Ceritasilat Novel Online

Rahasia Si Badju Perak 5


Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Bagian 5


Rahasia Si Badju Perak Karya dari G. K. H   Ditambahkan bahwa setiap bulan pada tanggal muda pasti keluarga Li-tihu menyambangi kuburan megah itu utk memeriksa keadaan.   Setelah mendengar cerita ini Thian-ih jadi berpikir, entah benda mestika apakah yang sedemikian hebat dan besar kasiatnya sehingga jenazah Li Hong-gi masih tetap utuh seperti masih hidup.   Hari itu secara iseng-iseng Thian-ih keluar kota dan menuju ke kuburan yang dihebohkan itu.   Memang kuburan ini sedemikian besar mewah dan kokoh kuat terbuat dari batu yang diuruk tanah.   Thian-ih berputar ke sekelilingnya memeriksa tiada tampak sesuatu yang mencurigakan, pintu rahasia masih tertutup rapat dan terkunci dari luar, agaknya belum ada orang yang pernah menyentuhnya.   Naga-naganya para kawanan penjahat yang tamak akan harta benda itu masih belum datang dan turun tangan.   Lewat beberapa hari pagi-pagi benar pelayan penginapan memberi tahu kepada Thian-ih bahwa hari keseratus wafatnya Li Hong-gi akan diperingati di kuburan megah itu secara besar-besaran.   Maka cepat-cepat Thian-ih bersiap berganti pakaian mengenakan jubah panjang warna putih mulus, pedang disoreng dipinggang balik jubahnya, tangannya membekal sebuah kipas lempit sambil berlenggang berlagak sebagai pelajar dia ikuti arus manusia yang menuju ke pintu utara untuk melihat keramaian.   Tiba di pekuburan suasana disini begitu ramai, selayang pandang hanya kepala manusia melulu, sedemikian banyak manusia berjubel-jubel sampai susah untuk mendesak maju ke depan, diam-diam Thian-ih meneliti, dilihatnya banyak diantara mereka itu yang harus dicurigai.   Tidak lama kemudian tampak sebarisan tentara bersenjata lengkap mendatangi membuka jalan, di belakang barisan ini beriring pula puluhan tandu yang besar-besar berhenti diluar pekuburan, tampak Li-tihu sendiri yang memimpin upacara sembahyangan ini, kala itu pintu rahasia kuburan sudah dibuka maka pelan-pelan Li-tihu serta keluarga dan handai-taulannya masuk kedalam, mereka terdiri dari kaum wanita dan beberapa orang laki-laki, diantaranya tampak seorang pemuda yang gagah, maka Thian-ih menduga pasti pemuda itulah yang bernama Nyo Hway-giok calon suami Li Hong-gi.   Tubuhnya tinggi tegap beralis hitam gombyok, Thay-yang-hiat di pelipisnya menonjol keluar dan langkahnya ringan, selayang pandang dapatlah diketahui bahwa pemuda lembah lembut ini juga dari aliran persilatan.   Kaum perempuan berjalan agak pelan sampai sekian lama mereka masih berjubel diluar pintu kuburan, sekonyong-konyong angin menghembus agak keras, tahu-tahu dua bayangan berkelebat cepat saling susul dan enteng sekali mencampurkan diri dalam barisan yang memasuki kuburan itu.   Para penjaga merasa pandangan serasa kabur, disangkanya melihat burung terbang melintas didepan mata.   Di luar tahunya bahwa di kelompok keluarga Li-tihu itu telah bertambah dua orang gelap yang menyelundup masuk ke dalam.   Salah seorang dari bayangan tadi bukan lain adalah Thian-ih sendiri, perbuatannya ini hanyalah menelat perbuatan bayangan yang terdahulu, karena dianggapnya kalau orang itu berani menyelundup kedalam secara diam-diam tentu mengandung maksud yang tidak baik, maka tanpa kepalang tanggung ia juga melesat memasuki kuburan besar itu.   Ginkang Thian-ih sebetulnya tidak kalah tinggi dari bayangan tadi, namun begitu melangkah masuk ke dalam kuburan lantas dia kehilangan jejak orang itu, hal ini malah memperingatkan Thian-ih sendiri, sedikit bergerak dia pun menyelinap dan sembunyi.   Dari tempat sembunyinya Thian-ih meneliti keadaan bangunan kuburan ini, bukan saja luas tapi juga megah dan mewah benar-benar seperti kamar tidur mendiang Li Hong-gi sendiri.   Ditengah ruang besar sebelah dalam adalah letak peti mati Li Hong-gi yang berbentuk aneh dan istimewa, karena bentuk itu tak ubahnya seperti sebuah pembaringan yang dihias begitu indah, terlihat Li Hong-gi rebah diatas pembaringan itu, tubuhnya terbungkus kain sutera yang tersulam indah, dari kejauhan tampak wajahnya memutih bagai batu giok seakan-akan bidadari yg tengah tidur nyenyak.   Berpuluh keluarga Li-tihu itu berdiri di sekitar peti mati sambil menggerung sesenggukan.   Sebagai orang gelap Thian-ih tidak berani banyak bergerak, tak lupa pula ia mencari letak sembunyi orang yang menyelundup masuk tadi.   Diempat penjuru ruang tergantung empat pelita yang bersinar terang, hawa disini terasa sejuk nyaman, entah dimana letak pintu angin yang berhubungan dengan luar, hiasan atau pajangan dalam kuburan inipun sangat berkelebihan tidak kalah indah dari ruang penganten anak raja, hanya dindingnya saja yang terlalu banyak variasi dengan lekak-lekuk jadi banyak tempat yang gelap cocok untuk sembunyi orang, maka tidak mudah bagi Thian-ih mencari jejak orang itu tanpa dirinya sendiri juga bergerak dari tempat sembunyinya.   Tempat dimana ia sembunyi adalah pojokan dinding yang lekuk kedalam tertutup di belakang kain gordijn lagi, dinding di belakangnya terasa dingin karena terbuat dari batu-batu gunung, tanpa sengaja teraba oleh Thian-ih dua tumbung besi, ia menjadi heran untuk apakah kedua tumbung besi ini? Sementara itu keluarga Li-tihu masih bertangisan dengan sedihnya.   Hanya Nyo Hway-giok saja yang masih berdiri tenang sambil menunduk, namun saban-saban ia juga membesut air mata yang tak tertahankan lagi.   Betapa orang takkan sedih ditinggal pergi calon isterinya.   Tak lama kemudian setelah semua orang selesai sembahyang, beruntun mereka mengundurkan diri keluar kuburan.   Agaknya Nyo Hway-giok berat berpisah dengan calon istrinya itu, maka sambil mengusap air mata ia berkata pada Li-tihu.   "Gak-hu (mertua), siausay (menantu) hidup tak dapat berdampingan dengan adik Hong-gi, biarlah aku tetap berdiam disini untuk mendampingi adik Hong-gi selama-lamanya !"   Sudah tentu Li-tihu tidak setuju, para kerabat perempuan juga ikut membujuk, suasana menjadi ribut, terdengarlah Nyo Hway-giok mengeluh panjang .   "Kala hidup aku tak dapat berdampingan dengan Hong-gi masa kalian masih tidak mengijinkan kita mati dalam satu liang, dia kan sudah menjadi istriku............sampaikan saja kepada ayahku bahwa Hway-giok telah mangkat mengikuti isterinya......"   Watak Nyo Hway-giok ini ternyata berperasaan halus dan lemah hati, dalam keadaan yg tidak terkendali lagi ia menangis tergerung-gerung sambil sesambatan.   Maka tidak kepalang tanggung lagi Li-tihu perintahkan beberapa prajurit untuk menyeretnya keluar dengan kekerasan.   Nyo Hway-giok meronta-ronta minta dilepaskan sambil menoleh dengan pandang berat berpisah.   Thian-ih jadi heran, apakah ini permainan sandiwara atau main pura-pura.   Kalau dinilai dari ilmu silatnya, hanya beberapa prajurit biasa saja mana mampu membuat dirinya tak berkutik dan mandah saja diseret keluar, apakah maksud perbuatannya ini? Setelah semua orang keluar, pintu kuburan yang tebal dan berat itu ditutup lalu digembok dan dikunci dari luar, lantas keadaan dalam kuburan menjadi hening lengang.   Sinar pelita kelap-kelip memancarkan sinarnya yang redup, tampak wajah nan ayu jelita dalam peti mati itu sedemikian mempesonakan seakan terasa dalam dunia khayal belaka.   Dengan sabar Thian-ih menanti dan menanti, ditunggunya penjahat yang sembunyi dalam kuburan itu keluar supaya secara gampang dirinya membereskannya.   Sebenarnya sang waktu berjalan dengan cepat, namun bagi Thian-ih terasa sangat lambat sekali, keadaan yang sunyi lengang itu sungguh membosankan dan membuat Thian-ih semakin curiga dan waspada, mungkinkah orang itu sudah mengeloyor keluar pula, mengapa sekian lama ini dia masih belum keluar? Teringat akan keluar Thian-ih bercekat dalam hati, pintu kuburan sedemikian tebal dan berat terkunci lagi dari luar, cara bagaimana nanti dirinya harus keluar.   Tunggu punya tunggu akhirnya terdengar juga suara keresekan yang lirih dalam keheningan yang lelap itu.   Tahu Thian-ih bahwa penjahat itu mulai bergerak dan bertindak, terpaksa Thian-ih harus memusatkan perhatiannya terhadap orang dalam kuburan ini, entah nanti bakal dapat keluar atau tidak sudah tak terpikirkan lagi olehnya.   Dari kegelapan pojok depan sana berkelebat bayangan seorang yang mengenakan pakaian sepan warna hijau dan berkedok, perawakan orang itu kurus kecil, kedua tangannya menghunus sepasang senjata yang berbentuk aneh, senjata itu dinamakan Wan-yan-to-hun-siang-hoan (sepasang gelang belibis pencabut nyawa).   Sibaju hijau ini menyapu pandang keempat penjuru lalu merunduk hati-hati memeriksa keadaan sekitarnya.   Cepat-cepat Thian-ih mepet dinding sambil tahan napas, terasa angin berkesiur sibaju hijau lewat didepannya, untung benar jejaknya tidak sampai konangan.   Tidak lama kemudian sinar pelita semakin redup dan guram, mungkin sudah kehabisan minyak.   Sekonyong-konyong dari kanan kiri ditubuh Li Hong-gi memancarlah dua sinar terang setinggi satu kaki, kedua sinar itu berwarna merah putih sangat menyolok mata.   Terdengar sibaju hijau itu berseru tertahan, sekali berkelebat tubuhnya menubruk kearah samping tubuh Li Hong-gi serta merta diulurkan tangannya hendak mencomot benda bersinar itu, tapi secepat itu tampak tubuhnya terhuyung mundur pula seakan terintang sesuatu tenaga gaib.   Kini orang itu sudah menanggalkan kedoknya, dengan hati-hati ia menunduk dan memeriksa.   Waktu berdiri lagi dan berpaling Thian-ih melihat orang menunjuk rasa heran dan kejut, sejenak kemudian tampak ia memindahkan senjatanya ditangan kiri lalu tangan kanan diulur hendak menghantam kearah jenazah Li Hong-gi...........   Sedetik sebelum tangan sibaju hijau diturunkan mendadak terdengar suara bentakan dingin dibelakangnya.   "Tahan!"   Waktu ia berpaling dengan kaget dilihatnya dibelakangnya telah berdiri satu orang, maka tegurnya dengan gusar. "Keparat dari mana kau? Aku belum mengenal kau?"   Thian-ih berseru lantang.   "Cayhe Ho-pak Thio Thian-ih, siapakah tuan yang mulia?"   Sibaju hijau tertawa gelak-gelak, kedua gelangnya dikiblatkan lalu katanya.   "0, ternyata adalah Thio-jichengcu, masa kau belum pernah dengar tentang kedua senjata gelangku ini? Aku yang rendah Mo-san Lok Sian......"   Tergetar hati Thian-ih, Lok Sian ini adalah salah satu dari Mo-san-sam-kui yang kenamaan, mereka terdiri dari Pek-bian-kui (setan muka putih) Ho Han dan Hek-bian kui (setan muka hitam) Ci Kiu.   Mo-san-sam-kui (tiga setan dan Mo-san) adalah tokoh-tokoh lihay dari aliran hitam yang kenamaan di Kangouw.   Dulu Thio Thian-ki pernah bercerita tentang pribadi ketiga saudara angkat ini, terutama senjata-senjata mereka yang berbentuk aneh itu paling gampang dikenali, mereka bukan saja licik dan ganas, kepandaian Ginkang dan Lwe-kangnya juga setingkat lebih tinggi dari golongan hitam lainnya.   Sungguh tidak nyana bahwa salah satu dari ketiga setan kenamaan itu ternyata juga ikut berkomplot dalam usaha mencuri benda mestika dalam kuburan ini.   Terdengar Lok Sian berkata lagi dingin.   "Ji-chengcu. apa kau juga bermaksud mengincar kedua mutiara mestika itu?"   Sahut Thian-ih.   "Lok-heng, aku tidak tahu tentang hal-ihwal mutiara mestika apa segala......."   Lok Sian mengakak kegilaan, suaranya bergema mendebarkan hati, ujarnya.   "Ji-chengcu, dengan ucapanmu itu agaknya kau sangat memandang rendah kita Mo-san-sam-kui.   Kalau kau sendiri juga ingin memiliki benda mestika itu mengapa main sungkan dan pura-pura tidak tahu, hahaha, kalau kau berkata tidak tahu lantas apa maksudmu menyelundup kedalam sini?"   Melihat sikap orang yang congkak dan takabur, timbullah amarah Thian-ih, jengeknya dingin.   "Kudengar ada komplotan penjahat yang hendak mencuri......"   "Lantas kau ingin mencampuri urusan ini!"   Lok Sian menukas perkataan Thian-ih.   "Bukankah begitu maksudmu ? Ji-chengcu, kau baru saja lulus dari perguruan masih berbau bawang, mungkin belum tahu seluk-beluk peraturan dunia persilatan. Mo-san-sam-kui sudah bertekad untuk mengambil kedua mutiara mestika dipinggir tubuh bocah perempuan itu, Ho Han dan Ci Kiu kedua saudaraku itu sebentar akan tiba, silakan kau minggir dan jangan mengganggu pekerjaanku....." Setelah dekat baru Thian-ih melihat tegas, ternyata peti mati Li Hong-gi terbuat dari batu kaca yang tebal, bening dan tembus cahaya, harganya tentu tidak ternilai. Kedua mutiara merah putih mencorongkan sinarnya yang kemilau menyinari seluruh tubuh Li Hong-gi, sehingga wajahnya tampak semakin jelita bagai hidup dan tidur nyenyak. Bu-ing-kui sisetan tanpa bayangan Lok Sian mendadak berkata di belakangnya. "Ji-chengcu silakan kau minggir kesamping......"   Tiba-tiba Thian-ih memutar tubuh, sahutnya marah . "Lok-heng, apa yang hendak kau lakukan?"   Lok Sian berkata tawar.   "Aku ingin ambil kedua butir mutiara itu, meskipun batu kaca ini tak ternilai harganya, kita bersaudara tidak mampu memboyongnya keluar terpaksa dihancurkan saja...."   Habis berkata ia himpun tenaga, bersiap lancarkan pukulannya.   Bergolak darah Thian-ih saking menahan amarah, bulat tekadnya untuk menentang maksud jahat manusia tamak ini, bentaknya.   "Orang she Lok, memandang muka engkoh-ku maka kunasehati kau supaya hapus saja niat tamakmu itu, lekaslah tinggalkan tempat ini.   Ketahuilah perbuatanmu ini merupakan perbuatan tercela dan nista dalam kalangan Kangouw, kalau perbuatan kalian ini sampai tersiar apakah tidak memburukkan nama baik Mo-san-sam-kui.....?"   "Kentut !"   Hardik Lok Sian tidak kalah gusarnya. "Bagaimana juga Mo-san-sam-kui harus memperoleh kedua mestika itu. Sekarang juga kubunuh kau, coba siapa lagi yang dapat mengetahui?"   Sembari berkata tangan kanan segera didorong kedepan menggunakan jurus Liok-ting-kay-loh (Liok Ting membuka jalan), dada Thian-ih diincar dengan sebuah pukulan.   Sejak berhadapan Thian-ih sudah bersiaga, begitu serangan musuh mendatang dengan jurus Tui-san-seng-te (mendorong gunung menjadi datar) sebelah tangannya juga diangkat untuk menangkis, "blang"   Kedua tenaga pukulan saling beradu di tengah udara menimbulkan goncangan yang hebat, dua-duanya tersurut mundur selangkah, naga-naganya tenaga dalam mereka seimbang alias sama kuat.   Lok Sian berjingkrak semakin gusar, kedua senjatanya dipersiapkan terus menubruk maju seraya memutar gelangnya dengan gencar dan aneh.   Thian-ih insaf bahwa ilmu gelang belibis musuh sangat lihay, maka segera ia juga melolos pedang untuk menghadapi serangan musuh.   Tidak nyana bahwa ilmu gelang belibis ini memang teramat aneh dan menakjubkan, dalam gebrak pertama itu tahu-tahu pedang panjang Thian-ih kena terjepit dan tergencet kencang oleh senjata musuh, seketika susah dicabut lolos, saking besar tenaga yang terkerahkan untuk membetot akhirnya pedang panjang sendiri malah yang patah menjadi dua, bertepatan dengan itu sepasang gelang Lok Sian juga telah menindih dan mengepruk tiba.   Dalam keadaan yang gawat itu Thian-ih masih dapat unjuk ketrampilannya, tiba-tiba ia membalik sembari membungkukkan badan sehingga tubuhnya melejit mengapung di tengah udara, berbareng kedua kakinya bergerak menjejak ke belakang bergantian.   Tindakannya ini dinamakan Siang-kiong-dat-tui, satu diantara pelajaran tunggal dari Kiam-bun-it-ho yang lihay.   Karena terdesak baru Thian-ih dipaksa melancarkan tipunya ini, keruan perbawanya bukan main hebatnya.   Sudah tentu Bu-ing-kui Lok Sian tidak mengira bakal menghadapi kepandaian yang aneh bin ajaib ini, meski secepat mungkin ia berusaha mengelakkan diri juga sudah terlambat, dengan telak kedua kaki Thian-ih menendang di dadanya, seketika setan bayangan menjerit seram, darah segar menyembur dari mulutnya, tubuhpun segera roboh tak berkutik lagi, jiwanya seketika melayang menghadap Giam-lo-ong.   Meskipun akhirnya dapat membunuh musuh, tak urung hati Thian-ih juga berdetak keras, badannya basah oleh keringat dingin, sungguh sesal dan gegetun pula akan kebodohan dan kurangnya pengalaman dalam menghadapi musuh-musuh licik ini, untung pelajaran gurunya digdaya dan mandraguna, kalau tidak mungkin jiwa sendiri yang sudah melayang jadi setan gentayangan.   Setan tanpa bayangan kini betul-betul sudah menjadi setan gentayangan tulen.   Li Hong-gi masih rebah dalam peti batu kaca dengan tenangnya, kedua matanya terpejamkan, mulutnya menyungging senyum manis, semakin dipandang semakin mempesonakan.   Semakin gelap kedua mutiara itu semakin memancarkan sinarnya yang terang dan cemerlang.   Setelah termangu sekian lamanya Thian-ih maju mendekat dan memeriksa cara bagaimana harus membuka peti batu kaca ini, akhirnya di sebelah samping diketemukan sebuah lobang kunci, agaknya disinilah letak kunci rahasia pembuka peti batu kaca ini.   Sekonyong-konyong tergerak hati Thian-ih, bukankah lobang kunci ini sebesar kunci yang ditemukan dalam pengejaran Ciu Hou tempo hari ? Mengapa tidak dicoba saja? Demikian pikirnya.   Baru saja tangannya merogoh kantong, tiba-tiba terdengar diluar kuburan suara gaduh dibalik pintu, agaknya seseorang tengah berusaha membongkar dan membandrek kunci.   Lekas-lekas Thian-ih menyeret tubuh Lok Sian untuk disembunyikan lalu dibersihkan pula noda-noda darah, setelah semuanya beres ia kembali sembunyi di tempatnya tadi.   Suara gedobrakan menerjang pintu semakin keras dan gencar, saking tegang Thian-ih memegang tumbung besi di belakangnya dan tanpa sengaja ia memutarnya dan tahu-tahu tumbung besi ditangan kiri itu terlepas, seketika terdengar percakapan dari luar.   "Ai, Lo-ho, kunci ini begini kencang, coba kau kerjakan."   Kiranya kedua tumbung besi itu tembus keluar kuburan, dari lobang tumbung besi ini dapat melihat keadaan diluar dengan jelas.   Terlihat oleh Thian-ih dua orang yang membekal senjata aneh tengah berusaha membuka pintu rahasia kuburan itu.   Dari penerangan yang mereka bawa Thian-ih dapat melihat tegas wajah mereka putih dan hitam.   Batinnya, tentu merekalah yang dijuluki Pek-bian-kui dan Hek-bian-kui dari Mo-san-sam-kui itu.   Tak lama kemudian terdengar Hek-bian-kui Ci Kiu berjingkrak girang.   "Lo-ho, kunci sudah dapat kubuka."   Thian-ih terperanjat, bahwa kepandaian Mo-san-sam-kui ini sangat tinggi tidak perlu disangsikan lagi, kalau mereka menerjang masuk dan mempergoki dirinya tanpa membekal senjata, berbahayalah jiwanya.   Dalam keadaan yang mendesak ini terpaksa dijemputnya kedua gelang belibis Lok Sian itu untuk membela diri sekadarnya.   "Blang"   Pintu batu yang tebal dan besar itu tiba-tiba menjeplak dan terbuka lebar oleh pukulan kegirangan gabungan Ho Han dan Ci Kiu. Terdengar teriakan mereka yang memanggil-manggil.   "Lo-lok, Lok-hiante, eh..............."   Sekian lama mereka memanggil-manggil tanpa penyahutan semestinya, keruan kaget dan heran kedua orang ini, serta merta timbullah kewaspadaan mereka untuk tidak secara sembrono menerjang masuk ke dalam kuburan, hanya obor di tangan mereka digoyang-goyangkan ke kanan kiri.   Thian-ih sudah bersiap hendak menerjang keluar dengan sebuah serangan kilat yang mematikan, namun sebelum ia bertindak, diluar kuburan sana terdengar derap langkah orang ramai yang tengah mendatangi disusul suara gelak tawa yang riuh ramai di belakang Ho Han dan Ci Kiu.   Tersipu-sipu kedua setan hitam putih ini memutar tubuh, secepat itu pula segera Thian-ih melejit maju terus sembunyi dibelakang pintu, dari sini keadaan diluar dapat dilihatnya lebih tegas lagi.   Ternyata diluar sana sudah berjajar tujuh orang yang menghunus senjata tajam dengan sikap mengancam.   "Siapa kalian? Anjing alap-alap ataukah kawan dari satu golongan?"   Terdengar Pek-bian-kui Ho Han berseru menegur.   Yang dimaksud dengan anjing alap-alap adalah para bayangkari dari istana raja, sedang kawan satu golongan adalah sahabat-sahabat Kangouw dari golongan hitam.   Terdengar salah seorang dari tujuh orang itu bergelak tertawa lalu berkata.   "O, kalau tidak salah kalian adalah Pek-bian-kui Ho Han dan Hek-bian-kui Ci Kiu dari Mo-san-sam-kui bukan? Selamat, selamat bertemu, aku yang rendah Kiu-bwe-long (serigala sembilan ekor) Kiau Sing beserta saudara-saudara dari Kam-liang-pay !"   Kiranya mereka bukan lain adalah tujuh Tongcu dari Kam-liang-pay, ketujuh orang itu adalah.   Kiu-bwe-long Kiau Sing, Gin-poan-koan (potlot hakim perak) Koan Kiat, Thiat-po-lo-han (Lohan berlengan besi) Cui Siau-peng, Hwi-yan-cu (siwalet terbang) Lo Cing, Cun-thian-lui (guntur menggelegar) Si Cin dan dua Tongcu wanita yang bernama Hun-lo-sat (kuntianak jelita) Kiong Giok-eng dan Soan nio-cu (gadis kecut) Kwe Ceng-sian.   Thian-ih malah lega akan kedatangan tujuh Tongcu dari Kam-liang-pay ini, biarkan mereka saling cakar dan bergumul sendiri supaya meringankan tenaganya nanti.   Satu hal masih diragukan bahwa Liong-gwa-hou-tiang terang sudah tiba mengapa masih belum muncul? Setelah hening sejenak Pek-bian-kui membuka suara, "Kiau Tongcu, Kam-liang-pay kalian bersarang jauh di daerah barat sana, jauh-jauh serta malam-malam meluruk ke Ki-lam, apakah tujuan kalian?"   Kiau-bwe-long Kiau Sing menyeringai tawa, sahutnya.   "Ho-heng, seorang jantan bicara secara terang-terangan, kau kan sudah tahu pura-pura tanya apa segala, bukankah berkelebihan bacotmu itu! Hahaha..........."   Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Begitulah karena saling mengukuhi haknya masing-masing kedua belah pihak semakin tegang berhadapan saling melotot.   Kalau dinilai kekuatannya, dalam hal Lwekang, terang pihak Kam-liang-pay tiada satupun yang dapat menandingi setan hitam putih ini, namun dengan gabungan tujuh tenaga yang bersiap main keroyok mereka tidak gentar menghadapi saingan berat dan lihay ini.   Dibawah penerangan obor ditangannya, wajah Pek-bian-kui terlihat pucat pasi menakutkan, diam-diam ia menerawangi situasi keadaan ini, terang pihak lawan menang banyak tenaga sehingga semua tindakan harus diperhitungkan lebih masak, apalagi jejak Bu-ing-kui Lok Sian menghilang tanpa diketahui dimana berada, bagaimana juga harus berlaku sabar dan melihat keadaan, maka katanya sambil menahan gusar.   "Para Tongcu Kam-liang-pay yang terhormat. Sebenarnya jauh pada dua bulan yang lalu telah kita ketahui tentang kedua butir mutiara mestika dalam kuburan ini, siang-siang kita sudah merancang untuk mengambilnya, sebab harus diketahui bahwa salah satu dari mutiara itu yaitu Hwe-ki-cu adalah pusaka pelindung Mo-san-pay kita. Terang kita setindak lebih maju dengan bukti bahwa Lok-hiante kita sudah masuk kedalam untuk mengambil kedua mutiara itu. Jauh-jauh kalian sudah datang, demi menjaga persahabatan janganlah kita sampai bentrok karena urusan kecil ini, untuk itu baiklah kita terpaksa mengalah dan merelakan mutiara yang lain yaitu Pi-seng-cu untuk kalian......."   Dasar Kiau Sing licik dan banyak akal muslihatnya, diam-diam ia juga menimang situasi dan memperbandingkan kekuatan kedua belah pihak.   Kalau bertempur satu lawan satu terang pihak sendiri tiada yang bakal menang, tapi kalau tujuh orang serentak maju berbareng agaknya cukup berkelebihan untuk membereskan setan hitam putih ini.   Mumpung Lok Sian sisetan gentayangan itu belum keluar, ganyang dulu kedua setan ini lebih baik, demikianlah pikirnya, maka katanya temberang .   "Kalau mau mengalah jangan kepalang tanggung serahkan kedua-duanya, Kam-liang-pay akan sangat berterima kasih kepada kalian.   Kalau tidak boleh, jangan sesalkan pihak Kam-liang-pay tidak hiraukan persahabatan apa segala.   Jauh-jauh kita kemari tidak mungkin kembali dengan tangan hampa, terpaksa marilah unjukkan kepandaian kalian untuk dipertontonkan kepada kita sekalian saudara............"   Watak Hek-bian-kui Ci Kiu lebih berangasan, semprotnya bengis.   "O, jadi beginilah congor asli pihak Kam-liang-pay, terhitung orang gagah apa kalian ini? Mari, mari, majulah bersama, Ci Kiu takkan mundur menghadapi bangsa kurcaci macam kalian............"   Sambil memaki dijinjingnya senjata tombak yang menyerupai cabang-cabang pohon Bwe terus melompat maju ketengah kalangan.   Justru tindakan lawan inilah yang dinantikan oleh Kiau Sing, girang hatinya bukan kepalang karena pancingannya ternyata berhasil, maka serunya memberi aba-aba.   "Koan-hiante dan Cui-hiante, layanilah setan hitam ini. Dan kau Lo-hiante dan Si-hiante cegatlah setan putih itu, biar aku bersama adik-adik kita masuk ke dalam menjemput mutiara itu.............."   Serentak para saudaranya itu mengiakan bersama, terus bergerak menurut petunjuk saudara tua mereka tadi.   Seketika terjadilah pertempuran yang sengit dan seru.   Sementara Kiau Sing memimpin Kiong Giok-eng dan Kwe Ceng-sian menerjang masuk kedalam kuburan.   Setan hitam putih bertempur sambil membentak-bentak untuk menambah semangat.   Lwekang setan muka putih Ho Han sudah mencapai kesempurnaannya, melihat Kiau Sing bertiga bermain licik hendak bolos masuk kedalam kuburan, hatinya gusar bukan kepalang, ilmu sepasang tongkat ditangannya merupakan kepandaian yang paling dibanggakan dan lihay luar biasa, tidak kepalang tanggung lagi segera dilancarkan tipu Keh-an-koan-hwe (menonton kebakaran dari sebrang), dengan telak jalan darah mematikan dipunggung Si Cin kena tertutuk, seketika ia berteriak sambil muntah darah terus roboh terkapar tak bergerak lagi.   Sungguh mengagumkan kepandaian Ho Han ini, secepat itu tutukannya berhasil, mendadak tubuhnya melejit kebelakang terus menerjang ke mulut kuburan sambil melintangkan kedua tongkat bajanya serta ancamnya.   "Siapa yang ingin mampus, silakan maju rasakan dulu kemplangan tongkatku ini!"   Beberapa langkah lagi Kiau Sing sudah tiba dimulut kuburan, serta didengarnya teriakan Si Cin yang mengerikan lalu secepat itu pula Ho Han sudah berkelebat menghadang dimulut kuburan, keruan bukan kepalang kejut dan gusarnya, maka teriaknya memberi aba-aba.   "Maju bersama, ganyang setan gentayangan ini !"   Serentak senjata mereka bertiga bergerak diacungkan kedepan dengan serangan yang mematikan, tanpa gentar Ho Han menggerakkan sepasang tongkatnya untuk menangkis.   Kalau disebelah sini Ho Han sudah berhasil membunuh seorang musuh, adalah disebelah sana sisetan muka hitam juga berada diatas angin, tombak bercabangnya ini sangat aneh dan menakjubkan, gerak-geriknya susah diraba, dilandasi pula oleh kekuatan pembawaan yang besar, sudah tentu Gin-poan-koan Koan Kiat dan Thiat-pi-lo-han Cui Siau-ping tak mampu bertahan, dalam gebrak pertama tadi begitu beradu senjata kontan sepasang Poan-koan-pit Koan Kiat telah dibikin terbang dari tangannya, dalam ketakutannya ia coba putar tubuh hendak melarikan diri, namun dasar sial tombak bercabang milik setan hitam sudah mengepruk hancur kepalanya, jeritannya melolong panjang.   Mati-matian Cui Siau-ping membacok dan membabat dengan senjata kapaknya yang besar dan berat, namun hanya sekali tangkis dan digentakkan saja kapak besar itu juga terbang tinggi malah orangnya juga terpental jungkir balik.   Teriakan Koan Kiat sebelum ajal menggugah sanubari Lo Ceng yang sudah berada diambang pintu kuburan, tepat waktu ia merandek dan berpaling dilihatnya Cui Siau-ping tengah menghadapi bahaya, secepat kilat sebelah tangannya diayun, meluncurlah tiga titik bintang melesat mengarah kedua biji mata setan hitam.   Terpaksa setan hitam harus menunduk kepala untuk menyelamatkan diri, dan peluang sedetik ini cukup untuk Lo Ceng memburu tiba merintangi niat jahatnya terhadap Cui Siau-ping.   Dalam sekejap mata dua diantara saudara para Tongcu Kam-liang-pay itu mampus, sudah tentu sisa lima yang lain menjadi keder dan ciut nyalinya.   Tapi dalam keadaan mati dan hidup betapapun harus mengadu jiwa, tanpa komando lagi mereka memecah diri dalam dua kelompok untuk mengeroyok kedua setan dari Mo-san itu.   Bagaimana juga kepandaian setan hitam-putih lebih tinggi dan hebat, beruntun mereka dapat membinasakan dua musuh, bangkit dan menyalakan semangat tempur mereka, senjata diputar dan bergerak semakin lincah dan aneh menakjubkan, meskipun dicecar berbagai serangan senjata musuh, namun penjagaannya sangat rapat seumpama air hujan juga tidak akan tembus masuk, malah dalam setiap kesempatan dapat melancarkan jurus-jurus mematikan yang tidak terduga, lambat laun posisinya semakin menguntungkan dan banyak menyerang dari pada membela diri.   Meskipun pihak Kam-liang-pay berjumlah lebih banyak, betapapun kepandaian pihak sendiri kalah setingkat dibanding musuh, keruan semakin terdesak dibawah angin.   Melihat situasi yang lebih menguntungkan ini bergelak tertawalah kedua setan hitam-putih, terdengar setan hitam berolok-olok.   "Lo-ho, cepat sedikit bisa tidak. Kedua lawanku ini adalah telur busuk yang tidak berguna, coba biar kubuktikan kulukai seorang yang ini."   Benar juga lantas terdengar Thiat-pi-lo-han menggerung kesakitan, ternyata pundaknya berlobang tertusuk tombak bercabang Ci Kiu.   Meskipun terluka berat dan sakit luar biasa Cui Siau-ping tak berani mengundurkan diri, dengan mati-matian ia masih terus tempur musuhnya dengan sengitnya.   Terdengar Ci Kiu berolok lagi sambil menyeringai.   "Lo Ho, bagaimana? Tidak jelek bukan? Satu diantara telur busuk ini sudah terluka, sebentar biar kuantar jiwa keduanya ini menghadap nenek moyangnya!"   Disebelah sana Ho Han sisetan putih juga tidak mau kalah suara, serunya.   "Bagus sekali, adik Ci, selamat bekerja, bereskan secepatnya supaya tidak menunda-nunda waktu untuk ambil kedua mestika itu. Coba kau lihat kedua gadis rupawan genit ini, tidak tega aku turun tangan........hahaha..........."   Ci Kiu bergelak tertawa, dia merasa geli mendengar banyolan saudaranya itu.   Dengan tembang sebul dalam saat menghadapi musuh ini seakan-akan mereka tidak pandang sebelah mata pada kelima musuh-musuhnya, keruan gemas dan murka para Tongcu Kam-liang-pay bukan main, sudah kewalahan marah lagi sehingga kurang konsentrasi, maka semakin kacau balaulah pertahanan mereka.   Terutama Cui Siau-ping yang terluka berat, langkahnya semakin sempoyongan maka dialah yang menjadi sasaran paling empuk, tiba-tiba terdengar Ciu Kiu membentak keras.   "Pergilah menghadap Giam-lo-ong !"   Sekali tendang tepat mengenai dada Cui Siau-ping, seketika roboh dan muntah darah tak bangun lagi. Saking kaget Hwi-yan-cu Lo Ceng berteriak ketakutan.   "Kiau-toako......"   Terpaksa Kiau Sing tinggalkan setan putih dan memburu tiba membantu Lo Ceng menghadapi setan hitam.   Begitu serigala sembilan ekor tinggal pergi, keadaan Kiong Giok-eng dan Kwe Cing-sian semakin payah, setelah sekian lama bertempur mati-matian, badan sudah basah kuyup oleh keringat, napas juga sudah megap-megap, tapi sepasang tongkat Ho Han bergerak semakin lincah, mengurung empat penjuru sampai kesempatan untuk melarikan diri juga tidak ada lagi.   Maka dilain kejap dengan mudah saja batok kepala Kiong Giok-eng kena terketok hancur oleh tongkat Ho Han.   Saking ketakutan Gadis kecut Kwe Cing-sian sampai tekuk lutut minta diampuni.   Dasar kejam dan telengas, mendadak setan putih malah membentak beringas.   "Perempuan jalang, pergilah, kau sangka Ho-toaya ini orang apa?"   Tongkatnya menjojoh kedepan menutuk dada Kwe Cing-sian, seketika ia menjerit roboh dan melayanglah jiwanya.   Tidak keruan paran perasaan hati serigala sembilan ekor Kiau Sing, dalam situasi yang mendesak ini terpaksa dikeluarkan senjata rahasianya terus disambitkan sekuat tenaga.   Kala itu setan putih tengah kegirangan dapat membereskan musuh-musuhnya sehingga kurang waspada, waktu sadar bahwa dirinya tengah terancam elmaut sudah kasep, telak sekali kedua senjata rahasia itu mengenai dada dan mukanya, belum sempat mengeluarkan suara jiwanya sudah melayang.   Sudah tentu gusar Ci Kiu bukan kepalang, dengan kalap ia menerjang seperti harimau gila sambil memutar senjatanya.   Belum sempat Kiau Sing memutar tubuh, kepalanya pun hancur tercerai-berai.   Ibarat cengcorang menerkam tonggeret, tidak tahunya burung gereja mengintil dibelakangnya.   Begitulah keadaan Ci Kiu, tidak disadarinya bahwa Lo Ceng juga tengah memburu tiba dibelakangnya waktu ia berhasil membunuh Kiau Sing, pedang panjang Lo Ceng juga sudah melobangi punggungnya sampai tembus keluar dada.   Seketika tubuh Ci Kiu mengejang terus pelan-pelan memutar tubuh mendadak ia menggembor keras sambil mendo- rong kedua tangannya kedepan lancarkan pukulan sisa tenaganya.   Keruan tubuh Lo Ceng melayang-layang sampai jauh dan terbanting keras diatas tanah.   Setelah melancarkan pukulan terakhir ini, ludaslah tenaga Ci Kiu, dengan keras tubuhnya berdentam ditanah, setelah berkelojotan akhirnya diam untuk selama-lamanya.   Karena tamak harta pihak Kam-liang-pay dan Mo-san-ji-kui sampai gugur bersama dimedan laga, mayat bergelimpangan dengan bau anyir darah yang memualkan, sekejap saja keadaan menjadi hening bertambah seram.   Tidak lama kemudian tampak tubuh si walet terbang Lo Ceng bergerak dan merangkak bangun, agaknya lukanya tidak terlalu berat, hanya dia seorang yang masih ketinggalan hidup, setelah pertempuran mati-matian tadi.   Sambil menahan sakit setindak demi setindak ia berengsut jatuh bangun mendekati mulut kuburan.   Keadaan Lo Ceng ini seperti orang yang sudah kehilangan pikiran sehat, sejenak ia merandek terus memutar balik berjalan berkeliling menghampiri semua mayat-mayat itu untuk diperiksa.   Setelah diketahui semua sudah melayang jiwanya, terdengar mulutnya menggumam.   "Bagus sekali, hahaha, semua sudah modar (mati)! Hahaha, biar aku sendiri yang kangkangi kedua butir mutiara mestika itu, hehehe!"   Lalu ia beringsut lagi menghampiri mulut kuburan.   Sebetulnya Thian-ih sudah bersiap dibelakang pintu kuburan.   Tidak tahunya baru saja Lo Ceng tiba diambang pintu, mendadak tubuhnya dihujani berpuluh batang anak panah dari belakangnya, tidak ampun lagi tubuhnya roboh dengan puluhan panah menancap diatas badannya, meskipun dalam keadaan meregang jiwa ini dia masih bertahan sekuat tenaga, susah payah ia merangkak terus kedepan hendak memasuki mulut kuburan.   Dilain saat dibelakangnya bermunculan bayangan orang banyak yang dipimpin oleh Liong-gwa-hou-tiang Li Ti, anak buahnya menyulut obor berdiri dikedua sampingnya.   Terlihat oleh Thian-ih wajah Li Ti mengulum senyum ejek sambil memandang hina kearah Lo Ceng yang masih merangkak-rangkak maju selangkah, mendadak tangan Li Ti terayun menggablok punggung Lo Ceng dengan kerasnya.   Sepasang mata Li Ti memandang jalang kepada semua anak buahnya untuk angkat perbawa, lalu dipesannya pada anak buahnya.   "Siap untuk masuk! Juru panah bersiaga diluar sini, bunuh saja siapapun yang berani mendekat !"   Belum habis perkataannya mendadak seorang anak buahnya maju melapor.   "Dikejauhan sana tampak bayangan orang tengah mendatangi......"   Li Ti terperanjat, memang benar dilihatnya sebuah bayangan orang tengah meluncur datang secepat meteor terbang. Dasar nyali Li Ti memang kecil dan berjiwa pengecut, cepat-cepat ia memberi komando pada anak buahnya.   "Berpencar dan sembunyi, dengar perintahku untuk bertindak!'' Tersipu-sipu semua orang mencari tempat perlindungan. Ditempat sembunyinya Thian-ih mencibir bibir, bahwa Li Ti telah memboyong semua kekuatannya kemari tapi toh masih bermain licik dan pengecut serendah itu, sungguh harus disesalkan dan memalukan. Dalam sekejap saja bayangan itu telah meluncur tiba, dari perawakan orang, Thian-ih dapat mengenal jelas, dia bukan lain adalah Nyo Hway-giok adanya, calon suami Li Hong-gi. Thian-ih menjadi gugup dan kuatir akan keselamatan orang, bagaimana ia harus menolong jiwa orang dari ancaman hujan anak panah? Terpaksa dari belakang pintu Thian-ih sambitkan sebuah senjata rahasia keluar, sebuah bianglala bersuit ketengah udara diluar pekuburan itu. Ini sudah cukup mengejutkan Nyo Hway-giok, segera ia hentikan langkahnya sambil bersiaga. Dan belum sempat ia membuka suara, anak panah telah menghujani kearah dirinya, karena sudah bersiaga Nyo Hway-giok obat-abitkan kedua lengan bajunya yang gondrong tanpa gentar sedikitpun, seketika anak panah itu berjatuhan di sekitar tubuhnya. Setelah hujan anak panah itu berhenti, lantas berloncatan keluar sekian banyak orang dari sekitar tempat-tempat yang gelap, mereka mengepung dengan garang sambil menyoreng senjata. Dengan tajam Nyo Hway-giok tatap orang-orang di sekitarnya lalu tanyanya.   "Apa maksud kalian membunuh orang sedemikian banyak disini?"   Salah seorang diantara pengepungnya tertawa dingin, jengeknya.   "Buyung, siapa kau? Hendak apa kau kemari?" Sungguh harus dipuji sikap Nyo Hway-giok sebagai orang terpelajar yang mengenal sopan santun, sikapnya tetap sabar meskipun diperlakukan kasar, sahutnya.   "Aku yang rendah Nyo Hway-giok, ini kuburan istriku tercinta. Siapakah kalian ini? Harap suka perkenalkan diri !"   Orang itu menyahut.   "Aku she Li bernama Ti berjuluk Liong-gwa-hou-tiang, bicara terus terang tujuan kita adalah kedua mutiara mestika dalam kuburan istrimu itu, serahkan saja kepada kita supaya tiada pembunuhan berdarah dan segera kita tinggal pergi............"   Nyo Hway-giok tetap tenang dan sabar, dengan kalem dan sopan ia coba memberi penjelasan.   "Li-enghiong, ketahuilah bahwa kedua butir mutiara itu adalah pemberian seorang aneh yang hebat kepandaiannya kepada Li-tayjin, kasiatnya sangat aneh dapat menghilangkan kotoran debu dan peranti melindungi jenazah istriku supaya tidak membusuk, demikianlah keadaan istriku sekarang, begitu besar manfaat kedua butir mutiara itu kalau sekarang kuserahkan kepada Li-enghiong, dapatkah jenazah istriku terlindung lagi? Hal ini..........membuat aku yang rendah serba susah dan tidak dapat melulusi..............."   Thian-ih menjadi getol dan kurang sabar mendengar penjelasan Nyo Hway-giok yg berbau kecut sebagai kaum pelajar itu.   Bicara secara sopan dan demi keadilan kepada manusia pengecut dan licik seperti Liong-gwa-hou-tiang ini akan sia-sia dan hampa.   Memang tepat dugaannya ini, terdengar Liong-gwa-hou-tiang berkata sambil menggeleng kepala.   "Nyo-kongcu, orang hidup adalah untuk mati, setelah mati untuk apa pula dilindungi jenazah dan wajahnya apa segala ? Seumpama aku tidak minta, cepat atau lambat pasti juga dicuri orang lain. Bukankah kau sudah melihat mayat-mayat bergelimpangan ini? Mereka saling bunuh karena ingin mengangkangi kedua mutiara itu, mampus sekelompok akan membanjir kelompok yang lain lagi, sebaiknya tanamlah budi kepada orang lain demi kebaikan sesama manusia dan demi ketenteraman istrimu tercinta dalam kuburan itu, marilah serahkan kepadaku saja........."   "Gading gajah membakar tubuh, mutiara menimbulkan bahaya......"   Demikian Nyo Hway-giok menggumam seorang diri, lalu serunya.   "Memang ucapanmu tepat sekali. Betapapun sebelum aku sendiri mati, tidak rela kulihat wajah istriku yang molek itu berubah sedikitpun. Li-enghiong, lebih baik kuganti dengan emas perak atau harta benda berharga lainnya kepada kalian bagaimana, jangan kedua mutiara itu yang kalian incar."   Tingkah dan ucapan Nyo Hway-giok yang lemah lembut ini membuat Li Ti sebal dan tidak sabar lagi serta memandang rendah. Tiba-tiba semprotnya marah dengan melotot.   "Kutu busuk! Siapa sabar tawar menawar dengan kau, bagaimana juga mutiara itu harus kita dapatkan, kau minggir !"   Lalu dengan langkah lebar ia memburu ke mulut kuburan. Nyo Hway-giok menjadi gugup, tersipu-sipu ia memburu menghadang sambil melintangkan kedua tangannya di depan pintu kuburan, ujarnya.   "Li-enghiong, berapa banyak yang kau minta akan kuserahkan kepadamu, tapi jangan........."   Mendadak Li Ti angkat tangan terus memukul ke dada orang, terpaksa Nyo Hway-giok harus membela diri, tangan kirinya terlihat bergerak menyambut pukulan musuh, seketika terasa sejalur tenaga besar menerjang ke arah Li Ti dengan dahsyatnya, kontan tubuhnya yang tinggi besar itu terpental terbang ke belakang.   Tidak kepalang heran dan kejut Nyo Hway-giok sampai melongo sekian lama, bahwa kepandaian orang ternyata sedemikian tidak becus, maka cepat-cepat ia susuli lagi dengan tangan kanan didorong kedepan terus ditarik balik lagi hingga angin pukulannya tersedot kembali, tanpa kuasa tubuh Liong-gwa-hou-tiang terbawa jumpalitan dan jatuh duduk di tanah tanpa kurang suatu apa.   Seharusnya Liong-gwa-hou-tiang sudah harus tahu diri dan insaf betapa lihay kepandaian Kongcu terpelajar ini.   Dasar pengecut, licik dan berwatak biadab dan kejam serta culas, dianggapnya sifat Nyo Hway-giok yang lemah lembut itu gampang dilayani, maka segera ia siapkan anak buahnya dengan aba-aba.   "Semua siap dan serbu, bunuh pelajar tengik ini !"   Serempak anak buahnya menerjang serabutan dari kanan kiri dan depan, seketika Nyo Hway-giok dihujani serangan membadai yang merepotkan, sesaat ia terkepung di tengah susah untuk meloloskan diri.   Dasar besar nyalinya, ia berlaku tetap tenang dan sabar, kedua lengan bajunya beterbangan sangat indahnya seperti orang tengah menari-nari menangkis dan menyambuti setiap serangan pengeroyoknya, sedemikian lincah ia bergerak seumpama kupu-kupu terbang diantara rumpun bunga, setiap kali lengan bajunya mengebut pasti salah seorang pengeroyok diberi tanda mata.   Dia tidak mau membunuh, hanya memberi peringatan saja supaya mereka tahu diri dan mundur teratur.   Ibarat naik harimau tak bisa turun, begitulah keadaan Li Ti serta anak buahnya, sedemikian jauh sudah kepalang tanggung bertindak meskipun lawannya tangguh dan susah dirobohkan, namun bukannya mundur mereka malah semakin gencar menyerang mati-matian.   Betapapun kebutan lengan baju Nyo Hway-giok lihay luar biasa, kesiur anginnya saja tak gampang ditembus seumpama sebuah tembok yang kokoh kuat, setindakpun mereka tak kuasa maju.   Saking kewalahan akhirnya timbullah niat jahat dan akal licik Li Ti.   Secara diam-diam ia mundur keluar gelanggang pertempuran terus mencomot segenggam senjata rahasia.   Begitu menjejakkan kaki disaat tubuhnya terapung ditengah udara belum tangannya sempat menyambitkan senjata rahasianya, tiba-tiba punggung sendiri terasa disentuh sebuah benda yang tepat mengenai jalan darah yang melemaskan, kontan rasa nyeri dan kesakitan meresap ketulang sungsum menyergap tubuhnya.   Dengan sendirinya tenaga yang terkerahkan agak lumpuh, maka senjata yang tergenggam itu menjadi kendor sambitannya dan bukan mengenai Nyo Hway giok malah melukai para anak buahnya sendiri yang sedang giat mengeroyok musuhnya.   Maka terdengar keluh kesakitan saling susul berbareng anak buahnya banyak yang bergulingan ditanah sambil berteriak-teriak.   Nyo Hway-giok menjadi kaget dan melengak sekejap saja para musuh yang mengeroyok itu malah berlarian pontang-panting seperti dikejar setan.   Dilihatnya pula Li Ti sudah terkapar tanpa bernyawa lagi.   Keruan semakin heran dan bertanya-tanya, pasti orang yang memberi pertanda adanya bahaya waktu dirinya datang tadi itulah yang telah memberikan pertolongan lagi sekarang ini.   Lekas-lekas ia membungkuk keempat penjuru berseru lantang.   "Orang gagah siapakah yang telah sudi menolong jiwa Cayhe? Silakan keluar akan kusampaikan rasa terima kasih yang berlimpah kepada tuan!"   Berulang kali sudah Nyo Hway-giok berkaok-kaok tanpa mendapat reaksi yang diharapkan, akhirnya ia menggumam seorang diri.   "Hanya dua butir mutiara saja sampai mengorbankan sedemikian banyak jiwa manusia. Dosa, berdosa, ai memang salahku, aku terlalu mementingkan kepentinganku saja demi menyelamatkan tubuh adik Hong-gi.....ai, kalian harus bersabar, tunggulah setelah aku mati, saat mana terserah kalian hendak mengambil mutiara itu. Setelah aku meram bersama satu liang dengan adik Hong-gi... Kita tidak akan sayangi kedua benda mestika itu"."   Cuaca semakin gelap, tengah malam telah menjelang, dengan tenang Nyo Hway-giok menyapu pandang ke sekelilingnya lalu dengan langkah lebar memasuki kuburan.   Cepat-cepat Thian-ih sembunyi dibelakang gordiyn tempatnya semula, Nyo Hway-giok melangkah dengan tenangnya, setelah melihat tiada perobahan dalam kuburan itu legalah hatinya.   Tiba didepan peti mati ia membungkuk memberi hormat serta katanya.   "Adik Hong-gi, lihatlah aku datang mengunjungimu, kuharap arwahmu mendapat tempat yang tenang dialam baka. Memang kedatanganku ini sangat lancang dan mungkin kau tertawakan tindakanku yang bodoh ini. Adik Hong-gi selama ini kita belum pernah bertemu muka, namun sejak lama kudengar betapa harum nama dan agungnya istriku itu bukan saja cantik rupawan luhur budi serta cerdik cendekia pula. Sekarang kita telah bertemu aku sangat senang dan lega. Selama ini aku terlalu rajin belajar dan memperdalam ilmu silat, bukan karena tidak ingin menemuimu sebenarnya aku takut sekali kita bersua akan membuatku terkenang selalu dan rindu sepanjang masa sehingga mungkin mengganggu pelajaranku itu. Lagi pula musim semi yang akan datang kita sudah akan melangsungkan pernikahan. Saat mana kita akan selalu bersanding dan takkan berpisah untuk selamanya, betapa gembira dan bahagia hidup kita.....Siapa tahu kabar jelekmu membuat aku hampir-hampir pingsan dan lenyaplah seluruh harapan yang telah kucita-citakan itu. Meskipun secepatnya aku menyusul tiba mana kala kau sudah tak dapat bicara lagi denganku, sepasang matamu bak bintang kejora sudah terpejamkan untuk selama-lamanya. Kau takkan dapat melihat lagi, kini aku telah datang, kita takkan berpisah lagi, biar kututup pintu itu dari dalam kita bisa berdampingan untuk sepanjang masa."   Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sinar pelita dalam kuburan semakin redup dan guram, tubuh Nyo Hway-giok semampai diatas peti mati sambil sesenggukan dengan suara serak, menggumam lalu menangis dan menangis serta menggumam lagi, saking terharu tanpa merasa Thian-ih juga ikut berduka dan mengalirkan airmata.   Dari ucapannya terang bahwa Nyo Hway-giok hendak bunuh diri untuk menyusul istrinya dialam baka, ,besar niatnya untuk mencegah perbuatan bodoh yang nekad ini, namun keadaan dirinya saat itu tidak mengijinkan dia berbuat begitu, siapa tahu kalau perbuatan baiknya ini malah akan menimbulkan salah paham dan curiga orang, akhirnya terpikirkan untuk tinggal pergi secara diam-diam, dipikir memang gampang namun prakteknya sangat sulit.   Meskipun Nyo Hway-giok tengah menangis dengan sedihnya, betapapun Lwekangnya sudah mencapai taraf yang tertinggi, sedikit bertindak salah bukan mustahil akan menimbulkan kerepotan yang susah dilerai.   Maka terpaksa Thian-ih berlaku sabar dan menanti perkembangan selanjutnya.   Nyo Hway-giok menghentikan tangisnya, matanya mendelong terlongong memandangi wajah Li Hong-gi lalu gumamnya lagi.   "Adik Hong-gi, ketahuilah kedua mutiara disisi tubuhmu itu adalah Hwe-ki-cu dan Pek-seng-cu. Pasti Gak-hu tidak tahu akan hal ini, bahwa kedua butir mutiara mestika itu adalah sebagian benda-benda berharga dari gudang istana raja yang telah hilang dicuri simaling terbang yang menggemparkan itu. Siapakah orang aneh yang menyerahkan kedua mutiara ini? Darimana pula ia peroleh kedua mutiara ini untuk melindungi tubuhmu sehingga tidak membusuk ? Aku harus berterima kasih kepada orang itu, namun nama dan jejaknya tidak menentu kemana pula aku harus mencarinya ? Adik Hong-gi kalau kalangan pemerintahan mengetahui perihal kedua butir mutiara mestika ini, pasti celakalah, ai dosa tak terampun mungkin membawa kemusnahan bagi kedua keluarga kita."   Thian-ih terperanjat.   Tak tersangka olehnya bahwa dua butir mutiara itu ternyata adalah sebagian harta benda berharga yang tercuri dari gudang istana raja itu, entah adakah hubungan dan sangkut pautnya dengan sibaju perak, kalau benar perbuatan sibaju perak kejadian ini semakin aneh lagi.   Dengan sengaja dia sudah meracuni Li Hong-gi hingga mati, lalu mengapa pula ia berikan kedua butir mutiara mestika ini untuk melindungi raganya supaya tidak membusuk? Terdengar Nyo Hway-giok tengah berkata lagi.   "Adik Hong-gi, sayang kau tak dapat bicara lagi, tahukah kau apa yang hendak kutanyakan kepadamu? Ingin aku tahu apakah kau suka kalau aku memangku jabatan dalam pemerintahan? Apa kau dapat menyelami isi hatiku? Keta- huilah meskipun aku keturunan seorang berpangkat, tapi aku benci segala jabatan, aku lebih senang bebas dan kelana tanpa rintangan dan belenggu yang mengekang. Kita dapat hidup mengembara kemana kita suka, pesiar, bermain musik atau belajar membaca dan silat, bayangkan betapa senang dan bahagia hidup semacam itu, rasanya lebih menggembirakan dari pada hidup dilingkungan pemerintahan yang terlalu membosankan dengan ikatan dinas apa segala..........."   Tidak terkirakan oleh Thian-ih bahwa ternyata keturunan seorang berpangkat macam dia mempunyai pambek sedemikian besar dan luhur, sedemikian besar tekad dan cita-citanya sampai rela meninggalkan jabatan pemerintahan yg tinggi mandah kelana di Kangouw yang penuh liku-liku hidup yang membahayakan.   Timbul rasa kagum dan simpatik dalam benak Thian-ih, ingin benar rasanya bersahabat dengan seorang kawan yang berpandangan jauh selaras dengan tujuan hidup sendiri.   Mendadak suara Nyo Hway-giok berubah ketus penuh penyesalan.   "Tapi.........sekarang........ semua menjadi kenangan hampa belaka, betapapun indah impian muluk-muluk itu, kau sudah pergi mendahului aku.........aku.........hidup.......bagaimana aku dapat hidup melewatkan hari-hari yang mengenaskan ini.............."   Kata Nyo Hway-giok lagi sambil sesenggukkan.   "Adik Hong-gi, semasa hidup kita tidak bisa berdampingan, biarlah kita mati dalam satu liang kubur, peduli dengan segala peristiwa dan urusan dalam dunia ini sudah tiada sangkut-pautnya lagi dengan aku..............."   Lalu dari dalam sakunya dikeluarkan sebuah anak kunci terus dimasukkan dan diputar dilobang kunci, di lain saat dengan mudah sekali tutup batu kaca itu sudah terbuka.   Seketika berhamburanlah bau harum semerbak memenuhi seluruh ruang pekuburan itu.   Nyo Hway-giok bersiap hendak memasuki peti batu kaca itu, serta melihat tegas wajah Li Hong-gi seketika ia mengunjuk rasa kaget dan heran, saking terpesona dan gembira tanpa merasa ia membungkuk tubuh mencium bibir Li Hong-gi, tiba-tiba ia tersentak dan berjingkat mundur, Thian-ih mendengar dia tengah menggumam.   "Heran, apa yang telah terjadi? Mengapa bibirnya masih terasa hangat, mulutnya berbau arak keras sekali?"   Nyo Hway-giok tenggelam dalam pikirannya, penemuan yang tak terduga ini menyebabkan Thio Thian-ih juga ikut terheran-heran, kalau betul-betul terjadi masakah tidak janggal? Mana mungkin orang yang sudah meninggal selama seratus hari bibirnya masih terasa hangat, bukan mustahil karena keampuhan dari kasiat kedua butir mutiara itu.   Atau kesalahan dari perasaan Nyo Hway-giok sendiri? Dilihatnya Nyo Hway-giok tengah membungkuk memeriksa dengan teliti, tak lama kemudian dia angkat kepala sambil bertepuk tangan, wajahnya penuh mengunjuk rasa kegirangan yang berlimpah, terdengar ia menggumam lagi.   "Mungkinkah adik Hong-gi minum arak 'Pek-jit-kui' (seratus hari pulang) ? Unsu (guru berbudi) pernah berkata bahwa seseorang yang minum Pek-jit-kui meskipun tubuhnya kaku, tapi kalau ditutuk Jin-tiong-hiatnya, pasti kelopak matanya bergerak-gerak, dari sini dapatlah kubuktikan apakah adik Hong-gi benar-benar sudah meninggal atau masih hidup........."    Pendekar Bego Karya Can Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini