan Cianpwe." Saking girang Ing-mo sampai berjingkrak bangun, serunya sambil bertepuk tangan.   "Bagus sekali! Kulihat kau ini bukan orang jahat. Dulu memang aku punya banyak teman, tapi akhirnya mereka semua menjual dan mencelakai aku, menjebakku dengan muslihat keji. Saking ketakutan membuat aku sejak saat itu tidak berani lagi mempercayai sesama orang, aku tidak sudi bersahabat dengan manusia. Sejak aku tinggal dipulau ini aku berkawan dengan burung-burung elang. Tapi sayang burung-burung ini tidak bisa bicara, tiada seorangpun disini yang bisa kuajak bicara. Hatiku betul-betul terasa pepat dan pikiranku juga menjadi cupat. Sekarang kau telah menjadi sahabatku, ini baik sekali, aku dapat bicara banyak dengan kau. Oo, sungguh aku girang sekali, aku senang sekali!"   Seperti seorang bocah kecil dia mulai meloncat dan menari-nari. Kata Thian-ih.   "Aku yang rendah bernama Thio Thian-ih, siapakah nama Cianpwe yang mulia?'' Ing-mo tertawa. "Bukankah aku bernama Ing-mo? Kau panggil aku lng-mo saja! Dan aku panggil kau saudara kecil, selanjutnya kau juga jangan panggil aku Cianpwe apa segala! Mendengar panggilanku itu hatiku jeri dan takut, sebab dulu pernah ada orang begitu memanggil aku, tapi akhirnya mereka mengatur tipu daya dibelakangku dan mencelakai aku."   Terlihat oleh Thian-ih waktu dia berkata-kata ini, kedua matanya memancarkan sorot kebencian yang menyala-nyala, tapi secepat itu telah lenyap lagi, katanya lagi.   Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Saudara kecil, mari kita pulang! Ke tempat kediamanku."   Setelah keluar dari hutan rimba ini, mereka sampai dibawah sebuah dinding batu yang tinggi, diatas dinding batu ini entah ada berapa banyak burung-burung elang besar kecil yang hinggap di-batu-batu.   Sedemikian banyak dan besar-besar burung-burung elang ini, yang terkecil juga sebesar meja bundar, ada yang sedang bertengger dengan gagahnya, ada pula yang sedang menyisiki bulu.   Begitu melihat kehadiran Thian-ih ini, ada beberapa ekor yang segera terbang terus menerjang turun.   Cepat-cepat Ing-mo mengulapkan tangan sambil membentak.   "Hayo pergi semua, ini saudara kecilku. Bukan hidangan lezat kalian tahu! Kalian hanya boleh makan daging manusia-sia jahat, tapi jangan sekali-kali kalian berani menyentuh seujung rambut saudara kecilku ini ya !"   Seperti dapat mendengar arti kata-kata Ing-mo ini, burung-burung elang itu segera terbang kembali sambil cecowetan.   Sesudah melewati deretan dinding batu ini mereka sampai lagi didepan sebuah rimba, tapi yang cukup mengherankan didalam hutan ini tidak kelihatan ada jenis burung lain yang terbang lewat, karena heran Thian-ih bertanya.   "Apakah di atas pulau ini hanya terdapat burung-burung elang saja tiada jenis burung lain?"   "Sudah tentu tidak ada,"   Sahut Ing-mo, "Jangan kata tiada lain jenis burung, sampai lain mahluk hidup saja juga tiada selain aku ini. Seluruh penghuni pulau ini adalah elang melulu maka dinamakan Ing-yu-to (pulau elang)."   Thian-ih berpikir.   mungkin mahluk-mahluk hidup yang lain sudah ditelan habis oleh elang-elang itu saking kelaparan, dipikir-pikir terasa merinding seluruh badannya.   Ing-mo bertempat tinggal dalam sebuah gua yang cukup besar, keadaan dalam gua ini sangat sederhana sekali, selain persediaan air minum, makanannya adalah ikan asin dan buah-buahan saja.   Dua ekor elang besar bertengger didepan gua, seakan-akan kedua ekor burung elang ini adalah penjaga setianya.   Bentuk tubuh kedua ekor elang ini lebih kecil sedikit dibanding yang lain tapi bulunya berwarna biru mengkilap, sikapnya sangat angker dan gagah.   Melihat kedatangan Thian-ih, tidak seperti burung-burung liar lainnya yang terus menyerang dengan sembrono, mereka hanya memandang kearah Thian-ih dengan pandangan mengancam.   Thian-ih membatin, tidak heran kalau orang sering mengatakan bahwa mata burung elang sangat tajam dan awas sekali, baru aku mau percaya setelah melihat sendiri hari ini.   Sambil mengelus-elus bulu kedua ekor burung itu berkatalah Ing-mo.   "Ini adalah Toa-lan dan Ji-lan. Kedua ekor ini juga adalah sahabatku yang sangat setia, hanya sayang mereka tidak bisa bicara seperti manusia."   Thian-ih ikut menyelinap kedalam gua, untung keadaan disini masih agak bersih. Ing-mo keluarkan ikan asin dan buah-buahan untuk Thian-ih makan, katanya memberi penjelasan.   "Diatas pulau ini, aku hidup seperti burung-burung elang itu, tiada sesuatu barang lain yang dapat dimakan, terpaksa hanya makan ikan-ikan dilaut saja, ini takkan habis dimakan untuk selama-lamanya. Hanya kalau mereka menelannya saja secara mentah-mentah, sebaliknya aku bisa menyimpan dan menjemurnya menjadi gereh, sesudah biasa makan ikan asin tidak menjadi soal lagi. Saudara kecil, coba kau cicipi !"   Thian-ih mengunyah ikan asin dan buah-buahan itu bersama, terasa memang lumayan juga. Melihat orang makan dengan lahapnya, Ing-mo menjadi senang hati, ujarnya.   "Saudara kecil, kenapa kau bisa sampai berada diatas pulau ini?'' Maka berceritalah Thian-ih tentang bagaimana dirinya telah disiksa dan dipermainkan oleh Pak-ko-seng guru dan murid. Sambil mendengarkan Ing-mo mengertak gigi, begitu Thian-ih habis bercerita mendadak ia berjingkrak bangun dan berkata kepada Thian-ih.   "Saudara kecil, orang macam ini tak boleh hidup terlalu lama di dunia ini. Kau berdiam disini biar kuringkus mereka guru dan murid kemari !"   Lalu ia bersuit memanggil Toa-lan dan Ji-lan masuk, dengan ocehan bahasa burung ia bicara, tiba-tiba salah seekor burung elang itu terbang keluar, tak lama kemudian kembali lagi bersama seekor burung elang besar sekali, terus mendekam diluar gua.   Kata Ing-mo.   "Saudara kecil, kau tunggu disini, aku pergi sebentar dan segera kembali."   Begitu melompat ke punggung elang besar itu bersama Toa-lan terus terbang menjulang tinggi ketengah angkasa, tinggal Ji-lan menunggu dan menjaga diluar gua.   Malam itu Thian-ih menginap di dalam gua kediaman Ing-mo ini.   Hari kedua pagi-pagi benar terdengar elang-elang diluar gua sana ribut berteriak-teriak.   Buru-buru ia berlari keluar untuk melihat, tampak Ing-mo dengan menunggang elang besar beserta Toa-lan tengah mendatangi dari kejauhan sana.   Setelah semakin dekat terlihat diatas burung elang besar itu kini tambah lagi satu orang.   Begitu mendekati diatas deretan dinding batu curam itu, mendadak Ing-mo mendorong dan menjatuhkan orang itu dari atas udara.   Kontan orang itu melayang turun dengan cepat dan lurus, agaknya kepandaian silat orang itu tidak lemah, begitu hampir menyentuh tanah segera ia mengatur posisi badannya sedemikian rupa sehingga gaya jatuhnya sangat indah bagai seekor burung besar, tanpa bersuara tubuhnya terus meluncur masuk ke-dalam hutan sebelah kiri sana.   Karena jarak agak jauh, Thian-ih tidak melihat tegas, apakah itu Pak-ko-seng ataukah muridnya Ban Ai-ling? Dalam kejap lain Ing-mo sudah melayang turun menunggang elangnya itu, sekali ulur tangan ia seret Thian-ih ke atas punggung elang itu serta ujarnya tertawa.   "Sayang terlambat selangkah, hanya menangkap guru jahatnya itu, sedang muridnya entah pergi kemana ! Tapi aku sudah perintah bala elangku untuk mencari ke seluruh pelosok pesisir laut ini ! Sekarang saudara kecil, kau ikut bersama aku menonton dari atas udara, bagaimana cara anak-anak piaraanku ini mempermainkan guru bajingan itu."   Sekejap saja elang besar itu sudah terbang melayang-layang diatas rimba.   Tampak Pak-ko-seng tengah berlari lintang pukang, menerobos hutan menuju ke pinggir laut.   Begitu tiba di pesisir yang dilihat hanyalah ombak berderai tanpa terdapat sebuah perahupun juga.   Terpaksa mengerahkan tenaga dengan ilmu ringan tubuhnya yang hebat ia berlari di permukaan air terus menuju ke tengah lautan teduh.   Melihat ketangkasan orang berlari diatas permukaan air laut itu, diam-diam Thian-ih merasa kagum dan memuji, Pak-ko-seng ini benar-benar seorang tokoh hebat yang berkepandaian tinggi, hanya sayang ia berhati culas dan kejam serta banyak akal liciknya, banyak berbuat kejahatan.   Sekarang kalau membiarkan dia lari begitu saja sungguh kurang bijaksana sekali, maka dengan gugup ia bertanya kepada Ing-mo.   "Apa kau tidak melihat ia melarikan diri?"   Ing-mo tertawa ewa, ujarnya.   "Tidak lama lagi dia akan kembali sendiri. Letak pulau elang ini sangat jauh dari daratan besar, jikalau tiada perahu, takkan mungkin dia kuat menyebrang lautan sedemikian besar dan luas. Betapa pun lihay dan tinggi ilmu Khikang dan Ginkangnya juga tidak berguna lagi. Nanti kalau dia tidak rela tenggelam menjadi hidangan lezat ikan-ikan di laut, pasti dia akan kembali sendiri keatas pulau ini."   Sejenak kemudian ia menambahkan lagi.   "Hakikatnya seumpama ia tidak menjadi hidangan ikan dilaut, nanti juga dia akan konyol menjadi makanan ke perut burung-burung elangku. Kita lihat saja kematian yang mana yang dia pilih nanti. Saudara kecil maukah kau bertaruh dengan aku, menurut dugaanku, dia pasti kembali lagi untuk terima kematiannya."   Belum lagi Thian-ih sempat menjawab, benar juga Pak-ko-seng yang berlari-lari di permukaan laut itu telah belok kembali, Ing-mo terkekeh girang, serunya sambil bertepuk tangan.   "Tidak salah bukan! Tidak salah bukan ! Lihatlah betapa tepat dugaanku, agaknya burung-burungku bakal mendapat makanan daging yang enak sekali. Cobalah biar dia istirahat sebentar untuk mengumpulkan semangat, biar nanti bertempur melawan anak-anak piaraanku itu."   Meskipun Pak-ko-seng sudah tahu bahwa pulau ini adalah Pulau elang, tapi agaknya sedikitpun dia tidak gentar dan masih bersikap tenang, istirahat diatas sebuah batu cadas besar dan tinggi, ia celingak-celinguk kian kemari.   Saat mana Ing-mo beserta Thian-ih menunggang elang besar itu hinggap diatas sebuah pohon raksasa dan sembunyi diantara rimbunnya dedaonan, sehingga tidak terlihat oleh Pak-ko-seng.   Setelah dinantikan sebentar lantas Ing-mo berkata.   "Biarlah dia merasakan dulu serbuan pertama dari elang-elang piaraanku itu."   Lalu ia bersuit panjang suaranya mengalun tinggi ketengah angkasa.   Pak-ko-seng yang tengah berbaring diatas batu cadas itu juga sudah mendengar, dia tahu suitan ini pertanda apa, saking kejut segera ia bergegas bangun.   Tak lama kemudian serombongan elang-elang besar berbaris terbang menuju ke pinggir laut.   Kata Ing-mo memberi penjelasan.   "Rombongan elang pertama ini belum pernah kulatih, merekalah yang kau hadapi waktu kau datang kemaren, cobalah kita lihat apakah mereka kuat menghadapi bajingan tengik itu?"   Rombongan elang pertama ini kira-kira berjumlah dua puluh terbang diatas kepala Pak-ko-seng mereka melayang berputar-putar.   Sekonyong-konyong salah seekor mempelopori menukik turun terus mematuk dan mencengkeram kearah Pak-ko-seng.   Pak-ko-seng menggerung gusar sambil mengerjakan kedua tangannya memukul serabutan menyambut serbuan elang-elang dari udara.   Betapa dahsyat tenaga pukulannya ini, kontan beberapa ekor yang terdepan tersapu jatuh terkena angin pukulannya.   Tapi yang lain ternyata tidak gentar masih terjun bergantian menyerang, seperti pasukan berani mati saja agaknya.   Sekarang Pak-ko-seng menjerit panjang, suaranya bergema seperti auman naga meninggi menusuk telinga, sambil melancarkan pukulan-pukulannya sampai angin pukulannya berputar menjulang tinggi ketengah angkasa, semua elang yang keterjang pasti roboh menggape-gape ditanah tanpa mampu terbang kembali.   Dalam sekejap mata saja, disekitar Pak-ko-seng sudah penuh bertumpuk puluhan mayat-mayat burung elang, lainnya yang masih ketinggalan hidup segera terbang meninggi melarikan diri.   Agaknya Pak-ko-seng sangat bangga dan senang melihat kemenangannya ini, sekali lagi ia bersuit nyaring seolah-olah menantang penghuni dari majikan pulau ini.   Bahwa pasukan burung elangmu ini cuma sebegitu saja tak berguna, masa dapat melawan gembong silat macamku ini.   Demikian ia berlagak sambil bertolak pinggang mondar-mandir dengan angkuhnya.   Ing-mo menggumam.   "Bajingan ini sudah menghadapi kematian masih berani banyak lagak. Kalau aku dapat meringkusnya kemari masa tak dapat menamatkan riwayatnya. Biarlah diberi kesempatan untuk istirahat dan menghimpun tenaga kembali! Nanti biar dia merasakan serbuan gelombang kedua!"   Menunggu sebentar mendadak ia bersuit lagi memberi aba-aba, puluhan ekor elang berwarna bulu abu-abu segera terbang mendatangi dengan formasi seperti huruf 'V', sedemikian rapi sekali formasi barisan ini.   Tahu menghadapi serangan yang lebih berbahaya segera Pak-ko-seng loncat turun ketanah berpasir, disini ia menanti.   Dilihatnya barisan elang gelombang kedua ini lain dari semula tadi.   Begitu tiba mereka langsung menukik turun tapi bukan menyerang ternyata malah berdiri berjajar dengan formasi yang sama, mereka mengepung Pak-ko-seng dalam sebuah barisan sambil mementang sayap masing-masing.   Sikap Pak-ko-seng masih sangat tenang tanpa gentar atau takut.   Dengan waspada ia berdiri menanti serbuan musuh.   Tiba-tiba salah seekor elang yang terbesar memekik keras, serentak semua elang-elang itu lancarkan serbuan berbareng, begitu pentang sayap terus terbang menyerbu kearah Pak-ko-seng.    Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini