Ceritasilat Novel Online

Rahasia Si Badju Perak 2


Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Bagian 2


Rahasia Si Badju Perak Karya dari G. K. H   Setelah pertempuran berhenti baru semua hadirin melihat tegas, kiranya saat itu Thio Thian-ih telah berdiri ditengah kalangan, secara tepat ia turun tangan melerai pertempuran adu jiwa.   Serta melihat senjata yang digunakan untuk melerai pertempuran tadi tanpa merasa semua orang tersenyum dan tertawa geli.   Ternyata benda atau senjata yang digunakan untuk memisah tadi adalah seutas tali rumput yang semula menggubat dipinggangnya.   Disamping memuji merekapun merasa kagum tak terhingga, coba bayangkan hanya seutas tali rumput saja ternyata kuat untuk menahan ruyung dan kipas yang terbuat dari baja, ini masih belum yang lebih hebat adalah bahwa orang yang menggunakan senjata tali ini pasti Lwekangnya sudah mencapai puncak tertinggi sehingga secara tepat ia dapat memisah sama tengah.   Sambil tersenyum lebar terdengar Thian-ih bicara.   "Kesalahan paham kalian adalah karena urusan Siaute, hal ini sungguh harus disesalkan.   Harap sukalah kalian memaafkan dan menyudahi pertempuran ini."   Tindakan Thian-ih ini boleh dikata sangat tepat dan jujur, bukan saja sikapnya ini menempatkan dirinya sama tengah merendahkan diri pula.   Sudah tentu Ciu Hou dan Siu Kheng-in menjadi serba salah dan tak enak diri untuk meneruskan pertempuran tanpa juntrungan.   Segera Ciu Hou membalas hormat serta katanya.   "Ji-chengcu aku masih ada urusan penting, maaf kalau aku harus segera berangkat. Tentang kematian engkohmu, silakan kau berangkat ke Ci-hong-san untuk menyelidiki dan melihat dari dekat. Hanya ada yang perlu saya tekankan bahwa peristiwa kali ini tiada sangkut-paut apa-apa dengan So-keh-pang! Untuk hal ini kumohon kebijaksanaan Ji-chengcu dikemudian hari."   Cepat-cepat Thian-ih membalas hormat serta nyatakan terima kasih akan bantuan orang yang tidak kecil artinya, lalu katanya menambahi.   "Dendam kesumat ini bagaimana juga harus kubalas, seperti nasehat Ciu-heng tadi, pasti aku harus bertindak hati-hati dan waspada melihat kenyataan.   Berkat bantuan Ciu-heng sehingga jenazah Toako dapat diantar pulang, budi serta bantuan besar nasehat-nasehat berharga tadi pasti akan kuingat sepanjang masa."   Tanpa banyak kata lagi Ciu Hou segera ambil berpisah dengan semua hadirin, banyak juga yang membalas salam perpisahan ini.   Sementara orang-orang yang berpihak pada Kiau-si Hengte dan Siu Kheng-in masih penasaran, mereka mengantar keberangkatan Ciu Hou dengan pandangan dongkol dan penasaran.   Setelah Ciu Hou berlalu hidangan diganti yang baru, uap masih panas, beramai-ramai para tamu mulai gegares hidangan-hidangan sederhana dengan lahapnya.   Hanya Siu Kheng-in seorang yang tepekur sedih ditempat duduknya, hatinya duka dan nestapa akan kematian adiknya itu.   Tengah makan minum itu, mendadak Kiau Keng angkat bicara lagi.   "Ji-chengcu, kapan kau berangkat ke Shoa-tang?"   "Setelah semua urusan disini beres. Kira-kira besok lusa aku berangkat."   "Kepergian Ji-chengcu ke Shoatang adalah untuk menuntut balas, sebagai seorang kawan yang setia dari engkoh-mu tidak bisa tidak kami harus turut membantu. Biarlah secara sukarela Kiau-si Hengte mengorbankan segalanya untuk mengiringi keberangkatanmu. Entah masih ada lain sahabat mana yang ingin ikut serta?"   Sungguh diluar dugaan reaksi para hadirin ternyata dingin-dingin saja. Ternyata hanya Siu Kheng-in seorang yang ingin ikut. Segera Thio Thian-ih berseru lantang.   "Aku yang rendah tidak berani membikin repot para sahabat, biarlah urusan keluarga ini Siaute hadapi sendiri seumpama pihak musuh terlalu tangguh barulah aku minta bantuan sekadarnya dari para sahabat saja."   Segera Kun-suseng Liok Pek-ing Pangcu dari Ho-bwe-pang dari Kanglam membuka suara.   "Arus gelombang sungai Tiangkang dari depan mendorong kedepan. Orang muda menggantikan orang tua. Ji-chengcu adalah angkatan muda yang gagah perkasa seumpama naga. Berpendirian teguh dan cermat dalam segala bidang. Seperti apa yang dikatakan tadi, kita ini memang golongan kasar yang selalu repot dengan segala urusan tetek-bengek. Menurut hematku biarlah kita berpencar menurut arah masing-masing untuk ikut menyelidiki peristiwa ini. Seumpama kelak Ji-chengcu dapat menemukan musuh besarnya dengan secarik kertas saja kiranya cukup untuk mengundang kita beramai untuk datang membantu. Betapapun lihay ilmu silat musuh, dibawah tekanan persatuan kita beramai apa lagi yang harus kita takuti !" Dalam makan minum ini, suasana menjadi ramai lagi dengan berbagai percakapan panjang lebar. Memang semua hadirin boleh dikata adalah sahabat karib Thio Thian-ki semasa masih hidup. Terhadap pribadi Thio Thian-ih mereka hanya kenal kulitnya saja. Maka banyak yang ingin tahu akan asal-usul kepandaian silat Ji-chengcu yang lihay itu. Thian-gwa-hong Co Lan-pui adalah seorang kelana yang banyak pengalaman dunia Kangouw maka tidaklah heran dia yang menjadi sasaran pertanyaan ini. Tatkala itu Thian-ih sedang mengundurkan diri untuk mengurus jenazah Siu Tat-in. Kesempatan inilah digunakan untuk menutur dan memperkenalkan segala sesuatu mengenai pribadi Thio Thian-ih. Kiranya usia kakak beradik keluarga Thio ini terpaut sangat banyak. Ternyata Thio Thian-ki lebih tua 20 tahun lebih dari adiknya. Menurut ceritanya waktu melahirkan adik kecilnya ini, yaitu Thian-ih, usia orang tua mereka sudah agak lanjut dan tak lama kemudian beruntun meninggal dunia. Maka tugas momong dan membimbing adiknya ini jatuh pada bahu engkohnya yang sudah dewasa. Semasa masih muda Thio Thian-ki pernah mendirikan sebuah perusahaan pengangkutan. Pedang Loh-kim-po-kiam adalah tinggalan leluhurnya yang telah ikut menjunjung tinggi nama perusahaannya yang semakin besar dan berkembang. Bertahun-tahun dia malang melintang hingga lama kelamaan namanya tenar dan sangat disegani di kalangan Kangouw. Waktu Thian-ih menanjak usia 10 tahun, Thian-ki pulang ke Title dalam keresidenan Sam-ho ini dan mendirikan perkampungan Thio-keh-cheng. Maka sejak saat itu Thio Thian-ki lantas mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan dan memperdalam ilmu silatnya dalam pengasingan ini. Setiap tahun hanya sekali dua saja dia pergi meninggalkan perkampungan mengurus keperluan, maka banyak waktu yang terluang untuk mengajar silat kepada adik kecilnya yaitu Thian-ih. Waktu Thian-ih berusia 15, Thian-ki membawanya ke Kiam-hun-san It Ho Kisu untuk dijadikan murid orang berilmu ini. Kiam-bun-it-ho demikian nama julukan guru Thian-ih itu adalah seorang angkatan tua yang berilmu sangat tinggi, tiada seorangpun yang mengenal riwayat hidupnya. Konon kabarnya pernah pada 30 tahun yang lalu waktu It Ho Kisu melancong ke Kanglam. Suatu ketika ia tiba di Hangciu menunggang seekor bangau terbang lewat diatas Se-Ouw (telaga barat) kejadian ini menimbulkan rasa tak puas pada Chit-lo atau tujuh orang tertua daerah selatan yang kenamaan dengan sebutan Leng-hun-chit-lo. Dalam suatu pertengkaran akhirnya dijanjikan untuk mengadu kepandaian diatas puncak Leng-hun. Ternyata dalam pertempuran yang tidak diketahui kalayak ramai sebelumnya ini, dengan gampang Chit-lo telah dikalahkan satu persatu. Maka sejak saat itu nama Kiam-bun-it-ho yang masih muda remaja semakin menanjak tinggi dan menggemparkan Bulim. Begitulah semakin besar dan tenar namanya semakin membuat banyak orang sirik terutama para lawan atau saingannya sehingga melibatkan banyak kesukaran. Maka berbondong-bondong kaum persilatan yang mencari jejaknya untuk diajak adu kepandaian. Tapi karena jejaknya tidak menentu dan susah dicari maka banyak yang kecele. Memang sejak dapat mengalahkan Chit-lo, jago muda ini terus melenyapkan diri dan tak terdengar pula kabar ceritanya. Beberapa tahun kemudian baru diketahui bahwa beliau ternyata telah mengasingkan diri di puncak Kiam-bun-san. Pernah terjadi pula sebanyak lima belas tokoh-tokoh silat dari berbagai aliran di utara meluruk datang ke Kiam-bun-san ini untuk menantang berkelahi. Bagaimana kesudahan adu kepandaian itu tiada seorangpun yang tahu. Yang terang sejak adu kepandaian itu, kelima belas tokoh-tokoh silat itu lantas menutup pintu mengasingkan diri. Sejak mana maka nama Kiam-bun-it-ho semakin menanjak tinggi dan menggetarkan dunia persilatan. Banyak para angkatan muda yang mencari jejaknya pula namun mereka hanya ingin diambil sebagai murid atau hendak berguru kepada beliau. Tapi mereka semua kembali dengan kecewa karena setelah menjelajah lembah curam dan hutan lebat mengalami berbagai rintangan dan bahaya, bukan saja jejak Kiam-bun-it-ho tidak diketemukan malah banyak yang jiwanya melayang secara sia-sia karena mengalami berbagai kecelakaan. Demikian juga Thio Thian-ki bukan sedemikian gampang dapat menemukan jejak orang kosen itu. Sebanyak lima kali ia memanjat Kiam-bun-san, baru yang terakhir dapat menemukan tempat pengasingan orang kosen ini. Beruntung Thian-ih diterima menjadi muridnya. Maka sejak berusia lima belas Thian-ih belajar ilmu silat kepada guru besar yang kenamaan ini, selama beberapa tahun ia digembleng luar dalam diatas gunung menjadi orang yang memiliki kepandaian tinggi. Selama bertahun-tahun diatas gunung hanya setiap tahun baru saja ia turun gunung kembali ke rumah untuk berkumpul dengan keluarganya. Thio Thian-ki mengundurkan diri dimasa jaya-jayanya sudah tentu hal ini menimbulkan rasa heran dan banyak pertanyaan diantara para sahabatnya. Hidupnya sangat bersahaja, sifatnya agung dan suka membela yang lemah dan terbuka tangan lagi untuk menolong yang sengsara. Maka khalayak ramai memberi julukan Seng-po-sat atau si Budha hidup kepada si dermawan ini. Kalau diluaran Sang Budha hidup terkenal sangat budiman, namun sebetulnya hidup kekeluargaan Thio Thian-ki ternyata mengalami banyak penderitaan batin. Karena selama beberapa tahun dia menikah namun belum dikaruniai anak, maka Thian-ih dipandang sebagai anak didiknya yang paling disayang. Setiap tahun adiknya pulang sekali kerumah untuk merayakan tahun baru beberapa hari terus kembali ketempat perguruannya, memang setiap Thian-ih berada di rumah baru kelihatan kegembiraan Thio Thian-ki, tapi sekembali adiknya keatas gunung wajahnya selalu muram dan bersungut tak gembira. Mungkin karena tidak betah tinggal dirumahnya pada suatu hari ia berangkat pergi entah merantau kemana, setelah beberapa bulan berlalu mendadak didapat kabar jelek tentang terbunuhnya Thio Thian-ki secara misterius. Sedemikian besar rasa kasih sayang Thio Thian-ki terhadap adiknya kecil ini. Maka tidak heran kalau sedemikian besar pula tekad Thio Thian-ih hendak menuntut balas bagi kematian engkohnya. Dalam pada itu setelah mengetahui bahwa Thio Thian-ih ternyata adalah murid Kiam-bun-it-ho, serta merta para tamu merasa kagum dan menaruh hormat kepadanya. Keesokan harinya setelah upacara penguburan jenazah Thio Thian-ki selesai, beruntun para tamu minta diri untuk pulang. Tinggal Kiau-si Hengte dan Siu Kheng-in bertiga yang masih tinggal, menurut rencana merekalah yang hendak ikut berangkat menuju ke pegunungan Ci-bong di Shoa-tang. 0000 Disebuah jalan raya diperbatasan antara Hopak dan Shoatang, tampak empat ekor kuda dilarikan kencang di-bawah terik matahari. Debu mengepul tinggi dibelakang mereka. Satu diantara keempat penunggang kuda yang ditengah-tengah berpakaian putih mulus berwajah ganteng cakap, alisnya lentik dan matanya bersinar terang. Keadaan ini sangat berbeda menyolok mata dibanding ketiga penunggang kuda yang lain, mereka berwajah kasar tapi bertubuh kekar dan gagah, sekali pandang orang akan menyangka dia hanya seorang pelajar yang beriring jalan dengan tiga pengawalnya. Keempat orang ini tidak lain tak bukan adalah Thio Thian-ih, Kiau-si Hengte dan Siu Kheng-in. Thio Thian-ih dan Siu Kheng-in selalu berkerut alis, wajah mereka menunjuk kekesalan dan murung. Hari itu mereka sudah melampaui kota Tek-ciu, hari sudah hampir magrib, maka pada kota selanjutnya mereka mencari rumah makan untuk tangsel perut, rumah makan ini sepi-sepi saja hanya ada beberapa tamu. Tengah mereka makan minum, terasa ada seorang tengah mengamat-amati gerak gerik mereka dari meja sebelah sana. Memang sepanjang perjalanan Thio Thian-ih selalu awas, sedikit gerak yang mencurigakan saja sudah menarik perhatiannya, maka secepat itu dia sudah merasa bahwa dirinya tengah diintai oleh orang lain. Dengan tenang seperti tak terjadi apa-apa, Thian-ih bangkit lalu menghampiri jendela pura-pura melihat pemandangan diluar sana, namun hakikatnya diapun perhatikan tindak tanduk orang ini secara diam-diam. Terlihat olehnya dimeja sebelah kanan sana tengah duduk seorang setengah baya berusia 50-an berpakaian seorang sastrawan, wajahnya pucat kekuning-kuningan, dibawah dagunya tumbuh dua jalur jenggot pendek. Orang ini tengah termenung sambil minum arak, saban-saban matanya melirik kearah mereka. Karena curiga diam-diam Thian-ih perhatikan orang ini dengan cermat. Agaknya orang itu menjadi sadar bahwa dirinya telah dicurigai, pelan-pelan sinar matanya beralih dan dengan tepat saling beradu pandang dengan Thian-ih. Sekilas orang itu tersenyum sambil sedikit manggut, sikapnya wajar dan seperti tidak bermaksud jahat. Tergerak hati Thian-ih tengah ia melongo heran orang itu sudah bangkit dan jalan menghampiri kearah dirinya. Sambil membungkuk terus dia memperkenalkan diri.   "Cayhe To Yung, kulihat wajah Kongcu ada mirip dengan seorang sahabat kentalku, maka maafkan perbuatan yang kurang hormat tadi. Kuharap Kongcu tidak salah paham."   Melihat orang bersikap sopan merendah dan jujur terpaksa Thian-ih menyahut.   "Ah, mana berani.'' Rasanya orang yang mengaku bernama To Yung ini semakin mendapat hati, tanyanya lebih lanjut.   "Harap tanya siapakah she dan nama Kongcu ini?"   "Cayhe Thio Thian-ih.........."   "Oh,"   To Yung berseru kejut. "Ternyata Ji-chengcu benar-benar telah datang, tentang kematian engkohmu......"   Berkata sampai disini mendadak ia merandek dan ragu-ragu untuk bicara terus.   "Apakah To-heng juga mengetahui seluk beluk kematian engkohku itu?"   "Ya, memang begitulah,"   Sahut To Yung perlahan.   "Tempat ini kurang leluasa untuk bicara, biar nanti tengah malam aku datang berkunjung pula."   Sekilas ia melirik ke arah Kiau-si Hengte dan Siu Kheng-in, lalu cepat-cepat minta diri dan turun loteng.   Malam telah tiba, Thio Thian-ih tidur sekamar dengan Siu Kheng-in, agaknya perjalanan yang jauh ini sangat meletihkan, maka begitu rebah Siu Kheng-in terus mengeros pulas tenggelam dalam alam mimpinya.   Sebaliknya Thian-ih malah tidak bisa tidur, ia duduk termenung menghadapi pelita, begitulah ia habiskan sang waktu sambil menanti kedatangan To Yung.   Tempo hari Ciu Hou mengatakan hanya Hi Si-ing seoranglah yang mengetahui duduk peristiwa tentang terbunuhnya engkohnya.   Siapa tahu hari ini To Yung juga mengatakan bahwa diapun tahu seluk beluk peristiwa yang mengenaskan itu.   Entah siapa dan bagaimana martabat orang ini sebenarnya? Demikianlah tengah ia termenung-menung, tiba-tiba terdengar ketokan pintu yang sangat lirih, kiranya To Yung telah datang menepati janjinya.   Setelah Thian-ih menyambutnya masuk dan menyilahkan duduk mulailah To Yung bercerita dibawah sinar pelita yang guram.   Menurut apa yang dikatakannya bahwa diapun seorang dari kalangan persilatan, para kawan kaum persilatan memberi julukan Kang-ouw San-jin (orang kelana di kangouw).   Dia mempunyai hubungan sangat kental dengan pihak So-keh-pang di pegunungan Ci-bong itu.   Kejadian pada suatu hari waktu dirinya tengah mertamu disana secara kebetulan ia mempergoki peristiwa pembunuhan itu.   Menurut ceritanya pula bahwa sejak lama antara Thio Thian-ki dengan pihak So-keh-pang telah tertanam permusuhan yang mendalam.   Beberapa tahun yang lalu waktu Pangcu tua dari So-keh-pang yaitu So Gun-u belum wafat, markas besar mereka memang terletak di puncak pegunungan dalam gedung bobrok itu, sebelum ajal ia meninggalkan pesan pada ahliwarisnya minta dirinya dikubur di puncak itu juga dan ditekankan pula kepada putra-putrinya untuk membunuh Thio Thian-ki supaya sakit hatinya bisa terbalas.   Setahun sebelum dia meninggal dunia pernah diciptakan semacam senjata perkakas kompres yang ganas dan jahat, senjata ini terbuat dari baja murni yang berbentuk seperti kuntum bunga bwe, bukan saja tajam luar biasa malah dilumuri racun lagi.   Agaknya sedemikian besar rasa dendamnya terhadap Thio Thian-ki maka dalam pesannya itu dia meminta supaya memancing Thio Thian-ki datang ke Ci-bong lalu menjebaknya dan membunuhnya dengan senjata kompres yang ganas itu.   Hwe-bu-siong (kelabang terbang) So Tiong mewarisi kedudukan ayahnya menjabat pangcu dari So-keh-pang, sebagai seorang anak yang menjunjung tinggi pesan leluhur, dia berusaha keras untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada dirinya.   Maka dengan berbagai cara dia berdaya upaya untuk mengundang Thio Thian-ki datang.   Secara kebetulan musim semi beberapa bulan yang lalu Thio Thian-ki keluar mengembara lagi, maka ia menyebar kaki tangannya memancingnya datang ke atas puncak Ci-bong itu, usahanya ternyata berhasil.   Sebetulnya Thio Thian-ki sudah lama melupakan ganjelan hati dengan pihak So-keh-pang, malam itu secara kebetulan ia lewat di pegunungan Ci-bong itu, diluar tahunya dirinya sudah masuk jebakan yang diatur musuh.   Dibawah pimpinan Hwe-bu-siong beserta lima tokoh terlihay dari So-keh-pang akhirnya Thian-ki bertekuk lutut dan menyerah kalah menerima ajal dengan konyol di gedung bobrok itu.   Tubuhnya dicacah hancur lebur.   Waktu cerita To Yung berakhir, Thian-ih sudah tak kuat menahan kepiluan hatinya, airmata meleleh deras membasahi pipinya.   Segera ia bangkit memberi hormat serta katanya.   "To-heng, sebelum ini kita tidak kenal satu sama lain. Karena keteranganmu ini baru Siaute sadar bagai menyingkap awan melihat matahari. Budi yang besar ini selama hidup akan kuingat dan kuucapkan beribu terima kasih, kini harap sukalah terima hormat Siaute."   Habis berkata ia bersiap hendak berlutut. Lekas-lekas To Yung mencegah, kedua tangan menyanggah kedua pundak Thian-ih. Maka seketika Thian-ih merasa suatu tolakan tenaga besar orang yang luar biasa ini. Terdengar To Yung berkata lagi.   "Ji-chengcu sebetulnya aku tak perlu turut campur dalam urusan ini. Tapi sebagai orang yang berperikemanusiaan aku merasa jijik dan tak puas akan kekejaman orang-orang So-keh-pang itu. Demi kebenaran dan keadilan terpaksa aku harus membeber rahasia mereka ini dihadapanmu supaya kau tidak terjebak pula kedalam tipu daya mereka. Aku tahu pada suatu hari pasti kau akan datang menuntut balas dan lewat disini, maka sudah lama aku menunggu kedatanganmu ini."   Mendadak tergerak hati Thian-ih, lantas tanyanya. "To-heng, jenazah engkohku adalah Ciu Hou yang membawa pulang, apakah dia utusan orang dari So-keh-pang?"   "Kurasa bukan begitu,"   Sahut To Yung.   "Ciu Hou adalah seorang yang baik hati dan bijaksana. Memang secara kebetulan dia menemukan jenazah engkohmu dalam gedung bobrok itu. Untuk membawa pulang terpaksa Ciu Hou minta orang-orang So-keh-nang untuk membantunya. So Tiong itu ternyata manusia cerdik pandai dan licik, ia pura-pura tidak tahu menahu tentang peristiwa yang menyedihkan itu, untuk menghapus kecurigaan orang ia mengutus anak buahnya membantu Ciu Hou mengirim pulang jenazah engkohmu."   Lalu To Yung menambahi.   "Engkohmu mempunyai seorang murid, waktu melihat keadaan kematian gurunya yang mengenaskan itu dia jatuh pingsan. Ternyata Orang-orang So-keh-pang bekerja tidak kepalang tanggung, murid keponakanmu itu dicekoki arak beracun sehingga pikirannya kurang waras dan menjadi gila !"   "To-heng dimanakah dia sekarang?"   "Mungkin masih dipenjarakan di So-keh-pang!'' Hati Thian-ih kurang tenteram dan risau, jejak musuh besarnya telah diketahui, sakit hati ini pasti dapat terbalas, hatinya menjadi girang dan kuatir. Girang karena musuh besar telah berada didepan mata, kuatir karena teringat olehnya bahwa gurunya yaitu Kiam-bun-it-ho selamanya paling benci urusan balas membalas. Sepak terjangnya hari ini belum mendapat persetujuan atau restunya, bagaimana kelak kalau dirinya mendapat marah dan dihukum karena kesalahan ini. Melihat orang termenung, To Yung ikut menghela napas, katanya.   "Ji-chengcu, engkohmu adalah seorang dermawan yang bijaksana maka diberi julukan si Budha Hidup, namanya sudah sangat tenar dan disegani. Agaknya pihak So-keh-pang juga rada menyesal telah berbuat sekeji itu, maka mereka merahasiakan perbuatannya. Secara sangat kebetulan aku saksikan pembunuhan keji itu, maka kuharap nanti Ji-chengcu tidak menyebut-nyebut namaku dihadapan orang-orang So-keh-pang supaya tidak membawa kesukaran bagi pribadiku dikelak kemudian hari."   Thian-ih tertawa gelak-gelak, katanya .   "To-heng, kau terlalu berkecil hati, meski rendah kepandaianku tapi aku pantang mundur menghadapi ke-enam durjana itu, selama hayat masih dikandung badan tidak akan kubiarkan mereka tetap bernapas didunia ini.   Hahaha, kecuali aku sudah gugur terpaksa aku tak dapat merintangi mereka mencari perkara kepada kau..."   "Ji-chengcu mengapa kau berkata begitu,"   Cepat-cepat To Yung menyela.   "Sebagai murid Kiam-bun-it-ho yang kenamaan, tentu bangsa kurcaci seperti So Tiong dan begundalnya bukan tandinganmu, namun kupinta bagaimana juga kau jangan menyebut-nyebut namaku yang rendah ini dihadapan mereka."   Thian-ih agak sangsi dan terkejut melihat orang sedemikian mendesak untuk merahasiakan namanya, batinnya. "Darimana orang ini tahu kalau aku murid Kiam-bun-It-ho?"   Demikian dalam hati ia bertanya-tanya, tapi dimulut terpaksa dia menyahut.   "To-heng, legakan hatimu tidak nanti aku membawa-bawa namamu dalam urusan ini.'' Melihat Thian-ih meluluskan To Yung merasa lega dan girang, ujarnya .   "Ji-chengcu, kulihat kau masih muda dan berambek besar, wajahmu tampan dan ganteng, apakah telah mengikat tali perjodohan?"   Suaranya halus, wajahnya berseri simpatik. Thio Thian-ih menggeleng kepala! "So Gun-gu punya seorang putera dan seorang puteri,"   To Yung bercerita lagi.   "Sifat kakak beradik ini sangat berlawanan, kalau So Tiong telengas kejam dan licik menyerupai ayahnya, adalah adiknya itu sangat alim cendekia dan tahu menjunjung tata-krama. Selalu dia menentang sepak terjang ayah dan engkohnya...."   Berkata sampai disini diam-diam To Yung perhatikan mimik wajah Thian-ih, melihat sikap orang tetap merengut tanpa ambil perhatian akan ceritanya, terpaksa ia alihkan pembicaraan.   "Ji-chengcu, tentang pertentanganmu dengan pihak So-keh-pang ini aku yang rendah ada sedikit nasehat, apakah kau suka dengar?"   Cepat-cepat Thian-ih menanyakan soal apakah itu? Kata To Yung.   "Ketahuilah sebelum pembunuhan itu terjadi So Hoan siang-siang telah memprotes rencana engkohnya, maka dia tidak turut campur dalam urusan ini. Maka nanti kalau Ji-chengcu turun tangan carilah saja algojonya, jangan kau melukai atau membunuh mereka yang tidak berdosa.'' Sambil membusungkan dada Thian-ih menyahut.   "Soal ini harap To-heng jangan kuatir. Sejak kecil Thian-ih dididik oleh Toako dan Suhu, bajik dan jahat dapat kubedakan, tentu aku tidak akan berbuat sesuatu yang melanggar perikemanusiaan. Terhadap So Hoan aku akan berlaku baik."   To Yung unjuk rasa girang dan puas, katanya.   "So Hoan seorang putri yang ayu jelita berusia sembilan belas, pandai sastra dan ilmu silat, sifatnya lemah lembut. Dalam ilmu silat terutama Ginkangnya sudah mencapai kesempurnaannya maka orang memberi julukan Giok-ou-tiap (kupu-kupu kemala)."   Lalu dia pura-pura termenung sekian lama lantas gumamnya.   "Kalau Ji-chengcu dapat mengikat jodoh dengan So Hoan melenyapkan dendam dan sakit hati, bukankah hal ini sangat menggembirakan?"   Dalam hati Thian-ih tertawa geli.   "Orang ini menunjuk jalan mencarikan jejak musuh supaya sakit hatinya terbalas, namun membujuk juga secara halus supaya aku mempersuntingkan adik kandung musuh besarku. Haha, dalam kolong langit ini rasanya belum pernah terjadi urusan yang janggal dan aneh ini. Bukankah sangat goblok dan menggelikan."   Namun bagaimana juga hakikatnya orang bermaksud baik, terpaksa ia harus melayani dengan sopan.   "Terima kasih akan maksud dan perhatian To-heng, sebelum dendam ini terbalas maaf aku tak dapat memenuhi harapanmu."   To Yung menjadi kurang senang, katanya uring-uringan.   "Baiklah soal ini jangan dibicarakan lagi. Ji-chengcu sudah larut malam engkau perlu istirahat. Maaf aku tidak dapat mengiringi kau ke Ci-bong, biar kita berpisah saja disini, kalau ada jodoh pasti kelak kita bertemu lagi. Kupujikan Ji-chengcu berhasil menuntut balas."   Lalu dia memutar tubuh hendak berlalu. Cepat-cepat Thian-ih menahannya. "To-heng, tunggu sebentar. Numpang tanya dimanakah tempat tinggalmu? Aku Thio Thian-ih kalau beruntung masih hidup, budi To-heng yang besar ini tentu kubalas."   To Yung tersenyum ewa, ujarnya.   "Ah, itukan urusan kecil. Bagi kalangan Hiap-gi (pendekar) sudah sepantasnya saling bantu. Kuharap urusan ini tidak menjanggal dihati Ji-chengcu, tentang membalas budi apa segala aku tidak berani terima. Empat lautan adalah rumahku, jejakku tak menentu, jikalau ada jodoh pasti kelak bertemu lagi, tak perlu kau capekan diri mencari aku."   Lantas dengan langkah lebar ia bertindak keluar.   Kebetulan angin malam menghembus agak kencang sehingga jubah panjangnya sedikit tersingkap, sekilas terlihat oleh Thian-ih pedang panjang orang tersoreng dipinggangnya.   Tergerak hati Thian-ih sesaat ia melongo waktu ditegasi lagi bayangan To Yung sudah menghilang tanpa bekas.   Tersipu-sipu Thian-ih memburu keluar, diluar gelap gulita bintang bertaburan diatas langit laksana jamrut, angin menghembus sepoi-sepoi hawa rada dingin.   Ilmu ringan tubuh To Yung ini sungguh harus dipuji, dalam sekejap mata tahu-tahu bayangannya sudah menghilang entah kemana.   Esok harinya waktu bersantap pagi, Thian-ih ceritakan apa yang didengarnya kepada Siu Kheng-in bertiga.   Mendengar jejak musuh besar telah diketahui sungguh girang Siu Kheng-in bertiga bukan buatan, maka bergegas mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat yang menyala-nyala.   Lima hari kemudian mereka sampai disebuah kota yang bernama Bong-im, kota kecil ini sudah masuk dalam wilayah pegunungan Ci-bong.   Semakin dekat tempat tujuan, mereka berlaku semakin hati-hati dan waspada.   Hari itu mereka beranjak ditengah jalan pegunungan, terik matahari panas luar biasa.   Siu Kheng-in dan Kiau-si Hengte tidak kuat lagi menahan dahaga.   Beberapa li kemudian jauh-jauh terlihat dipinggir jalan didepan sana terdapat sebuah gardu, mereka menduga tentu dalam gardu itu tersedia air untuk minum, maka cepat-cepat Siu Keng-in bertiga mengeprak kuda membedal maju.   Memang didalam gardu ini tersedia segentong air, namun tidak kelihatan bayangan seorang jua, ini sangat mengherankan dan membuat Thian-ih yang cermat menaruh curiga.   Karena tertinggal agak jauh maka ia berteriak.   "Siu-toako dan Kiau-toako, jangan kau minum dulu air itu !"   Dasar Siu Kheng-in memang seorang ceroboh dan berangasan, karena tidak kuat lagi menahan dahaga serta dilihatnya gentong berisi penuh air jernih, kian menambah seleranya, tanpa peduli seruan Thian-ih langsung ia menciduk segayung air terus diminumnya.   Saat mana Kiau-si Hengte juga sudah ambil cawan menunggu giliran mengambil air, serta mendengar peringatan Thian-ih mereka melengak dan merasakan adanya firasat jelek.   Belum lagi mereka bergerak mendadak terdengar cawan jatuh hancur berantakan, waktu mereka menoleh tampak kedua mata Siu Kheng-in melotot besar, keringat bertetes-tetes, mulutnya dipentang megap-megap tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, kedua tangan mencekik leher sendiri maka dilain saat tubuh besar yang kekar itu roboh terkapar tanpa berkutik lagi.   Waktu Thian-ih memburu tiba keadaan Siu Kheng-in sudah sangat payah, wajahnya sudah hitam legam, tujuh lobang indranya mengalirkan darah hitam, keadaan ini mirip benar dengan kematian adiknya tempo hari.   Keruan bukan kepalang kejut dan duka hati Thian-ih.   Lucu adalah keadaan Kiau-si Hengte, mereka berdiri termangu ditempatnya sambil menyekal cawan airnya, ciut dan mendelu hati mereka.   Lama kelamaan tubuh Siu Kheng-in semakin kaku dan semakin dingin, tak lama kemudian lantas menghembuskan napas untuk selama-lamanya.   Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kedatangan Hek-san-siang-ing adalah untuk menyatakan turut belasungkawa atas kematian Thio Thian-ki, kini hendak membantu pula mencari musuh besarnya.   Siapa kira akhirnya mereka juga berkorban menyusul arwah engkohnya karena mati keracunan.   Sungguh perih dan pedih rasa hati Thian-ih, airmata meleleh deras.   "Ji-chengcu ! Lihatlah apakah ini?"   Mendadak Hek-hong-piau Kiau Keng berteriak kaget sambil mencabut sebatang anak panah yang tertancap diatas tiang gardu.   Dibuntut anak panah ini terikat sebuah bambu kecil.   Kuatir anak panah ini juga beracun, Thian-ih kenakan sarung tangan yang terbuat dari kulit kijang, lalu dengan cermat ia periksa anak panah itu.   Anak panah ini dibuat sedemikian halus dan indah, diatas batang anak panah ini terukir seekor kelabang terbang berwarna merah darah.   "Hm, jadi Kelabang terbang So Tiong yang telah berbuat sekeji ini,"   Kiau Keng menggeram gusar.   Dengan hati-hati Thian-ih cabut bambu kecil itu lalu dari dalamnya ia lolos keluar secarik kertas yang penuh berisi tulisan, beramai mereka membaca.   "Disekitar pegunungan Ci-bong, Keluarga So menjagoi.   Kelabang sakti bersayap, Bagai naga dilangit, air racun meluluh tulang, Dipersembahkan untuk tamu-tamu terhormat."   Seketika berubah air muka mereka.   Memang air dalam gentong itu berwarna semu hijau dan berbau wangi.   Disini juga terdapat tiga cawan saja, air yang tercecer itu membuat lantai berwarna hitam hangus.   Setelah berunding akhirnya mereka ambil putusan untuk mengubur jenazah Siu Kheng-in ditempat itu juga, sebatang pohon sebagai tanda pengenal.   Kiau-si Hengte semakin getol dan tak kuat menahan sabar, ingin rasanya dapat segera terbang sampai di So-keh-pang untuk membuat perhitungan dengan So Tiong.   Ditengah perjalanan Thian-ih berpikir keras diatas kuda.   Bukti sudah menunjukkan bahwa memang So Tionglah yang mengatur semua tipu daya ini untuk menjebak mereka.   Tapi masih ada sedikit kesangsian yang membingungkan yaitu bahwa mereka berempat mengapa disana hanya tersedia tiga cawan? Karena maklum akan sifat-sifat Kiau-si Hengte yang berangasan dan berotak bebal susah diajak berunding, maka ia telan saja rasa curiga ini dalam hati.   Setelah melewati sebuah celah gunung secepatnya mereka sudah akan tiba dipesanggrahan So-keh-pang.   Justru waktu melalui celah-celah gunung itulah terjadi pula kejadian yang diluar sangka.   Jalanan dalam celah gunung ini berbatu dan sangat sukar dilalui, banyak batu-batu runcing yang membahayakan.   Perlahan-lahan Thian-ih kendorkan lari kudanya.   Tidak demikian halnya Kiau-si Hengte, mereka terburu nafsu ingin segera tiba ditempat tujuan, tanpa hiraukan jeleknya jalan pegunungan mereka terus membedal kuda tunggangan dengan kencang.   Belum jauh mereka berlalu mendadak terdengar suara ringkik kuda yang agak ganjil.   Thian-ih terkejut dan segera memburu maju.   Masih sempat terlihat olehnya Kiau Keng terjungkal dari atas kudanya terkena sebatang anak panah.   Dilain kejap Kiau Sim memutar kencang senjatanya melesat keatas batu gunung mencari jejak musuh yang telah membokong dengan anak panah tadi.   Lekas-lekas Thian-ih memburu tiba didekat Kiau Keng yang terkapar ditanah, sebatang anak panah menancap dalam diatas pundaknya, darah yang mengalir keluar berwarna hitam, terang panah itu beracun.   Keruan Thian-ih kelabakan, cepat ia keluarkan obat berusaha menolong, anak panah itu menancap sangat dalam, setelah susah payah baru dapat dicabut keluar.   Namun Kiau Keng sudah tak ingat diri, napasnya kempas kempis badan mulai kaku.   Tak lama kemudian Kiau Sim kembali tanpa hasil, gusar dan duka mengaduk hatinya.   Saat mana cuaca sudah mulai petang, kuatir musuh datang membokong lagi, mereka menjaga bergantian.   Sementara itu Kiau Sim tengah bekerja keras mengorek dan memotong daging disekitar luka dipundak Kiau Keng untuk mencegah hawa racun menjalar.   Tapi agaknya usahanya sia-sia belaka, karena racun sudah meresap kedalam tulang dan mengalir mengikuti aliran darah terus menerjang jantung.   Badan Kiau Keng semakin hitam, keadaan ini seperti kematian Hek-san-siang-ing yang telah mendahului menghadap Giam-lo-ong.   Selang tak berapa lama napas Kiau Keng mulai sesak, tubuhnya kejang dan dingin.   Thian-ih berdua hanya mendelong saja tanpa dapat berbuat banyak.   Tatkala itu sang malam telah mendatang, keadaan dalam lembah pegunungan sangat gelap menakutkan, angin malam menghembus keras menderu-deru.   Thian-ih berdua tak berani gegabah, sampai tengah malam mereka masih bersitegang leher, akhirnya Kiau Keng menghembuskan napas juga.   Kiau Sim jatuh pingsan mengantar keberangkatan arwah engkohnya.   Anak panah yang menancap dipundak Kiau Keng mirip benar dengan panah yang menancap ditiang gardu tempo hari, diatas batang panah itu terukir seekor kelabang terbang pertanda julukan So Tiong.   Tak lama kemudian selesai mereka mengubur Kiau Keng, haripun terang tanah, Thian-ih berdua melanjutkan perjalanan.   Waktu berangkat mereka berempat, kini tinggal berdua saja, didepan masih banyak rintangan yang diatur So Tiong untuk menjebak dan mencelakai jiwa mereka.   Setiap tindak mereka maju semakin tertekan perasaan hatinya, was-was dan takut.   Pada tengah hari itu baru mereka sampai di ambang pintu besar markas besar So-keh-pang yang tertutup rapat, sedemikian indah dan megahnya bangunan So-keh-pang ini dikelilingi pagar tembok yang tinggi, diluar tembok dilingkari pula sungai yang lebar dan dalam, jembatan gantung terkerek tinggi, naga-naganya mereka sudah bersiap menanti kedatangan mereka.   Kalau menurut adat Kiau Sim yang berangasan ingin segera ia menyerbu masuk.   Tapi Thian-ih mencegah katanya.   "Kita belum tahu seluk beluk mereka, lebih baik kita bertindak secara hormat bertandang."   Tiba di ujung jembatan gantung Thian-ih dan Kiau Sim hentikan kudanya, segera Kiau Sim berteriak memperkenalkan diri dan minta bertemu dengan pihak tuan rumah.   Tidak berapa lama pintu besar perlahan-lahan dibuka, jembatan gantung juga diturunkan.   Disusul pasukan berkuda yang dipimpin dua muda mudi berjalan keluar.   Pakaian mereka mewah menyolok, dari gerak gerik mereka dapat diketahui bahwa mereka tidak membekal senjata.   Begitu angkat senjata Kiau Sim hendak menerjang maju, untung Thian-ih keburu mencegah serta bujuknya.   "Sim-heng, jangan berlaku sembrono dan kurang adat. Kita sudah berhadapan masa kuatir mereka bisa terbang kelangit? Berlaku hati-hati dan bertindak melihat gelagat, sebelum terang duduk perkaranya janganlah turun tangan."   Sementara itu, So Tiong dan So Hoan sudah mendatangi. Waktu ditegasi ternyata So Tiong adalah seorang pemuda yang gagah berusia 20-an, setelah dekat segera ia angkat tangan memberi salam dan katanya berseri.   "Ji-chengcu dan Kiau-toako datang dari jauh, kita berdua tidak keburu menyambut lebih pagi harap dimaafkan.'' tingkah lakunya sangat hormat dan kenal sopan santun, nada perkataannya juga lemah lembut. Entah tersembunyi muslihat apalagi dibelakang mulutnya yang manis merdu itu. Thian-ih masih dapat menahan perasaan, lain halnya dengan Kiau Sim yang kasar, karena geram air mukanya merah padam, napasnya tersengal-sengal menahan gusar. So Tiong heran melihat sikap tamunya yang ganjil ini, namun lahirnya ia berlaku tenang, katanya.   "Tuan-tuan tentu capek melakukan perjalanan jauh, silakan beristirahat di-dalam sambil bercakap-cakap !"   Lalu ia pimpin Thian-ih berdua memasuki markas besar So-keh-pang.   Diam-diam Thian-ih waspada dan bersiaga.   Kiau Sim juga tidak kalah tegang, senjatanya dicekal kencang.   Beramai-ramai mereka memasuki sebuah ruangan besar, dimana biasanya partai keluarga So sering mengadakan sidang atau rapat ditempat ini.   Begitu melangkah kedalam ruangan besar ini Kiau Sim semakin bersitegang leher, matanya mendelik jalang, sikapnya kasar dan garang.   Sekilas So Tiong melirik kearah So Hoan sambil mengerutkan alis, berbagai pertanyaan mengaduk dalam benaknya.   Segera ia perintahkan bawahannya untuk menyediakan meja perjamuan, dengan sikap manis dan sabar So Tiong terus layani tamu-tamu aneh yang tak diundang ini.   Kiau Sim sudah berulang kali hendak mengumbar wataknya, tapi Thian-ih berlagak pikun dan menggeleng kepala tanda tak setuju.   Selesai mereka mandi dan ganti pakaian, sementara itu meja perjamuan juga sudah siap sedia.   Dengan hormat So Tiong dan adiknya menyilakan para tamunya duduk.   Lantas So Tiong angkat sebuah cawan arak seraya berkata.   "Atas kunjungan Ji-chengcu dan Kiau-toako ini bila kami menyambut kurang sempurna harap kalian suka memberi maaf. Dengan secawan arak ini kami berdua sampaikan salam hangat dan kami ucapkan selamat datang !"   "So Tiong!"   Tiba-tiba Kiau Sim membentak keras sambil menggebrak meja.   "Ditengah jalan kau sudah meracuni engkohku sampai mati, apa sekarang kau hendak mencelakai jiwaku pula."   So Tiong berjingkrak kaget, serunya.   "Kiau Toako, apa-apaan omonganmu ini, mana aku ada maksud mencelakai kalian?"   Kiau Sim semakin beringas, teriaknya.   "Arak beracun dalam cawan ini apa kau berani minum?"   "Sungguh lucu dan menggelikan,"   Seru So Tiong agak dongkol karena dituduh semena-mena.   "Mengapa aku harus takut?"   Dengan langkah lebar ia memutar menghampiri tempat Kiau Sim lalu sekali tenggak ia kosongkan cawan arak orang.   Setelah sekian lama dinati-nantikan tiada tampak reaksi apa-apa keruan Kiau Sim tercengang dan malu.   Sebaliknya So Tiong tertawa gelak, ujarnya.   "Aku So Tiong selama hidup meng- hadapi sobat secara jujur. Kiau-toako agaknya terlalu banyak curiga, biarlah semua hidangan disini kita coba dulu, apakah ada tercampur racun atau tidak."   Seorang pelayan segera maju menuang arak dalam dua cawan besar.   Tanpa sungkan-sungkan So Tiong dan So Hoan mendahului meneguk arak dalam cawan itu, lalu So Tiong angsurkan cawannya kepada Kiau Sim.   Sedang So Hoan dengan wajar tanpa rikuh-rikuh membawa cawannya kehadapan Thian-ih, dengan laku sangat manis ia haturkan secawan arak itu sambil berkata.   "Ji-chengcu silakan kau juga minum."   Keruan kejadian ini membuat Thian-ih berdua merasa canggung dan tak enak hati, akhirnya terpaksa Thian-ih buka suara coba memancing.   "Pertama-tama sukalah kalian memaafkan kedatangan kita yang lancang dan merepotkan ini. Soalnya engkohku Thio Thian-ki kedapatan meninggal dalam wilayah ini, berkat bantuan kalian baru jenazahnya dapat dihantar pulang. Maka dengan kesempatan ini aku Thio Thian-ih menghaturkan beribu-ribu terima kasih!"   "Kalau dikata memang sangat disesalkan,"   Demikian sahut So Tiong, "Engkohmu memang teraniaya dan meninggal secara mengenaskan didalam gedung bobrok bekas markas kita dulu, tapi hakikatnya kita tidak tahu menahu tentang kejadian itu sebelumnya, ini harus dibuat malu, jejak musuh pula belum kita ketemukan, ini merupakan noda hitam bagi kaum kita."   Waktu berkata wajahnya mengunjuk rasa cemas dan menyesal tak terhingga. Sebaliknya Thian-ih membatin. "Bangsat ini pintar pura-pura dan main sandiwara untuk mengingkari dosanya."   Ia mendengus lalu desaknya lagi.   "Kudengar bahwa Sutitku Hi Si-ing berada disini, harap sukalah dibawa keluar untuk menemui aku."   So Tiong terkejut, tanyanya.   "Siapa bilang Hi Si-ing berada disini. Jangan toh melihat kenalpun tidak pada Hi Si-ing apa segala. Memang dari Ciu-toako kita dengar bahwa Hi Si-ing itu jatuh pingsan disamping jenazah Suhunya waktu ditemukan oleh Ciu Hou. Tapi waktu Ciu Hou mem- bawa kita kembali kesana ternyata Hi Si-ing itu telah lenyap entah kemana perginya?"   Sudah tentu Thian-ih tidak akan mau percaya pada keterangan ini, karena menurut hematnya kenyataan sudah membuktikan bahwa So Tiong inilah biang keladi pembunuhan itu, tapi masih berani mungkir, agaknya perlu ditelanjangi dengan bukti-bukti muslihatnya baru nanti membuat perhitungan, maka sambil menahan gusar segera ia hendak membuka mulut, tapi keburu didahului oleh Kiau Sim, terdengar ia bicara dengan suara sember.   "So Tiong, dengan alasan apa kau meracuni Hek-san-siang-ing, ditengah jalan telah membokong engkoh pula sehingga tewas. Kau...... kau masih berani mungkir?"   Habis berkata segera ia memburu maju sambil mengulur tangan mencengkeram dada So Tiong.   Sigap sekali So Tiong lompat menyingkir sambil serunya kejut.   "Kiau-toako, tahan! Ada omongan baiklah dirundingkan mengapa main kekerasan! Kau menuduh aku meracuni Hek-san-siang-ing dan engkohmu, apakah artinya ini?"   "Apa artinya?"   Hardik Kiau Sim beringas.   "Hatimu lebih tahu. Hari ini kau harus menebus jiwa mereka bertiga."   Kala ini ia menggerakkan senjata hendak menyerang pula.   Tapi dari samping So Hoan menyela.   "Kiau Tayhiap, mengapa kau bolehnya menuduh engkohku.   Sebetulnya apa alasan kita untuk membunuh orang yang tidak bermusuhan dengan kita.   Apakah tuduhanmu ini tidak semena-mena, kau berani menuduh pasti mempunyai bukti-bukti, jangan sok mau menangnya sendiri!"   Tanpa banyak bicara lagi Kiau Sim merogoh keluar bungkusan kulit kijangnya terus dibeber diatas meja. Serta melihat isi dalam buntalan itu tanpa merasa So Tiong berdua tercengang dan saling pandang. Tegur Kiau Sim.   "Panah beracun ini kucabut dari pundak engkohku, apa kau berani mungkir lagi?"   Seketika wajah So Tiong pucat pasi. Melihat perobahan sikap orang tanpa ragu-ragu lagi Kiau Sim menggerung keras hendak melabrak musuhnya.   "Nanti dulu!"   Suara So Hoan terdengar kereng berwibawa. Dengan sepasang Sumpit So Hoan mengangkat anak panah itu dan memeriksa dengan teliti. Mendadak ia timpukan anak panah itu keatas meja sehingga menancap berdiri. Lalu katanya.   "Ji-chengcu, Kiau-toako, agaknya kalian telah salah paham! Ketahuilah bahwa panah ini bukan milik engkohku."   Sebetulnya Thian-ih dan Kiau Sim sudah bersiap untuk turun tangan, serta mendengar ucapan So Hoan ini serta merta mereka merandek dan terkejut. Sementara itu, So Tiong juga tengah memeriksa anak panah itu, lalu katanya.   "Tidak salah lagi, panah berbulu ini memang bukan milikku. Satu hal harus kutekankan dulu bahwa panahku tidak dipolesi racun, apalagi ukiran kelabang di batang panah ini juga tidak bersayap. Memang bentuknya saja panah ini mirip dengan kepunyaanku. Sungguh keji pembuat panah ini, jiwa orang lain dijadikan korban untuk melaksanakan niat jahatnya."   "Aku tidak percaya,"   Bentak Kiau Sim dengan garang.   "Kalau Kiau-heng tidak percaya, biarlah adikku mengambil panahku untuk dibanding dengan panah ini. Panahku semua berjumlah 13 batang, sudah lama tidak kugunakan, nanti bisa kita periksa dan bandingkan bersama."   Tanpa diminta lagi segera So Hoan berlari masuk, sebelum pergi sekilas ia melirik kearah So Tiong, agaknya ia kuatir akan keselamatan engkohnya.   Semua ini tidak lepas dari perhatian Thian-ih, segera terbayang olehnya ucapan To Yung yang mengatakan bahwa kakak beradik ini katanya selalu berselisih.   Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tapi dari apa yang sekarang disaksikan sendiri, naga-naganya keterangan To Yung itu perlu disangsikan kebenarannya.   Begitu So Hoan berlalu, So Tiong menuang arak untuk Thian-ih dan Kiau Sim, katanya.   "Agaknya ini hanya salah paham saja, silakan kalian menanti sebentar, duduk perkara sebenarnya pasti dapat kita bikin terang bersama."   Ketika ia maju kedepan Kiau Sim hendak menuang arak, sekonyong-konyong berkelebat secarik sinar perak, disusul Kiau Sim menggerung kesakitan berbareng melancarkan pukulan menyampok poci dan cawan arak.   Pukulan ini menggunakan sisa tenaganya, keruan So Tiong seketika merasa kedua tangannya linu pegal badan juga sempoyongan mundur.   Sigap sekali Thian-ih memburu maju, namun Kiau Sim sudah meringkuk lemas di lantai, senjatanya masih erat dipegangnya, mulutnya megap-megap tanpa bersuara.   Keadaan ini seperti juga kematian Kiau Keng tempo hari, terang bahwa diapun terserang senjata rahasia yang beracun jahat itu.   Dengan bukti nyata didepan mata ini, tak dapat Thian-ih berlaku sungkan lagi, bentaknya mendelik.   "So Tiong, keluarkan obat penawarnya!"   Sepasang tangan So Tiong terluka dan membengkak besar, tapi ia berusaha mengelakkan diri.   "Ji-chengcu, jangan terburu nafsu, bukan aku yang membokong Kiau-toako!"   "Sret,"   Saking sengit Thian-ih melolos pedang, semprotnya.   "Bukti sudah didepan mata kau masih berani menyangkal. Kalau bukan kau lalu siapa yang berbuat. Memangnya kalian orang So-keh-pang adalah bangsat kurcaci yang pandai menggunakan akal licik membokong orang. Biar hari ini aku belajar kenal dengan kalian sampai titik darah penghabisan."   Keruan So Tiong semakin gugup dan mencak-mencak, kedua tangannya sudah tak dapat bergerak, tapi ia berusaha memberi penjelasan.   "Ji-chengcu, sabarlah dulu, kejadian ini memang agak ganjil, pasti bukan aku........."   "So Tiong tutup mulutmu,"   Thian-ih menghardik bengis. "Keluarkan senjatamu mari kita selesaikan urusan ini dengan senjata, tak mungkin kau lari dari tanggung jawab ini."   Habis berkata ia melangkah ketengah ruangan lalu bercekak pinggang dengan gagahnya.   Waktu ia melirik ke arah Kiau Sim, tampak kepalanya sudah terkulai, mungkin racun bekerja terlalu cepat hingga jiwanya susah ditolong lagi.   Sementara itu karena ribut-ribut ini, beberapa tokoh-tokoh lihay atau tertua dari So-keh-pang telah memburu tiba, melihat Pangcu mereka terluka banyak yang maju melindungi dan ada pula yang berpencar mengurung Thian-ih.   "So Tiong, kau pengecut! Hayo maju lawanlah secara jantan."   Demikian tantang Thian-ih dengan marahnya. "Seorang laki-laki harus berani bertanggung jawab akan perbuatannya. Mana itu keenam algojo berkedok hitam suruh mereka keluar terima kematian !"   Wajah So Tiong pucat membesi, belum sempat ia membuka mulut, mendadak Thian-ih sudah memutar pedangnya dengan jurus Yan-bwe-lian-poh (burung kepinis melintas gelombang) tahu-tahu sinar pedang berkeredep menyamber sehingga berpetakan sekuntum bunga yang indah sekali.   Seketika para anak buah So-keh-pang yang mengepung disekitarnya tersurut mundur terdesak oleh angin kekuatan samberan pedang yang menyilaukan mata.   Menggunakan peluang ini, segesit belut tiba-tiba tubuh Thian-ih berkelebat merangsang maju kearah So Tiong.   Sebenarnya kedua tangan So Tiong membengkak besar dan tak bisa digerakkan, serta melihat dirinya diserang, untuk membela diri terpaksa dia angkat tangan untuk menangkis sambil menahan sakit.   Untung sebelum ujung pedang Thian-ih sampai, dua anggota So-keh-pang yang menjaga disampingnya sudah mendahului mencegat didepannya.   Kedua orang ini bertubuh tinggi besar, satu diantaranya menggunakan senjata tongkat pendek, sedang yang lain bersenjatakan golok.   Serentak mereka menangkis sambil balas menyerang.   Terpaksa Thian-ih berkelit mundur, darah semakin bergolak bahna marahnya, bentaknya.   "Kamu minggir atau kalian ini juga termasuk algojo-algojo yang berkedok itu?"   Orang yang bersenjata golok tertawa dingin, jengeknya.   "Bukan.   Keluarga So selamanya berlaku lurus dan jujur, belum pernah ia melukai orang secara menggelap.   Ji-chengcu sebaliknya kau keterlaluan, bukan saja kau memaki dan menghina partai kami malah kau melukai Pangcu kita.   Mengingat kau seorang gagah seorang tamu yang terhormat sebisa mungkin kita menahan sabar, tapi sabar ada batasnya.   Bila masih berani melukai Pangcu lagi, lihatlah seluruh kaum So-keh-pang bersiap untuk gugur sampai titik darah penghabisan!"   Ancaman ini bukannya meredakan amarah Thian-ih malah seperti api disiram minyak.   Soalnya ia tidak percaya lagi pada obrolan orang-orang keluarga So, memang sudah jamak bagi seorang pembunuh tidak gampang mau mengakui perbuatan jahatnya.   Bahna gusar pikirannya menjadi keruh dan semakin tenggelam dalam nafsu angkara murka.   Secara tak terduga tiba-tiba pedangnya berkelebat secepat kilat menggunakan jurus Liu-cwan-beng-sia (aliran deras bergelombang keras) menyampok tongkat dan golok musuh, begitu senjata dan tubuh musuh terpental dan terhuyung mundur sebat luar biasa ia menerobos lewat terus melesat kearah So Tiong.   Agaknya kedua orang So-keh-pang ini sudah bertekad untuk mengadu jiwa demi keselamatan sang Pangcu.   Dengan beringas segera mereka mengudak balik sambil mencercah dengan berbagai serangan yang mematikan.   Malah siorang bergolok masih sempat berteriak.   "Pangcu, menyingkirlah agak jauh, biar kita yang membereskan kurcaci ini !"   "Tidak, jangan,"   Seru So Tiong lantang.   "Ini hanya salah paham saja, kita harus bikin terang secara damai. Lekas kalian berhenti, jangan melukai Ji-chengcu."   Karena cegahan ini perhatian sipemegang golok agak terpencar dan sedikit lena, tahu-tahu telapak tangan Thian-ih sudah menyelonong tiba dengan gerak tipu Pek-ya-jwe-gim (Pek-ya memetik harpa), tanpa ampun pundak kirinya kena digablok keras, seketika ia melolong kesakitan terus roboh terkulai ditanah.   Perobahan yang tak terduga ini membuat orang-orang So-keh pang semakin ribut dan getol, ingin rasanya mereka mampuskan orang kurangajar ini, namun terkendali oleh perintah sang Pangcu jadi mereka hanya mengerubut secara serabutan dan tak turun tangan secara sesungguhnya, tapi karena kepandaian mereka tinggi, jumlahnya banyak pula, seketika Thian-ih dibikin gopoh dan mengamuk seperti banteng ketaton.   Keadaan yang gawat ini semakin menegangkan sehingga So Tiong terus berteriak-teriak.   "Jangan, hentikan, kalian mundur, jangan melukai Ji-chengcu!"   Tapi berkat kepandaian yang tinggi didikan guru besar yang kenamaan Thian-ih masih dapat bergerak bebas diantara kepungan musuh.   Begitu tenaga dikerahkan sinar pedang mencorong tambah terang berkelebatan kian kemari semakin gencar.   Begitu juga tangan kiri yang tidak membekal senjata saban-saban turut bergerak bebas, menyampok atau memukul senjata dan raga musuh yang terdekat.   Sekonyong-konyong Thian-ih bersuit panjang, tubuhnya berputar melingkar segesit belut, pedangnya ikut diayun berputar membabat sehingga para pengepungnya terdesak mundur.   Kesempatan mana digunakan secara kilat oleh Thian-ih dengan jurus Kian-niau-lui-lun (burung manyar menyusup rimba), tubuhnya melejit tinggi terus menukik menerjang kearah So Tiong.   Dimana sinar pedangnya menusuk dan menyontek, tahu-tahu pundak So Tiong sudah tergores luka agak parah.   Kalau dalam keadaan sehat pasti So Tiong mampu menyingkirkan diri, sayang kedua tangannya susah digerakkan sehingga mempengaruhi gerak geriknya, ditambah perhatiannya tercurah untuk mengendalikan anak buahnya yang sudah mulai kalap maka dengan mudah ia kena terluka oleh senjata Thian-ih.   Sambil mengeluh panjang ia terhuyung mundur, darah membanjir bagai air mancur membasahi tubuhnya.   Melihat Pangcu mereka kena dilukai, tanpa komando lagi serentak mereka menerjang dengan membabi buta, sebagian berusaha menyelamatkan sang Pangcu dan yang lain ada yang menyerang kearah Thian-ih.    Walet Besi Karya Cu Yi Perintah Maut Karya Buyung Hok Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID

Cari Blog Ini