Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti Suling Pualam 23


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 23


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya dari Chin Yung   "Aku akan masuk sendiri menemui Toan Hong Ya."   "Kakak!"   Toan Beng Kiat segera menghadang di hadapannya.   "Ini istana Tayli, engkau tidak boleh berlaku semaumu!"   "Oh?"   Tu Siao Cui tertawa cekikikan.   "Hi hi hi! Bocah, apakah engkau mampu menghadangku?"   "Kenapa tidak?"   Sahut Toan Beng Kiat sambil menatapnya.   "Kalau Kakak berkeras ingin masuk, aku terpaksa harus bertindak."   "Bertindak bagaimana?"   Tanya Tu Siao Cui sambil tersenyum.   "Menghadangmu."   Toan Beng Kiat kelihatan sudah bersiap menghadangnya apabila Tu Siao Cui berkeras menerobos ke dalam. "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa nyaring.   "Aku tahu, kepandaian kalian berdua cukup tinggi. Tapi kalian berdua masih tidak mampu menghadangku."   "Kalau Kakak berkeras ingin menerobos ke dalam, kami terpaksa berlaku kurang ajar terhadap Kakak,"   Ujar Lam Kiong Soat Lan.   "Oh, ya? Hi hi hi...!"   Tu Siao Cui tertawa cekikikan. Bersamaan itu, muncullah beberapa orang. Mereka adalah Toan Wie Kie, Gouw Siang Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian.   "Siapa Nona?"   Tanya Toan Beng Kiat dengan kening berkerut-kerut "Ada urusan apa Nona ke mari?"   "Kalian tentu para orang tua mereka berdua,"   Sahut Tu Siao Cui sambil menunjuk Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.   "Ya, kan?"   "Betul."   Toan Wie Kie mengangguk.   "Ada masalah?"   "Aku menyuruh mereka mengantarku menemui Toan Hong Ya, tapi nereka tidak mau,"   Ujar Tu Siao Cui memberitahukan.   "Sebaliknya malah ingin menghadangku."   "Mereka berdua memang harus menghadangmu,"   Sahut Toan Pit Lian dan menambahkan.   "Sebab orang luar tidak boleh memasuki istana ini semaunya."   "Kalau aku ingin memasuki istana Tayli ini semauku, kalian mau apa?"   Tanya Tu Siao Cui menantang.   "Eh?"   Toan Pit Lian mengerutkan kening.   "Engkau berani menghina kami?"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa geli.   "Sungguh lucu sekali Siapa yarg menghina kalian?"   "Engkau ingin memasuki istana ini semaumu! Berarti menghina kami."   Sahut Toan Pit Lian. "Hi hi hi...!"   Tu Siao Cui tertawa cekikikan.   "Engkau harus tahu, aku mau memasuki istana ini, sebetulnya merupakan suatu kehormatan bagi Toan Hong Ya."   "Omong kosong!"   Bentak Toan Pit Lian.   "Cepat beritahukan, siapa engkau!"   "Namaku Tu Siao Cui, julukanku adalah Bu Ceng Sianli. Engkau sudah tahu aku siapa, cepatlah antar aku ke dalam menemui Toan Hong Ya!"   "Ada urusan apa engkau ingin menemui ayah?"   Tanya Toan Wie Kie sambil menatapnya tajam.   "Aku ingin menanyakan sesuatu kepadanya,"   Jawab Tu Siao Cui dan menambahkan sambil tersenyum.   "Kalian tidak usah khawatir, aku tidak berniat jahat terhadap Toan Hong Ya. Percayalah!"   "Baiklah."   Toan Wie Kie manggut-manggut.   "Kebetulan ayahku berada di ruang tengah, silakan Nona ikut kami ke sana!"   "Terimakasih!"   Ucap Tu Siao Cui.   Mereka masuk ke dalam menuju ruang tengah.   Toan Hong Ya memang sedang duduk di ruang itu membaca buku.   Ketika melihat Tu Siao Cui, terbelalaklah Toan Hong Ya.   Itu tidak usah heran.   Sebab Tu Siao Cui sangat cantik sekali, bahkan juga memiliki daya tarik yang luar biasa, maka membuat Toan Hong Ya terpukau menyaksikan kecantikannya.   "Ayah!"   Toan Wie Kie memberitahukan.   "Nona Tu ingin bertemu Ayah."   "Oh?"   Toan Hong Ya tercengang.   "Ada urusan apa Nona Tu ingin bertemu aku? Siapa yang mengutusmu ke mari?"   "Toan Hong Ya,"   Sahut Tu Siao Cui tanpa memberi hormat.   "Aku harus dipersilakan duduk dulu." "Nona jangan kurang ajar terhadap ayahku!"   Bentak Toan Pit Lian.   "Cepatlah beri hormat!"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa cekikikan.   "Kenapa aku harus memberi hormat kepadanya?"   "Nona!"   Toan Pit Lian mengerutkan kening.   "Ayahku adalah raja Tayli, maka engkau harus memberi hormat kepadanya!"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa lagi.   "Aku adalah Bu Ceng Sianli, seharusnya ayahmu yang memberi hormat kepadaku."   "Kurang ajar!"   Bentak Toan Pit Lian gusar.   "Ha ha ha!"   Toan Hong Ya tertawa sambil memberi isyarat kepada Toan Pit Lian agar putrinya itu jangan gusar dan melanjutkan.   "Nona Tu, engkau masih muda, aku sudah berusia lanjut. Oleh karena itu, engkau tidak boleh kurang ajar terhadapku."   "Berapa usiamu, Toan Hong Ya?"   Tanya Tu Siao Cui mendadak.   "Tujuh puluh satu,"   Sahut Toan Hong Ya sambil tersenyum.   "Engkau harus memanggilku kakek lho!"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa nyaring.   "Toan Hong Ya, tahukah engkau berapa usiaku?"   "Dua puluhan."   "Salah."   Tu Siao Cui tersenyum sambil memberitahukan.   "Usiaku sudah hampir sembilan puluh."   "Nona Tu!"   Toan Hong Ya menggeleng-gelengkan kepala.   "Engkau jangan berhumor, itu tidak baik!"   "Toan Hong Ya, aku berkata sesungguhnya,"   Sahut Tu Siao Cui sungguh-sungguh.   "Sama sekali tidak berhumor."   "Dasar sinting!"   Sela Toan Pit Lian dan menambahkan.   "Engkau harus segera enyah dari sini!" "Apa?"   Tu Siao Cui melotot.   "Perempuan cerewet, engkau berani mengusirku?"   "Kenapa tidak?"   Sahut Toan Pit Lian gusar.   "Apabila perlu, aku akan menghajarmu!"   Tiba-tiba Tu Siao Cui bergerak cepat, tampak badannya berkelebat laksana kilat ke arah Toan Pit Lian. Plaaak! Terdengar suara tamparan. Ternyata pipi Toan Pit Lian yang terkena tampar, membuatnya menjerit kesakitan.   "Aduuuh!"   "Engkau...."   Lam Kiong Bie Liong menudingnya.   "Akan kuhajar engkau!"   "Kakak!"   Bentak Lam Kiong Soat Lan.   "Engkau berani menampar ibuku? Akan kubalas...."   "Soat Lan!"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Seru Toan Hong Ya.   "Diam di tempat, jangan kurang ajar!"   "Kakek,"   Sahut Lam Kiong Soat Lan.   "Dia menampar ibu, aku harus membalasnya."   "Sudahlah!"   Toan Hong Ya mengerutkan kening, kemudian menatap Tu Siao Cui tajam.   "Nona Tu, engkau ingin cari garagara di sini?"   "Aku ke mari secara baik-baik, tapi...."   Tu Siao Cui menunjuk Toan Pit Lian seraya berkata.   "Dia yang cari garagara denganku, maka aku memberi pelajaran kepadanya."   "Nona Tu,"   Tanya Toan Hong Ya.   "Sebetulnya ada urusan apa engkau datang ke mari menemuiku?"   "Aku ke mari ingin bertanya sesuatu kepadamu."   Sahut Tu Siao Cui sekaligus bertanya.   "Di mana Tayli Sin Ceng-Kong Sun Hok?" "Apa?"   Toan Hong Ya tampak tertegun, sebab orang lain tidak tahu bahwa itu adalah julukan Tayli Lo Ceng ketika masih muda, Kong Sun Hok adalah namanya. Bukankah mengherankan sekali Tu Siao Cui mengetahui tentang itu? "Engkau kenal Tayli Lo Ceng?"   "Aku tidak kenal Tayli Lo Ceng, hanya kenal Tayli Sin Ceng,"   Sahut Tu Siao Cui.   "Aku akan membuat perhitungan dengan padri sialan itu!"   "Nona...."   Toan Hong Ya terbelalak.   "Kapan engkau bertemu Tayli Sin Ceng (Padri Sakti Tayli) itu?"   "Kira-kira delapan puluh tahun lalu."   "Haaah...?"   Mulut Toan Hong Ya ternganga lebar, begitu pula yang lain.   "Ayah,"   Ujar Toan Wie Kie.   "Dia gadis gila, tidak usah diladeni! Biar kuusir dia!"   "Wie Kie!"   Toan Hong Ya menatapnya.   "Diamlah!"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa.   "Bagus! Bagus! Sebentar lagi kita boleh bertanding!"   "Sekarang pun boleh!"   Tantang Toan Wie Kie yang mulai kesal terhadap Tu Siao Cui itu.   "Oh, ya?"   Tu Siao Cui tertawa.   "Kalau begitu, keluarkanlah senjatamu!"   Ketika Toan Wie Kie ingin mengeluarkan kipasnya, Gouw Sian Eng berkata setengah berbisik.   "Jangan emosi, akan merusak suasana!"   "Tapi...."   Toan Wie Kie mengerutkan kening.   "Gadis itu terlampau kurang ajar!"   "Biarkan saja!"   Sahut Gouw Sian Eng sambil tersenyum lembut.   "Yang penting engkau jangan emosi."   Toan Wie Kie manggut-manggut, sedangkan Tu Siao Cui terus memandangnya, kemudian tertawa seraya berkata.   "Bagus! Bagus! Suami memang harus menurut pada isteri! Hi hi hi!"   "Engkau...."   Wajah Toan Wie Kie tampak kemerahan.   "Engkau sungguh kurang ajar!"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa geli.   "Engkau merasa malu karena aku mengatakan, bahwa suami harus menurut pada isteri?" 'Aku...."   Toan Wie Kie tergagap.   "Nona Tu,"   U;ar Toan Hong Ya ssmbil menatapnya dengan penuh perhatian.   "Betulkah delapan puluh tahun lalu engkau bertemu Tayli Sin Ceng?"   "Toan Hong Ya."   Sanut Tu Siao Cui.   "Apa gunanya aku bohong? Kalau Toan Hong Ya tidak percaya, tunggu padri sialan itu ke mari!"   "jangan mencaci guru kami!' seru Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan dengan nada gusar.   "Oh?"   Tu Siao Cui menatap mereka.   "Padri sialan itu guru kalian?"   "Betul."   Sahut Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak. 'Maka Kakak jangan menghina dan mencaci guru kami!"   "Aku justru ingin menghajar guru kalian itu,"   Ujar Tu Siao Cui sambil tertawa. -ooo0dw0ooo-   Jilid . 10 "Kakak...."   Ketika Toan Beng Kiat ingin mengatakan sesuatu, namun keburu di dahului oleh Toan Hong Ya.   "Nona Tu, Tayli Lo Ceng tidak berada di sini, lebih baik engkau pergi saja, jangan membuat onar di tempat ini!"   "Jadi...."   Tu Siao Cui mengerutkan kening.   "Toan Hong Ya mengusirku? Begitu kan?"   "Bukan mengusir, melainkan...."   "He he he!"   Tu Siao Cui tertawa terkekeh-kekeh.   "He he he! Toan Hong Ya, engkau telah membuat hatiku tersinggung. Oleh karena itu, akupun tak ingin membuat kalian susah."   "Nona Tu...."   Toan Hong Ya terkejut.   "Eng-kau mau apa?"   "Aku ingin bertanding dengan jagoan di sini."   Sahut Tu Siao Cui memberitahukan.   "Putra dan menantumu boleh bertanding Menganku! Kalau aku kalah, aku akan meninggalkan istana ini. Sebaliknya apabila mereka yang kalah, maka akulah yang berkuasa di sini."   "Apa?"   Toan Hong Ya terbelalak.   "Engkau menghendaki tahta kerajaan ini?"   "Tentu tidak."   Tu Siao Cui tersenyum.   "Aku hanya ingin berkuasa di sini, sekaligus menikmati kesenangan dan kemewahan. Kalau ada orang yang dapat mengalahkan aku, barulah aku akan meninggalkan istana ini."   "Jadi engkau ingin bertanding dengan Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong?"   Tanya Toan Hong Ya.   "Ya."   Tu Siao Cui mengangguk.   "Itu...."   Toan Hong Ya memandang pulra dan menantunya seraya bertanya.   "Bagaimana menurut kalian?"   "Baik."   Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong mengangguk.   "Kami menerima tantangannya." "Bagus! Bagus!"   Tu Siao Cui tertawa.   "Kalau begitu, cepatlah keluarkan senjata kalian!"   "Nona ingin melawan kami berdua dengan tangan kosong?"   Tanya Toan Wie Kie dengan kening berkerut-kerut.   "Betul."   Tu Siao Cui mengangguk sambil tersenyum.   "Dengan tangan kosong, aku tetap mampu merobohkan kalian."   "Baik."   Toan Wie Kie manggut-manggut, lalu memandang Lam Kiong Bie Liong seraya berkata.   "Mari kita bertanding dengan dia menggunakan senjata, dia yang menghendaki begitu."   "Ng!"   Lam Kiong Bie Liong mengangguk sambil bertanya kepada Tu Siao Cui.   "Nona, engkau tidak akan menyesal?"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa cekikikan.   "Terus terang, dalam dua puluh jurus, kalian berdua pasti roboh."   "Oh?"   Lam Kiong Bie Liong menatapnya dingin.   "Engkau terlampau sombong, justru engkau yang akan roboh dalam dua puluh jurus."   "Mari kita buktikan!"   Ujar Tu Siao Cui.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Jangan membuangbuang waktu lagi!"   Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong saling memandang, kemudian mereka mengeluarkan senjata masing-masing, yaitu sebuah kipas dan sebilah pedang.   "Kalian dengar baik-baik!"   Seru Toan Hong Ya serius.   "Ini cuma merupakan pertandingan persahabatan, jadi kularang kalian saling melukai."   "Toan Hong Ya,"   Sahut Tu Siao Cui.   "Kalau tidak saling melukai, tentu tidak akan tahu siapa yang berkepandaian lebih tinggi. Karena itu haluslah saling melukai, namun tidak saling membunuh."   "Itu...."   Toan Hong Ya tampak gelisah.   "Kalau begitu...." "Jangan khawatir, Ayah!"   Ujar Toan Wie Kie.   "Kami berdua tidak akan terluka, percayalah!"   "Ayah,"   Ujar Toan Beng Kiat.   "Biar aku dan Soat Lan yang bertanding dengan dia."   "Benar,"   Sambung Lam Kiong Soat Lan.   "Kami berdua saja yang melawan dia, sebab dia lelah mencaci guru kami."   "Kalian jangan turut campur!"   Toan Wie Kie mengibaskan tangannya, agar mereka berdua menyingkir.   "Ayah...."   Toan Beng Kiat tampak penasaran.   "Nak!"   Gouw Sian Eng menariknya menyingkir.   "Itu urusan mereka, engkau dan Soat Lan jangan turut campur!"   "Ibu...."   Toan Beng Kiat mengerutkan kening.   "Turutilah perkataan ibu, jangan bikin kacau pikiran ayahmu!"   Bisik Gouw Sian Eng. Sementara Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong sudah berdiri di hadapan Tu Siao Cui. Suasana pun mulai tegang.   "Nona Tu!"   Toan Wie Kie menatapnya.   "Betulkah engkau ingin melawan kami dengan tangan kosong?"   "Betul,"   Sahut Tu Siao Cui sambil tersenyum.   "Aku tidak omong besar, kalian berdua boleh mulai menyerang aku!"   "Baik!"   Toan Wie Kie mengangguk.   "Bie Liong, mari kita serang dia!"   Toan Wie Kie mulai menyerang Tu Siao Cui dengan kipasnya, menggunakan ilmu Bu Ceng San Hoat (Ilmu Kipas Tanpa Perasaan), sedangkan Lam Kiong Bie Liong menyerang Tu Siao Cui dengan pedang, menggunakan Thay Yang Kiam Hoat (Ilmu Pedang Surya).   Serangan-serangan itu tidak membuat Tu Siao Cui gugup, sebaliknya ia malah tertawa nyaring sambil berkelit, sekaligus balas menyerang dengan sepasang telapak tangannya.   Badannya melayang-layang ke sana ke mari menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Toan Wie Kic dan Lam Kiong Bie Liong, bahkan amat penasaran, karena senjata mereka sama sekali tidak dapat menyentuh pakaian Tu Siao Cui.   Namun diam-diam mereka sangat kagum akan kepandaiannya.   Walau dengan tangan kosong, tapi Tu Siao Cui sama sekali tidak kelihatan terdesak.   Belasan jurus kemudian, malah Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong yang tampak berada di bawah angin.   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa nyaring.   "Kepandaian kalian cuma begitu saja? Hi hi hi! liga jurus lagi kalian pasti roboh!"   "Jangan sombong!"   Bentak Toan Wie Kie dan mulai menyerangnya dengan jurus-jurus andalannya.   Begitu pula Lam Kiong Bie Liong, ia pun mulai mengeluarkan jurus andalannya untuk merobohkan Tu Siao Cui.   Ketika Toan Wie Kie mengeluarkan jurus Hai Lang Soh Ngai (Ombak Menyapu Daratan), Lam Kiong Bie Liong mengeluarkan jurus Jit Liak Sauh Te (Terik Surya Membakar Bumi).   Dapat dibayangkan, betapa dahsyatnya kedua jurus serangan itu.   Tu Siao Cui diserang dari dua arah.   Itu membuatnya cukup repot juga.   Akan tetapi, mendadak badannya berputar-putar meluncur ke atas, jari telunjuknya bergerak-gerak ke arah Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong.   Ternyata Tu Siao Cui mulai balas menyerang dengan ilmu Hian Goan Ci, menggunakan jurus Hung Sui Soh Te (Air Bah Menerjang Bumi).   Casss! Cessss! Terdengar benturan suara halus, kemudian terdengar pula suara jeritan.   Aaaakh! Aaaakh...! Yang menjerit itu ternyata Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong.   Mereka berdua terkulai di lantai.   Gouw Sian Eng dan Toan Pit Lian segera berlari mendekati mereka dengan wajah cemas.   "Kakak Kie, bagaimana engkau?"   Tanya Gouw Sian Eng pada suaminya.   "Kakak Liong! Engkau... engkau terluka?"   Tanya Toan Pit Lian cemas.   "Bagaimana keadaan lukamu?"   "Kami... kami..."   Sahut Toan Wie Kie lemah.   "Badanku tak bisa bergerak, mungkin... mungkin aku sudah lumpuh."   "Apa?"   Bukan main terkejutnya Gouw Sian Eng.   "Coba kerahkan lweekangmu!"   "Sudah kucoba, tapi...."   Toan Wie Kie menggelenggelengkan kepala.   "Hawa murniku tidak dapat dihimpun."   "Jadi...."   Wajah Gouw Sian Eng memucat.   "Kepandaianmu telah musnah?"   "Kira-kira begitulah."   Toan Wie Kie menghela nafas panjang.   "Aku...."   "Kakak Kie...."   Air mata Gouw Sian Eng mulai meleleh. Bagaimana keadaan Lam Kiong Bie Liong? Keadaannya juga seperti Toan Wie Kie, sama sekali tidak bisa bergerak.   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa nyaring.   "Tadi aku sudah bilang, dalam dua puluh jurus kalian berdua pasti roboh di tanganku, sudah kubukti-kan. Hi hi hi!"   "Perempuan jahat!"   Bentak Lam Kiong Soat Lan.   "Engkau kejam! Kenapa melukai ayahku?"   "Aku tidak kejam,"   Sahut Tu Siao Cui.   "Kalau aku kejam, mereka berdua sudah jadi mayat." "Soat Lan...."   Lam Kiong Bie Liong menggeleng-gelengkan kepala.   "Diamlah!"   "Ayah, aku dan Beng Kiat harus melawannya,"   Ujar Lam Kiong Soat Lan sambil memandang loan Beng Kiat.   "Ayoh, kita serang dia!"   "Baik."   Toan Beng Kiat mengangguk.   "Soat Lan, Beng Kiat!"   Bentak Toan Hong Ya.   "Kalian berdua tidak boleh menyerangnya!"   "Kakek,"   Sahut Lam Kiong Soat Lan.   "Dia telah melukai ayah, aku harus membalas."   "Kakek,"   Sambung Toan Beng Kiat.   "Kami berdua akan bertanding dengan dia."   "Tidak boleh!"   Bentak Toan Hong Ya lagi sambil mengerutkan kening, kemudian memandang Tu Siao Cui seraya berkata.   "Nona Tu, aku harap engkau segera menyembuhkan mereka!"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa.   "Sesuai dengan perjanjian, kalau aku menang, aku berkuasa di sini. Apabila kalah, aku akan pergi. Nah, buktinya aku yang menang. Maka akulah yang berkuasa di sini. Hi hi hi...!"   "Omitohud!"   Terdengar suara pujian Budha yang menggetarkan hati. Tak lama muncullah seorang padri tua, yang tidak lain adalah Tayli Lo Ceng. Begitu melihat padri tua itu, bcrserilah wajah Toan Hong Ya, sekaligus bersujud.   "Bangunlah!"   Tayli Lo Ceng tersenyum lembut. Toan Hong Ya bangun dan kembali ke tempat duduknya. Segeralah Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan berlutut di hadapan padri tua itu.   "Guru!"   Panggil mereka. "Bangunlah murid-muridku!"   Ucap Tayli Lo Ceng.   "Ya, Guru."   Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan bangkit berdiri. Sementara Tu Siao Cui terus memandang Tayli Lo Ceng. Ketika padri tua itu mengarah padanya, wanita itu berkata sambil tertawa dingin.   "Padri sialan! Kebetulan engkau muncul, aku memang sedang mencarimu!"   "Omitohud!"   Sahut Tayli Lo Ceng.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Nona, cepatlah sembuhkan mereka!"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa cekikikan.   "Kenapa aku harus menyembuhkan mereka?"   "Omitohud!"   Ucap Tayli Lo Ceng sambil menatapnya tajam.   "Siapa engkau? Kenapa hatimu begitu kejam?"   "Padri sialan?"   Sahut Tu Siao Cui.   "Dengarlah baik-baik! Aku bernama Tu Siao Cui. Apakah engkau sudah lupa?"   "Tu Siao Cui! Tu Siao Cui..."   Gumam Tayli Lo Ceng.   "Aku memang sudah lupa."   "Padri sialan, bukankah engkau sangat mahir meramal? Cobalah ramal siapa diriku ini!"   Ujar Tu Siao Cui sambil tertawa dan menambahkan.   "Aku tidak berhati kejam lho! Buktinya aku tidak membunuh mereka, hanya melumpuhkan mereka."   "Itu membuktikan engkau berhati kejam,"   Sahut Toan Beng Kiat.   "Engkau ke mari mencari guruku, tapi justru melukai ayahku."   "Bocah!"   Tu Siao Cui tertawa.   "Mereka berdua bertanding denganku, bahkan aku melawan iiu-rcka dengan tangan kosong. Aku menang ka-n-na kepandaianku lebih tinggi. Bagaimana kalau tadi aku yang terluka? Apakah engkau akan mengatai ayahmu berhati kejam?" "Aku...."   Toan Beng Kiat menundukkan kepala.   "Nah!"   Tu Siao Cui tersenyum.   "Makanya jadi orang haruslah bertindak adil dan bijaksana seperti Tio Bun Yang!"   "Omitohud!"   Ucap Tayli Lo Ceng.   "Sebetulnya ada urusan apa engkau ke mari mencari aku?"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa cekikikan.   "Tentunya engkau sudah tahu akan kehadiranku di sini. Kalau tidak, bagaimana mungkin engkau muncul tepat pada waktunya?"   "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng tersenyum.   "Engkau masih muda, tapi mulutmu sungguh tajam!"   "Padri sialan, kini engkau sudah tua sehingga jadi pikun. Masa engkau tidak mengenali aku lagi? Cobalah ingat!"   "Aku betul-betul tidak ingat lagi."   Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala.   "Padri sialan, kita pernah bertemu."   "Kita pernah bertemu? Kapan dan di mana?"   "Delapan puluh tahun lampau, pada waktu itu aku dituntun oleh Thian Gwa Sin Hiap-Tan Liang Tie. Nah, sudah ingatkah sekarang?"   "Apa?"   Tayli Lo Ceng terbelalak.   "Engkau adalah gadis kecil itu? Bagaimana mungkin?"   "Aku memang gadis kecil itu, namaku Tu Siao Cui. Thian Gwa Sin Hiap adalah guruku."   "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala.   "Kenapa engkau menyamar sebagai dirinya? Apakah Tu Siao Cui itu gurumu?"   "Aku adalah Tu Siao Cui. Hi hi hi! Engkau lidak percaya kan? Tapi aku masih ingat apa yang engkau pesankan kepada Thian Gwa Sin Hiap delapan puluh tahun yang lampau." "Omitohud! Aku sudah lupa. Beritahukan-lah!"   "Engkau berpesan kepada Thian Gwa Sin Hiap harus berhati-hati padaku. Padri sialan, engkau sudah ingat itu?"   "Jadi...."   Tayli Lo Ceng tertegun.   "Betul engkau adalah gadis kecil itu?"   "Betul."   Tu Siao Cui mengangguk.   "Pada waktu itu julukanmu adalah Tayli Sin Ceng, bernama Kong Sun Hok. Ya, kan?"   "Tidak salah."   Tayli Lo Ceng menatapnya tajam, kemudian menghela nafas panjang.   "Engkau memang serupa dengan gadis itu, tapi...."   "Padri sialan!"   Tu Siao Cui tertawa.   "Tentu M'iupa karena aku memang dia."   "Omitohud...."   Tayli Lo Ceng menggeleng-plengkan kepala.   "Engkau kok masih tampak begitu muda, padahal usiamu sudah delapan puluh lebih."   "Aku mengalami suatu kemujizatan, maka membuat diriku jadi muda kembali seperti gadis berusia dua puluhan."   Tu Siao Cui memberitahukan.   "Namun enam puluh tahun lebih aku tersiksa dan menderita di dalam goa. Belum lama ini aku baru bebas sekaligus memunculkan diri di rimba persilatan."   "Omitohud! Syukurlah kalau begitu!"   Ucap Tayli Lo Ceng. Kini padri tua itu sudah yakin, bahwa gadis yang berdiri di hadapannya itu adalah Tu Siao Cui, murid adik seperguruannya yang memiliki kitab pusaka Hian Goan Cin Keng.   "Oh ya, bagaimana keadaan Thian Gwa Sin Hiap adik seperguruanku itu?"   "Dia sudah mati,"   Sahut Tu Siao Cui dingin dan menutur.   "Setelah aku berusia dua puluh lebih, aku pergi menyelidiki kematian kedua orang tuaku. Ternyata guruku yang membunuh mereka." "Oh?"   Tayli Lo Ceng mengerutkan kening.   "Jelaskanlah!"   "Sebetulnya kedua orang tuaku adalah perampok budiman. Mereka merampok demi menolong orang-orang miskin,"   Sahut Tu Siao Cui dengan wajah dingin.   "Akan tetapi, Thian Gwa Sin Hiap justru membunuh kedua orang tuaku karena membela seorang hartawan yang selalu bertindak sewenang-wenang."   "Omitohud!"   "Mungkin Thian Gwa Sin Hiap merasa menyesal, maka datang ke rumahku sekaligus membawaku pergi. Di saat itulah bertemu engkau padri sialan."   "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.   "Adik seperguruanku tidak sengaja membunuh kedua orang tuamu."   "Sengaja atau tidak, dia tetap pembunuh kedua orang tuaku!"   Sahut Tu Siao Cui gusar.   "Seharusnya dia selidiki dulu, barulah turun tangan! Namun dia tidak bertanya ini itu, langsung membunuh kedua orang tuaku! Karena itu, aku membalas dendam!"   "Engkau membunuh adik seperguruanku itu?"   Tayli Lo Ceng terbelalak.   "Ya."   Tu Siao Cui mengangguk.   "Tapi dia pun berhasil memukulku sehingga membuat aku jadi lumpuh puluhan tahun lamanya."   "Omitohud...."   Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala dan bertanya.   "Lalu ada urusan apa engkau ke mari mencariku?"   "Ingin menghukummu!"   "Oh?"   Tayli Lo Ceng mengerutkan kening.   "Apa salahku maka engkau ingin menghukumku?"   "Delapan puluh tahun lampau, engkau menyuruh Thian Gwa Sin Hiap berhati-hati padaku, secara tidak langsung engkau menyuruhnya melenyapkan diriku."   Sahut Tu Siao Cui menam-liahkan.   "Seharusnya di saat itu engkau bertanya kepadanya tentang diriku, kemudian engkau pun harus menghukumnya. Tapi engkau tidak melakukan itu, sebaliknya malah menyuruhnya berhati-liati terhadapku. Oleh karena itu, hari ini aku harus menghukummu."   "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.   "Tu Siao Cui, engkau telah membunuh Thian Gwa Sin Hap, dan kini engkau pun telah melukai mereka berdua. Apakah engkau belum merasa puas?"   "Hi hi hi!"   Sahut Tu Siao Cui dengan tawa cekikikan.   "Thian Gwa Sin Hiap pernah bilang, engkau adalah padri sakti. Karena itu, aku ingin menjajal kesaktian apa yang engkau miliki."   "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala.   "Tu Siao Cui, itu tidak perlu. Engkau harus ingat akan dirimu yang muda kembali, itu merupakan suatu berkah. Bersyukurlah kepada Yang Maha Kuasa, jangan membuat dosa!"   "Padri sialan, aku ingin bertanya,"   Tu Siao Cui menatapnya.   "Pernahkah engkau berbuat suatu dosa?"   "Omitohud!"   Sahut Tayli Lo Ceng.   "Setiap manusia tidak akan terlepas dari suatu dosa. Kalau tahu pernah berbuat dosa, haruslah bertobat sekaligus menebusnya dengan perbuatan baik."   "Bagus! Bagus! Kalau begitu, engkau harus bertanding denganku!"   Ujar Tu Siao Cui sungguh-sungguh.   "Apabila engkau mampu mengalahkan aku, tentu aku akan menyembuhkan mereka, bahkan juga akan meninggalkan istana Tayli ini. Tapi seandainya engkau kalah, maka akulah yang berkuasa di sini. Hi hi hi...."   "Tu Siao Cui!"   Tayli Lo Ceng mengerutkan kening.   "Asal engkau tidak berlaku sewenang-wenang di sini, aku bersedia mengaku kalah terhadapmu. Bagaimana?" "Dasar licik!"   Sahut Tu Siao Cui.   "Aku pun bersedia mengaku kalah terhadapmu, asal aku berkuasa di sini."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Omitohud...."   Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.   "Tu Siao Cui...."   "Guru,"   Ujar Toan Beng Kiat yang sangat penasaran.   "Biar aku dan Soat Lan bertanding dengan nenek sombong itu!"   "Beng Kiat, jangan turut campur!"   Sahut Tayli Lo Ceng berwibawa.   "Engkau diam saja."   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa dan berkata.   "Kalian berdua bukan tandinganku, jangan sok jago!"   "Nenek jahat!"   Bentak Lam Kiong Soat Lan.   "I ngkau telah melukai ayahku, aku harus membalas!"   "Gadis kecil!"   Tu Siao Cui tertawa.   "Hi hi hi! Apakah aku ini mirip nenek jahat?"   "Wajahmu masih muda, tapi usiamu sudah delapan puluh lebih! Aku harus memanggilmu apa?"   "Panggil saja kakak!"   "Kakak jahat sekali!"   Lam Kiong Soat Lan menudingnya.   "Aku harus membalas!"   "Suruhlah gurumu bertanding dengan aku, bukankah dia akan mewakili kalian membalasku?"   Sahut Tu Siao Cui sambil tersenyum, kemudian memandang Tayli Lo Ceng.   "Padri sialan! Aku dengar engkau memiliki Hud Bun Pan Yok Sin Kang dan Kim Kong Cap Sah Ciang, karena itu aku ingin menjajal ilmu-ilmumu itu!"   "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.   "Apakah aku tiada pilihan lain lagi?"   "Pilihanmu hanya bertanding denganku!"   "Omitohud...."   Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala.   "Kalau begitu apa boleh buat!" "Bagus! Bagus!"   Tu Siao Cui tampak gembira sekali.   "Kalau aku kalah, aku pasti menyembuhkan mereka dan meninggalkan istana ini. Namun seandainya engkau yang kalah, maka akulah yang berkuasa di sini. Toan Hong Ya juga harus menuruti perintahku, ini merupakan pertandingan bersyarat. Bagaimana?"   "Omitohud...."   Tayli Lo Ceng memandang Toan Hong Ya.   "Aku setuju,"   Sahut Toan Hong Ya cepat.   "Tidak akan menyesal?"   Tanya Tu Siao Cui.   "Ha ha ha!"   Toan Hong Ya tertawa gelak.   "Apabila Tayli Lo Ceng kalah, engkau boleh berkuasa di sini dan duduk di singgasanaku ini!"   "Oh, ya?"   Tu Siao Cui tertawa gembira.   "Baik. Tapi engkau jangan menyesal!"   "Aku tidak akan menyesal,"   Sahut Toan Hong Ya sungguhsungguh.   "Nah, kalian boleh mulai bertanding!"   "Bagus! Bagus!"   Tu Siao Cui tertawa lgi.   "Padri sialan, tentunya kita bertanding tanpa senjata kan?"   "Omitohud...."   Tayli Lo Ceng manggut-manggut.   "Baiklah."   Tayli Lo Ceng mulai mengerahkan Hud Bun Pan Yok Sin Kang, sedangkan, Tu Siao Cui pun, mulai menghimpun Hian Goan Sin Kang.   "Padri sialan! Aku akan menyerang duluan, berhati-hatilah!"   Seru Tu Siao Cui sambil menyerang menggunakan ilmu Hian Goan Ci.   "Omitohud..."   Ucap Tayli Lo Ceng sambil mengibaskan lengan jubahnya menangkis serangan itu.   "Blaam! Scrt! Terdengar suara benturan dan sobekan. Tayli Lo Ceng dan Tu Siao Cui sama-sama mundur tiga langkah. Wajah Tayli Lo Ceng tampak terkejut, ternyata ujung jubahnya telah sobek terserang Hian Goan Ci.   "Omitohud!"   Ucap Tayli Lo Ceng.   "Sungguh tak terduga, engkau telah menguasai Hian Goan Ci!"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa.   "Baru tahu ya? Nah, lihat seranganku ini!"   Tu Siao Cui langsung menyerangnya dengan ilmu Hian Goan Ci.   Kali ini Tayli Lo Ceng terpaksa harus mengeluarkan ilmu simpanannya, yakni Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga Belas Jurus Pukulan Cahaya Emas).   Oleh karena itu, sepasang telapak tangan Tayli Lo Ceng tampak memancarkan cahaya ke-emas-emasan.   Tu Siao Cui terperanjat dan segera meloncat ke belakang.   Kemudian ia berdiri tegak di tempat sambil mengerahkan Hian Goan Sin Kang sampai pada puncaknya.   Sementara Tayli Lo Ceng sudah mengerahkan Hud Bun Pan Yok Sin Kang pada puncaknya pula.   Betapa terkejutnya Toan Hong Ya dan lainnya, mereka tahu itu merupakan pertandingan antara hidup dan mati.   Teganglah mereka, begitu pula Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong yang telah di papah ke tempat duduk.   Kini jari telunjuk Tu Siao Cui pun memancarkan cahaya putih yang menyilaukan mata.   Mendadak ia berteriak sambil menyerang Tayli Lo Ceng.   Badannya berputar-putar meluncur ke atas sekaligus menggerakkan jari tulunjuknya ke arah Tayli Lo Ceng.   Tampak cahaya putih yang menyilaukan mata berkelebat ke arah Tayli Lo Ceng.   Itulah jurus Hung Sui Soh Te (Air Bah Menerjang Bumi).   "Omitohud!"   Ucap Tayli Lo Ceng sambil menggerakkan sepasang telapak tangannya.   Tampak cahaya keemasan meluncur secepat kilat menangkis cahaya putih itu.   Ternyata Tayli Lo Ceng mengeluarkan jurus Kim Kong Cioh Te (Cahaya Emas Menyinari Bumi).   Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat.   Tayli Lo Ceng terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, begitu pula Tu Siao Cui.   Namun wanita itu masih bisa tertawa nyaring.   "Hi hi hi! Padri sialan, engkau memang hebat!"   "Omitohud!"   Sahut Tayli Lo Ceng sambil menarik nafas dalam-dalam.   "Tu Siao Cui, Hian Goan Cimu itu sungguh dahsyat!"   "Hi hi hi!"   Tu Siao Cui tertawa lagi.   "Padri sialan, terimalah seranganku ini!"   Tu Siao Cui bergerak. Mendadak jari telunjuknya berubah ribuan, sekaligus memancarkan cahaya putih mengarah ke Tayli Lo Ceng.   "Omitohud..."   Ucap Tayli Lo Ceng sambil mengerutkan kening, kemudian sepasang telapak tangannya bergerak-gerak memancarkan cahaya keemas-emasan.   Tu Siao Cui menyerangnya dengan jurus Cian ('i Keng Thian (Ribuan Jari Mengejutkan Langit), sedangkan Tayli Lo Ceng menangkis mengeluarku jurus Kim Kong Teng Hai (Cahaya Emas Menenangkan Laut).   Mereka berdua sama-sama menggunakan ju-nis ampuh yang sangat dahsyat, maka tidak heran cahaya putih dan cahaya keemas-emasan itu berkelebat ke sana ke mari.   Betapa tegangnya Toan Hong Ya dan lainnya, mereka menyaksikan pertandingan itu dengan mata tak berkedip.   Blaaam! Cessss...! Terdengar suara benturan.   Tu Siao Cui terhuyung-huyung lima langkah, sedangkan Tayli Lo Ceng terpental ke belakang beberapa depa dengan wajah pucat pias.   "Uaaaakh...!"   Mulut Tayli Lo Ceng menyemburkan darah segar.   "Uaaakh...!"   Sementara Tu Siao Cui menarik nafas dalam-dalam mengatur pernafasannya, kemudian tertawa cekikikan.   "Hi hi hi! Padri sialan! Bagaimana? Masih mau melanjutkan pertandingan?"   "Omitohud!"   Sahut Tayli Lo Ceng.   "Aku... aku mengaku kalah. Kepandaianmu memang tinggi sekali."   "Guru! Guru...!"   Seru Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak.   "Cepat papah guru ke ruang istirahat!"   Sahut Tayli Lo Ceng.   "Wie Kie dan Bie Liong juga harus di papah ke ruang istirahat!"   "Ya, Guru."   Toan Beng K'at dan Lam Kiong Soat Lan segera memapah Tayli Lo Ceng, sedangkan Gouw Sian Eng dan Toan Pit Lian memapah Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong.   "Hi hs hi!"   Tu Siao Cui tertawa nyaring.   "Toan Hong Ya, engkau harus cepat turun dari kursi kebesaran itu!"   "Haaah?"   Toan Hong Ya tampak tersentak.   "Ba... baik."   "Jangan merasa terpaksa, itu sesuai dengan perjanjian!"   Ujar Tu Siao Cui sambil tersenyum. Toan Hong Ya turun dari kursi kebesarannya, dan Tu Siao Cui langsung meloncat ke kursi itu.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Hi hi hi!"   Ia duduk di situ sambil tertawa gembira.   "Toan Hong Ya, mulai sekarang aku yang berkuasa di sini. Engkau dan para pengawal serta para dayang harus mematuhi perintahku." "Ya."   Toan Hong Ya mengangguk, tapi berkeluh dalam hati.   "Kalau ada orang yang mampu mengalahkan aku, maka aku akan pergi. Bila tidak, tentunya aku tetap berkuasa di sini,"   Tegas Tu Siao Cui dan menambahkan.   "Jangan coba-coba meracuni aku dengan minuman maupun makanan, sebab aku akan tahu itu dan... aku pasti membunuh para penghuni istana ini!"   "Kami tidak akan berbuat begitu,"   Sahut Toan Hong Ya dan bertanya.   "Nona Tu, bolehkah aku pergi menengok mereka?"   "Silakan!"   Ucap Tu Siao Cui.   "Tcrimakasih!"   Toan Hong Ya melangkah pergi, namun mendadak Tu Siao Cui berseru.   "Toan Hong Ya! Suruh para dayang me-n\npkan makanan dan minuman untukku!"   "Baik."   Toan Hong Ya mengangguk, lalu menuju ruang istirahat.   Tayli Lo Ceng duduk bersila di lantai, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan duduk di samping kiri kanannya.   Sedangkan Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong duduk di kursi, Gouw Sian Eng dan Toan Pit Lian menemani mereka dengan wajah murung.   "Ayah!"   Panggil mereka serentak.   "Kakek!"   Panggil Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.   "Ngmm!"   Toan Hong Ya manggut-manggut, kemudian duduk di hadapan Tayli Lo Ceng.   "Lo Ceng!"   Panggilnya dengan suara rendah.   "Omitohud!"   Sahut Tayli Lo Ceng sambil menghela nafas panjang.   "Maaf, aku tidak bisa apa-apa!"   "Lo Ceng!"   Toan Hong Ya tersenyum getir.   "Aku mohon petunjuk!" "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng mengerutkan kening.   "Kepandaian Tu Siao Cui itu sungguh tinggi, memang hebat sekali ilmu Hian Goan Ci itu. Aku terluka dalam, mungkin harus beristirahat beberapa bulan baru bisa pulih."   "Kalau begitu, kita harus bagaimana?"   Tanya Toan Hong Ya.   "Kepandaian Tu Siao Cui memang tinggi sekali. Kalau dia berhati jahat tentunya akan menimbulkan bencana,"   Ujar Tayli Lo Ceng dan melanjutkan.   "Menurut aku, hanya ada satu orang yang dapat menundukkannya, bahkan Tu Siao Cui pun akan mendengar perkataannya."   "Siapa orang itu?"   Tanya Toan Hong Ya cepat dan penuh harap.   "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng memberitahukan.   "Orang itu adalah Tio Bun Yang."   "Tio Bun Yang?"   Toan Hong Ya tertegun.   "Tio Bun Yang, putra Tio Cie Hiong?"   Tanya Toan Wie Kie heran.   "Ya."   Tayli Lo Ceng mengangguk.   "Tentunya kalian pun mendengar tadi, dia bilang Tio Bun Yang sangat adil dan bijaksana. Itu membuktikan bahwa dia sangat kagum dan salut kepada pemuda itu. Maka, aku yakin dia pasti mendengar perkataannya."   "Kalau begitu, kita harus segera ke markas |iusat Kay Pang mengundang Bun Yang ke mari,"   Ujar Gouw Sian Eng dan menambahkan.   "Bagaimana kalau aku yang ke sana?"   "Lebih baik kedua muridku yang berangkat ke sana,"   Sahut Tayli Lo Ceng "Mengenai ini, l-iugan sampai Tu Siao Cui tahu!"   "Ya,"   Sahut mereka semua.   "Guru, kapan kami berangkat ke Tionggoan?"   Ianya Toan Beng Kiat. "Kalian berdua boleh berangkat sekarang,"   L-iwab Tayli Lo Ceng.   "Jangan membuang waktu, sebab kalau Wie Kie dan Bie Liong tidak segera disembuhkan, mereka pasti lumpuh selama-lamanya."   "Kalau begitu, kami mohon pamit!"   Ucap Toan Beng Kiat, lalu memandang Lam Liong Soat Lan.   "Mari kita berangkat sekarang!"   "Ya!"   Lam Kiong Soat Lan mengangguk.   "Kalian berdua harus berhati-hati, jangan membuat masalah di tengah jalan!"   Pesan Toan Hong Ya.   "Dan harus segera pulang!"   "Ya, Kakek,"   Sahut Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan.   "Omitohud!"   Ucap Tayli Lo Ceng.   "Berangkatlah kalian berdua dan harus berhasil mengajak Bun Yang ke mari!"   "Ya, Guru."   Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan memberi hormat, setelah itu barulah mereka berdua meninggalkan istana Tayli.   -oo0de0oo- Bagian ke empat puluh enam Hal-hal yang tak terduga Hari ini Tio Cie Hiong memanggil Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa ke ruang depan.   Yang lain pun sudah duduk di situ, tentunya mencengangkan kedua gadis itu.   "Kalian berdua duduklah!"   Ujar Tio Cie Hiong lembut tapi serius. Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa segera duduk. Kedua gadis itu menundukkan kepala, karena semua mata memandang mereka. "Hari ini aku panggil kalian ke mari, karena kalian telah menguasai ilmu-ilmu yang kuajarkan,"   Ujar Tio Cie Hiong sambil memandang mereka.   "Oleh karena itu, kini sudah saatnya kalian meninggalkan pulau ini."   "Maksud Paman kami boleh ke Tionggoan?"   Lanya Bokyong Sian Hoa dengan wajah berseri.   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Kalian berdua boleh berangkat ke Tionggoan, dari Tionggoan Yatsumi boleh pulang ke Jepang."   "Tapi alangkah baiknya kalian ke markas pusat Kay Pang dulu,"   Sambung Lim Ceng Im.   "Temui Bun Yang dan lainnya di sana!"   "Ya."   Kedua gadis itu mengangguk.   "Kepandaian kalian sudah tinggi, namun kali.m harus ingat, jangan sembarangan membunuh uang, sebab membunuh itu perbuatan yang sangat berdosa!"   Ujar Tio Cie Hiong sambil memandang mereka.   "Ya, Paman."   Kedua gadis itu mengangguk lagi dan bertanya.   "Kapan kami boleh berangkat ke Tionggoan?"   "Hari ini,"   Sahut Tio Cie Hiong singkat, namun kemudian menambahkan.   "Baik-baiklah kalian membawa diri di rimba persilatan, jangan sok jago dan sombong!"   "Ya, Paman,"   Sahut kedua gadis itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio Cie Hiong.   "Terimakasih atas budi baik Paman yang telah membimbing kami!"   "Bangunlah!"   Tio Cie Hiong tersenyum dan berpesan.   "Yang penting kalian berdua harus mempergunakan kepandaian untuk membela kebenaran. Jadilah pendekar wanita yang berhati bajik, adil dan bijaksana!"   "Ya, Paman."   Mereka berdua mengangguk, kemudian bangkit berdiri sekaligus kembali ke tempat duduk. "Ha ha ha!"   Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.   "Tak lama lagi di rimba persilatan akan muncul dua pendekar wanita pembela kebenaran!"   "Dasar sudah pikun!"   Sahut Kou Hun Bijin.   "Yatsumi harus pulang ke Jepang, engkau lupa ya?"   "Tentu tidak, tapi engkau yang tak punya otak!"   Ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa-"Maksudku rimba persilatan Tionggoan dan rimba persilatan Jepang."   "Huh!"   Dengus Kou Hun Bijin.   "Sudah salah omong masih tidak mau mengaku! Dasar pe- ngemis bau!"   "Ha ha ha!"   Sam Gan Sin Kay terus tertawa| gelak, kemudian memandang Kim Siauw Suseng seraya bertanya.   "Sastrawan sialan! Kenapa engkau diam saja?"   "Aku tidak mau ikut sinting seperti engkau,"   Sahut Kim Siauw Suseng dan menambahkan.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Engkau sudah tua sekali, tapi malah bertambah usil dan tak tahu diri."   "Oh, ya?"   Sam Gan Sin Kay tertawa lagi.   "Ha ha ha! Kalau pulau ini tiada kita berdua, pasti sepi sekali!"   "Betul, betul."   Ujar Tio Tay Seng sambil tersenyum.   "Dengan adanya kalian di sini, maka pulau ini berubah ramai dan semarak. Ha ha ha...!"   Karena mereka terus bercakap-cakap, maka Tio Cie Hiong diam saja, tidak berani mengganggu para tingkatan tua itu. Setelah mereka berhenti hercakap-cakap, barulah Tio Cie Hiong membuka mulut.   "Yatsumi, engkau harus berhati-hati menghadapi ketua ninja itu!"   Pesan Tio Cie Hiong.   "Sebab dia pasti memiliki ilmu istimewa, bisa menghilang mendadak dan menyusup ke dalam tanah. Oleh karena itu, engkau harus mempergunakan pendengaranmu."   "Ya, Paman."   Yatsumi mengangguk. "Sian Hoa...."   Tio Cie Hiong memandangnya.   "Menurut aku, lebih baik engkau jangan pulang ke Manchuria. tinggal di markas pusat Kay Pang saja."   "Ya, Paman,"   Sahut Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum.   "Asal aku jangan disuruh jadi pengemis wanita saja."   "Ha ha ha!"   Mendadak Tio Cie Hiong tertawa gelak.   "Mungkin engkau tidak tahu, ketika aku bertemu Adik Ceng Im, dia justru menyamar sebagai pengemis dekil yang sangat bau."   "Eeeeh?"   Wajah Lim Ceng Im langsung memerah.   "Mulai buka rahasia pribadi ya?"   "Ha ha ha!"   Sam Gan Sin Kay tertawa terpingkal-pingkal.   "Aku masih ingat itu. Kemudian Ceng Im berdandan dengan wajah aslinya, yakni merupakan anak gadis yang cantik jelita menemui Cie Hiong. Begitu melihat anak gadis itu, Cie Hiong langsung jatuh terduduk di dalam hati anak gadis itu. Ceng Im memberitahukan bahwa gadis itu adalah kakaknya bernama Im Ceng. Ha ha ha! Sejak itu Cie Hiong pun menderita sakit rindu."   "Kakek pengemis...."   Wajah Tio Cie Hiong kemerahanmerahan.   "Tahukah kalian, cara bagaimana Ceng Im bertemu Cie Hiong?"   Tanya Sam Gan Sin Kay mendadak.   "Beritahukanlah!"   Sahut Bokyong Sian Hoa.   "Tentunya sangat menarik sekali itu."   "Memang menarik sekali."   Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak.   "Pada waktu itu. Cie Hiong telanjang bulat mandi di kali, Ceng Im mengintip."   "Kakek...."   Wajah Lim Ceng Im bertambah merah.   "Jangan omong yang bukan-bukan!" "Itu memang nyata kok,"   Sahut Sam Gan Sin Kay.   "Engkau sendiri yang bilang, bukan?"   "Hebat!"   Ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa cekikikan.   "Hi hi hi! Ceng Im, aku yakin pada waktu itu, hatimu pasti dutdutan."   "Bijin..."   Lim Ceng Im menundukkan kepala.   "Apa itu dut-dutan?"   Tanya Sam Gan Sin Kay sambil tertawa terbahak-bahak.   "Tanya saja kepada cucumu itu, dia pasti memberitahukan!"   Sahut Kou Hun Bijin sambil memandang Lim Ceng Im.   "Jelaskanlah tentang dut-dutan itu!"   Lim Ceng Im tak menyahut.   "Hi hi hi!"   Kou Hun Bijin tertawa cekikikan.   "Hi hi hi....!" -oo0dw0oo- Yatsumi dan Bokyong Sian Hoa sudah meninggalkan Pulau Hong Hoang To, kini mereka mulai memasuki daerah Tionggoan. Dalam per-lalanan menuju markas pusat Kay Pang, mereka sana sekali tidak menemui gangguan apa pun. Dalam tujuh hari kemudian, -- sampailah mereka di markas pusat Kay Pang. Bukan main gembiranya Lie Ai Ling. Ia segera memperkenalkan Bokyong Sian Hoa pada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.   "Kakek Lim, Kakek Gouw, terimalah hormatku!"   Ucap Bokyong Sian Hoa sambil memberi hormat.   "Ha ha ha!"   Lim Peng Hang tertawa gembira.   "Kalian duduklah!"   "Terimakasih!"   Bokyong Sian Hoa duduk. Ke tika Yatsumi baru mau duduk, Lie Ai Ling memperkenalkan Tio Bun Yang. "Dia Kakak Bun Yang, yang pernah kuceritakan kepadamu,"   Ujar Lie Ai Ling sambil tertawa.   "Kakak Bun Yang, dia adalah gadis Jepang bernama Yatsumi, engkau pasti sudah dengar tentang dia."   Sementara Yatsumi membungkukkan badannya kehadapan Tio Bun Yang, pemuda itu segera menjura.   "Selamat bertemu, Nona Yatsumi!"   Ucapnya.   "Selamat bertemu, Kakak Bun Yang!"   Sahut Yatsumi sambil tersenyum.   "Jangan memanggilku nona, cukup panggil namaku saja!"   "Ya."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Sian Hoa,"   Tanya Lie Ai Ling.   "Bagaimana kabarnya yang di Pulau Hong Hoang To?"   "Mereka baik-baik saja,"   Jawab Bokyong Sian Hoa, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya bertanya.   "Di mana Goat Nio, jantung hatimu itu?"   "Kami...."   Tio Bun Yang menghela nafas panjang.   "Kami belum bertemu."   "Oh?"   Bokyong Sian Hoa mengerutkan kening.   "Hingga sekarang engkau masih belum bertemu Goat Nio?"   "Ya."   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku di sini justru sedang menunggunya."   "Oooh!"   Bokyong Sian Hoa manggut-manggut.   "Oh ya!"   Yatsumi menengok ke sana ke mari seraya bertanya.   "Di mana Lu Hui San dan Kam Hay Thian? Kok mereka tidak kelihatan?"   "Mereka...."   Lie Ai Ling menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Kenapa mereka?"   Tanya Bokyong Sian Hoa tegang.   "Telah terjadi sesuatu atas diri mereka?" "Ketika kami menuju ke mari, di tengah jalan Kam Hay Thian pergi secara diam-diam...."   Lie Ai Ling menghela nafas panjang lagi.   "Oh?"   Bokyong Sian Hoa mengerutkan kening.   "Kok dia begitu? Kalian tahu dia pergi ke mana/ "Tidak tahu."   Lie Ai Ling menggelengkan kepala.   "Namun Kakek Lim telah menerima suatu lierila yang sangat mengejutkan di ibu kota."   "Berita apa?"   Tanya Bokyong Sian Hoa.   "Itu...."   Lie Ai Ling memandang Tio Bun Yang, agar pemuda itu yang memberitahukan.   "Kakak Bun Yang,"   Desak Bokyong Sian Hoa.   "Beritahukanlah! Aku ingin mengetahuinya."   "Lu Thay Kam telah mati,"   Sahut Tio Bun Yang sambil menghela nafas panjang.   "Dia mati terkena pukulan Kam Hay Thian. Karena itu Lu Hui San pergi entah ke mana. Hingga saat ini sama sekali tiada kabar beritanya tentang Lu Hui San dan Kam Hay Thian."   "Oh?"   Bokyong Sian Hoa memandang Tio Bun Yang seraya berkata.   "Kalau begitu, pasukan pamanku pasti tidak akan menyerbu ke mari."   "Sian Hoa...."   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Setelah Lu Thay Kam mati di istana justru malah bertambah kacau."   "Kenapa begitu?"   Bokyong Sian Hoa heran.   "Salah seorang menteri langsung merebut kekuasaan Lu Thay Kam. Oleh karena itu, banyak jenderal yang menjadi korban."   Tio Bun Yang memberitahukan.   "Menteri itu pun bersekongkol dengan pamanmu." "Itu bahaya sekali,"   Ujar Bokyong Sian Hoa.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Sebab pamanku sangat berambisi ingin menjajah negeri Han ini, kelak pasti akan terjadi peperangan."   "Itu urusan kerajaan, kita tidak usah pusing.' ujar Lie Ai Ling sambil tersenyum.   "Kita adalah bangsa Han, seharusnya kita j memikirkan itu,"   Sahut Sie Keng Hauw dan menambahkan.   "Apakah kita harus membiarkan negeri Hari kita dijajah oleh bangsa Manchuria?"   "Eeeh?"   Lie Ai Ling menatapnya.   "Sejak kapan engkau mencampuri urusan kerajaan?"   "Aku...."   Sie Keng Hauw menundukkan kepala.   "Oh ya!"   Ujar Tio Bun Yang melanjutkan.   "Setelah Lu Thay Kam mati maka Gak Cong Heng menjadi ketua Hiat Ih Hwe. Tapi kemudian ia mengajak para anggotanya bergabung dengan Seng Hwce Kauw."   "Jadi...."   Bokyong Sian Hoa menggeleng-gelengkan kepala.   "Lu Hui San sama sekali tiada jejaknya?"   "Ya."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Begitu pula Kam Hay Thian. Mereka entah menghilang ke mana. Namun kakekku telah mengutus beberapa orang untuk pergi menyelidiki mereka, hingga kini mereka masih belum pulang."   "Oooh!"   Bokyong Sian Hoa manggut-manggut. Sementara Yatsumi diam saja, tapi sering melirik Tio Bun Yang. Mendadak Tio Bun Yang memandangnya seraya bertanya.   "Nona Yatsumi engkau mau tinggal di sini alau pulang ke Jepang?"   "Aku mau pulang ke Jepang,"   Sahut Yatsumi.   "Aku harus membunuh Takara Nichiba, ketua ninja itu." "Yatsumi,"   Ujar Lie Ai Ling.   "Jangan cepat-cepat pulang ke Jepang, tinggallah di sini dulu!"   "Itu...."   Yatsumi tampak ragu.   "Yatsumi!"   Bokyong Sian Hoa memegang tangannya.   "Tinggallah di sini dulu, jangan begitu cepat pulang ke Jepang! Sebab kalau engkau sudah pulang, entah kapan kita akan bertemu kembali."   "Baiklah."   Yatsumi mengangguk.   "Aku akan tinggal di sini beberapa hari."   "Nah, asyik!"   Seru Lie Ai Ling sambil tertawa.! "Kita berkumpul di sini, akan bertambah ramai apabila Goat Nio sudah muncul."   "Aaaah...!"   Mendadak Tio Bun Yang menghela nafas panjang.   "Sudah sekian lama aku menunggunya di sini, tapi...."   "Bun Yang!"   Lim Peng Hang menatapnya.   "Biar bagaimana pun engkau harus sabar menungJ gunya."   "Kakek!"   Wajah Tio Bun Yang tampak murung sekali.   "Sudah sekian lama tiada kabar beritanya, aku khawatir telah terjadi sesuatu atas diri nya."   "Itu tidak mungkin, Kakak Bun Yang,"   Sahud Lie Ai Ling menghiburnya.   "Tidak akan terjadi suatu apa pun atas diri Goat Nio, percayalah!"   "Aaaah...!"   Tio Bun Yang menghela nafas panjang lagi.   "Aku... aku...."   "Engkau harus tenang, Bun Yang!"   Ujar Gouw Han Tiong.   "Tunggu lagi beberapa hari, kalau tiada kabar beritanya, barulah kita rundingkan kembali."   "Ya!"   Tio Bun Yang mengangguk. "Nah!"   Ujar Lim Peng Hang sambil tertawa.   "Kalian semua boleh ke belakang, lebih asyik kalian mengobrol di sana."   Mereka mengangguk, lalu beranjak menuju halaman belakang. Begitu sampai di halaman belakang, Lie Ai Ling langsung berseru penuh kegembiraan.   "Horeee! Rasanya bebas setelah berada di sini!"   "Memangnya kenapa?"   Tanya Sie Keng Hauw heran.   "Kalau di hadapan Kakek Lim dan Kakek Gouw, rasanya kurang leluasa dan tidak begitu bebas berbicara,"   Sahut Lie Ai Ling.   "Kini kita hebas membicarakan apa pun."   "Benar."   Bokyong Sian Hoa tersenyum, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya bertanya.   "Kakak Bun Yang, selama ini engkau rindu kepadaku?"   "Eh?"   Lie Ai Ling terbelalak ketika mendengar pertanyaan itu.   "Sian Hoa, kenapa engkau tanya begitu kepada Kakak Bun Yang?"   "Memangnya tidak boleh?"   Sahut Bokyong Sian Hoa.   "Boleh sih boleh, tapi...."   Lie Ai Ling menggleng-gelengkan kepala.   "Itu merupakan pertanyaan yang cukup mesra, tidak pantas lho! Karena Kakak Bun Yang sudah punya kekasih."   "Aku tahu itu."   Bokyong Sian Hoa tertawa kecil.   "Aku telah menganggapnya sebagai kakak, tentunya aku boleh bertanya begitu kepadanya, bukan?"   "Oooh!"   Lie Ai Ling tersenyum.   "Kalau begitu memang boleh. Nah, Kakak Bun Yang, jawablah pertanyaannya tadi!"   "Adik Sian Hoa!"   Tio Bun Yang tersenyum lembut.   "Aku memang rindu kepadamu, sebab engkau adalah adikku."   "Kakak Bun Yang...."   Bokyong Sian Hoa langsung mendekap di dadanya. "Adik Sian Hoa...."   Tio Bun Yang membelainya dengan penuh kasih sayang.   "Engkau adalah gadis baik yang lincah, kelak pasti bertemu pemuda yang baik."   "Kakak Bun Yang...."   Bokyong Sian Hoa cemberut.   "Adik Sian Hoa!"   Tio Bun Yang tersenyum.   "Aku berkata sesungguhnya, sama sekali tidak menggodamu."   "Betul,"   Sahut Lie Ai Ling.   "Kelak engkau pasti bertemu pemuda yang baik, ganteng dan mencintaimu."   "Bagus! Bagus!"   Bokyong Sian Hoa melotot.   "Ai Ling! Setelah berada di sisi Keng Hauw, engkau pun berani mulai menggodaku!"   "Tidak salah,"   Sahut Lie Ai Ling sambil tertawa dan menambahkan.   "Kalau berada di sisi sang kekasih, rasanya memang bertambah berani."   "Idiih!"   Bokyong Sian Hoa tertawa geli.   "Dasar genit! Kalau begitu, cepatlah engkau menikah dengan dia!"   "Sebetulnya aku memang ingin cepat-cepat menikah dengan Keng Hauw, tapi...."   Lie Ai Ling tersenyum sambil melanjutkan.   "Aku khawatir kalian akan merasa iri padaku, maka aku belum mau menikah."   "Siapa yang iri padamu? Dasar!"   Bokyong Sian Hoa tertawa, kemudian ucapnya serius.   "Mudah-mudahan Kakak Bun Yang bertemu kembali dengan kekasihnya!"   Hari ini Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Im sudah tiba di markas pusat Kay Pang. Ke-'laiangan mereka cukup mengejutkan sekaligus mi-nggembirakan semua orang, terutama Gouw Nan Tiong.   "Kakek!"   Panggil Toan Beng Kiat.   "Beng Kiat cucuku!"   Seru Gouw Han Tiong sambil merangkulnya erat-erat.   "Bagaimana keadaan ibu dan ayahmu? Mereka baik-baik saja?" "Ibu baik-baik saja. Tapi ayah...."   Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala, dan wajah tampak murung sekali.   "Kenapa ayahmu?"   Tanya Gouw Han Tiong cemas.   "Lumpuh."   Toan Beng Kiat memberitahukan.   "Ayah Soat Lan pun begitu."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Betul."   Lam Kiong Soat Lan mengangguk.   "Ayahku pun lumpuh."   "Oh?"   Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang terkejut.   "Beng Kiat, apa yang telah terjadi di sana, ceritakanlah!"   "Kalian duduk dulu!"   Ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum.   "Jangan terus berdiri!"   "Terimakasih!"   Ucap Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak lalu duduk.   "Beng Kiat!"   Gouw Han Tiong menatapnya seraya berkata.   "Ceritakanlah apa yang telah terjadi atas diri ayahmu dan ayah Soat Lan!"   "Ayah dan ayah Soat Lan bertanding dengan seorang gadis. Tidak sampai dua puluh jurus, gadis itu berhasil menotok jalan darah ayah dan ayah) Soat Lan hingga lumpuh."   Toan Beng Kiat menceritakan tentang itu.   "Kemudian muncul guru kami...."   "Maksudmu Tayli Lo Ceng?"   Tanya Gouw Han Tiong.   "Ya."   Toan Beng Kiat mengangguk.   "Lalu bagaimana?"   Tanya Lim Peng Hang tertarik.   "Gadis itu menantang guru bertanding dengan suatu syarat,"   Jawab Toan Beng Kiat memberitahukan.   "Syaratnya yakni kalau gadis itu menang, maka dia yang berkuasa di istana Tayli. Apabila guru yang menang, dia pasti segera pergi." "Oh?"   Gouw Han Tiong mengerutkan kening.   "Kalau begitu, guru kalian yang kalah, bukan?"   "Kok Kakek tahu?"   Toan Beng Kiat heran.   "Kalau guru kalian menang, tentunya kalian tidak ke mari,"   Sahut Gouw Han Tiong.   "Kalian ke mari pertanda guru kalian kalah."   "Betul."   Toan Beng Kiat mengangguk.   "Guru kami kalah dalam pertandingan itu."   "Haaah?"   Lim Peng Hang terkejut bukan main, sehingga mulutnya ternganga lebar.   "Tayli Lo Ceng kalah bertanding dengan gadis itu?"   "Ya."   Toan Beng Kiat menghela nafas panjang.   "Kepandaian gadis itu sungguh tinggi! Tapi juga sangat membingungkan...."   "Kenapa membingungkan?"   Tanya Gouw Han 'liong heran.   "Sebab gadis itu mengaku telah berusia delapan puluh tahun lebih,"   Jawab Lam Kiong Soat Lan memberitahukan.   "Semula guru tidak percaya, tapi kemudian percaya juga."   "Oh?"   Gouw Han Tiong mengerutkan kening.   "Siapa gadis itu?"   "Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui."   Lam Kiong Soat Lan memberitahukan.   "Dia sangat cantik sekali, kelihatannya baru berusia dua puluhan. Tapi dia telah berusia delapan puluh tahun lebih."   "Dia... dia adalah Kakak Siao Cui?"   Tio Bun Yang terbelalak.   "Betulkah usianya sudah delapan puluh lebih?"   "Kakak Bun Yang kenal dia?"   Tanya Lam Kiong Soat Lan.   "Kenal!"   Tio Bun Yang mengangguk.   "Kami pernah bertemu, dialah yang membunuh Hek Sim Popo. Tapi kenapa dia ke Tayli cari gara-gara?" "Itu dikarenakan guru kami,"   Jawab Toan Beng Kiat.   "Tayli Lo Ceng..."   Gumam Tio Bun Yang.   "Oooh! Ternyata dia ingin membuat perhitungan dengan guru kalian, karena guru kalian adalah kakak seperguruan Thian Gwa Sin Hiap."   "Siapa Thian Sin Hiap?"   Toan Beng Kiat heran.   "Adik seperguruan Tayli Lo Ceng,"   Sahut Tio Bun Yang dan menambahkan.   "Atau paman guru kalian, juga adalah guru Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui."   "Kalau begitu...."   Lam Kiong Soat Lan terbelalak.   "Bu Ceng Sianli itu adalah kakak seperguruan kami."   "Memang. Tapi...."   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Thian Gwa Sin Hiap telah melakukan suatu kesalahan."   "Kesalahan apa?"   Tanya Toan Beng Kiat.   "Thian Gwa Sin Hiap salah tangan membunuh sepasang perampok budiman. Ternyata sepasang perampok itu adalah kedua orang tua Tu Siao Cui...."   Tio Bun Yang menceritakan tentang itu.   "Oooh!"   Toan Beng Kiat manggut-manggut.   "Ternyata begitu! Pantas dia ke Tayli mencari guru! "Tapi...."   Lam Kiong Soat Lan mengerutkan kening.   "Kenapa dia melumpuhkan ayah?"   "Dalam suatu pertandingan, memang saling menjatuhkan,"   Sahut Tio Bun Yang.   "Kita tidak bisa mempersalahkannya. Yang bersalah adalah orang tua kalian. Seharusnya orang tua kalian bersabar."   "Dia begitu sombong, maka ayah tidak bisa bersabar,"   Ujar Lam Kiong Soat Lan memberitahukan. "Dia berlaku sombong karena ingin meman-i ing emosi ayahmu, karena itu terjadilah pertandingan."   Tio Bun Yang menjelaskan.   "Kalau begitu..."   Sela Toan Beng Kiat.   "Guruku bertanding dengan dia, apakah juga karena .?mosi?"   "Bukan."   Tio Bun Yang menggelengkan kepala.   "Tayli Lo Ceng bertanding dengan dia, ka-w-na membela Tayli dan orang tua kalian."   "Aaah...!"   Toan Beng Kiat menghela nafas panjang.   "Guru kami kalah, maka Bu Ceng Sianli yang berkuasa di istana."   "Oleh karena itu..."   Sambung Lam Kiong Soal Lan.   "Guru menyuruh kami ke mari menemuimu."   "Oh?"   Tio Bun Yang tertegun dan bertanya.   "Tayli Lo Ceng pesan apa untukku?"   "Kami harus menjemputmu ke Tayli,"   Sahut Toan Beng Kiat.   "Guru kami berpesan demikian."   "Lho? Kenapa?"   Tio Bun Yang bingung.   "Kata guru...."   Lam Kiong Soat Lan memberitahukan.   "Hanya engkau yang mampu menundukkan Bu Ceng Sianli, dia akan menuruti perkataanmu."   "Itu bagaimana mungkin?"   Tio Bun Yang menggelenggelengkan kepala.   "Guru kami yakin itu,"   Ujar Toan Beng Kiat.   "Sebab di saat Bu Ceng Sianli berbicara, dia pun mengatakan bahwa engkau sangat adil dan bijaksana. Kelihatannya dia sangat kagum dan salut kepadamu."   "Itu...."   Tio Bun Yang mengerutkan kening.   "tidak mungkin aku bisa ikut kalian ke Tayli."   "Kenapa?"   Lam Kiong Soat Lan heran. "Sebab...."   Tio Bun Yang menghela nafas panjang.   "aku sedang menunggu Goat Nio, jadi tidak bisa ke mana-mana."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Tapi...."   Toan Beng Kiat memberitahukan dengan wajah muram.   "Kini guru kami terluka, orang tua kami pun lumpuh. Sedangkan Bu Ceng Sianli berbuat semaunya di istana. Menurut guru, hada seorang pun yang dapat menundukkannya kecuali engkau."   "Bukan aku tidak bersedia ke Tayli, melainkan karena aku harus menunggu Goat Nio di sini."    Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Persekutuan Pedang Sakti Karya Qin Hong

Cari Blog Ini