Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 6


Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 6


Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H   Salah seorang tua itu mendadak mengayun sebelah tangan, selarik bunga api warna merah darah segera melesat tinggi membumbung angkasa, terang bahwa mereka melepas pertanda bahaya dan minta bantuan.   Bunga api itu terbang setinggi lima puluh gunung sana minta bantuan.   Bunga api itu terbang setinggi lima puluh tombak baru meluncur turun dan jatuh dibelakang gunung sana.   Si orang berkedok ter-loroh2 sekian lamanya, katanya "Bagus sekali, undanglah semua para cakar anjing itu, darah yang mengalir di Sam ceng koan dari ratusan nyawa penghuninya, harus dicuci bersih oleh darah kalian bangsa kurcaci ini."   Serempak tiga orang kekar membentak berbareng, dimana sinar pedang berkelebat serentak mereka menyerang kearah si orang berkedok.   Sementara kedua orang tua itu saling pandang sebentar terus menerjang kehadapan Suma Bing.   Memang sudah sejak lama nafsu membunuh sudah bersemi dalam benak Suma Bing maka begitu turun tangan ia tidak mengenal kasihan lagi, kedua tangannya ditarik lalu disodokkan kedepan sedang kedua kakinyapun sedikit ditekuk, gelombang panas bagai hujan badai segera menerjang kearah kedua orangtua yang menubruk tiba.   Seketika terdengar pekikan panjang yang mengerikan bergema dikesunyian alas pegunungan.   Kedua orang itu masing2 menyemburkan darah segar dan tubuh mereka terpental sejauh tiga tombak sebelum tubuhnya menyentuh tanah jiwanya sudah melayang.   Disebelah sana terdengar juga sebuah jeritan, salah satu laki2 kekar itu terhantam remuk kepalanya oleh si orang berkedok, keruan kedua temannya ketakutan setengah mati berbareng mereka kiblatkan pedangnya terus putar tubuh hendak melarikan diri.   "Roboh!"   Si orang berkedok membentak keras, kedua tangannya bergerak bagai kilat, 'blang, blung' disusul teriakan mengerikan kedua sisa laki2 kekar inipun muntah darah dan roboh terkapar jiwapun melayang.   Baru saja Suma Bing berdua selesai membereskan musuh2nya, derap langkah yang ramai beruntun mendatangi dari pelbagai arah semua meluruk keatas puncak sini.   Serta merta sorot mata Suma Bing menyapu kearah orang berkedok, kebetulan mata orangpun tengah memandang kearah sini masing2 manggut2.   Anggukkan bersama yang menandakan kesepakatan hati ini akan menentukan nasib para tokoh Bwe hwa hwe yang mendatangi.   Maka terjadilah pertempuran hebat mati2an dibawa puing2 Sam ceng koan, darah mengalir deras, mayat2 beterbangan dengan anggota tubuh yang tidak lengkap.   Sedemikian banyak bantuan jago2 Bwe hwa hwe berdatangan dari segala penjuru, teriakan dan pekikan kesakitanpun tak henti2nya terdengar saling susul, mayat bergelimpangan semakin bertumpuk.   Beratus anggota Ceng seng pay dari ketuanya sampai muridnya terkecil tidak kecuali terbabat habis oleh pembunuhan kejam, tempat suci yang agungpun tidak luput terbakar habis menjadi puing.   Sekarang darah para anggota Bwe hwa hwepun membanjir menyiram diatas puing2 itu.   Inilah yang dinamakan hutang darah bayar darah, penyembelihan besar2an tengah berlangsung gila2an.   Puncak Ceng seng san diselubungi bau busuk dan anyir darah yang memualkan, lambat laun semakin sirap juga suara jeritan atau pekik kesakitan yang mendirikan bulu roma.   "Berhenti!"   Terdengar sebuah suara melengking mendatangi, suara ini tidak begitu keras tapi sangat mengejutkan pendengarnya.   Tanpa berjanji sebelumnya Suma Bing dan si orang berkedok segera menghentikan pertempuran.   Tampak seorang wanita berusia 30-an berwajah cantik molek entah kapan sudah berdiri ditengah gelanggang pertempuran, dibelakang wanita ini berdiri jajar dua belas busu laki2 berpakaian ketat.   Maka berkesempatanlah para jagoan Bwe hwa hwe yang masih ketinggalan hidup berlarian menyingkir menyelamatkan diri.   Dengan bola matanya yang cemerlang si wanita menyapu pandang kearah mayat2 yang bergelimpangan itu lalu dengan langkah ringan gemulai ia maju beberapa langkah, sepasang matanya jelalatan pelerak-pelerok menatap wajah Suma Bing yang ganteng, kedua pipinya agak kemerah2an, mimiknya cerah tidak tertawa tapi juga tidak tersenyum, sikapnya ini sungguh sangat menggiurkan dan memikat hati semua pria mata keranjang.   Sorot mata Suma Bing tajam bagai ujung pedang, wajahnya membeku dingin ia pandang pendatang baru ini lalu berpaling kearah si orang berkedok dan bertanya.   "Apa kedudukan wanita ini didalam Bwe hwa hwe?"   Si orang berkedok menggeleng kepala tanda tidak tahu. Pinggang dan pinggul si wanita berjentit ia maju beberapa langkah, suaranya nyaring bening bagai kicau burung.   "Kau inikah Suma Bing?"   "Benar." "Perbuatanmu terlalu telengas!"   "Ini baru permulaan saja!"   "Hm, mungkin juga yang terakhir, kalau kukatakan bahwa kalian berdua mampir ke perkumpulan kita, tapi kalian tidak menampik bukan?"   "Kau ini terhitung barang apa?"   Jengek Suma Bing menghina.   "Barang apa? Ccce! Suma Bing, akulah Hun Cit koh pejabat Hoa than Thancu (kepala panggung kembang) dari Bwe hwa hwe!"   Suma Bing ganda mendengus ejek sambil menjerit katanya.   "Itulah bagus, semua orang yang datang semua mendapat bagian, aku tidak boleh memberi persen secara berat sebelah."   Semakin suram pandangan mata Hun Cit koh, wajahnyapun mengelam, katanya dingin.   "Suma Bing, kalau kau mau dengar kata ikut Pun than (aku), kujamin keselamatan jiwamu, kalau tidak"   Saking marah Suma Bing malah tertawa gelak2, ujarnya "Hun Cit koh. Sebaliknya aku tidak ingin menjamin keselamatan nyawamu!"   "Para murid pelindung dengar perintah!"   Tiba2 Hun Cit koh berteriak, wajahnya semakin beringas. Serentak keduabelas Busu seragam ketat itu mengiakan berbareng memencarkan diri menjadi dua kelompok. Masing2 enam orang dikanan kiri.   "Hadapilah si orang berkedok itu, tangkaplah hidup2"   Tanpa banyak kata lagi segera duabelas murid pelindung itu be-ramai2 menubruk kearah si orang berkedok.   Dalam waktu yang bersamaan Hun Cit kohpun melangkah maju mendesak kearah Suma Bing.   Sementara itu si orang berkedokpun telah terkepung oleh keduabelas musuhnya, terjadilah pertempuran seru, kiranya keduabelas murid pelindung itu rata2 berkepandaian lumayan juga, begitu saling gebrak masing2 lancarkan serangan hebat yang mengejutkan.   Disebelah sini Suma Bing masih berdiri ditempatnya dengan tenang, matanya dingin2 mengawasi gerak gerik Hun Cit koh bersiap melayani semua kemungkinan.   Pada jarak delapan kaki dari Suma Bing, Hun Cit koh menghentikan langkahnya, seketika berobah pula sikapnya, alis lentik matanya menjengkit lantas katanya.   "Suma Bing, aku... benar2 aku tidak ingin bergebrak dengan kau!"   "Mengapa?"   "Sebab kau persis benar dengan suamiku yang telah meninggal"   "Perempuan jalang yang tidak tahu malu."   Demikian Suma Bing memaki dalam hati, nadanya tetap dingin, katanya.   "Apa betul demikian?"   "Tiada faedahnya aku menipu kau."   "Lalu kau mau apa?"   "Kuharap kau suka ikut aku pergi keperkumpulan kita, kalau kau mau menjadi anggota kita tanggung paling rendah kau menjabat sebagai Thancu."   "Benarkah kalian mendapat perintah untuk mengejar dan membunuh aku?"   "Aku tidak menyangkal."   "Mengapa?"   "Aku bertugas menurut perintah!"   "Ketua kalian tidak akan berhenti sebelum meringkus aku, apakah maksud tujuannya?" "Mungkin... mungkin dia iri pada kepandaianmu."   "Mungkin? Hm, tidak sedemikian gampang bukan?"   "Begitulah menurut hematku."   "Siapakah nama besar ketua kalian?"   "Ini, tidak leluasa kusebutkan".   "Kalau begitu segeralah turun tangan."   "Jadi kau harus berkelahi dengan aku?"   "Berkelahi? Hendak kubunuh kau"   Berobah hebat air muka Hun Cit koh, serunya sambil mendengus ejek.   "Suma Bing, kau tidak tahu kebaikan."   "Buat apa aku terima kebaikanmu?"   "Lihat serangan!"   Sambil berseru secepat kilat ia lancarkan sebuah pukulan mengarah dada Suma Bing.   Kekuatan pukulannya ini boleh dikata sangat berat sekokoh gunung juga secepat kilat, sekali serangannya ini menunjukkan bahwa kepandaiannya bukan olah2 lihay.   Sigap luar biasa Suma Bing pun julurkan tangan memapak pukulan musuh.   'Blang' kedua pukulan saling bentur dengan telak, seketika kedua belah pihak tergetar mundur satu langkah, dalam jangka sedetik itulah Suma Bing sudah melancarkan serangan balasan dengan tangan kanan.   Terkesiap darah Hun Cit koh melihat kehebatan serangan musuh ini, sekali menggeliatkan pinggang berbareng sebelah kaki menahan tanah terus tubuhnya berputar setengah lingkaran, secara tepat dan sangat berbahaya dia hindarkan serangan ini.   Bersamaan itu dari sebelah sana terdengar bentakan nyaring disusul dua suara pekik kesakitan.   Suma Bing berkesempatan melirik kearah sana, terlihat olehnya dua diantara Busu berpakaian ketat itu terhuyung mundur sambil muntah darah keluar kalangan.   Sedang si orang berkedok selicin belut dan selincah kera selulup timbul diantara kesepuluh lawannya, cara turun tangannya juga tidak mengenal kasihan lagi dan gerak-geriknya masih tetap garang dan semangat, hal ini melegakan sangat hatinya.   Sekali pukulannya meleset, pukulan kedua Suma Bing pun sudah merangsang tiba.   Kedua tangan Hun Cit koh me-nari2 berebut kesempatan untuk menyerang lebih dulu.   Kepandaian kedua belah pihak tidak terpaut jauh, sekali mereka bergebrak sengit mati2-an benar2 hebat pertempuran ini.   Dalam sekejap masing2 pihak sudah lancarkan lima puluh kali tipu lihay masing2, sedemikian jauh belum dapat ditentukan mana lebih unggul dan siapa yang asor.   Sementara itu, meskipun kepandaian si orang berkedok setinggi langitpun akhirnya terdesak juga oleh kerubutan nekad dari sepuluh lawannya yang menyerbu mati2an, lama kelamaan keadaannya terdesak dibawah angin, dari menyerang ia kini ganti siasat bertahan dengan rapat demi keselamatan nyawa sendiri.   Dalam pada itu otak Suma Bing bekerja keras, kalau dirinya tidak melancarkan ilmu simpanannya pertempuran ini tentu akan berjalan terlalu lama dan tiada akhirnya.   Kalau pihak Bwe hwa hwe kedatangan seorang kawan berkepandaian setingkat dengan Hun Cit koh, pasti berbahayalah mereka berdua.   Bersama itu iapun sudah melihat keadaan si orang berkedok yang sudah ber-kali2 menghadapi bahaya.   Dalam ber-pikir2 itu, segera ia merobah cara permainan silatnya, dalam melancarkan tipu2 silatnya diam2 ia kerahkan tenaga sakti Kiu yang sin kang sebanyak tiga bagian sebagai landasan pukulannya itu.   Hun Cit koh coba bertahan sekuat tenaga namun akhirnya tidak tahan diterjang badai gelombang panas seperti lahar gunung jebluk, sambil meraung kesakitan ia terhuyung mundur sejauh delapan kaki.   Agaknya Suma Bing pun sudah mulai mata gelap, tanpa mengenal belas kasihan meski yang dihadapi adalah seorang wanita, sekali berhasil dimana tubuhnya melejit maju beruntun ia kirim tiga kali pukulan berat pula.   Sesudah ketiga pukulannya dilancarkan terdengar Hun Cit koh memekik lebih keras badannya terbang sejauh satu tombak lebih, mulut kecilnya yang mungil menyembur deras darah segar, wajahnya kelihatan memucat dan beringas menakutkan.   Bagai setan gentayangan Suma Bing mendesak maju lagi seraya kirim satu hantaman pula.   Hun Cit koh berteriak panjang, tanganpun diangkat untuk menangkis serangan lawan pukulannya ini adalah himpunan seluruh sisa tenaganya, perbawanya bukan olah2.   'Blang' dibarengi setengah pekik kesakitan yang tertahan, beruntun Hun Cit koh hamburkan lagi tiga kali darah segar tubuhpun meloso duduk diatas tanah.   Sedang Suma Bing sendiripun terpental oleh tenaga perlawananan musuh yang hebat luar biasa, darah terasa bergolak dalam dada, tubuhnyapun terjorok dua langkah kebelakang.   Dalam pada itu, keadaan si orang berkedokpun tidak kalah berbahayanya, namun demikian diluar gelanggang pertempuran kini ditambah lagi rebah tiga Busu berpakaian ketat itu.   Sebat luar biasa Suma Bing sudah meluruk tiba dihadapan Hun Cit koh, sebelah tangan sudah diayun mengarah batok kepalanya, bentaknya bengis.   "Hun Cit koh, katakan asal usul Ketua kalian?"   "Tidak mungkin."   Sahut Hun Cit koh ketus sambil kertak gigi.   "Kau benar2 ingin mati?"   Hun Cit koh meramkan kedua matanya, dua butir air mata sebesar kacang meleleh membasahi kedua pipinya serunya penuh kepedihan.   "Silahkan turun tangan!"   Tergerak hati Suma Bing, pikirnya.   "Tidak sedikit jumlah anggota Bwe hwa hwe yang mati konyol, diusut dari semua pangkal mula peristiwa ini, hanya si ketua Bwe hwa hwe seoranglah yang benar2 merupakan musuh besarnya. Dalam keadaan yang belum jelas dan terang ini tiada faedahnya aku terlalu kejam turun tangan"   Karena pikirannya ini, tangan yang sudah diangkat tinggi itu per-lahan2 diturunkan lagi.   Lalu tanpa membuka suara lagi mendadak ia putar tubuh terus menubruk kearah si orang berkedok belum tubuhnya tiba angin pukulannya sudah sampai lebih dulu.   Seketika ada dua musuh terbawa terbang oleh angin pukulannya itu.   Begitu kelima kawannya menyapu pandang kesekitar gelanggang, terbanglah semangat mereka, serta merta mereka segera mundur dan menyingkir jauh.   Kalau si orang berkedok masih kuat bertahan adalah berkat keteguhan hatinya yang keras, namun demikian napasnya sudah empas empis seumpama pelita yang hampir kehabisan minyak tak urung tubuhnya terhuyung hampir roboh tak dapat berdiri tegak ditempatnya.   11.   MANUSIA BEBAS DILUAR DUNIA.   "Bong bian heng bagaimana keadaanmu?"   Tanya Suma Bing penuh perhatian.   "Tidak apa, aku hanya kehabisan tenaga,"   Habis berkata ia merogoh keluar dua butir obat dimasukkan kedalam mulutnya "mari kita pergi."   Si orang berkedok manggut2, dalam sekejap mata mereka sudah menghilang dan berlarian cepat turun gunung, langsung menuju kearah 'gunung tanpa bayangan'.   Ditengah perjalanan si orang berkedok berkata "dengar kejadian ini masih belum sirap, saudara kecil kalau hendak membuka tabir pembunuhan di Ceng seng san dan teka teki penyergapan terhadap kau, kecuali dapat membongkar kedok asli ketua Bwe hwa hwe, maka tiada kepikir untuk kau main tebak apa segala."   "Wajah aslinya atau asal usul Ketua Bwe hwa hwe masa tiada seorangpun yang tahu didunia persilatan?"   "Mungkin begitu!"   "Termasuk anak buahnya?"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Itu soal lain lagi. Tapi menurut hematku, didalam Bwe hwa hwe sendiri yang mengetahui wajah asli ketuanya sendiri mungkin tidak banyak, kalau tidak mungkin sudah bocor dan tersiar dikalangan Kangouw."   "Namun cepat atau lambat pasti harus dibongkar kedoknya".   "Ketua Bwe hwa hwe sekali ini telah salah perhitungan..."   "Mengapa?"   "Menurut penilaiannya mungkin dia anggap kita berdua sudah terluka berat, kalau meratpun takkan dapat berjalan, maka dia hanya perintahkan anak buahnya untuk mengadakan razia besar2an, sedang dia sendiri tidak ikut muncul kalau tidak, mungkin saat ini kita sukar lolos dari lobang maut."   "ltupun belum tentu, kalau kemaren aku tidak terlalu bernafsu dan nekad, tidak sampai sedemikian mengenaskan kekalahanku"   Tiga hari kemudian, mereka tiba diatas sebuah puncak tinggi yang menembus langit. Menunjuk lautan awan didepannya yang tidak berujung pangkal si orang berkedok berkata.   "Disanalah letak gunung tanpa bayangan itu."   Tanpa terasa Suma Bing mengerut kening, katanya.   "Mana, sedikitpun aku tidak melihat?" "Kalau sudah dinamakan tanpa bayangan, sudah tentu sampai bayangannyapun tidak begitu gampang dapat ditemukan orang. Kita hanya memerlukan melanjutkan terus mendekati kearah lautan awan itu, kalau jaraknya sudah dekat dan penglihatan lebih terang tentu gampanglah mencari jalan. Tapi watak manusia bebas diluar dunia ini sangat aneh diluar kesopanan. Suma Bing tersenyum ewa, katanya.   "Masa dia lebih aneh dari guruku Lam Sin Kho Jiang"   "Sifat sesat suhumu kesohor karena dia paling menentang adat istiadat atau kebiasaan umum, namun sedikit banyak ia masih mau bicara tentang kebenaran. Lain dengan manusia bebas dari dunia luar ini, saking aneh dia tidak mengenal apa yang dinamakan kebenaran."   "Peduli apa, pendek kata kita harus mendapatkan rumput ular itu."   Begitulah dengan cepat mereka telah mendekati dan mulai tiba dilautan awan, mereka langsung menerobos terus ketengah.   Dengan kekuatan tenaga Lwekang Suma Bing matanya dapat melihat terang dalam jarak sepuluh tombak, diluar jarak itu hanya remang2, maka mereka harus menggeremet maju per-lahan2.   Setengah jam kemudian si orang berkedok menunjuk sebuah bukit batu yang kelihatan remang2 dan berkata.   "Itulah disana, mari kita naik kesana!"   Ber-kobar2 semangat Suma Bing, segera ia mendahului berlari mendaki kearah bukit batu itu. Baru saja mereka tiba dilamping bukit, se-konyong2 terdengar sebuah suara berat dan keras membentak.   "Siapa itu, berhenti!"   Segera Suma Bing hentikan langkahnya, waktu ia angkat kepala terlihat seorang tua baju kuning, rambut dan jengot serta alisnya sudah beruban, berduduk tenang diatas sebuah batu yang menonjol.   Ter-sipu2 si orang berkedok maju memberi hormat serta berkata hormat.   "Wanpwe"   Orang tua baju kuning tertawa dingin dan menukas ucapan si orang berkedok.   "Kalau kalian tahu diri lekas menggelinding pergi!"   Kebentur kekerasan orang, siorang berkedok mendjadi tertegun dan melongo ditempatnja tanpa mampu mengeluarkan suara lagi.   Adalah Suma Bing malah berpikir, kalau dia menamakan orang aneh, buat apa bicara segala kesopanan apa segala, maka segera ia maju dua langkah, suaranyapun tidak kalah dingin dan ketusnya.   "Apa tuan ini yang bernama Si gwa sian jin?"   Orang tua baju kuning agaknya melengak karena sikap kasar Suma Bing ini, kedua matanya menyorotkan sinar dingin menatap kewajah Suma Bing, lama dan lama kemudian baru ia membuka mulut.   "Kau menyebut aku sebagai apa?"   "Apa tidak tepat?"   "Berapa umurmu sekarang?"   "Umur? Dalam Bu lim mengutamakan peribudi, buat apa mempersoalkan usia orang!"   "Bocah kurangajar, kau dari perguruan mana?"   "Tuan sendiri belum menjawab pertanyaanku?"   "Huh, memang aku inilah Si gwa sian jin."   "Kalau begitu akulah Suma Bing, guruku adalah Sia sin Kho Jiang."   Berobah air muka Si gwa sian jin, tanyanya.   "Kau adalah murid Kho lo sia?"   "Benar."   "Tak heran sifatmu nyeleweng, untuk apa kau datang kemari?" "Konon tuan mempunyai sepucuk pohon rumput ular, tuk itulah aku datang kemari supaya diberi sedikit, sebab aku yang rendah terkena bisa Pek jit kui."   "Tidak salah, memang ada! Rumput ular adalah benda mujijat yang tak ternilai harganya, merupakan obat pemunah racun yang paling ampuh khasiatnya. Lantas dengan mulut kecilmu yang masih hijau itu, kau kira Lohu segera akan memberikan kepadamu? Hahahaha,"   Suma Bing mendengus keras, menghentikan tertawa orang, serunya angkuh.   "Tuan ada syarat apa, coba kemukakan."   "Syarat, kenapa?"   "Aku selamanya tidak sudi terima budi kasih orang lain kuharap dengan sesuatu syarat apa untuk dapat menukar rumput ular itu"   "Lohu tidak akan memberikan rumput ular kepadamu, juga tidak perlu syarat apa segala."   Namun Suma Bing masih keras kepala, serunya ketus.   "Tapi aku sudah pasti harus mendapatkan rumput ular itu."   "Apa mungkin kau berani menggunakan kekerasan?"   "Aku sudah minta kau mengeluarkan syarat untuk menukar, bukankah itu sangat adil!"   "Siaucu, barang itu kepunyaan Lohu, Lohu tidak ingin bertukar apa dengan kau."   "Kutegaskan sekali lagi, aku pasti harus memperoleh rumput ular itu."   Diam2 si orang berkedok menarik lengan baju Suma Bing dan membisiki dengan suara sangat lirih hampir tidak terdengar.   "Saudara kecil jangan kau mengeruhkan urusan ini, sabarlah sedikit, mintalah dengan kata2 halus, kepandaian! si tua bangka ini tidak dibawah salah seorang dari Bu lim su ih (empat gembong silat aneh)."   Baru saja Suma Bing menggelengkan kepala mendadak si manusia bebas diluar dunia sudah membentak marah2.   "Siaucu, Gurumu Kho lo sia sendiri melihat akupun tidak berani bersikap demikian kurangajar"   "Itu urusannya bukan urusanku."   Sahut Suma Bing temberang. Memang orang aneh bertabiat aneh, karena watak Suma Bing yang berani berbantahan itu malah mencocoki selera si manusia bebas aneh ini. Bukan marah dia malah tertawa gelak2 kegirangan ujarnya.   "Siaucu, sungguh menyenangkan sifat itu. Baiklah Lohu meluluskan permintaanmu, akan tetapi, selamanya Lohu paling benci dan tidak senang adanya kuat diluar dan keropos didalam, wajahnya gagah tapi otaknya tumpul. Begini saja, kalau kau kuat menahan tiga kali pukulanku, rumput ular boleh kau bawa pergi, kalau sebaliknya gunung tanpa bayangan ini adalah tempat keramat, tidak bakal kubiarkan orang seenaknya pergi datang."   Mau tak mau Suma Bing harus berpikir.   sudah pasti dirinya harus mendapatkan rumput ular itu atau jiwanya takkan hidup lewat seratus hari, mati atau hidup sudah ditakdirkan oleh Tuhan, buat apa aku main sangsi atau ragu? Karena berpikir seperti itu segera mulutnya menjawab congkak.   "Apa hanya menyambuti tiga kali pukulanmu?"   Si gwa sian jin menarik muka, airmukanya mengelam desisnya.   "Siaucu, tiga pukulan itu bukan saja menentukan mati hidupmu, juga menentukan nasib kawan karibmu itu."   Terkesiap darah Suma Bing mendengar keterangan itu mati hidup dirinya tidak perlu dibuat sayang, tapi kalau sampai merembet keselamatan si orang berkedok, bagaimanapun hatinya tidak tega, maka segera ia memutar tubuh berkata kepada si orang berkedok.   "Bong bian heng, dengan setulus hatiku minta sukalah kau sekarang juga meninggalkan tempat ini."   Tanpa ragu2 si orang berkedok segera menjawab.   "Saudaraku, kau tahu aku tidak akan pergi."   "Namun kalau terjadi"   "Tentu aku tidak sesalkan kau!"   Apa boleh buat Suma Bing menggeleng kepala. Sedemikian besar budi si orang berkedok menolong jiwanya, tak urung dalam hati ia berkata.   "Saudara tua, terlalu banyak aku berhutang budi kepadamu."   Saat mana si manusia bebas telah melompat turun dari batu menonjol itu dan berdiri tegak dihadapan Suma Bing, Ia tanya menegas.   "Siaucu, kau sudah pastikan belum?"   Suma Bing mengertak gigi, sahutnya.   "Selamanya aku maju tidak mengenal mundur!"   "Matipun kau tidak penasaran?"   "Kurasa terlalu pagi mempersoalkan itu."   "Baiklah sambutlah jurus pertama ini."   Baru saja suaranya lenyap, sepasang tangan manusia bebas telah bergerak2 menjojoh kedepan.   Segera Suma Bing merasa bahwa pukulan lawan ternyata sangat aneh lain daripada yang lain, perobahannya sukar dijajaki, sukar pula untuk ditangkis atau memunahkannya, lagipula begitu dilancarkan serangannya segera merangsang tiba.   Sedikitpun tidak memberi kesempatan dirinya banyak berpikir.   Maka serta merta ia lancarkan sejurus Pit bun cia khe (menutup pintu menampik tamu) menjaga diri menutup jalan darah.   'Bum' jurus Pit bun cia khe Suma Bing ternyata masih belum mampu menahan serangan lawan, seketika dadanya seperti dipukul godam, sambil meraung kesakitan tubuhnya terhuyung lima langkah, darah hampir menyembur keluar dari mulutnya.   Tanpa tertahan si orang berkedokpun berseru kaget.   Si manusia bebas tertawa dingin, ia mundur satu langkah sembari berkata.   "Sekarang sambutlah jurus kedua."   Dua tangannya terayun lagi, gelombang angin pukulannya bagai gugur gunung menerjang dahsyat kearah Suma Bing.   Suma Bing mengertak gigi, seluruh kekuatan Kiu yang sin kang tersalurkan dikedua telapak tangannya menyambut pukulan lawan secara keras.   Benturan keras menggelegar memekakkan telinga, awan terapung disekitar mereka ikut tergulung menyiak keempat penjuru, saking dahsyat benturan pukulan mereka, batu2 gunungpun berguguran.   Tubuh Si gwa sian jin bergoyang gontai akhirnya terhuyung mundur satu tindak, wajah tuanya berobah merah padam membeku.   Suma Bing sendiri kontan jatuh terjerembab duduk diatas tanah, dua baris darah segar meleleh keluar dari ujung mulutnya, airmukanya pucat pias sangat mengenaskan.   Si orang berkedok mengeluh dalam hati.   Sekarang Suma Bing sudah terluka berat, bagaimanapun takkan mampu menyambuti pukulan ketiga, baru saja ia hendak maju membantu, Suma Bing sudah terhuyung2 bangkit dan bertindak maju tiga langkah, suaranya gemetar hampir tak terdengar.   "Silahkan lancarkan jurus ketiga."   Tak urung Si gwa sian jin tergerak sanubarinya, serunya dengan nada berat.   "Buyung, kau mempertaruhkan jiwamu?"   "Harap tuan segera turun tangan", teriak Suma Bing geram. Si gwa sian jin mengangguk kepala, kedua tangannya bergerak...   "Saudara kecil, sudahlah, mari kita turun gunung,"   Seru orang berkedok lesu penuh kepedihan.   "Tidak!"   Sahut Suma Bing tegas. "Inilah jurus ketiga!"   Bentak Si gwa sian jin.   Kedua tangannya disodokkan keras2.   Damparan angin badai lebih deras menyambar bagai guntur seperti hujan badai.   Cepat2 si orang berkedok memalingkan muka, tak kuat hatinya menyaksikan sahabatnya mati konyol.   Dalam pada itu Suma Bing juga sudah himpun seluruh sisa tenaganya, kedua tangannya pun menyapu kedepan menyambuti pukulan musuh secara keras.   'Bum' ditengah suara mengguntur dari benturan dua tenaga dahsyat, tubuh Suma Bing terbang bagai layang2 yang putus benangnya, darah berhamburan ditengah udara.   'Blang' tubuhnya melurus jatuh keatas tanah kebentur batu gunung.   Sekali berkelebat gesit sekali si orang berkedok menubruk maju hendak menolong.   "Berhenti!"   Segera si orang berkedok menghentikan langkah, dan tanyanya gemetar.   "Apa maksud Cianpwe?"   "Dia sudah kalah!"   "Ya, memang aku tidak menyangkal bukan."   Saat mana Suma Bing merasakan seluruh tulang belulangnya terasa sakit bagai copot ruasnya, kupingnya mendengung pandangannya gelap bintang kecil2 beterbangan didepan matanya, meski demikian watak kerasnya masih berusaha untuk mengobarkan semangatnya, seolah2 sebuah suara berkata dalam benaknya.   kau jangan mati, jangan kau menyeret si orang berkedok mengorbankan jiwanya, maka dengan kedua tangannya ia menahan tubuh.   Ia berusaha berlutut lalu punggung mengelendot dibatu gunung perlahan2 bangkit berdiri.   "Saudara kecil, kau!"   Seru si orang berkedok dengan suara gemetar.   Si gwa sian jinpun tidak ketinggalan berseru kaget, rambut dan jenggotnya ber-gerak2 bahna heran dan kagumnya melihat kebandelan si bocah muda ini.   Bibir Suma Bing ber-gerak2 entah hendak mengatakan apa, tapi suaranya tidak terdengar, 'buk' tubuhnya jatuh lagi diatas tanah tanpa bergerak lagi.   Bukan kepalang kaget si orang berkedok, cepat2 ia menubruk maju dengan tangannya dirabanya denyut nadi darah Suma Bing, sekarang baru lega hatinya.   Namun bila teringat ucapan yang pernah diucapkan oleh manusia bebas tadi hatinya pilu.   Mendadak Si gwa sian jin memutar balik badannya dan berlarian cepat melesat keatas puncak.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sungguh si orang berkedok tidak habis mengerti apa yang dikandung dalam benak orang aneh itu.   Tadi dia mengatakan kalau Suma Bing kuat menahan tiga kali pukulannya rumput ular segera dipersembahkan tanpa syarat namun kini walaupun Suma Bing belum menemui ajalnya tapi terluka berat sekali, apakah ini sudah terhitung lulus dalam ujian, maka segera dikeluarkan beberapa pulung obat lalu dijejalkan kedalam mulut Suma Bing.   Tidak lama kemudian Si gwa sian jin telah balik kembali ditangannya menggenggam sebatang rumput aneh berwarna putih bening bagai batu giok, batang pohon itu berupa daun delapan lembar, dan berbuah sebesar ibu jari dan berwarna hitam.   Hal ini diluar dugaan si orang berkedok, termenung2 dia memandangi orang entah apa yang harus diucapkan.   Sambil mengangkat tangannya si manusia bebas berkata.   "Inilah Coa hun cau, rumput ular ini adalah obat paling aneh, mustajab dan tak ternilai, sudah tumbuh selama seribu tahun lamanya, kalau ditelan bersama buahnya, begitu khasiatnya merembes keseluruh semua urat nadi dan jalan darah, tubuhnya akan kebal segala racun..."   Dalam ber-kata2 itu ia sudah berjongkok disamping tubuh Suma Bing lalu menjejalkan seluruh batang rumput ular itu kedalam mulut Suma Bing, lalu mengurut beberapa kali ditulang jidatnya terus menutuk pula jalan darah Hok thin hiat.   Kini legalah hati si orang berkedok, lantas tercetus pula katanya.   "terima kasih sebesarnya atas bantuan Cianpwe ini."   Mata Si gwa sian jin membalik, mendelong ia awasi si orang berkedok katanya.   "Tidak perlu terima kasih apa segala, kalau bukan sifat sesat bocah ini menyenangkan hatiku. Lohu tidak akan mengorbankan rumput ular ini, sekarang kau bawalah dia pergi carilah sebuah gua, dua jam kemudian bukalah jalan darahnya, begitu rumput ini masuk kedalam perutnya tentu bekerja khasiatnya dan dia akan merasakan suatu siksaan yang hebat sekali..."   Si orang berkedok tunduk dan patuh, sahutnya.   "Hal ini wanpwe sudah mendapat tahu..."   "Apa kau sudah mengerti?"   "Sedikit banyak aku sudah paham."   "Kalau begitu cepatlah pergi!"   Segera si orang berkedok membungkuk tubuh terus memanggul Suma Bing dibawa turun gunung.   Setelah berlarian sekian lamanya tibalah dia disebuah puncak tinggi, mendongak keudara ia menyedot hawa dalam2, perasaaannya lega dan nyaman bagai baru saja terlepas dari belenggu.   Dia harus segera menemukan sebuah gua untuk segera memberi pertolongan pada Suma Bing.   Mendadak didapatinya dipuncak sekitarnya ada bayangan beberapa orang berkelebatan hatinya menjadi gelisah dan gugup, kalau mereka itu anakbuah Bwe hwa hwe yang mengikuti jejaknya, maka sukarlah dibayangkan akibatnya.   Luka berat Suma Bing belum tersembuhkan, khasiat obat rumput ular akan segera bekerja pula.   Dengan pengalaman pahit digunung Ceng seng tempo hari, tentu Bwe hwa hwe mencurahkan seluruh tenaganya.   Kalau hanya dirinya seorang pasti gampang untuk mengundurkan diri, tapi kalau dibebani Suma Bing yang pingsan ini berbeda pula persoalannya.   Sejenak ia menyapu pandang keempat penjuru melihat keadaan sekitarnya terus berlari memasuki sebuah lembah disamping sebelah kanan sana.   Supaya jejaknya tidak konangan oleh orang lain dia menyusup diantara semak belukar, setelah bersusah payah sekian lamanya baru dia tiba dibawah lembah, disini ia berhenti sejenak memperhatikan sekelilingnya lantas maju terus kedepan...   "Berhenti!"   Mendadak suara dingin terdengar menghentikan langkahnya.   Sungguh terkejut si orang berkedok bukan kepalang, segera ia menghentikan langkahnya dan membalik kearah dimana suara itu terdengar.   Maka terlihat olehnya seorang nenek2 beruban dengan wajah yang merah bagai air muka seorang bayi dengan angkernya berdiri dua tombak jauhnya disebelah sana.   Dibelakang nenek tua ini berdiri pula seorang gadis ayu molek mengenakan pakaian serba putih.   Si nenek bukan lain adalah Pek hoat sian nio, sedang gadis dibelakangnya itu adalah Ting Hoan.   Bahwa Pek hoat sian nio muncul ditempat itu benar2 diluar persangkaannya.   Melihat yang muncul ini bukan orang dari golongan Bwe hwa hwe legalah hati si orang berkedok, segera ia memberi hormat sambil berkata.   "Kiranya Sian nio telah tiba, harap terimalah hormat cayhe."   "Tidak perlu banyak peradatan."   "Sian nio memanggil cayhe, entah ada petunjuk apa?"   "Beritahukan namamu" "Nama cayhe sudah lama kulupakan, harap suka dimaafkan."   "Apa yang kau panggul itu adalah Suma Bing?"   Si orang berkedok terhenyak ditempatnya, sahutnya.   "Memang, inilah Suma Bing adanya."   "Apa hubunganmu dengan dia?"   "Sahabat karib."   "Baik sekarang kau letakkan dia, berikanlah kepadaku!"   Si orang berkedok mundur selangkah dengan kaget, tanyanya menegasi.   "Berikan kepada Sian nio, kenapa?"   "Kenapa kau tidak perlu tahu, letakkan dan tinggal pergi."   "Kalau Sian nio tidak terangkan sebabnya, tak mungkin cayhe melulusi."   "Apa kau berani membangkang?"   Saking gugup keringat membanjir ditubuh si orang berkedok, tahu dia bahwa dirinya terang bukan lawan Pek hoat sian nio, mungkin juga muridnya saja ia takkan mudah mengatasi.   Akan tetapi bagaimanapun juga dia tidak bisa menyerahkan Suma Bing kepada orang, sekilas ia berpikir lalu katanya.   "Saat ini Suma Bing tengah terluka berat dengan kedudukan dan nama Sian nio, tidak seharusnya memaksa orang disaat kesusahan?"   Berobah air muka Pek hoat sian nio mendengar cerita ini, katanya.   "Seumpama dia tidak terluka juga tak mungkin bisa lolos lari tanganku, tiada alasan aku memakai apa segala".   "Itu lain persoalan, tapi sekarang kenyataannya dia terluka berat."   Benar2 si orang berkedok tak habis mengerti mengapa Pek hoat sian nio demikian kukuh menghendaki dirinya menyerahkan Suma Bing, dendam baru atau permusuhan lama atau juga... entahlah dia tidak tahu, maka segera ia membantah.   "Aku takkan menurut."   "Benar2 kau membandel?"   "Terpaksa aku harus berbuat demikian."   "Kau tahu apa akibatnya?"   Ucapannya ini mengandung ancaman yang serius. Si orang berkedok tertawa gelak2, katanya penuh keharuan.   "Kau minta aku dengar perintahmu, kecuali napasku sudah berhenti."   Kata Pek hoat sian nio dengan ketusnya.   "Mengambil nyawamu segampang membalikkan tangan, kau tidak sukar mencari kematian."   Melihat tiada harapan lagi berkobarlah amarah si orang berkedok, serunya murka.   "Pek hoat sian nio, tidak malukah kau menamakan diri sebagai datuk persilatan, tidak malu kau ditertawakan sesama kaum Kangouw. Memang aku bukan tandinganmu, tapi sebagai seorang kawan yang setia kau harus mencabut nyawaku dulu, kalau tidak aku takkan lepas tangan."   Wajah si gadis pakaian putih Ting Hoan pun penuh kekuatiran, bibirnya sudah bergerak hendak bersuara tapi kata2nya ditelannya kembali.   Kebetulan pada saat itulah dari puncak bukit sebelah sana berkumandang sebuah suitan nyaring tinggi yang mendebarkan hati orang.   Wajah Pek hoat sian nio kembali seperti sedia kala, tangan diulapkan dia berkata.   "Kali ini terpaksa kulepaskan dia, Mari berangkat!"   Si orang berkedok insaf bahwa banyak orang2 kaum persilatan tengah berkumpul disekitar situ, mungkin ada sesuatu kejadian penting telah terjadi.   Sudah tentu Pek hoat sian nio juga salah satu diantara mereka.   Bermula disangkanya orang2 Bwe hwa hwe yang menguntit dirinya, sekarang kenyataan membuktikan bahwa prasangkanya tadi salah.   Dalam saat ini dia tidak perlu tahu mengapa gembong2 persilatan itu berkumpul disini yang penting ia memikul tugas menyelamatkan jiwa Suma Bing maka cepat2 ia berlari semakin dalam kearah lembah.   Tidak lama kemudian ia menemukan sebuah gua, bergegas ia menerobos masuk lalu merebahkan Suma Bing diatas tanah, di-hitung2 waktunya kira2 tepat dua jam sejak ia meninggalkan tempat Si gwa sian jin, tanpa me-nunda2 lagi segera ia menutuk jalan darah Hek thin hiat ditubuh Suma Bing, lalu duduk diluar gua ber-jaga2.   Tidak lama kemudian Suma Bing mulai siuman, terasa mulutnya kering, jalan darah dan seluruh urat nadi dalam tubuhnya terasa melar mengembang bagai hendak meledak.   Sekuat tenaga ia coba bertahan lalu meng-amat2i tempat apakah itu, didapatinya dirinya rebah didalam sebuah gua, si orang berkedok tengah duduk terpekur dimulut gua, baru saja ia hendak membuka mulut memanggil, seluruh tubuh mendadak mengejang, lalu disusul beberapa jalur hawa dingin merangsang kepelbagai jalan darah dan nadinya.   Sakitnya bagai beribu jarum menyusup kepelbagai anggota tubuhnya.   Saking kesakitan tak tertahan lagi ia bergulingan diatas tanah, mulutnya mengeluarkan pekik dan merintih tak henti2nya.   Bagai tidak mendengar apa2 si orang berkedok tetap tenang duduk dimulut gua.   Kira2 setanakan nasi kemudian suara Suma Bing sudah serak dan tak kuasa lagi bergerak, ia rebah terlentang lemas didalam gua.   Segera si orang berkedok merogoh keluar tiga butir obat semua dijejalkan kedalam mulutnya, lalu secepat kilat beruntun ia menutuk tiga puluh enam jalan darah penting diseluruh tubuh Suma Bing.   Katanya.   "Saudara kecil, kerahkan tenaga murnimu bantulah obat bekerja."   Sekuat tenaga Suma Bing bangkit berduduk, terasa didalam pusarnya ada tiga macam hawa hangat yang ber-beda2 perlahan2 menjalar keatas, cepat2 ia kerahkan tenaga murni menuntun ketiga hawa hangat itu berputar menyeluruh kedalam tubuhnya, tiga kali putaran kemudian lambat laun terlupakanlah apa yang tengah dialaminya.   Si orang berkedok masih tetap berjaga dimulut gua dengan tekunnya.   Kalau disekitar pegunungan situ terang muncul jejak gembong2 silat yang tak terhitung banyaknya, tentu ada kemungkinan mereka bisa menerjang datang kemari, keadaan Suma Bing tengah mencapai tingkat yang paling gawat tidak boleh terganggu oleh apapun yang bisa mengagetkan.   Sebuah suitan nyaring bergema lama ditengah udara, tak berapa lama kemudian dari empat penjuru angin terdengar juga penyambutan suitan yang riuh rendah, apa yang tengah terjadi itu benar2 membuat pendengarnya tegang dan merinding.   Yang lebih mengejutkan bahwa suitan nyaring tadi terdengar diatas puncak dimana si orang berkedok dan Suma Bing tengah bersembunyi didalam gua.   Setelah sirapnya berbagai suitan tadi lalu disusul suara bentakan yang bergantian.   Terang kalau dipuncak bukit itu tengah terjadi suatu pertempuran dahsyat, tapi entah peristiwa apa yang telah terjadi.   Si orang berkedok nanar memandang keluar gua.   Hatinya pedih dan risau, bergantian iapun mengawasi keadaan Suma Bing.   Sebuah suara pekik panjang menggiriskan menyadarkan renungan si orang berkedok, jelas bahwa sudah ada yang terluka atau mati dalam pertempuran diatas bukit itu.   Tak lama kemudian disusul lagi sebuah teriakan panjang bergema dalam lembah itu sebuah bayangan manusia meluncur dari atas bukit bagai meteor jatuh.   Tanpa terasa merinding bulu kuduk si orang berkedok dengan penuh perhatian ia menunggu apa yang bakal terjadi.   'Bum' bayangan hitam itu berdentam terbanting beberapa tombak jauhnya dari gua sana terus tak bergerak lagi.   Si orang berkedok menghela napas panjang, gumamnya.   "O, kiranya sebuah mayat entah siapa yang memukulnya jatuh kedalam lembah, siapakah orang yang mati itu?"   Meski hatinya ingin tahu dan penuh curiga, tapi dia tidak berani meninggalkan gua untuk pergi memeriksa, keadaan Suma Bing sudah mencapai titik gawat yang terakhir keselamatan orang menjadi tanggung jawabnya! 'Blang' Lagi2 sebuah mayat terkapar jatuh diluar gua karena agak dekat si orang berkedok dapat melihat tegas siapa mayat itu, hampir saja ia berseru kaget sebab dari pakaiannya yang bercorak aneh itu diketahuinya bahwa si korban ini adalah gembong penjahat yang sudah biasa malang melintang ditujuh propinsi selatan yaitu Ngo jay bin eng Lu Pek.   Lwekang dan kepandaian elang sakti panca warna ini merupakan tokoh terkemuka dikalangan Kangow tapi toh kena dirobohkan dan terbanting mampus didalam jurang, maka dapatlah dibayangkan orang2 yang bertempur diatas bukit itu tentu bukan gembong2 silat sembarang tingkat.   Jelas yang diketahui Pek hoat sian nio adalah salah satu diantaranya.   Suara bentakan nyaring masih ber-ulang2 terdengar, sang surya sudah mulai doyong kebarat, keadaan dalam lembah sudah mulai remang2, pada saat itulah Suma Bing sudah selesai dalam pengobatannya, bergegas ia melompat bangkit dari atas tanah.   Sungguh girang si orang berkedok sukar dilukiskan dengan kata2, ter-sipu2 ia maju menyongsong sambil berseru girang.   "Saudara kecil, kuberi selamat kepadamu."   Suma Bing melengak katanya.   "Selamat, apakah maksudmu?"   "Lwekangmu sudah pulih menyeluruh, malah tubuhmu kini tidak takut lagi menghadapi segala racun berbisa, hal ini selalu merupakan keinginan semua kaum persilatan yang susah dicapai."   "Aku tidak mengerti apa yang kau maksud!"   "Si gwa sian jin telah menjejalkan seluruh batang rumput ular bersama buahnya kepadamu, maka bukan saja racun Pek ji kui yang mengeram dalam tubuhmu sudah punah sama sekali, malah sejak kini tubuhmu menjadi kebal dan tidak takut lagi pada segala racun berbisa."   Lalu si orang berkedok bercerita secara ringkas.   "Bong bian heng, lagi2 aku berhutang budi yang susah dapat kubalas"   "Saudara kecil, tak usah kau mengambil dalam hati semua urusan kecil itu, mungkin juga pada suatu hari kelak lebih banyak permintaan bantuanmu kepadaku."   "Eh, suara apakah itu?"   "Diatas puncak itu tengah terjadi pertempuran sengit."   "Terjadi peristiwa apakah?"   "Entahlah, Pek hoat sian nio dan muridnyapun diantara mereka, malah ada dua mayat manusia yang terjatuh diluar gua sana."   Mendengar nama Pek hoat sian nio berkobarlah amarah Suma Bing, segera ia berseru.   "Mari kita coba lihat keatas."   "Saudara kecil, Pek hoat sian nio agaknya ada permusuhan apa dengan kau. Sebelum memasuki lembah ini tanpa di- sangka2 kita pernah bertemu, dengan keras dia minta supaya kau diserahkan kepadanya, aku berkukuh tak melulusi, untung sebuah suitan panjang menggugah maksudnya semula."   "Aku sendiri juga belum jelas sebab musababnya, tapi teka teki ini akhirnya pasti harus kupecahkan". Begitu mereka keluar gua kedua mayat itu masih menggeletak disana, salah seorang adalah seorang laki2 pertengahan umur yang mengenakan jubah sutra panjang. Seorang yang lain adalah seorang tua yang berpakaian serba ungu didepan dadanya tersulam sekuntum bunga besar warna hitam. Menunjuk mayat laki2 pertengahan umur itu si orang berkedok berkata.   "Itulah Ngo jay sin eng Lu Pek, tak terduga seorang gembong penjahat besar akhirnya musti mati ditempat ini tanpa tempat liang kubur yang tepat."   Tidak ketinggalan Suma Bing pun menyapu pandang kearah mayat lainnya, seketika ia berseru kaget.   "Diakan seorang tokoh Bwe hwa hwe yang berjuluk It Cian to hun Ciu Eng lian."   "Wah, kalau begitu tentu terjadi pertemuan tingkat tinggi diatas sana,"   "Marilah lekas pergi melihat."   "Mari!"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Berbareng mereka melejit dengan kecepatan susah diukur langsung menuju keatas puncak, terlihat sebidang tanah datar diatas puncak bayangan manusia tengah berseliweran, bentakan2 nyaring masih terdengar saling susul.   Suma Bing berdua bermain sembunyi dibelakang dahan pohon, per-lahan2 mereka menggeremet maju mendekat, akhirnya sembunyi dibelakang sebuah batu besar.   Gelanggang pertempuran sudah banjir darah, ber-puluh2 mayat bergelimpangan bertumpuk dipinggir arena pertempuran.   Saat mana Pek hoat sian nio tengah bertempur melawan seorang tua yang berwajah bengis dengan rambut dan jenggotnya berwarna merah.   Si orang berkedok berbisik kepada Suma Bing.   "Dilihat naga2nya musuh yang tengah mereka hadapi adalah Tang mo."   "Tang mo? Orang tua rambut merah itu?"   Seketika bergolak darah Suma Bing, timbullah nafsu membunuh dalam benaknya, saking bernafsu tubuhnya sampai gemetar hebat.   Sebab Tang mo adalah salah satu dari pengeroyok yang membinasakan ayah bundanya, satu2nya hal yang dapat diketahui ialah bahwa Pedang darah itu kini berada ditangan bangsat durjana ini.   12.   TANG MO = IBLIS TIMUR DIBIKIN KEOK Si orang berkedokpun telah melihat perobahan sikap Suma Bing yang aneh ini, tanyanya heran.   "Saudara kecil, ada apa kau?"   "Iblis timur ini harus kubunuh!"   Desis Suma Bing sambil mengertak gigi.   "Apa, kau hendak membunuh Iblis timur, ada permusuhan apakah kau dengan Tang mo?"   "Dendam sakit hati sedalam lautan."   "Tapi dengan kemampuanmu sekarang, mungkin kau masih bukan tandingan Tang mo?"   "Terpaksa aku harus nekad."   Sahut Suma Bing penuh kebencian.   "Saat ini belum menguntungkan kau untuk bergerak."   "Kenapa?" "Pek hoat sian nio belum puas sebelum dapat meringkus kau. Dan lagi apa kau sudah perhatikan baju ungu disebelah timur itu?"   Waktu Suma Bing menyapu pandang ketempat yang ditunjuk, tanpa terasa ia melonjak kaget dan berseru.   "Bwe hwa hwe tiang!"   "Benar, orang inipun takkan melepaskan kau, ketahuilah bahwa lwekang ketiga orang ini jauh diatas kepandaianmu"   Suma Bing ganda mendengus tanpa buka suara lagi.   Gerak gerik kedua orang ditengah gelanggang kini berobah semakin lambat, lama sekali baru melancarkan satu jurus, namun setiap jurusnya adalah ajaran2 silat tingkat tinggi yang lihay, asal salah satu pihak berlaku sedikit lalai, hidup atau mati segera akan menentukan, sebab pertempuran macam demikian adalah lebih seram dan berbahaya.   Mendadak Tang mo berteriak panjang, kedua tangan bergerak melintang terus disurung maju, gerak serangannya ini aneh menakjubkan dan keras luar biasa.   Dalam waktu yang bersamaan Pek hoat sian nio juga melancarkan sebuah pukulannya, perbawanya bagai kilat menyambar dan guntur menggelegar.   Dua belah pihak sama2 melancarkan serangan tanpa salah satu pihak mau mengalah atau robah cara permainannya untuk bertahan misalnya.   Sebab inilah cara bertempur untuk gugur bersama, seakan kedua belah pihak mempunyai dendam kesumat sedalam lautan sebelum salah satu pihak menemui ajal takkan berhenti.   'Blang, bum!' dua kali ledakan menggoncangkan sekitar gelanggang pertempuran, diselingi suara pekik tertahan dua bayangan orang terpental mundur berbareng, para penonton pun ikut berseru kaget.   Kalau Pek hoat sian nio terhuyung hampir roboh, darah mengalir dari ujung bibirnya.   Adalah Tang mo menyemburkan darah, tubuhnya mundur setombak lebih dan untung masih kuat berdiri diatas tanah.   Sebuah bayangan berkelebat, tahu2 Ketua Bwe hwa hwe sudah berdiri diantara Pek hoat sian nio dan Tang mo.   Terdengar ia berkata dingin penuh ancaman.   "Tang mo, serahkan saja kepadaku, kenyataan sudah membuktikan kalau kau serahkan Pedang darah itu pasti jiwamu dapat terjamin, atau sebaliknya kau akan kehilangan segalanya, pedang dan jiwamu amblas keduanya."   Tergetar seluruh tubuh Suma Bing, desisnya mengertak gigi.   "Mereka tengah memperebutkan Pedang darah."   "Kiranya Pedang darah masih berada ditangan Tang mo, jelas bahwa kabar dikalangan Kangouw yang mengatakan Pedang darah itu terjatuh ditangan Mo san ji kui adalah bohong belaka!"   Perasaan hati Suma Bing susah dilukiskan, Pedang darah seharusnya menjadi hak milik ajahnya, dan ayah bundanya pun mati lantaran benda itu, dia sendiripun hampir direnggut oleh elmaut.   Sakit hati harus dibalas, Pedang darah juga harus direbut kembali.   Lantas teringat juga pesan suhunya sebelum ajal...   Pedang darah, Bunga iblis capailah pelajaran silat yang tiada taranya itu, untuk menuntut balas dan mencuci baik nama perguruan...   Belum habis pikirannya, terdengar Tang mo perdengarkan suara tawa menggila bagai lolong serigala seperti pekik orang hutan pula, lalu serunya.   "Kau ini terhitung barang macam apa?"   Ketua Bwe hwa hwe menyeringai dingin, katanya.   "Aku yang rendah inilah ketua Bwe hwa hwe."   "Silahkan tuan mundur!"   Jengek Pek hoat sian nio.   "Mengapa?"   "Urusanku dengan Tang mo belum selesai." "Hahahahaha, tidakkah salah ucapan sian nio ini, barang berharga yang tiada pemiliknya siapapun yang melihat dia harus mendapat bagian semua kawan yang hadir hari ini tujuannya adalah benda itu, jadi bukan kita saja yang ingin merebutnya."   "Siapa bilang Pedang darah tiada pemiliknya?"   "Apa mungkin menjadi milik Sian nio?"   "Kenapa tidak mungkin!"   "Hahaha, meskipun nama Pek hoat sian nio diseluruh jagad raya, tapi semua orang bukan bocah umur tiga tahun!"   "Jadi kau sudah pasti penujui Pedang darah itu?"   "Aku tidak perlu menyangkal."   "Kalau begitu silahkan kau turun tangan."   "Maaf aku berlaku kurang hormat."   Wajah Bwe hwa hwe tiang tertutup oleh kedoknya, bagaimana wajah asli atau perobahan mimiknya sukar diketahui, namun dari sinar matanya dan nada ucapannya sangat garang tanpa banyak cakap lagi langsung ia ulurkan tangannya terus mencengkeram kearah pinggang Iblis timur.   Cara cengkramannya sangat keji dan cepat luar biasa menciutkan nyali orang.   Sebagai salah satu tokoh dari Bu lim su ih, meskipun sudah terluka parah namun Lwekangnya masih bukan olah2 hebatnya, tangan kiri melintang menangkis cengkraman ketua Bwe hwa hwe, berbareng tangan kanan bergerak miring menghantam muka lawan.   Juga dalam saat yang sama Pek hoat sian nio melancarkan sebuah serangan.   Seumpama kepandaian Ketua Bwe hwa hwe setinggi langitpun takkan berani menangkis serangan berbareng dari dua tokoh silat tingkat wahid, sebat sekali ia menggeser kedudukannya lima kaki kebelakang.   Terpaksa Pek hoat sian nio merobah gerakannya meneruskan serangannya merangsang kearah Tang mo yang kebetulan berada tepat dihadapannya 'biang,' begitu saling bentur kontan mereka terpental mundur, mulut Tang mo lagi2 menyemburkan darah segar.   Kesempatan ini tidak disia2kan oleh Ketua Bwe hwa hwe sambil berseru memperingatkan langsung ia menyerang kearah Pek hoat sian nio.   Bergulung2 gelombang angin badai mendampar deras kearah Pek hoat sian nio.   Melejitkan tubuh Pek hoat sian nio menyingkir sejauh satu tombak, selamatlah dia dari rangsangan pukulan musuh yang mengejutkan ini.   Hebat memang kepandaian Ketua Bwe hwa hwe sedetik kemudian tubuhnya sudah berputar sebat sekali mengirim sebuah jotosan kearah Tang mo juga.   Sudah sekian lama Tang mo terkepung dan dikeroyok, seumpama dewapun akhirnya pasti kelelahan, apalagi tubuhnya sudah terluka parah, mana kuat menahan serangan tenaga baru ini.   Sambil mengeluarkan pekik kesakitan sangat mulutnya menyemprotkan darah segar, badannya terpental mundur dan akhirnya jatuh duduk diatas tanah.   Tempat dimana ia terjatuh kebetulan dipinggir kalangan pertempuran.   Dua bayangan manusia dari kiri kanan segera menubruk maju kearahnya.   "Mencari mati!"   Bentak Ketua Bwe hwa hwe dan dengan kecepatan yang paling cepat tubuhnya mendesak maju sambil kirim serangan masing2 menghantam kearah dua bayangan yang menubruk kearah Tang mo.   Kontan terdengar suara jeritan ngeri dua bayangan manusia itu terhantam terbang kekanan kiri sejauh setombak lebih, setelah kelejetan beberapa kali akhirnya diam tak bergerak untuk se-lama2nya.   Kiranya bayangan orang yang mati itu seorang adalah Tosu dan yang lain adalah seorang tua berpakaian baju sutera abu2.   Suara si orang berkedok gemetar.   "Kepandaian Ketua Bwe hwa hwe benar2 mengejutkan, Sam Gan Tojin dan Tiong ciu it ok bukan kaum keroco, siapa tahu setengah jurus saja tak kuat melawan."   Menyaksikan adegan pertempuran hebat ini kecut hati Suma Bing, naga2nya semua tokoh yang hadir tiada seorangpun yang menjadi tandingan ketua Bwe hwa hwe.   Dan semua hadirin kecuali anak buah Bwe hwa hwe tiada yang tak tergetar kaget dan ciut nyalinya.   Dengan pandangan dingin ketua Bwe hwa hwe menyapu pandang keempat penjuru seolah2 dia hendak berkata, siapa lagi yang berani turun tangan biar kubikin mampus.   Lalu dengan nada penuh ejek ia berkata kepada Tang mo.   "Tuan sebagai salah satu dari Bu lim su ih mengapa pandanganmu sedemikian cupat?"   Tang mo mendongak dan mengeluarkan suara tawa kecut, lalu dari dalam bajunya dikeluarkan sebilah pedang kecil sepanjang satu kaki.   "Pedang darah!"   Seru Suma Bing sambil bangkit berdiri.   "Kau hendak apa?"   Tanya si orang berkedok sambil menarik tangannya.   "Pedang darah itu tidak akan kubiarkan terjatuh ketangan ketua Bwe hwa hwe!"   Se-konyong2 dari sebelah belakangnya terdengar sebuah suara halus tapi dingin kaku berkata.   "Legalah hatimu, dia takkan berhasil!"   Suma Bing dan si orang berkedok terkejut bersama, orang bicara begitu dekat tanpa diketahui kapan dia datang.   Waktu mereka berpaling tampak dipinggir sebuah batu besar sejauh dua tombak berdiri tegak seorang wanita berwajah ayu jelita, sanggul rambutnya dihiasi penuh mutiara yang berkemilau ditimpa sinar bintang2.   Sekilas Suma Bing mengamati wanita itu lalu berpaling lagi mengawasi gelanggang pertempuran.   Tatkala itu, sorot mata semua hadirin tengah terbelalak memandang kearah pedang kecil ditangan Tang mo itu, suasana gaduh segera sirap menjadi hening lelap seumpama jarum jatuhpun dapat terdengar, se-olah2 pernapasan semua orang terhenti seketika.   Wanita ayu penuh hiasan itu berkata lagi memecah kesunyian.   "Tuankah yang bernama Suma Bing?"   Suma Bing melengak, membalik tubuh ia menyahut.   "Ya, tidak salah."   "Kau murid Sia sin Kho Jiang?"   "Benar harap tanya..."   Se-konyong2 terdengar seruan kaget riuh rendah dalam gelanggang pertempuran disusul sebuah lolong jeritan yang mengerikan.   Cepat2 Suma Bing memutar balik, kini bayangan Tang mo sudah tidak kelihatan lagi olehnya, Pedang darah itupun terlempar jatuh ditengah gelanggang, disamping Pedang darah itu rebah sesosok mayat manusia.   Ber-ulang2 ketua Bwe hwa hwe perdengarkan tawa dingin, lalu serunya lantang.   "Masih ada kawan siapa lagi yang ingin mengambil pedang kecil ini?"   Berulang tiga kali ia bertanya tanpa penyahutan atau reaksi apapun.   Maka segera ia melangkah maju membungkuk tubuh mengulur tangan hendak menjemput Pedang darah itu.   Pada detik sebelum tangan ketua Bwe hwa hwe menyentuh Pedang, se-konyong2 sejalur gelombang angin menggulung kearah Pedang darah itu hingga terkisar satu tombak lebih.   Ketua Bwe hwa hwe melengak dan cepat2 angkat kepala tanpa tertahan ia berseru kejut dan katanya.   "O, kau tuan?"   "Ya, tak duga kita berjumpa lagi tanpa berjanji sebelumnya, hehehehehe..."   Orang yang baru muncul ini kiranya adalah manusia serba hitam termasuk pakaian dan kulit tubuhnya, ditengah kegelapan malam yang mendatang ini rupa dan bentuk tubuhnya itu sungguh menyeramkan dan menakutkan.   Kontan semua hadirin tergetar kaget dan ber-tanya2 siapakah gerangan manusia aneh ini.   Si orang berkedok menyentuh tubuh Suma Bing serta berbisik.   "Apa kau tahu siapakah manusia aneh itu?"   "Tidak tahu!"   "Dialah Tok tiong ci tok!"   "Jadi inilah manusia yang menggunakan Racun tanpa bayangan membunuh adik Siang Siau hun dan Li Bun siang itu? Hm, biar segera kutempur dia."   "Jangan kesusu, nantikanlah bagaimana ketua Bwe hwa hwe hendak menghadapinya!"   Terdengar Racun diracun tertawa aneh, katanya.   "Hwe tiang. Bukankah kau tadi mengatakan benda keramat itu tiada pemiliknya, siapapun yang melihat mendapat bagian?"   Ketua Bwe hwa hwe tertawa lebar, sahutnya.   "Ya, memang aku pernah berkata begitu, apa tuan juga ada minat untuk merebut benda keramat itu?"   "Kalau ada bagiannya sudah tentu aku tidak menyia2kan kesempatan ini."   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Tuan jangan lupa semua kawan yang hadir juga setujuan dengan kita."   Sinar tajam mata Racun diracun menyapu pandang acuh tak acuh keempat penjuru, akhirnya sinar matanya berhenti pada tubuh Pek hoat sian nio, katanya.   "Apa Sian nio juga ada minat turut merebut?"   Tidak menjawab Pek hoat sian nio berbalik tanya.    Pedang Wucisan Karya Chin Yung Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini