Ceritasilat Novel Online

Rahasia Si Badju Perak 11


Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Bagian 11


Rahasia Si Badju Perak Karya dari G. K. H   Entah patuk atau cakarnya tajam luar biasa semua meluncur keatas tubuhnya, sedikit ayal saja pasti seluruh tubuhnya akan dedel-dowel.   Betapapun Pak-ko-seng tidak mengira bahwa burung elang yang dihadapi ini juga pandai mengatur barisan, keruan kejutnya bukan kepalang, secepat kitiran tubuhnya berputar sambil mengayun pukulannya untuk melindungi badan, dimana angin pukulannya menyambar dengan dahsyatnya burung-burung elang itu seperti menumbuk tembok segera melesat mundur dan berdiri seperti kedudukan semula.   Kiranya elang-elang ini sudah terlatih sempurna, maju mundur sangat cekatan dan tangkas sekali.   Meskipun pukulan Pak-ko-seng sangat lihay, namun sekali ini seekorpun tiada yang terluka oleh pukulannya.   Begitulah sekian lama mereka berdiri berhadapan menanti kesempatan.   Mulailah rombongan elang itu melancarkan serangan gelombang kedua, waktu terbang sampai diatas kepala Pak-ko-seng, sekarang Pak-ko-seng ganti siasat bertempur, dari menyerang dia lebih banyak menjaga diri, saban-saban dengan pukulannya ia membokong dan menyergap secara licik, harapannya dengan menjatuhkan salah seekor diantaranya pasti membuat gusar dan takut yang lain.   Tapi kiranya perhitungannya ini meleset.   Justru sifat elang-elang ini sangat pendiam dan liar, betapapun mereka tidak mengenal takut, cara penyerangannya juga teratur, mundur maju ada perhitungan, tidak kalah pandai dari barisan ilmu manusia umumnya.   Meskipun akhirnya ada beberapa ekor yang terpukul jatuh dan mati, ini berbalik membuat yang lain lebih leluasa lagi untuk mendesak lebih dekat.   Bagaimana juga kedua tangannya itu takkan mampu menangkis dan memukul serbuan serentak dari berbagai penjuru, maka terlihat pundaknya sudah mulai mengalirkan darah, kulitnya sudah tercakar robek.   Kini elang-elang itu kembali dalam kedudukan formasi semula, gebrak selanjutnya Pak-ko-seng selalu meleset dalam perhitungannya, tubuhnya sudah banyak terluka, malah kedua matanya juga hampir tercolok buta, maka untuk gebrak selanjutnya dia tak berani takabur lagi, dengan seksama dan prihatin ia memperhatikan cara pemecahan barisan elang.   Kecerdikan dan kepandaian serta pengalaman Pak-ko-seng memang tidak memalukan sebagai tokoh silat yang kenamaan, akhirnya terpecahkan juga olehnya cara mematahkan serbuan barisan elang ini.   Terpikir olehnya pasti ada satu diantara burung-burung elang itu yang memegang komando dengan aba-abanya, dengan penemuannya ini sekejap saja lantas dapat terbongkar olehnya, memang jelas sekali bahwa elang terbesar yang berada ditengah itulah yang memegang komando, setiap kali sayapnya bergerak, maka elang-elang yang lain bergerak maju mundur menurut aba-abanya itu.   Maka secara diam ia menanti kesempatan.   Mendadak tubuhnya melejit maju terus menubruk kearah elang besar itu dengan gesit dan tangkas sekali.   Agaknya elang besar ini tidak menyangka dan tak bersiaga, dengan telak ia kena tertangkap hidup-hidup, begitu jurus Tay-sui-pi-chiu (bantingan keras) dilancarkan, kontan burung elang besar itu terbanting hancur diatas pasir.   Ing-mo menggumam diatas pohon.   "Cukup hebat.   Tak kira orang jahat ini juga dapat memecahkan barisanku, hebat, cukup hebat!'' Sekali mulutnya menjebir dan bersuara nyaring, dia panggil dan tarik mundur pasukan elangnya ini.   Menggunakan kesempatan keributan serta kekurang waspadaan para elang yang bersiap terbang kembali itu, Pak-ko-seng lancarkan pula pukulan-pukulannya, kontan ada beberapa ekor lagi kena terpukul jatuh dan mati.   Pak-ko-seng ini benar-benar bersifat buas dan liar.   Mungkin karena sudah kelaparan, sekali sambar ia sobek seekor burung elang yang terluka dan belum mati terus dihisap darahnya dan digeragoti dagingnya mentah-mentah.   Seolah-olah dia sudah tahu bahwa Ing-mo tengah sembunyi dan memberi komando kepada pasukan elangnya itu, maka setelah kenyang makan daging mentah, dia banting dan lontarkan tulang belulang burung elang kedalam hutan serta teriaknya menantang.   "Ing-mo! Apa gunanya kau kerahkan pasukan burung elangmu yang tak berguna ini menghadapi aku? Kalau kau seorang laki-laki dan berani mari keluar langsung hadapi aku!'' Ing-mo menggumam.   "Jikalau aku perintahkan burung elangku untuk menyiksamu, seumpama kau tidak mati terpatuk atau tercakar juga pasti mati kelelahan.   Mengandal kepandaianmu yang tidak berarti ini, salah satu Toa-lan atau Ji-lan saja cukup dapat mematuk buta kedua matamu itu.   Baiklah, memang aku sudah lama belum pernah berkelahi sungguh-sungguh sekali ini kukabulkan permintaanmu."   Lantas dengan ringan sekali tanpa mengeluarkan suara ia terbang turun keatas tanah.   Pak-ko-seng merasa pandangannya sedikit kabur, tahu-tahu dihadapannya sudah berdiri seorang yang bukan lain adalah Ing-mo sendiri yang berbentuk seperti setan alas.   Keruan kejutnya bukan main.   Maka sambil membesarkan hatinya segera ia membentak.   "Ing-mo! Menggunakan kesempatan aku tidak bersiaga kau membokong dan menutuk jalan darahku serta menculik aku keatas pulau ini. Kau perintahkan elang-elang piaraanmu yang tidak berguna itu untuk mempermainkan aku, apa maksud sebenarnya?"   Tanpa menjawab pertanyaan orang mendadak Ing-mo bersuit panjang, suaranya melengking tinggi seperti tangisan setan gentayangan, membuat pendengarnya giris dan merinding.   Pak-ko-seng juga merinding dan kuncup nyalinya serta katanya lagi jeri.   "Ing-loheng, selamanya kita belum saling bermusuhan, kenapa kau hendak mencelakai aku.   Lekaslah kau kirim aku pulang, nanti aku akan antar banyak makanan untuk kau, ya, banyak makanan yang lezat dan enak rasanya, berapa banyak yang kau minta pasti kupenuhi!"   Sedikitpun Ing-mo tidak terpincut akan bujuk rayu yang manis ini.   Kini Pak-ko-seng ganti siasat dengan sedikit mengancam.   "Jikalau kau tidak antar aku pulang, ketahuilah, para kawanku dan muridku pasti akan datang kemari mencari perhitungan dengan kau, pasti kau bukan tandingan mereka."   Ing-mo tetap membisu, hanya menyeringai iblis dengan suara kekehnya yang menakutkan.   Lama kelamaan Pak-ko-seng menjadi takut sendiri, begitu putar tubuh dia bersiap hendak lari, tapi gerak tubuh Ing-mo lebih gesit dan lebih cepat, sekali berkelebat tahu-tahu dia sudah menghadang dihadapannya.   Terlihat secepat kilat tubuh mereka saling bentur dan terangkap menjadi satu, lantas mendadak terpental mundur lagi.   Kalau Ing-mo masih berdiri tegak tanpa bergerak, adalah Pak-ko-seng terhuyung mundur sambil kedua tangannya mendekap dadanya terus lari terbirit-birit masuk kedalam hutan.   Ing-mo segan mengejar, sekali melejit tubuhnya meluncur keatas pohon lagi, sambil mengusap-usap kedua tangannya, ia berkata.   "Kukira betapa besar kemampuannya.   Tak kukira ternyata ya sebegitu saja.   Tadi hanya beradu sekali pukulan, dia lantas lari terbirit-birit ketakutan, sungguh tidak berguna."   Mereka menunggang burung elang besar itu lagi terbang ketengah angkasa, mengejar keutara, dimana Pak-ko-seng melarikan diri.   Agaknya luka yang diderita Pak-ko-seng tidak ringan, saking ketakutan ia lari lintang pukang seperti dikejar setan sampai jatuh bangun dan muntah darah, kadang kala hanya mendengar pekik suara elang saja lantas kuncup nyalinya terus lari menyelinap masuk kedalam gerombolan pohon menyembunyikan diri.   Thian-ih adalah seorang pemuda yang berhati jujur dan bijaksana, lama kelamaan dia tidak tega melihat penderitaan orang.   Tapi segera Ing-mo memperingatkan padanya;   "Ingatlah akan perbuatan jahatnya selama ini, apa yang dialami sekarang ini hanya sekadar pembalasan saja."   Sekonyong-konyong terdengar Pak-ko-seng menjerit ngeri di-bawah sana, kiranya karena kurang hati-hati kakinya terjeblos masuk ke dalam rawa.   Ing-mo malah berseru kegirangan.   "Rawa-rawa dalam hutan itu adalah paling hebat, betapapun tinggi kepandaianmu sekali kau terjeblos masuk kedalam rawa itu, semakin ber- gerak tubuhmu tenggelam semakin dalam, dan tak tertolong lagi !"   Memang terlihat berulang kali Pak-ko-seng melompat-lompat didalam rawa itu, sekuat tenaga ia berusaha ingin melompat keatas daratan, tapi usahanya selalu sia-sia, sampai yg terakhir tubuhnya dapat melompat keluar setinggi tiga kaki sambil berteriak nyaring minta tolong, tapi tubuhnya meluncur jatuh lagi kedalam rawa.   Thian-ih tidak tega, ingin dia melompat turun menolong, tapi dicegah dan dirintangi oleh Ing-mo, katanya.   "Saudara kecil, jangan sekali-kali kau turun kesana! Sekali kau pergi, kau takkan kembali juga!"   Memang Pak-ko-seng saat itu sudah semakin tenggelam, semakin besar tenaga geraknya tubuhnya semakin amblas dan daya sedot kebawah juga semakin besar, waktu tinggal kepalanya saja ia masih coba berteriak dengan suara serak.   "Ing-mo, Ing-loheng, tolong !"   Waktu Thian-ih melirik kearah Ing-mo, tampak muka Ing-mo tetap wajar dan kaku tanpa ada perobahan sikapnya, malah sepasang matanya memancarkan sorot pandangan menghina dan memandang rendah, dan yang paling jelas agaknya merasa sangat puas.   Tubuh Pak-ko-seng sudah semakin menghilang, tapi mendadak ia meronta keatas sambil mengayunkan sebelah tangannya melontarkan sebuah entah benda apa keatas daratan.   Lalu tubuhnya hilang ditelan kedalam lumpur, hanya terlihat kedua tangannya yang masih menggape-gape.   Ing-mo turun memeriksa bersama Thian-ih, setelah terbukti bahwa Pak-ko-seng betul-betul menemui ajalnya ditelan kedalam rawa baru mereka jemput benda yang dilontarkan tadi.   Ternyata itulah serenteng gelang emas, bentuk pembuatannya sangat istimewa.   Mendadak Thian-ih teringat, cincin seperti bentuk ini agaknya sudah pernah dilihatnya di jari tangan Ban Ai-ling.   Dengan seksama Ing-mo memeriksa dan menimang-nimang gelang mas itu, wajahnya membeku, tapi matanya memancarkan sikap keheranan, katanya.   "Ternyata begitu ! Bajingan ini ternyata adalah.................." sampai disitu ia merandek dan menelan kata-kata selanjutnya, Thian-ih menanyakan apa yang telah ditemukan diatas gelang itu, maka sambil menyerahkan gelang mas itu kepada Thian-ih Ing-mo memberi pesan.   "Ini adalah sebuah benda tanda pengenal suatu perkumpulan rahasia. Pak-ko-seng ini mungkin ada hubungan dengan sesuatu perkumpulan gelap itu, kau bawa dan simpanlah benda ini, hati-hati kelak mungkin ada gunanya untuk kepentinganmu !"   Ternyata itulah serenteng gelang-elang emas yang panjang setengah kaki, setiap gelang berbentuk sama terbuat dari mas murni, diatas gelang-elang itu terukir seekor ular kecil, kepala ular sedikit mendongak, mata ular terporotkan sebutir berlian kecil yang berkelap-kelip, mulutnya terbuka dan menjulurkan lidahnya yang berwarna merah darah, ukirannya sangat bagus dan hidup.   Thian-ih tidak tahu pertanda dari aliran atau golongan apakah ular kecil itu, waktu ditanyakan kepada Ing-mo, dia ganda tertawa dan menjawab.   "Kelak akan tahu sendiri."   Waktu tiba kembali didalam gua, hubungan Thian-ih dengan Ing-mo sudah semakin intim dan akrab sekali.   Thian-ih menceritakan semua pengalamannya selama ini, dengan seksama Ing-mo mendengarkan.   Setelah selesai ceritanya Thian-ih bertanya, apakah Ing-mo tahu asal-usul kelima orang berkedok hitam itu.   Sekali ini Ing-mo bersikap terbuka, sambil menunjuk gelang mas ditangan Thian-ih, ia berkata, mungkin kelima orang itu ada hubungan erat dengan perkumpulan rahasia itu.   Tapi Ing-mo sendiri juga tidak begitu jelas mengenai perkumpulan gelap itu, apa yang diterangkan masih belum cukup memuaskan.   Lalu ditanyakan juga kesan-kesannya terhadap sibaju perak itu.   Sekian lama Ing-mo merenung lalu mengutarakan pendapatnya, dia sangat menyetujui akan pandangan Hun-tai Siancu.   Dibujuknya Thian-ih supaya jangan terburu nafsu hendak menuntut balas, lama kelamaan peristiwa itu tentu akan terbongkar sendirinya.   Dari hari kehari hubungan mereka semakin mendalam, karena merasa simpatik dan untuk membantu Thian-ih selekasnya dapat menunaikan tugas beratnya, maka Ing-mo turunkan seluruh kepandaian silatnya kepada Thian-ih.   Secara tekun dan tidak mengenal lelah siang dan malam Thian-ih menggembleng diri, dicapainya kemajuan yang amat pesat.   Tapi setelah berselang sekian lama, penyakit mala rindu Thian-ih mulai kambuh lagi, selalu terbayang dua wajah di kelopak matanya, ini membuat hatinya risau dan gundah tidak tentram.   Secara terus terang dia utarakan isi hatinya kepada Ing-mo bahwa dia sangat merindukan Li Hong-gi dan juga ingin bertemu dengan Hun-tai Siancu.   Terhadap Li Hong-gi karena mereka sudah ada hubungan asmara.   Tapi terhadap Hun-tai Siancu dia tidak kuasa menerangkan cuma terasa olehnya bahwa sikap Hun-tai Siancu terlalu manis terhadap dirinya, besar harapannya ingin selalu mendampingi di sisinya.   Ing-mo membujuk sambil tertawa, bahwa Toa-lan atau Ji-lan salah satu burung elang pribadinya itu dapat mengirimkan surat ke alamat yang dituju.   Dikatakan pula nanti setelah dapat Thian-ih selesai dan sempurna betul mempelajari ilmu silatnya Toa-lan mengantarkannya kembali ke daratan besar.   Maka segera ditulisnya sepucuk surat dan suruh Toa-lan mengantarkan ke tempat Hun-tai Siancu dipuncak Hun-tiong-khek di gunung Hun-tai-san.   Hari kedua balasan surat telah tiba.   Itulah tulisan tangan Hun-tai Siancu sendiri.   Dituturkan dalam surat itu sejak kehilangan Thian-ih, Hun-tai Siancu dan Cia In-hun sangat gugup dan kuatir, mereka sudah menggeledah seluruh pelosok alas pegunungan Hun-tai itu tanpa menemukan jejaknya dan akhir-akhir ini didapatinya Pak-ko-seng juga mendadak menghilang tak keruan paran, ditempat kediamannya ditemui jejak2 cakar burung elang, menurut dugaannya ini pasti hasil karya dari majikan pulau elang.   Maka mereka lantas menduga kemungkinan besar Pak-ko-seng telah membuang diri Thian-ih ke pulau elang.   Sebetulnya mereka sudah bersiap hendak berangkat dan mencari kemari, tak terduga Toa-lan keburu tiba membawa surat, sungguh mereka girang bukan main.   Dengan nada seorang tua kepada anak muda ia berpesan kepada Thian-ih, supaya menyampaikan salam hormatnya kepada Ing-mo pribadi.   Dipesan juga supaya Thian-ih belajar lebih giat supaya tidak mengecewakan harapan dari Ing-mo yang telah sudi menurunkan kepandaiannya kepada dirinya.   Dimana setelah semua pelajarannya selesai diharap selekasnya kembali ke Hun-tai untuk berkumpul kembali."   Begitulah untuk selanjutnya Thian-ih tinggal terus diatas pulau elang memperdalam ilmu kepandaiannya dibawah bimbingan Ing-mo.   Untuk sementara mari kita ikuti perjalanan Li Hong-gi bersama Kwi Tong-ing, dengan menunggang kuda mereka langsung menuju ke markas besar Ho-bwe-pang yang terletak di Tam-yang-ouw.   Sepanjang jalan ini sikap Kwi Tong-ing agak malu-malu kucing dan kikuk, sebaliknya sikap Li Hong-gi sangat terbuka dan wajar, selalu dia dulu yang mengajak bicara.   Hanya setiap kali hendak menginap di hotel selalu Kwi Tong-ing yang maju kedepan bicara dengan manager hotel.   Sepanjang jalan ini tak ubah seperti kakak beradik saja hubungan mereka.   Meskipun Kwi Tong-ing terlahir dari kalangan persilatan tapi dia tidak memandang rendah Li Hong-gi yang lemah.   Sejak kecil ia sudah ikut ayahnya berkelana di kalangan Kangouw, apa yang pernah dilihatnya tidak sedikit, perjalanan menuju ke Tam-yang ini entah sudah berapa kali pernah dilalui.   Maka sekali ini dialah yang menjadi petunjuk jalan, dia melayani segaia keperluan Hong-gi sedemikian rupa sehingga Hong-gi merasa tak enak sendiri.   Diam-diam ia membatin cara bagaimana kelak dia memberi penjelasan, hanya bagaimana juga belum saatnya membongkar kedok penyamarannya, maka setiap tindak tanduknya dibikin hati-hati, untung tidak konangan dan mencurigakan.   Hari itu mereka sampai juga di Tam-yang, markas besar Ho-bwe-pang sudah kelihatan dari kejauhan.   Itulah sebuah perkampungan besar yang dibangun sangat megah dan angker sekali.   Dibangun membelakangi danau.   Diatas kuda Li Hong-gi meninggikan lehernya melongok-longok kedepan, tak tertahan lagi segera Tong ing bertanya.   "Kongcu, apa kau sudah kenal Pangcu Ho-bwe-pang?"   Hong-gi menggeleng kepala. Tong-ing menjadi heran, tanyanya lagi.   "Kongcu, kalau kau tidak kenal Kun-suseng Liok Pek-ing, lalu apa tujuanmu kemari?"   "Aku mau mencari Thio Toako, dia pernah berjanji bersama aku datang kesini, kukira saat ini dia sudah sampai lebih dulu."   Kwi Tong-ing menjadi mangkel, pelajar lemah ini sungguh menyebalkan, selalu bicara mengenai Thio-toakonya melulu. Dalam hati ia mengomel panjang-pendek, tapi lahirnya tetap bersikap manis, sekian lama mereka bungkam, lalu katanya lagi.   "Baiklah, kita masuk lebih dulu, aku kenal baik dengan Kun-suseng nanti kita tanyakan kepada dia !"   Hong-gi mandah mengintil saja dibelakang Tong-ing, maka Tong-ing sebagai pelopor maju kedepan pintu markas besar Ho-bwe-pang minta dilaporkan kedatangan mereka.   Ingin bertemu dengan Kun-suseng Liok Pek-ing Liok-pangcu.   Dengan seksama para penjaga didepan pintu itu mengamat-amati dan menanyakan asal-usul Tong-ing.   Terpaksa Tong-ing sebutkan nama julukan ayahnya serta julukannya sendiri.   Nama julukan Thi-pi-kim-liong ayah beranak ternyata benar-benar sangat tenar dan disegani, serentak para penjaga didepan pintu gerbang itu beramai-ramai maju unjuk hormat, segera ada yang berlari masuk memberi lapor.   Tak lama kemudian Liok Pek-ing sendiri keluar secara langsung."Li-kongcu ini sudah berjanji dengan Thio Thian-ih untuk datang menyambangi Pangcu disini, harap tanya apakah Thio Thian-ih sudah datang kemari?"   Menyambut. Setelah memperkenalkan Hong-gi, Tong-ing lantas bicara Liok Pek-ing melengak, sahutnya.   "Thio-chengcu belum pernah datang kemari. Silakan kalian istirahat dulu dalam perkampungan kita sambil menunggu kedatangannya!"   Takut kedok penyamarannya nanti menunjukkan belangnya, segera Hong-gi turut bicara.   Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Terima kasih akan kebaikan Pangcu, ada lebih leluasa kita menginap dihotel saja !"   Habis berkata dia lantas unjuk hormat dan minta diri.   Jauh-jauh datang kemarkas Ho-bwe-pang, setelah sampai berkata hanya berapa kecap saja lantas minta diri.   Ini membuat Tong-ing uring-uringan, namun sedemikian jauh dia masih telan saja kejengkelan hatinya, dengan sabar ia turuti semua kehendak Hong-gi.   Begitulah dia menurut saja menginap di hotel.   Telaga Tam-yang cukup luas, pemandangan disini sangat indah menakjupkan.   Tapi Hong-gi tiada selera menikmati pemandangan yang molek ini, setiap hari selalu mengeram diri dalam kamar, tiga lima hari sekali bersama Tong-ing mencari Liok Pek-ing menanyakan kabar Thio Thian-ih, tapi selalu mereka kecele dan kembali dengan hampa ke hotel.   Entah sudah berapa kali mereka pulang pergi menanyakan kepada Liok Pek-ing, tanpa merasa tahu-tahu dua bulan sudah berselang, bukan saja Tong-ing sudah sebal dan tak kerasan lagi, Hong-gi sendiri juga bersikap lesu tak bersemangat.   Maka untuk terakhir mereka datang menyambangi Liok Pek-ing mereka meninggalkan sepucuk surat untuk Thian-ih, dipesan juga kepada Liok Pek-ing, jikalau Thio Thian-ih datang diminta dia mengirim orang mengantar surat ke Hong-kiam-san-cheng.   Liok Pek-ing melulusi untuk membantu.   Hari itu juga mereka segera kembali menuju ke utara, siang dan malam mereka terus mengebut kembali ke Hong-kiam-san-cheng untuk menunggu kabar.   Dalam pada itu Thian-ih tengah asyik dan tekun mempelajari kepandaian silat Ing-mo yang rumit dan sukar dimengerti itu, tapi semakin diselami terasa semakin dalam mengaduk sumber inti sari pelajaran murni ilmu silat.   Keruan dalam singkat saja kepandaiannya maju pesat sampai berlipat ganda mencapai kesempurnaannya, seakan sibuta melihat matahari kembali.   Lama kelamaan Thian-ih sudah mencakup seluruh inti rahasia pelajaran segala macam ilmu silat.   Dengan mendapat petunjuk langsung dari Ing-mo ditambah bakatnya memang bagus sekali, tekun belajar menyelami dengan seksama lagi, maka dalam jangka pendek beberapa bulan saja dia sudah mencakup seluruh pelajaran silat Ing-mo yang tidak atau belum pernah diturunkan kepada orang lain.   Keadaan Thian-ih sekarang sudah jauh berbeda waktu pertama kali dia datang dulu.   Bila teringat apa yang telah dipelajarinya dari Kiam-bun, hanya bekal yang tidak berarti itu dirinya berani berkelana dan malang melintang di Kang-ouw, seumpama kunang-kunang kecil tak berguna.   Teringat pula akan ucapan Hun-tai Siancu, bahwa Kiam-bun-it-ho tidak sepenuh hati memberi pelajaran silat kepadanya, ternyata bahwa ucapan itu sangat tepat dan terasakan dalam kenyataan.   Selama Thian-ih tinggal dipulau elang, burung-burung elang piaraan Ing-mo sering disuruh berkirim surat pulang pergi ke Hun-tai-san.   Hari itu seekor burung elang membawa sepucuk surat kilat dari Hun-tai Siancu, dalam surat itu diterangkan bahwa.   "Sibaju perak berpedang emas sudah diketahui jejaknya, diharap selekasnya kembali ke Hun-tai untuk, berunding!"   Sudah tentu Thian-ih berjingkrak girang, sudah tibalah saatnya untuk sekian kalinya berkecimpung di kalangan Kangouw menyusuri jejak musuh besar itu, untuk menyelesaikan permusuhan yang telah berlarut itu dengan bekal kepandaian yang telah dipelajarinya di Hun-tai dan di pulau elang ini.   Ing-mo sendiri sudah tiada minat berkelana di dunia ramai, maka dia hadiahkan sebilah pedang yang dinamakan Siang-sim-jin-kiam, pedang pusaka pelindung pulau elang itu.   Tak lupa ia serahkan juga rentengan gelang mas peninggalan Pak-ko-seng itu kepada Thian-ih.   Dipesannya supaya menyimpannya baik-baik, suatu ketika mungkin ada manfaatnya di kalangan Kangouw.   Sekadarnya saja Ing-mo menerangkan bahwa gelang rentengan ini adalah pertanda khas dari suatu perkumpulan rahasia yang puluhan tahun yang lalu sudah ditumpas hancur lebur.   Jarang sekali orang-orang Kangow yang mengetahui riwayat hidup dari organisasi gelap ini.   Sekali ini entah bagaimana pertanda khas mereka bisa terdapat di badan Pak-ko-seng, dikuatirkan kalau perkumpulan rahasia yang telah ditumpas dulu sudah mulai bersemi dan berkembang secara rahasia lagi.   Ing-mo sendiri hanya sekelumit saja mengetahui seluk beluk mereka.   Dulu mereka kenamaan dan disegani karena sering mengganas dan mempergunakan cara-cara keji dan berbisa menghadapi lawannya.   Mungkin dulu akarnya belum dicabut sampai habis dan sekarang mulai bersemi kembali, maka kalau tidak secepatnya diberantas, dikuatirkan dalam waktu dekat ini pasti akan timbul huru-hara yang menggemparkan di kalangan Kangouw, maka dipesan kepada Thian-ih untuk waspada dan hati-hati.   Disarankan juga supaya segera menghimpun kaum pendekar dan orang-orang gagah di seluruh dunia persilatan untuk secepatnya turun tangan, menyergap dan memberantas secara menyeluruh sebelum mereka bersayap.   Thian-ih manggut berulang-ulang sambil mengiakan.   Teringat bakal meninggalkan pulau elang ini, lantas terkenang kepada Li Hong-gi, hatinya sudah bergejolak dan susah tertahan lagi, siang-siang pikirannya sudah melayang jauh entah kemana.   Melihat orang termangu dan tidak sabaran lagi, Ing-mo tersenyum geli segera ia perintahkan burung elangnya untuk mengantar pemberangkatan Thian-ih ke Hun-tai-san.   Sebelum berpisah mereka berjabatan tangan dan berpelukan, berat untuk berpisah, kata Ing-mo sambil mengalirkan air mata.   "Saudara kecil, sejak berkumpul kita sangat cocok satu sama lain, aku tidak mau menjadi gurumu, tapi aku rela menjadi sahabatmu. Perpisahan hari ini entah kapan baru dapat berjumpa dan berkumpul kembali. Kudoakan setelah keberangkatanmu ini kau dapat secepatnya menyelesaikan tugas2 beratmu, lakukan segala dharma bakti bagi sesama umat manusia. Janganlah kau sia-siakan pengharapanku dan Hun-tai Siancu ! Dan lagi, kuharap pada saat hari bahagiamu nanti jangan kau lupakan Sahabat tuamu ini. Kalau mengijinkan datanglah kalian ke pulau elang yang terputus dari dunia ramai ini, berdiamlah disini beberapa hari untuk berkumpul. Aku benar-benar menunggu dan jangan terlambat datang, jikalau sampai aku sudah mangkat tinggal tulang belulangku saja seumpama kau banyak isi hati yang ingin diutarakan kepadaku menyesal juga sudah terlambat.................."   Thian-ih sendiri juga sampai terharu dan mengalirkan air mata, tangannya menggenggam erat2 lengan Ing-mo, sekian lama mereka berhadapan dan bertangisan.   Thian-ih berjanji untuk tidak melupakan pesan dan permintaannya itu.   Menunggang burung elang lebih cepat dari naik perahu, kira-kira tiga jam saja, tiba-tiba burung elang besar itu memekik nyaring terus menukik turun, ternyata mereka sudah sampai di belakang puncak Hun-tai-san.   Baru saja ia membetulkan pakaiannya dan melangkah ke depan beberapa langkah, terdengar sebuah seruan nyaring merdu dari depan sana.   "Engkoh Thian-ih! Engkoh Thian-ih!"   Laksana sekuntum bunga putih yang indah dan harum semerbak sekejap saja didepannya tahu-tahu sudah berdiri seorang gadis jelita yang mengenakan pakaian serba putih, wajahnya yang halus putih itu bersemu merah jambu kemaluan, sepasang matanya cemerlang sebening air memancarkan rasa girang yang tak tertahan, ujung mulutnya menyungging senyum manis.   Keadaan ini bak sekuntum bunga segar, sesuci dan seagung bunga teratai.   Diam-diam Thian-ih terkejut dan melengak, baru beberapa bulan saja mereka berpisah, gadis pingitan ini ternyata bertambah molek dan jelita, melihat orang tengah menghampiri dan menatap dirinya, cepat-cepat ia membungkuk diri memberi hormat dan menyapa.   "Adik In-hun!"   Cia In-hun tersenyum lebar bak sekuntum bunga mekar, katanya.   "Siang-siang sudah kuperhitungkan pasti hari ini kau datang.   Kukatakan burung elang itu sangat cepat berkirim surat.   Siancu tidak percaya, sekarang sudah kenyataan dan dugaanku sangat tepat!" Begitu sinar mata saling bentrok, seketika terketuk hati kecil Thian-ih, jantungnya berdebur keras.   Pandangan penuh arti dari orang gadis ini, masa tidak dapat diselami olehnya.   Hanya sayang, hatinya ini sekarang sudah menjadi milik Li Hong-gi.   Selama beberapa bulan tinggal dipulau elang betapa rindunya kepada gadis jelita itu, sungguh ia sangat menyesal akan sikap dingin dan kelakuannya yang tidak genah dulu itu.   Kini setelah kembali sudah tentu ia harus mencari dan bertemu kembali dengan Hong-gi, untuk selanjutnya mereka pasti hidup berdampingan dengan rukun dan tentram sampai dihari tua.   Memang Cia In-hun sudah jatuh cinta pada pandangan pertama tempo hari.   Akan tetapi terpaksa Thian-ih tidak bisa menerima rasa cintanya ini.   Seumpama hutang budi atau hutang apa saja pada orang lain mudah untuk membalasnya, tapi hutang cinta inilah yang sukar dibendung.   Maka cepat-cepat Thian-ih palingkan muka tidak berani beradu pandang lagi.   Sebaliknya Cia In-hun sendiri juga lantas bersikap kikuk dan malu-malu.   Dia mengintil dibelakang Thian-ih sambil membungkam diri.   Tak lama kemudian mereka sudah tiba di Hun-tiong-khek.   Seketika timbul suatu perasaan aneh yang menyentak sanubarinya, ria dan gembira, itulah karena segera ia bakal berjumpa kembali dengan Hun-tai Siancu, orang yang paling dirindukan selama ini.   Begitu menyingkap kerai segera tampak Hun-tai Siancu tengah duduk semadi diatas kasuran bundar, maka dengan rasa hormat segera ia berlutut dan menyembah.   Hun-tai Siancu mengulur tangan membimbing bangun, terasa pandangan sepasang matanya itu memancarkan kasih sayang dan lemah lembut yang melapangkan dadanya.   Tapi masih terasakan juga oleh Thian-ih pandangan kehampaan itu masih terkandung dalam sorot matanya.   Tapi sudah jauh berbeda dibanding tempo hari, itu terjadi hanya sekilas saja seperti percikan api, lantas diselimuti oleh rasa girang.   Hun-tai Siancu menanyakan keadaan Thian-ih selama berpisah ini.   Thian-ih duduk disampingnya dan menutur ringkas dan jelas.   Mendengar kepandaian Thian-ih sudah maju pe- sat dan bersahabat lagi dengan Ing-mo, malah dihadiahi pula sebilah pedang pusaka, wajah Siancu mengunjuk rasa senang dan gembira.   Setelah seluruh cerita selesai, Thian-ih bertanya.   "Dimanakah sibaju perak itu sekarang? Ingin aku segera mencarinya untuk memecahkan semua teka-teki yang selama ini selalu mengikat diriku."   Sekilas Hun-tai Siancu mengunjuk perasaan hampa itu lagi.   Kali ini Thian-ih melihatnya dengan jelas sekali.   Tahu dia bahwa pasti ada latar belakang apa yang menyebabkan tapi tak enak ia mendesak lagi.   Nanti pasti Siancu sendiri akan menjelaskan, maka dengan menekan perasaan, ia menanti dengan sabar.   Sekian lama menunggu baru Siancu mulai membuka kata perlahan-lahan.   "Sekarang dia tengah menghadapi kesukaran, karena terkepung dan dikurung didalam suatu tempat oleh beberapa jagoan Bhayangkara dan beberapa tokoh kaum persilatan, jiwanya terancam elmaut dalam waktu dekat ini..............."   Thian-ih terperanjat, tanyanya dengan nada berat.   "Kalau begitu jika sekarang aku pergi membuat perhitungan dengan dia berarti aku mengambil keuntungan disaat orang sedang kepepet !"   Dia menerka dalam hati bahwa Hun-tai Siancu ini rada simpatik terhadap sibaju perak itu, sudah tentu dia tidak merelakan Thian-ih pergi mendesak orang.   Maka sekarang ia membuka kata lebih dulu untuk menunjukkan bahwa dia sungkan untuk membangkang maksud Hun-tai Siancu.   Tapi setelah terucapkan tak urung Thian-ih merasa menyesal, pikirnya seumpama sibaju perak mati dalam pengeroyokan musuh, dan dirinya telah kehilangan kesempatan yang baik ini, bukankah teka-teki itu takkan terpecahkan selamanya.   Tengah dia sangsi dan bimbang, sungguh tak terduga Hun-tai Siancu malah mengucapkan perkataan yg lebih mengejutkan lagi.   "Ya, tepat sekali.   Bukan saja aku tidak ijinkan kau menggrebeknya disaat ia kepepet.   Malah kuminta kepada kau besok pagi segera berangkat kesana mengandal kepandaian yang telah kau pelajari baru-baru ini dan ketajaman pedang pusaka pemberian Ing-mo itu untuk menolongnya keluar........"   Saking kejut Thian-ih sampai melonjak bangun.   Hampir dia menyangka kupingnya salah dengar.   Siapa takkan kaget bahwa Hun-tai Siancu ternyata mengutus dirinya pergi menolong musuh yang selama ini telah mempermainkan dirinya.   Tugas secara timbal balik ini bukankah sangat menggelikan.   Tapi sikap Hun-tai Siancu tetap tenang dan kalem.   Thian ih disuruh mengundurkan diri membersihkan badan dan menangsel perut, serta tambahnya sebelum Thian-ih keluar pintu.   "Thian-ih! Kau bersabar lagi sebentar, nanti akan kuterangkan alasanku....."   Meskipun suaranya lemah lembut, namun seolah-olah mengandung wibawa besar yang tidak boleh tidak harus dipatuhi.   Terpaksa Thian-ih mengiakan.   Membekal rasa curiga dan tak habis mengerti Thian-ih mengundurkan diri, setelah mandi dan ganti pakaian, Cia In-hun telah menyediakan makanan untuknya.   Keadaan di Hun-tiong-khek masih sedemikian tenang dan sunyi, otak Thian-ih berputar dan melayang-layang, mereka hubungan antara Hun-tai Siancu dengan sibaju perak itu, namun semakin pikir semakin kacau balau, tak kuasa ia menelorkan jawabannya sendiri.   Malamnya waktu yang diharap-harapkan akhirnya tiba juga.   Hun-tai Siancu memanggilnya menghadap dan menceritakan suatu kisah lama.   Dulu ada seorang pemuda pengangguran yang mengandal sedikit kepandaian silatnya banyak melakukan kejahatan dan malang melintang dldunia persilatan seorang diri.   Betapa besar dan banyak kejahatan yang telah diperbuatnya sampai pihak pemerintah telah mengutus banyak polisi untuk menangkapnya, tapi selalu dia dapat lolos.   Apakah sebabnya? Ternyata ia punya seorang sahabat kental yang pandai menyamar dan ilmu rias, sering mereka menyamar jadi satu orang dan muncul pada dua tempat yang berlainan dalam waktu yang bersamaan untuk mengelabui kelayak ramai dan selalu beruntung dapat meloloskan diri.   Banyak tahun kemudian, mengandal kecerdikannya serta kepandaian penyamarannya itu mereka masih bekerja langgeng selalu lolos dari pengejaran petugas hukum.   Ternyata bahwa diantara mereka sudah ada kata sepakat, hasil harta benda yang telah mereka rampok, sipemuda rela menerima sebagian kecil saja dan sebagal gantinya setiap wanita yang mereka tangkap harus diserahkan padanya untuk bersenang-senang.   Kalau yang satu gila harta sedang yang lain mata keranjang.   Entah sudah berapa lama, dan berapa banyak kejahatan yang telah mereka lakukan.   Pada suatu ketika sewaktu sipemuda itu melakukan perampokan dan mendapat hasil besar, tengah ia kegirangan dan berusaha melarikan diri dari kejaran polisi, mendadak ia merasa bahwa dibelakangnya ada seseorang tengah membuntuti maka mereka lantas mengadu kepandaian ringan tubuh, ternyata bahwa ilmu sipemuda jauh ketinggalan kalau dibanding kepandaian pengejarnya.   Tahu dia bahwa kaum pendekar dari kalangan persilatan telah datang menggrebek, cepat-cepat ia minta bantuan teman akrabnya itu untuk menyamar dan berusaha lari dengan kedok penyamaran barunya itu.   Siapa tahu betapa tajam dan luas pengetahuan sipengejar itu ternyata akhirnya ia kecandak dan terbongkar kedoknya, temannya itu berhasil melarikan diri sedang dia sendiri terpaksa harus angkat senjata melawan mati-matian.   Itu terjadi pada suatu malam terang bulan, dalam pertempuran itu sipemuda mendapati bahwa pengejarnya itu ternyata adalah seorang pendekar wanita, karena tidak ungkulan melawan musuhnya saking malu dan gusar segera ia angkat pedang hendak menggorok leher membunuh diri.   Pendekar wanita itu cukup cerdik dan bijaksana, dia tidak tega melihat kematiannya itu, lalu menolongnya malah, dan untuk selanjutnya mereka tenggelam dalam buaian asmara, mungkin memang sudah takdir Thian akhirnya mereka menikah.   Pendekar wanita itu keluaran dari aliran lurus yang mempunyai nama harum dan disegani, kepandaiannya tinggi dan sudah malang melintang di Kangouw sekian lama, sekali ini dengan merendah diri dan rela hati ia menikah dengan seorang perampok besar, maka dia membujuk pada sipemuda yaitu suaminya supaya mencuci tangan menghentikan perbuatan kotor yang terkutuk itu, untuk selanjutnya kembali kejalan lurus dan hidup yang sebenarnya.   Saking mencintai istrinya, bermula memang dia sangat penurut hidup tentram dalam rumah membaca buku sambil memperdalam ilmu silatnya, untuk sekian lama mereka hidup berdampingan dengan rukun dan bahagia.   Akan tetapi, gunung dapat dirobohkan sungai dapat dibendung, namun watak orang sudah berdarah daging susah dirobah.   Ini terjadi setelah mereka menikah beberapa bulan kemudian, karena sudah bunting sehingga penjagaan pendekar wanita terhadap suaminya agak kendor, maka timbullah tangan gatalnya untuk mengulangi perbuatan jahatnya seperti yang sudah-sudah.   Didunia Kangouw dia menimbulkan huru-hara lebih hebat dan menggemparkan dari yang pernah diperbuatnya dulu.   Setelah melakukan beberapa kali pekerjaan besar tanpa modal, waktu ia kembali membawa dosa serta hasil kejahatannya itu, istrinya sudah melahirkan seorang putra.   Begitu tahu suaminya masih nyeleweng dan susah diperbaiki lagi tak mungkin dapat ditolong pula saking pedih dan duka, dia lantas tinggal pergi dan putuskan hubungan suami-istri, bersumpah untuk tidak akan berjumpa lagi selama-lamanya.   Ternyata sipemuda itu masih belum insaf dan masih terus melakukan dagang tanpa modal itu, putranya dititipkan pada salah seorang familinya, sedang dia masih beroperasi kemana-mana, membunuh merampok dan memperkosa.   Agaknya hati nuraninya masih belum tersesat terlalu dalam, disaat-saat ia melakukan kejahatannya, bila teringat akan anak dan istri sungguh ia sangat menyesal dan berusaha untuk cuci tangan serta berusaha memperbaiki hidupnya yang sentausa dan sejahtera.   Tapi betapa juga perbuatan jahat yang diperbuatnya sudah bertumpuk-tumpuk, kadung dia insaf akan hasil perbuatan jahatnya yang tak halal itu, untuk cuci tangan juga sudah terlambat dan tak mungkin lagi.   Akhirnya waktu anaknya berusia sepuluh tahun, terketuklah hatinya, timbullah ikatan batin dan perasaan sayang yang mendalam terhadap putranya itu.   Selanjutnya ia tekun mendidik dan mengajar putra satu-satunya itu sampai dia meninggal dunia.   Hal ini memang harus dihargai dan dipuji.   Tahun itu dia merampok didaerah Liong-he dan mendapat hasil yang besar, sejak itu ia cuci tangan dan menyembunyikan diri, menikah lagi dan mendirikan perkampungan, dari seorang perampok besar kini dia berganti rupa menjadi seorang hartawan yang kaya raya.   Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Putranya itu sudah besar dan dipanggil kembali dari penitipannya untuk mengelabui mata kuping masyarakat sekelilingnya serta para sahabatnya dia mengakui bahwa putranya itu adalah adik kandungnya.   Sejak hari itu dia hidup senang dan serba ada dengan harta bendanya yang tidak halal itu.   Usianya masih rada muda baru menanjak pertengahan umur, namun dia tekun dan menghabiskan keringatnya untuk mendidik dan membimbing anaknya, dipanggilnya beberapa guru-guru untuk memberi pelajaran silat dan memperdalam ilmu surat.   Pada hari-hari biasa waktu adiknya ini berada didalam rumah, semangatnya lantas timbul dan sikapnya sangat riang gembira hidupnya teratur, namun bila adiknya kembali ketempat perguruannya, si- kapnya lantas berubah pendiam dan jarang tersenyum, kalau tidak membaca buku selalu mengeram diri didalam kamar.   Malah terhadap istrinya kedua sendiri juga bersikap acuh tak acuh seperti orang asing yang tidak kenal ditengah jalan.   Keadaan semacam ini berlangsung tidak terlalu lama, menurut hematnya semula ini hanya sebagai penebus dosanya dulu dan sebagai ganti saja.   Hakikatnya dia masih sangat merindukan istrinya pendekar itu.   Maka dia giat membimbing anaknya kejalan yg benar, mengekang dirinya sedemikian rupa dengan mendharmabaktikan harta benda kekayaannya kepada mereka yang membutuhkan, karena kedermawannya itu mulailah namanya disegani dan dihargai sebagai hartawan yang budiman dan pengasih, maka kelayak ramai memberi julukan Budha hidup kepadanya, tujuan dari pada sikap baiknya ini adalah untuk menebus kesalahannya terhadap istrinya tercinta supaya mereka dapat rujuk kembali.   Begitulah dia menunggu dan menunggu, setahun dua tahun, pendekar wanita itu tidak mau melanggar sumpahnya sendiri, penyesalan dan perbuatan baiknya masih belum dapat menggugah sanubarinya, harapan akhirnya menjadi putus asa, dari putus asa pikirannya menjadi lebih menggila, bukan saja dia memeras diri malah dengan kepandaiannya yang tinggi itu dimana-mana ia menimbulkan gelombang keganasan, mencari bahaya untuk menghibur diri.   Akhirnya dia bergabung dan bekerja sama lagi dengan teman karibnya itu menyamar dengan satu wajah yang berlainan.   Jikalau adiknya itu tak berada dirumah, karena senggang dan secara iseng-iseng selalu dia keluar rumah membuat perkara, lahirnya saja dia seorang hartawan yang budiman yang suka bertamasya kemana-mana, tapi hakikatnya dia tengah memerankan sebagai seorang tokoh begal tunggal yang sangat ditakuti.   Kadangkala mereka bekerja bersama, suatu ketika dia turun tangan seorang diri, sedang temannya itu menyamar menjadi dirinya tinggal dirumah mengenyam kesenangan yang berlimpah-limpah, rahasia ini tiada seorangpun yang mengetahui.   Tahun-tahun belakangan ini nyalinya semakin besar, dengan temannya itu secara sembunyi-sembunyi mereka menyelundup kedalam istana raja, dari gudang harta kekayaan negara mereka mencuri sejumlah besar benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya.   Hasil curian ini mereka sembunyikan disuatu tempat yang sangat tersembunyi.   Bersama itu karena tekanan batin yang sekian lama ini tidak tersalurkan, pikirannya menjadi berubah dan berkobarlah nafsu birahi yang sekian lama ini tidak tersalurkan, pikirannya menjadi berubah karena kobaran nafsu birahi itu.   Pernah satu kali ia kesasar ke suatu tempat dimana ia telah kesalahan tangan membunuh seorang perempuan.   Diluar tahunya ternyata keluarga perem- puan itu mempunyai hubungan erat dengan suatu perkumpulan rahasia, segera mereka mengerahkan kaki tangannya untuk mengepung dan meringkusnya.   Tapi karena kepandaian ilmu rias temannya itu memang lihay, akhirnya ia dapat lolos dan selamat dari pengejaran itu.   Dalam pelariannya itu dia lewat disuatu kota besar, disini ia melihat seorang perempuan yang cantik luar biasa, timbul minatnya hendak menculiknya, tidak kepalang tanggung dia culik perempuan itu dari rumah bupati, tujuannya semula hendak memaksanya menjadi gundik saja, tapi ditengah jalan ia teringat akan putra tunggalnya yang sudah menanjak dewasa, karena rasa cintanya kepada sang putra, lantas dia ingin menjodohkan perempuan cantik yang diculiknya ini kepada putranya itu.   Karena pikiran baiknya ini selamatlah perempuan itu dari bahaya ternoda kesuciannya.   Dalam perjalanan kembali dengan membawa perempuan culikannya itu, ia lewat dipegunungan Ci-bong didaerah Shoatang di puncak Gun-u-ling, malam hari itu dia bersua dengan lawan-lawan berat disana.   Ternyata mereka bukan lain adalah musuh-musuh besar dari perkumpulan rahasia yang telah membuntuti jejaknya.   Karena teman baiknya yang pandai menyamar itu tiada didampingnya, dia menjadi kewalahan, melawan keroyokan para musuh beratnya itu, akhirnya mati konyol dalam pengeroyokan itu."   Sampai disitu cerita Hun-tai Siancu, Thian-ih sudah dapat memahami sebagian besar makna cerita itu, maka segera tanyanya.   "Siancu, bukankah peranan utama dalam ceritamu ini kau maksudkan adalah engkohku.........."   Karena gugup dan menahan emosi suaranya terdengar berubah sember.   Dengan tenang sepasang mata Hun-tai Siancu yang bening dan berwibawa itu menatap Thian-ih, rasa kasih sayang segera terbayang dimukanya, katanya perlahan-lahan.   "Tidak salah, rahasia ini sudah tersembunyi selama duapuluh tahun.   Sampai hari ini sudah seharusnya kau ketahui.   Pemuda dalam ceritaku itu adalah engkohmu Thio Thian-ki dan juga adalah ayah kandungmu sendiri......"   Thian-ih melonjak kaget bagai mendengar geledek di-pinggir kupingnya, dadanya bergejolak dan entah bagaimana perasaan hatinya susah diraba, teriaknya dengan suara serak.   "Aku tidak percaya! Tidak percaya......"   "Thian-ih!"   Kata Hun-tai Siancu lemah lembut. "Lihatlah aku......'' suaranya halus dan berwibawa. Sekali pandang lantas Thian-ih merasa sikapnya itu angker dan agung, membuat timbul rasa hormatnya. Kata Hun-tai Siancu lagi.   "Apa kau sudah percaya?"   Tak tertahan lagi Thian-ih manggut-manggut, tapi lantas tanyanya lagi dengan suara serak.   "Lalu siapakah ibuku! Siapa pula sibaju perak itu?"   Airmuka Hun-tai Siancu berubah membeku, sahutnya. "Tentang ibumu, dia masih hidup didunia ini......"   Betapa besar rasa kangen dan haus Thian-ih akan kasih sayang seorang ibunda, dengan gugup ia bertanya.   "Dimana dia? Dimana dia sekarang?"   Hun-tai Siancu menyahut tersenggak.   "Aku tidak tahu!'' timbul bayangan gelap dan rasa kehampaan dalam wajahnya, jawaban itu sungguh membuat hancur hati Thian-ih. Tidak tertahan lagi pecahlah tangisnya tergerung-gerung seperti anak kecil, karena tangis ini maka dia tidak perhatikan perobahan air muka Hun-tai Siancu tadi. Selanjutnya Hun-tai Siancu berkata lagi dengan suara lantang.   "Si baju perak adalah teman akrab ayahmu yang pandai rias itu. Dia she To bernama Yong. Namanya tidak tenar dan tanpa julukan dikalangan Kangouw. Sebabnya karena dia menyamar dengan wajah yang serupa dengan ayahmu, membekal sebilah pedang emas, mengenakan baju perak lagi. Maka khalayak ramai hanya mengetahui adanya satu begal tunggal besar, ada si maling terbang yang mencuri digudang harta istana, ilmu silatnya aneh dan tinggi, sepak terjangnya luar biasa dan jejaknya tidak menentu sehingga mengelabui mata semua orang. Inilah kelihayan dari To Yong serta ayahmu yang dapat bekerja sama secara rapi sekali! Betapa besar dan tenar nama si Budha hidup Thio Thian-ki, ketenaran namanya, kekayaannya serta semua-semua itu, boleh dikata semua karena mengandal bantuan besar teman karibnya itu, mereka sudah merupakan dwi-tunggal yang sudah tidak mungkin dapat berpisah lagi. Dulu ibumu pernah mentertawakan To Yong sebagai duplikat ayahmu. Sejak ayahmu menikah dia hidup tenang dan bahagia, maka To Yong juga lantas mengekang diri hidup menyendiri dengan aman dan tentram. Waktu ayahmu menceburkan diri lagi kedalam kalangan Kangouw menimbulkan gelombang keganasan, maka To Yong juga lantas ikut gatal tangan, dia membantu ayahmu melakukan kejahatan, bertindak secara semena-mena. Yang mengherankan To Yong ini hanya menyimpan benda-benda berharga saja, sekian tahun lamanya entah sudah berapa banyak simpanan harta benda dari hasil operasinya itu. Tapi sedikitpun ia tidak kikir dan ingin mencari hidup mewah apa segala, tanpa menikah pula. Hanya selalu ia mengikuti jejak ayahmu, sewaktu beroperasi begitu menghadapi bahaya atau kejaran musuh lantas dia muncul memancing pengejarnya ke tempat lain sehingga ayahmu dapat lolos dan pulang dengan selamat. Kadangkala dia tinggal di Thio-keh-cheng dengan wajah ayahmu untuk menutupi mata telinga keluarga dan masyarakat sekitarnya. Berapa tahun sudah betapa setia kawan dia terhadap ayahmu itu, agaknya takkan luntur selama-lamanya, hubungan erat lahir batin mereka lebih dalam dan lebih tebal dari hubungan ayah ibumu serta ibu tirimu yang kau anggap sebagai enso itu."   Tutur Siancu selanjutnya.   "Sekarang mulai kututurkan keadaan waktu ayahmu meninggal dipuncak Gun-u-leng itu. Sejak kematian ayahmu, To Yong berubah menjadi orang lain, agaknya dia terpukul batinnya, sepak terjangnya mendjadi kalang kabut dan tidak genah lagi. Hanya satu jelas dapat dinilai, bahwa selama ini dia tetap masih melindungi kau secara sembunyi-sembunyi. Besar hasratnya mengangkat namamu dikalangan Kangouw, supaya hidupmu senang dan bahagia. Memangnya pembawaannya dia seorang cerdik cendekia, seorang tokoh misterius, sejak yang terakhir dia bekerja sama dengan ayahmu, yaitu menculik nona Li Hong-gi putri Li Tihu di Kilam, karena melihat nona Li sudah remaja cantik lagi, dia berusaha hendak menjodohkan nona Li itu kepada kau. To Yong dapat memaklumi isi dan hasrat ayahmu itu, dan dia juga sangat setuju. Siapa tahu setelah meninggalkan Ki-lam, ditengah jalan dia dicegat musuh-musuhnya, yaitu komplotan enam orang berkedok itu, karena memanggul Li Hong-gi maka ayahmu tidak leluasa bergerak dan turun tangan, To Yonglah yang memancing mereka sehingga ayahmu dapat melarikan diri dengan selamat. Tapi dasar memang sudah nasib dipuncak Gun-u-leng dipegunungan Ci-bong dalam daerah Shoatang itu, ayahmu disergap dan dibokong oleh para musuhnya. Keenam orang berkedok itu seorang diantaranya adalah ayah dari kelima orang lainnya. Kelima pemuda itu pernah bersumpah hendak membunuh ayahmu, karena adik kandung perempuan mereka telah dinodai dan dibunuh oleh ayahmu. Waktu To Yong menyusul tiba ayahmu sudah keburu mati, sedang Hong-gi diantar pulang oleh keenam orang berkedok itu. Murid satu-satunya ayahmu juga jatuh pingsan dipinggir jenazah ayahmu. Disamping Hi Si-ing tertinggal sehelai surat pernyataan yang mencatat lengkap kejahatan yang telah diperbuat oleh ayahmu serta nama-nama enam orang berkedok serta asal-usulnya permusuhan mereka ini. Melihat kematian ayahmu yang mengenaskan ini To Yong menjadi murka sekali dan tenggelam kedalam kedukaan serta putus asa. Setelah Hi Si-ing siuman baru diketahui bahwa ternyata sipemuda ini juga telah mengetahui kedok penyamaran suhunya bahwa orang yang telah membimbingnya selama ini kiranya adalah pencuri terbang dan duplikat seorang bekal tunggal yang disegani itu, secara diam-diam ia juga tengah menguntit jejak Suhunya itu sampai di pegunungan Ci-bong itu. Jikalau dia sudah sampai sedemikian jauh mengetahui semua rahasia ini, demi melindungi dan menjaga nama baik si Budha hidup Thio Thian-ki yang kenamaan sebagai hartawan budiman terpaksa dia dicekoki dengan racun sehingga kehilangan kesadaran dan pikirannya menjadi tidak normal seperti orang gila. Pada saat itulah mendadak didengarnya ada derap langkah orang yang mendatangi dari luar sana, cepat-cepat To Yong menyembunyikan diri, orang yang datang ini ternyata adalah Ban-keh-seng-hud Ciu Hou. Melihat kematian Thio Thian ki yang mengenaskan serta Hi Si-ing menjadi gila, tersipu-sipu ia turun gunung ke markas besar So-keh-pang minta bantuan. Dan yang paling celaka adalah dia juga telah membaca surat peringatan itu. Maka karena takut dia menguarkan atau menceritakan rahasia Thio Thian-ki kepada orang lain, secara diam-diam To Yong mengawasi dan menggertaknya hendak mengambil jiwanya. Waktu Ciu Hou turun gunung minta bala bantuan, To Yong menggusur Hi Si-ing ke puncak belakang yang curam itu untuk disembunyikan. Sekembalinya ia melihat Ciu Hou bersama So Tiong kakak beradik tengah mengemasi jenazah ayahmu, sudah tentu dia tidak leluasa keluar mengunjukkan diri. Melihat kebaktian serta kesetiaan Ciu Hou tidak menceritakan rahasia yang telah dibacanya itu, baru To Yong merasa lega. Secara diam-diam ia menguntit pengiriman jenazah engkohmu sampai di Thio-keh-cheng, waktu semua tamu yang melawat tengah berkumpul, timbullah pikiran iseng hendak meracun seluruh hadirin itu. Dibakarnya kamar belakang diatas loteng itu, ketika semua orang berlari keluar ikut menolong dan memadamkan kebakaran, kesempatan ini digunakannya menyebar racun kedalam poci-poci arak yang telah disajikan untuk para tamu-tamu itu. Tak lupa dia me- nyelinap juga masuk kedalam ruang layon mengambil pedang emas milik ayahmu itu, karena bentuk penyamarannya yang serupa benar dengan ayahmu sehingga kau ketakutan, disangkanya engkohmu yang telah meninggal itu hidup kembali. Hakikatnya dia tiada niat hendak mencelakai kau, maka setelah mengambil pedang mas itu secara diam-diam ia lalu mengundurkan diri. Para tamu yang datang melawat kebanyakan adalah kaum persilatan dari kalangan hitam. Sejak kematian ayahmu sifat To Yong berubah agak sesat, timbullah perasaan bencinya terhadap orang-orang jahat yang sudah penuh berlepotan darah ini. Begitu menghilang dari ruang layon dia menjenguk dulu keruang tamu,dilihatnya tipu daya yang diaturnya dengan racun berbisanya ternyata terbongkar oleh kecerdikan Ciu Hou, hanya Siu Tat-in dari salah seorang Hek-san-siang-ing saja yang menemui ajalnya, hatinya semakin geram dan menyumpah-nyumpah kepada Ciu Hou, diam-diam ia ambil keputusan hendak membuat onar dan kegaduhan. Tapi waktu kau bersama Siu Kheng-in dan Kiau-si Hengte berangkat ke pegunungan Ci-bong mendadak ia merobah lagi niatnya. Yg paling dikuatirkan adalah kau mengetahui rahasia ayahmu sendiri, maka dia tidak ingin melihat kau dapat menemukan jejak keenam orang berkedok itu. Sengaja ia muncul di hotel itu menemui kau mengatur sebuah cerita pembualan untuk menipu kau supaya kau menuntut balas kepada So Tiong. Disamping itu dia juga berhasrat hendak menjodohkan kau dengan So Hoan sebagai istrimu, sebab jejak Li Hong-gi tidak diketahui. Sedang kau juga sudah menanjak dewasa cukup besar untuk berumah tangga. To Yong sangat simpatik terhadap So Hoan, maka dengan ceritanya itu dia mengharap perjodohan ini bisa terangkap. Siapa tahu, akalan yang dia atur itu menjadi suatu pikiran yang kontras dalam pemikiranmu, sepihak kau harus menuntut balas kepada So Tiong, di lain pihak orang juga menganjurkan mengambil adik orang sebagai isteri ini benar-benar janggal dan sangat meng- gelikan. Semua sepak terjang ini adalah karena timbul rasa pertanggungan jawabnya akan keselamatanmu dan melindungi kau sejak kematian ayahmu itu serta untuk menutupi dosa serta rahasia ayahmu itu. Demi kebahagiaanmu maka dia telah berbuat sedemikian nyeleweng dan sesumbar. Karena dia telah tahu kalau kau sudah merasa curiga, maka dia tidak berani menyinggung-nyinggung lagi soal itu, cepat-cepat ia minta diri untuk mengundurkan diri. Sepanjang jalan dengan racunnya yang jahat dia meracuni Siu Khing-in, memanah Kiau Keng sampai menemui ajalnya dan semua kejahatan ini dia timpahkan kepundak So Tiong sehingga lebih tebal keyakinanmu bahwa So Tiong merupakan biang keladi dari serentetan pembunuhan yang telah terjadi ini! Sesampai di markas besar So-keh-pang, untung kau berlaku cermat, sabar dan tidak sembrono. Secara diam-diam sekali lagi To Yong turun tangan membokong Kiau Sim dengan senjata rahasia beracunnya sehingga kau tidak lagi mencurigai tapi ini sudah kenyataan bahwa memang So Tiong-lah yg menjadi gara-gara. Segera kau turun tangan menempur So Tiong. Untung si kelabang terbang So Tiong selalu mundur dan mengalah, pula berkat kecermatan So Hoan yang menemukan jejak To Yong lantas dia bersama kau mengejar sampai dipuncak Gun-u-ieng itu. Melihat bahwa tipu muslihatnya telah gagal, sebetulnya siang-siang To Yong sudah meninggalkan tempat itu, maka kau berkesempatan mendapat penjelasan dari So Hoan akan kesalah paham ini. Sampai yang terakhir kalian menemukan tempat persembunyian Hi Si-ing, semua kejadian ini sebetulnya berada diluar perhitungan To Yong sendiri. Tatkala itulah dapat diketahui oleh To Yong bahwa Li Hong-gi telah diantar pulang ke Ki-lam oleh keenam orang berkedok itu. Diam-diam ia mengejar keenam orang berkedok itu lalu dengan tipu dayanya ia berhasil mengurung mereka disuatu tempat yang sangat terahasia. Begitu jejaknya muncul di Ki-lam, kuatir akan keselamatan putrinya segera Li-tihu kirim surat minta bantuan kepada Lim Han, tak terduga kau sendiri juga ikut terpancing dalam kericuhan yang panjang ini. Malam itu To Yong kembangkan tindak tanduknya yang serba misterius itu, terlebih dulu ia muncul diatas genteng menemui kau serta bergebrak beberapa jurus, waktu itu dia mengenakan kedok muka yang seram menakutkan, disaat kau kememek dan kesima dia lantas menghilang sambil perdengarkan suara panjangnya. Tapi dilain kejap sebenarnya ia sudah menyamar menjadi Lim Han terus naik keloteng menghadiahkan secawan arak Pek-jit-kui kepada Li Hong-gi. Untung secepat itu kau dapat membongkar muslihatnya itu lantas mengerahkan bala bantuan untuk mengepung dan menangkapnya. Memang saat itu To Yong masih berada diatas loteng belum ada kesempatan untuk meloloskan diri, terpaksa dia menyamar lagi menjadi wajah ayahmu lalu tiduran diatas ranjang. Karena ia bergegas bangun sehingga kau kaget sampai jatuh pingsan, maka dia peroleh kesempatan untuk melarikan diri. Kedua butir mutiara mestika yang dipersembahkan oleh To Yong untuk diikut sertakan dalam penguburan Li Hong-gi adalah barang curian dari gudang harta istana raja, sekali ini kedua benda mestika itu menunjukkan kasiatnya yg betul-betul ampuh dan mandraguna. Dia sudah pasti dan tahu betul bahwa penguburan akan kematian Li Hong-gi ini pasti tiada akan terjadi apa-apa diluar perhitungannya, tepat pada seratus hari kemudian diusahakan menculiknya keluar dari kuburan untuk merangkapkan perjodohan kalian. Dalam waktu senggang sambil menanti datangnya hari keseratus itu, dia mulai lagi membuat kegemparan mengejar-ngejar jejak Ciu Hou, satu-satunya orang yang mengetahui segala seluk beluk semua rentetan kejadian ini. Ciu Hou terus melarikan diri menuju barat, sepanjang jalan To Yong sebarkan lagi obat racunnya menyebar maut. Kematian Thi-tha-thian-ong, Cin-tiong-sam-hiat adalah buah karyanya, sebaliknya dia tidak membunuh Ciu Hou, keruan Ciu Hou semakin mencak-mencak serasa seujung duri selalu mengancam dipunggungnya setiap saat dapat menancap diatas tubuhnya mengambil jiwanya, gugup dan takut selalu merangsang jiwanya, lebih celaka lagi, dimana ia tiba selalu membawa bencana, dan ini telah didengar orang dimana-mana, sampai akhirnya tiada seorangpun yang berani menerima kedatangannya. Terpaksa Ciu Hou harus pontang-panting melarikan diri, hampir saja dia menjadi gila. Sebaliknya To Yong sendiri merasa senang dan terhibur melihat permainan sandiwara ini ternyata sangat sukses. Tidak mengherankan tokoh-tokoh macam Liong-gwa-hou-tiang dan tujuh Tongcu dari Kam-liang tiada yang mau menerima kedatangannya, maklum siapa yang mau mengantar jiwa sendiri ke lobang maut dan mati secara konyol. Waktu lewat di Ciu-cwan, sipendeta pemabukan Kim Khe-sian berusaha mengejar dan melindunginya sebagai pernyataan kesetiaannya terhadap sesama kawan yang tengah mengalami penderitaan. Tapi karena dia sendiri juga bukan orang dari kaum lurus, meskipun dia mengandal akan kekebalan badannya dan tidak takut akan racun, tapi akhirnya toh dia tidak kuasa menangkis jurus mematikan yang dilancarkan To Yong dengan selentikan kata-katanya sehingga menggugah penyakit bisul yang selama ini selalu mengeram dalam sanubarinya. Akhirnya dia membunuh diri menceburkan diri kedalam jurang. Kematian Kim Khe-sian merupakan babak terakhir dari permainan sandiwara yg menegangkan itu, untuk selanjutnya Ciu Hou kena teringkus oleh To Yong dan disekap pada suatu tempat tanpa membunuhnya. Tapi sengaja dia tinggalkan baju luar Ciu Hou serta anak kunci untuk membuka tutup peti mati Li Hong-gi. Dipihak lain, beberapa hari kemudian setelah kematian Li Hong-gi, Li-tihu baru mengetahui bahwa kasiat dari kedua butir mutiara itu ternyata dapat melindungi keutuhan tubuh putrinya, sering dia masuk kedalam kuburan besar itu untuk menengok wajah putri tunggalnya itu. Rahasia kasiat kedua butir mutiara yang mandraguna ini segera bocor dan dapat didengar oleh para gembong-gembong silat dari kalangan hitam. Maka beramai-ramai Liong-gwa-hou-tiang dan Kam-liang-Tongcu serta Mo-san-sam-kui segera menggrebek tiba berusaha mencuri kedua benda pusaka itu. To Yong juga tahu bahwa kau sendiri agaknya juga tertarik akan kericuhan yang bakal terjadi ini, karena kuatir akan keselamatanmu buru-buru dia juga menyusul Ke Ki-lam. Malam itu terlebih dulu kau bunuh Setan tanpa bayangan Loh Cau salah satu dari Mo-san-sam-kui. Akhirnya setan hitam putih dari Mo-san-sam-kui juga saling cakar dengan tujuh Tongcu dari Kam-liang pay, kedua belah pihak sama-sama menjadi korban akan ketamakannya masing-masing, tinggal si walet terbang Lo Ci-peng seorang yang masih ketinggalan hidup, tapi tak urung akhirnya dia juga terpanah dan dipukul mampus oleh Liong-gwa-hou-tiang Li Ti. Disaat itulah secara kebetulan Nyo Hway-giok kembali datang ketanah pekuburan, kau lepaskan senjata rahasia untuk memperingati dia serta membantu dia membunuh Li Ti. Semua kejadian ini disaksikan oleh To Yong secara diam-diam dengan tegas. Siang-siang To Yong memperhitungkan bahwa saat Hong-gi bakal sadar sudah tiba sengaja ia menimbulkan kegaduhan diluar kuburan untuk memancing Nyo Hway-giok keluar, lalu melibatnja sehingga tiada kesempatan untuk kembali kedalam kuburan menolong Li Hong-gi. Dan saat itulah karena terpaksa kau memberi pertolongan. Sewaktu Nyo Hway-giok kembali kedalam kuburan, To Yong juga ikut menyelundup masuk. Nyo Hway-giok menyaksikan kau tengah memeluk Hong-gi serta sedang memberikan pertolongan. Tahu dia bahwa kesalahan ini telah terjadi dan tak mungkin dapat ditarik kembali, mungkin memang sudah takdir Tuhan akan perjodohan ini. Tapi sewaktu pikiranmu tenggelam dalam buaian cinta dan hampir tersesat hendak melakukan sesuatu yang hampir melanggar kesusilaan, tak tertahan lagi ia menghela napas. Untung benar karena helaan napas inilah telah menggugah kesadaranmu. Melihat kelurusan jiwamu yang suci murni itu diam-diam Nyo Hway-giok memuji dan kagum terhadap kau, diam-diam ia juga merasa senang dan bahagia bahwa sandaran hidup Li Hong-gi dikelak kemudian hari ternyata telah ada orang yang dapat memikulnya, maka secara diam-diam ia mengundurkan diri dari kuburan itu. Setelah mengatur segala rencana yg berhasil lancar itu, To Yong masih terus menguntit kalian menuju keutara bahwa kau masih menjaga kesopanan adat istiadat kuno tidak mau menerima uluran cinta Li Hong-gi benar-benar membuatnya kuatir sekali, tapi ia sendiri tidak tahu dengan cara bagaimana dapat membujuk dan merangkap perjodohan ini, maka ia terus menguntit sampai dikota raja. Kedua butir mutiara itu memang sudah kau kembalikan kepada Lim Han, namun karena To Yong melihat kau ongkang-ongkang saja berdiam dirumah menikmati hidup enak dan tak mau berkelana lagi di Kangouw, sengaja dia hendak mencari perkara, maka ia curi lagi kedua mutiara itu terus diporotkan dikedua anting-anting Hong-gi. Sudah tentu mutiara yang dipersembahkan kepada atasan Lim Han itu adalah palsu, setelah diperiksa kenyataan bahwa kedua butir mutiara itu memang palsu kontan dia dijebloskan kedalam penjara. Sebagai kerabat dan bawahannya segera sipena berapi Siu Hoa pimpin anak buahnya menggrebek kerumahmu, waktu dia lancarkan tiga jurus berantai dari ilmu goloknya, semestinya kau ingin menyudahi saja pertempuran itu dengan caramu sendiri. Tapi pada saat itulah To Yong sambitkan senjata rahasianya, begitu pergelangan Siu Hoa tersambit jarum berbisa itu kontan tangannya menjadi linu dan kaku tak dapat bergerak, tak mungkin lagi dia dapat merobah permainan goloknya, tubuhnya kontan menubruk maju memapak ke ujung jarimu malah. Seketika ia roboh tertutuk dadanya pada jalan darah yang mematikan. Karena kematian Siu Hoa ini maka kau dituduh membunuh petugas dan berani membangkang dari penangkapan. Terpaksa kau harus lari, dan berkelana lagi di Kangouw. Ini juga merupakan maksud dari pada To Yong. Didaerah sekitar Hong-kiam-san-cheng kalian bentrok lagi dengan golok tujuh bintang Kiu San yang telah mengejar tiba, waktu kau terdesak dan hampir kalah, sekali lagi To Yong membantu dengan sambitan senjata rahasianya membunuh Kiu San, tapi sekali ini dia sengaja mengunjuk jejaknya, sedang kau sendiri memang sudah siang-siang waspada begitu melihat bayangannya segera kau mengudak mati-matian hendak menangkapnya. To Yong tahu bahwa kau tidak membekal sepeser uangpun jua, maka sepanjang jalan dia mengatur segala keperluanmu dan memancingmu sampai disini! Dan kelanjutan dari semua peristiwa itu kau sendiri sekarang sudah jelas. Tapi pengalamanmu yang terakhir disini ini To Yong tidak tahu, sebab setelah memancingmu naik keatas gunung lantas dia tinggal pergi lagi entah kemana."    Sepasang Pendekar Perbatasan Karya Chin Yung Badik Buntung Karya Gkh Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini