Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti Suling Pualam 22


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 22


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya dari Chin Yung   Sampai di tempat itu, mereka melihat Kam Hay Thian, Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa, sedangkan Lu Hui San menundukkan kepala.   "Ternyata kalian berkumpul di sini!"   Seru Lie Ai Ling sambil tertawa.   "Oh ya! Besok kami akan berangkat ke Tionggoan."   "Ai Ling,"   Tanya Lu Hui San.   "Ayah dan ibumu memperbolehkannya?"   "Ya."   Lie Ai Ling mengangguk.   "Kalau begitu..."   Ujar Lu Hui San sambil memandang Sie Keng Hauw.   "Aku ikut!"   "Kami memang ingin mengajakmu."   Sie Keng Hauw tersenyum.   "Besok pagi kita berempat berangkat bersama."   "Yaaah!"   Keluh Bokyong Sian Hoa.   "Tinggal aku dan Yatsumi di sini, sepi deh!"   "Sian Hoa!"   Lie Ai Ling tersenyum.   "Kalau engkau sudah menguasai semua ilmu yang diturunkan paman, boleh menyusul ke markas pusat Kay Pang."   "Benar."   Bokyong Sian Hoa tertawa kecil.   "Kita akan berkumpul di sana. Kakak Bun Yang dan Kakak Goat Nio pasti berada di sana."   "Aku yang celaka,"   Sela Yatsumi sambil menggelenggelengkan kepala.   "Akan tinggal aku seorang diri di sini. Aku pasti kesepian."   "Begini,"   Ujar Lie Ai Ling.   "Alangkah baiknya engkau dan Bokyong Sian Hoa berangkat bersama ke Tionggoan."   "Benar."   Bokyong Sian Hoa tertawa gembira.   "Yatsumi, kita berangkat bersama nanti."   "Baik."   Yatsumi mengangguk.   Keesokan harinya, Kam Hay Thian, Lie Ai Ling, Sie Keng Hauw dan Lu Hui San berpamit kepada semua orang.   Setelah itu, barulah mereka berangkat ke Tionggoan.   Dalam perjalanan menuju Tionggoan, yang paling gembira adalah Lie Ai Ling dan Sie Keng Hauw.   Mereka berdua terus bersenda gurau sambil tertawa gembira.   Sebaliknya Lu Hui San dan Kam Hay Thian terus membungkam.   Itu tidak terlepas dari mata Sie Keng Hauw.   Diam-diam pemuda itu menghela nafas panjang.   "Hei!"   Seru Lie Ai Ling.   "Kenapa kalian berdua terus membungkam seperti orang bisu? Ber-cakap-cakaplah!"   "Aku...."   Lu Hui San tersenyum getir.   "Hay Thian!"   Sie Keng Hauw memandangnya.   "Kenapa engkau diam saja? Ada sesuatu terganjel dalam hatimu?"   "Tidak,"   Sahut Kam Hay Thian sambil meng- gelenggelengkan kepala.   "Aku... aku rindu sekali pada ibuku."   "Oh?"   Sie Keng Hauw tersenyum.   "Jadi engkau ingin pulang menengok ibumu!"   "Entahlah."   Kam Hay Thian menghela nafas panjang.   "Aku bingung sekali."   "Kenapa bingung?"   Tanya Lie Ai Ling sambil menatapnya.   "Apa yang engkau bingungkan? Bolehkah kami tahu?"   "Itu...."   Kam Hay Thian mengerutkan kening, kelihatannya dia tidak mau memberitahukan.   "Beritahukanlah!"   Desak Lie Ai Ling.   "Ai Ling, jangan mendesaknya!"   Cegah Sie Keng Hauw.   "Itu tidak baik."   "Aaaa...!"   Mendadak Lu Hui San menghela nafas panjang.   "Mungkin dikarenakan aku."   "Kenapa dikarenakan engkau?"   Lie Ai Ling tercengang.   "Karena...."   Mata Lu Hui San mulai basah.   "Yaaah, sudahlah!" "Adik!"   Sie Keng Hauw memandangnya, kemudian memandang Kam Hay Thian seraya berkata.   "Apa kekurangan adikku, sehingga engkau bersikap begitu dingin terhadapnya?"   "Kak!"   Lu Hui San memandang Sie Keng Hauw sambil menggelengkan kepala, itu agar Sie Keng Hauw diam.   "Memang,"   Sela Lie Ai Ling sambil memandang Kam Hay Thian dengan wajah tidak senang.   "Engkau sungguh keterlaluan, Hui San begitu baik dan amat mencintaimu, tapi engkau malah...."   "Kalian harus tahu perasaanku,"   Sahut Kam Hay Thian, kemudian menghela nafas panjang.   "Aku...."   "Kenapa engkau?"   Tanya Lie Ai Ling ketus.   "Terlampau banyak yang kupikirkan, sehingga membuat diriku...."   Kam Hay Thian menggeleng- gelengkan kepala.   "Aku mohon maaf!"   "Sudahlah!"   Sie Keng Hauw tersenyum.   "Biar bagaimana pun, kita semua tetap kawan baik!"   "Terimakasih!"   Ucap Kam Hay Thian.   Mereka berempat melanjutkan perjalanan lagi menuju markas pusat Kay Pang.   Malam harinya mereka bermalam di rumah penginapan.   Sie Keng Hauw sekamar dengan Kam Hay Thian, Lie Ai Ling sekamar dengan Lu Hui San.   Keesokan harinya ketika hari baru mulai terang, Lie Ai Ling dan Lu Hui San dikejutkan oleh suara ketukan pintu.   Kedua gadis itu segera meloncat bangun seraya bertanya.   "Siapa?"   "Aku!"   Suara sahutan Sie Keng Hauw. Lie Ai Ling cepat-cepat membuka pintu kamar. Dilihatnya wajah Sie Keng Hauw agak lain.   "Keng Hauw, apa yang terjadi?" "Hay Thian pergi tanpa pamit,"   Sahut Sie Keng Hauw sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Apa?"   Lie Ai Ling tertegun.   "Maksudmu Hay Thian pergi secara diam-diam?"   "Ya."   Sie Keng Hauw mengangguk sambil melirik Lu Hui San. Wajah gadis itu nampak murung sekali.   "Dia... dia telah pergi seorang diri?"   Tanya Lu Hui San seakan bergumam.   "Kenapa dia memisahkan diri dengan kita?"   "Dia memang keterlaluan,"   Ujar Lie Ai Ling dengan wajah tidak senang.   "Bahkan juga tak tahu diri."   "Sudahlah!"   Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala.   "Biarlah dia pergi, mungkin itu akan membebaskan beban pikirannya."   "Aku sungguh tidak mengerti,"   Ujar Sie Keng Hauw dengan kening berkerut-kerut.   "Kenapa dia begitu macam? Aaaah...!"   "Keng Hauw, mungkinkah dia pergi ke Gunung Hek Ciok San (Gunung Batu Hitam) untuk bertarung dengan Seng Hwee Sin Kun?"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Tanya Lie Ai Ling dengan wajah berubah.   "Itu...."   Pikir Sie Keng Hauw sejenak, kemudian menggelengkan kepala seraya berkata.   "Mungkin tidak, kemungkinan besar dia pulang ke rumahnya menengok ibunya. Bukankah kemarin dia bilang rindu sekali kepada ibunya?"   "Benar."   Lie Ai Ling manggut-manggut.   "Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke rumahnya?"   "Engkau tahu rumahnya?"   Tanya Sie Keng Hauw.   "Tidak tahu,"   Sahut Lie Ai Ling sambil memandang Lu Hui San seraya bertanya.   "Engkau tahu?"   "Aku pun tidak tahu,"   Jawab Lu Hui San. "Yaah!"   Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.   "Kita bertiga tidak tahu rumahnya, lalu apa langkah kita?"   "Melanjutkan perjalanan, ke markas pusat Kay Pang, lalu kita berunding dengan Kakek Lim dan Kakek Gouw,"   Ujar Sie Keng Hauw.   "Benar."   Lie Ai Ling mengangguk.   "Kalau begitu, mari kita berangkat! Jangan membuang- buang waktu di sini!"   Sie Keng Hauw dan Lu Hui San mengangguk. Mereka bertiga lalu berangkat ke markas pusat Kay Pang. Lu Hui San membungkam dengan wajah murung sepajang jalan, Sie Keng Hauw menggeleng-gelengkan kepala.   "Adik, sudahlah!"   Ujarnya lembut.   "Jangan terus memikirkan Hay Thian, dia begitu macam, tiada guna memikirkannya!"   "Aku...."   Lu Hui San menundukkan kepala.   "Tidak disangka, hatinya begitu dingin!"   "Hmm!"   Dengus Lie Ai Ling.   "Dia memang tak tahu diri dan tak kenal budi. Engkau yang membopongnya sampai ke Pulau Hong Hoang To, bahkan demi dirinya engkau pun tahan lapar dan ngantuk terus membopongnya. Tapi sebaliknya dia...."   "Aaaah...!"   Lu Hui San menghela nafas panjang.   "Jangan mempersalahkannya! Dia adalah kawan baik kita, maka aku... aku harus membopongnya sampai di Pulau Hong Hoang To itu."   "Hui San...."   Li Ai Ling menatapnya iba, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.   "Sudahlah! Mulai sekarang engkau tidak perlu memikirkannya lagi!"   "Ng!"   Lu Hui San mengangguk.   "Aku akan berusaha melupakannya."   "Benar."   Lie Ai Ling manggut-manggut.   "Engkau memang harus melupakannya, tiada artinya engkau memikirkannya." -ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, mereka bertiga sudah tiba di markas pusat Kay Pang. Betapa gembiranya Lie Ai Ling ketika melihat Tio Bun Yang berada di situ. Kemudian gadis itu berseru-seru.   "Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang!"   Lie Ai Ling langsung mendekap di dadanya.   "Kakak Bun Yang...."   "Adik Ai Ling!"   Tio Bun Yang membelainya dengan penuh kasih sayang.   "Oh ya, pemuda itu...."   "Dia adalah Sie Keng Hauw. Kakak Bun Yang pasti ingat dia,"   Sahut Lie Ai Ling sambil tertawa gembira.   "Oooh!"   Tio Bun Yang manggut-manggut.   "Dia putra Sie Kuang Han! Bagus! Bagus!"   "Saudara Tio!"   Sie Keng Hauw memberi hormat.   "Terimakasih atas budi pertolonganmu yang telah menyelamatkan nyawa ayahku, bahkan mempertemukan Hui San dengan ayahku pula!"   "Saudara Sie!"   Tio Bun Yang tersenyum.   "Engkau tidak usah berterimakasih kepadaku. Kita semua adalah kawan baik, jadi... harus tolong- menolong dalam hal apa pun."   "Saudara Tio, engkau sungguh berjiwa besar!"   Ujar Sie Keng Hauw, kemudian memberi hormat kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.   "Kakek Lim, Kakek Gouw!"   "Ha ha ha!"   Lim Peng Hang tertawa gelak.   "Silakan duduk! Silakan duduk!"   "Terimakasih!"   Ucap Sie Keng Hauw sambil duduk, Lie Ai Ling duduk di sebelahnya.   "Eeeh?"   Gadis itu menengok ke sana ke mari, seperti sedang mencari sesuatu.   "Kok Goat Nio tidak kelihatan? Apakah dia berada di dalam?" "Dia belum kembali,"   Sahut Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku sudah ke Gunung Thian San, namun tidak bertemu dia."   "Apa?"   Lie Ai Ling terbelalak.   "Jadi hingga saat ini dia belum kembali? Apakah telah terjadi sesuatu atas dirinya?"   "Itulah yang ku khawatirkan,"   Tio Bun Yang menggelenggelengkan kepala lagi.   "Kakak Bun Yang,"   Tanya Lie Ai Ling.   "Kenapa engkau tidak pergi mencarinya?"   "Aku memang ingin pergi mencarinya, tapi...."   Tio Bun Yang memandang Lim Peng Hang.   "Kakek melarangku pergi mencarinya."   "Lho? Kenapa?"   Lie Ai Ling heran.   "Percuma Bun Yang pergi mencari Goat Nio, sebab kita sama sekali tidak tahu dia berada di mana. Lalu Bun Yang harus ke mana mencarinya? Bukankah lebih baik menunggu di sini, agar tidak terjadi selisih jalan lagi?"   Ujar Lim Peng Hang, kemudian bertanya.   "Oh ya, bagaimana keadaan Kam Hay Thian, Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa di sana?"   "Mereka baik-baik saja. Tapi Kam Hay Thian...."   Lie Ai Ling menghela nafas panjang.   "Kenapa dia?"   Tanya Tio Bun Yang tegang.   "Sebetulnya dia ke mari bersama kami, tapi di tengah jalan dia pergi secara diam-diam,"   Jawab Lie Ai Ling memberitahukan.   "Dia memang sengaja memisahkan diri dengan kami."   "Kenapa begitu?"   Tio Bun Yang mengerutkan kening.   "Apakah kalian bertengkar?"   Lie Ai Ling menghela nafas panjang.   "Hui San sangat mencintainya, tapi dia malah bersikap dingin dan acuh tak acuh terhadap Hui San...." "Ai Ling!"   Panggil Lu Hui San, agar Lie Ai Ling tidak melanjutkan ucapannya.   "Sudahlah! Jangan membicarakan tentang itu lagi!"   "Hui San...."   Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.   "Terus terang, aku... aku bersimpati dan merasa kasihan kepadamu."   "Ai Ling!"   Lui Hui San tersenyum getir.   "Mungkin sudah nasibku, mau bilang apa?"   "Kalau aku bertemu Kam Hay Thian, aku pasti akan menasihatinya."   Ujar Tio Bun Yang berjanji.   "Bun Yang!"   Lim Peng Hang mengerutkan kening.   "Percuma engkau menasihatinya."   "Kenapa, Kakek?"   Tanya Tio Bun Yang heran.   "Sebab...."   Lim Peng Hang menghela nafas panjang.   "Cinta tidak bisa dipaksa, maka percuma engkau menasihatinya."   "Tapi...."   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Hui San...."   "Terimakasih atas maksud baikmu, Kakak Bun Yang!"   Ucap Lu Hui San dan menambahkan.   "Memang tidak salah, cinta tidak bisa dipaksa. Maka engkau tidak usah menasihatinya mengenai ini, percuma!"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Tio Bun Yang manggut-manggut, kemudian mengalihkan pembicaraan tentang Bu Ceng Sianli.   "Oh?"   Lie Ai Ling terbelalak setelah mendengar penuturan itu.   "Bidadari Tanpa Perasaan merupakan gadis yang cantik jelita?"   "Ya."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Tapi dia sadis sekali."   "Hi hi hi!"   Lie Ai Ling tertawa.   "Kalau dia tidak sadis, bagaimana mungkin memperoleh julukan itu? Namun orangorang yang dibunuhnya itu adalah para penjahat." "Walau para penjahat, tapi seharusnya dia memberi ampun kepada mereka. Dia tidak perlu membunuh, cukup melukai mereka saja,"   Ujar Tio Bun Yang.   "Saudara Tio!"   Sie Keng Hauw tersenyum.   "Kalau kita memberi ampun kepada para penjahat, justru akan membuat mereka semakin jahat."   "Itu belum tentu,"   Sahut Tio Bun Yang.   "Mungkin mereka akan kembali ke jalan yang benar."   "Ha ha ha!"   Lim Peng Hang tertawa gelak.   "Engkau memang seperti ayahmu, berhati bajik, bijak dan selalu mengampuni orang."   "Kakak Bun Yang memang begitu,"   Sela Lie Ai Ling lalu memandang Sie Keng Hauw seraya berkata.   "Engkau harus belajar seperti Kakak Bun Yang lho!"   "Ya."   Sie Keng Hauw mengangguk sambil tersenyum.   "Aku menuruti perkataanmu."   "Keng Hauw!"   Lie Ai Ling tersenyum manis.   "Sungguh baik engkau, mudah mudahan selamanya engkau tetap begini terhadapku!"   "Jangan khawatir!"   Sie Keng Hauw menggenggam tangannya erat-erat.   "Cintaku terhadapmu takkan luntur selama-lamanya."   "Terimakasih, Keng Hauw!"   Ucap Lie Ai Ling, kemudian mendadak mengecup pipinya.   "Haaah...?"   Wajah Sie Keng Hauw kemerah-merahan, namun bergirang dalam hati. Kalau hanya berduaan, pemuda itu pasti balas mengecupnya.   "Ha ha ha!"   Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tertawa terbahak-bahak.   "Bukan main kecupan itu, sungguh mengesankan!"   Wajah Lie Ai Ling langsung memerah. Gadis itu tidak menyangka Lim Peng Hang akan menggodanya.   "Kakek Lim...."   Lie Ai Ling cemberut.   "Memangnya aku tidak boleh mengecupnya?"   "Tentu boleh, tapi...."   Lim Peng Hang tertawa lagi.   "Alangkah baiknya di saat berduaan saja."   "Kakek Lim...."   Lie Ai Ling membanting- banting kaki. Sementara Gouw Han Tiong terus memandang Lu Hui San, berselang beberapa saat kemudian ia pun bertanya.   "Hui San, apa rencanamu selanjutnya?"   "Aku ingin pergi ke ibu kota menengok ayah angkatku,"   Jawab Lu Hui San.   "Aku rindu kepadanya."   "Kapan engkau akan berangkat?"   Tanya Lim Peng Hang.   "Sekarang,"   Sahut Lui Hui San singkat.   "Apa?"   Lie Ai Ling terbelalak.   "Engkau mau berangkat sekarang? Tidak bisa tunggu besok atau lusa?"   "Ai Ling!"   Lu Hui San menghela nafas panjang.   "Lebih baik aku berangkat sekarang."   "Baiklah."   Lim Peng Hang manggut-manggut.   "Tapi engkau harus berhati-hati menjaga diri!"   Pesannya.   "Ya, Kakek Lim."   Lu Hui San mengangguk. Setelah berpamit, barulah ia meninggalkan markas pusat Kay Pang. Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong dan Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala, sedangkan Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling mengantar gadis itu sampai di luar markas.   "Adik!"   Sie Keng Hauw menggenggam tangannya.   "Kapan engkau akan kembali ke sini lagi?" "Entahlah."   Lu Hui San menggelengkan kepala.   "Oh ya, kapan kalian punya waktu, kalian boleh ke ibu kota menemuiku."   "Baik."   Sie Keng Hauw mengangguk.   "Adik, selamat jalan!"   "Kak!"   Mata Lu Hui San mulai basah.   "Sampai jumpa!"   "Hui San...."   Mata Lie Ai Ling sudah bersimbah air.   "Selamat jalan!"   "Ai Ling!"   Lu Hui San tersenyum getir.   "Selamat tinggal, sampai jumpa kelak!"   Lu Hui San melangkah pergi. Setelah gadis itu tidak kelihatan, barulah Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling kembali ke dalam markas sambil menghela nafas panjang.   "Kasihan dia!"   Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala.   "Dia betul-betul patah hati."   "Mudah-mudahan Hay Thian akan mencintainya kelak!"   Sahut Sie Keng Hauw dan menambahkan.   "Aku justru masih merasa heran."   "Heran kenapa?"   "Menurut aku...."   Sie Keng Hauw mengerutkan kening.   "Sesungguhnya Kam Hay Thian juga mencintai Hui San, hanya saja ada sesuatu terganjal di dalam hatinya yang membuatnya bersikap dingin dan acuh-tak acuh terhadap Hui San."   "Oh?"   Lie Ai Ling tertegun.   "Kira-kira apa yang terganjel di dalam hati Kam Hay Thian?"   "Entahlah."   Sie Keng Hauw menggelengkan kepala.   "Aku tidak mengetahuinya."   "Mungkinkah...."   Lie Ai Ling mengerutkan kening.   "Kam Hay Thian tahu Hui San adalah putri angkat Lu Thay Kam?"   "Iya."   Sie Keng Hauw mengangguk.   "Mungkin karena itu, maka dia bersikap begitu terhadap Hui San." "Tapi tiada seorang pun memberitahukan pada Kam Hay Thian, bahwa Lu Thay Kam adalah ayah angkat Hui San. Jadi bagaimana mungkin Kam Hay Thian mengetahuinya?"   "Ai Ling!"   Sie Keng Hauw tersenyum.   "Engkau harus tahu, Kam Hay Thian sangat cerdas, tentunya dia sudah menduga sampai ke situ."   "Kalau begitu...."   Kening Lie Ai Ling berkerut-kerut.   "Bukan karena Goat Nio?"   "Pasti bukan,"   Sahut Sie Keng Hauw.   "Sebab dia tahu Goat Nio tidak mencintainya, lagi pula dia telah berhutang budi kepada Paman Cie Hiong, tentunya dia tidak berani memikirkan yang bukan- bukan."   "Benar."   Lie Ai Ling mengangguk.   "Kalau begitu...."   Di saat bersamaan, muncullah Tio Bun Yang sambil memandang mereka, kemudian tersenyum seraya berkata.   "Maaf! Aku telah mengganggu kalian!"   "Kakak Bun Yang,"   Sahut Lie Ai Ling.   "Jangan berkata begitu ah! Masa sih engkau akan mengganggu kami."   "Kelihatannya kalian sedang asyik bercakap- cakap, maka...."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Kami sedang membicarakan Lu Hui San dan Kam Hay Thian,"   Potong Lie Ai Ling memberitahukan.   "Oooh!"   Tio Bun Yang manggut-manggut.   "Kupikir. Hay Thian mungkin sudah tahu Hui San adalah putri angkat Lu Thay Kam, maka dia menolak cintanya. Padahal Hay Thian pun mencintai Hui San, tapi...."   "Kakak Bun Yang,"   Ujar Lie Ai Ling.   "Kami pun berpikir begitu. Kini Hui San telah kembali ke ibu kota, kita harus bagaimana?" "Kita tidak bisa turut campur,"   Sahut Tio Bun Yang dan menambahkan.   "Biar dia yang menyelesaikan urusan itu. Kalau kita turut campur, mungkin akan mengeruhkan urusan itu."   "Benar."   Sie Keng Hauw manggut-manggut.   "Tapi belum tentu Hay Thian akan ke ibu kota. Aku justru khawatir dia akan pergi menantang Seng Hwee Sin Kun."   "Itu pun mungkin. Sebab...."   Tio Bun Yang mengerutkan kening.   "Dia sangat dendam kepada Seng Hwee Sin Kun."   "Kalau begitu...."   Wajah Lie Ai Ling agak pucat.   "Bagaimana kalau kita pergi membantu dia?"   "Aku bukan tidak mau pergi bantu dia, melainkan...."   Tio Bun Yang menghela nafas panjang.   "Adik Ai Ling, aku harus menunggu Goat Nio."   "Tapi Hay Thian...."   "Ai Ling!"   Sie Keng Hauw memandangnya seraya berkata.   "Engkau tidak usah cemas, sebab belum tentu Kam Hay Thian akan pergi mencari Seng Hwee Sin Kun, dia tidak akan bertindak sebodoh itu."   Lie Ai Ling manggut-manggut. Tio Bun Yang memandang mereka lalu berkata.   "Mari kita masuk dulu!"   Mereka bertiga masuk. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong masih duduk di situ.   "Bun Yang,"   Tanya Lim Peng Hang.   "Hui San sudah pergi?"   "Sudah, Kek,"   Jawab Tio Bun Yang sambil menggelenggelengkan kepala.   "Dia kelihatan berduka sekali."   "Yaah!"   Lim Peng Hang menghela nafas panjang.   "Entah apa yang akan terjadi?" "Sesungguhnya,"   Ujar Gouw Han Tiong.   "Kam Hay Thian pun mencintainya. Mungkin dia tahu Hui San adalah putri angkat Lu Thay Kam, maka Kam Hay Thian menolak cintanya."   "Kami juga berpikir begitu, tapi...."   Tio Bun Yang mengerutkan kening.   "Yang kami cemaskan adalah Kam Hay Thian, mungkin dia pergi menantang Seng Hwee Sin Kun."   "Itu belum tentu,"   Sahut Lim Peng Hang.   "Sebab kalian sudah memberitahukan, bahwa Kam Hay Thian pernah bilang rindu sekali kepada ibunya. Karena itu, dia pasti pulang ke rumahnya untuk menengok ibunya."   "Setelah itu...."   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Dia pasti akan pergi ke Gunung Hek Ciok San. Aku tidak bisa pergi membantunya, sebab harus menunggu Goat Nio."   "Kakek Lim,"   Tanya Lie Ai Ling mendadak.   "Bolehkah kami berdua pergi membantu Kam Hay Thian?"   "Tidak boleh."   Lim Peng Hang menggelengkan kepala.   "Itu sama juga pergi mencari mati."   "Tapi Kam Hay Thian...."   Lie Ai Ling mengerutkan kening.   "Dia adalah kawan baik kami."   "Benar."   Lim Peng Hang manggut-manggut.   "Dia memang kawan baik kalian, namun belum tentu dia akan pergi ke Gunung Hek Ciok San. Lagi pula sementara ini belum ada kabar beritanya mengenai Seng Hwee Sin Kun, karena itu, aku yakin Kam Hay Thian tidak pergi ke Gunung Hek Ciok San, melainkan akan ke ibu kota."   "Kalau begitu...,"   Ujar Lie Ai Ling.   "Hui San dan dia pasti akan bertemu di ibu kota."   "Ada baiknya mereka bertemu. Mudah-mudahan urusan itu dapat diselesaikan dengan baik!"   Ujar Lim Peng Hang dan melanjutkan.   "Sementara ini kalian bertiga tetap di sini menunggu Goat Nio, jangan ke mana-mana!"   Tio Bun Yang, Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling mengangguk. Di saat itulah Lim Peng Hang teringat sesuatu. Kemudian ketua Kay Pang itu berkata sambil mengerutkan kening.   "Kelihatannya rimba persilatan akan semakin kacau karena kemunculan Kui Bin Pang (Perkumpulan Muka Setan) yang misterius itu."   "Oh ya, apakah Kakek Lim sudah berhasil menyelidiki tentang Kui Bin Pang tu?"   Tanya Lie Ailng.   "Belum."   Lim Peng Hang menggelengkan kepala.   "Sebab sulit sekali melacak Kui Bin Pang itu."   "Kui Bin Pang?"   Sie Keng Hauw tampak terkejut.   "Bagaimana perkumpulan itu muncul di rimba Persilatan lagi?"   "Keng Hauw!"   Lie Ai Ling tercengang.   "Engkau tahu tentang Kui Bin Pang itu?"   "Tahu sedikit,"   Jawab Sie Keng Hauw memberitahukan.   "Guruku pernah menceritakan kepadaku, perkumpulan itu merupakan perkumpulan misteri sekitar seratus tahun yang silam. Tapi perkumpulan itu tidak pernah memasuki daerah Tionggoan, hanya bergerak di daerah Gurun Sih lh dan sekitarnya. Ketua dan para anggota perkumpulan itu berkepandain tinggi sekali, namun pada waktu itu, perkumpulan tersebut mendadak bubar."   "Kalau begitu...."   Lim Peng Hang menatapnya tajam.   "Gurumu pasti punya hubungan dengan Kui Bin Pang itu."   "Entahlah."   Sie Keng Hauw menggelengkan kepala. 'Aku tidak mengetahuinva."   "Keng Hauw,"   Tanya Gouw Han Tiong.   "Bolehkah Kami tahu siapa gurumu?" "Itu...."   Sie Keng Hauw menghela nafas panjang.   "Maaf, Kakek Gouw! Guruku melarangku menyebut nama maupun julukannya, aku tidak berani melanggarnya."   "Ooon!"   Gouw Han Tiong manggut-manggut.   "Tidak apaapa. Tap, bolehkah engkau menceritakan lagi tentang Kui Bin Pang .tu?"   Sie Keng Hauw mengangguk, kemudian mulai menceritakan berdasarkan apa yang didengar dari gurunya.   "Kata guruku, ketua perkumpulan itu memiliki ilmu hitam yang sangat hebat, semacam hipnotis. Siapa yang memandang sepasang matanya, pasti akan terpengaruh oleh ilmu hitamnya itu."   "Oh?"   Lim Peng Kang mengerutkan kei .ng.   "Tapi kira-kira seratus tahun silam, mendadak ketua perkumpulan itu hilang tiada jejaknya sama sekali. Sudah barang tentu perkumpulan itu jadi bubar. Bagaimana mungkin kini muncul lagi?"   Ujar Sie Keng Hauw kurang percaya.   "Aku dan Goat Nio pernah melihat mereka...,"   Sahut Lie Ai Ling dan menutur tentang itu.   "Oh?"   Sie Keng Hauw tertegun.   "Kalau begitu, mereka memang para anggota Kui Bin Pang. Tapi siapa ketua baru itu? Tidak mungkin ketua lama itu masih hidup."   "Kui Bin Pang itu masih belum resmi muncul di rimba persilatan. Mungkin ketua baru itu sedang menghimpun kekuatan, memanggil para anggota yang bubar itu,"   Ujar Lim Peng Hang sambil menghela nafas panjang.   "Aaaah! Itu merupakan ancaman bagi rimba persilatan."   "Kalau begitu memang tidak salah,"   Ujar Tio Bun Yang memberitahukan.   "Aku pun pernah mendengar tentang Kui Bin Pang dari para pedagang. Mereka bilang melihat setan iblis naik kuda, berpakaian serba putih dan wajah menyerupai setan iblis, bahkan juga mengeluarkan siulan aneh yang menyeramkan."   "Betul."   Lie Ai Ling manggut-manggut.   "Mereka memang mengeluarkan siulan aneh yang menyeramkan, memakai kedok setan dan berpakaian serba putih."   "Aaaah...."   Gouw Han Tiong menghela nafas panjang.   "Rimba persilatan sudah tidak aman karena Seng Hwee Kauw dan Hiat Ih Hwe, kini malah muncul Kui Bin Pang lagi!"   "Kalau aku sudah bertemu Goat Nio, aku ingin mengajaknya pulang ke Pulau Hong Hoang To,"   Ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.   "Aku sudah jenuh akan rimba persilatan yang tak pernah aman, tenang dan damai. Ada saja pertikaian."   "Lalu bagaimana dengan Seng Hwee Sin Kun?"   Tanya Lim Peng Hang mendadak sambil menatapnya.   "Dia memang telah membunuh kauw heng, tapi perlukah aku menuntut balas kepadanya?"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tio Bun Yang mengerutkan kening.   "Kalau kita balas-membalas kapan akan berakhir?"   "Bun Yang...."   Lim Peng Hang menghela nafas panjang.   "Engkau bersifat seperti Cie Hiong ayahmu, namun kalian justru berkepandaian sangat tinggi."   "Kakek...."   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Bun Yang!"   Gouw Han Tiong menatapnya tajam seraya berkata.   "Kauw heng menyuruhmu ke goa es belajar ilmu Kan Kun Taylo Im Kang, itu agar engkau dapat melawan Seng Hwee Sin Kun, sekaligus membalaskan dendamnya."   "Tentang itu, bagaimana nanti saja,"   Sahut Tio Bun Yang. Pemuda itu memang tiada nafsu untuk membalas dendam.   "Itu terserah kepadamu,"   Ujar Gouw Han Tiong.   "Kami tidak akan mendesakmu menuntut balas kepada Seng Hwee Sin Kun. Tapi...." "Bun Yang,"   Sambung Lim Peng Hang.   "Kelihatannya tidak lama lagi, suatu bencana akan melanda rimba persilatan, apakah engkau mau tinggal diam?"   "Kakek!"   Tio Bun Yang tersenyum.   "Itu urusan nanti, lebih baik dibicarakan nanti saja. Kini aku cuma memikirkan Goat Nio."   "Kakak Bun Yang,"   Usul Lie Ai Ling.   "Bagaimana kalau kita bertiga pergi mencari Goat Nio?"   "Kakekku sudah bilang tadi, kita harus menunggu di sini agar tidak selisih jalan dengan Goat Nio,"   Sahut Tio Bun Yang.   "Jadi kita tidak boleh pergi mencari Goat Nio."   "Memang lebih baik kita menunggu di sini saja,"   Sela Sie Keng Hauw dan menambahkan.   "Kita lihat bagaimana perkembangan selanjutnya, setelah itu barulah kita membahasnya."   "Benar."   Lim Peng Hang manggut-manggut.   "Sekarang kalian pergi beristirahat saja."   "Ya,"   Sahut Tio Bun Yang, Sie Keng Hauw dan Lie Ai Ling serentak, lalu semuanya pergi ke ruangan belakang.   ---o0dw0ooo- Bagian ke empat puluh empat Kedukaan yang memuncak Ke mana Kam Hay Thian? Apakah ia pergi ke Gunung Hek Ciok San? Ternyata tidak, melainkan pulang ke rumahnya karena sangat rindu kepada ibunya.   Kenapa ia memisahkan diri dengan Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling dan Lu HuiSan? Memang tidak salah, ia sudah tahu bahwa Lu Hui San adalah putri angkat Lu Thay Kam.   Tanpa sengaja ia mendengar percakapan mereka, maka ia tahu Lu Thay Kam adalah ayah angkat Lu Hui San.   Oleh karena itu, ia menolak cinta dari gadis tersebut.   Padahal sesungguhnya, ia mulai mencintai gadis itu.   Tapi ada selapis tembok menghalanginya, yakni Lu Thay Kam itu.   Akhirnya ia mengambil keputusan untuk berpisah dengan Lu Hui San.   Kurang lebih sepuluh hari kemudian, Kam Hay Thian sudah sampai di rumahnya.   Ia berlari- lari memasuki halaman rumah sambil berseru-seru dengan penuh kegembiraan.   "Ibu! Ibu! Aku sudah pulang! Ibu...!"   Seorang tua berhambur ke luar menyambutnya. Ia adalah pembantu tua di rumah itu.   "Tuan muda...."   "Paman tua!"   Panggil Kam Hay Thian sambil tersenyum.   "Di mana ibuku? Aku sudah rindu sekali kepadanya."   "Tuan muda...."   Pembantu tua itu menundukkan kepala, kemudian menangis terisak-isak.   "Paman tua...."   Wajah Kam Hay Thian pucat pias.   "Tuan muda...."   Air mata pembantu tua itu sudah bercucuran.   "Ibumu sudah meninggal beberapa bulan yarg lalu."   "Apa?"   Sekujur badan Kam Hay Thian menggigil, kemudian menjerit.   "Ibu! Ibu...!"   "Tuan muda! Tuan muda...!"   Panggil pembantu t ua itu. Kam Hay Thian berdiri diam, sepasang matanya mendelik lalu terkulai dan pingsan seketika.   "Tuan muda' Tuan muda.. !"   Kalutlah pembantu tua itu, ia berusaha menyadarkannya. Berselang beberapa saat kemudian, sepasang mata Kam Hay Thian terbuka per lahan-lahan, maka legalah hati pembantu tua itu. "Tuan muda...."   "Paman tua...."   Kam Hay Thian berlutut di depan meja sembahyarg dan menangis meraung- raung.   "Ibu! Ibu...!"   Pembantu tua itu membiarkannya terus menangis. Itu memang lebih baik dari pada Kam Hay Thian menahan duka dalam hati, akan membahayakan dirinya.   "Ibu! Ibu...!"   Kam Hay Thian terus menangis meraungraung Lama sekali barulah Kam Hay Thian berhenti menangis, lalu memandang pembantu tua itu seraya bertanya.   "Paman tua! Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?"   Teriak Kam Hay Thian sambil berlari ke dalam rumah. Sesampainya di dalam rumah, ia melihat sebuah meja sembayang di ruang depan, dan sebuah tempat abu di atas meja itu.   "Bagaimana ibuku meninggal?"   "Nyonya.... nyonya dibunuh,"   Jawab pembantu tua itu dengan air mata berderai-derai.   "Apa?"   Kam Hay Thian meloncat bangun.   "Ibuku mati dibunuh? Siapa yang membunuh?"   "Para anggota Hiat Ih Hwe."   "Para anggota Hiat Ih Hwe?"   Sepasang mata Kam Hey Thian langsung berapi-api.   "Kenapa mereka membunuh ibuku?"   "Malam itu..."   Tutur pembantu tua itu.   "Beberapa orang memasuki halaman rumah. Nyonya mendengar suara itu maka segera membuka pintu. Nyonya melihat beberapa orang itu terluka parah. Mereka ternyata para pejuang yang dikejar Hiat Ih Hwe. Nvonya menyembunyikan mereka didalam rumah."   "Kemudian bagaimana?" "Tak lama muncullah belasan orang berpakaian merah. Mereka adalah para anggota Hiat Ih Hwe. Nyonya melarang menggeledah, namun salah seorang anggota Hiat Ih Hwe mengayunkan goloknya, dan kepala nyonya terpenggal jatuh menggelinding di lantai."   "Haaah...?"   Kam Hay Thian nyaris pingsan lagi. Ia menggenggam ujung meja sembayang erat-erat. Braaaak! Tiba-tiba ujung meja sembayang itu hancur menjadi debu. Ternyata tanpa sengaja Kam Hay Thian mengerahkan Iweekangnya "Tuan muda...."   Pembantu tua itu terkejut bukan main.   "Setelah itu bagaimana?"   Tanya Kam Hay Thian dengan wajah kehijau-hijauan.   "Para anggota Hiat Ih Hwe mulai menggeledah, akhirnya mereka menemukan pejuang-pejuang itu, dan kemudian mereka bunuh secara sadis sekali."   Pembantu tua itu memberitahukan.   "Untung mereka tidak menemukan aku, maka aku terhindar dari kematian."   "Aku harus menuntut balas! Aku harus membunuh Lu Thay Kam itu!"   Ujar Kam Hay Thian dengan mata membara.   "Walau dia ayah angkat Hui San, namun aku tetap harus membunuhnya!"   "Tuan muda!"   Pembantu tua itu terisak-isak.   "Sungguh mengenaskan kematian nyonya!"   "Aku bersumpah, akan membunuh Lu Thay Kam dan membasmi Hiat Ih Hwe!"   Ucap Kam Hay Thian mengangkat sumpah itu dengan mata berapi-api.   Kemudian ia memasang hio dan bersujud di depan tempat abu itu.   -ooo0dw0ooo- Sementara itu, Lu Hui San juga sudah tiba di ibu kota.   Dapat dibayangkan, betapa gembiranya Lu Thay Kam.   "Nak..."   Panggilnya dengan suara tergetar- getar.   "Ayah...."   Lu Hui San mendekap di dada Lu Thay Kam.   "Ayah, aku sudah kembali."   "Nak!"   Lu Thay Kam membelainya dengan penuh kasih sayang.   "Syukurlah engkau sudah kembali, ayah gembira sekali!"   "Ayah...."   Lu Hui San terisak-isak.   "Nak!"   Lu Thay Kam menatapnya heran.   "Kenapa engkau tampak berduka? Apa yang telah terjadi?"   "Ayah...."   Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala, lalu duduk dengan kepala tertunduk.   "Nak...."   Lu Thay Kam duduk di hadapannya.   "Beritahukanlah! Apa yang membuatmu berduka?"   "Ayah, aku sudah bertemu Sie Keng Hauw,"   Lu Hui San memberitahukan.   "Tentunya Ayah masih ingat kepadanya, kan?"   "Sie Keng Hauw...."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Lu Thay Kam manggut- manggut.   "Putra Sie Kuang Han kan?"   "Betul, Ayah."   Lu Hui San mengangguk.   "Kepandaiannya sangat tinggi."   "Oh?"   Lu Thay Kam tersenyum.   "Bagus! Mungkin dia akan ke mari menuntut balas, bukan?"   "Ayah telah salah menerka."   Lu Hui San menggelengkan kepala.   "Pamanku melarang kami membalas dendam."   "Oh?"   Lu Thay Kam menatapnya, kemudian menghela nafas panjang.   "Syukurlah kalau begitu!"   "Tapi...."   Lu Hui San menghela nafas panjang.   "Ada apa, San San?"   Tanya Lu Thay Kam dan menambahkan.   "Beritahukanlah! Jangan ragu!" "Aku...."   "Kenapa engkau?"   Lu Thay Kam menatapnya dalam-dalam.   "Apakah engkau sudah punya kekasih?"   "Ayah...."   Wajah Lu Hui San memerah.   "Beritahukanlah!"   Desak Lu Thay Kam.   "Apakah engkau sudah punya kekasih?"   "Aku..."   Jawab Lu Hui San dengan kepala tertunduk.   "Aku mencintainya, namun... dia tidak mencintaiku."   "Oh? Siapa dia? Sungguh berani dia menolak cintamu?"   Lu Thay Kam mengerutkan kening.   "Apakah dia tidak tahu aku adalah ayah angkatmu?"   "Mungkin dia tahu, maka... dia berusaha menjauhi diriku,"   Sahut Lu Hui San sambil menghela nafas dan memberitahukan.   "Dia bernama Kam Hay Thian."   "Kam Hay Thian?"   "Julukannya adalah Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat)."   "Ayah pernah mendengar itu. Tapi kenapa dia menjauhi dirimu, apakah dia punya dendam kepadaku?"   "Aaaah...!"   Lu Hui San menghela nafas panjang lagi.   "Para anggota Hiat Ih Hwee membunuh guru silat Lie dan Lie Beng Cu, maka dia sangat dendam kepada Hiat Ih Hwe, mungkin dia pun akan membunuh Ayah."   "Dia punya hubungan apa dengan guru silat Lie dan Lie Beng Cu?"   "Dia berhutang budi kepada mereka ayah dan anak. Karena para anggota Hiat Ih Hwe membunuh mereka, jadi dia pun ingin membalas dendam."   "Tapi...."   Lu Thay Kam mengerutkan kening.   "Ayah sama sekali tidak kenal guru silat Lie itu, lagi pula ayah tidak pernah perintahkan para anggota Hiat Ih Hwe membunuh guru silat Lie maupun putrinya itu."   "Yaaah!"   Lu Hui San menghela nafas.   "Karena Ayah ketua Hiat Ih Hwe, maka dia pun akan menuntut balas kepada Ayah."   "Oh?"   Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala.   "Lalu apa kehendakmu, Nak?"   "Aku mohon kepada Ayah, jangan turun tangan membunuhnya! Aku.... Aku sangat mencintainya! Aku...."   "Nak!"   Lu Thay Kam tertawa gelak.   "Baik. Ayah berjanji tidak akan membunuhnya!"   "Terimakasih, Ayah!"   Ucap Lui Hui San sambil bersujud di hadapan Lu Thay Kam, ayah angkatnya itu.   "Terimakasih!"   "Bangunlah Nak!"   Lu Thay Kam segera membangukannya.   "Engkau memang gadis yang lemah lembut dan baik hati. Ayah merasa bangga sekali!"   "Ayah...."   Lu Hui San mendekap di dada Lu Thay Kam.   "Terimakasih!"   "Nak!"   Lu Thay Kam membelai-belainya.   "Ayah berjanji, kalau dia ke mari membalas dendam, ayah pasti tidak akan membunuhnya. Legakanlah hatimu, Nak!"   Lu Hui San manggut-manggut. Saking terharu gadis itu menangis terisak-isak.   "Nak, bagaimana sifat pemuda itu?"   Tanya Lu Thay Kam.   "Agak keras hati, namun dia pemuda baik, jujur dan tampan."   Lu Hui San memberitahukan.   "Ooooh!"   Lu Thay Kam manggut-manggut sambil tersenyum.   "Syukurlah kalau begitu!" "Ayah."   Ujar Lu Hui San.   "Aku kembali justru karena khawatir dia akan ke mari membalas dendam kepada Ayah. Aku ingin mendamaikan kalian."   "Nak...."   Lu Thay Kam tertawa gembira.   "Kalau dia mau berdamai dengan ayah, itu memang baik sekali."   "Aku berharap begitu, Ayah."   Lu Hui San tersenyum.   "Oh ya, bagaimana keadaan Ayah selama ini?"   "Baik-baik saja,"   Sahut Lu Thay Kam.   "Tapi...."   "Ada apa, Ayah?"   "Kini dalam istana telah muncul seorang menteri yang cukup berkuasa, hanya ayah yang mampu menyaingi kekuasaannya itu."   Lu Thay Kam memberitahukan dengan kening berkerut-kerut.   "Belum lama ini, menteri itu mengutus beberapa orang kepercayaannya ke Manchuria, kelihatannya menteri itu berniat bersekongkol dengan bangsa liar itu."   "Oh?"   Lu Hui San memandang Lu Thay Kam.   "Kalau tidak salah, Ayah pun pernah mengutus orang pergi menemui raja Manchuria, kan?"   "Benar."   Lu Thay Kam mengangguk.   "Tapi raja Manchuria tidak mau bekerja sama dengan ayah."   "Raja Manchuria itu kenal Paman Cie Hiong, maka dia tidak mau menyerbu ke Tionggoan, otomatis tidak mau bekerja sama dengan Ayah."   Lu Hui San memberitahukan.   "Tapi raja Manchuria itu telah mati dibunuh oleh adik kandungnya, dan kini yang menjadi raja di Manchuria adalah adik kandungnya itu."   "Oh?"   Lu Thay Kam mengerutkan kening.   "Kok engkau tahu begitu jelas tentang itu?"   "Aku tinggal di Pulau Hong Hoang To selama ini. Kemudian Bokyong Sian Hoa juga muncul di pulau itu,"   Jawab Lu Hui San.   "Bun Yang yang membawanya ke sana, jadi kami pun berkenalan."   "Siapa Bokyong Sian Hoa itu?"   "Dia putri almarhum raja Manchuria itu..."   Tutur Lu Hui San dan menambahkan.   "Kini dia masih berada di Pulau Hong Hoang To!"   "Ooh!"   Lu Thay Kam manggut-manggut, kemudian menghela nafas panjang.   "Seandainya para penghuni Pulau Hong Hoang To bersedia membantu kerajaan, ayah yakin Dinasti Beng tidak akan runtuh."   "Maksud Ayah?"   Lu Hui San tertegun.   "Aaaah...!"   Lu Thay Kam menghela nafas panjang.   "Menteri itu berniat meminjam pasukan Manchuria, alasannya pada kaisar yakni demi memberantas para pemberontak yang dipimpin Lie Tsu Seng. Tapi tujuan menteri itu tidak lain ingin meruntuhkan dinasti Beng."   "Menteri itu ingin menjadi kaisar?"   "Betul."   Lu Thay Kam mengangguk.   "Kalau dia berhasil menjadi kaisar, itu tidak masalah. Namun yang ayah khawatirkan justru pasukan Manchuria itu akan memberontak terhadapnya Nah, bukankah kita akan dikuasai oleh Bangsa Manchuria?"   "Maksud Ayah Bangsa Manchuria akan menjajah negeri kita?"   Tanya Lu Hui San dengan wajah berubah.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kira-kira begitulah."   Lu Thay Kam menghela nafas.   "Tapi kini menteri itu masih tidak berani bertindak, karena masih merasa segan kepada ayah. Kalau ayah mati, menteri itu pasti bertindak sewenang-wenang."   "Ayah...."   Lu Hui San menatapnya.   "Lebih baik Ayah hidup tenang di suatu tempat saja. Aku bersedia mendampingi Ayah." "Omong kosong!"   Sahut Lu Thay Kam sambil tertawa.   "Bagaimana mungkin engkau mendampingi Ayah? Bukankah engkau harus mendampingi buah hatimu itu?"   "Ayah...."   Wajah Lu Hui San langsung memerah.   "Lagi pula..."   Tambah Lu Thay Kam.   "Kalau ayah mengundurkan diri sekarang, menteri itu yang akan memperoleh keuntungan, dinasti Beng pasti runtuh di tangannya!"   "Ayah...."   Lu Hui San memandangnya dengan penuh keheranan.   "Aku jadi bingung, sebetulnya Ayah jahat atau baik?"   "Nak...."   Lu Thay Kam menghela nafas panjang.   "Pada dasarnya ayah adalah orang baik, tapi dipaksa menjadi orang jahat."   "Kenapa begitu?"   "Nak..."   Sahut Lu Thay Kam sambil memandang jauh ke depan.   "Ayahku adalah seorang hakim yang sangat bijaksana, adil dan tidak pernah korupsi. Suatu ketika, ayahku menghukum berat seorang anak menteri, karena anak menteri itu memperkosa seorang anak gadis, kemudian membunuhnya pula. Kedua orang tua gadis itu mengadu di pengadilan, maka ayahku segera perintahkan beberapa petugas pergi menangkap anak menteri itu."   "Lalu bagaimana?"   "Para petugas itu tidak berani, sebab terdakwa itu seorang anak menteri. Ayahku tidak perduli, tetap perintahkan para petugas pergi menangkap anak menteri itu. Tentunya membuat gusar menteri itu. Beliau membiarkan para petugas menangkap anaknya. Akan tetapi, menteri itu justru pergi menghadap kaisar sekaligus memfitnah ayahku."   "Oh?"   Lu Hui San tertegun.   "Kemudian bagaimana?" "Kaisar turunkan perintah penangkapan ayahku sekeluarga."   Lu Thay Kam memberitahukan.   "Pada waktu itu, aku baru berusia tujuh tahun. Salah seorang pengawal ayahku berhasil membawaku kabur. Namun kedua orang tuaku dan lainnya ditangkap semua, kemudian dihukum mati."   "Haaah?"   Lu Hui San terkejut bukan main.   "Setelah aku berusia sembilan tahun, pengawal ayahku itu membawaku ke istana."   Tutur Lu Thay Kam.   "Aku dikebiri jadi sida-sida istana."   "Kok Ayah mau dikebiri?"   Tanya Lu Hui San sambil mengerutkan kening.   "Itu memang atas kemauanku,"   Jawab Lu Thay Kam sambil menghela nafas panjang.   "Tujuanku demi membalas dendam."   "Oooh!"   Lu Hui San manggut-manggut.   "Ayah semakin besar, sedangkan kaisar itu semakin tua,"   Ujar Lu Thay Kam dan menam-bahkan.   "Pada waktu itu, Putra Mahkota sangat baik terhadap ayah. Setelah kaisar tua wafat, Putra Mahkota itu naik tahta. Sejak itu, kaisar baru sangat mempercayai ayah. Mulailah ayah membalas dendam terhadap keluarga menteri itu."   "Ternyata begitu!"   Lu Hui San menghela nafas panjang.   "Pantas Ayah sering memfitnah para menteri dan jenderal, agar kaisar menghukum mati mereka!"   "Nak,"   Ujar Lu Thay Kam dengan wajah murung.   "Ayah menyesal sekali memfitnah ayah kandungmu. Padahal kami berdua kawan baik. Hanya dikarenakan salah pendapat sehingga terjadi suatu perdebatan, akhirnya ayah memfitnahnya."   "Itu sudah berlalu, tidak usah diungkit kembali,"   Tandas Lu Hui San.   "Lagi pula paman dan aku telah memaafkan Ayah. Bukankah Ayah bersedia mati di tanganku saat itu?" "Nak...."   Lu Thay Kam tersenyum getir.   "Engkau telah membuka pintu hati nurani ayah. Mulai sekarang ayah harus menjadi Thay Kam yang baik demi dinasti Beng."   "Kalau begitu, Ayah akan membubarkan Hiat Ih Hwe?"   "Ngmm!"   Lu Thay Kam manggut-manggut.   "Mungkin ayah akan perintahkan mereka bergabung dengan Lie Tsu Seng."   "Oh?"   Wajah Lu Hui San berseri.   "Tapi bukankah Ayah sudah bekerja sama dengan Seng Hwee Kauw? Bagaimana kalau Seng Hwee Sin Kun tahu tentang itu?"   "Tidak ada urusan dengan Seng Hwee Sin Kun. Oh ya, ayah pun sudah dengar bahwa Seng Hwee Sin Kun dilukai oleh monyet milik Tio Bun Yang. Engkau tahu tentang itu?"   "Tahu."   Lu Hui San mengangguk sekaligus menutur tentang kejadian itu.   "Oooh!"   Lu Thay Kam manggut-manggut.   "Ternyata engkau yang membopong Kam Hay Thian ke Pulau Hong Hoang To! Lalu bagaimana keadaan Tio Bun Yang dan monyetnya itu?"   "Kepandaian Bun Yang bertambah tinggi, tapi kauw heng itu sudah mati."   Lu Hui San memberitahukan.   "Ngmm!"   Lu Thay Kam mengerutkan kening.   "Bagaimana kepandaian Kam Hay Thian?"   "Sudah maju pesat di bawah bimbingan Paman Cie Hiong, tapi belum tentu mampu melawan Seng Hwee Sin Kun."   "Kalau begitu, dia masih bukan lawanku,"   Ujar Lu Thay Kam.   "Kalau dia ke mari...."   "Ingat Ayah!"   Lu Hui San menatapnya.   "Ayah telah berjanji tidak akan membunuhnya, jangan ingkar janji lho!" "Ayah tidak akan lupa itu,"   Sahut Lu Thay Kam sambil tertawa gelak.   "Maksud ayah kalau dia ke mari, ayah akan bicara baik-baik dengan dia."   "Oooh!"   Lu Hui San langsung berlega hati.   "Ayah...."   "Ha ha ha!"   Lu Thay Kam tertawa terbahak- bahak.   "Ha ha ha...!" -ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, di saat Lu Hui San sedang duduk termenung di halaman belakang istana tempat tinggal Lu Thay Kam, mendadak melayang turun seseorang yang tidak lain adalah Kam Hay Thian yang mengenakan pakaian berkabung.   "Hay Thian..."   Panggil Lu Hui San terbelalak dan bergirang dalam hati. Akan tetapi, Kam Hay Thian menatapnya dengan dingin sekali, tentunya sangat mengejutkan hati gadis itu.   "Hay Thian, kenapa engkau...."   "Dimana ayah angkatmu? Cepat suruh dia ke luar bertarung denganku!"   Sahut Kam Hay Thian dengan mata berapi-api.   "Cepaaat suruh dia keluar!"   "Hay Thian...."   "Diam!"   Bentak Kam Hay Thian dingin.   "Jangan panggil namaku!"   "Kenapa engkau membenciku? Kenapa? Kenapa...?"   Sahut Lu Hui San dengan air mata berderai-derai.   "Jelaskan! Engkau harus menjelaskannya!"   "Karena engkau putri angkat Lu Thay Kam!"   Kam Hay Thian memberitahukan.   "Semula aku cuma berusaha menjauhimu, tapi kini aku justru membencimu!"   "Kenapa?"   Wajah Lu Hui San pucat pias. "Karena..."   Sahut Kam Hay Thian sambil ber- kertak gigi.   "Beberapa bulan lalu, para anggota Hiat Ih Hwe membunuh ibuku!"   "Apa?"   Lu Hui San terbelalak. Barulah ia tahu kenapa Kam Hay Thian mengenakan pakaian kabung.   "Nah, engkau dengar baik-baik! Aku benci padamu dan harus membunuh ayah angkatmu itu!"   "Hay Thian...."   Lu Hui San menghela nafas panjang.   "Kami sama sekali tidak tahu tentang itu. Beberapa bulan lalu, bukankah kita masih berada di Pulau Hong Hoang To?"   "Benar! Tapi aku tetap benci padamu, karena engkau adalah putri angkat Lu Thay Kam!"   "Apakah engkau tidak tahu? Sesungguhnya aku putri Sie Kuang Weng. Ayah kandungku justru mati lantaran fitnahan Lu Thay Kam, namun aku dan pamanku telah memaafkannya."   "Hm!"   Dengus Kam Hay Thian dingin.   "Itu karena engkau ingin hidup senang di sini!"   "Hay Thian! Kalau aku ingin hidup senang di sini, tidak mungkin aku pergi berkelana!"   "Sudahlah! Jangan banyak bicara, cepatlah panggil ayah angkatmu itu ke mari!"   "Ha ha ha!"   Terdengar suara tawa gelak.   "Anak muda, kenapa engkau begitu bernafsu ingin membunuhku?"   Melayang turun seseorang yang ternyata Lu Thay Kam. la memandang Kam Hay Thian dengan penuh perhatian.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Anjing tua!"   Bentak Kam Hay Thian.   "Hari ini adalah hari kematianmu!" "Anak muda!"   Lu Thay Kam mengerutkan kening.   "Kenapa engkau begitu kurang ajar, padahal San San memuji dirimu di hadapanku! Engkau Kam Hay Thian kan?"   "Tidak salah! Engkau memang Kam Hay Thian!"   Sahut pemuda itu.   "Aku ke mari ingin mencabut nyawamu!"   "Hay Thian...."   Lu Thay Kam menghela nafas panjang.   "Di antara kita tiada dendam apa pun, kenapa engkau begitu bernafsu ingin membunuhku?"   "Para anak buahmu membunuh guru silat Lie dan putrinya, itu masih dapat kumaafkan! Tapi beberapa bulan lalu, para anak buahmu justru membunuh ibuku secara sadis sekali!"   Sahut Kam Hay Thian sengit dengan mata berapi-api.   "Leher ibuku putus terpenggal oleh salah seorang anak buahmu, sehingga kepala ibuku menggelinding di lantai! Nah, hari ini aku harus membalas dendam!"   "Hay Thian!"   Bentak Lu Thay Kam.   "Itu perbuatan para anggota, bukan perbuatan ayah angkatku! Engkau harus tahu itu!"   "Tapi ayahmu ketua Hiat Ih Hwe, maka aku harus membunuhnya!"   Sahut Kam Hay Thian dan menambahkan.   "Kalau engkau tidak menyingkir, aku pun akan membunuhmu pula!"   "Bagus! Bagus! Cepat bunuhlah aku! Cepat!"   Lu Hui San maju ke hadapan Kam Hay Thian. Itu membuat pemuda tersebut terpaksa menyurut mundur beberapa langkah.   "Cepatlah menyingkir!"   Bentak Kam Hay Thian dengan kening berkerut-kerut.   "Bukankah engkau ingin membunuhku? Nah, cepat bunuhlah aku! Tunggu apalagi?"   Tantang Lu Hui San yang memang sudah merasa kccewa terhadap pemuda itu.   "Engkau...."   Mendadak Kam Hay Thian mengayunkan tangannya. Plaaak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi gadis itu.   "Aduuuh!"   Jerit Lu Hui San kesakitan sambil mengusap pipinya.   "Engkau... engkau...."   "Siapa suruh engkau tidak mau menyingkir? Hmmm...!"   Dengus Kam Hay Thian.   "Anak muda!"   Bentak Lu Thay Kam.   "Sungguh berani engkau menampar putriku! Kalau aku tidak berjanji padanya, engkau pasti sudah mati sekarang!"   "Oh?"   Kam Hay Thian tertawa dingin, lalu mendadak menyerang Lu Thay Kam.   Lu Thay Kam terpaksa berkelit, tapi Kam Hay Thian menyerangnya lagi.   Apa boleh buat, Lu Thay Kam terpaksa balas menyerangnya.   Terjadilah pertarungan sengit, sebab Kam Hay Thian menyerangnya menggunakan Pak Kek Sin Ciang yang mengeluarkan hawa dingin.   "San San! Cepat menyingkir!"   Seru Lu Thay Kam sambil menangkis serangan Kam Hay Thian.   "Ayah!"   Ujar Lu Hui San sambil menyingkir.   "Jangan ingkar janji!"   "Nak... baiklah! Ayah tidak akan ingkar janji!"   Sahut Lu Thay Kam Sementara Kam Hay Thian terus menyerangnya.   Lu Thay Kam tampak kewalahan, akhirnya terpaksa mengeluarkan Ie Hoa Ciap Bok Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Memindahkan Bunga Dan Menyambung Pohon).   Lu Hui San menyaksikan pertarungan itu dengan hati berdebar-debar tegang.   Gadis itu sama sekali tidak menghendaki ada yang mati.   Tapi pertarungan itu makin seru, Kam Hay Thian mati-matian menyerang Lu Thay Kam.   Puluhan jurus kemudian, mendadak Kam Hay Thian bersiul panjang sekaligus menyerang Lu Thay Kam dengan jurus Swat Hoa Phiau Phiau (Bunga Salju Berterbangan).   Menyaksikan jurus itu, Lu Thay Kam terpaksa menangkisnya dengan jurus Hoa Khay Yap Cing (Bunga Memekar Daun Menghijau).   Tampak tubuh mereka berkelebatan kemudian terdengarlah suara benturan.   Daaar...! Ternyata Kam Hay Thian telah mengadu pukulan dengan Lu Thay Kam.   Kam Hay Thian terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, begitu pula Lu Thay Kam.   "Bagus! Bagus!"   Ujar Lu Thay Kam sambil tertawa gelak.   "Engkau memang pantas menjadi kekasih putriku!"   "Jangan banyak omong, anjing tua!"   Bentak Kam Hay Thian.   "Bersiap-siaplah untuk mampus!"   Kam Hay Thian bersiul panjang, kemudian menyerang Lu Thay Kam dengan jurus Han Thian Soh Swat (Menyapu Salju Di Hari Dingin). Tampak sepasang tangan Kam Hay Thian bergerak cepat, sepasang kakinya pun menendang secepat kilat.   "Bagus!"   Seru Lu Thay Kam sambil menangkis dengan jurus Ki Yauw Yap Lok (Dahan Bergoyang Daun Rontok) Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat. Lu Thay Kam dan Kam Hay Thian sama-sama terpental beberapa langkah. Lweekang mereka kelihatan seimbang.   "Ha ha ha!"   Lu Thay Kam tertawa gelak.   "Anak muda, engkau memang hebat! Tidak heran pilihan putriku jatuh padamu!" "Anjing tua!"   Bentak Kam Hay Thian sambil mengerahkan Pak Kek Sin Kang hingga kepuncaknya, kelihatannya ia ingin mengeluarkan jurus yang paling dahsyat untuk menyerang Lu Thay Kam.   Namun itu tidak terlepas dari mata Lu Thay Kam, maka ia pun menghimpun Ie Hoa Ciap Bok Sin Kang sampai pada puncaknya.   "Lihat serangan!"   Bentak Kam Hay Thian sambil menyerang dengan sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus Leng Swat Teng Hai (Salju Menutupi Laut).   Serangan itu sungguh dahsyat dan lihay, bahkan mengeluarkan hawa yang sangat dingin.   Apa boleh buat! Lu Thay Kam terpaksa menyambut serangan itu dengan jurus Ie Hoa Ciap Bok (Memindahkan Bunga Menyambung Pohon).   "Ayah...!"   Terdengar seruan Lu Hui San, yang tahu jurus tersebut akan merenggut nyawa Kam Hay Thian.   Suara seruan Lu Hui San membuat Lu Thay Kam teringat akan janjinya, maka ia cepat-cepat menarik kembali dua bagian Iweekangnya.   Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat memekakkan telinga.   Kam Hay Thian terhuyung-huyung beberapa langkah, sedangkan Lu Thay Kam terpental beberapa depa, sekujur badan menggigil dan mulutnya mengeluarkan darah.   "Anjing tua! Hari ini engkau harus mampus!"   Teriak Kam Hay Thian sambil menyerang Lu Thay Kam. Lu Thay Kam telah terluka dalam, maka bagaimana mungkin mampu menyambut pukulan yang dilancarkan Kam Hay Thian? Ia ingin berkelit tapi sudah terlambat.   "Hay Thian, jangan...!"   Pekik Lu Hui San. Akan tetapi, pukulan yang dilancarkan Kam Hay Thian telah menghantam dada Lu Thay Kam.   "Aaaakh...!"   Jerit Lu Thay Kam. Badannya, terpental bagaikan layang-layang putus tali kemudian jatuh gedebuk sambil menyemburkan darah segar dari mulutnya.   "Ayah! Ayah...!"   Lu Hui San berlari-lari mendekati Lu Thay Kam.   "Ayah...!"   "Nak...!"   Panggil Lu Thay Kam sambil tersenyum.   "Ayah.... Ayah tidak ingkar janji kan? Ayah....   "Ayah! Ayah...!"   Lu Hui San memeluknya erat-erat.   "Ayah...!"   "Nak...!"   Lu Thay Kam membelainya.   "Ayah merasa puas sekali, engkau... engkau sangat berbakti kepadaku. Tapi... tidak lama lagi engkau akan menjadi sebatang kara...."   "Ayah...!"   Panggil Lu Hui San sambil menangis sedih dengan air mata berderai derai.   "Ayah...!"   Sementara Kam Hay Thian cuma berdiri termangu-mangu di tempat, sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi. Kenapa mendadak Lu Thay Kam menarik lweekangnya ketika ia menyerang dengan dahsyat? "Nak...!"   Suara Lu Thay Kam makin lemah.   "Nak, ayah... ayah sudah tidak tahan. Engkau... engkau jangan mendendam pada... pada pemuda itu...."   "Ayah...!"   "Nak...!"   Mendadak kepala Lu Thay Kam terkulai, ternyata nafasnya sudah putus.   "Ayah! Ayah...!"   Jerit Lu Hui San sambil menangis meraungraung.   "Ayah, engkau telah berkorban demi janji itu. Aku... aku yang mencelakaimu, Ayah...."   Mendadak Lu Hui San bangkit berdiri, lalu memandang Kam Hay Thian dengan mata berapi- api.   "Kini engkau sudah puas kan? Engkau sudah puas kan? Ayah angkatku tidak membunuh ibumu, tapi engkau malah membunuhnya. Ketika aku ke mari, aku bermohon kepadanya agar tidak turun tangan membunuhmu! Ayah angkatku menyanggupinya, maka ketika ayah angkatku menangkis dengan jurus Ie Hoa Ciap Bok, ayahku justru menarik kembali lweekangnya, sehingga terluka oleh pukulanmu! Namun engkau begitu kejam, ayah angkatku sudah terluka dalam, engkau masih menyerangnya! Kini ayah angkatku telah mati, engkau merasa puas? Kalau belum merasa puas, silakan bunuh aku juga!"   "Hui San...!"   Panggil Kam Hay Thian dengan suara bergemetar.   "Aku...."   "Jangan panggil namaku!"   Bentak Lu Hui San sambil tertawa dan menangis.   "Aku benci padamu! Aku benci padamu...!"   "Hui San!"   Kam Hay Thian ingin mendekatinya. Akan tetapi, Lu Hui San malah melangkah ke belakang sambil menudingnya.   "Engkau adalah iblis! He he he!"   Lu Hui San tertawa terkekeh-kekeh.   "Engkau adalah iblis! Engkau pembunuh ayah angkatku! Aku benci, engkau aku benci padamu...!"   "Hui San, maafkanlah aku!"   "Aku tidak akan memaafkan mu! Aku benci padamu...!"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sahut Lu Hui San sambil tertawa terkekeh-kekeh.   "Aku benci padamu...!"   Tiba-tiba Lu Hui San melesat pergi. Kam Hay Thian ingin mencegahnya, tapi gadis itu langsung menyerangnya. "Aku benci padamu! Cepat minggir!"   Bentak Lu Hui San sambil menangis.   "Kalau engkau tidak minggir, aku akan bunuh diri di sini!"   "Hui San...."   Kam Hay Thian terpaksa menyingkir. Lu Hui San tertawa terkekeh-kekeh, lalu melesat pergi dan masih terdengar suara tawanya.   "Hui San..."   Gumam Kam Hay Thian. Mendadak ia melesat pergi, maksudnya ingin menyusul Lu Hui San. Akan tetapi, gadis itu sudah tidak kelihatan.   "Aaaah...!"   Keluh Kam Hay Thian.   "Kalau Hui San jadi gila, itu adalah dosaku! Aku harus mencarinya! Harus mencarinya!" -oo0dw0oo- Bagian ke empat puluh lima Tayly Lo Ceng terluka Di halaman istana Tayli, tampak Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sedang duduk sambil bercakap-cakap.   "Sudah hampir setahun kita tidak ke Pulau Hong Hoang To, entah bagaimana keadaan di sana?"   Ujar Toan Beng Kiat sambil menggeleng- gelengkan kepala.   "Aku rindu sekali pada mereka."   "Sama,"   Sahut Lam Kiong Soat Lan.   "Ingin rasanya sekarang berangkat ke Hong Hoang To."   "Itu bagaimana mungkin?"   Toan Beng Kiat menghela nafas panjang.   "Orang tua kita tidak akan memperbolehkan kita ke sana, itu sungguh menjengkelkan!"   "Beng Kiat, bagaimana kalau kita pergi secara diam-diam?"   Tanya Lam Kiong Soat Lan seakan mengusulkan. "Aku tidak berani."   Toan Beng Kiat menggelengkan kepala.   "Sebab akan membuat gusar orang tua kita. Lebih baik kita minta ijin saja."   "Tidak mungkin orang tua kita mengijinkan- nya!"   Lam Kiong Soat Lan menghela nafas.   "Aku sudah rindu sekali pada mereka, lagi pula bosan rasanya terus diam di istana ini."   "Soat Lan!"   Toan Beng Kiat menatapnya seraya berkata.   "Bagaimana kalau nanti malam kita berunding dengan orang tua kita?"   "Baik."   Lam Kiong Soat Lan mengangguk.   "Tapi...."   Mendadak ucapan gadis itu terputus, karena terganggu oleh suara tawa cekikikan.   "Hi hi hi! Hi hi hi...!"   "Siapa?"   Bentak Toan Beng Kiat.   "Cepatlah menampakkan diri, jangan sampai aku bertindak!"   "Bocah! Engkau mau bertindak apa?"   Tanya orang yang tertawa tadi, kemudian melayang seseorang.   Begitu melihat orang itu, terbelalaklah Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, karena orang itu merupakan gadis cantik jelita berusia dua puluhan.   Siapa gadis itu? Ternyata Bu Ceng Sianli - Tu Siao Cui.   "Siapa Kakak?"   Tanya Lam Kiong Soat Lan.   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa nyaring sekaligus balik bertanya.   "Kalian berdua siapa?"   "Aku bernama Lam Kiong Soat Lan dan dia bernama Toan Beng Kiat."   Sahut Lam Kiong Soat Lan.   "Siapa orang tua kalian?"   Tanya Tu Siao Cui sambil menatap mereka dengan tajam.   "Ayahku bernama Lam Kiong Bie Liong, ibuku bernama Toan Pit Lian,"   Jawab Lam Kiong Soat Lan. "Ayahku bernama Toan Wie Kie, ibuku bernama Gouw Sian Eng."   Toan Beng Kiat memberitahukan.   "Aku tidak kenal."   Tu Siao Cui menggelengkan kepala.   "Oh ya, kalian punya hubungan dengan Toan Hong Ya?"   "Toan Hong Ya adalah kakek kami,"   Sahut Toan Beng Kiat.   "Oooh!"   Tu Siao Cui manggut-manggut.   "Kalau begitu, cepatlah kalian antar aku menemui Toan Hong Ya!"   "Maaf, Kakak!"   Ucap Lam Kiong Soat Lan.   "Kami masih belum tahu siapa Kakak!".   "Namaku Tu Siao Cui, julukanku adalah Bu Ceng Sianli. Nah, cepatlah kalian antar aku menemui Toan Hong Ya!"   "Maaf, kami tidak berani!"   Lam Kiong Soat Lan menggelengkan kepala.   "Sebab akan dimarahi orang tua kami."   "Kalau begitu...."   Tu Siao Cui tertawa.    Bangau Sakti Karya Chin Tung Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini