Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti Suling Pualam 4


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 4


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya dari Chin Yung   Beberapa hari kemudian, ia telah tiba di kota Leng An yang cukup besar.   Tampak sebuah bagunan megah, yang di atas pintunya bergantung sebuah papan bertulisan Liong San Bu Koan (Perguruan Silat Aliran Liong San).   Begitu membaca tulisan itu, giranglah hati Kam Hay Thian dan Ia langsung menuju bangunan tersebut.   "Anak kecil!"   Dua penjaga menghadangnya.   "Mau apa engkau ke mari?"   "Aku mau belajar ilmu silat,"   Sahut Kam Hay Thian.   "Oh?"   Salah satu penjaga itu tersenyum.   "Kalau begitu, mari ikut aku ke dalam menemUi guru silat Lie!"   "Terima kasih!"   Ucap Kam Hay Thian sekaligus mengikuti penjaga itu ke dalam.   Begitu sampai di halaman, Ia melihat belasan pemuda sedang berlatih dengan penuh semangat.   Penjaga itu mengajak Kam Hay Thian kesebuah ruangan.   Seorang lelaki berusia lima puluhan duduk di kursi sambil menghirup teh.   "Guru!"   Penjaga itu memberi hormat dan memberitahukan.   "Anak in mau belajar ilmu silat."   "Oh?"   Guru silat Lie menatap Kam Hay Thian, lalu manggut-manggut seraya bertanya.   "Namamu siapa dan di mana tempat tinggalmu?"   "Namaku Kam Hay Thian, aku berasal dari kota lain,"   Jawab anak itu jujur.   "Engkau ingin belajar ilmu silat di sini?"   Tanya guru silat Lie sambil tersenyum.   "Ya."   Kam Hay Thian mengangguk.   "Engkau boleh belajar di sini, namun...."   Guru silat Lie memberitahukan.   "Setiap bulan engkau harus bayar dua puluh tael perak? "   "Ya!"   Kam Hay Thian mengangguk lagi, kemudian membuka buntalannya. Dikeluarknnya dua ratus tael perak, lalu diserahkannya kepada guru silat Lie.   "Inilah uangku untuk belajar ilmu silat."   "Dua ratus tael perak?"   Guru silat Lie terbelalak.   "Dan mana engkau memperoleh uang sebanyak itu?"   "Dari ibuku."   "Engkau tidak merasa sayang memberikan semua uang itu kepadaku?"   "Tentu tidak, sebab aku ingin belajar ilmu silat di sini.   "Kalau begitu...."   Guru silat Lie mengangguk.   "Baiklah! Engkau boleh belajar ilmu silat di sini, bahkan boleh tinggal di sini."   "Terima kasih, Guru!"   Ucap Kam Hay Thian dan sekaligus berlutut di hadapan guru silat Lie. "Hay Thian!"   Guru silat Lie menatapnya.   "Berdirilah!"   "Ya, Guru!"   Kam Hay Thian bangkit berdiri.   "Hay Thian,"   Ujar guru silat Lie sungguh-sungguh.   "Engkau tidak usah memanggil aku guru, cukup memanggil paman saja."   "Kenapa?"   Tanya Kam Hay Thian dengan rasa heran.   "Karena...."   Guru silat Lie menghela nafas panjang.   "Aku cuma merupakan guru silat biasa, jadi tidak dapat mengajarmu ilmu silat tingkat tinggi Sedangkan engkau berbakat untuk belajar ilmu silat tingkat tinggi Karena itu, aku merasa malu kau panggil guru."   "Kalau begitu, aku memanggil paman saja?"   "Ya."   Di saat bersamaan, muncul seorang gadis kedil berusia sekitar sepuluh tahun sambil berseru-seru.   "Ayah! Ayah..."   Gadis kecil itu terbelalak ketika melihat Kam Hay Thian.   "Ayah, siapa dia?"   "Dia bernama Kam Hay Thian, ingin belajar ilmu silat pada ayah,"   Sahut guru silat Lie sambil tersenyum.   "Hay Thian, dia putriku bernama Lie Beng Cu."   Kam Hay Thian memandang gadis kecil itu sambil mengangguk, dan Lie Beng Cu pun mengangguk sambil tersenyum.   "Berapa usiamu7 tanya gadis kecil itu kepada Kam Hay Thian.   "Sebelas,"   Jawab Kam Hay Thian.   "Usiaku sepuluh, jadi aku barus memanggilmu kakak, dan engkau barus memanggilku adik,"   Ujar Lie Beng Cu sambil tertawa. "Ya!"   Kam Hay Thian manggut-manggut.   "Hay Thian,"   Ujar guru silat Lie.   "Hari ini engkau boleh beristirabat dulu, besok aku akan mulai mengajarmu ilmu silat."   "Terima kasih, Paman!"   Ucap Kam Hay Thian girang.   "Beng Cu, antar dia kekamar kosong itu!"   Ujar guru silat Lie memberitahukan.   "Dia berasal dan kota lain, maka harus tinggai disini."   "Ya, Ayah."   Wajah Lie Beng Cu berseni.   "Kakak Hay Thian, mari ikut aku ke dalam!"   "Tenima kasih, Adik Beng Cu!"   Ucap Kam Hay Thian lalu mengikuti gadis kecil itu ke dalam. Lie Beng Cu mengajaknya ke sebuah kamar kosong, dan begitu sampai di dalam, gadis kecil itu langsung duduk di kursi.   "Bagaimana? Engkau suka kamar ini?"   "Suka."   Kam Hay Thian mengangguk, sekaligus duduk di pinggir tempat tidur.   "Kakak Hay Thian!"   Lie Beng Cu menatapnya.   "Kenapa engkau ingin belajar ilmu silat?"   "Karena ingin balas dendam."   "Balas dendam?"   Lie Beng Cu terbelalak.   "Balas dendam siapa?"   "Ayahku dibunuh penjahat, maka aku harus belajar ilmu silat untuk membalas dendam itu."   Kam Hay Thian memberitahukan.   "Oh?"   Lie Beng Cu menatapnya dalam-dalam.   "Kenapa penjahat itu membunuh ayahmu? "Karena sebuah kitab...."   Kam Hay Thian memberitahukan secara jujur.   "Maka ayahku terbunuh.   "Kalau begitu, kepandaian penjahat itu tinggi sekali."   "Ya."   Kam Hay Thian mengangguk.   "Kalau tidak, bagaimana mungkin penjahat itu dapat membunuh ayahku? Sebab ayahku pun berkepandaian tinggi.   "Ayahmu pernah mengajarmU ilmu silat?"   Tanya Lie Beng Cu mendadak.   "Hanya mengajarku dasar-dasar ilmu lweekang saja,"   Sahut Kam Hay Thian dan melanjutkan.   "Kata ayahku, lweekang merupakan pokok bagi orang yang ingin belajar ilmu silat tingkat tinggi.   "Benar."   Lie Beng Cu manggut~manggut.   "Ayahku pun berkata begitu, maka aku terus berlatih lweekang."   "Oh ya, ayahmu bilang kepandaiannya tidak begitu tinggi. Benarkah itu?"   Tanya Kam Hay Thian mendadak.   "Entahtah."   Lie ~eng Cu menggelengkan kepala.   "Aku tidak begitu jelas tetang itu."   "Adik Beng Cu!"   Kam Hay Thian menatapnya.   "Pernahkah engkau mendengar tentang Tio Cie Hiong? "Tidak pernah,"   Jawab Lie Beng Cu.   "Mungkin ayahku tahu. Lebih baik engkau bertanya kepada ayahku saja."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Ya."   Kam Hay Thian mengangguk.   "Kakak Hay Thian,"   Tanya Lie Beng Cu.   "Siapa Tio Cie Hiong itu?"   "Dia saudara angkat ibuku. Kata ibuku kepandaiannya sangat tinggi sekali. Maka aku harus mencari dia, namun tidak tahu dia berada dimana." "Begini saja,"   Usul Lie Beng Cu.   "Untuk sementara engkau tinggal di sini sekalian belajar ilmu silat kepada ayahku, setelah itu barulah engkau pergi mencari orang tersebut."   "Ya."   Kam Hay Thian mengangguk.   "Kakak Hay Thian!"   Lie Beng Cu memandangnya sambil tersenyum.   "Aku mau pergi sebentar, nanti malam kita makan bersama."   "Terima kasih!"   Ucap Kam Hay Thian. Lie Beng Cu meninggalkan kamar itu, lalu pergi menemui ayahnya yang masih duduk diruang itu.   "Ayah!"   Panggilnya.   "Beng Cu di mana Hay Thian?"   Tanya guru silat Lie.   "Di dalam kamar."   Lie Beng Cu duduk disisinya.   "Oh ya, Ayah! Kakak Hay Thian ingin belajar ilmu silat karena ingin balas dendam."   "Oh?"   Guru silat Lie mengerutkan kening.   "Dia yang memberitahukan kepadamu?"   "Ya."   Lie Beng Cu mengangguk.   "Cukup lama kami mengobrol, dan dia memberitahukan secara jujur? "Ngmm!"   Guru silat Lie manggut-manggut dan bertanya.   "Apakah kedua orang tuanya dibunuh orang?"   "Ayahnya dibunuh penjahat."   "Dia memberitahukan sebab musababnya?"   "Ayahnya dibunuh karena sebuah kitab. Padahal ayahnya berkepandaian tinggi, namun masih tidak sanggup melawan penjahat itu."   "Kalau begitu...."   Kening guru silat Lie berkerut.   "Kepandaian penjahat itu pasti tinggi sekali" "Benar, Ayah."   Lie Beng Cu mengangguk.   "Dia mengatakan begitu? "Ayahnya tidak pernah mengajarnya ilmu silat?"   Tanya guru silat Lie mendadak.   "Hanya mengajarnya ilmu lweekang, tidak pernah mengajarnya ilm silat,"   Jawab Lie Beng Cu.   "Kalau begitu...,"   Ujar guru silat Lie setelah berpikir sejenak.   "Ayah akan mengajarnya Liong San Kun Hoat (Ilmu Silat Aliran Liong San), agar dia bisa menjaga diri dan memperkuat daya tahan tubuhnya."   "Ayah...."   Lie Beng Cu menatapnya seraya bertanya.   "Pernahkah Ayah mendengar tentang Tio Cie Hiong?"   "Tio Cie Hiong?!"   Guru silat Lie tertegun.   "Pernah. Memangnya kenapa?"   "Dia ingin mencari orang itu, yang katanya adalah saudara angkat ibunya."   Lie Beng Cu memberitahukan "Beng Cu,"   Ujar guru silat Lie.   "Kaum rimba persilatan pasti tahu mengenai Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong. Ayah pun pernah mendengar tentang pendekar, yang gagah dan berhati bajik itu."   "Oh?"   Giranglah hati Lie Beng Cu.   "Ayah tahu orang itu berada di mana?"   "Ayah tidak tahu."   Guru silat Lie menggelengkan kepala dan menambahkan.   "Sejak Bu Lim Sam Mo mati di tangannya, dia pun menghilang entah ke mana."   "Kalau begitu, tentunya Kakak Hay Thian tidak akan berhasil mencarinya,"   Ujar Lie Beng Cu dengan wajah muram.   "Beng Cu!"   Guru silat Lie tersenyum "Itu tergantung dari peruntungannya" "Ayah!"   Lie Beng Cu tersenyUm.   "Benarkah Ayah ingin mengajar Kakak Hay Thian Liong San Kun Hoat?"   "Benar."   Guru silat Lie tertawa.   "Besok ayah akan mulai mengajarnya.   "Oh ya, kenapa engkau begitu menaruh perhatian kepadanya?"   "Ayah...."   Wajah Lie Beng Cu tampak kemerah-merhan.   "Dia anak baik."   "Ayah tahu itu. Ayah tahu itu."   Guru silat Lie tertawa lagi.   "Maka ayah bersedia mengajarnya Liong San Kun Hoat." -oo0dw0oo- Guru silat Lie mulai mengajar Kam Hay Thian Liong San Kun Hoat, tujuannya agar anak itu bisa menjaga diri, sekaligus memperkuat daya tahan tubuhnya, karena guru silat Lie tahu, bahwa anak itu masih akan melanjutkan perjalanan. Kam Hay Thian belajar dengan tekun sekali, dan terus melatih ilmu lweekang yang diajarkan almarhUm ayahnya. Pagi ini, Kam Hay Thian berlatih bersama Lie Beng Cu. Seusai ber1atih, mereka duduk untuk beristirahat "Kakak Hay Thian,"   Ujar Lie Beng Cu dengan wajah berseri.   "Engkau memang cerdas, begitu gampang menerjma pelajaran ilmu silat itu."   "Engkau lebih cerdas,"   Sahut Kam Hay Thian sambil tersenyum.   "Usiamu masih kecil tapi sudah menguasai seluruh ilmu silat ayahmu."   "Tentu."   Lie Beng Cu tertawa kecil "Sebab sejak aku berusia lima tahun, ayah sudab mulai mengajarku ilmu silat."   "Oooh!"   Kam Hay Thian manggut-manggut.   "Kakak Hay Thian!"   Lie Beng Cu memberitahukan.   "Ayahku tahu tentang paman Tio Cie Hiongmu itu."   "Oh?"   Kam hay Thian girang sekali. "Paman Cie Hiongmu adalah Pek Ih Sin Hiap, yang sangat terkenal. Kepandaiannya memang tinggi sekali, bahkan Bu Lim Sam Mo mati ditangannya."   "Kalau begitu, ayahmu pasti tahu Paman Cie Hiong berada di mana."   "Ayahku tidak tahu."   Lie Beng Cu menggelengkan kepala dan melanjutkan.   "Setejah Bu Lim Sam Mo mati di tangannya, Paman Cie Hiongmu menghilang entah ke mana."   "Yaah!"   Kam Hay Thian tampak kecewa.   "Kakak Hay Thian"   Lie Beng Cu tersenyum engkau tidak usah putus harapan. Paman Cie Hiongmu sangat terkenal, mungkin ada yang tahu dia tinggal di mana."   "Kalau begitu, aku harus bertanya kepada kaum rimba persilatan!"   Ujar Kam Hay Thian.   "Jangan sembarangan bertanya kepada kaum rimba persi1atan."   Pesan Lie Beng Cu serius.   "Lho? Kenapa?"   Tanya Kam Hay Thian dengan rasa heran.   "Seandainya yang engkau tanya itu adalah musuh Paman Cie Hiongmu, tentu engkau akan celaka."   Lie Beng Cu menjelaskan.   "Benar. Lalu aku harus bagaimana?"   Kam Hay Thian menghela nafas.   "Tenang saja!"   Lie Beng Cu tersenyum.   "Bukankah engkau bisa bertanya pada ayahku?"   "Betul, betul."   Kam Hay Thian rnanggut-manggut.   "Kenapa aku melupakan itu?"   "Kakak Hay Thian!"   Lie Beng Cu menatapnya.   "Setelah berhasil menguasai Liong San Kun Hoat,apakah engkau akan pergi?" "Ya. Karena aku harus berusaha mencari Paman Cie Hiong."   "Kakak Hay Thian...."   Wajah Lie Beng Cu berubah muram.   "Setelah engkau pergi, engkau akan ke mari lagi?"   "Tentu."   Kam Hay Thian mengangguk.   "Aku pasti ke mari lagi mengunjungimu dan ayahmu."   "Engkau tidak boleh melupakan aku lho!"   Pesan Lie Beng Cu.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Sebab aku selalu ingat kepadamu."   "Adik Beng Cu!"   Kam Hay Thap tersenyum. n"Aku tidak akan melupakanmu, karena engkau baik sekali kepadaku, begitu pula ayahmu."   "Terima kasih Kakak Hay Thian."   Ucap Lie Beng Cu sambil tersenyum "Ayoh, mari kita berlatih lagi!"   "Baik."   Kam Hay Thian mengangguk.   Mereka berdua mulai berlatih.   Apabila Kam Hay Thian melakukan gerakan salah, Lie Beng Cu pasti memberi petunjuk kepadanya, maka Kam Hay Thian sangat girang dan sangat berterima kasih kepadanya.   -oo0dw0oo- Beberapa bulan kemudian, Kam Hay Thian telah berhasil menguasai Liong San Kun Hoat.   Maka guru silat Lie menyuruh putrinya memanggil Kam Hay Than "Paman memanggiku?"   Tanya anak itu setelah berada dihadapan guru silat Lie "Hay Thian!"   Guru silat Lie tersenyum lembut "Kini engkau telah menguasai Liong San Kun Hoat, maka sudah waktunya engkau pergi mencari Paman Cie Hiongmu."   "Oh?"   Kam Hay Thian terbelalak.   "Paman tahu dia berada di mana?" "Aku tidak tahu, tapi engkau boleh ke markas Kay Pang,"   Sahut guru silat Lie memberi petunjuk.   "Mungkin ketua Kay Pang tahu dia berada di mana?"   "Jadi aku harus bertanya kepada ketua Kay Pang?"   "Ya."   GUrU silat Lie mengangguk.   "Kalau tidak salah, Pek th Sin Hiap Tio Cie Hiong mempunyai hubungan erat dengan Kay Pang. Tentunya ketua Kay Pang tahu dia berada di mana."   "Dimana markas pusat Kay Pang?"   "Dan sini engkau terus berjalan ke arah timur. Setelah melewati sebuah lembah, engkau akan sampai di sebuah desa. Tanyalah kepada penduduk desa itu, mereka akan membenitahukan kepadamu."   "Terima kasih, Paman!"   Ucap Kam Hay Thian dan bertanya.   "Kapan aku berangkat?"   "Engkau boleh berangkat sekarang,"   Sahut guru silat Lie.   "Ayah...."   Lie Beng Cu tersentak.   "Kakak Hay Thian berangkat besok saja!"   "Baiklah."   Guru silat Lie mengangguk sambil tersenyum.   "Hay Thian, kalau begitu, berangkatlah engkau besok pagi."   "Ya, Paman."   Kam Hay Thian mengangguk.   "Oh ya!"   Ujar guru silat Lie.   "Engkau pernah menitip dua ratus tael perak kepadaku, besok pagi uang itu akan kukembalikan kepadamu."   "Paman, bukankah..."   "Ha ha ha!"   Guru silat Lie tertawa "Aku tidak akan menerima pembayaranmu, sebab aku mengajarmu ilmu silat dengan setulus hati Lagi pula engkau membutuhkan uang dalam perjalananmu"   "Terima kasih, Paman"   Ucap Kam Hay Thian dengan rasa haru. "Ha ha ha!"   Guru silat Lie tertawa gelak, kemudian memandang putrinya seraya berkata.   "Beng Cu, temanilah Hay Thian!"   "Ya, Ayah."   Lie Beng Cu mengangguk, kemudian mengajak Kam Hay Thian ke halaman belakang.   "Adik Beng Cu,"   Ujar Kam Hay Thian begitu berada di halaman belakang.   "Bagaimana kalau kita berlatih?"   Lie Beng Cu menggelengkan kepala, lalu memandangnya dengan wajah agak muram seraya berkata.   "Kakak Hay Thian, besok pagi kita akan berpisah."   "Ya."   Kam Hay Thian mengangguk.   "Aku harus pergi mencari Paman Cie Hiong"   "Engkau harus hati-hati dalam perjalananmu, sebab banyak orang jahat di rimba persilatan,"   Pesan Lie Beng Cu.   "Aku aku mengkhawatirkanmu,"   "Adik Beng Cu!"   Kam Hay Thian tersenyum.   "Engkau jangan mengkhawatirkanku, aku bisa menjaga diri"   "Kakak Hay Thian...."   Lie Beng Cu menundukkan kepala.   "Engkau tidak akan melupakan aku, bukan?"   "Adik Beng Cu,"   Sahut Kam Hay Thian sungguh-sungguh.   "Aku tidak akan melupakanmu, percayalah!"   "Terima kasih, Kakak Hay Thian!"   Ucap Lie Beng Cu sambil tersenyum, kemudian mengeluarkan sebuah benda, yang ternyata sebuah cincin giok. Diberikannya cincin itu kepada Kam Hay Thian seraya berkata.   "Cincin giok ini hadiah dari almarhumah, kini kuberikan kepadamu"   "Adik Beng Cu...."   Kam Hay Thian tidak berani menenimanya. "Kkak Hay Thian,"   Desak Lie Beng Cu.   "Biar bagaimana pun engkau hanus menerima. Kalau tidak, aku... aku akan marah."   "Adik Beng Cu...."   Akhirnya Kam Hay Thian menerima cincin itu, lalu dipakal dijari tengahnya.   "Kelak akan kupindahkan ke jari manis. Terima kasih, Adik Beng Cu!"   "Kakak Hay Thian!"   Lie Beng Cu tersenyum."Legalah hatiku engkau mau memakai cincin giok itu, pertanda engkau tidak akan melupakanku!"   "Adik Beng Cu,"   Ujar Kam Hay Thian sungguh-sungguh.   "Selama-lamanya aku tidak akan melupakanmu"   "Terimakasih, Kakak Hay Thianl"   Ucap Lie Beng Cu dan menambahkan.   "Aku selalu menanti kedatanganmu."   "Aku pasti ke mari kelak,"   Ujar Kam Hay Thian berjanji.   "Pasti ke mari." -oo0dw0oo- Lie Beng Cu mengantar kepergian Kam Hay Thian dengan air mata bercucunan bahkan setelah Kam Hay Thian lenyap dan pandangannya tangisnya pun meledak seketika. Guru silat Lie segera membelainya.   "Jangan menangis Nak! Dia pasti ke mari kelak."   Ujar guru silat Lie sambil tersenyum.   "Ayah tahu, engkau sangat menyukainya."   "Ayah...."   "Kalau engkau tidak menyukainya bagaimana mungkin cincin giok pemberian almarhumah berada di jari tangannya?"   "Ayah tidak marah?"   "Kenapa ayah harus marah?"   Guru silat Lie tersenyum lembut.   "Kam Hay Thian memang anak baik, maka ayah pun sangat menyukainya. Kalau tidak, bagaimana mungkin ayah membiarkanmu menghadiahkan cincin giok itu kepadanya?"   "Ayah...."   Lie Beng Cu menundukkan kepala.   "Engkau tidak usah berduka, dia pasti ke mari kelak,"   Ujar guru silat Lie dan menambahkan.   "Ayah tahu, dia pun menyukaimu."   "Ayah,"   Wajah Lie Beng Cu langsung berubah kemerahmerahan, lalu berlari ke dalam.   Sementara Kam Hay Thian terus melakukan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang sesuai dengan petunjuk guru silat Lie.   Beberapa hari kemudian ta telah tiba di sebuah lembah.   Karena merasa lelah sekali, ia langsung duduk di atas sebuah batu.   Begitu duduk wajahnya tampak berubah seketika, dan cepat-cepat ia meloncat bangun.   Ternyata batu itu merosot ke bawah, kemudian terdengar pula suara Kreeek dan dinding tebing di tempat terbuka.   Betapa terkejutnya Kam Hay Thian, dan ia lalu berdiri termangu-mangu di tempat.   Berselang beberapa saat, barulah ia memberanikan diri mendekati goa itu sambil memandang ke dalam, yang keadaannya gelap gulita, tak tampak apa pun.   "Goa apa itu?"   Gumamnya sambil mengerutkan kening Akhirnya ia melangkah ke dalam, dan setelah ia berada di dalam, pintu goa itu tertutup kembali.   "Haaah...!"   Kam Hay Thian terkejut bukan main, namun tidak merasa takut lalu berkeluh.   "Celaka, aku akan terkurung di dalam goa ini!"   Kam Hay Thian berdiri di tempat sambil memandang ke dalam, tapi tidak tampak apa pun karena gelap sekali.   Beberapa saat kemudian, a memberanikan diri melangkah ke dalam sambi! meraba-raba, Ternyata goa itu merupakan sebuah terowongan, yang sangat panjang.   Entah berapa lama kemudian tangannya meraba dinding yang sangat dingin, yang ternyata pintu baja.   "Kok ada pintu di sini?"   Gumam Kam Hay Thian sambil meraba ke sana ke mari, dan tnpa sengaja menekan sesuatu.   "Kreeeek! Pintu baja itu terbuka dan cahaya yang cukup terang menyorot ke luar. Kam Hay Thian girang bukan main dan segera masuk. Setelah ia sampai di dalam, pintu baja itu pun tertutup kembali.   "Tempat apa mi?"   Gumam Kam Hay Thian sambil menengok ke sana ke mari.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ternyata ia berada di sebuah ruangan, yang sangat indah dan agak terang, bahkan terdapat kursi, meja dan perabotan lainnya.   Di dinding ruangan itu juga terdapat beberapa buah pintu Karena tertarik ia pun memasuki salah satu pintu tersebut.   Betapa girang hatinya, sebab di ruangan kecil itu tersimpan makanan kering dan lain sebagainya.   Setelah memeriksa ruang kecil itu, ia pun memasuki pintupintu lainnya.   Ternyata semuanya merupakan ruangan, dan salah satunya menyimpan berbagai macam alat musik.   Sesudah memasuki semua ruangan tersebut, Kam Hay Thian kembali ke ruang depan, yang sangat besar itu.   Saking girangnya, ia terus meraba-raba Seluruh dinding ruang depan tersebut.   Kemudian bersamaan dengan terdengarnya suara krek, muncullah sebuah lubang di bagian dinding itu.   Kam Hay Thian terbelalak, karena melihat sebuah kotak yang sangat indah tersimpan di dalamnya.   Ia menjulurkan tangannya mengambil kotak tersebut, kemudian ditaruhkannya di atas meja.   "Kotak apa ini?"   Ujarnya sambil memperhatikan kotak tersebut.   Kemudian dengan hati-hati sekali dibukanya kotak itu.   Ternyata di dalamnya berisi dua buah kitab, yang tentunya membuat Kam Hay Thian tercengang.   Berselang beberapa saat kemudian, barulah ia mengambil kedua kitab itu, sekaligus dibacanya.   Ternyata kitab itu adalah kitab peninggalan Pak Kek Sian Ong dan kitab Hian Bun Kui Goan Kang Khi (Kitab Pelajaran Menghimpun Dan Menyatukan Tenaga Murni).   Setelah membacanya, dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kam Hay Thian, karena tahu bahwa kedua kitab itu merupakan kitab pelajaran ilmu silat tingkat tinggi.   Tidak salah, kedua kitab itu memang milik Bu Lim Sam Mo.   Kam Hay Thian tidak tahu, tanpa sengaja a memasuki tempat tersebut, yang merupakan bekas markas Bu Tek Pay.   Karena ayahnya pernah mengajarnya dasar-dasar ilmu lweekang, maka terlebih dahulu a mempelajari kitab Hian Bun Kui Goan Kang Khi.   -oo0dw0oo- Bagian Ke Delapan Sumber penyakit aneh Kini Tio Bun Yang telah berusia lima belas tahun.   Ia bertambah tampan dan gagah.   Kepandaiannya pun bertambah tinggi, bahkan telah menguasai Ilmu Penakiuk Iblis dan ilmu pengobatan pula.   Tentunya sangat menggirangkan Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im.   Namun kedua orang tuanya masih tercekam rasa cemas, karena Tio Bun Yang mengidap semacam penyakit aneh.   Yakni tidak boleh marah, apabila marah maka Tio Bun Yang akan kehilangan kesadarannya, sehingga membuatnya membunuh apa pun yang ada di hadapannya.   Hingga saat ini, Tio Cie Hiong masih tidak tahu sumber penyakit aneh tersebut.   Padahal ia terus menerus mengobati putranya itu dengan berbagai macam obat, namun tetap tidak dapat menyembuhkannya.   Pagi ini, Tio Bun Yang duduk bersemedi dibawah sebuah pohon melatih lweekangnya.   Ia menghimpun Pan Yok Hian Thian Sin Kang, lalu Kan Kun Taylo Sin Kang setelah itu Giok Li Sin Kang.   Di saat menghimpun hawa murni Giok Li Sin Kang, wajah Tio Bun Yang berubah menjadi pucat.   Berselang sesaat, mulailah Ia menghimpun Kiu Yang Sin Kang.   Wajahnya yang pucat pias itu mulai berubah merah padam, dan keringatnya mulai merembes ke luar dan keningnya.   Makin lama wajahnya makin bertambah merah, kemudian mendadak ia berteriak keras sambil meloncat bangun, sekaligus membuka sepasang matanya.   Sungguh mengejutkan, karena sepasang matnya tampak membara.   Ia memukul kesana kemari seperti orang gila, dan banyak pohon yang hancur terkena pukulannya.   kelihatannya Ia telah kehilangan kesadarannya, dan terus mengamuk memukul kesana kemari.   Lama sekali barulah ia berhenti, lalu terkulai dan pingsan.   Di saat bersamaan, muncullah Lie Ai Ling dan monyet bulu putih.   "Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang!"   Panggil Lie Ai Ling, sambjl menggoyang~goyangkan bahunya. Monyet bulu putih pun segera memeriksanya, dan setejah itu bercuit-cuit. "Kauw heng,"   Tanya Lie Ai Ling. Kini gadis itu telah berusia empat belas tahun.   "Bagaimana keadaan Kakak Bun Yang, dia tidak apa-apa?"   Monyet bulu putih mengangguk, dan karena itu Lie Ai Ling menarik nafas lega. Berselang beberapa saat kemudian, badan Tio Bun Yang mulai bergerak, Lie Ai Ling segera memanggilnya.   "Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang!"   Tio Bun Yang membuka matanya, lalu menghela nafas panjang sambil duduk dan kelihatan lelah sekali.   "Kakak Bun Yang, kenapa engkau?"   Tanya Lie Ai Ling penuh perhatian.   "Kok engkau pingSan di Sini?"   "Aku"   Tio Bun Yang menggelengkan kepala.   "Engkau sakit?"   Lie Ai Ling menatapnya.   "Aku tidak sakit, hanya saja...."   Tio Bun Yang mengerutkan kening.   "Berat sekali rasanya kepalaku."   "Kenapa begitu?"   "Entahlah. Aku pun tidak mengerti,"   Sahut Tio Bun Yang dan bergumam.   "Aku sedang melatih lweekang...."   "Lalu?"   "Lalu...."   Tio Bun Yang terus berpikir sambil bergumam.   "Aku menghimpun Pak Yok Han Thian Sin Kang, kemudian Kan Kun Taylo Sin Kang Setelah itu, ketika aku menghimpun Giok Li Sin Kang, aku merasa peredaran darahku mulai bergejolak. Lebih-lebih ketika aku menghimpun Kiu Yang Sin Kang, dadaku terasa mau meledak, sehingga membuatku berteriak keras dan kehilangan kesadaran."   "Oh?"   Lie Ai Ling terbelalak, kemudian menengok ke sana ke mari.   "Engkau memukul hancur pohon-pohon itu?" "Entahlah."   Tio Bun Yang menggelengkan kepala.   "Aku tidak mengetahuinya?"   "Kakak Bun Yang!"   Lie Ai Ling menatapnya.   "Aku melihat engkau tergeletak pingsan disini, maka segera memanggilmu sambil menggoyang-goyangkan bahumu."   "Oh?"   Tio Bun Yang mengerutkan kening. Tampaknya ia sedang berpikir lagi. Namun mendadak ia tersentak, kelihatannya telah menyadari satu hal.   "Apakah dikarenakan itu?"   "Dikarenakan apa?"   Tanya Lie Ai Ling.   "Adik Ai Ling, Kauw-heng, mari kita pulang!"   Tio Bun Yang bangkit berdiri.   "Aku harus memberitahukan kepada ayah." -oo0dw0oo- Tio Cie Hiong, Lim Ceng im, Tio Tay Seng dan Sam Gan Sin Kay di ruang depan dengan wajah serius. Ternyata Tio Bun Yang membertahukan tentang kejadian itu, bahkan Lie Ai Ling pun menambahkan.   "Aku melihat kakak Bun Yang pingsan, dan pohon-pohon di sekitar tempat itu hncur berantakan."   "Ngmm!"   Tio Cie Hiong manggut-manggut.   "Tidak salah lagi, itu pasti sumber penyakit Bun Yang!"   "Maksudmu Cie Hiong?"   Tanya Tio Tay Seng.   "Pan Yok Han Thian Sin Kang dan Kan Kun Taylo Sin Kang berhubungan erat sekali, boleh dikatakan merupakan saudara kandung,"   Jawab Tio Cie Hiong menjelaskan "Giok Li Sin Kang bersifat lembut mengandung hawa im (dingin), sedangkan Kiu Yang Sin Kang bersifat keras mengandung hawa Yang (panas).   Oleb karena itu, terjadilah gejojak hawa murni yang bertentangan di dalam tubuh Bun Yang, sehingga menyebabkan tekanan darahnya tidak normal, sekaligus menyerang syaraf otaknya, maka menimbulkan penyakit aneh itu."   "Kalau begitu harus bagaimanana tanya Lim Ceng im cemas.   "Tidak apa-apa."   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Kini aku sudab tahu smber penyakit itu, dan aku dapat menyembuhkannya."   "Bagaimana caranya?"   Tanya Tio Tay Seng.   "Aku harus membantunya mengeluarkan hawa murni Giok Li Sin Kang dan Kiu Yang Sin Kang,"   Jawab Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.   "Kalau tidak, tidak lama lagi dia pasti gila."   "Haaah...?"   Lim Ceng Im dan Tio Tay Seng terkejut bukan main, begitu pula Sam Gan Sin Kay.   "Untung cepat mengetahuinya, kalau tidak Bun Yang pasti cetaka."   Tio Cie Hiong menghela nafas lega.   "Itu kesalahanku,"   Ujar Lim Ceng Im menyesal.   "Karena aku mengajarkannya Giok Li Sin Kang."   "Aku pun bersalah."   Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan kepala.   "Karena menginginkan Bun Yang menjadi pendekar tanpa tanding, maka aku pun mengajarnya Kiu Yang Sin Kang. Akhirnya malah jadi begini."   "Adik Im dan Paman tidak bersalah."   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Itu pertanda sangat sayang pada Bun Yang. Pada waktu itu aku pun tidak tahu akan menjadi begini. Namun masih tidak terlambat, aku mampu mengeluarkan hawa-hawa murni itu dan tubuh Bun Yang."   "Syukurlah!"   Ucap Tio Tay Seng sambil menarik nafas lega.   "Bun Yang, duduklah bersila di lantai!"   Ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.   "Ayah suruh apa, engkau harus menurut."   "Ya, Ayah."   Tio Bun Yang mengangguk, lalu duduk bersila di lantai. Tio Cie Hiong duduk bersila di belakangnya, kemudian sepasang telapak tangannya ditempelkan pada punggung Tio Bun Yang.   "Bun Yang, himpunlah hawa murni Giok Li Sin Kang!"   Ujar Tio Cie Hiong. Tio Bun Yang mengangguk, kemudian menghimpun hawa murni Giok Li Sin Kang. Tak lama wajahnya mulai memucat, Tio Cie Hiong segera mengerahkan Pak Yok Han Thian Sin Kang ke dalam tubuh Tio Bun Yang, dan berselang sesaat ia berkata.   "Buka mulutmu!"   Tio Bun Yang membuka mulutnya. Sesaat kemudian tampak uap putih mulai keluar dari mulutnya.   "Terus himpun Giok Li Sin Kang, jangan berhenti!"   Pesan Tio Cie Hiong dengan suara rendah. Tio Bun Yang mengangguk perlahan dan terus menghimpun Giok Li Sin Kang. Berselang beberapa saat, tidak tampak lagi uap putih ke luar dan mulut Tio Bun Yang.   "Himpun hawa murni Kiu Yang Sin Kang!"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ujar Tio Cie Hiong sambil berhenti mengerahkan Pak Yok Han Thian Sin Kang.   Tio Bun Yang mulai menghimpun hawa murni Kiu Yang Sin Kang, dan tak lama kemudian wajahnya mulai memerah.   Tio Cie Hiong segera mengerahkan Pan Yok Han Thian Sin Kang ke dalam tubuhnya.   "Buka mulutmu!"   Ujarnya kemudian. Tio Bun Yang membuka mulutnya, tampak pula uap putih ke luar dan mulutnya, yang mengandung hawa panas.   "Jangan berhenti menghimpun hawa murni Kiu Yang Sin Kang!"   Pesan Tio Cie Hiong, keningnya mulai berkeringat.   Tio Bun Yang terus menghimpun hawa murni Kiu Yang Sin Kang, sedangkan Tio Cie Hiong pun terus mengerahkan Pan Yok Han Thian Sin Kang ke dalam tubuhnya untuk mendesak ke luar hawa murni Kiu Yang Sin Kang itu.   Berselang beberapa saat kemudian, mulut Tio Bun Yang tidak mengeluarkan uap lagi, dan wajahnya pun telah normal kembali.   Sebaliknya Wajah Tio Cie Hiong menjadi pucat pias.   Ia segera berhenti mengerahkan Pan Yok Han Thian Sin Kang, sekaligus menarik kembali tangannya dari punggung Tio Bun Yang.   Tio Bun Yang bangkit berdiri, sedangkan Tio Cie Hiong masih duduk bersemedi.   Berselang sesaat, barulah ia bangkit berdiri sambil menghela nafas panjang dan berkata.   "Untung aku memiliki lweekang tinggi dan dua kali makan buah Kiu Yap Ling Che! Kalau tidak, aku pasti sudah trluka dalam!"   "Ayah...."   Tio Bun Yang segera bersujud dihadapan ayahnya.   "Maafkan Bun Yang telah menyusahkan Ayah!"   "Nak!"   Tio Cie Hiong tersenyum lembut sambil membangunkannya "Kini ayah, ibu dan lainnya telah berlega hati, karena engkau telah sembuh."   "Terima kasih Ayah!"   Ucap Tio Bun Yang.   "Nak, duduklah!"   Tio Cie Hiong tersenyum lagi sambil duduk.   "Ya, Ayah."   Tio Bun Yang duduk di sisi Lim Ceng Im.   "Ibu, mulai sekarang Ibu tidak perlu cemas lagi."   "Nak...."   Lim Ceng Im membelainya dengan penuh kasih sayang.   "Ha ha ha!"   Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.   "Tio Tocu, urusan in sudah beres. Maka kita pergi main catur!" "Baik."   Tio Tay Seng mengangguk Mereka berdua lalu pergi main catur.   "Adik Im,"   Ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.   "ini merupakan pengalaman bagiku. Seseorang memang tidak boleb belajar bermacam-macam ilmu lweekang, sebab akan mencelakai diri sendiri."   "Benar."   Lim Ceng Im mengangguk "Untung Bun Yang cepat menyadani hal itu, kalau tidak...."   "Dia pasti gila."   Tio Cie Hiong menghela nafas Panjang.   "Oh ya!"   Lim Ceng Im teringat sesuatu.   "Kini dia telah memiliki Ilmu Penakiuk Iblis, itu tidak akan mempengaruhinya?"   "Tentu tidak."   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Karena Ilmu Penakluk Iblis merupakan semacam ilmu kebatinan tingkat tinggi, jadi dapat memperkuat batinnya.~ "Oooh!"   Lim Ceng Im manggut-manggut.   "Kakak Hiong, sungguh kasihan Kakak Hong Hoa! Selama lima tahun ini, dia hidup dengan hati tersiksa."   "Itu karena ulah Lie Man Chiu."   Tio Cie Hiong menggelenggelengkan kepala.   "Selama lima tahun ini, dia sama sekali tidak pulang. Entah dia menjadi apa di rimba persilatan?"   "Kakak Hiong...."   Lim Ceng Im menatapnya sambil tersenyum.   "Untung engkau tidak seperti Lie Man Chiu!"   "Adik Im...."   Tio Cie Hiong menatapnya mesra dengan penuh cinta kasih.   "Bagaimana mungkin aku akan seperti Lie Man Chiu?"   "Paman, Bibi,"   Sela Lie Ai Ling mendadak.   "Ayahku memang jahat, tega meninggalkan kami. Aku pun tidak mau mengakunya sebagai ayah lagi, sebab dia... dia membuat ibu menderita!" "Ai Ling...."   Tio Cie Hiong terkejut. Ia lupa akan keberadaan Lie Ai Ling di situ.   "Paman adalah lelaki yang paling baik didunia, juga sebagai ayah yang paling baik. Sebaliknya ayahku merupakan lelaki yang paling jahat di dunia. Demi mengangkat namanya dirimba persilatan, dia begitu tega meninggalkan kami."   "Ai Ling...,"   Ujar Lim Ceng Im dengan suara rendah.   "Engkau tidak boleh berkata demikian dihadapan ibumu, sebab akan membuat ibumu sedih lho!"   "Ya, Bibi!"   Lie Ai Ling mengangguk.   "Adik Ai Ling!"   Mendadak Tio Bun Yang menarik tangannya.   "Mari kita pergi berlatih!"   "Ya, Kakak Bun Yang."   Lie Ai Ling mengangguk. Mereka berdua lalu meninggalkan ruangan itu. Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im menghela nafas panjang, sementara monyet bulu putih itu duduk diam saja di kursi.   "Adik Im!"   Tio Cie Hbong tersenyum.   "Kini legalah hati kita, karena Bun Yang telah sembuh."   "Ya."   Lim Ceng Im mengangguk dengan wajah berseri, kemudian berkata.   "Kakak Hiong, bagaimana menurutmu mengenai Bun Yang dengan Ai Ling?"   "Maksudmu?"   Tio Cie Hiong agak terbelalak.   "Mereka berdua begitu akrab dan cocok, mungkinkah mereka berjodoh menjadi suami isteri?"   Sahut Lini Ceng Im.   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong tertawa.   "Mereka berdua memang akrab dan sangat cocok sekali. Bahkan juga saling mengasihi dan saling mencinta pula."   "Kalau begitu...."   Wajah Lim Ceng Im berseri.   "Aku sangat menyukai Ai Ling." "Adik Im!"   Mendadak Tio Cie Hiong tampak serius.   "Engkau jangan salah paham. Mereka saling mencinta bagaikan kakak adik kandung, bukan merupakan sepasang kekasih lho!"   "Oh?"   Lim Ceng Im tertegun.   "Menurutku..."   Ujar Tio Cie Hiong.   "Mengenai perjodohan Bun Yang, terserah padanya. Kita sebagai orang tua hanya merestui saja, jangan bantu dia memilih. Sebab dia bisa pilih sendiri, jadi terserah dia saja."   "Ya."   Lim Ceng Im mengangguk, kemudian tersenyum geli.   "Kakak Hiong...."   "Ada apa? Kenapa engkau mendadak tertawa geli?"   "Aku teringat pertemuan kita pertama kali. Engkau bertelanjang bulat mandi di kali,"   Sahut Lim Ceng Im yang masih tertawa geli.   "Mungkinkah Bun Yang akan mengalami hal seperti itu?"   "Mudah-mudahan!"   Ucap Tio Cie Hiong samtertawa gelak.   "Itu yang kuharapkan."   "Dasar...!"   Lim Ceng Im mencubit paha suaminya, dan kemudian Tio Cie Hiong memeluknya erat-erat dengan mesra sekali.   -oo0w0oo- Tio Hong Hoa duduk melamun di dekat taman bunga.   Matanya terus memandang bulan purnama, yang bersinar terang, lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas panjang.   "Sudah lima tahun! Sudah lima tahun..."   Gumamnya dengan mata basah.   "Kakak Chiu, kenapa engkau belum pulang? Aku... aku rindu sekali kepadamu, begitu pula Ai Ling putri kita itu. Kakak Chiu, apakah engkau telah melupakan kami? Aaakh..!" "Ibu! Ibu...."   Muncul Ai Ling menghampirinya.   "Al Ling!"   Tio Hong Hoa menatapnya sambil tersenyum getir.   "Kenapa engkau belum tidur?"   "Ibu belum tidur, bagaimana mungkin Ai Ling bisa tidur?"   Lie Ai Ling duduk di sisi ibunya.   "Nak...."   Tio Hong Hoa membelainya lembut.   "Sungguh kasihan engkau...."   "Yang harus dikasihani adalah Ibu."   Lie Ai Ling menatapnya iba.   "Karena Ibu tampak agak tua dan rambut ibu pun mulai memutih. Ibu, sungguh kejam ayah, Ai Ling benci kepadanya!"   "Nak...."   Tio Hong Hoa menghela nafas panjang.   "Tidak baik engkau membencinya, sebab biar bagaimana pun dia adalah ayahmu.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Hmm!"   Dengus Lie Ai Ling dingin.   "Percuma punya ayah begitu macam, iebih baik anggap dia sudah mati."   "Nak!"   Wajah Tio Hong Hoa berubah pucat.   "Engkau...."   "Hanya demi mengangkat nama, dia tega meninggalkan kita,"   Ujar Lie Ai Ling sengit.   "Lihatlah Paman Cie Hiong, dia hidup tenang dan bahagia bersama anak isterinya di pulau ini, tidak seperti ayah, yang mementingkan dirinya sendiri."   "Sifat manusia berbeda...."   Tio Hong Hoa menggelenggelengkan kepala.   "Nak, walau ayahmu begitu tega meninggalkan kita, namun ibu tetap mencintainya, dan merindukannya pula!"   "Ibu...."   Lie Ai Ling terbelalak.   "Ayah begitu jahat, tapi kenapa ibu masih mencintai dan merindukannya?"   "Nak, sebetulnya ayahmu tidak jahat."   Tio Hong Hoa menjelaskan.   "Dia cuma terlampau berambisi, lagi pula mungkin sudah merupakan nasib ibu. Maka... engkau jangan mempersalahkannya." "Ibu...."   Lie Ai Ling menghela nafas.   "Sungguh besar jiwa Ibu, tapi, sebaliknya ayah...."   "Yaah!"   Tio Hong Hoa tersenyum getir.   "Mungkin juga merupakan takdir, ibu harus menerima itu dan memaafkan ayahmu."   "Ibu,"   Sahut Lie Ai Ling sungguh-sungguh.   "Pokoknya Ai Ling tidak akan memaafkan ayah."   "Nak, engkau tidak boleh begitu."   "Tidak boleh begitu? Jadi dia boleh meninggalkan kita sesuka hatinya? Lelaki macam itu lebih baik kita lupakan saja!"   "Nak, dia ayahmu. Jangan lupa itu...."   "Ibu, di saat ayah meninggalkan kita, di saat itu pula Ai Ling sudah tidak punya ayah."   "Adik Ai Ling...."   Mendadak muncul Tio Bun Yang. Apa yang dikatakan Lie Ai Ling masuk kedalam telinganya.   "Engkau tidak boleh berkata begitu. Ayahmu memang berslah, namun tetap ayahmu, maka engkau harus memaafkannya. Aku yakin suatu hari nanti, ayahmu pasti menyesal akan perbuatannya itu."   "Kakak Bun Yang...."   Sungguh mengherankan, gadis itu tidak berani berdebat dengannya.   "Bagaimana mungkin ayahku akan menyesal? Itu...tidak mungkin."   "Adik Ai Ling!"   Tio Bun Yang menatapnya lembut.   "Engkau harus tahu, Paman Chiu meninggalkan kalian lantaran suatu ambisi. Itu bukan berarti dia tidak mencintai kalian. Dia tega meninggalkan kalian karena nuraninya telah tertutup oleh ambisinya itu. Akan tetapi, suatu hari nanti pintu nuraninya pasti terbuka kembali, yang akan membuatnya menyesal dan pasti berlutut dihadapan ibumu untuk memohon pengampunan. Oleh karena itu, engkau harus memaafkannya agar pintu nuraninya terbuka. Mengerti?"   "Mengerti, Kakak Bun Yang."   Lie Ai Ling mengangguk.   "Aku pasti menuruti nasihatmu."   "Bagus!"   Tio Bun Yang tersenyum lembut sambil membelainya.   "Aku sangat bersyukur dan legalah hatiku, karena engkau sudah mengerti dan mau menuruti nasihatku."   "Kakak Bun Yang!"   Lie Ai Ling menatapnya seraya berkata.   "Engkau adalah kakakku yang paling baik di dunia!"   "Terima kasih, adik Ai Ling!"   Tio Bun Yang tersenyum lagi.   "Nah, mulai sekarang engkau tidak boleh berdebat dengan ibumu lagi. Kasihan ibu yang dirundung duka dan sangat menderita."   "Ya."   Lie Ai Ling mengangguk, kemudian merangkul Tio Hong Hoa sambil menangis terisak-isak.   "Ibu, maafkan Ai Ling!"   "Nak...."   Tio Hong Hoa membelainya dengan air mata berderai-derai, kemudian berkata kepada Tio Bun Yang.   "Terima kasih Bun Yang, engkau dapat menasihati Ai Ling!"   "Bibi, Bun Yang menyayanginya, maka harus menasihatinya,"   Ujar Tio Bun Yang.   "Lagi pula Ai Ling boleh dikatakan sebagai adikku."   "Bun Yang...."   Tio Hong Hoa terharu bukan main.   "Sifatmu sungguh baik sekali, seperti sifat ayahmu.   "Bibi!"   Tio Bun Yang menatapnya dalam-dalam.   "Bun Yang harap mulai sekarang, Bibi jangan berduka lagi! Bun Yang yakin suatu hari nanti, Paman Chiu pasti pulang."   "Mudah-mudahan!"   Sahut Tio Hong Hoa.   "Memang itu yang bibi harapkan." -oo0dw0oo      Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com   / Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im duduk santai di ruang depan sambil bercakap-cakap, Wajah mereka tampak ceria dan bahagia.   "Adik Im,"   Ujar Tio Cie Hiong.   "Bun Yang telah menguasai seluruh kepandaianku, hanya saja lweekangnya masih dangkal"   "Jadi harus bagaimana agar lweekangnya mencapai ke tingkatmu?"   Tanya Lim ceng Im.   "Itu agak sulit."   Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.   "Sebab aku pernah makan buah Kiu Yap Ling Che, maka lweekangku menjadi tinggi"   "Kalau begitu...."   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Itu adalah buah ajaib dan langka, yang lima ratus tahun berbuah sekali, jadi tidak gampang orang memperoleh buah ajaib itu."   "Oooh!"   Lim Ceng Im manggut.manggut "Kalau begitu, Bun Yang harus terus melatib lweekangnya, bukan?"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Harus melatih berapa lama?"   "Mungkin sepuluh tahun, bahkan juga dua puluh tahun. Aku tidak begitu jelas."   "Yaah!"   Lim Ceng Im menghela nafas panjang. Di saat bersamaan, tampak sosok bayangan putih melesat ke dalam, lalu duduk di hadapan mereka.   "Kauw-heng!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Dari mana engkau?"   Monyet bulu putih langsung manggut-manggut, kemudian bercuit-cuit tampak gembira sekali. "Kalau begitu, pergilah panggil Bun Yang kemari!"   Ujar Tio Cie Hiong kepada monyet bulu putih. Monyet bulu putih itu bercuit-cuit sambil menggerakgerakkan tangannya Tio Cie Hiong manggut-mangggut dan berkata.   "Barusan engkau menyaksikan latihan Tio Bun Yang?"   Monyet bulu putih itu manggut-manggut, kemudian sepasang tangannya bergerak sekaligus menarik nafas "Maksudmu lweekangnya masih dangkal?"   Monyet bulu putih manggut-manggut lagi, lalu menunjuk ke atas, menunjuk dirinya sendiri dan menunjuk ke sana ke mari "Apa?"   Tio Cie Hiong terbelalak "Kakak Hiong,"   Tanya Lim Ceng Im.   "Kauw-heng bilang apa?"   "Dia bilang ingin mengajak Bun Yang pergi ke Gunung Thian San,"   Jawab Tio Cie Hiong memberitahUkan "Bun Yang harus berlatih disana, agar lweekangnya bisa mencapai tingkat tinggi."   "Oh?"   Lim Ceng Im tertegun "Kakak Hiong, bagaimana menurutmu?"   "Harus kita rundingkan dengan paman dan kakekmu,"   Sahut Tio Cie Hiong.   "Aku tidak berani mengambil keputusan sekarang"   "Ada apa?"   Mendadak muncul Tio Tay Seng bersama Sam Gan Sin Kay.   "Paman, Kakek pengemis!"   Panggil Tio Cie Hiong.   "Cie Hiong!"   Tio Tay Seng menatapnya.   "Kelihatannya engkau sedang merundingkan sesuatu dengan kauw heng. Apa yang kalian rundingkan?"   "Paman!"   Tio Cie thong memberjtahukan.   "Kauw-heng mengajukan suatu usul." "Oh?"   Tio Tay Seng tersenyum.   "Kauw-heng mengajukan usul apa?"   "Dia ingin mengajak Bun Yang pergi ke Gunung Thian San."   "Maksudnya Bun Yang berlati di tempat tinggalnya, di Gunung Thian San?"   Tanya Tio Tay Seng.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Bagaimana menurut Paman?"   "Ha ha ha!"   Sam Gan Sin Kay tertawa mendadak.   "Itu merupakan suatu kesempatan bagi Bun Yang, maka kalian harus mengijinkan kauw-heng mengajaknya ke sana."   "Cie Hiong,"   Ujar Tio Tay Seng sungguh-sungguh.   "Terus terang, Paman tidak keberatan"   "Tapi "Tio Cie Hiong melirik Lim Ceng Im.   "Kakak Hiong!"   Lim Ceng Im tersenyum.   "Aku pun tidak berkeberatan, itu memang merupakan suatu kesempatan bagi Bun Yang. Lagi pula kauw heng sangat sakti, siapa tahu dia akan memetik buah ajaib Kiu Yap Ling Che untuk Bun Yang."   Monyet bulu putih bercuit sekali, lalu melesat pergi. Tak lama kemudian hewan itu telah kembali bersama Tio Bun Yang.   "Ayah memanggil Bun Yang?"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Bun Yang, kauw-heng ingin mengajakmu pergi ke Gunung Thian San. Apakah engkau setuju?"   "Mau apa kauw heng mengajak aku ke sana?"   Tanya Tio Bun Yang dengan rasa heran. Monyet bulu putth segera bercuit-cuit, Sekaligus menggerak-gerakkan tangannya. "Oooh!"   Tio Bun Yang manggut-manggut sambil tersenyum.   "Ternyata kauw-heng menghendaki agar aku berlatih di sana!"   "Bagaimana?"   Tio Cie Hiong menatapnya.   "Engkau setuju?"   "Tentu setuju."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Karena itu merupakan kesempatan bagiku, maka aku tidak mau mengecewakan maksud baik kauw-heng."   "Kalau begitu, kapan engkau dan Kauw heng akan berangkat?"   Tanya Lim ceng Im.   "Besok pagi,"   Sahut Tio Bun Yang.   "Ibu tidak berkeberatan, bukan?"   "Tentu tidak, namun engkau harus berhati-hati..."   Ucapan Lim Ceng Im terputus, karena mendadak monyet bulu putih bercuit-cuit. Lim Ceng Im tersenyum "Kauw-heng bisa menjaganya, bukan?"   Monyet bulu putih manggut-manggut, dan Tio Bun Yang tersenyum.   "Ibu, aku pun bisa menjaga diri,"   Katanya sungguhsungguh.   "Ngmm!"   Lim Ceng Im manggut-manggut.   "Bun Yang!"   Tio Cie Hiong menatapnya dalam-dalam.   "Engkau dan kauw-heng boleh berangkat besok pagi, tapi begitu usai berlatih dsana engkau dan kauw-heng harus segera pulang. Jangan berkelana dulu, engkau harus ingat"   "Ya, Ayah."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Bun Yang pasti mematuhi pesan Ayah."   "Bagus!"   Tio Cie Hiong manggut-manggut.   "Oh ya!"   Tio Bun Yang teringat sesuatu "Bun Yang harus memberitahu bibi dan adik Ai Ling" "Mereka berada di ruang belakang, pergilah menemui mereka!"   Ujar Tio Cie Hiong.   "Ya, Ayah."   Tio Bun Yang berjalan ke ruang belakang. Tampak Tio Hong Hoa sedang menyulam, dan Lie Ai Ling duduk di situ menemaninya.   "Kakak Bun Yang"   Panggil Lie Ai Ling ketika melihatnya muncul.   "Adik Ai Ling, Bibi!"   Tio Bun Yang mendekati mereka.   "Oh, Bun Yang!"   Tio Hong Hoa tersenyum.   "Duduklah!"   "Ya."   Tio Bun Yang duduk lalu berkata.   "Bibi, Adik Ai Ling! Bun Yang ingin menyampaikan sesuatu."   "Mau menyampaikan apa?"   Tanya Tio Hong Hoa.   "Besok pagi Bun Yang akan berangkat ke Gunung Thian San bersama kauw-heng."   Tio Bun Yang memberitahukan.   "Oh?"   Tio Hong Hoa tertegun.   "Kakak Bun Yang...."   Lie Ai Ling tersentak.   "Besok Kakak Bun Yang akan berangkat ke Gunung Thian San bersama kauw~heng?"   "Ya"   Tio Bun Yang mengangguk.   "Mau apa ke Gunung Thian San?"   Tanya Tio Hong Hoa dengan rasa heran.   "Kauw-heng..."   Tio Bun Yang menjelaskan tentang maksud tujuan monyet bulu putih.   "Oooh!"   Tio Hong Hoa manggut-manggut.   "Itu memang merupakan kesempatanmu, ada baiknya engkau ke sana."   "Kakak Bun Yang...."   Mata Lie Ai Ling mulai basah.   "Kapan engkau pulang?"   "Entahlah."   Tio Bun Yang menggelengkan kepala.   "Mungkin... dua tiga tahun kemudian." "Kakak Bun Yang harus hati-hati, sebab Gunung Thian San sangat jauh dan sini."   Ujar Lie Ai Ling.   "Adik Ai Ling!"   Tio Bun Yang tersenyum.   "Aku pasti hatihati, engkau tidak usah mencemaskanku."   "Kakak Bun Yang...."   Air mata Lie Ai Ling mulal meleleh.   "Jangan menangis, Adik Ai Ling!"   Tio Bun Yang membelainya.   "Aku pasti pulang. Engkau harus menjaga ibumu baik-baik."   "Ya, Kakak Bun Yang."   Lie Ai Ling manggut-manggut.   Keesokan harinya, berangkatlah Tio Bun Yang bersama monyet bulu putih ke Tionggoan menuju Gunung Thian San.   -oo0dw0oo- Bagian ke Sembilan 13 Jurus Pukulan Cahaya Emas Di Gunung Thay San, tampak Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan sedang berlatih Thian Liong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Naga Khayangan) dengan sungguh-sungguh Setelah itu, mereka juga berlatih Thian Liong Kiam Hoat (Ilmu Pedang Naga Kahyangan) menggunakan ranting.   Di saat mereka berhenti berlatih, terdengar suara pujian dan muncul Tayli Lo Ceng dengan wajah berseri-seri.   "Omitohud! Kalian berdua telah berhasil menguasai Thian Liong Ciang Hoat dan Than Liong Kiam Hoat! Bagus, bagus!"   "Guru!"   Seru mereka sambil memberi hormat.   "Ha-ha-ha!"   Tayli Lo Ceng tertawa gembira, kemudian bertanya.   "Sudah berapa lama kalian berada di sini?" "Kalau tidak salah...,"   Jawab Toan Beng Kiat.   "Sudah hampir lima tahun, bukan?"   "Betul."   Tayli Lo Ceng manggut-manggut.   "Memang tak terasa, tahu-tahu sudah lima tahun."   "Guru, bagaimana kepandaian kami?"   Tanya Lam Kiong Soat Lan mendadak sambil tersenyum.   "Maju pesat,"   Sahut Tayli Lo Ceng.   "Guru tidak menyangka, kalian begitu cerdas."   "Itu berkat bimbingan Guru,"   Ujar Toan Beng Kiat.   "Padahal kami sangat bodoh."   "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng manggut-manggut.   "Merendah diri merupakan sifat yang baik, angkuh dan sombong justru akan meruntuhkan diri sendiri."   "Terima kasih atas wejangan Guru."   Ucap mereka berdua serentak.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Omitohud!"   Tayli Lo Ceng menatap mereka sambil tersenyum.   "Kini usia kalian sudah belasan, sudah remaja lho!"   "Guru,"   Tanya Toan Beng Kiat.   "Kapan kami boleh pulang ke Tayli?"   "Dua tahun lagi,"   Sahut Tayli Lo Ceng dan menambahkan.   "Hari ini guru akan menurunkan kepada kalian semacam ilmu, tapi kalian harus belajar dengan sungguh.sungguh!"   "Ilmu apa itu?"   Tanya Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak dengan wajah berseri.   "Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti CahayaEmas), Kim Kong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas) dan Kim Kong Kiam Hoat (limu Pedang Cahaya Emas)!"   Tayli Lo Ceng memberitahukan.   "Terima kasih, Guru!"   Ucap mereka. "Kalian berdua harus tahu,bahwa guru tidak mewariskan ilmu tersebut kepada Lie Man Chiu,"   Ujar Tayli Lo Ceng.   "Kenapa?"   Tanya Toan Beng Kiat heran.   "Omitohud...."   Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.   "Karena guru tahu bagaimana wataknya. Lagi pula masih ada suatu takdir dan karma pada dirinya, maka guru tidak mewariskan ilmu tersebut kepadanya.!"   "Guru, bagaimana wataknya?"   Tanya Lam Kiong Soat Lan.   "Takdir dan karma apa pula untuk dirinya?"   "Watakny agak ingin menang sendiri dan sangat berambisi,"   Jawab Tayli Lo Ceng memberitahukan "Mengenai takdir dan karmanya, lebih baik kalian tidak usah tahu.   Yang penting kalian harus banyak melakukan kebaikan, sebab siapa yang melakukan kebaikan, pasti akan menerima takdir dan karma yang baik pula.   Mengerti kalian?"   "Mengerti Guru,"   Sahut Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan serentak.   "Omitohud!"   Ucap Tayli Lo Ceng dan menambahkan.   "Setiap manusia juga tidak akan terlepas dari suatu cobaan. Di saat menghadapi cobaan, kita harus tbah dan jangan sampai tergoyahkan."   Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan mengangguk, dan Tayli Lo Ceng memandang mereka sambil tersenyum.   "Kalian pun harus ingat,"   Ujar padri tua itu dan melanjutkan.   "Nasib, peruntungan, perjodohan dan musibah setiap manusia berkaitan dengan takdir. Oleh karena itu, janganlah kalian terlampau memaksa diri.   "Ya."   Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan mengangguk lagi.   Tayli Lo Ceng terus memberikan berbagai wejangan kpada Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan, mereka berdua mendengar dengan penuh perhatian.   Setelah itu, barulah Tayli Lo Ceng mengajar mereka Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti Cahaya Emas).   Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan telah memiliki lweekang Hud Bun Pan Yak Sin Kang dari Tayli Lo Ceng, maka tidak begitu sulit bagi mereka untuk belajar Kim Kong Sin Kang.   -oo0dw0oo- Sementara Itu, Siang Koan Goat Nio terus melatih Giok Li Sin Kang, maka tidak mengherankan kalau lweekangnya bertambah tinggi.   Hal Itu tentu sangat menggirangkan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.   Bahkan Siang Koan Goat Nio pun semakin mahir meniup suling, dan ginkangnya juga sudah maju pesat.   Kini Siang Koan Goat Nio sudah berusia empat belas tahun.   Gadis itu bertambah cantik dan lemah lembut.   Hari ini ia berlatih Giok Li Kiam Hoat, Giok Li Ciang Hoat dan ginkang.   Setelah Itu, Ia duduk beristirahat di bawah sebuah pobon sambil meniup suling.   Berselang beberapa saat kemudian, barulah ia berhenti dan tiba-tiba mendengar suara tawa.   "Ha ha ha! Bagus!"   Muncul Kim Siauw Suseng dan Kou HUn Bijin sambil tertawa gembira.   "Ayah, Ibu!"   Panggil Siang Koan Goat Nio.   "Goat Nio,"   Ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring.   "Kepandaianmu makin maju. Sungguh mengagumkan!"   "Oh?"   Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Benar"   Kim Siauw Suseng manggut-manggut dan menambahkan.   "Lweekangmu pun bertambah tinggi, itu sungguh di luar dugaan!"   "Semua itu...."   Siang Koan Goat Nio tersenyum lagi.   "Atas bimbingan Ayah dan Ibu."   "Ha ha ha!"   Kim Siauw Suseng tertawa gelak.   "Sesungguhnya itU berkat latihanmu sendiri."   "Oh ya!"   Kou Hun Bijin menatapnya dalam-dalam, kernudian tertawa cekikikan seraya berkata.   "Nak, engkau bertambah cantik lho!"   "Ibu "   Wajah Siang Koan Goat Nio kemerah-merahan.   "Goat Nio,"   Ujar Kim Siauw Suseng sungguh-sungguh "Kini engkau sudah remaja, maka harus berhati-hati bergaul dengan kaum lelaki. Jangan sampai engkau terjerumus."   Harus pilih yang tepat pula,"   Sambung Kou Hun Bijin "Oh ya, entah bagaimana keadaan Tio Cie Hiong dan lainnya, yang berada di Pulau Hong Hoang To!"   "Bijin!"   Kim Siauw Suseng menatap isterinya dan berkata.   "Mungkin kini sudah waktunya kita pergi ke sana."   "Ke pulau itu?"   "Benar."   Kou Hun Bijin tertawa gembira.   "Kapan kita berangkat ke sana?"   "Bagaimana kalau besok pagi?"   "Itu...."   Kou Hun Bijin berpikir sejenak, lalu mengangguk dengan wajah berseri.   "Baiklah."   "Goat Nio!"   Kim Siauw Suseng menatap putrinya sambil tersenyum.   "Bagaimana engkau, merasa gembira akan berangkat ke Pulau Hong Hoang To?"   "Sungguh gembira sekali, Ayah,"   Jawab Siang Koan Goat Nio dengan wajah cerah ceria. Di saat bersamaan, muncul Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui, yang kemudian memberi hormat kepada Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.   "Bagus!"   Kou Hun Bijin tertawa.   "Kebetulan kalian kemari, aku ingin bertanya kepada kalian."   "Bijin ingin bertanya apa?"   Tanya Kwan Gwa Siang Koay.   "Kami bertiga akan berangkat ke Pulau Hong Hoang To, apakah kalian mau ikut?"   Tanya Kou Hun Bijin.   "Itu...."   Kwan Gwa Siang Koay memandang Lak Kui.   "Bijin,"   Ujar Tiau Am Kui.   "Lebih baik kami menjaga lembah ini, karena kami sudah merasa bosan bepergian jauh."   "Baiklah."   Kou Hun Bijin manggut-manggut.   "Kalian jaga baik-baik lembah ini! Kami akan berangkat besok!"   "Ya, Bijin."   Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui mengangguk.   "Kami pasti menjaga baik-baik lembah ini."   "Hi hi hi!"   Kou Hun Bijin tertawa cekikikan.   "Kalian memang setia sekali kepada kami, kuucapkan terima kasih kepada kalian!"   "Sama-sama,"   Sahut Kwan Gwa Siang Koay dan Lak Kui sambil tertawa.   Keesokan harinya, berangkatlah Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan Siang Koan Goat Nio ke Pak Hai (Laut Utara).   -oo0dw0oo- Belasan hari kemudian, mereka bertiga telah tiba di Pulau Hong Hoang To.   Betapa girangnya Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Tio Tay Seng dan Sam Gan Sin Kay ketika melihat kedatangan mereka.   "Ha ha ha!"   Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.   "Sastrawan sialan, terima kasih atas kedatangan kalian!" "Ha ha ha!"   Kim Siauw Suseng juga tertawa gelak.   "Pengemis bau, kukira engkau sudah mampus! Tidak tahunya masih segar bugar!"   "Kakak!"   Panggil Tio Cie Hiong dengan wajah berseri.   "Bibi!"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Panggil Lim Ceng Im sambil tertawa gembira.   "Hi hi hi! Hi hi hi!"   Kou Hun Bijin tertawa nyaring saking gembiranya.   "Kalian berdua pasti bahagia sekali!"   "Kakak dan Paman sastrawan pasti hidup bahagia juga,"   Sahut Tio Cie Hiong sambil memandang Siang Koan Goat Nio. Kakak, gadis ini...."   "Dia putri kami, namanya Siang Koan Goat Nio."   Kou Hun Bijin memberitahukan.   "Oh?"   Tio Cie Hiong terbelalak.   "Sungguh cantik sekali putri kalian!"   "Hi hi hi! Siapa dulu?"   Sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa cekikikan "Tentu ayahnya,"   Ujar Kim Siauw Suseng.   "Ha ha ha!"   Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak "Sastrawan sialan, engkau begitu jelek, tapi kenapa bisa mempunyam putri yang sedemikian cantik? Sungguh di luar dugaan!"   "Hi hi hi!"   Kou Hun Bijin tertawa.   "Pengemis bau, aku sangat cantik, maka anakku juga pasti cantik."   "Tidak salah, tidak salah."   Sam Gan Sin Kay terus tertawa.   "Kim Siauw Suseng, Bijin! Silakan duduk!"   Ucap Tio Tay Seng ramah, kemudian menyuruh pembantu menyuguhkan minuman.   Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin duduk, tak lama kemudian muncullah Tio Hong Hoa bersama Lie Ai Ling.   Tio Hong Hoa segera memberi hormat kepada mereka, sedangkan Lie Ai Ling bersujud.   "Ai Ling memberi hormat kepada Paman dan Bibi,"   Ucap gadis itu.   "Ha ha ha!"   Kim Siauw Suseng tertawa.   "Bangunlah!"   "Adik Cie Hiong!"   Tanya Kou Hun Bijin.   "Siapa gadis itu?"   "Putri Kakak Hong Hoa."   Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Oooh!"   Kou Hun Bijin manggut-manggut, kemudian mengerutkan kening.   "Eh, di mana Lie Man Chiu? Kenapa dia tidak kelihatan?"   "Dia... dia...."   Tio Cie Hiong memandang Tio Tay Seng, agar pamannya yang menjelaskan.   "Mantuku itu memang binatang,"   Ujar Tio Tay Seng mencaci.   "Tak punya perasaan, tak punya nurani dan...."   "Ayah!"   Tio Hong Hoa menatapnya dengan wajah muram.   "Jangan mencacinya...."   "Aaaakh...!"   Keluh Tio Tay Seng. Itu membuat Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin saling memandang.   "Apa gerangan yang telah terjadi?"   Tanya Kou Hun Bijin.   "Dia telah meninggalkan kami,"   Sahut Tio Hong Hoa memberitahukan sambil tersenyum getir.   "Apa?!"   Kou Hun Bijin dan Kim Siauw Suseng terbelalak.   "Lie Man Chiu sudah mati?"   "Dia memang telah mampus!"   Sahut Tio Tay Seng dengan wajah dingin.   "Ayah...."   Tio Hong Hoa menggeleng-gelengkan kepala kemudian memberitahukan.    Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bangau Sakti Karya Chin Tung

Cari Blog Ini