Pendekar Sakti Suling Pualam 6
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 6
Pendekar Sakti Suling Pualam Karya dari Chin Yung Tio Bun Yang mengangguk lalu memanggil gadis itu. "Adik Siok Loan!" "Hi hi hi!" Ma Siok Loan tertawa geli. "Siok Loan!" Tegur Tan Li Cu halus. "Tidak boleh bersikap begitu. Engkau sudah berusia enam belas, bukan anak kecil lagi." "Guru!" Ma Siok Loan masih tertawa geli. "Aku tertawa geli karena melihat monyet bulu putih itu, sungguh lucu!" "Oooh!" Tan Li Cu tersenyum dan memberitahukan. "Engkau harus tahu, bahwa itu monyet sakti." "Oh?" Ma Siok Loan menatap monyet bulu putih. "Janganjangan monyet itu mempunyai hubungan dengan Sun Ngo Kong (Siluman Monyet Sakti Dalam Dongeng See Yu)!" "Benar," Sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Monyet bulu putih ini adalah saudara seperguruan dengan Sun Ngo Kong. "Bohong ah!" "Tentu bohong." Tio Bun Yang tertawa kecil. Sedangkan monyet bulu putih itu menyengir. "Hi hi hi!" Ma Siok Loan tertawa geli lagi. "Guru, monyet bulu putih itu bisa menyengir, lucu sekali deh!" "Siok Loan!" Tan Li Cu tersenyum. "Tahukah engkau berapa usia monyet bulu putih itu?" "Entahlah." Ma Siok Loan menggelegkan kepala. "Usianya sudah tiga ratus tahun lebih lho!" Tan Li Cu memberitahukan. "Apa?" Ma Siok Loan terbelalak. "Guru jangan bohong! Bagaimana mungkin monyet bulu putih itu berusia setua itu?" "Adik Siok Loan," Ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh. "Grumu tidak bohong, memang benar monyet bulu putih ini sudah berusia, tiga ratus tahun lebih!" "Wuah, bukan main!" Ma Siok Loan menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan-jangan benar monyet bulu putih itu saudara seperguruan Sun Ngo Kong!" Tan Li Cu tersenyum lembut. Kini ia sudah berusia empat puluhan. Beberapa tahun yang lalu, tanpa sengaja ia menolong seorang gadis kecil, yang kedua orang tuanya dibunuh perampok, lalu dibawanya ke gunung Hong Lay San, sekaligus diangkat jadi muridnya. "Bun Yang!" Tan Li Cu menatapnya. "Kepandaianmu pasti sudah tinggi sekali, dan tentu engkau tidak akan pelit mengajar Siok Loan semacam ilmu, bukan?" "Bibi..." Tio Bun Yang tampak ragu. "Kakak Bun Yang," Desak Ma Siok Loan. "Guruku memberitahukan kepadaku, bahwa ayahmu berkepandaian sangat tinggi, maka aku yakin engkau juga berkepandaian tinggi. Namun kenapa engkau tidak bersedia mengajarku semacam ilmu?" "Itu..." Tio Bun Yang berpikir sejenak lalu mengangguk. "Baiklah. Aku akan ajarimu Cit Loan Kiam Hoat." "Apa?!" Tan Li Cu tertegun. "Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling?" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Engkau belajar dan man ilmu pedang itu?" Tanya Tan Li Cu. "Ilmu pedang ciptaan ayahku." Tio Bun Yang memberitahukan. "Ilmu pedang tersebut lihay sekali, maka akan kuajarkan kepada adik Siok Loan." "Ngmm!" Tan Li Cu manggut-manggut. "Kakak Bun Yang!" Ma Siok Loan menatapnya. "Kalau aku belajar ilmu pedang itu, apakah aku tidak akan pusing tujuh keliling?" "Tidak, sebab ilmu pedang itu hanya akan membuat pusing lawan." Tio Bun Yang memberitahukan dan berpesan. "Tapi engkau harus ingat, bahwa kalau tidak dalam keadaan bahaya, ilmu pedang itu tidak.boleh dikeluarkan." "Kenapa?" "Karena setiap jurusnya akan mematikan pihak lawan." "Ya. Aku pasti ingat pesanmu, kakak Bun Yang." "Bun Yang," Tan Li Cu tampak tertarik. "Bolehkah engkau memperlihatkan ilmu pedang itu?" Tanyanya. "Boleh." Tio Bun Yang mengangguk, dan kemudian Tan Li Cu menyerahkan sebilah pedang kepadanya. Tio Bun Yang berdiri di tengah-tengah ruangan, kemudian mulai mempertunjukkan ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat. Bukan main kagumnya Tan Li Cu, namun kemudian ia merasa berkunangkunang dan pusing. Sementara Ma Siok Loan sudah berteriak-teriak tidak karuan. "Aduuh! Mataku berkunang-kunang! Aaaah! Pusing! Pusing sekali!" "Siok Loan, cepat pejamkan matamu!" Seru Tan Li Cu. Gadis itu segera memejamkan matanya, sedangkan Tan Li Cu terus memperhatikan ilmu pedang itu walau a sudah merasa pusing sekali. Berselang beberapa saat kemudian, barulah Tio Bun Yang menghentikan gerakannya. Tan Li Cu memandangnya dengan wajah pucat pias karena menahan pusing, dan Ma Siok Loan pun sudah membuka matanya. "Bun Yang, sungguh lihay dan hebat ilmu pedang itu!" Ujar Tan Li Cu sambil menghela nafas panjang. "Ayahmu memang luar biasa sekali!" "Kakak Bun Yang!" Ma Siok Loan tertawa. "Aku tidak berani menyaksikan ilmu pedang itu, sebab mataku lalu berkunangkunang dan merasa pusing." "Jadi engkau sudah tahu akan kelihayan ilmu pedang itu, kan?" Tio Bun Yang memandangnya. "Ya." Ma Siok Loan mengangguk. "Oh ya!" Tio Bun Yang memandang Tan Li Cu. "Ilmu pedang itu akan kuajarkan kepada Bibi juga!" "Oh?" Tan Li Cu tampak girang. "Memangnya kenapa?" "Bibi dan Adik Siok Loan bisa berlatih bersama, sebab aku tidak bisa lama-lama di sini, harus ke markas pusat Kay Pang menemui kakekku." Tio Bun Yang memberitahukan. "Oooh!" Tan Li Cu manggut-manggut. Tio Bun Yang mulai mengajar mereka ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat. Belasan hari kemudian, barulah mereka dapat menguasai ilmu pedang tersebut, namun gerakannya masih lamban. Setelah itu, Tio Bun Yang berpamit. Dengan air mata berderai-derai Ma Siok Loan memandang kepergian Tio Bun Yang, bahkan kemudian menangis terisak-isak. "Siok Loan!" Tan Li Cu memegang bahunya. "Jangan sedih, kalian pasti berjumpa lagi kelak!" "Guru...." Ma Siok Loan langsung mendekap di dada Tan Li Cu, dan tangisnya pun semakin menjadi. Tan Li Cu membelainya, dan menghiburnya pula. -oo0dw0oo- Tio Bun Yang melanjutkan perjalanannya menuju markas pusat Kay Pang. Dalam perjalanan ia selalu menolong orang, sehingga dirinya menjadi terkenal dan dijuluki Giok Siauw Sin Hiap (Pendekar Sakti Suling Pualam). Ketika hari mulai senja Tio Bun Yang memasuki sebuah rimba. Tiba-tiba keningnya berkerut, ternyata ia mendengar suara bentrokan senjata tajam. Segeralah ia melesat ke tempat itu, kemudian dilihatnya belasan orang sedang bertarung mati-matian melawan beberapa orang berpakaian merah. "Ha ha ha!" Salah seorang berpakaian merah tertawa gelak. Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kalian anggota-anggota Tiong Ngie Pay, lebih baik menyerah saja!" "Hm!" Sahut salah seorang dan pihak Tiong Ngie Pay. "Lebih baik kami mati dan pada menyerah! Tio Bun Yang mengerutkan kening karena melihat beberapa mayat menggeletak di tempat itu. Sementara pertarungan semakin sengit. Belasan anggota Tiong Ngie Pay tampak tak sanggup melawan lagi, bahkan diantaranya sudah ada yang terluka lagi. "Ha ha ha!" Salah seorang berpakaian merah tertawa gelak. "Hari ini kalian harus mampus!" "Berhenti!" Terdengar suara bentakan keras. Betapa terkejutnya orang-orang berpakaian merah itu, dan langsung berhenti menyerang. Disaat itulah melayang turun sosok bayangan, yang tidak lain Tio Bun Yang bersama monyet hulu putih. "Hei!' bentak salah seorang berpakaian merah. "Siapa engkau? Sungguh berani engkau mencampuri urusan kami!" "Aku mendengar suara bentrokan senjata tajam, maka aku kemari," Sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Sesungguhnya aku tidak benmaksud mencampuni urusan kalian." "Hmm!" Dengus orang berpakaian merah itu. "Siapa berani melawan Hiat Ih Hwe harus mampus!" "Saudara," Ujar salah seorang anggota Tiong Ngie Pay. "cepatlah engkau pergi! Kalau tidak, mereka pasti membunuhmu." "Terima kasih atas perhatian Anda!" Ucap Tio Bun Yang dan menambahkan sambil tersenyum. "Mereka tidak mampu membunuhku, percayalah!" "Saudara...." Anggota-anggota Tiong Ngie Pay menggeleng-gelengkan kepala. "Hei!" Bentak orang berpakaian merah. "Engkau bilang kami tidak mampu membunuhmu?" "Benar!" Tio Bun Yang mengangguk. "Sudahlah! Lebih balk kalian cepat enyah dan sini!" "Hm!" Dengus orang berpakaian merah. "Engkau memang ingin cari mampus disini! Baik! Kami terpaksa membunuhmu!" "Kauw-heng, naiklah ke pohon dulu!" Ujar Tio Bun Yang kepada monyet bulu putih sambil mengeluarkan suling pualamnya. Monyet bulu putih itu bercuit, lalu meloncat ke dahan pohon dan duduk di situ sambil menggoyang-goyangkan kakinya. "Mari kita serang dia!" Seru orang berpakaian merah. Seketika juga beberapa bilah pedang mengarah ke Tio Bun Yang, sehingga membuat para anggota Tiong Ngie Pay terkejut bukan main. "Hati-hati Saudara!" Seru mereka serentak dengan cemas. "Jangan khawatir saudara-saudara!" Sahut Tio Bun Yang sambil berkelit, sekaligus menggerakkan suling pualamnya. "Aaakh! Aaaakh! Aaaakh... !" Terdengar suara jeritan. Tampak lima orang berpakalan merah telah terkapar dengan mulut mengeluarkan darah. Betapa terkejutnya para anggota Tiong Ngie Pay, dan mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata terbelalak. Ternyata tadi Tio Bun Yang berkelit menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou, sekaligus menggerakkan suling pualamnya dengan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi Retak), itu adalah ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi (Ilmu Suling Kumala Pemusnah Kepandaian). "Engkau... engkau...." Kelima orang berpakaian merah menunjuk Tio Bun Yang dengan wajah pucat pias. Salah seorang anggota Tiong Ngie Pay mendekati mereka, maksudnya ingin membunuh orang-orang Hiat Ih Hwe itu. "Jangan bunuh mereka!" Cegah Tio Bun Yang. "Kenapa? tanya anggota Tiong Ngie Pay itu dengan rasa heran. "Mereka... mereka sering membunuh orang." "Tapi kini mereka sudah tidak bisa membunuh orang lagi." Tio Bun Yang memberitahukan sambil tersenyum. "Karena aku telab memusnahkan kepandaian mereka." "Oooh!" Anggota Tiong Ngie Pay itu memandang Tio Bun Yang dengan kagum, kemudian mereka semua memberi hormat. "Atas nama Tiong Ngie Pay, kami mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Saudara, karena Saudara telah menyelamatkan nyawa kami." "Kalian tidak usah mengucapkan terima kasih." Tio Bun Yang tersenyum ramah, lalu melesat pergi. "Kauw-heng, cepat ikut aku!" "Saudara...." Para anggota Tiong Ngie Pay terperangah dengan mulut ternganga lebar, sebab dalam sekejap mata Tio Bun Yang telah hilang dari pandangan mereka. "Sayang sekali kita tidak tahu namanya!" "Kalau tidak salah...," Ujar salah seorang anggota Tiong Ngie Pay. "Dia adalah Giok Siauw Sin Hiap yang baru muncul di rimba persilatan." "Benar. Dia pasti Giok Siauw Sin Hiap. Ayoh, kita harus segera kembali ke markas!" -ooo0dw0ooo- Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang sudah sampai di markas pusat Kay Pang. Betapa gembiranya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, mereka menatapnya dengan mata tak berkedip. "Kakek, Kakek Gouw!" Panggil Tio Bun Yang sambil bersujud. "Bun Yang cucuku...." Lim Peng Hang tertawa gembira. "Engkau sudah sedemikian besar, bahkan sangat tampan pula." Tio Bun Yang hanya tersenyum. Sedangkan monyet bulu putih bercuit-cuit tampak gembira sekali. "Bun Yang...." Gouw Han Tiong masih terus menatapnya. "Engkau memang tampan sekali, kemungkinan kepandaianmu pun sudah tinggi." "Biasa-biasa saja, Kakek Gouw," Ujar Tio Bun Yang merendah. "Ha-ha-ha!" Gouw Han Tiong tertawa gelak. "Engkau bersifat seperti Cie Hiong, selalu merendah diri." "Bun Yang, duduklah!" Ucap Lim Peng Hang. "Terima kasih, Kakek!" Tio Bun Yang duduk dan bertanya. "Bagaimana keadaan Kakek dan Kakek Gouw selama ini?" "Kakek baik-baik saja," Sahut Lim Peng Hang sambil tersenyum. "Yaaah!" Sebaliknya Gouw Han Tiong malah menghela nafas panjang. "Aku malah telah kehilangan ayah." "Apa?!" Tio Bun Yang terperanjat. "Kakek tua Tui Hun Lojin telah meninggal?" "Kalau meninggal itu masih wajar, tapi...." Gouw Han Tiong menggeleng~gelengkan kepala. "Kakek tua kenapa?" Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Apakah...." "Dua tahun lalu...." Gouw Han Tiong memberitahukan. "Ayahku dan Lam Kiong hujin dibunuh orang." "Oh?" Tio Bun Yang tersentak. "Siapa yang membunuh kakek tua dan Lam Kiong hujin?" "Hingga saat ini kami tidak mengetahuinya." Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. "Tiada jejak pembunuh itu." "Padahal kakek tua dan Lam Kiong hujin berkepandaian tinggi, tapi kenapa mati terbunuh?" "Itu membuktikan kepandaian pembunuh itu sangat tinggi." Lim Peng Hang memberitahukan. "Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin mati dengan sekujur badan hangus!" "Sekujur badan hangus?" Tio Bun Yang kaget. "Apakah kakek tua dan Lam Kiong hujin dibakar?" "Bukan." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Melainkan terkena semacam pukulan yang mengandung api." "Oh?" Tio Bun Yang terkejut. "Siapa yang memiliki ilmu pukulan seperti itu?" Menurut Kou Hun Bijin, ilmu pukulan itu berasal dan Persia," Ujar Lim Peng Hang. "Namun selama dua ratus tahun in, tiada seorang pun yang berhasil mempelajarinya." Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Oh?" Tio Bun Yang terbelalak. "Oh ya, Kakek bertemu Kou Hun Bijin di mana?" "Di Pulau Hong Hoang To," Jawab Lim Png Hang. "Kim Siauw Suseng juga berada di sana." "Jadi,... Kakek sudah ke Pulau Hong Hoang To?" "Dua tahun lalu, kakek pergi ke sana untuk memberitahukan tentang kematian Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin." "Kakek tidak ke Tayli?" "Aku sudah ke Tayli dua tahun lalu." Gouw Han Tiong memberitahukan. "Pihak Tayli sudah tahu tentang itu, dan aku juga yang memberitahukan." "Yaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Bun Yang!" Gouw Han Tiong memberitahukan. "Lam Kiong Bie Liong dan Toan Wie Kie sudah mempunyai anak bernama Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, mereka berdua seusia denganmu!" "Oh?" Tio Bun Yang tersenyum. "Kalau ada kesempatan aku ingin ke Tayli menemui mereka." "Mereka berada di Gunung Thay San belajar ilmu silat kepada Tayli Lo Ceng, dan mereka menjadi murid padri tua itu." "Syukurlah!" Ucap Tio Bun Yang berseri. "Ayahku pernah bilang, bahwa kepandaian Tayli Lo Ceng tinggi sekali. Mereka berdua menjadi murid padri tua itu, tentunya akan memiliki kepandaian tinggi pula? "Bun Yang," Ujar Lim Peng Hang sambil mengge1eng~gelengkan kepala. "Rimba persilatan tampak akan dilanda badai, sedangkan kerajaan dalam keadaan kacau balau. Banyak jenderal dan menteri setia mati dibunuh orangorang Hiat Ih Hwe." "Hiat Ih Hwe?" Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Bun Yang...." Lim Peng Hang menatapnya heran. "Dalam perjalanan ke mari, apakah engkau bertemu orang-orang Hiat Ih Hwe?" "Ya? Tio Bun Yang mengangguk dan menutur tentang kejadian itu. "Aku memusnahkan kepandaian orang-orang Hiat Ih Hwe itu." "Oh?" Lim Peng Hang tersenyum. "Bagus engkau menyelamatkan nyawa para anggota Tiong Ngie Pay." "Kenapa?" Tanya Tio Bun Yang. "Kalau dugaan kakek tidak meleset, ketua Tiong Ngie Pay itu adalah Yo Suan Hiang." "Apa?!" Tio Bun Yang tertegun. "Ketua Tiong Ngie Pay adalah Bibi Suan Hiang?" "Itu cuma dugaan kakek saja. Sebab selama ini kakek tidak pernah bertemu ketua Tiong Ngie Pay itu." "Menurutku...," Ujar Gouw Han Tiong. "Kemungkinan besar memang Yo Suan Hiang." "Kalau benar Bibi Suan Hiang, sungguh menggembirakan." Wajah Tio Bun Yang berseri-seri. "Aku rindu sekali kepadanya." "Oh ya!" Mendadak wajah Lim Peng Hang juga berseri. "Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin juga sudah mempunyal seorang putri, usianya enam belas dan cantik sekali." "Oh?" Tio Bun Yang terbelalak. "Kim Siauw Suseng berusia hampir seratus, sedangkan Kou Hun Bijin berusia seratus lebih. Kok mereka masih bisa mempunyai anak?" "Bun Yang!" Lim Peng Hang tertawa. "Itu dikarenakan mereka awet muda, maka bisa mempunyai anak." "Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Kakek, siapa nama gadis itu?" "Siang Koan Goat Nio," Sahut Lim Peng Hang. "Bun Yang, gadis itu sungguh cantik sekali, dan lemah lembut. Dia juga menggunakan suling emas sebagai senjata." "Kalau begitu, dia pandai meniup suling?" "Betul. Gadis itu memang pandai meniup suling. Kalau kalian bertemu pasti akan cocok," Ujar Lim Peng Hang sambil tertawa gelak. "Engkau memiliki Giok Siauw, dia memiliki Kim Siauw." "Kalian berdua memang serasi," Sela Gouw Han Tiong sambil tersenyum."Eeeh...." Wajah Tio Bun Yang kemerahmerahan. "Oh ya!" Lim Peng Hang teringat sesuatu, dan segera memberitahukan kepada Tio Bun Yang. "Ayah dan ibumu berpesan, engkau tidak usah kembali ke Pulau Hong Hoang To." "Oh?" Tio Bun Yang tercengang. "Memangnya kenapa, Kakek?" "Karena engkau harus membantu Kakek menyelidiki pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin." Lim Peng Hang memberitahukan. "Jadi engkau boleh berkecimpung dalam rimba persilatan untuk membela kebenaran, sekaligus mencari pengalaman." "Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Tapi.." Lim Peng Hang menambahkan. "Kauw-heng harus mendampingimu, ini adalah pesan dari ayah dan ibumu." "Tentu." Tio Bun Yang tersenyum. "Kauw heng memang harus ikut aku."Monyet bulu putih itu bercuit-cuit, kemudian menepuk dadanya sendiri sekaligus mengangkat dadanya. "Bun Yang!" Gouw Han Tiong bingung. "Kauw-heng bilang apa?" "Dia harus melindungi diriku. Itu adalah tugasnya." Tio Bun Yang memberitahukan. "Oooh!" Gouw Han Tiong tertawa. "Kauw heng," Ucap Lim Peng Hang. "Terima-kasih atas kesediaanmu melindungi cucuku!" Monyet bulu putih itu menggoyang-goyangkan sepasang tangannya, itu membuat Lim Peng Hang terheran-heran. "Bun Yang, kauw-heng bilang apa?" "Dia bilang, Kakek tidak usah berterima kasih kepadanya," Sahut Tio Bun Yang sambil membelai monyet bulu putih itu, lalu melanjutkan. "Kalau begitu, aku akan tinggal di sini beberapa hari. Setelah itu, aku akan pergi menyelidiki pembunuh itu." "Bun Yang, biar bagaimana pun engkau harus berhati-hati," Pesan Lim Peng Hang "Jangan menyombongkan diri menghadapi segala apa pun harus tenang dan bersabar." "Aku pasti menuruti nasihat Kakek." "Bagus, bagus!" Lim Peng Hang tertawa gembira. Beberapa hari kemudian, mulailah Tio Bun Yang berkecimpung di dalam rimba persilatan, dan ditemani monyet bulu putih. -oo0dw0oo- Bagian Ke Dua belas Menolong pembesar yang bijaksana Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im duduk berhadapan didalam kamar. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu. "Besok Goat Nio akan pergi mengembara, sekalian mencari Bun Yang," Ujar Tio Cie Hiong. "Aku pernah berjanji kepada Ai Ling akan berunding dengan paman, ini entah bagaimana baiknya?" "Kakak Hiong!" Lim Ceng Im tersenyum. "Berundinglah dengan pamanmu, aku yakin pamanmu pasti memperbolehkan Ai Ling pergi mencari ayahnya." "Ngmmm!" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Kalau begitu, aku akan pergi menemui paman." Tio Cie Hiong meninggalkan kamar itu, dan langsung pergi menemui Tio Tay Seng, yang sedang bermain catur dengan Sam Gan Sin Kay. "Tio Tocu," Ujar Sam Gan Sin Kay sambil menghela nafas panjang. "Begitu cepat sang waktu berlalu, tak terasa sudah dua tahun." "Ya." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Kita bertambah tua, entah bisa bertahan berapa lama?" "Ha ha ha!" Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Aku justru ingin cepat-cepat mati, rasanya sudah bosan hidup di dunia." "Eeeh?" Tio Tay Seng menatapnya, kemudian tertawa. "Kalau engkau mati, aku celaka." "Kenapa?" "Karena tidak ada orang yang menemani aku main catur. Bukankah aku akan celaka saking kesepian?" "Kalau begitu...." Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. "Aku tidak mau cepat-cepat mati, karena masih harus menemanimu main catur." "Ha ha ha!" Tio Tay Seng tertawa gelak. "Memangnya engkau bisa mengatur hidup matimu? Hidup matinya orang berada di tangan Thian (Tuhan) lho!" "Benar. Tapi kalau kita bisa menjaga diri agar selalu sehat, tentunya tidak akan cepat mati," Sahut Sam Gan Sin Kay. "Tidak salah." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Oh ya! Putri kesayangan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin telah menguasai semua ilmu yang diajarkan Cie Hiong, dan besok gadis itu mau pergi mengembara mencari pengalaman." "Sekaligus mencari Bun Yang! Ha-ha-ha...!" Sam Gan Sin Kay tertawa dan menambahkan. "Menurutku, Goat Nio dan Bun Yang memang merupakan pasangan yang serasi." "Itu bagaimana mereka berdua saja," Ujar Tio Tay Seng.. "Oh ya, entah bagaimana keadaan dimarkas pusat Kay Pang,dan di Tayli? Mungkinkah pihak Kay Pang sudah berhasil menyelidiki pembunuh itu?" "Sudahlah, jangan membicarakan yang memusingkan itu! Kita sudah tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan, jadi tidak usah membicarakan itU." Tandas Sam Gan Sin Kay. "Benar." Tio Tay Seng mengangguk. Disaat itulah muncul Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum. "Cie Hiong." Sam Gan Sin Kay tertawa "Engkau ke mari mau ikut main catur?" "Aku ingin membicarakan sesuatu dengan Paman," Sahut Tio Cie Hiong jujur. "Bolehkah aku ikut mendengar?" Tanya Sam Gan Sin Kay "Kalau tidak boleh, aku akan segera meninggalkan tempat ini." "Tentu boleh." Tio Cie Hiong duduk. "Cie Hiong!" Tio Tay Seng menatapnya seraya bertanya. "Engkau ingin bicara apa dengan Paman?" "Mengenai Ai Ling" "Kenapa dia?" "Kakak Hong Hoa telah setuju, namun dia dan Ai Ling tidak berani memberitahukan kepada Paman." "Lho? Ada apa" Tio Tay Seng mengerutkan kening "Hong Hoa menyetujui apa? Beritahukanlah!" "Besok Goat Nio mau pergi mengembara Ai Ling ingin ikut dan kakak Hong Hoa telah menyetujui." "Apa?" Wajah Tio Tay Seng tampak berubah. "Maksud Ai Ling ingin pergi mencari ayahnya?" "Ya" Tio Cie Hiong mengangguk "Tidak boleh!" Bentak Tio Tay Seng gusar. "Pokoknya dia tidak boleh pergi mencari binatang itu!" "Tio Tocu," Ujar Sam Gan Sin Kay sambil tersenyum. "Jangan emosi, dengar dulu apa yang akan dikatakan Cie Hiong!" Tio Tay Seng diam, lalu memandang Tio Cie Hiong dengan kening berkerut-kerut "Lanjutkanlah!" Katanya. "Paman," Ujar Tio Cie Hiong sambil menghela nafas. "Biar bagaimana pun, Man Chiu tetap ayah Ai Ling, maka Ai Ling berhak pergi mencarinya." "Tidak bisa!" Tio Tay Seng tetap berkeras. "Paman!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Kini Ai Ling sudah remaja, kalau paman melarangnya pergi mencari ayahnya, itu akan membuat batinnya tertekan sekali. Paman harus memikirkan itu, jangan membuatnya menderita. Ibunya sudah cukup menderita, jangan sampai Ai Ling menderita pula." "Tio Tocu," Sela Sam Gan Sin Kay. "Memang benar apa yang dikatakan Cie Hiong, engkau jangan berkeras hati lagi." "Aaaaah...!" Tio Tay Seng menghela nafas panjang. "Sesungguhnya aku sangat kasihan kepada Hong Hoa dan cucuku itu, sehingga membuatku terus berpikir setiap malam." "Apa yang kau pikirkan, Tio Tocu?" Tanya Sam Gan Sin Kay. "Aku memikirkan Lie Man Chiu," Sahut Tio Tay Seng jujur. "Rasanya ingin sekali aku pergi mencarinya." "Oh?" Sam Gan Sin Kay dan Tio Cie Hiong terbelalak. "Tapi...." Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mau meninggalkan pulau ini." "Kalau begitu...." Wajah Tio Cie Hiong tampak berseri. "Paman, ijinkanlah Ai Ling pergi mencari ayahnya!" "Cie Hiong, dia masih remaja, belum berpengalaman dalam rimba persilatan," Ujar Tio Tay Seng. "Itu membuatku tidak bisa tenang." "Paman boleh berlega hati, sebab kepandaian Ai Ling sudah cukup tinggi. Lagi pula aku sering memberitahukannya tentang rimba persilatan, jadi dia sudah mengerti." "Dia pun pergi bersama Goat Nio, maka kita tidak perlu khawatir," Sambung Sam Gan Sin Kay. "Menurut kalian, aku harus mengijinkannya pergi mencari ayahnya?" Tanya Tio Tay Seng. "Ya." Sam Gan Sin Kay dan Tio Cie Hiong mengangguk. "Kalau begitu...." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Baiklah. Aku mengijinkannya pergi mencari ayahnya, mudahmudahan dia berhasil menemukan ayahnya!" "Terima kasih Paman." Ucap Tio Cie Hiong. "Kenapa engkau yang mengucapkan terima kasih?" Tio Tay Seng tersenyum "Engkau memang sela1u memikirkan kepentingan orang lain, paman yakin Bun Yang pun begitu." "Paman!" Tio Cie Hiong tertawa gembira. "Aku merasa gembira sekali. Maaf, aku harus segera pergi memberitahukan Ai Ling." Tio Cie Hiong langsung melesat pergi menuju tempat Siang Koan Goat Nio sedang berlatih dengan Lie Ai Ling. Ia melihat Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin duduk di situ dengan wajah berseri memperhatikan Siang Koan Goat Nio yang sedang berlatih bersama Lie Ai Ling. "Paman sastrawan, Bibi" Panggil Tio Cie Hiong sambil menghampiri mereka. "Oh, Cie Hiong~" Kim Siauw Suseng tersenyum. "Duduklah!" Tio Cie Hiong duduk, lalu menyaksikan latihan itu dengan penuh perhatian sambil manggut-manggut. "Bagaimana, adik kecil? Kepandaian mereka berdua sudah tinggi kan?" Tanya Kou Hun Bijin. "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Besok Goat Nio akan pergi mengembara mencari pengalaman, sekalian mencari Bun Yang putramu," Ujar Kou Hun Bijin sambil tersenyum. "Barusan aku justru berunding dengan pamanku." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Berunding mengenai apa?" Tanya Kim Siauw Suseng heran. "Mengenal Ai Ling. Karena dia ingin ikut Goat Nio pergi mencari ayahnya," Sahut Tio Cie Hiong. "Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring.Aku yakin pamanmu tidak mengijinkannya." "Semula pamanku memang tidak setuju, namun kemudian mengijinkannya." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Syukurlah!" Ucap Kou Hun Bijin. Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Jadi Goat Nio punya teman dalam pengembaraan." "Cie Hiong...." Kim Siauw Suseng tampak serius. "Menurutku, Lie Man Chiu tidak akan sejahat itu. Aku yakin dia akan sadar dari kekeliruannya itu" "Aku sependapat dengan Paman Sastrawan." Tio Cie Hiong manggut-manggut "Aku memang berharap Ai Ling dapat menyadarkannya dan mau ikut Ai Ling pulang ke Hong Hoang To." "Benar." Kim Siauw Suseng manggut-manggut. "Oh ya, adik kecil!" Kou Hun Bijin memandang Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum. "Terus terang, kami merasa cocok dengan pulau ini. Maka kami mengambil keputusan untuk terus tinggal disini." "Oh?" Tio Cie Hiong gembira sekali. "Bagus, bagus!" "Tapi...? Kim Siauw Suseng menggeleng-gelengkan kepala. "Tentunya akan merepotkan pamanmu. "Tidak akan merepotkan pamanku, sebaliknya pamanku pasti girang sekali," Ujar Tio Cie Hiong. Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sudah berhenti berlatih. Ketika melihat Tio Cie Hiong, berserilah wajah kedua gadis itu. "Paman!" Seru mereka serentak. "Goat Nio, Ai Ling!" Tio Cie Hiong tertawa. "Kepandaian kalian sudah maju pesat sekali." "Itu atas bimbingan Paman," Ujar kedua gadis itu. "Ai Ling...." Tio Cie Hiong menatapnya sambil tersenyum. "Ada kabar gembira untukmu." "Oh?" Lie Ai Ling tertegun. "Kabar gembira apa?" "Besok Goat Nio mau pergi mengembara. Tentunya engkau ingin ikut, karena... engkau harus mencari ayahmu," Sahut Tio Cie Hiong. "Betul. Tapi...." Lie Ai Ling menghela nafas. "Belum tentu kakek mengijinkan. "Ai Ling!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Tadi aku sudah membicarakannya dengan kakekmu." "Oh?" Wajah Lie Ai Ling berseri. "Kakekku setuju aku pergi mencari ayah?" "Setuju." Tio Cie hong mengangguk. "Horeee!" Lie Ai Ling berjingkrak-jingkrak saking girangnya. "Besok aku akan pergi mencari ayah!" "Bagus, bagus!" Kou Hun Bijin tertawa. "Jadi Goat Nio mempunyai teman dalam pengembaraan." "Syukurlah!" Ucap Kim Siauw Suseng dengan wajah berseri. "Mereka berdua akan saling melindungi." "Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggenggam tangannya. "Aku pasti membantumu mencari ayahmu." "Terima kasih, Goat Nio!" Ucap Lie Ai Ling. Aku pun pasti membantumu dalam hal...." "Dalam hal apa?" Tanya Siang Koan Goat Nio heran. "Mencari Kakak Bun Yang," Sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil. "Bukankah engkau ingin sekali bertemu Kakak Bun Yang?" "Ai Ling...." Wajah Siang Koan Goat Nio memerah. "Engkau...." "Ha ha-ha! Hi hi-hi!" Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin tertawa. Sedangkan Tio Cie Hiong tersenyum-senyum. "Kalian berdua harus ingat, jangan sembarangan mengeluarkan ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat!" Pesan Tio Cie Hiong. "Kami pasti ingat, Paman." Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling mengangguk pasti. "Kamipun tidak akan sembarangan membunuh orang, cukup memusnahkan kepandaian mereka saja." "Bagus!" Tio Cie Hiong manggut-rnanggut dan melanjutkan. "Akupun akan membekali kalian obat pemunah racun." "Terima kasih, Paman!" Ucap kedua gadis itu. "Terima kasih...." -oo0dw0oo- Kota Keng Ciu merupakan kota yang cukup besar, makmur dan ramai dikunjungi para pedagang dan daerah lain. Pada suatu hari, kota tersebut menjadi lebih ramai dari pada biasanya, bahkan wajah para penduduk kota itu pun tampak berseri-seri, Seakan menghadapi hari besar atau hari raya. Kenapa begitu? Ternyata para penduduk kota itu turut merayakan hari ulang tahun Tan Tayjin (Pembesar Tan), gubernur kota tersebut. Beliau setia pada kerajaan, adil dan bijaksana terhadap para penduduk kota Keng Ciu itu, dan tidak pernah melakukan tindak korupsi. Oleh karena itu, para penduduk kota tersebut sangat menghormatinya. Entah sudah berapakali Lu Thay Kam mengutus orang kepercayaannya pergi menemui Tan Tayjin untuk menyampaikan perintahnya, bahwa Tan Tayjin harus menaikkan pajak para pedagang dan lain sebagainya di kota itu. Akan tetapi, Tan Tayjin sama sekali tidak mengacuh perintah itu, sudah barang tentu membuat Lu Thay Kam gusar bukan main. Karena itu, Tan Tayjin pun menjadi sasaran Hiat Ih Hwe. Pada hari itu, di kota Keng Ciu tersebut muncul dua gadis remaja yang sangat cantik sekali, yang ternyata Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. Kedua gadis itu telah meninggalkan Pulau Hong Hoang To, mulai mengembara dalam rimba persilatan. Mereka berdua berjalan perlahan, memandang ke kiri dan ke kanan sambil mengagumi keindahan gedung-gedung yang beraneka warna. Kemunculan kedua gadis itu sangat menanik perhatian penduduk kota itu, karena mereka berdua memiliki kecantikan yang mempesona "Ai Ling," Ujar Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum. "Sungguh indah dan ramai kota ini!" "Benar," Sahut Lie Ai Ling dan tertawa riang gembira. "Mudah-mudahan kita akan bertemu Kakak Bun Yang di sini!" "Al Ling...." Siang Koan Goat Nio menggelengkan kepala. "Dia belum tentu sudah meninggalkan Gunung Thian San." "Menurut paman, Kakak Bun Yang pasti sudah meninggalkan Gunung Thian San," Ujar Lie Ai Ling dan menambahkan "Maka kita disuruh ke markas pusat Kay Pang, mungkin kakak Bun Yang berada di sana." "Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio tertawa kecil. "Kalau dipikir~pikir memang menggelikan." "Apa yang menggelikan?" "Kita boleh dikatakan buta akan Tionggoan ini, namun kita Justru berani mengembara." "Kalau kita tidak berani mengembara, bagaimana mungkin pengalaman kita akan bertambah? Yang penting kita tidak boleh malu bertanya, sebab kalau kita malu bertanya akan sesat dijalan." "Benar." Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. "Eeeeh? Kenapa penduduk kota ini terus menerus memandang kita? Apakah dandanan kita tidak wajar?" "Bukan." Lie Ai Ling tersenyum. "Mereka terus menerus memandang kita, karena kita berdua sangat cantik, maka menarik perhatian mereka." "Oooh!" Siang Koan Goat Nio tertawa geli. "Kaum lelaki memang begitu, kalau melihat gadis cantik, mata mereka langsung melotot." "Tapi...," Ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Kakak Bun Yang tidak begitu. Aku tahu jelas itu." "Oh, ya?" Siang Koan Goat Nio tersenyum dengan wajah agak kemerah-merahan. "Ai Ling, kota ini tampak ramai sekali. Apakah penduduk ini sedang merayakan sesuatu?" "Mungkin" Lie Ai Ling mengangguk "Kalau ada keramaian, kita pun boleh menonton. Asyikkan?" "Memang asyik, tapi... jangan menimbulkan masalah." Siang Koan Goat Nio mengingatkan. "Goat Nio!" Lie Ai Ling tertawa kecil. "Memangnya kita adalah gadis yang akan menimbulkan masalah?" "Tentunya bukan. Namun kita harus tetap menjaga agar tidak emosi," Ujar Siang Koan Goat nio sungguh-sungguh. "Karena pasti akan ada kaum lelaki menggoda kita." "Kita tampar saja," Sahut Lie Ai Ling. "Bereskan?" "Nah!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau begitu, pasti akan menimbulkan masalah." "Jadi... kita harus diam saja kalau digda!" "Apabila mereka tidak teriampau kurang ajar, diamkan saja." Mendadak Siang Koan Goat Nio memandang ke depan dengan mata agak terbelalak. Ternyata a melihat begitu banyak orang berkumpul di depan pintu sebuah rumah yang cukup besar. "Eh? Ada apa di sana?" Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Mungkin ada keramaian. Mari kita kesana melihat-lihat!" Ajak Lie Ai Ling. Siang Koan Goat Nio mengangguk. Kemudian kedua gadis itu menuju ke sana. Tampak kaum lelaki berdesak-desakan seakan ingin menyaksikan sesuatu. "Heran? Ada apa sih" Gumam Ai Ling sambil memandang ke halaman rumah itu. Di dalam halaman itu tampak beberapa pengawal, sepasang suami isteri berusia lima puluhan dan seorang gadis cantik berusia dua puluhan. "Lebih baik bertanya kepada salah seorang yang berkumpul disini," Sahut Siang Koan Goat Nio. Lie Ai Ling mengangguk, lalu mendekati seorang tua dan bertanya dengan sopan. "Paman, ada keramaian apa di rumah itu?" "Eeeh?" Orang tua itu terbelalak ketika melihat Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio. "Bukan main, bukan main!" "Apa yang bukan main, Paman?" Tanya Lie Ai Ling dengan rasa heran. "Kalian berdua sungguh cantik!" Sahut orang tua itu. "Bahkan lebih cantik dan Tan siocia (Nona Tan)" "Oh?" Lie Ai Ling tersenyum "Paman, siapa Nona Tan itu?" "Kalian berdua bukan penduduk kota ini?" "Bukan." "Pantas kalian tidak tahu. Rumah ini adalah tempat tinggal Tan Tayjin. Beliau mempunyai seorang putri bernama Tan Giok Lan, yang cantik jelita." Orang tua itu memberitahukan. "Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Lalu kenapa begitu banyak orang berkumpul di sini?" "Hari ini Tan Tayjin merayakan ulang tahunnya, jadi orangorang berkumpul di sini... untuk melihat Nona Tan, yang cantik jelita itu," Sahut orang tua itu sambil memandang mereka berdua. "Namun kalian berdua lebih cantik dari Nona Tan. "Oh?" Lie Ai Ling tersenyum, kemudian berkata kepada Siang Koan Goat Nio. "Mari kita mendekati pintu rumah, aku ingin lihat berapa cantik Nona Tan itu!" "Baik" Siang Koan Goat Nio mengangguk. Mereka berdua menuju pintu rumah itu, namun tidak bisa maju lagi, karena terhalang oleh orang-orang yang berkumpul di situ. "Permisi! Permisi...," Ucap Lie Ai Ling. Suaranya begitu merdu, sehingga membuat orang orang itu berpaling Begitu melihat Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling yang cantik bagaikan bidadari, seketika juga mereka terbelak dengan mulut ternganga lebar, bahkan d~antaranya ada pula yang menelan air liur. "Hi-hi-hi!" Lie Ai Ling tertawa geli menyaksikan sikap mereka itu "Goat Nio, lucu sekali mereka itu!" Bisiknya. Siang Koan Goat Nio tersenyum. Sementara Tan Giok Lan yang berada di dalam merasa heran, karena semua orangorang itu terus mengarah kepadanya, namun mendadak mereka berpaling ke belakang. Itu membuatnya terheranheran, sehingga a pun memandang kedepan. Orang-orang yang berkumpul itu tiba-tiba minggir seakan memberi jalan. Tampak dua gadis cantik manis melangkah maju, lalu berhenti sambil memandang kedalam. Begitu melihat kedua gadis yang begitu cantik, a pun tertarik dan segera berbisik-bisik kepada ayahnya. "Ayah, di luar ada dua gadis yang agaknya ingin menjadi tamu kita, lebih baik suruh saja mereka masuk!" "Baik." Tan Tayjin mengangguk dan sekaligus berseru kepada pengawalnya. "Undang kedua nona itu masuk!" "Ya, Tayjin," Sahut pengawal itu dan cepat-cepat mendekati Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. "Nona-nona, Tayjin mengundang kalian masuk." "Terima kasih!" Sahut Lie Ai Ling, lalu menarik Siang Koan Goat Nio ke dalam dengan wajah berseri-seri. Tan Tayjin dan Tan Giok Lan terus memperhatikan kepada mereka. Padahal Tan Giok Lan merupakan gadis yang cantik jelita, namun masih kalah cantik bila dibandingkan dengan kedua gadis itu. "Paman!" Lie Ai Ling memberi hormat. "Terima kasih atas kebaikanmu!" Tan Tayjin memandang mereka dengan penuh heran, karena seharusnya mereka memanggilnya Tayjin, namun malah memanggilnya paman. "Ha ha-ha! Kalian berdua pasti bukan orang sini! Agaknya kalian berdua gadis-gadis rimba persilatan!" "Kok Paman tahu?" Tanya Lie Ai Ling dengan rasa heran. "Karena aku melihat pedang tergantung dipunggungmu," Sahut Tan Tayjin. "Oh ya, silakan duduk!" "Terima kasih, Paman!" Ucap Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio, lalu duduk dengan wajah berseri "Kalian datang dan mana~" Tanya Tan Tayjin sambil memandang mereka dalam-dalam. "Kami datang dan Pak Hai (Laut Utara)." Lie Ai Ling memberitahukan sambil memandang Tan Giok Lan, kemudian melanjutkan. "Kami baru mulai mengembara." "Oooh!" Tan Tayjin manggut-manggut. "Maaf" Ucap Tan Giok Lan "Kalian berdua kakak beradik?" "Bolehkah dikatakan ya, tapi juga boleh dikatakan bukan," Jawab Lie Ai Ling sambil tersenyum. "Maksudmu" Tanya Tan Giok Lan, yang kebingungan "Kami bukan kakak beradik, namun hubungan kami bagaikan kakak beradik" Lie Ai Ling memberitahukan. "Oooh!" Tan Giok Lan manggut-manggut. "Oh ya, botehkah aku tahu nama kalian berdua?" "Namaku Lie Ai Ling, dan dia bernama Siang Koan Goat Nio," Jawab Lie Ai Ling dan bertanya "Namamu?" "Namaku Tan Giok Lan, usiaku dua puluh Berapa usia kalian?" "Kami berdua sama-sama berusia enam belas Karena engkau lebih besar, maka kami harus memanggilmu Kakak Giok Lan" "Terima kasih" Ucap Tan Giok Lan sambil tersenyum dan merasa suka kepada mereka yang begitu polos. "Oh ya!Kalau tidak salah, Paman merayakan ulang tahun hari ini, bukan?" Tanya Lie Ai Ling. "Betul" Tan Tayjin mengangguk. "Kalau begitu "Lie Ai Ling tersenyum "Sudah pasti ada makanan. Paman, kami sudah lapar sekali." "Oh?" Tan Tayjin tertawa, lalu berkata kepada pembantunya. "Sajikan makanan istimewa dan arak wangi untukkedua nona ini!" "Ya, Tuan besar," Sabut pembantu itu, yang kemudian berja1an masuk, Tak lama kemudian tampak berapa pembantu berjalan ke luar dengan membawa berbagai macam makanan dan arak wangi. Setelah menaruh makanan dan arak ke atas meja, para pembantu itu kembali masuk. Agak terbelalak Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio melihat makanan-makanan itu. "Silakan makan!" Ucap Tan Tayjin. "Jangan malu-malu! "Terima kasih, Paman!" Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio mulai bersantap. Mungkin saking laparnya, dalam waktu sekejap kosonglah semua piring itu. Tan Tayjin, Tan hujin (Nyonya tan) dan Tan Giok Lan tersenyum geli, kemudian bertanya. "Mau nambah?" "Terima kasih!" Sahut Lie Ai Ling. "Kami sudah kenyang." "Aku yakin...." Tan Giok Lan memandang mereka. "Kalian berdua pasti berkepandaian tinggi. Maukah kalian memperlihatkan kepandaian kalian untuk kami?" "Maaf! ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Kami berdua tidak mau memamerkan kepandaian, harap Kakak Giok jangan kecewa!" "Sayang sekali!" Tan Giok Lan menggeleng-gelengkan kepala. "Padahal aku suka sekali akan ilmu silat!" "Kalau begitu, kenapa Kakak Giok Lan tidak mau belajar ilmu silat?" Tanya Siang Koan Goat Nio. "Yaah!" Tan Giok Lan menghela nafas panjang. "Sulit mencari guru yang pandai, lagi pula ayahku melarangku belajar ilmu silat." "Benar? Tan Tayjin manggut-manggut. "Aku yang melarangnya belajar ilmu silat, karena akan membuat sepasang tangannya menjadi kasar...?" "Tidak mungkin," Potong Lie Ai Ling sambil memperlihatkan sepasang tangannya yang putih dan halus. "Lihatlah Paman! Tangan kami tidak kasar, bukan?" Tan Tayjin memandang tangan gadis itu, lalu manggutmanggut seraya berkata sungguh-sungguh. "Tanganmu memang tetap putih halus. Kalau begitu putriku boleh belajar ilmu silat." Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Terima kasih, Ayah!" Ucap Tan Giok Lan cepat. "Memang ada baiknya Giok Lan belajar ilmu silat," Ujar Nyonya Tan sambil tersenyum lembut. "Sebab bisa menjaga diri sekaligus memperkuat daya tahan tubuhnya." "Benar," Tan Tayjin manggut-manggut dan tertawa. "Tapi... sulit mencari guru yang pandai lho!" "Bukankah di depan mata kita sudah ada dua orang guru?" Ujar Nyonya Tan sambil memandang Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. "Ha ha ha!" Tan Tayjin tertawa. "Benar, benar. Tapi belum tentu kedua nona itu bersedia mengajar Giok Lan ilmu silat" "Adik Goat Lan dan adak Ai Ling, apakah klian bersedia mengajarku ilmu silat?" Tanya Tan Giok Lan penuh harap. "Waduh!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkn kepala. "Bukan tidak bersedia, melainkan kami tidak bisa lama-lama di sini, sebab kami harus ke markas pusat Kay Pang." "Sayang sekali!" Tan Giok Lan menghela napas panjang. Pada saat bersamaan, tiba-tiba meluncur cepat beberapa buah benda kecil ke arah Tan Tayjin, dan hal itu tidak terlepas dari mata Siang KOan Goat Nio dan Lie Ai Ling. Secepat kilat Lie Ai Ling mencabut pedangnya sekaligus diputarnya untuk menangkis benda-benda itu. Ting! Ting! Ting! Ting! Terdengar suara benturan nyaring. Ternyata benda-benda itu adalah senjata rahasia. "Goat Nio!" Ujar Lie Ai Ling. "Lindungi mereka, aku mau melihat siapa yang menyerang dengan senjata rahasia itu?" "Baik!" Siang Koan Goat Nio mengangguk sambil mengeluarkan suling emasnya, siap~menghadapi segala kemungkinan Lie Ai Ling melesat ke luar. Tampak empat orang berpakaian merah berdiri di halaman rumah. "Siapa kalian?" Bentak Lie Ai Ling. "Kenapa kalian menyerang kami dengan senjata rahasia?" "Kami adalah anggota Hiat Ih Hwe! Kami kemari untuk membunuh Tan Thiam Song! Kami tidak bermaksud menyerang nona!" Sahut salah seorang berpakaian merah itu Mereka berempat ternyata para anggota perkumpulan Baju Berdarah. "Hm!" Dengus Lie Ai Ling dingin. "Kalian tidak melihat kami berada di sini sebagai tamu? Sungguh berani kalian ingin membunuh Paman Tan!" "Nona!" Salah seorang berpakaian merah itu mengerutkan kening. "Lebih baik engkau jangan turut campur, agar tidak celaka!" "Kami sebagai tamu di sini, tentunya harus melindungi Paman Tan sekeluarga! Cepatlah kalian enyah dan sini, jangan sampai aku marah!" Bentak Lie Ai Ling sambil menatap mereka tajam "Kalau begitu, kami terpaksa membunuh Nona du1u!" Ujar orang berpakaian merah itu berseru. "Mari kita serang dia!" Seketika tampak empat bilah pedang mengarah ke Lie Ai Ling. Betapa terkejutny Tan Tayjin, Nyonya Tan dan Tan Giok Lan menyaksikan kejadian itu. Akan tetapi, mendadak Lie Ai Ling tertawa nyaring, sekaligus mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan-serangan itu. Gadis tersebut menggunakan Hong Hoang Kiam Hoatat (Ilmu pedang Burung Phoenix), mengeluarkan jurus Hong Hoang Khay Peng (Burung Phoenix Mengembangkan Sayap). "Trang! Trang! Trang! Trang...!" Terdengar suara benturan pedang. Keempat orang Hiat Ih Hwe terhuyung-huyung beberapa langkah, dan pedang di tangan mereka tinggal gagangnya, ternyata telah kutung. Perlu diketahui, pedang Lie Ai Ling adalah Hong Hoang Pokiam (Pedang Pusaka Burung Phoenix) pemberian ibunya. "Haah...?" Keempat orang Hiat Ih Hwe terbelalak saking terperanjat. Mereka tahu sedang berhadapan dengan gadis yang berkepandaian tinggi. Salah seorang itu berkata. "Lihiap sungguh lihay, kami berempat bukan lawanmu! Bolehkah kami tahu siapa Nona?" "Aku adalah.... Hong Hoang Lihiap (Pendekar Wanita Burung Phoenix)" Sahut Lie Ai Ling setelah berpikir sejenak Kemudian ia menunjuk Siang Koan Goat Nio dan memberitahukan. "Dia adalah Kiam Siauw Siancu (Bidadan Suling Emas)!" "Terima kasih!" Ucap orang Hiat Ih Hwe itu "Kita akan berjumpa lagi di lain kesempatan"' Keempat orang Hiat Ih Hwe itu melesat pergi, sedangkan Lie Ai Ling menyarungkan pedangnya sambil tersenyumsenyum, lalu kembali ketempat duduknya. "Nona sungguh hebat sekali!" Ujar Tan Tayjin kagum "Aku sama sekali tidak menyangka engkau berkepandaian begitu tinggi!" "Terima kasih, Nona!" Ucap Nyonya Tan sambil menghela nafas lega. "Engkau telh menyelamatkan suamjku." "Adik Ai Ling" Tan Giok Lan menatapnya dengan mata tak berkedip. "Engkau sungguh lihay Rasanya aku ingin berguru kepadamu" "Tidak seberapa kepandaianku," Sahut Lie Ai Ling merendah dan menambahkan. "Kakak Giok Lan, aku tidak bisa menjadi gurumu!" "Sayang sekali!" Tan Giok Lan menghela nafas panjang. "Kini aku telah mengambil keputusan untuk belajar ilmu silat, agar bisa melindungi ayahku." "Eeeh" Tan Tayjin terbelalak "Ke mana para pengawalku? Kenapa mereka tidak kelihatan?" "Mereka terkapar pingsan," Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Celaka! Itu harus bagaimana?" Guguplah Tan Tayjin. "Tidak apa-apa" Siang Koan Goat Nio tersenyum. "Mereka akan siuman dengan sendirinya." "Oooh!" Tan Tayjin menarik nafas lega. "Paman," Tanya Lie Ai Ling. "Sebetulnya perkumpulan apa Hiat Ih Hwe itu?" "Aaaah...!" Tan Tayjin menghela nafs panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Perkumpulan itu khususnya membunuh para jenderal dan pembesar yang setia, jujur dan bijaksana." "Oh?" Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Siapa ketua Hiat Ih Hwe?" "Mungkin Lu Thay Kam." Tan Tayjin memberitahukan. "Sebab sudah berkali-kali Lu Thay Kam mengutus orang kepercayaannya ke mari untuk memberi perintah kepadaku." "Perintah apa?" "Menyuruhku menaikkan pajak ini dan itu dikota ini. Tapi aku tidak mengacuhkan penintah itu." "Jadi Lu Thay Kam mengutus orang.orangny kemari untuk membunuh Paman?" "Kira-kira begitulah." "Hmm!" Dengus Lie Ai Ling. "Sungguh jahat Lu Thay Kam itu! Kalau aku bertemu dia kelak, pasti kupenggal kepalanya!" "Nona...." Tan Tayjin terbelalak. "Engkau...." "Ai Ling," Tegur Siang Koan Goat Nio halus. "Jangan omong sembarangan, sebab akan menimbulkan masalah!" "Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Memang banyak orang ingin membunuh Lu Thay Kam, tapi sebaliknya mereka malah terbunuh." Tan Tayjin memberitahukan "Lho? Kenapa?" Tanya Lie Ai Ling. "Kalian harus tahu...." Tan Tayjin menghela nafas "Kepandaian Lu Thay Kam sangat tinggi, maka tiada seorang pun mampu membunuhnya" "Oh?" Lie Ai Ling mengerutkan kening, kelihatannya gadis itu kurang percaya "Suatu hari nanti, aku ingin bertarung dengan dia!" "Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa engkau omong sembarangan lagi?" "Lupa." Lie Ai Ling tersenyum. "Oh ya, tadi mereka menanyakan nama kita...." "Engkau memberitahukannya?" Tanya Siang Koan Goat Nio. Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tentu tidak," Sahut Lie Ai Ling sambil tersenyum geli dan melanjutkan. "Tapi kubilang aku adalah Hong Hoang Lihiap, sedangkan engkau adalah Kim Siauw Siancu." "Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio tertawa kecil "Engkau mengada-ada saja!" "Tidak salah." Tan Tayjin tertawa. "Itu memang merupakan julukan yang sangat tepat untuk kalian Hong Hoang Lihiap, Kim Siauw Siancu! Sungguh tepat dan indah julukan tersebut! Ha ha-ha...." "Adik!" Tan Giok Lan memandangnya seraya bertanya. "Kenapa engkau menggunakan julukan itu?" "Pedangku adalah Hong Hoang Pokiam, Sedangkan suling yang tadi di tangan Siang Koan Goat Nio adalah Suling Emas." Lie Ai Ling memberitahukan. "Oooh!" Tan Giok Lan manggut-manggut. "Aaaah...!" Mendadak Tan Tayjin menghela nafas panjang. "Kelihatannya Dinasti Beng sudah sulit dipertahankan lagi." "Kenapa?" Tanya Lie Ai Ling. "Karena kaisar cuma tahu bersenang-senang, yang berkuasa di istana adalah Lu Thay Kam dan beberapa menteri jahat. Karena itu, timbullah pemberontakan disana sini, bahkan aku pun dengar, Lu Thay Kam mengutus seorang kepercayaannya ke Manchuria." "Memangnya kenapa?" Lie Ai Ling tidak mengerti. "Lu Thay Kam dan beberapa menteri telah bersepakat untuk bersekongkol dengan bangsa Boan (Manchuria)." Tan Tayjin memberitahukan. "Paman!" Lie Ai Ling menggeleng-gelengkan kepala. "Kami sama sekali tidak mengerti akan urusan kerajaan." "Paman," Ujar Siang Koan Goat Nio mendadak dengan wajah serius. "Kalau begitu, lebih baik Paman mengundurkan din saja dari jabatan. Kalau tidak, nyawa Paman pasti terancam setiap saat." "Sebetulnya aku telah memikirkan itu, tapi..." Tan Tayjin menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa?" Tanya Siang Koan Goat Nio. "Kalau aku mengundurkan diri, tentu akan muncul pembesar lain, yang korupsi di kota ini, yang sudah barang tentu membuat rakyat menjadi menderita." "Paman!" Siang Koan Goat Nio menatapnya kagum. "Paman sungguh jujur, adil dan bijaksana! Apabila para pembesar di seluruh negeri ini seperti Paman, tentu tidak akan terjadi pemberontakan." "Yaah!" Tan Tayjin menghela nafas panjang. "Itu bagaimana mungkin? Kini Dinasti Beng telah bobrok, berada di ambang keruntuhan." "Paman memikirkan penduduk kota ini, tapi sama sekali tidak memikirkan keluarga," Ujar Lie Ai Ling mendadak. "Pada hal keluarga Paman terancam bahaya." "Memang tidak salah." Tan Tayjin manggut-manggut. "Setelah kejadian tadi itu, pertanda sudah waktunya aku pensiun." "Ayah!" Wajah Tan Giok Lan langsung berseri. "Itu sungguh menggembirakan!" "Baiklah," Ujar Lie Ai Ling. "Kami mau mohon pamit, terima kasih atas kebaikan Paman!" "Kok begitu cepat kalian mau pergi?" Tan Tayjin memandang mereka. "Lebih baik tinggal di sini beberapa hari." "Maaf Paman!" Ucap Lie Ai Ling. "Aku harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang." "Adik Ai Ling, aku mohon kalian sudi tinggal di sini beberapa hari. Setelab itu, barulah kalian melanjutkan perjalanan." Ujar Tan Giok Lan bermohon "Goat Nio..." Lie Ai Ling menatap Siang Koan Goat Nio minta pendapatnya "Bagaimana?" "Baiklah, kita tinggal di sini beberapa hari," Sahut Siang Koan Goat Nio "Tidak baik kita menolak maksud baik Paman dan kakak Giok Lan? "Terima kasih, terima kasih!" Ucap Tan Giok Lan dengan wajah berseri. Akhirnya Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling tinggal beberapa hari di rumah Tan Tayjin, setelah itu barulah berangkat ke markas pusat Kay Pang -oo0dw0oo- Bagian ke Tiga Belas Pemandangan yang menyentuh hati Pada pagi hari yang cerah, terdengar suara kicau burung di halaman istana bagian barat, tempat tinggal Lu Thay Kam. Berselang sesaat, tampak Lie Man Chiu berjalan ke halaman itu lalu duduk dibawah sebuah pohon. Sudah tujuh tahn lebih ia mengabdi pada Lu Thay Kam. Hidupnya serba senang dan mewah, setiap hari pasti dikerumuni para dayang yang cantik-cantik. Ada satu hal yang patut dipuji, yaitu selama tujuh tahun ini, ia sama sekali tidak pernah tidur bersama para dayang tersebut. Selain sebagal wakil ketua Hiat Ih Hwe, Lu Thay Kam pun mengangkatnya sebagai kepala pengawal istana bagian barat ini. Dalam tujuh tahun ini, Lu Thay Kam memang sangat mempercayainya. Selama ini, pernahkah ia teringat pada anak isterinya? Tentu tidak, karena ia masih berambisi menjadi jenderal. Di saat ia sedang duduk di bawah pohon. tiba-tiba melayang turun sesuatu dan atas pohon. yang ternyata seekor anak burung. Anak burung itu mencicit-cicit, dan tak lama kemudian induknya melayang turun. Induk burung itu berusaha membawa anaknya, tapi tidak berhasil. Maka ia mencicit-cicit, kelihatan gugup, panik dan cemas. Sementara Lie Man Chiu terus memperhatikan induk burung itu, tiba-tiba induk burung itu memandangnya sambil mencicit-cicit dengan mata basah, sepertinya minta pertolongan kepada Lie Man Chiu. Lie Man Chiu diam saja, tapi induk burung itu terus mencicit sambil memandangnya, dan air matanya pun meleleh. Hati Lie Man Chiu tergerak menyaksikannya. Ia bangkit berdiri lalu mendekati anak burung itu. Induknya sama sekali tidak kabur, melainkan terus mencicit dengan air mata meleleh. "Engkau minta pertolongan kepadaku untuk membawa anakmu ke sarang di atas pohon? tanya Lie Man Chiu sambil tersenyum. Tentunya Induk burung itu tidak bisa menjawab, cuma bisa mencicit. "Baiklah." Lie Man Chiu manggut-manggUt. "Aku akan menolong anakmu." Lie Man Chiu mengangkat anak burung itu, lalu melesat ke atas sekaligus menaruh anak burung it ke dalam sarangnya. Induk burung itu juga terbang ke atas, dan ketika melihat anaknya sudah ditaruh ke dalam sarang, Ia mencicit seakan mengucapkan terima kasih kepada Lie Man Chiu. Lie Man Chit melayang turun, lalu duduk kembali di bawah pohon itu. Apa yang disaksikannya itu membuat pikirannya terus melayang-layang, brung cuma merupakan hewan, namun begitu berperasaan dan penuh kasih sayang terhadap anaknya. Berpikir sampai di situ, mendadak di pelupuk mata Lie Man Chiu muncul wajah putrinya, yang kemudian berubah menjadi wajah Tio Hong Hoa, isternya "Haaah? Lie Man Chiu tersentak kemudian bergurnam. "Anakku... isteriku..." Di saat itulah a teringat kepada anak isterinya. Pada waktu bersamaan terdengar suara langkah yang amat ringan. Ia segera menoleh, dilihatnya seorang gadis catik dan lemah lembut berusia enam belasan. Siapa gadis itu? Tidak lain adalah Lu Hui San, putri angkat Lu Thay Kam. "Paman Chiu!" Panggil gadis itu sambil tersenyum. "Kenapa Paman Chiu melamun di situ?" "Aku sedang menikmati pagi yang indah ini," Sahut Lie Man Chiu lalu bertanya. "Masih pagi kok sudah bangun? "Sekarang sudah tidak pagi lagi, kan?" Sahut Lu Hui San lalu duduk di sisinya. "Paman Chiu. sudah berapa tahun Paman berada di sini?" "Tujuh tahun lebih." "Dalam tujuh tahun ini, apakah Paman tercekam oleh suatu perasaan" Tanya Lui Hui San mendadak. "Perasaan apa?" Tanya Lie Man Chiu dengan rasa heran. "Tahukah Paman aku sudah berusia berapa sekarang?" Lu Hui San menatapnya dalam-dalam. "Kalau tidak salah sudah enam belas." "Berarti putri Paman pun sudah berusia enam belas," Ujar Lu Hui San. "Paman tidak pernah memikirkannya." "Aku," Wajah Lie Man chiu agak memucat. "Paman sama sekali tidak memikirkan anak isteri?" Lu Hui San mengerutkan kening. "Selama tujuh tahun ini, aku memang tidak pernah memikirkan mereka. Namun..." Lanjut Lie Man Chiu sambil memandang ke atas pohon. "Tadi ada seekor anak burung jatuh, induknya tidak bisa membawanya kembali ke sarang, Sehingga terus menerus mencicit dan memandangku dengan mata basah. "Oh?" Lu Hui San tertegun "Di mana anak burung itu sekarang?" "Telah kukembalikan ke dalam sarangnya." Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lie Man Chiu memberitahukan. "Kalau begitu...." Lu Hui San menatapnya dalam-dalam "Paman Chiu masih mempunyai rasa kasihan. Tapi kenapa bisa melupakan anak isteri" "Setelah aku menyaksikan kejadian itu, tiba-tiba wajah anak isteriku muncul di pelupuk mataku, sehingga membuat hatiku tersentak. "Karena itu, Paman Chiu teringat kepada anak isteri, kan?" "Betul." Lie Man Chiu manggut-manggUt sambil menghela nafas panjang. "Kejadian itu membuat hatiku tergerak, sebab kejadian itu sungguh menyentuh hatiku." "Paman Chiu!" Lu Hui San menarik nafas. "Burung merupakan hewan, namun mempunyai perasaan dan kasih sayang Sedangkan Paman Chiu adalah manusia, tapi malah bisa melupakan anak isteri Omong kasar dikit, Paman Chiu masih tidak dapat menyamai hewan." "Benar." Lie Man Chiu mengangguk mengakuinya. "Aku memang lebih kejam dari binatang?" "Paman Chiu!" Lu Hui San tersenyum. "Sesunggubnya Paman Chiu bukan orang jahat, yang tak berperasaan maupun kasih sayang, hanya saja... semua Itu tertutup oleh ambisi Paman." "Tidak salah." Lie Man chiu menghela nafas panjang. "Aku memang terlampau berambisi, dan itu dikarenakan..." "Dikarenakan apa?" "Rasa dengki." "Oh?" "Yaaah!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang lagi. "Kini ku merasa malu sekali kepada anak isteriku, dan mereka pasti tak akan sudi memaafkanku." "Itu tidak perlu dicemaskan, ujar Lu Hui San sungguh~sungguh. Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo