Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti Suling Pualam 18


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 18


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya dari Chin Yung   "Setelah itu bagaimana?"   "Aaaahl"   Tan Liang Tie menghela nafas panjang dan suaranya mulai lemah.   "Dia terus bertanya kepadaku, siapa pembunuh kedua orang tuanya. Aku selalu menjawab tidak tahu. Namun tak terduga sama sekali...."   "Apa yang telah terjadi?"   "Setelah dia berusia dua puluh, secara diam-diam pergi menyelidiki kematian kedua orang tuanya."   "Berhasilkah dia menyelidikinya?"   "Kalau tidak berhasil, tentunya aku tidak akan dirantai di sini."   Tan Liang Tie menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku tidak tahu tentang itu, bahkan juga tidak bercuriga, sebab dia bersikap seperti biasa. Tapi... secara diam-diam dia meracuniku dengan arak."   "Oh?"   Tio Bun Yang terbelalak.   "Setelah minum arak yang disuguhkannya itu aku pun tahu kalau arak itu mengandung racun Aku berusaha mendesak keluar racun itu dengan Iweekangku, tapi cuma berhasil mendesak racun itu tidak menyerang jantungku. Oleh karena itu aku menghimpun lweekangku pada sepasang telapak tanganku." "Paman tua ingin memukulnya?"   "Ya."   Tan Liang Tie mengangguk.   "Karena Iweekangku disalurkan pada sepasang telapak tanganku, maka sekujur badanku jadi lemas. Di situlah Tu Siao Cui muncul sambil tertawa terkekeh-kekeh. Ketika dia mendekat, aku langsung melancarkan sebuah pukulan ke arahnya. Dia memang hebat karena berhasil meloncat ke atas maka pukulanku cuma menghantam sepasang kkaki nya. Dia terpental hingga membentur dinding goa ini, sedangkan aku terkulai dan pingsan."   "Lalu bagaimana?"   "Ketika aku siuman, dia sudah tidak kelihatan Kitab Hian Goan Cin Keng pun lenyap."   Tan Liang Tie menghela nafas panjang.   "Aku yang bersalah, tidak seharusnya aku menyerangnya sebab belum tentu dia akan membunuhku. Disebabkan aku menyerangnya, dia merantai diriku"   "Kejadian yang sungguh tragis!"   Tio Bun Yang Menggelenggelengkan kepala.   "Aku yang bersalah,"   Ujar Tan Liang Tie dengan suara lemah.   "Oh ya, pernahkah engkau mendengar seorang nenek bernama Tu Siao Cui muncul di rimba persilatan?"   "Tidak pernah, tapi aku kenal Kou Hun Bijin-"   Tio Bun Yang memberitahukan.   "Mungkinkah Kou Hun Bijin adalah Tu Siao Cui?"   "Apa?"   Tan Liang Tie terbelalak.   "Engkau kenal Kou Hun Bijin? Dia... dia masih hidup?"   "Kou Hun Bijin masih hidup, ayahku dan dia adalah kawan baik,"   Sahut Tio Bun Yang dan menambahkan.   "Kou Hun Bijin sudah menikah dengan Kim Siauw Suseng. Mereka punya seorang putri yang seusia denganku."   "Oh?"   Tan Liang Tie tampak tertegun, kemudian tertawa gelak.   "Ha ha ha! Kou Hun Bijin telah menikah? Ha ha ha! Kalau Thian Gwa Sin Mo (Iblis Sakti Luar Langit) tahu, dia pasti mati penasaran."   Tio Bun Yang diam. Ia sama sekali tidak kenal Thian Gwa Sin Mo. Siapa Thian Gwa Sin Mo? tidak lain adalah paman guru Tang Hai Lomo, adalah seorang Bu Lim Sam Mo.   "Anak muda,"   Ujar Tan Liang Tie dengan nafas mulai memburu.   "Mungkin Tu Siao Cui telah mati terkena pukulanku, namun aku tetap ingin mohon bantuanmu. Aku harap engkau sudi membantuku!"   "Paman tua, apa yang dapat kubantu?"   Tanyi Tio Bun Yang sungguh-sungguh.   "Setelah aku mati, tolong cari Tayli Sin Ceng' jawab Tan Liang Tie dengan suara semakin lemah dan menambahkan.   "Engkau tidak usah mengubur mayatku, sebab rantai baja ini tidak bisa diputuskan dengan Iweekang, kecuali dengan pedang pusaka."   "Ya."   Tio Bun Yang mengangguk. Ia tahu bahwa ajal orang tua itu telah tiba. Kalau tadi tidak memberikannya pil Sok Beng Tan (Pil penyambung Nyawa), orang tua itu pasti sudah mati.   "Ha ha ha!"   Tan Liang Tie tertawa gembira "Terirnakasih, anak muda..."   Suara tawanya makin lama makin lemah akhirnya tak terdengar dan kepala orang tua itu terkulai.   "Paman tual"   Panggil Tio Bun Yang.   Tan Liang Tie tidak menyahut, ternyata nyawa orang tua itu telah putus.   Tio Bun Yang memandangnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.   Setelah memberi hormat, barulah ia meninggalkan goa itu.   --000odw0ooo-- Dua hari kemudian, Tio Bun Yang telah sampai di sebuah kota.   ketika ia baru mau mampir di kedai teh, mendadak ia mendengar suara gembrengan.   Segeralah ia berpaling, tampak seorang pria berusia lima puluhan dan seorang gadis berusia sekitar tujuh belas berada di pinggir jalan.   Dari pakaian mereka, Tio Bun Yang sudah dapat menerka, bahwa mereka adalah pemain silat keliling.   Walau gadis itu cukup cantik, namun Tio Bun Yang sama sekali tidak tertarik, sebaliknya malah tertarik pada seekor monyet yang bersama mereka.   Oleh karena itu, ia mendekati tempat tersebut Banyak pula orang berkerumun di situ.   "Saudara-saudara sekalian!"   Ujar orang tua itu sambil memberi hormat ke empat penjuru.   "Aku bernama Liok Ah Peng, dan ini adalah putriku, yang bernama Liok Eng Eng. Kami ayah dan anak berasal dari Shantung, mencari nafkah berkeliling mempertunjukkan ilmu silatl Bahkan kami pun menjual obat koyo yang dapat menyembuhkan penyakit encok, salah urat dan luka dalam terkena pukulan."   "Tidak salah"   Sambung gadis bernama Liok Eng Eng itu sambil tersenyum manis.   "Obat koyo itu memang serba guna, harganya tidak begitu mahal."   "Nahl"   Ujar Liok Ah Peng- "Sebelum kami mulai menjual obat koyo itu, terlebih dahulu kami akan mempertunjukkan ilmu silat aliran Shantung."   "Paman-paman dan bibi-bibi sekalianl"   Sen Liok Eng Eng.   "Ayahku akan mempertunjukkan ilmu pukulan yang sangat dahsyat Silakan menyaksikannyal"   Liok Ah Peng segera memberi hormat ke empat penjuru, setelah itu barulah ia mulai mempertunjukkan ilmu pukulan tangan kosong.   Sepasang tangannya bergerak cepat sekali, kemudian berubah menjadi puluhan pasang dan menimbulkan suara yang menderu-deru.   Menyaksikan ilmu pukulan itu, Tio Bun Yan manggutmanggut dan membatin sambil tersenyum Cukup tinggi ilmu silat orang tua itu, begitu pula Iweekangnya! Mendadak terdengar suara tepuk sorak yang riuh gemuruh, ternyata orang tua itu telah usai mempertunjukkan ilmu silatnya.   "Terirnakasih! Terirnakasih..."   Ucap Liok Ah Peng sambil memberi hormat.   "Nahl Sekarang putriku akan mempertunjukkan ilmu pedang. Silahkan menyaksikannya tapi jangan terlampau dekat hati-hati dengan sambaran pedangnya! Ha ha...l"   Liok Eng Eng menghunus pedangnya.   Segera memberi hormat ke empat penjuru, barulah! mulai menggerakkan pedangnya.   Seketika terdengarlah suara sorak-sorai yang riuh gemuruh.   Ternyata badan gadis itu bergerak lemah gemulai, namun pedangnya bergerak cepat sekali.   Kagum juga Tio Bun Yang menyaksikan ilmu pedang Liok Eng Eng.   Karena itu ia mengeluarkan suling kumalanya, sekaligus meniupnya mengiringi gerakan gadis itu.   Tentunya sangat mengejutkan para penonton, begitu pula Liok Ah Peng dan putrinya.   Mereka berdua langsung memandang ke arah Tio Bun Yang Pemuda itu tersenyumsenyum, sehingga membuat hati gadis itu berdebar-debar aneh.   Justru membuat Liok Ah Peng terkejut bukan main, karena mendadak putrinya mengikuti irama suling itu.   Namun sungguh indah sekali gerakan pedang anak gadisnya itu, sehingga membuat Liok Ah Peng terbelalak menyaksikannya.   Berselang beberapa saat kemudian, suara suling itu berhenti.   Pedang di tangan gadis itu pun ikut berhenti.   Sambil tersenyum Liok Eng Eng memberi hormat ke empat penjuru, lalu memandang Tio Bun Yang dengan mata berbinar-binar, terdengar pula suara tepuk sorak dari para penonton.   "Terirnakasih! Terirnakasih..."   Ucap Liok Ah Teng sambil memberi hormat.   "Putriku telah mempertunjukkan kejelekannya. Kini aku akan suruh monyet itu main akrobat, tentunya akan menggembirakan saudara sandara sekalian."   Liok Ah Peng mengambil sebuah cambuk. Monyet itu tampak ketakutan. Ketika Liok Ah Peng menggerakkan cambuk itu ke bawah, geraian monyet itu bersalto beberapa kali.   "Ha ha ha...   "   Para penunlon tertawa lor babak-babak.   "Lucu sekali monyet itul"   Akan tetapi, setelah bersalto beberapa kali mendadak monyet itu jatuh gedebuk, kemudian bercuit-cuit seakan kesakitan.   Liok Ah Peng tampak gusar sekali dan langsung mengayunkan cambuknya ke arah monyet Itu.   Taar...! Monyet itu tersambar cambuk, sehingga jatuh tergulingguling sekaligus bercuit-cuit kesakitan! Di saat bersamaan, terdengarlah suara bentakan yang mengguntur.   "Jangan siksa monyet itu!"   Ternyata Tio Bun Yang yang membentak gusar.   Betapa terkejutnya para penonton, begitu pula Liok Ah Peng dan putrinya, mereka berdua langsung memandang ke arah Tio Bun Yang.   Pemuda itu menatap gusar ke arah Liok A Peng, kemudian memandang monyet itu sambil mengeluarkan suara cuit-cuit.   Terjadilah hal yang di luar dugaan, karena mendadak monyet itu meloncat ke bahu Tio Bun Yang.   "Sungguh kasihan engkau, monyet kecil!"   Kata Tio Bun Yang sambil membelai belai monyet dengan penuh kasih sayang- Terbelalaklah para penonton dan Liok Ah Peng serta putrinya.   Mereka mengira pemuda itu tidak waras.   Akan tetapi, sungguh mengherankan karena monyet itu kelihatan menurut sekali pada pemuda tersebut.   "Monyet kecil!"   Tio Bun Yang menggeleng-lengkan kepala.   "Engkau masih belum bisa bersalto Lebih baik aku mengajarmu."   Monyet itu bercuit-cuit, tentunya membuat semua orang terheran-heran, begitu pula Liok Ah Peng dan putrinya.   "Monyet kecil, turunlah!"   Ujar Tio Bun Yang. Monyet itu segera meloncat turun. Hal itu membuat Liok Eng Eng terbelalak, karena monyet itu mengerti apa yang dikatakan pemuda tersebut.   "Monyet kecil, kalau berrsalto harus begini...."   Tio Bun Yang memberi petunjuk kepada monyet itu dengan cara menggerak-gerakkan tangannya. Monyet itu manggut-manggut, lalu bersalto mengikuti petunjuk Tio Bun Yang sambil bercuit-cuit. tampaknya gembira sekali.   "Ha ha"   Tio Bun Yang tertawa.   "Monyet kecil, engkau telah berhasil bersalto! Ha ha ha....!"   Para penonton dan Liok Ah Peng serta putrinya menyaksikan itu dengan mata terbeliak lebar dan mulutnya pun ternganga.   "Paman!"   Panggil Tio Bun Yang sambil menghampirinya.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Aku harap mulai sekarang Paman tidak menyiksa monyet kecil itu!" "Anak muda,"   Sahut Liok Ah Peng.   "Aku tidak menyiksanya, melainkan cuma menakuti nya."   "Tapi...."   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Tadi Paman telah memukulnya dengan cambuk."   "Itu karena dia tidak mau bersalto.."   "Monyet kecil itu belum bisa bersalto, namun Paman memaksanya,"   Potong Tio Bun Yang.   "Kalau Paman masih ingin memukulnya, lebih baik aku bawa monyet kecil itu."   "Anak muda"   Liok Ah Peng mengerutkan kening.   "Kami... kami berjanji tidak akan memukul monyet itu lagi!"   Sela Liok Eng Eng dengan wajah agak kemerah-merahan.   "Eng Eng...."   Liok Ah Peng menatapnya heran.   "Engkau...."   "Ayah, mulai sekarang Ayah jangan memukul monyet itu lagi!"   Sahut Liok Eng Eng.   "Kasihan...."   "Baiklah."   Liok Ah Peng tertawa gelak.   "Ayah berjanji, mulai sekarang tidak akan memukul monyet itu lagi!"   "Terimakasih, Paman!"   Ucap Tio Bun Yan lalu bercuit memanggil monyet tersebut. Monyet itu segera mendekatinya. Tio Bun Yang membelainya seraya berkata lembut.   "Monyet kecil, mulai sekarang Paman itu tidak akan memukulmu dengan cambuk lagi, engkau tidak perlu takut."   Monyet itu bercuit-tuit sambil Memandang Tio Bun Yang, kemudian manggut-manggut.   "Monyet kecil"   Liok Eng Eng membelainya.   "Engkau tidak usah takut, mulai sekarang ayahku tidak akan memukulmu lagi dengan cambuk. Percayalah"   Monyet itu diam saja. Tentunya mengherankan gadis itu. Ditatapnya Tio Bun Yang seraya bertanya. "Eh Kenapa monyet kecil itu diam saja?"   "Karena.."   Tio Bun Yang tersenyum.   "Engkau bejum memiliki perasaan kasih sayang kepadanya, maka dia diam saja."   "Oh?"   Liok Eng Eng tertawa geli.   "Jadi... aku harus menyayanginya?"   "Tentu."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Walau dia adalah hewan, namun punya perasaan juga."   "Kalau begitu..."   Ujar Liok Eng Eng sungguh mngguh.   "Mulai sekarang aku pasti menyayanginya"   "Bagus."   Tio Bun Yang manggut-manggut dan berkata kepada monyet tiu.   "Monyet kecil, mulai sekarang nona itu pasti menyayangimu, jadi engkau tidak perlu takut lagi."   Monyet itu bercuit, lalu memandang Liok Eng Eng dengan mata berkedip-kedip, kelihatannya masih kurang percaya kepada gadis itu.   "Monyet kecil, aku berjanji akan menyayangimu, percayalah!"   Ujar Liok Eng Eng sambil tertawa.   "Monyet kecil,"   Ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum.   "Nona itu tidak akan membohongi nah Percayalah!"   Monyet itu manggut-manggut, kemudian mendekati Liok Eng Eng, yang kemudian langsung membelainya.   "Ha ha hal"   Liok Ah Peng tertawa gelak "Baru kali ini aku melihat manusia bisa berbicara dengan monyet! Oh ya, anak muda! Sebetulnya siapa engkau? Kok engkau mengerti bahasa monyet?"   "Namaku Tio Bun Yang, Paman,"   Sahut muda itu sambil tersenyum ramah.   "Sejak kecil aku sudah bergaul dengan monyet, maka aku mengerti bahasanya." "Oh?"   Liok Ah Peng terbelalak.   "Kalau begitu, engkau lahir di dalam hutan?"   "Aku lahir di sebuah pulau."   "Ooohl"   Liok Ah Peng manggut-manggut "Engkau mahir sekali meniup suling, sejak kapan engkau meniup suling?"   "Sejak kecil."   "Kakak Bun Yang..."   Ketika Liok Eng Eng baru mau mengatakan sesuatu, mendadak terdengar suara tawa yang menyeramkan, kemudian melayang turun seseorang bertampang seram pula "He he he! Liok Ah Peng, ternyata engkau berada di sini bersama putrimu! Hari ini kalian berdua tidak bisa kabur lagil He he he.   I' "Shantung Khie Hiap (Pendekar Aneh Shantung)!"   Seru Liok Ah Peng dengan wajah pucat "He he he!"   Shantung Khie Hiap tertawa terkekeh-kekeh.   "Liok Ah Peng, engkau membunuh adik seperguruanku, maka hari ini aku harus membunuhmu!" ---ooo0dw0ooo---   Jilid 8 "Shantung Khie Hiap,"   Sahut Liok Ah Pcng ambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Adik seperguruanmu itu sangat jahat, sering merampok dan memperkosa....' "Diam!". bentak Shantung Khie Hiap.   "Pokoknya engkau dan putrimu harus mampus hari ini!"   "Shantung Khie Hiap!"   Liok Ah Peng mengerutkan kening.   "Aku tak sengaja membunuhnya, dia... dia terus menyerangku. Lagi pula... dia ingin memperkosa putriku, maka....!"   "Diam!"   Bentak Shantung Khie Hiap gusar.   "Ayoh, cepat keluarkan senjatamu untuk bertarung denganku!"   "Shantung Khie Hiap...."   Liok Ah Pcng menghela nafas panjang.   "Baiklah! Aku akan melawanmu dengan tangan kosong!"   "He he he!"   Shantung Khie Hiap tertawa terkekeh-kekeh.   "Kalau begitu, mari kitu bertarung dengan tangan kosong!"   Sementara Tio Bun Yang diam saja karena tidak mau mencampuri urusan pribadi orang.   Yang paling gembira adalah para penonton, sebab mereka akan menyaksikan suatu pertarungan yang sangat seru.   Pertarungan sudah mulai, yang menyerang duluan adalah Liok Ah Peng.   Shantung Khie Hiap berkelit sekaligus balas menyerang.   Mereka sama sama menggunakan jurus-jurus andalan.   Akan tetapi, puluhan jurus kemudian, Liok Ah Peng mulai di bawah angin.   Menyaksikan itu, pucatlah wajah Liok Eng Eng.   Gadis itu menggenggam pedangnya erat-erat, kelihatannya siap membantu ayahnya.   "Aaaakh!"   Jerit Liok Ah Peng. Ternyata dadanya terkena pukulan Shantung Khie Hiap. Ia terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan mulut menyemburkan darah segar.   "Ayah!"   Teriak Liok Eng Eng sambil mc nyerang Shantung Khie Hiap dengan pedangnya "Ha ha ha!"   Shantung Khie Hiap tertawa gelak.   "Engkau pun harus mampus!"   Liok Eng Eng tidak menyahut.   Gadis itu terus menyerangnya dengan sengit, namun dengan mudah sekali Shantung Khie Hiap berkelit, bahkan mulai balas menyerang dengan tangan kosong.   Tio Bun Yang mendekati Liok Ah Peng, kemudian memasukkan sebutir pil ke dalam mulutnya.   "Terimakasih!"   Ucap Liok Ah Peng.   "Anak muda, tolong selamatkan putriku!"   Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengeluarkan serulingnya sekaligus meniup dengan nada tinggi.   Sungguh mengherankan, begitu mendengar suara suling itu, gerakan pedang Liok Eng eng berubah cepat laksana kilat.   Breeet! Pakaian Shantung Khie Hiap sobek tersabet pedang itu.   Betapa terkejutnya Shantung Khie Hiap.   Cepat-cepatlah ia meloncat ke belakang sambil memandang Tio Bun Yang.   Liok Eng Eng pun menghentikan serangannya lalu melirik Tio Bun Yang dengan mata berbinar-binar.   "Anak muda!"   Seru Shantung Khie Hiap.   "Kenapa engkau mencampuri urusan kami?"   "Maaf, Shantung Khie Hiap!"   Sahut Tio Bun Yang sambil menatapnya tajam.   "Aku cuma membela kebenaran!"   "Hmm!"   Dengus Shantung Khie Hiap dingin "Baik, mari kita bertanding! Kalau engkau mampu mengalahkan aku, aku berjanji tidak akan membunuh Liok Ah Peng dan putrinya!"   "Shantung Khie Hiap,"   Ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum.   "Kita tidak perlu bertanding...."   "Engkau takut? Kalau begitu, cepatlah enyah dari sini!"   "Aku tidak takut, melainkan punya Suatu cara untuk menghindari pertandingan,"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sahut Tio Bun Yang memberitahukan.   "Paman boleh memukulku tiga kali, kalau Paman berhasil melukaiku, aku akan meninggalkan tempat ini!"   "Anak muda!"   Shantung Khie Hiap terbelalak.   "Apakah engkau sudah bosan hidup?"   "Bukan bosan hidup, namun aku yakin Paman tidak akan mampu melukaiku dengan pukulan."   Ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh. Tapi Shantung Khie Hiap malah merasa dihina, maka timbullah kegusarannya.   "Baik! Aku akan memukulmu tiga kali!"   Shantung Khie Hiap menudingnya.   "Biar engkau mampus!"   "Silakan!"   Tio Bun Yang tersenyum sambil mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang.   "Kakak Bun Yang...."   Liok Eng Eng tampak cemas sekali, begitu pula Liok Ah Peng.   "Anak muda! Jangan mempersalahkan aku, karena engkaulah yang sudah bosan hidup!"   Ujar Shantung Khie Hiap, kemudian mendadak melan carkan sebuah pukulan ke arah dada Tio Bun Yang. Duuuuk! Dada Tio Bun Yang terpukul.   "Aaaakh...!"   Yang menjerit malah Liok Eng Eng. Gadis itu terkejut sekali dan yakin Tio Bun Yang pasti terluka. Namun justru sungguh di luar dugaan, ternyata Tio Bun Yang masih berdiri di tempat sambil tersenyum-senyum.   "Haaah?"   Shantung Khie Hiap terbelalak, karena ketika tinjunya mendarat di dada Tio Bun Yang, ia merasa memukul sesuatu yang sangat lunak.   "Silakan pukul lagi!"   Ujar Tio Bun Yang.   Shantung Khie Hiap penasaran sekali.   Ia menghimpun Iweekangnya lalu melancarkan pukulan ke arah dada Tio Bun Yang.   Sementara Tio Bun Yang telah mengerahkan tiga bagian Kan Ku n Taylo lm Kang.   Duuuuk! Dada Tio Bun Yang terpukul, namun yang menjerit malah Shantung Khie Hiap.   "Aaaakh...!"   Shantung Khie Hiap terpental tiga depa dan sekujur badannya menggigil kedinginan. Liok Ah Peng dan putrinya terperangah menyaksikan kejadian itu, begitu pula para penonton.   "Aaaakh, dingin! Dingin sekali...!"   Shantung Khie Hiap merintih-rintih dengan wajah agak kehijau-hijauan karena kedinginan.   "Aduuuh, dingin sekali...!"   Tio Bun Yang menghampirinya, lalu memegang bahunya sekaligus menyalurkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang ke dalam tubuhnya. Tak seberapa lama kemudian, Shantung Khie Hiap tidak menggigil lagi dan wajahnya pun tampak agak kemerahmerahan.   "Anak muda!"   Shantung Khie Hiap meml dangnya terbelalak.   "Terimakasih! Oh ya, sebetulnya engkau siapa?"   "Namaku Tio Bun Yang!"   "Apa?"   Shantung Khie Hiap tampak terkejut dan gembira.   "Engkau... engkau Giok Siauw Sin Hiap?"   "Ya."   "Kalau begitu...."   Wajah Shantung Khie Hij berseri-seri.   "Engkau pasti putra Pek Ih Sin Hia Tio Cie Hiong!"   "Dari mana Paman tahu?"   Tio Bun Ya tercengang. "Bun Yang!"   Shantung Khie Hiap memegang bahunya dan menatapnya kagum.   "Engkau sungguh gagah dan bijaksana seperti ayahmu!"   "Paman kenal ayahku?"   "Pernah kenal."   Shantung Khie Hiap memberitahukan.   "Ayahmu pernah menyelamatkan nyawaku, maka aku berhutang budi kepada ayahmu"   "Paman...."   Tio Bun Yang tersenyum.   "Jangan berkata begitu!"   "Bun Yang!"   Shantung Khie Hiap tertawa gelak.   "Mulai sekarang aku sudah tidak menark dendam kepada Liok Ah Peng."   "Terimakasih, Shantung Khie Hiap!"   Ucap Liok Ah Peng.   "Terimakasih...."   "Paman!"   Wajah Liok Eng Eng berseri.   "Terimakasih!"   "Ha ha ha!"   Shantung Khie Hiap tertawa terbahak-bahak.   "Seharusnya kalian berterima-kasih kepada Giok Siauw Sin Hiap ini!" 'Terimakasih, Giok Siauw Sin Hiap!"   Ucap Liok Ah Peng sambil memberi hormat.   "Paman...."   Tio Bun Yang segera balas mem-lieri hormat.   "Tidak usah berterimakasih!"   "Kakak Bun Yang!"   Liok Eng Eng memberi hormat.   "Terimakasih!"   "Nona...."   "Kok panggil aku Nona?"   Liok Eng Eng cemberut.   "Aku...."   "Bun Yang,"   Ujar Shantung Khie Hiap.   "Engkau harus memanggilnya Adik Eng Eng." "Oooh!"   Tio Bun Yang manggut-manggut.   "Adik Eng Eng!"   "Kakak Bun Yang...."   Wajah Liok Eng Eng kemerahmerahan.   "Ha ha ha!"   Shantung Khie Hiap dan Liok Ah Peng tertawa gelak, kemudian Shantung Khie hiap berkata.   "Liok Ah Peng, aku minta maaf!"   "Terimakasih! Aku...."   Liok Ah Peng menghela nafas panjang.   "Aaaah!"   Shantung Khie Hiap juga menghela nafas panjang.   "Adik seperguruanku itu memang jahat. Yah, sudahlah!"   "Shantung Khie Hiap, sekali lagi kuucapkan terimakasih karena engkau mau menyudahi urusan itu."   "Adik seperguruanku yang bersalah, hanya saja... aku adalah kakak seperguruannya, maka mau tidak mau harus menuntut balas kepadamu Namun... aku telah bertindak salah, untung ada Giok Siauw Sin Hiap. Kalau tidak...."   "Ha ha ha!"   Liok Ah Peng tertawa.   "Aku pasti mati di tanganmu, begitu pula putriku."   "Aku...."   Wajah Shantung Khie Hiap memerah karena merasa malu.   "Paman,"   Ujar Tio Bun Yang mendadak.   "Urusan ini sudah selesai, aku mau pergi."   "Kakak Bun Yang...."   Wajah Liok Eng Eng langsung berubah murung.   "Engkau begitu cepat mau pergi?"   "Adik Eng Eng!"   Tio Bun Yang tersenyum.   "Kita akan berjumpa lagi kelak."   "Kakak Bun Yang...."   Mata Liok Eng Eng mulai basah.   "Aku...." "Adik Eng Eng!"   Tio Bun Yang memegang bahunya.   "Percayalah! Kita pasti berjumpa lagi kelak."   "Ba... bagaimana mungkin?"   Liok Eng Eng mulai terisakisak.   "Adik Eng Eng, engkau jangan menangis, kita pasti berjumpa kelak!"   Tio Bun Yang menepuk bahunya, kemudian mendekati monyet itu.   "Monyet kecil, kita akan berpisah sekarang, namun pasti berjumpa lagi kelak."   Monyet itu bercuit-cuit sedih.   "Monyet kecil...."   Tio Bun Yang membelainya.   "Jangan sedih, kita akan berjumpa lagi kelak! Paman, Paman dan Adik Eng Eng, sampai jumpa!"   Mendadak Tio Bun Yang melesat pergi menggunakan ginkang, dan dalam waktu sekejap ia sudah menghilang dari pandangan semua orang.   "Dia... dia bisa terbang!"   Teriak salah seorang penonton.   "Jangan-jangan dia adalah Sin Tong (Bocah Dewa)!"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sahut yang lain. Sementara Shantung Khie Hiap dan Liok Ah Peng cuma saling memandang, sedangkan Liok Eng Eng terus menangis terisak-isak.   "Eng Eng, mari kita pulang ke Shantung!"   Ujar Liok Ah Peng.   "Aku tidak mau pulang, Ayah,"   Sahut Liok Hng Eng.   "Aku... aku mau pergi cari Kakak Bun Yang."   "Eng Eng!"   Liok Ah Peng menggeleng-gelengkan kepala.   "Itu tidak mungkin, lebih baik kita pulang."   "Ayah...."   "Kalian pulang saja!"   Ujar Shantung Khie Hiap.   "Kalau aku bertemu Giok Siauw Sin Hiap, aku pasti bermohon kepadanya untuk mengunjungi kalian." "Terimakasih, Shantung Khie Hiap!"   Ucap Liok Ah Peng.   "Terimakasih, Paman!"   Ucap Liok Eng Eng.   "Tapi... bagaimana mungkin dia akan mengunjungi kami di Shantung?"   "Jangan khawatir!"   Shantung Khie Hiap tersenyum.   "Aku punya cara, yang penting aku bisa bertemu dia."   "Terimakasih, Paman!"   Ucap Liok Eng Eng.   "Terimakasih...."   "Ha ha ha!"   Shantung Khie Hiap tertawa gelak, lalu melesat pergi.   "Eng Eng!"   Liok Ah Peng memegang bahu putrinya.   "Mari kita pulang ke Shantung!"   "Ya."   Liok Eng Eng mengangguk dengan air mata berlinang-Iinang.   "Kakak Bun Yang...." ---oo0dw0ooo--- Bagian ke Tiga puluh enam Gadis Manchuria Tio Bun Yang terus melakukan perjalanan me nuju markas pusat Kay Pang. Hari ini, ketika sampai di tempat sepi, mendadak ia mendengar suara bentakan anak gadis. Segeralah ia menoleh kan kepalanya, ternyata tak jauh dari situ terdapat seorang gadis berpakaian aneh yang sedang dikerumuni beberapa orang berpakaian hijau, mereka adalah anggota Seng Hwee Kauw.   "Kalian jangan kurang ajar!"   Bentak gadis itu gusar.   "Nona manis, tempat ini sangat sepi, alangkah baiknya kita bersenang-senang,"   Ujar salah seorang dari mereka dengan tertawa.   "Hm!"   Dengus gadis itu.   "Jangan memaksaku membunuh kalian!" "Apa?"   Kepala anggota Seng Hwee Kauw tertawa terkekehkekeh.   "He he he! Engkau berniat membunuh kami?"   "Ya!"   Gadis itu mengangguk.   "Itu kalau kalian berlaku tidak senonoh terhadap diriku!"   "Kami cuma ingin mengajakmu bersenang-senang, bukan berlaku tidak senonoh terhadapmu. Nona! Ayohlah! Mari kita bersenang-senang!"   Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu menowel pipinya. Betapa gusarnya gadis itu, sehingga langsung mengayunkan tangannya. Plok! "Aduh!"   Jerit Kepala anggota Seng Hwee Kauw sambil mengusap pipinya yang kena tampar.   "Kuning ajar!"   "Hm!"   Dengus gadis itu.   "Yang kurang ajar malah engkau, maka pantas kutampar!"   "Nona!"   Ujar Kepala anggota Seng Hwee Kauw. Engkau memang ingin dihajar! Kawan-kawan! Cepat hajar gadis binal itu!"   Para anggota Seng Hwee Kauw itu langsung menghampiri gadis tersebut, namun mendadak gadis itu membentak sambil menghunus pedang nya.   "Kalau kalian berani menyerangku aku tidak akan mengampuni kalian!"   "Serang dia dengan senjata!"   Seru Kepali anggota Seng Hwee Kauw.   Seketika para anggota mengeluarkan senjata masingmasing, kemudian menyerang gadis itu dengan serentak.   Tiang! Trang! Trang-..! Terdengar suara bentturan senjata.   Terjadilah pertarungan sengit.   Gadis itu bergerak cepat dan gesit berkelit ke sana ke mari, pedangnya pun berkelebatan menyerang mereka Akan tetapi, puluhan jurus kemudian, gadis itu mulai kewalahan melawan mereka.   "Ha ha ha!"   Anggota Seng Hwee Kauw tertawa tergelak menyaksikan itu.   "Nona manis, lebih baik engkau menyerah. Mari kita bersenann senang!"   "Berhenti!"   Terdengar suara bentakan yangi mengguntur, kemudian tampak melayang seseorang, yang ternyata Tio Bun Yang. Para anggota yang menyerang gadis itu langsung berhenti, karena dikejutkan oleh suara bentakan Tio Bun Yang.   "Siapa engkau?"   Lanya Kepala anggota Seng Hwee Kauw sambil menatapnya dengan kening berkerut.   "Engkau tidak perlu tahu siapa aku!"   Sahut Tio Bun Yang dingin.   "Cepatlah kalian enyah!"   "He he he!"   Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa terkekeh-kekeh.   "Engkaulah yang harus enyah!"   "Jangan cari penyakit!"   Tio Bun Yang menggelenggelengkan kepala.   "Cepat serang dia!"   Seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw. Para anggota Seng Hwee Kauw segera menyerang Tio Bun Yang dengan senjata, namun Tio Bun Yang tetap berdiri di tempat. Hal itu sungguh mengejutkan gadis berpakaian aneh tersebut.   "Hei!"   Serunya.   "Hati-hati!"   Tio Bun Yang tersenyum, sekaligus mengibaskan lengan bajunya ke arah para penyerang itu. "Aaaakh...!"   Jerit mereka dan terpental beberapa depa, lalu terkulai dengan wajah pucat pias. Ternyata kepandaian mereka telah musnah digempur oleh Iweekang Tio Bun Yang.   "Haah?"   Bukan main terkejutnya Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu.   "Engkau...?"   "Kini giliranmu!"   Tio Bun Yang menghampirinya selangkah demi selangkah.   Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu menyurut mundur, kemudian mengambil langkah seribu.   Akan tetapi, Tio Bun Yang bergerak cepat sambil mengibaskan lengan bajunya ke arah Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu.   "Aaaakh!"   Jerit Kepala anggota Seng Hwefl Kauw. Ia terpental lalu terkulai dengan wajah pucat pias dan kepandaiannya pun telah musnah "Si... siapa engkau?"   "Giok Siauw Sin Hiap!"   "Haaah?"   Saking terkejut kepala anggota Seng Hwee Kauw itu pingsan.   "Hi hi hi!"   Gadis berpakaian aneh itu tertawa geli, kemudian memandang Tio Bun Yang dengan kagum.   "Engkau hebat sekali!"   "Tidak begitu hebat,"   Sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.   "Sekarang sudah aman, engkau boleh melanjutkan perjalanan."   "Aku ikut engkau,"   Ujar gadis berpakaian aneh itu mendadak.   "Apa?!"   Terbelalak Tio Bun Yang.   "Ikut aku? Mana boleh?"   "Lho? Kenapa tidak boleh?"   Gadis berpakaian aneh itu menatapnya dalam-dalam.   "Aku tidak punya teman di Tionggoan. Apakah engkau tega melihat aku berkeliaran seorang diri? Bagaimana kalau aku bertemu penjahat lagi?"   "Eh? Nona...."   "Jangan memanggilku nona! Namaku Bokyong Sian Hoa, panggil saja aku Sian Hoa!"   "Nona Sian Hoa...."   "Kok masih memanggilku nona?"   Bokyong Sian Hoa cemberut.   "Engkau harus memanggilku Sian Hoa!"   "Sian Hoa...."   "Nah, begitu!"   Gadis itu tertawa gembira.   "Ei! Tidak baik kita bercakap-cakap dengan cara berdiri, lebih baik kita duduk di bawah pohon."   "Tapi...."   Tio Bun Yang mengerutkan kening.   "Engkau menolak?"   Bokyong Sian Hoa cemberut lagi.   "Aku...."   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku...."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Hmm!"   Dengus Bokyong Sian Hoa.   "Orang Tionggoan memang jahat semua, tiada satupun yang baik!"   "Sian Hoa! Baiklah!"   Tio Bun Yang manggut-manggut.   "Mari kita duduk di bawah pohon!"   Mereka berdua lalu duduk di bawah sebuah pohon. Sementara para anggota Seng Hwee Kauw telah meninggalkan tempat itu. Begitu pula Kepala anggota Seng Hwee Kauw, setelah siuman ia pun langsung kabur.   "Ei! Engkau hebat sekali!"   Bokyong Sian Hoa menatapnya dengan mata berbinar-binar.   "Oh ya, bolehkah aku tahu namamu?"   "Namaku Tio Bun Yang."   "Berapa usiamu?" "Hampir dua puluh."   "Usiaku baru tujuh belas, aku lebih kecil"   Bokyong Sian Hoa tersenyum seraya berkata "Jadi aku harus memanggilmu Kakak Bun Yang"   "Aku pun harus memanggilmu Adik Sian Hoa"   Ujar Tio Bun Yang dan bertanya.   "Engkau berasal dari mana? Kenapa pakaianmu begitu aneh?"   "Aku dari Manchuria,"   Jawab Bokyong Sian Hoa dengan wajah murung.   "Ayah dan ibuku telah mati."   "Oh?"   Tio Bun Yang tertegun.   "Paman yang membunuh ayah dan ibuku Bokyong Sian Hoa memberitahukan dengan mata bercucuran.   "Sebelum ayahku menghembuskan nafas penghabisan, aku disuruh kabur ke Tionggoan."   "Kenapa harus kabur ke Tionggoan?"   "Kalau tidak, paman pasti membunuhku juga Maka aku segera kabur ke Tionggoan mencari seseorang."   "Oooh!"   Tio Bun Yang manggut-manggu' "Kenapa pamanmu membunuh kedua orang tua mu?"   "Kakak Bun Yang, engkau orang baik atau orang jahat?"   Tanya Bokyong Sian Hoa mendadak "Aku bukan orang jahat,"   Jawab Tio Bun Yau sambil tersenyum geli.   "Kenapa engkau bertanya begitu?"   "Karena aku harus memberitahukan identitas diriku. Kalau engkau orang jahat, pasti akan nangkapku."   "Oh?"   "Ayahku bernama Patoho."   Bokyong Sian Hoa irmberitahukan.   "Raja Manchuria." "Apa?"   Tio Bun Yang tertegun.   "Kalau begitu, aku berhadapan dengan Tuan Putri Manchuria!"   "Sekarang aku bukan Tuan Putri lagi."   Bok-yong Sian Hoa menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku sudah menjadi buronan, kini pamanku yang menjadi raja Manchuria. Mungkin tak lama lagi dia akan mengutus orang ke mari untuk membunuhku."   "Di sini daerah Tionggoan, orang Manchuria tdak bisa sembarangan memasuki daerah ini."   "Siapa bilang? Setahuku pamanku itu akan bekerja sama dengan Lu Thay Kam. Kemungkinan besar pasukan Manchuria akan menyerbu Tionggoan."   "Oh?"   Tio Bun Yang terkejut.   "Apakah Lu thay Kam telah mengutus orang ke Manchuria?"   "Ya."   Bokyong Sian Hoa mengangguk.   "Pada waktu itu ayahku masih menjadi raja Manchuria, mereka menolak untuk bekerja sama. Karena itu, pamanku amat gusar sehingga bertempur dengan ayahku."   "Kenapa ayahmu tidak mau bekerja sama dengan Lu Thay Kam?"   "Karena ayahku telah berjanji kepada teman baiknya yang di Tionggoan, bahwa ayahku tidak akan menyerbu Tionggoan."   "Oooh?"   Tio Bun Yang manggut-manggut "Siapa teman baik ayahmu itu?"   "Aku harus memanggilnya paman,"   Jawab Bok yong Sian Hoa memberitahukan.   "Paman Tio."   "Paman Tio?"   Tio Bun Yang tersentak.   "Namai nya?"   "Cie Hiong."   "Apa?"   Tio Bun Yang terbelalak.   "Teman baik ayahmu bernama Tio Cie Hiong?" "Ya."   Bokyong Sian Hoa mengangguk.   "Engkau kenal dia?"   "Kenal."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Bahkan aku pun sangat dekat padanya, karena aku adalah anaknya."   "Oh?"   Bokyong Sian Hoa kurang percaya.   "Bagaimana mungkin begitu kebetulan sih? Aku ingin mencari Paman Tio, justru bertemu anaknya."   "Adik Sian Hoa, aku memang anaknya,"   Ujar Tio Bun Yang dan teringat sesuatu.   "Oh ya, aku punya bukti."   "Bukti apa?"   "Nih!"   Tio Bun Yang memperlihatkan kalung pemberian ayahnya.   "Kalung ini membuktikan bahwa aku anak Tio Cie Hiong."   "Tidak salah."   Wajah Bokyong Sian Hoa berseri.   "Ayahku pernah memberitahukan, kalungnya telah dihadiahkan kepada Paman Tio teman baiknya di Tionggoan. Inilah kalung ayahku."   "Nah!"   Tio Bun Yang tersenyum.   "Aku tidak bohong kan?"   "Sekarang aku baru yakin bahwa engkau anak Taman Tio,"   Ujar Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum.   "Kakak Bun Yang, kita memang berjodoh."   "Eh? Adik Sian Hoa...."   "Kalau kita tidak berjodoh, bagaimana mungkin bisa bertemu di sini? Kita bertemu di sini pertanda berjodoh."   "Adik Sian Hoa...."   "Kakak Bun Yang!"   Bokyong Sian Hoa menatapnya dalamdalam.   "Kenapa engkau tampak cemas?"   "Aku...."   "Oooh!"   Bokyong Sian Hoa tersenyum.   "Aku tahu, bahwa engkau pasti sudah punya kekasih." "Ng!"   Tio Bun Yang mengangguk.   "Jangan cemas!"   Bokyong Sian Hoa tertawa kecil.   "Aku tidak akan mengganggu kalian. Oh ya, engkau harus membawaku menemui ayahmu."   "Oh? Apakah itu merupakan pesan almarhum?"   "Betul. Ayahku berpesan kepadaku harus belajar ilmu silat kepada paman Tio, maka aku harus menemuinya."   "Tapi...."   Tio Bun Yang mengerutkan kening.   "Kenapa?"   Bokyong Sian Hoa menatapnya heran.   "Tempat tinggal kami jauh sekali."   Tio Bun Yang memberitahukan.   "Di Pulau Hong Hoang To."   "Biar bagaimana pun aku harus menemui ayahmu,"   Tegas Bokyong Sian Hoa.   "Jauh ke ujung langit pun aku harus ke sana."   "Baik."   Tio Bun Yang tersenyum. Ia memang sudah rindu kepada Siang Koan Goat Nio, karena itu ia membatalkan niatnya pergi ke markas pusat Kay Pang, dan akan langsung menuju Pulau Honj Hoang To.   "Kakak Bun Yang, kapan kita berangkat?"   "Sekarang."   "Baik."   Bokyong Sian Hoa manggut-manggut sambil tersenyum.   "Mari kita berangkat sekarang!"   "Tapi ingat! Dalam perjalanan ke Pulau Hong Hoang To, engkau tidak boleh nakal!"   Pesan Tio. Bun Yang dan menambahkan.   "Juga tidak boleh menimbulkan masalah apa pun!"   "Ya."   Bokyong Sian Hoa mengangguk.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Pokoknya aku menurut kepadamu."   Di Pulau Hong Hoang To, tampak Siang Koan Goat Nio duduk termenung di bawah pohon, bahkan menghela nafas panjang.   "Goat Nio!"   Panggil Lie Ai Ling sambil mendekatinya.   "Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata engkau duduk melamun di sini! Sedang memikirkan Kakak Bun Yang ya?"   "Ai Ling...."   Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku...."   "Aku tahu."   Lie Ai Ling tersenyum.   "Engkau sudah rindu kepada Kakak Bun Yang, yang sedang pergi ke Gunung Thian San. Sudah setengah tahun, tapi dia masih belum pulang...."   "Aku khawatir...."   "Khawatir terjadi sesuatu atas dirinya?"   "Ya."   "Itu tidak mungkin,"   Ujar Lie Ai Ling.   "Menurut aku, kemungkinan besar dia sedang berlatih di sana."   "Namun...."   Siang Koan Goat Nio menghela nafas lagi.   "tidak mungkin begitu lama."   "Goat Nio,"   Bisik Lie Ai Ling.   "Bagaimana kalau kita menyusul ke Gunung Thian San?"   "Belum tentu orang tua kita mengijinkan."   Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.   "Begini..."   Bisik Lie Ai Ling lagi sambil ter-enyum.   "Kalau orang tua kita tidak mengijinkan kita pergi menyusul Kakak Bun Yang, maka kita...mogok makan saja."   "Mogok makan?"   "Ya."   Lie Ai Ling mengangguk.   "Anggap saji kita diet." "Ngmm!"   Siang Koan Goat Nio manggut-manggut.   "Akal yang bagus! Kalau kita mogok makan, orang tua kita pasti mengijinkan kita pergi menyusul Kakak Bun Yang."   "Tidak salah."   Lie Ai Ling tertawa gembira "Ayoh, mari pergi menemui orang tuamu!"   Kedua gadis itu melesat pergi. Begitu sampai di rumah, mereka berdua terbelalak karena melihat semua orang sudah berkumpul di ruang depan.   "Eeeeh?"   Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berjalan ke dalam.   "Ada apa nih? Kok kumpul semua di sini?"   "Kami semua sedang mogok makan,"   Sahut Sam Gan Sin Kay.   "Oleh karena itu, kalian berdua tidak boleh ke manamana."   "Apa?"   Lie Ai Ling terbelalak.   "Kalian semua mogok makan?"   "Ya."   Lie Man Chiu dan Tio Hong Mol mengangguk.   "Kami harus mendahului mogok makan, sebab kalau tidak, kalian berdua yang akan mogok makan, bukan?"   "Kami...."   Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio menundukkan kepala.   "Ai Ling, kenapa engkau mengajak Goat Nio yang bukanbukan?"   Tanya Lie Man Chiu sambil menatapnya.   "Dari mana Ayah tahu?"   Lie Ai Ling heran.   "Kakek pengemis pergi mencari kalian."   Lie Man Chiu memberitahukan.   "Melihat kalian berdua berbisik-bisik di bawah pohon...."   "Oooh!"   Lie Ai Ling manggut-manggut.   "Jadi kakek pengemis yang mencuri dengar pembicaraan kami! Pantas...!"   "Pantas apa?"   Tanya Sam Gan Sin Kay sambil icrtawa. "Pantas seluruh penghuni pulau ini berkumpul di sini!"   Sahut Lie Ai Ling sambil tertawa geli.   "Apakah ingin menyidang kami?"   "Tentu tidak,"   Ujar Kim Siauw Suseng.   "Hanya kami pun ingin mogok makan agar kalian tidak meninggalkan pulau ini."   "Ayah...."   Siang Koan Goat Nio membanting-banting kaki.   "Ayah jahat ah!"   "Maka kalian jangan coba-coba mogok makan!"   Ujar Kim Siauw Suseng sambil tertawa.   "Kalau ingin pergi menyusul Bun Yang, berundinglah dengan kami! Jangan menggunakan akal!"   "Kalau tidak menggunakan akal, bagaimana mungkin kami diperbolehkan pergi menyusul Kakak Bun Yang?"   Sahut Lie Ai Ling.   "Oh?"   Kim Siauw Suseng tertawa lagi.   "Ai Ling!"   Tio Hong Hoa menatapnya sambil tersenyum.   "Goat Nio ingin pergi menyusul Bun Yang, itu dikarenakan dia sangat rindu kepadanya maka dapat dimaklumi. Namun kenapa engkau juga ingin pergi menyusul Bun Yang?"   "Aku menemani Goat Nio,"   Jawab Lie Ai Ling.   "Lagi pula aku juga rindu kepada Kakak Bun Yang, karena dia boleh dikatakan adalah kakak ku."   "Oooh!"   Tio Hong Hoa manggut-manggut "Dia memang kakakmu, sebab ayahnya adalah adikku."   "Goat Nio, betulkah engkau ingin pergi menyusul Bun Yang?"   Tanya Kou Hun Bijin sambil menatapnya.   "Ya."   Siang Koan Goat Nio mengangguk.   "Kenapa engkau ingin pergi menyusulnya?"   Tanya Kou Hun Bijin lagi. "Ibu, aku...."   Wajah Siang Koan Goat Nid kemerahmerahan.   "Berterus teranglah, jangan malu-malu! Engkau mencintai Bun Yang?"   Tanya Kou Hun Bijin mendadak.   "Ibu kok jahat sih!"   Tegur Siang Koan Goat Nio sambil menundukkan kepala.   "Aku...."   "Hi hi hi!"   Kou Hun Bijin tertawa nyaring.   "Baik. Ibu memperbolehkanmu pergi menyusul Bun Yang."   "Terimakasih, Ibu!"   Ucap Siang Koan Goat Nio dengan wajah berseri-seri.   "Terimakasih....'! "Ayah! Ibu! Aku ikut Goat Nio,"   Ujar Lie Ai Ling mendadak.   "Ai Ling!"   Tio Hong Hoa menggelengkan kepala.   "Kalau engkau ikut, bukankah akan mengganggu Goat Nio?"   "Ibu, aku tidak pernah mengganggu mereka."   Lie Ai Ling memberitahukan.   "Kalau mereka berdua memadu cinta, aku pasti menyingkir jauh-jauh. Tapi... kadang-kadang aku mengintip juga."   "Apa?"   Air muka Siang Koan Goat Nio berubah kemerahmerahan.   "Engkau pernah mengintip kami berduaan?"   "Memangnya tidak boleh?"   Sahut Lie Ai Ling umbil tertawa geli.   "Engkau...."   Siang Koan Goat Nio menudingnya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.   "Engkau sungguh keterlaluan!"   "Jangan gusar!"   Ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh.   "Lain kali aku tidak akan mengintip lagi."   "Ai Ling!"   Tegur Tio Hong Hoa dengan kening berkerut.   "Engkau tidak boleh berbuat begitu, tidak baik lho!"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Ya, Ibu."   Lie Ai Ling mengangguk, lalu minta msaf kepada Siang Koan Goat Nio.   "Aku minta maaf." "Sudahlah!"   Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang.   "Aku yakin engkau tidak sengaja berbuat begitu."   "Ya."   Lie Ai Ling mengangguk.   "Goat Nio, jadi engkau sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul Bun Yang?"   Tanya Kou Hun Bijin.   "Ya, Ibu."   Siang Koan Goat Nio mengangguk pasti.   "Kalau begitu...."   Kou Hun Bijin tersenyum "Ibu mengijinkanmu pergi menyusulnya."   "Terimakasih, Ibu!"   Ucap Siang Koan Goal Nio dengan wajah berseri.   "Terimakasih!"   "Ibu...."   Lie Ai Ling memandang Tio Hong Hoa.   "Aku... aku ikut Goat Nio pergi menyusul kakak Bun Yang."   "Itu...."   Tio Hong Hoa melirik Lie Man Chu "Baiklah."   Lie Man Chiu manggut-manggut "Tapi engkau tidak boleh nakal, harus menurut perkataan Goat Nio."   "Ya, Ayah."   Wajah Lie Ai Ling berseri.   "Terimakasih!"   "Goat Nio,"   Pesan Lim Ceng Im.   "Kalau bertemu Bun Yang, ajak dia pulang!"   "Ya, Bibi."   Siang Koan Goat Nio mengangguk.   "Kapan kalian akan berangkat ke Tionggoan"   Tanya Tio Cie Hiong sambil memandang mereka "Se... sekarang,"   Jawab Siang Koan Goat Nio lalu menundukkan wajahnya dalam-dalam.   "Apa?"   Kim Siauw Suseng tertegun.   "Engkau mau berangkat sekarang? Tidak bisa menunggu besok?"   "Ayah, aku...."   "Ha ha ha!"   Sam Gan Sin Kay tertawa gelak "Sastrawan sialan, putrimu sudah rindu sekali kepada Bun Yang, biarlah dia berangkat sekalung!"   "Itu...."   Kim Siauw Suseng melirik Kou Hun Hijin seraya bertanya.   "Bagaimana? Engkau setuju?"   "Kalau tidak setuju. Goat Nio pasti ngambek."   Tahut Kou Hun Bijin sambil tertawa.   "Dari pada dia ngambek tidak karuan, lebih baik kita perbolehkan berangkat sekarang."   "Terimakasih, Ibu!"   Ucap Siang Koan Goat Nio girang.   "Ibu baik sekali!"   "Hi hi hi!"   Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. 'Nah, engkau boleh berangkat sekarang."   "Ya."   Siang Koan Goat Nio mengangguk.   "Goat Nio, Ai Ling. setelah kalian bertemu Bun Yang, ajaklah dia pulang!"   Pesan Tio Cie Hiong.   "Ya, Paman,"   Sahut Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling serentak, lalu kedalam untuk berkemas.   Setelah itu, barulah mereka berangkat ke Tonggoan.   Seandainya mereka bisa bersabar beberapa hari, tentu akan bertemu Bun Yang, yang pulang bersama Bokyong Sian Hoa.   ---oo0dw0oo-- Kini Kam Hay Thian telah sembuh, maka Tio Cie Hiong mulai memberi petunjuk kepadanya mengenai Pak Kek Sin Kang dan ilmu silat lainnya.   Sudah barang tentu kepandaian Kam Hay Thian bertambah tinggi.   Akan tetapi, pemuda itu merasa kecewa sekali karena Siang Koan Goat Nio mencintai Tio Bun Yang.   Bahkan gadis itu pergi menyusul Tio Bun Yang.   Oleh karena itu, Kam Hay Thian jadi melamun.   "Hay Thian..."   Panggil Lu Hui San sambil mendekatinya. "Oh, Hui San!"   Sahut Kam Hay Thian.   "Silakan duduk!"   Lu Hui San duduk di sebelahnya, kemudian memandangnya seraya bertanya dengan keninf berkerut.   "Kenapa engkau duduk melamun di sini?"   "Aku...."   Kam Hay Thian menundukkan kepala.   "Goat Nio dan Ai Ling sudah berangkat ki Tionggoan, kenapa engkau tidak ikut mereka?"! "Aku...."   Wajah Lu Hui San agak kemerah merahan.   "Aku merasa betah tinggal di pulau ini' "Hui San, betulkah ayahmu bernama Lu Kam Thay?"   Tanya Kam Hay Thian sambil menatapnya tajam.   "Be... betul."   Lu Hui San mengangguk. Ternyata Siang Koan Goat Nio dan Lie Al Ling tidak memberitahukan kepada Kam Hay Thian mengenai identitas Lu Hui San, maka pemuda itu tidak tahu ayah Lu Hui San adalah Lu Ihay Kam.   "Hui San...."Kam Hay Thian menghela nafas panjang.   "Sebetulnya aku sangat berterimakasih kepadamu, karena engkau yang menggendongku sampai di Pulau Hong Hoang To ini, aku... aku berhutang budi kepadamu."   "Jangan berkata begitu...."   Lu Hui San ter-lenyum.   "Karena kita...."   "Kita adalah teman baik, aku tahu itu,"   Ujar kam Hay Thian.   "Namun aku tetap berhutang budi kepadamu."   "Hay Thian,"   Ujar Lu Hui San sungguh-sungguh.   "Engkau tidak berhutang budi kepadaku, melainkkan kepada Bun Yang.   "Aku tahu."   Kam Hay Thian manggut-mang-jut.   "Kalian telah menceritakan kepadaku, kalau dia tidak muncul tepat pada waktunya, aku pasti sudah mati di tangan Seng Hwee Sin Kun. Aku... aku berhutang budi kepadanya." "Kini Paman Cie Hiong pun memberi petunjuk kepadamu mengenai ilmu silat. Betapa baiknya mereka terhadapmu. Oleh karena itu...."   "Aku harus membalas budi kebaikan mereka?"   "Itu sih tidak perlu. Hanya saja...."   Lu Hui memandangnya.   "Engkau jangan tersinggung"   "Lanjutkanlah! Aku tidak akan tersinggung."   "Engkau tidak usah memikirkan Goat Nio lagi, sebab dia mencintai Bun Yang,"   Ujar Lu Hui San dengan suara rendah.   "Mereka berdua saling mencinta, percuma engkau memikirkan Goat Nio"   "Hui San!"   Wajah Kam Hay Thian berubah tak sedap dipandang.   "Engkau...."   "Maaf!"   Lu Hui San menundukkan kepala "Aku berkata sesungguhnya, tidak bermaksud menyinggung perasaanmu."   "Hui San, aku mau memikirkan siapa, itu adalah urusanku! Engkau tidak berhak mencampurinya,"   Ujar Kam Hay Thian setengah membentak lalu meninggalkan tempat itu.   "Hai Thian!"   Panggil Lu Hui San. Kam Hay Thian terus melangkah pergi tanpa menghiraukan Lu Hui San. Gadis itu tetap duduk di tempat, kemudian menangis terisak-isak. Mendadak muncul seseorang menghampirinya, yal ternyata Lie Man Chiu.   "San San!"   Panggilnya lembut.   "Paman Chiu!"   Air mata Lu Hui San melelel "Aaaah...!"   Lie Man Chiu menghela nafas panjang.   "Sudahlah, jangan menangis! Pemuda itu memang agak keras hati."   "Paman Chiu...."   Lu Hui San terisak-isak "San San!"   Lie Man Chiu menatapnya.   "Goat Nio dan Ai Ling tahu mengenai identitas dirimu?"   "Tahu."   Lu Hui San mengangguk.   "Mereka berdua sama sekali tidak membocorkannya, aku salut pada mereka,"   Ujar Lie Man Chiu dan bertanya.   "Hay Thian tahu identitasmu?"   "Tidak tahu."   Lu Hui San menggelengkan kepala.   "Kalau dia tahu, mungkin akan membenciku."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Kenapa?"   Lie Man Chiu heran.   "Sebab...."   Lu Hui San menutur tentang kematian guru silat Lie dan putrinya berdasarkan penuturan Kam Hay Thian.   "Oooh!"   Lie Man Chiu manggut-manggut.   "Tapi Lu Thay Kam cuma merupakan ayah angkatmu, lagi pula kematian guru silat Lie dan putrinya tiada kaitannya dengan dirimu."   "Memang, tapi...."   Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala.   "Hay Thian sangat mendendam kepada ayah angkatku. Dia bersumpah akan membunuh ayah angkatku itu."   "Aaaah...!"   Lie Man Chiu menghela nafas panjang.   "Oh ya, engkau pernah kembali ke istana?"   "Pernah. Bahkan... aku nyaris membunuh ayah angkatku."   Lu Hui San memberitahukan.   "Lho?"   Lie Man Chiu terkejut.   "Kenapa begitu"   "Aku telah bertemu pamanku...."   Lu Hui San menutur tentang Tio Bun Yang mengajaknya ke tempat tinggal Sie Kuang Han dan lain sebagainya, kemudian menambahkan.   "Kalau Bun Yang tidak muncul, ayah angkatku pasti sudah mati di bawah pedangku."   "Ternyata begitu...."   Lie Man Chiu mengha nafas panjang.   "Aku sama sekali tidak menyangka kalau ayahmu masih punya perasaan dan sangiat menyayangimu. Itu sungguh di luar dugaan!"   "Memang di luar dugaan."   Lu Hui San manggut-manggut.   "Oh ya, Paman Chiu jangan membocorkan identitas diriku kepada Hay Thian!"   "Jangan khawatir!"   Lie Man Chiu tersenyul "Aku berjanji!"   "Terimakasih, Paman Chiu!"   Ucap Lu Hui Si sambil menundukkan kepala.   "Aku... aku sangat kacau...."   "Tidak usah kacau!"   Lie Man Chiu menatap nya seraya berkata sungguh-sungguh.   "Cepatlah engkau susul Hay Thian, hiburlah dia!"   "Tapi...."   "Kalau engkau sungguh-sungguh mencinta nya, haruslah sabar dan mencairkan hatinya yang beku itu."   "Ya, Paman Chiu."   Lu Hui San menganggul lalu melangkah pergi. Lie Man Chiu menggeleng-gelengkan kepala Di saat ia menghela nafas panjang, muncullah Tio-Hoang Hoa, isterinya.   "Kakak Chiu...."   "Adik Hoa!"   Lie Man Chiu agak terperanjat ketika melihat kemunculan isterinya.   "Engkau.   "Aku telah melihat...."   "Jangan salah paham!"   "Tapi engkau harus menjelaskan! Kalau tidak, aku pasti menaruh curiga dan salah paham!"   "Adik Hoa!"   Lie Man Chiu terpaksa men-klaskan.   "Terus terang, dia adalah putri angkat Lu Thay Kam...."   "Oooh!"   Tio Hong Hoa manggut-manggut setelah mendengar penjelasan itu.   "Aku tidak menyangka, ternyata gadis itu mencintai Kam Hay Thian! Namun Kam Hay Thian malah jatuh cinta 'kepada Siang Koan Goat Nio."   "Yaaah!"   Lie Man Chiu menghela nafas.   "Mudah-mudahan tidak akan terjadi karena itu!"   "Tentunya Kam Hay Thian tahu Goat Nio mencintai Bun Yang, lagi pula Bun Yang yang telah menyelamatkan nyawanya. Oleh karena itu, aku yakin Kam Hay Thian tidak akan berbuat sesuatu yang bukan-bukan,"   Ujar Tio Hong Hoa.   "Mudah-mudahan begitu!"   Ucap Lie Man Chiu.   "Adik Hoa, sesungguhnya aku sangat berharap...."   "Berharap apa?"   "Sudah percuma."   Katakanlah!"   "Semula aku sangat berharap putri kita ber-Jodoh dengan Bun Yang, tapi Bun Yang malah mencintai Goat Nio."   "Aku pun berharap begitu."   Tio Hong Hoa menghela nafas panjang.   "Namun tidak bisa, sebab hubungan Ai Ling dengan Bun Yang bagaikan kakak beradik kandung."   "Memang."   Lie Man Chiu manggut-manggut dan bergumam.   "Entah siapa jodoh putri kita?"   "Ai Ling masih begitu muda,"   Sahut Tio Hong Hoa sambil tersenyum.   "Jadi engkau tidak usah kalut."   Lie Man Chiu mengangguk dan tersenyum kemudian menggandeng isterinya meninggalkan tempat itu.   "Seharusnya Hay Thian mencintai Hui San,"   Ujar Tio Hong Hoa mendadak.   "Karena gadis itu yang menggendongnya sampai di pulau ini. Lapi pula gadis itu sangat cantik, baik hati dan lemah lembut."   "Tidak salah."   Lie Man Chiu manggut-manggut.   "Mudahmudahan mereka berdua akan saling mencinta!" ---ooo0dw0oo--- Tio Bun Yang telah tiba di Pulau Hong Hoang To bersama Bokyong Sian Hoa. Betapa gembira nya Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Tio Tay Seng Sam Gan Sin Kay, Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa. Sedangkan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin saling memandang dengan kening berkerut kerut.   "Ayah! Ibu!"   Panggil Tio Bun Yang.   "Nak!"   Lim Ceng Im langsung memeluknya erat-erat sambil tertawa gembira.   "Engkau bertambah tinggi lho!"   "Bun Yang, siapa gadis ini?"   Tanya Tio Cie Hiong sambil menatapnya tajam.   "Ayah, dia adalah...."   "Paman Tio, namaku Bokyong Sian Hoa."   Sela gadis itu sambil tersenyum.   "Ayahku bernama Patoho, teman baik Paman."   "Patoho?"   Tertegun Tio Cie Hiong.   "Engkau...engkau adalah putrinya?"   "Ya!"   Bokyong Sian Hoa mengangguk.   "Sian Hoa!"   Tio Cie Hiong tampak gembira.   "Bagaimana kabarnya ayahmu? Dia baik-baik saja?"   Tanyanya.   "Ayah dan ibuku...."   Mendadak Bokyong Sian hoa menangis terisak-isak, padahal barusan gadis itu tersenyum-senyum.   "Eeeh?"   Tio Cie Hiong terperangah.   "Sian Hoa!"   Lim Ceng Im menggandengnya ke tempat duduk.   "Duduklah!"   "Bun Yang, engkau juga boleh duduk,"   Ujar Tio Cie Hiong sambil menatapnya. "Ya, Ayah."   Tio Bun Yang mengangguk. Ia memmberi hormat kepada Tio Tay Seng, Sam Gan im Kay, Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. Setelah itu, barulah ia duduk.   "Tuuuh!"   Bisik Kou Hun Bijin kepada Kira Siauw Suseng- "Sungguh tampan Bun Yang itu, kelihatannya juga lemah lembut dan sopan."   "Betul."   Kim Siauw Suseng manggut-manggul.   "Tapi kok dia bersama gadis berpakaian aneh itu?"   "Akan kutegur dia,"   Sahut Kou Hun Bijin, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya berseru.   "Anak muda, engkau adalah Tio Bun Yang?"   "Benar."   Tio Bun Yang heran. Ia memang belum kenal Kou Hun Bijin.   "Maaf, Bibi adalah...."   "Bun Yang, dia adalah Kou Hun Bijin."   Lim Ccng Im memberitahukan.   "Haaah?"   Tio Bun Yang terbelalak.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Bibi ada lah Kou Hun Bijin?"   "Tidak salah,"   Sahut Kou Hun Bijin sambil tersenyum dingin.   "Goat Nio adalah putri kesayanganku. Dia begitu mencintaimu, tapi... engkau malah pulang bersama gadis lain. Hmm! Sungguh keterlaluan!"   "Bibi, aku...."   Tio Bun Yang tergagap.   "Aku...."   "Bibi Kou Hun Bijin, memangnya aku tidak boleh kemari bersama Kakak Bun Yang?"   Tanya Bokyong Sian Hoa mendadak dengan suara nyaring.   "Diam!"   Bentak Kou Hun Bijin.   "Galak amat sih!"   Bokyong Sian Hoa menatapnya dan menambahkan.   "Kalau aku tidak kemari bersama Kakak Bun Yang, bagaimana mungkin aku bisa bertemu Paman Tio?" "Sian Hoa,"   Tanya Tio Cie Hiong cepat, agar gadis itu tidak terus berdebat dengan Kou Hun Bijin.   "Bagaimana kabarnya ayahmu? Dia baik-baik saja?"   "Ayah dan ibuku mati dibunuh oleh pamanku,"   Jawab Bokyong Sian Hoa dan mulai menangis terisak-isak lagi.   "Apa?"   Tio Cie Hiong tertegun.   "Kenapa pamanmu membunuh kedua orang tuamu? Bolehkah engkau menjelaskan?"   "Ayahku tidak setuju bekerja sama dengan Lu thay Kam, sebaliknya pamanku justru setuju."   Bokyong Sian Hoa menjelaskan dengan air mata berlinang linang.   "Karena itu, terjadilah pertarungan. Pamanku berhasil melukai ayahku, kemudian melukai ibuku. Di saat pamanku ingin melukaiku, muncul Pancha menolongku."   "Oh?"   Tio Cie Hiong mengerutkan kening.   "Aku masih ingat, ayahmu pernah berjanji kepadaku, bahwa dia tidak akan mengirim pasukannya untuk menyerang Tionggoan."   Katanya.   "Karena itu...."   Bokyong Sian Hoa menangis sedih.   "Ayah dan ibuku mati di tangan pamanku. Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, ayah menyuruhku ke Tionggoan menemui Paman Tio! padahal di waktu itu pamanku juga ingin menghabiskan nyawaku, namun putranya yang bernama Pancha itu membelaku mati-matian, maka aku berhasil meloloskan diri. Aku langsung ke Tionggoan mencari Paman Tio."   "Kalau begitu, engkau bertemu Bun Yang secara kebetulan?"   Tanya Lim Ceng Im sam tersenyum.   "Ya."   Bokyong Sian Hoa manggut-manggut "Ketika itu muncul beberapa orang berpakaian hijau menghadangku.   Mereka berlaku kurang ajar pula.   Di saat itulah muncul Kakak Bun Yang, saat kami berkenalan dan aku pun memberitahukan nya bahwa aku ingin menemui Paman Tio.   Ternyata Paman Tio adalah ayahnya, maka aku mendesaknya untuk membawaku ke mari."   "Oooh!"   Tio Cie Hiong manggut-manggut sambil menghela nafas panjang.   "Sungguh di luar dugaan, ayahmu yang baik hati itu dibunuh oleh pamanmu!"   "Setelah ayahku mati, pamanku mengangkat dirinya sebagai raja Manchuria. Mungkin tidak lama lagi, dia akan mengutus Pancha dan Koksu (Guru Silat Istana) ke Tionggoan menemui Lie Thay Kam."   Bokyong Sian Hoa memberitahukan "Sian Hoa!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Itu adalah urusan kerajaan, aku tidak mau turut campur."   "Paman Tio...."   Bokyong Sian Hoa terbelalak "Kalau begitu, Paman juga tidak mau mengajarku ilmu silat?"   "Engkau ingin belajar ilmu silat?"   Tio Cie Hiong balik bertanya sambil menatapnya.   "Itu pesan almarhum, maka aku harus menurut,"   Sahut Bokyong Sian Hoa dan menambahkan.   "Paman Tio, aku ingin menjadi muridmu."   "Sian Hoa!"   Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.   "Paman Tio tidak sudi menerimaku menjadi murid?"   Tanya Bokyong Sian Hoa kecewa, kemudian menangis tersedu-sedu.   "Dasar gadis cengeng!"   Ujar Kou Hun Bijin dan mendengus.   "Hmm...!"   "Kenapa engkau usil!"   Bokyong Sian Hoa melotot, lalu memandang Tio Bun Yang seraya berkata.   "Kakak Bun Yang, jangan mencintai putrinya! Dia begitu macam, putrinya pasti sama seperti dia."   "Hei! Gadis liar!"   Bentak Kou Hun Bijin.   "engkau berani kurang ajar? Mau kutampar ya?" "Isteriku,"   Bisik Kim Siauw Suseng.   "Sudahlah, jangan meladeni gadis kecil itu!"   "Dia begitu kurang ajar!"   Sahut Kou Hun Bijin sambil mengerutkan kening.   "Aku harus menghajarnya!"   "Bijin,"   Ujar Tio Tay Seng.   "Sudahlah! Gadis itu masih kecil, tidak usah diladeni!"   "Adik Sian Hoa,"   Ujar Tio Bun Yang.   "Engkau tidak boleh kurang ajar terhadap Kou Hun Bijin. Tahukah engkau berapa usianya sekarang?"   "Belum enam puluh, kan?"   Sahut Bokyong Sian Hoa dan melanjutkan.   "Sebetulnya aku juga tahu kesopanan, tapi dia terus memojokkanku."   "Sian Hoa!"   Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.   "Engkau harus tahu, usia Kou Hun Bijin sudah di atas seratus dua puluh, maka engkau tidak boleh berlaku kurang ajar terhadap nya."    Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini