Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti Suling Pualam 7


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 7


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya dari Chin Yung   "Aku yakin mereka pasti bersedia memaafkan Paman."   "kenapa engkau begitu yakin?"   "Karena biar bagaimana pun, mereka tetap sebagai anak isteri Paman. Kalau Paman sudah sadar akan kesalahan itu dan mau mohon maaf, mereka pun pasti akan memaafkan Paman. Percayalah!"   Lie Man Chiu manggut-manggut dan wajahnya tampak agak cerah.   "Ada benarnya juga apa yang kau katakan."   "Ha ha!"   Terdengar suara tawa dan kemudian muncul Lu Thay Kam.   "San San, ternyata engkau berada disini! Ayah kira engkau pergi secara diam-diam."   "Ayah!"   Lu Hui San tersenyUm.   "Bagaimana mungkin aku akan pergi secara diam~diam? Kalau mau pergi berjalan-jalan, aku pasti memberitahukan kepada Ayah."   "Ha ha-ha!"   Lu Thay Kam tertawa gembira.   "EngkaU memang anak baik, ayah sungguh senang sekali!"   "Ayah,"   Tanya Lu Hui San mendadak.   "Bolehkah aku pergi merantau"   "Apa?!"   Lu Thay Kam tertegun.   "Engkau ingin pergi merantaU?"   "Ya."   Lu Hui San mengangguk sekaligUs memberitahukan.   "Ayah, aku merasa jemu terkurung di dalam istana."   "Ha ha-ha!"   Lu Thay Kam tertawa gelak.   "Siapa bilang engkau terkurung di dalam istana?"   "BuktinYa aku tidak boleh pergi ke mana-mana. Nah, bukankah diriku bagaikan seekor burung di dalam sangkar emas?"   Sebut Lu Hui San cemberut.   "San San!"   Lu Thay Kam menatapnya dalam-dalam.   "Jadi engkau sudah mengambil keputUSan untuk pergi merantau?"   "Ya, Ayah."   Lu Hui San mengangguk dan menambahkan.   "Aku harus mencari pengalaman di luar. Kalau tidak, aku cuma merupakan gadis pingitan."   "Begini saja,"   Ujar Lu ThayKam serius. Nanti malam setelah ayah pulang, kita bicarakan lagi."   "Ayah, sekarang saja menbicarakannya."   Desak Lu Hui San. "Nanti malam saja. Jangan membantah, sebab ayah harus memikirkan tentang keinginanmu itu, Malam nanti kita membicarakan nya, sekaligus ayah akan memberikan keputusan,"   Tegas Lu Thay Kam.   "Ya, Ayah."   Lu Hui San mengangguk.   "Engkau memang anak yang baik, ayah merasa puas dan bangga,"   Ujar Lu Thay Kam sambil tertawa gembira, kemudian memandang Lie Man Chiu seraya berpesan.   "Nanti malam kita akan pergi sebentar."   "Ya, Lu Kong Kong."   Sahut Lie Man chiu sambil memberi hormat.   "Kalian bercakap-cakaplah!"   Lu Thay Kam memandang mereka.   "Aku akan pergi menghadap kaisar. San San, nanti malam setelah ayah pulang, kita akan membicarakan tentag niatmu itu."   "Ya, Ayah."   Lu Hui San mengaugguk. Lu Thay Kam melangkah pergi. Lu Hui San memandang punggungnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Ayahku sudah berusia lanjut, tapi masih belum mau pensiun untuk hidup tenang. Sebaliknya malah terus bergelut dengan politik kerajaan..."   Lu Hui San menghela nafas panjang.   "San San!"   Lie Man Chiu tersenyUm.   "Ayahmu sebagai kepala Thay Kam di istana, sudah barang tentu tidak terlepas dan kancah politik."   "Aaaah~"   Lu Hui San menghela nafas lagi."Untuk apa itu? Bukankah lebih baik hidup tenang dan damai saja?"   "Pikiran orang berbeda,"   Ucapan tersebut juStru membuat Lie Man Chiu tersentak sendiri,karena ambisi maka ia meninggatkan anak isteri. "Paman Chiu?"   Lu Hui San memandangnya seraya bertanya.   "Apakah kini Paman sudah berniat pulang untuk menemUi anak isteri?"   "Itu...."   "Masih tetap akan mengabdi kepada ayahku?"   "San San!"   Lie Man Chiu memandangnya dan bertanya dengan suara rendah.   "Bagaimana San San?"   "Menurutku Paman harus segera pulang menengok anak isteni. Selama tujuh tahun ini, aku yakin mereka pasti menderita sekali. Mungkin juga isteri Paman sudah tiada...."   "Kenapa engkau mengatakan begitu?"   Wajah Lie Man Chiu tampak memelas.   "SuatU penderitaan dan tekanan batin, akan menyebabkan kematian,"   Sahut Lu Hui San.   "Namun juga tergantUng dari ketabahan dan pikiran."   "Benar,"   Lie Man Chiu manggut-mangggut dan melanjutkan.   "Mudah-mudahan isteriku tidak akan terjadi apaapa, begitu pula putriku itu!"   "Paman Chiu,"   Ujar Lu Hui San.   "Biar bagaimana pun, paman harus segera pulang menengok anak isteri, jangan membuat dosa yang akan menimbulkan karma buruk!"   "San San!"   Lie Man Chiu menatapnya dengan penuh rasa heran.   "Engkau paham akan dosa dan karma?"   "Paham."   Lu Hui San mengangguk.   "Karena aku sering membaca buku, maka aku tahu tentang dosa dan karma. Aaaah, ayahku... tidak akan terlepas dan karma buruk!"   "Haah...?"   Wajah Lie Man Chiu memucat, dan seketika a teringat pula akan semua wejangan-wejangan Tayli Lo Ceng, gurunya.   "Aku... aku memang telah berdosa, karena meninggalkan anak isteri." "Kalau Paman sudah tahu dosa, haruslah segera bertobat,"   Ujar Lu Hui San dan menambahkan.   "Siapa yang mau bertobat, tentu dapat meringankan dosanya pula."   "San San!"   Mendadak Lie Man Chiu memegang bahunya.   "Terima kasih atas semua petunjukmu!"   "Paman Chiu..."   Lu Hui San tersenyum.   "Oh ya! Paman sering pergi bersama ayahku, sebetulnya pergi mengurusi apa?"   "Tentunya urusan kerajaan,"   Sahut Lie Man Chiu singkat, sebab LU Thay Kam telah berpesan padanya, tidak boleh memberitahukan kepada Lu Hui San mengenai kegiatan mereka.   "Oooh!"   Lu Hui San manggut-manggut.   "Paman Chiu, apakah ayahku akan memperbolehkan aku pergi merantau?"   "Kelihatannya ayahmu memperbolehkan."   "Oh?"   Wajah Lu Hui San tampak berseri.   "Syukurlah kalau begitu!" -oo0dw0oo- Di dalam markas Hiat Ih Hwe, tampak Lu Thay Kam dan Lie Man Chiu duduk di ruang depan. Mereka berdua mengenakan jubah merah, namun tidak memakai topeng lagi. Sebab para anggota telah bersumpah, tidak akan membocorkan identitas ketua maupun wakil ketua mereka.   "Lapor kepada ketua dan wakil ketua!"   Ujar salah seorang anggota sambil memberi hormat.   "Belum lama ini dalam rimba persilatan telah muncul Giok Siauw Sin Hiap. Ketika kami ingin turun tangan membunuh para anggota Tiong Ngie Pay, dia muncul menolong mereka."   "Kenapa kalian tidak membunuh Giok Siauw Sin Hiap itu?"   Tanya Lu Thay Kam dengan wajah gusar. "Kepandaiannya sangat tinggi, kami tidak sanggup melawannya."   Jawab orang itu dengan kepala tertunduk.   "Hm!"   Dengus Lu Thay Kam.   "Engkau boleh mundur ke tempat berdirimu! "Terima kasih, ketua! ucap orang itu dan segera mundur ke tempat ia berdiri tadi.   "Masih ada lagi yang mau melapor?"   Tanya Lu Thay Kam.   "Ada, Ketua,"   Sahut seseorang sambil maju sekaligus memberi hormat.   "Beberapa hari lalu, kami pergi hendak membunuh Tan Thian Song, pembesar di kota Keng Ciu. Namun ada dua gadis disana, salah satu gadis itu melawan kami."   "Kalian berhasil membunuh gadis itu?"   "Kami tidak berhasil membunuhnya, sebab dia berkepandaian tinggi dan memiliki sebilah pedang pusaka."   "Oh? Lalu bagaimana kalian?"   "Kami terpaksa kabur."   "Siapa kedua gadis itu?"   "Gadis yang melawan kami adalah Hong Hoang Lihiap, sedangkan yang satu lagi adalah Kim Siauw Siancu."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Betapa terkejutnya Lie Man Chiu ketika mendengar ucapan itu.   Hong Hoang Lihiap? Hong Hoang Pokiam (Pedang Pusaka Burung Phonix) itu adalah kepunyaan Tio Hong Hoa, isterinya.   Apakah gadis yang mengaku Hong Hoang Lihiap itu Lie Ai Ling, putrinya? Pikir Lie Man Chiu dengan wajah berubah tak menentu.   "Hmm!"   Dengus Lu Thay Kam dingin sambil mengibaskan tangannya. Orang itu segera kembali ke tempatnya, sedangkan Lu Thay Kam berseru.   "Gak Cong Heng!" "Ya, ketua."   Gak Cong Heng langsung menghadap. Orang tersebut adalah kepala para anggota Hiat Ih Hwe.   "Ada perintah apa untukku?"   "Engkau harus mengatur beberapa orang untuk membunuh Tan Thiam Song, Hong Hoang Lihiap, Kim Siauw Siancu dan Giok Siauw Sin Hiap."   "Ya."   Gak Cong Heng memberi hormat.   "Kuterima perintah Ketua dan pasti kulaksanakan dengan baik."   "Bagus!"   Lu Thay Kam manggut-manggUt, kemudian memandang Lie Man Chiu seraya berkata.   "Aku mau kembali ke istana, engkau tetap di sini mengatur semua itu."   "Ya Lu Kong Kong,"   Sahut Lie Man Chiu sambil memberi hormat.   Lu Thay Kam melesat pergi.   Kemudian Lie Man Chiu berunding dengan Gok Cong Heng....   -oo0dw0oo- Malam belum begitu larut, Lu Hui San duduk di halaman istana menunggu Lu Thay Kam pulang.   Mendadak berkelebat sosok bayangan ke badapannya, dan terdengar pula suara teguran.   "San San! Kenapa engkau belum tidur? Sosok bayangan itu ternyata Lu Thay Kam.   "Aku menunggu Ayah pulang,"   Sahut Lu Hui San sambil tersenyum.   "Bukankah tadi pagi Ayah telah berjanji? "Ha ha-ha!"   Lu Thay Kam tertawa gelak.   "Ayah ingat itu, mari ikut ayah ke kamar!"   Lu Hui San mengikuti Lu Thay Kam kekamar, lalu duduk berhadapan dikamar Lu Thay Kam yang serba mewah. "San San!"   Lu Thay Kam menatapnya tajam seraya bertanya.   "Betulkah engkau telah mengambil keputusan pasti untuk pergi merantau."   "Betul,"   Ayah.   "Engkau harus tahu, bahwa didalam rimba persilatan penuh bahaya, bahkan juga banyak penjahat."   "Aku bisa menjaga diri, Ayah."   "Ayah tahu, kepandaianmu sudah tinggi. Namun..."   Lu Thay Kam menghela nafas panjang.   "Banyak orang licik dalam rimba persilatan, ayah khawatir engkau akan terjebak oieh kelicikan mereka."   "Ayah!"   Lu Hui San tersenyum.   "Aku bukan anak kecil lagi, sebab usiaku sudah enam belas. Tentunya dapat membedakan orang jahat dan orang baik. Ayah tidak usah mengkhawatirkan itu."   "San San Lu Thay Kam menatapnya dengan penuh kasih sayang.   "Mungkin ngkau tahu, aku bukan ayah kandungmu."   "Aku tahu, Ayah."   Lu Hui San mengangguk dan melanjutkan.   "Tapi ak telah menganggap Ayah sebagai ayah kandung."   "Bagus! Ha-ha-ha!"   Lu Thay Kam tertawa gembira.   "Tidak sia-sia ayah membesarkanmu, lagi pula ayah pun telah menganggapmu sebagal anak kandung."   "Terima kasih, Ayah!"   Lu Hui San tersenyum dan bertanya.   "Ayah, bolehkah ku tahu margaku?"   "Margamu Sie!"   Lu Thay Kam memberitahukan.   "Siapa kedua orang tua kandungku?"   Tanya Lu Hui San lagi.   "San San!"   Lu Thay Kam menggelengkan kepala.   "Ayah sama sekali tidak tahu tentang itu. Kalau ayah tahu, pasti memberitahukan" "Ayah!"   Lu Hui San memandangnya sambil tersenyum.   "Ayah tidak akan melarangku pergi merantau, kan?"   "Engkau sudah besar, maka ayah tidak bisa mengekang kebebasanmu,"   Sahut Lu Thay Kam sungguh-sungguh.   "Tapi engkah harus berhati-hati di perantauan, jangan gampang terpincuk oleh ketampanan ."   "Ya, Ayah!"   Wajah Lu Hui San agak kemerah-merahan.   "Oh ya! Ayah akan menghadiahkan kepadamu sebilah pedang pusaka."   Lu Thay Kam memberitahukan.   "Juga akan memberimu uang perak dan emas sebagai bekalmu."   "Terima kasih, Ayah,"   Ucap Lu Hui San girang.   "Oh ya, pedang pusaka apa itu, Ayah!"   "Itu adalah pedang pusaka dalam istana, yaitu Han Kong Pokiam."   Lu Thay Kam memberitahukan.   "Maka engkau harus menjaganya baik-baik, jangan sampai hilang."   "Han Kong Pokiam (Pedang Pusaka Cahaya dingin)?"   "Tidak salah."   Lu Thay Kam manggut-manggut.   "Pedang pusaka itu sangat ampuh, dapat memotong besi dan lain sebagainya, bahkan juga memancarkan cahaya dingin."   "Terima kasih, Ayah!"   Lu Hui San girang bukan main.   "Oh ya!"   Lu Thay Kam teringat sesuatu, kemudian memberikannya sebuah medali emas yang berukiran sepasang naga.   "San San, ini adalah tanda pengenalku. Apabila engkau membutuhkan bantuan atau uang, temui saja pembesar setempat dan perlihatkan medali ini, pembesar yang mana pun pasti akan membantumu."   "Oh?"   Wajah Lu Hui San berseri, ia menyimpan medali itu ke dalam bajunya.   "Terima kasih, Ayah!"   "San San,"   Tanya Lu Thay Kam.   "Kapan engkau berangkat?"   "Besok pagi,"   Jawab Lu Hui San. "Baiklah,"   Lu Thay Kam manggut-manggut dan herpesan.   "Engkau harus berhati-hati dalam perantauanmu, jangan menimbulkan masalah!"   "Ya, Ayah."   Lu Hui San mengangguk.   "Dan..."   Lu Thay Kam berpesan lagi.   "Terhadap siapa pun, engkau tidak boleh membocorkan identitasmu!"   "Kenapa?"   "Sebab ayah banyak musuh diluar."   Lu Thay Kam memberitahukan.   "Apabila engkau membocorkan identitasmu, berarti dirimu dalam bahaya. Engkau harus ingat itu!"   "Ya, Ayah!"   Lu Hui San mengangguk dan bertanya.   "Kenapa ayah banyak musuh di luar?"   "San San!"   Lu Thay Kam tersenyum.   "Ayah sebagai kepala Thay Kam di istana, maka sudah pasti harus menjaga kaisar. Siapa yang berani memberontak, pasti ayah bunuh. Karena itu, ayah banyak musuh."   "Ayah sudah tua...."   Lu Hui San menggeleng-gelengkan kepala.   "Kenapa tidak mau hidup tenang dan damai?"   "Ha ha-ha!"   Lu Thay Kam tertawa.   "Engkau tidak akan mengerti, maka tidak usah banyak bertanya dan menasihati ayah."   "Tapi..."   Lu Hui San menghela nafas.   "Suatu perbuatan jahat, pasti akan menimbulkan karma buruk. Aku khawatir...."   "Jangan khawatir!"   Lu Thy Kam tersenyum.   "Ayah tidak gampang dibunuh orang, engkau boleh tenang tentang itu."   Lu Hui San diam, Lu Thay Kam menatapnya sambil tersenyum lembut dan berkata.   "San San, sudah larut malam, engkau boleh pergi tidur. Sebab besok pagi engkau akan pergi merantau." "Ya, Ayah!"   Lu Hui San meninggalkan kamar ayahnya menuju kamarnya.   Kemudian ia tersenyum gembira, karena besok pagi akan pergi merantau.   Sementara Lu Thay Kam menuju ruang khusus.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ia duduk di Situ menunggu Lie Man Chiu pulang.   Berselang beberapa saat kemudian, tampak Lie Man Chiu melangkah ke ruang itu.   "Lu Kong Kong!"   Panggil Lie Man Chiu sambil memberi hormat.   "Duduklah!"   Sahut Lu Thay Kam.   "Terimakasih, Lu Kong Kong!"   Ucap Lie Man Chiu lalu duduk di sisinya.   "Bagaimana engkau mengatur itu?"   Tanya Lu Thay Kam sambil menatapnya.   "Apakah semua itu sudah kau atur bersama Gak Cong Heng?"   "Sudah, Lu Kong Kong,"   Jawab Lie Man Chiu memberitahukan."Beberapa orang akan berangkat ke kota Keng Ciu untuk membunuh Tan Thiam Song, belasan orang akan pergi membunuh Hong Hoang lihiap, Kim Siauw Siancu dan Giok Siauw Sin Hiap yang berani menentang perkumpulan kita."   "Bagus, bagus! Ha ha-ha!"   Lu Thay Kam tertawa gelak.   "Oh ya, besok pagi San San akan pergi merantau."   "Lu Kong Kong mengijinkannya?"   "Dia sudah besar, memang tidak baik terus diam di istana. Dan pada dia pergi secara diam-diam, bukankah lebih baik aku mengijinkannya?"   "Betul Lu Kong Kong."   "Man Chiu!"   "Ya, Lu Kong Kong. "Besok setelah San San pergi, engkau harus ke markas untuk membenitahukan Gak Cong Heng, bahwa putriku pergi merantau. Maka para anggota dilarang mengganggu gadis yang membawa Han Kong Pokiam."   "Ya, Lu Kong Kong."   Lie Man Chiu mengangguk.   "Oh ya, bukankah Han Kong Pokiam itu pedang pusaka istana?"   "Betul."   Lu Thay Kam manggut-manggut dan memberitahukan.   "Kaisar telah memberikan pedang pusaka itu kepadaku, jadi kuhadiahkan pada San San."   "Lu Kong Kong!"   Lie Man Chiu tersenyum.   "Sungguh beruntung San San memperoleh hdiah pedang pusaka itu!"   "Dia putriku, maka aku harus menaruh perhatian khusus kepadanya,"   Ujar Lu Thay Kam sambil tertawa dan menambahkan.   "Entah siapa yang beruntung menjadi jodohnya! Ha-ha-ha...!" -oo0dw0oo- Bagian ke Empat belas Pendekar Pembasmi Penjahat Sudah tujuh tahun Kam Hay Thian berada didalam goa bekas markas Bu Tek Pay. Selama itu ia terus mempelajari Hian Bun Kui Goan Kang Khi, sekaligus melatihnya. Akhirnya a berhasil menguasai ilmu lweekang tersebut, sehingga bertambah tinggi pula lweekangnya. Setelah itu, mulailah ia mempelajari kitab peninggalan Pak Kek Siang Ong, yakni Pak Kek Sin Kang, Ciang Hoat dan Kiam Hoat. Karena ia telah memiliki Hian Bun Kui Goan Kang Khi, maka tidak begitu sutit baginya mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Pak Kek Siang Ong. Kini Kam Hay Thian telah berusia delapan belas. Ia gagah dan tampan serta telah menguasai Pak Kek Sin Kang, Pak Kek Ciang Hoat dan Pak Kek Kiam Hoat. Bahkan ia pun telah menemukan sebilah pedang di tempat itu. Walau ia telah menguaSai Pak Kek Sin Kang, amun masih belum begitu hebat. Ia dapat mengeluarkan hawa dingin, tetapi belum dapat membekukan apa pun.   "Hmm!"   Dengus Kam Hay Thian.   "Kini aku telah berkepandaian tinggi, maka harus membalas dendam dan membasimi penjahat di rimba persilatan! Aku harus menjadi Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat) dalam rimba persilatan!"   Kam Hay Thian tampak seakan bersumpah, kemudian matanya memandang jari tangannya, yang memakai sebuah cincin Giok pemberian Lie Beng Cu.   Ia tersenyUm-SenyUm lalu meninggalkan tempat itu dengan membawa sebilah pedang.   Ia tidak mau membawa dua kitab peninggalan Pak Kek Sian Ong dan Kitab Hiang Bun Kui Goan Kang Khi, yang ditemukannya di tempat tersebut.   Namun setelah dikuasai isinya, kedua kitab itu dibakarnya agar tidak menimbulkan bencana.   Karena ia ingat bahwa ayahnya terbunuh gara-gara sebuah kitab Seng Hwe Cin Keng.   Setelah meninggalkan tempat tersebut, Kam Hay Thian langsung pulang ke rumahnya karena sangat rindu kepada ibunya.   Beberapa hari kemudian, sampailah a di rumahnya dan langsung melesat ke dalam.   Lie Siu Sien, ibunya sedang duduk di ruang depan sambil menyulam, kelihatan agak tua dan ramhutnya mulai memutih, padahal usianya baru empat puluhan.   "Haaah...?"   Betapa terkejutnya Lie Siu Sien ketika melihat sosok bayangan berkelebat ke dalam.   "Si... siapa?"   Sosok bayangan itu ternyata Kam Hay Thian, yang langsung bersujud di hadapan Lie Siu Sien.   "Ibu, aku Hay Thian,"   Ujarnya terisak-isak.   "Apa?"   Lie Siu Sien terbelalak.   "Engkau... engkau Hay Thian, anakku?"   "Betul, Ibu!"   Kam Hay Thian mendongakkan kepalanya, tampak air matanya meleleh. Lie Siu Sien terus memperhatikan wajah Kam Hay Thian, kemudian memeluknya erat-crat dengan air mata berderaiderai.   "Hay Thian anakku...."   Lie Siu Sien menangis tersedu-sedu saking gembiranya.   "Engkau sudah pulang, engkau sudah besar!"   "Ibu...."   Kam Hay Thian bangkit berdiri, dan juga memeluk Lie Siu Sien erat-erat dengan terus mengucurkan air mata.   "Nak!"   Lie Siu Sieri menatapnya, kemudian berseri seraya berkata.   "Tujuh tahun engkau meninggalkan ibu, kini usiamu sudah delapan belas tahun. Engkau sudah besar dan tampan, ibu gembira sekali"   "Ibu!"   Kam Hay Thian tersenyum.   "Nak, mari kita duduk!"   Lie Siu Sien lalu duduk berhadapan dengan puteranya.   "Nak, apakah engkau telah berhasil belajar ilmu sitat tinggi?"   Tanyanya.   "Aku telah berhasil, Ibu." "Oh?"   Lie Siu Sien menatapnya dalam-dalam.   "Syukurlah kalau begitu! Nak, ceritakanlah pengalamanmu!"   "Setelah meninggalkan rumah, aku menuju kota Leng An. Aku belajar ilmu silat kepada guru silat Lie. Putrinya bernama Lie Beng Cu, yang baik sekali terhadapku."   Kam Hay Thian memberitahukan sekaligus memperlihatkan cincin giok yang dipakainya.   "Cincin giok ini hadiah dari Lie Beng Cu."   "Oh?"   Lie Siu Sien tersenyum.   "Jadi engkau berguru kepada guru silat itu?"   "Ya."   Kam Hay Thian mengangguk dan melanjutkan.   "Setetah itu, aku berangkat ke markas pusat Kay Pang. Namun tanpa sengaja aku memasuki sebuah goa, dan di dalam goa itu aku menemukan dua buah kitab pusaka...."   "Oooh!"   Lie Siu Sien manggut-manggut gembira.   "Jadi engkau telah berhasil menguasai semua ilmu yang ada di dalam kedua kitab itu?"   "Ya"   "Di mana kedua kitab pusaka itu sekarang?"   "Telah kubakar, agar tidak menimbulkan bencana."   "Bagus!"   Lie Siu Sien mengangguk.   "Kalau engkau membawa kedua kitab itu, ibu pun akan menyuruhmu membakarnya.   "Ibu, kini aku telah memiliki kepandaian tinggi,"   Ujar Kam Hay Thian.   "Maka aku harus pergi mencari pembunuh ayah!"   "Ngmm!"   Lie Siu Sien manggut-manggut.   "Kapan engkau akan pergi mencari pembunuh itu?"   "Besok pagi."   "Kok begitu cepat?" "Ibu!"   Kam Hay Thian tersenyum.   "Aku cepat pergi cepat pulang, dan setelah itu, aku tidak akan meninggalkan ibu lagi."   "Baiklah."   Lie Siu Sien mengangguk lalu berpesan.   "Namun engkau harus berhati-hati, sebab pembunuh ayahmu itu berkepandaian sangat tinggi."   "Aku pasti berhati-hati, Ibu."   "Oh ya! Engkau harus mencari Tio Cie Hiong, dan mohonlah petunjuk kepadanya!"   Pesan Lie Siu Sien lagi.   "Ya, Ibu."   "Kalau sudah berhasil membunuh pembunuh ayahmu, engkau harus segera pulang, jangan terus berkecimpung dalam rimba persilatan! Oh ya. apabila engkau bertemu gadis yang cantik, harus bawa dia kemari."   "Ibu...."   Kam Hay Thian tersenyum.   "Pikiranku hanya ingin membalas dendam, bagaimana mungkin memikirkan itu?"   "Nak!"   Lie Siu Sien menatapnya dalam-dalam.   "Usiamu sudah delapan belas, tentunya akan bertemu anak gadis. Kalau kalian sudah saling mencinta, jangan lupa bawa dia pulang!"   "Ya, Ibu."   Kam Hay Thian mengangguk dengan wajah agak kemerah-merahan.   "Nak...."   Lie Siu Sien menarik nafas dalam-dalam.   "Kini legalah hati ibu, karena engkau telah memiliki kepandaian tinggi." -oo0dw0oo- Keesokan harinya, berangkatlah Kam Hay Thian pergi mencari pembunuh ayahnya. Dua hari kemudian, ia memasuki sebuah rimba. Mendadak keningnya berkerut, ternyata ia mendengar suara jeritan minta tolong. Segeralah Kam Hay Thian melesat ke arah suara jeritan itu. Ia melihat beberapa lelaki sedang berusaha memperkosa seorang wanita muda. Menyaksikan kejadian itu, mendidihlah darahnya.   "Hentikan!"   Bentaknya dengan suara mengguntur. Mendengar bentakan itu, mereka sangat terkejut dan langsung menoleh. Tetapi ketika mendapatkan kenyataan bahwa yang membentak itu seorang pemuda, mereka tertawa gelak.   "Ha ha ha! Anak muda, lebih baik engkau pergi! Jangan menganggu kesenangan kami!"   "Hmm!"   Dengus Kam Hay Thian dingin.   "Siapa kalian?"   "Mereka penjahat,"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Sahut wanita muda itu, yang pakaiannya sudah tidak karuan tersobek sana sini.   "Mereka menculikku."   "Diam!"   Bentak salah seorang penjahat itu.   "Bagus, bagus!"   Kam Hay Thian tertawa dingin.   "Ternyata kalian semua penjahat, kebetulan aku adalah Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat)!"   "Apa?"   Para penjahat itu tertegun.   "Chu Ok Hiap? Kami tidak pernah mendengar nama itu!"   "Kini kalian telah mendengar, maka ajal kalian pun telah tiba!"   Sahut Kam Hay Thian sambil menghunus pedangnya.   "Kalian bersiaplah untuk mampus!"   "Mari kita serang dia!"   Seru salah seorang dari mereka, dan seketika juga para penjahat itu menyerang Kam Hay Thian dengan pedang dan golok.   "Ha ha-ha!"   Kam Hay Thian tertawa dingin.   "Kalian semua harus mampus!"   Mendadak ia menggerakkan pedangnya untuk menangkis, dan balas menyerang menggunakan Pak Kek Kiam Hoat. Seketika hawa pun berubah dingin, kemudian terdengar suara jeritan yang menyayat hati.   "Aaaakh! Aaaakh! Aaaaakh...!"   Para penjahat itu telah roboh mandi darah, dan nyawa mereka pun melayang seketika.   Dada mereka berlubang tertembus pedang Kam Hay Thian.   Ternyata Kam Hay Thian mengeluarkan jurus Keng Thian Tung Te (Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi), yaitu salah satu jurus ilmu pedang Pak Kek Kiam Hoat.   Wanita muda itu terbelalak menyaksikannya, dan mulutnya ternganga lebar saking kagetnya.   "Kakak!"   Ujar Kam Hay Thian sambil menyarungkan kembali pedangnya.   "Kini sudah aman, kakak boleh pulang.   "Terima kasih, siauw hiap!"   Ucap wanita muda itu dan memberitahukan.   "Aku tinggal di desa yang tak jauh dan sini, bagaimana kalau siauw hiap ikut aku ke sana?"   Kam Hay Thian berpikir sejenak, setelah itu barulah ia mengangguk seraya berkata.   "Baiklah,"   Kam Hay Thian melepaskan baju luar salah seorang penjahat yang sudah jadi mayat, lalu diberikan kepada wanita muda itu.   "Pakailah baju luar ini untuk menutupi tubuhmu!"   "Terima kasih!"   Ucap wanita muda berusia dua puluhan itu dengan wajah agak kemerah-merahan. Setelah memakai baju luar, Ia segera meninggalkan rimba itu, dan Kam Hay Thian berjalan disampingnya.   "Siau-hiap, bolehkah aku tahu namamu!"   "Namaku Kam Hay Thian. Nama kakak?"   "Tan In Ngo." "Kakak In Ngo, apakah masih jauh desa tempat tinggalmu?"   "Tidak begitu jauh, sepetanak nasi lagi kita akan sampai di sana."   "Itu cukup jauh, lagi pula hari pun sudah mulai gelap,"   Ujar Kam Hay Thian dan menambahkan.   "Kakak In Ngo, aku akan menggendongmu di punggung agar kita cepat sampai di desa itu!"   "Tapi...."   Tan In Ngo merasa tidak enak, walaupun usianya lebih besar, namun ia tetap seorang wanita yang mempunyai rasa malu.   "Kakak In Ngo, jangan merasa malu, anggaplah aku adikmu!"   Ujar Kam Hay Thian sungguh-sungguh.   "Baiklah."   Tan In Ngo segera merangkul leher Kam Hay Thian.   "Rangkul erat-erat Kakak In Ngo!"   Pesan Kam Hay Thian.   "Sebab aku akan menggunakan ginkang."   "Ya,"   Tan In Ngo mengangguk.   "Jangan takut, sebab aku akan berlari cepat seka1i.   "Lebih baik pejamkan matamu!"   Ujar Kam Hay Thian.   "Ya,"   Tan In Ngo pun memberitahukan.   "Lurus saja ke depan, jangan membelok!"   "Rangkul leherku erat-erat, jangan kendur!"   Pesan Kam Hay Thian lagi.   "Dan jangan lupa pejamkan matamu!"   Begitu Tan In Ngo menyahut Ya, Kam Hay Thian mengerahkan ginkangnya, sehingga badannya melesat cepat ke depan.   Bukan main terkejutnya wanita muda itu, sebab ia merasa dibawa terbang dan telinganya pun jadi bising, karena mendengar suara desiran angin.   Berselang beberapa saat kemudian, barulah Kam Hay Thian menghentikan langkahnya, namun Tan In Ngo masih tidak berani membuka matanya, karena takut Kam Hay Thian akan berlari cepat lagi.   "Kakak In Ngo, kita sudah sampai di desa."   Kam Hay Thian memberitahukan. Tan In Ngo segera membuka matanya. Dilihatnya belasan orang sedang memandang Kam Hay Thian dengan mata terbelalak.   "Ayah! Ibu..."   Tan In Ngo berlari menghampiri kedua orang tuanya.   "In Ngo! In Ngo...."   Ibunya memeluknya erat-erat.   "Engkau tidak apa-apa?"   "Ibu...,"   Air mata Tan In Ngo meleleh.   "Aku tidak apa-apa, karena siauw hiap itu keburu muncul menolongku,"   Ujarnya.   "Terima kaSih, Siauw hiap!"   Ucap kedua orang tua Tan In Ngo.   "Paman dan Bibi, jangan memanggilku siauW hiap, namaku Kam Hay Thian,"   Sahutnya sambil tersenyum.   "Panggil saja namaku!"   "Hay Thian...."   Kedua orang tua Tan In Ngo memandangnya dengan kagum dan bersyukUr dalam hati. Sementara para penduduk desa itu mulai bermunCUlan mengerumuni Kam Hay Thian, Kemudian muncul pula kepala desa.   "Cungcu (Kepala Desa)!"   Tan In Ngo segera memberitahukan.   "Adik Hay Thian yang menolongku.   "Oh?"   Cungcu itu memandang Kam Hay Thian sambil manggut-manggut.   "Terima kaSih, Hay Thian!" "Cungcu tidak usah mengucapkan terima kasih, sebab membasmi para penjahat memang tugasku,"   Ujar Kam Hay Thian.   "Cungcu!"   Tan In Ngo memberitabukan lagi.   "Dia adalah Chu Ok Hiap."   "pendekar Pembasmi Penjahat?"   CungCU itu terbelalak karena melihat Kam Hay Thian masih muda.   "Engkau berhasil membunuh penjahat-Penjahat itu?"   "Cungcu...."   Tan In Ngo menutur tentang kejadian yang menimpanya. Penuturan itu sudah barang tentu membuat Cungcu, kedua orang tuanya dan para penduduk desa itu memandang Kam Hay Thian dengan penuh rasa kagum.   "Sungguh tak disangka!"   Ujar Cungcu sambil tersenyum.   "Usiamu masih semuda itu, tapi kepandaian sangat tinggi!"   Kam Hay Thian hanya tersenyum. Cungcu itu menatap Tan In Ngo.   "Engkau tidak apa-apa kan?"   Tanyanya dengan suara rendah.   "Para penjahat itu berusaha memperkosaku, tapi untung Adik Hay Thian keburu muncul menolongku. Kalau tidak, mereka pasti berhasil memperkosaku."   "Syukurlah engk~u selamat!"   Cungcu itu manggutmanggut, namun kemudian menghela nafas panjang.   "Mereka cuma anak buah, masih ada kepalanya,"   Katanya.   "Oh?"   Kam Hay Thian mengerutkan kening.   "Jadi para penjahat itu mempunyai pemimpin?"   "Betul,"   Cungcu itu mengangguk.   "Mereka sering kemari menculik kaum wanita, mungkin pemimpin itu akan muncul." "Kalau begitu...."   Ujar Kam Hay Thian setelah berpikir sejenak.   "Aku akan menunggu kemunculan pemimpin mereka."   "Terima kasih, terima kasih!"   Ucap Cungcu itu dengan wajah berseri, sebab memang ini yang diharapkannya.   "Kalau begini.."   Tan In Ngo memandang Kam Hay Thian.   "Bagaimana kalau engkau menginap dirumah kami?"   "Baiklah,"   Kam Hay Thian mengangguk dan menambahkan.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Sebelum membasmi habis para penjahat itu, aku tidak akan meninggalkan desa ini.   "Terima kasih, terima kasih!"   Ucap Cungcu itu dengan wajah berseri, lalu meninggalkan tempat itu.   "Adik Hay Thian, mari ikut kami ke rumah!"   Ajak Tan In Ngo.   Kam Hay Thian mengangguk, lalu mengikuti mereka menuju sebuah rumah yang sangat sederhana.   Kedua orang tua Tan In Ngo langsung memotong ayam untuk menjamu, dan tak lama kemudian muncul para pembantu Cungcu mengantarkan arak wangi.   Yang paling gembira adalah Tan In Ngo, karena dengan adanya Kam Hay Thian di rumahnya, sudah barang tentu mereka sekeluarga jadi terpandang.   Seusai bersantap, kedua orang tua Tan In Ngo masuk ke dalam untuk tidur, sedangkan Tan In Ngo masih tetap menemani Kam Hay Thian.   "Kakak In Ngo, sudah larut malam, tapi kenapa engkau belum tidur?"   Tanya Kam Hay Thian sambil memandangny.   "Aku ingin mengobrol denganmu. Boleh kan?"   Tan In Ngo tersenyum.   "Tentu boleh,"   Kam Hay Thian manggut-manggut dan tersenyum.   "Baik, mari kita mengobrol sebentar!" "Adik Hay Thian, engkau masih mempunyai orang tua?"   "Cuma mempunyal ibu, sebab ayahku telah meninggal dibunuh penjahat,"   Kam Hay Thian memberitahtikan.   "Karena itu, aku sangat membenci para penjahat."   "Oooh!"   Tan In Ngo manggut-manggUt.   "Pantas engkau tidak memberi ampun kepada para penjahat itu."   "Kalau aku mengampuni mereka, sama juga menyuruh mereka melakukan kejahatan lagi? "Adik Hay Thian!"   Tiba-tiba Tan In Ngo mengerutkan kening.   "Kepandaian pemimpin para penjahat itu sangat tinggi, engkau harus hati-hati menghadapinya,"   Ujarnya.   "Ya."   Kam Hay Thian mengangguk dan menambahkan.   "Pokoknya aku harus membunuh pemimpin penjahat itu, agar tidak mengganggu orang lagi."   "Adik Hay Thian!"   Tan In Ngo tertawa kecil.   "Karena engkau telah menolongku secara tidak langsung telah mengangkat nama keluarga kami."   "Oh, ya?"   Kam Hay Thian tersenyum.   "Biasanya para penduduk di sini tidak begitu mengacuhkan kami, apalagi Cungcu,"   Ujar Tan In Ngo.   "Namun kini sikap mereka telah berubah sama sekali, lebih baik aku memanggilmu adik."   "Oh?"   Kam Hay Thian menatapnya.   "Kenapa para penduduk desa ini tidak begitu mengacuhkan kalian?"   "Karena...."   Tan In Ngo menghela nafas.   "Kami merupakan keluarga yang paling miskin di desa ini!"   "Oooh!"   Kam Hay Thian manggut-manggut.   "Kalau begitu, aku akan secara langsung mengangkat derajat keluargamu.   "Adik Hay Thian...."   Tan In Ngo terbelalak. "Tenang!"   Kam Hay Thian tersenyum.   "Pokoknya aku mempunyai cara untuk mengangkat derajat keluargamu."   "Adik Hay Thian, terim kasih!"   Betapa terharunya Tan In Ngo. Kam Hay Thian telah menyelamatkan dirinya, bahkan kini ingin mengangkat derajat keluarganya, sudah barang tentu membuat wanita muda itu terharu sekali.   "Kakak In Ngo, engkau harus tidur, sudah lewat tengah malam,"   Ujar Kam Hay Thian.   "Bagaimana engkau?"   "Aku cukup duduk beristirahat di sini saja."   "Baiklah, aku mau tidur."   Tan In Ngo melangkah ke dalam, sedangkan Kam Hay Thian menggeleng-gelengkan kepa1a, lalu memejamkan matanya untuk tidur sejenak, heninglah suasana di rumah itu.   Ketika menjelang pagi, terdengarlah suara derap kaki kuda memasuki desa itu.   Tan In Ngo dan kedu orang tuanya segera bangun, lalu kedepan menemul Kam Hay Thian dengan wajah pucat pias.   "Adik Hay Than, pemimpin penjahat itu telah datang."   "Tenang saja!"   Sahut Kam Hay Thian dan menmbahkan.   "Aku akan pergi menyambut mereka."   "Hati-hati Adik Hay Thian!"   Pesan Tan In Ngo.   Kam Hay Thian mengangguk, lalu membuka pintu dan langsung melesat pergi.   Sementara itu sudah tidak terdengar suara derap kaki kuda lagi, ternyata kuda-kuda telah berhenti.   Tampak beberapa orang meloncat turun dari punggung kuda, yang rata-rata bertampang seram, apalagi pemimpin penjahat itu, brewok dan sebelah matanya ditutup dengan kain hitam.   "Hari ini kita harus menghabiskan para penduduk desa ini, karena beberapa anak buahku telah mati di sini!"   Seru pemimpin penjahat itu.   "Ya, Tay Ong (Raja Besar),"   Sahut belasan anak buahnya dengan serentak. Pada saat bersamaan, melayang turun seseorang sambil tertawa dingin, yang tidak lain Kam Hay Thian.   "Siapa engkau?"   Pemimpin penjahat itu terkejut.   "Aku Chu Ok Hiap!"   Sahut Kam Hay Thian.   "Beberapa anak buahmu telah mati di tanganku!"   "Jadi engkau yang membunuh mereka?"   Pemimpin penjahat itu terbelalak, karena Kam Hay Thian masih begitu muda, namun mampu membunuh beberapa anak buahnya, yang berkepandaian cukup tinggi.   "Betul!"   Sahut Kam Hay Thian sambil tersenyum dingin.   "Pagi ini kalian semua pun harus mampus!"   "Ha ha-ha!"   Pemimpin penjahat itu tertawa terbahakbahak.   "Anak muda, engkau yang akan mampus! Ayoh, cepat serang dia!"   Pemimpin penjahat itu memberi perintah kepada para anak buahnya, dan seketika itu juga para anak buahnya menyerang Kam Hay Thian dengan serentak.   Kam Hay Thian tertawa dingin sambil menghunus pedangnya, kemudian menangkis dan balas menyerang menggunakan Pak Kek Kiam Hoat, mengeluarkan jurus Keng Thian Tun Te (Mengejutkan Langit Menggetarkan Bumi).   Tampak pedangnya berkelebatan dan mengeluarkan hawa yang sangat dingin.   "Aaakh! Aaaakh! Aaaakh...!"   Terdengar suara jeritan.   Ternyata bebera~pa penjahat itu telah roboh berlumuran darah, dan nafas mereka pun putus seketika.   Kam Hay Thian tidak diam sampai di situ, tetapi menyerang lagi sisa-sisa penjahat itu dengan jurus Thian Gwa Kiam In (Bayangan Pedang Diluar Langit).   Terdengar lagi suara jeritan, sisa-sisa penjahat itu pun roboh mandi darah.   Betapa terkejutnya pemimpin penjahat itu.   Wajahnya pun sudah pucat pias.   Kam Hay Thian mengarah padanya, kemudian ujarnya dingin."Sekarang giliranmu!"   "Siauw hiap, arnpunilah aku!"   Pemimpin penjahat itu berlutut di hadapan Kam Hay Thian sambil memohon.   "Ampunilah aku...."   "Mengampunimu?"   Kam Hay Thian menatapnya dingin.   "Ya."   Pemimpin penjahat itu mengangguk perlahan.   "Engkau sering membunuh orang dan memperkosa kaum wanita, bukan?"   Tanya Kam Hay Thian sambil menatapnya tajam.   "Ya. Tapi kini aku sudah mau bertobat, sungguh!"   Pemimpin penjahat itu membentur-benturkan kepalanya di tanah.   "Siauw hiap, ampunilah aku!"   "Memang sudah waktunya engkau bertobat, selamalamanya engkau tidak akan bisa melakukan kejahatan lagi!"   Ujar Kam Hay Thian dan mendadak menggerakkan pedangnya secepat kilat.Casss! Putuslah leher pemimpin penjahat itu, dan kepalanya menggelinding bagaikan bola.Setelah para penjahat dan pemimpin penjahat itu mati, barulah Tan In Ngo dan kedua orang tuanya keluar, kemudian disusul para penduduk dan Cungcu.   "Adik Hay Thian!"   Panggi! Tan In Ngo.   "Kakak In Ngo!"   Sahut Kam Hay Thian sambil tersenyum.   "Mulai sekarang desa ini sudah aman."   Tan In Ngo mengangguk, dan Cungcu mendekati Kam Hay Thian sambil tersenyum-senyum.   "Siauw hiap, sungguh hebat engkau! Hanya seorang diri engkau mampu membunuh para penjahat dan pemimpinnya itu."   "Cungcu!"   Ujar Kam Hay Thian memberitahukan.   "Tan In Ngo adalah kakak angkatku, sudah barang tentu kedua orang tuanya juga orang tua angkatku. Mereka sangat miskin, aku harap Cungcu mau menaruh perhatian kepada mereka!"   "Tentu, tentu,"   Sahut Cungcu sambil tertawa.   "Bahkan aku pun akan memberi hadiah kepadamu."   "Hadiah itu kuterima, tapi harus diserahkan kepada kakak angkatku,"   Ujar Kam Hay Thian.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Baik, baik,"   Sahut Cungcu sambil manggut-manggut.   Apa yang diucapkan Kam Hay Thian, membuat Tan In Ngo dan kedua orang tuanya terharu sekali.   Mereka tidak menyangka sama sekali kalau Kam Hay Thian akan mengucapkan begitu dihadapan Cungcu, yang tentunya mengangkat derajat mereka, sebab Kam Hay Thian mengaku Tan In Ngo sebagai kakak angkatnya.   "Paman, Bibi, Kakak In Ngo!"   Kam Hay Thian menghampiri mereka.   "Kini desa ini telah aman, maka aku mau mohon pamit!"   "Adik Hay Thian...."   Wajah Tan In Ngo langsung berubah muram.   "Kenapa begitu cepat?"   "Aku masih ada urusan lain, maka harus segera melanjutkan perjalanan,"   Sahut Kam Hay Thian, lalu memandang Cungcu seraya berkata.   "Kuharap Cungcu menepati janji, sampai jumpa!"   Begitu Kam Hay Thian melesat pergi, Tan In Ngo berteriak memanggilnya.   "Adik Hay Thian! Adik Hay Thian...!"   Namun Kam Hay Thian sudah tidak kelihatan. Tan In Ngo pun menangis terisak-isak. Sedangkan cungcu memandang mayat-mayat para penjahat itu sambil menghela nafas panjang dan kemudian bergumam.   "Pemuda itu memang Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat), karena tiada seorang penjahat pun dibiarkan hidup."   Setelah bergumam begitu, Cungcu itu pun berkata pada para penduduk.   "Kuburkan mayat-mayat para penjahat Itu!"   Para penduduk menurut. Ketika orang tua Tan In Ngo ingin membantu, Cungcu segera mencegahnya sambil tersenyum.   "Engkau tidak usah turun tangan membantu mereka, aku ingin bercakap-cakap sebentar,"   Ujar Cungcu ramah sekali.   "Cungcu mau bercakap-cakap apa?"   Tanya ayah Tan In Ngo dengan rasa heran.   "Begini...."   Cungcu itu menghela nafas panjang.   "Selama ini aku tidak memandang kalian sama sekali, namun kalian justru tetah menyelamatkan desa ini."   "Cungcu, kami..."   Ayah Tan In Ngo tergagap.   "Bukan kami yang menyelamatkan desa ini, melainkan Chu Ok Hiap - Kam Hay Thian."   "Tapi dia anak angkat kalian, maka kalian pun berjasa dalam hal ini. Di sini aku mohon maaf kepada kalian!"   "Cungcu jangan berkata begitu, sebab membuat kami merasa malu!"   "Tadi Kam Hay Thian tetah berpesan, aku harus menaruh perhatian kepada kalian. Nah, apa permintaan kalian?~ "Tidak ada."   Ayah Tan In Ngo menggelengkan kepala.   "Kami tidak meminta apa pun. Kita semua bersyukur karena para penjahat berikut pemimpinnya telah dibasmi, kini desa kita ini sudah aman." "Aku tahu kalian bidup melarat, maka.... Tan In Ngo akan kuangkat sebagai anak angkat, bahkan aku pun akan menghadiahkan beberapa bidang sawah untuk kalian."   "Cungcu...."   Ayah dan ibu Tan In Ngo terbelalak. Begitu pula Tan In Ngo sendiri, yang tidak menyangka kalau Cungcu yang kaya raya itu akan mengangkatnya sebagai anak.   "Kalian Jangan menolak, sebab kalau kalian menolak, aku akan merasa tidak enak terhadap Kam Hay Thian,"   Ujar Cungcu sambil tertawa, kemudian berseru memberitahukan kepada para penduduk yang telah usai mengubur mayatmayat para penjahat.   "Kalian semua dengar baik-baik, mulai hari ini Tan In Ngo adalah putri angkatku! Oleh karena itu, aku akan mengadakan pesta besar-besaran hari ini, harap kalian semua hadir!"   "Terima kasih, Cungcu!"   Sahut para penduduk, lalu berkata kepada Tan In Ngo yang berdiri mematung di tempat.   "Selamat, In Ngo!"   Saking girangnya, Tan In Ngo nyaris menangis seketika.   Ia semakin terharu dan berterima kasih kepada Kam Hay Thian, sebab semua itu berkat jasa pemuda tersebut.   -oo0dw0oo- Sementara itu, di halaman istana Tayli, tampak Lam Kiong Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng duduk melamun.   "Aaaah.!"   Lam Kiong Bie Liong menghela nafas panjang.   "Sudah tujuh tahun lebih, knapa Soat Lan dan Beng Kiat masih belum pulang?"   "Aku yakin tidak lama lagi mereka akan pulang,"   Sahut Toan Wie Kie.   "Aku ingat akan ucapan Tayli Lo Ceng ketika itu, padri tua itu bilang tujuh delapan tahun, Soat Lan dan Beng Kiat pasti pulang? "Benar."   Gouw Sian Eng manggut-manggut.   "Aku pun masih ingat akan ucapan Tayli Lo Ceng itu."   "Tapi.."   Toan Pit Lian ingin mengatakan sesuatu, namun terputus mendadak karena melihat dua sosok bayangan berkelebat ke arah mereka "Ayah! Ibu!"   Terdengar pula suara seruan.   "Soat Lan?"   Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian terbelalak.   "Beng Kiat?"   Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng juga terbelalak. Kedua sosok bayangan itu ternyata Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, yang tidak mereka duga sama sekali.   "Ayah, Ibu!"   Lam Kiong Soat Lan langsung mendekap di dada Toan Pit Lian.   "Ayah, Ibu!"   Toan Beng Kiat bersujud dihadapan kedua orang tuanya.   "Soat Lan...."   Toan Pit Lian memeluknya erat-erat, sedangkan Lam Kiong Bie Liong tidak henti-hentinya membelai putrinya.   "Nak!"   Gouw Sian Eng segera membangunkan Toan Beng Kiat dengan mata basah.   "Engkau...engkau sudah pulang...."   "Ibu, aku sudah pulang."   "Nak!"   Toan Wie Kie membelainya. tidak menyangka engkau sudah besar."   "Ayah...."   Toan Beng Kiat tersenyum.   "Oh ya!"   Tanya Toan Wie Kie.   "Kok Tayli Lo Ceng tidak kemari?"   "Guru mengantar kami sampal di daerah Tayli, lalu pergi,"   Jawab Toan Beng Kiat memberitahukan. Sementara Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian juga tak henti-hentinya bercakap-cakap dengan putri mereka.   "Soat Lan!"   Toan Pit Lian menatapnya sambil tersenyum.   "Engkau sudah besar dan cantik sekali, ibu merasa puas dan bangga.   "Soat Lan!"   Ujar Lam Kiong Bie Liong sambil tersenyum.   "Ayah yakin, kepandaianmU pasti sudah tinggi sekali"   "Kira-kira begitulah, Ayah,"   Sahut Lam Kiong Soat Lan sambil tersenyum manis dan melanjutkan.   "Kini aku dan Beng Kiat telah menguasai seluruh ilmu yang dimiliki guru.   "Syukurlah!"   Lam Kiong Bie Liong tertawa gembira kemudian berseru.   "Wie Kie, mari kita ajak mereka menemui Hong Ya!"   "Baik."   Toan Wie Kie mengangguk. Mereka semua lalu memasuki ruang tengah. Kebetulan Toan Hong Ya dan Hujin sedang duduk di situ sambil bercakap-cakap. Ketika melihat Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat, mereka terbelalak.   "Soat Lan? Beng Kiat?"   Gumam Toan Hong Ya.   "Kakek, Nenek!"   Lam Kiong Soat Lan dan Beng Kiat segera bersujud. Betapa gembiranya Toan Hong Ya dan Hujin. Mereka berdua terus tertawa gembira.   "Kalian bangunlah!"   Ujar Toan Hong Ya.   "Ya,"   Lam Kiong Soat Lan dan Toang Beng Kiat segera bangkit berdiri.   "Ayohlah! Kalian semua duduk saja, jangan terus berdiri!"   Ujar Toan Hong Ya sambil tertawa-tawa. Mereka segera duduk. Toan Beng Kiat menengok kesanakemari seakan sedang mencari sesuatu.   "Dimana kakek tua? Kok tidak berada disini?"   Tanyanya.   "Nak,"   Sahut Gouw Sian Eng sambil menghela nafas panjang.   "Kakek tuamu telah meninggal!"   "Apa?"   Toan Beng Kiat terkejut dan matanya mulai basah.   "Kapan kakek tua meninggal?"   "Dua tahun yang lalu,"   Sahut Gouw Sian Eng.   "Aaaakh...!"   Keluh Toan Beng Kiat.   "Tak disangka aku tidak akan bertemu kakek tua!"   Sementara Lam Kiong Soat Lan juga menengok kesana kemari dengan penuh rasa heran, karena dan tadi tidak melihat Lam Kiong hujin, neneknya.   "Ayah, di mana nenek? Kok tidak muncul?"   Tanya gadis itu.   "Nenekmu telah meninggal,"   Sahut Lam Kiong Bie Liong sanibil menghela nafas panjang.   "Haah...?"   Lam Kiong Soat Lan langsung menangis terisakisak.   "Kapan nenek meninggal?"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Dua tahun yang lalu,"   Lam Kiong Bie Liong memberitahukan dengan wajah murung.   "Nenek meninggal karena sakit?"   Tanya Lam Kiong Soat Lan. Lam Kiong Bie Liong, Toan Pit Lian, Toan Wie Kie dan Gouw Sian Eng segera memandang Toan Hong Ya.   "Beritahukanlah kepada mereka!"   Ujar Toan Hong Ya. Lam Kiong Bie Liong mengangguk, lalu memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Soat Lan, nenekmu dan Tui Hun Lojin meninggal karena dibunuh orang." "Apa?"   Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat terkejut bukan main, dan wajah pun tampak sedih.   "Siapa pembunuh itu?"   "Entahlah,"   Lam Kiong Bie Liong menggelengkan kepala.   "Ayah,"   Tanya Toan Beng Kiat.   "Bagaimana kejadian itu? Bolehkah Ayah menuturkannya?"   "Kejadian itu...."   Toan Wie Kie menutur dan menambabkan.   "Kakekmu yang kemari memberitahukan."   "Ayah! Aku barus membalas dendam!"   Ujar Toan Beng Kiat dengan berkertak gigi.   "Aku juga!"   Sambung Lam Kiong Soat Lan.   "Kalian...."   Toan Hong Ya menggeleng-gelengkan kepala.   "Bagaimana mungkin kalian membalas dendam, sebab tidak tahu siapa pembunuhnya?"   "Kami akan menyelidikinya,"   Ujar Toan Beng Kiat sungguhsungguh.   "Nak!"   Toan Wie Kie menggeleng-gl!engkan kepala.   "Kalian berdua masih kecil, lagi pula belum berpengalaman dalam rimba persilatan."   "Kalau begitu, apakab kita harus diam saja?"   Tanya Toan Beng Kiat dengan kening berkerut.   "Ayah, kami sudab tidak kecil, usia kami sudah enam belas, lagi pula kepandaianku cukup tinggi."   "Nak,"   Ujar Gouw Sian Eng.   "Kalian tidak boleh pergi menuntut balas, sebab semua itu urusan kami."   "Juga urusanku,"   Toan Beng Kiat berkeras.   "Sama,"   Sambung Lam Kiong Soat Lan.   "Beng Kiat, biar bagaimana pun kita harus pergi menyelidiki pembunuh Itu."   "Betul,"   Toan Beng Kiat mengangguk. "Eh?"   Toan Hong~Ya menatap mereka tajam.   "Kenapa kalian berdua tidak mau menuruti perkataan orang tua?"   "Kakek, kami"   Toan Beng Kiat menundukkan kepala.   "Nak,"   Ujar Toan Wie Kie lembut.   "Tentang ini akan kita bicarakan lagi nanti, karena kalian berdua baru pulang hari ini."   "Ya, Ayah,"   Toan 8eng Kiat mengangguk.   "Beng Kiat!"   Lam Kiong Soat Lan teringat sesuatu. Bukankah guru menitip sepucuk surat untuk kakek? "Ya,"   Toan Beng Kiat segera mengeluarkan sepucuk surat lalu diberikan kepada Toan Hong Ya. Toan Hong Ya menerima surat itu, lalu dibacanya. Surat tersebut berbunyi demikian.   "Toan Hong Ya. 'Semua urusan harus diserahkan kepada kedua muridku, biar mereka ke Tionggoan. Namun ingat, yang lain tidak boleh ikut, sebab akan membahayakan nyawa mereka' Tayli Lo Ceng."   "Ayah,"   Tanya Toan Wie Kie.   "Apa yang ditulis Tayli Lo Ceng?"   "Bacalah sendiri!"   Sahut Toan Hong Ya sambil memberikan surat itu kepada putranya. Toan Wie Kie menenima surat itu, kemudian dibacanya dengan kening berkerut-kerut.   "Kakak"   Toan Pit Lian menatapnya "Bagaimana bunyi surat itu?"   "Bacalah!"   Toan Wie Kie memberikan surat itu kepada adiknya. Lam Kiong Bie Liong juga ikut membaca, dan keningnya pun berkerut-kerut.   "Siapa yang dimaksudkan Yang lain itu?"   Tanyanya. "Tentunya kita berempat,"   Sebut Toan Wie Kie.   "Heran?"   Gumam Toan Pit Lian.   "Kenapa padri tua itu menyuruh Soat Lan dan Beng Kiat ke Tionggoan, sedangkan kita dilarang ikut?"   "Kalian dengar baik-baiki"   Ujar Toan Hong Ya.   "Berhubung Tayli Lo ceng menulis begitu, hatiku pun jadi lega."   "Jadi Ayah mengijinkan Beng Kiat dan Soat Lan berangkat ke Tionggoan untuk menyelidiki pembunuh itu?"   Tanya Toan Wie Kie.   "Ya,"   Toan Hong Ya manggut-manggut.   "Sebab ayah mempercayai padri tua itu, maka kalian pun barus menuruti pesannya? "Tapi...."   Toan Wie Kie mengerutkan kening.   "Engkau tidak mempercayai Tayli Lo Ceng?"   Toan Hong Ya menatapnya tajam sambil melanjutkan.   "Kita tahu jelas, bahwa padri tua itu ahli dalam hal meramal. Jadi kalian berempat tidak boleh ragu."   Mereka berempat saling memandang, lama sekali barulah Toan Pit Lian membuka mulut.   "Ayah telah mengambil keputusan, bahwa Soat Lan dan Beng Kiat boleh berangkat ke Tionggoan menyelidiki pembunuh itu?"   "Betul"   "Kami...."   "Kalian berempat tidak boleh ikut,"   Tegas Toan Hong Ya.   "Padri tua telah berpesan demikian, maka kalian berempat harus mentaatinya."   "Ayah...."   Toan Wie Kie mengernyitkan kening. "Kalau kalian betempat berani melanggar pesan layli Lo ceng, maka selamanya jangan memanggilku ayah lagi!"   Ujar Toan Hong Ya sungguh-sungguh.   "Ya, Ayah."   Toan Wie Kie mengangguk Sedangkan Gouw Sian Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian diam saja.   "Ayah, bagaimana kematian kakek tua?"   Tanya Toan Beng Kiat.   "Sama seperti Lam Kiong hujin,"   Toan Wie Kie memberitahukan.   "Sekujur badan mereka hangus terkena semacam ilmu pukulan yang mengandung api.   "Kalau begitu, tidak suilt bagi kami menyelidiki pembunuh itu,"   Ujar Toan Beng Kiat.   "Ayah, kami akan tinggal di sini sebulan, lalu berangkat ke Tionggoan."   "Tapi...."   Toan Wie Kie menggeleng-gelengkan kepala.   "Ayah, itu adalah pesan dan guru kami. Maka aku harap Ayah jangan melanggarnya!"   Ujar Toan Beng Kiat.   "Benar,"   Sela Lam Kiong Soat Lan.   "Itu adalah pesan guru kami, jadi kami barus mentaatinya"   "Baik,"   Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong manggutmanggut.   "Kalian boleh berangkat ke Tionggoan, asal kalian mampu mengalahkan kami berdua."   "Ayah...."   Toan Beng Kiat terbelalak, begitu pula Lam Kiong Soat Lan.   "Kenapa harus begitu?"   "Kami harus menguji kepandaian kalian. Apabila kalian mampu mengalahkan kami, pertanda kalian memang telah berkepandaian tinggi,"   Sahut Toan Wie Kie sungguh-sungguh.   "Maaf, Ayah!"   Ucap Toan Beng Kiat.   "Terus terang, kami takut salah tangan. Lebih baik kami mempertunjukkan kepandaian kami saja." "Itu memang baik sekali,"   Sahut Toan Hong Ya sambil tertawa.   "Nah, kalian berdua boleh mulai?"   "Soat Lan,"   Ujar Toan Beng Kiat sambil bangkit berdiri.   "Aku duluan mempertunjukkan kepandaianku."   "Silakan!"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Lam Kiong Soat Lan tersenyum.   Toan Beng Kiat berjalan ke tengah-tengah ruangan.   Kemudian setelah memberi hormat, Ia mulai mengerahkan Kim Kong Sin Kang (Tenaga Sakti Cahaya Emas), dan seketika sekujur badannya memancarkan cahaya keemasan.   Toan Hong Ya dan lainnya terbelalak.   Di saat bersamaan mulailah Toan Beng Kiat mempertunjukkan Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga Belas Jurus Pukulan Cahaya Emas).   Sepasang tangannya berkelebat laksana kilat, dan memancarkan cahaya kekuningkuningan.   Betapa kagumnya Toan Hong Ya dan lainnya ketika menyaksikan ilmu pukulan itu.   Mereka terbelalak dengan mulut ternganga lebar.   "Sungguh di luar dugaan!"   Bisik Toan Wie Kie kepada Lam Kiong Bie Liong.   "Kelihatannya kepandaian Beng Kiat jauh di atas kita."   "Benar,"   Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut.   "Heran! ilmu pukulan apa itu? Kok memancarkan cahaya kekuningkuningan?"   "Entahlah!"   Toan Wie Kie menggelengkan kepala.   Sementara Gouw Sian Eng dan Toan Pit Lan menyaksikan sambil manggut-manggUt, dan wajahnya pun tampak berseri.   Berselang beberapa saat, barulah Toan Beng Kiat berhenti, dan kembali ke tempat duduknya.   Menyusul adalah giliran Lam Kiong Soat Lan mempertunjukkan kepandaiannya, dengan mempertunjukkan Kim Kong Cap Sah Ciang.   Lam Kiong Bie Liong dan Toan Pit Lian menyaksikannya sambil tersenyum-senyUm, mereka kelihatan gembira sekali.   Setelah Lam Kiong Soat Lan berhenti, Lam Kiong Bie Liong segera bertanya sambil tertawa gembira.   "Soat Lan, ilmu pukulan apa itu?"   "Itu adalah ilmu pukulan Kim Kong Cap Sah Ciang,"   Lam Kiong Soat Lan memberitahukan.   "Ilmu simpanan guru kami."   "Oooh!"   Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut.   "Oh ya, kenapa kalian berdua tidak menggunakan senjata?"   "Kata guru, kami tidak perlu menggunakan pedang,"   Jawab Lam Kiong Soat Lan melanjutkan.   "Sebab ilmu pukulan itu dapat menangkis senjata apa pun."   "Oh?"   Lam Kiong Siok Liong terbelalak.   "Kalian tidak belajar ilmu lain lagi kepada guru kalian?"   "Guru juga mengajar kami Thian Liong Kiam Hoat dan Ciang Hoat,"   Lam Kiong Soat Lan memberitahukan.   "Bahkan juga mengajar kami berbagai macam ilmu pedang dan pukulan."   "Oooh!"   Lam Kiong Bie Liong manggut-manggut.   "Kami belajarHud Bun Pan Yok Sin Kang,"   Tambah Toan Beng Kiat.   "Setelah itu barulah belajar Kim Kong Sin Kang."   "Kata guru, apabila Kim Kong Sin Kang kami telah mencapai tingkat teratas, maka kami pun tidak mempan dibacok dan tidak takut racun apa pun,"   Sambung Lam Kiong Soat Lan.   "Itu... itu adalah Kim Kong Put Huai,"   Ujar Lam Kiong Bie Liong terbelalak dan melanjutkan.   "Sungguh beruntung kalian memperoleh ilmu itu!" "Ayah!"   Lam Kiong Soat Lan bertanya sambil tersenyum.   "Tentunya Ayah tidak akan melarang kami ke Tionggoan, bukan?"   "Ya."   Lam Kiong Bie Liong mengangguk.   "Ayah...."   Toan Beng Kiat memandang ayahnya.   "Tentunya ayah juga tidak berkeberatan,"   Sahut Toan Wie Kie cepat.   "Namun biar bagaimanapun, kami harus membekali kalian masing-masing sebilah pedang."   "Terima kasih, Ayah!"   Ucap Toan Beng Kiat girang.   "Oh ya!"   Lam Kiong Soat Lan teringat sesuatu dan memberitahukan.   "Guru tidak mengajar Kim Kong Sin Kang dan Kim Kong Cap Sah Ciang pada Lie Man Chiu."   "Oh?"   Lam Kiong Bie Liong dan Toan Wie Kie saling memandang.   "Kenapa begitu?"   "Kata guru, Lie Man Chiu...."   Lam Kiong Soat Lan tertawa kecil.   "Maaf, aku telah melupakan apa yang dikatakan guru!"   "Beng Kiat, engkau ingat?"   Tanya Toan Wie Kie.   "Aku pun telah lupa, Ayah,"   Jawab Toan Beng Kiat.   "Sudahlah!"   Lam Kiong Bie Liong tersenyum.   "Itu tidak perlu diingat. Mulai sekarang kami akan menceritakan pada kalian mengenai rimba persilatan, sebab sebulan kemudian, kalian berdua akan berkecimpung dalam rimba persilatan Tionggoan."   "Terima kasih, Ayah!"   Ucap Lam Kiong Soat Lan. Sebulan kemudian, barulah Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan berangkat ke Tionggoan menuju markas pusat Kay Pang. -oo0dw0oo      Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com   / Bagian ke Lima belas Bertemu ketua Tiong Ngie Pay Setelah meninggalkan markas pusat Kay Pang, Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanannya dengan tujuan mencari pembunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin.   Dua hari kemudian, di saat ia sedang melangkah perlahan di jalan yang sepi, mendadak muncul beberapa orang, yang kemudian memberi hormat kepadanya.   "Maaf!"   Ucap salah Seorang dan mereka dengan ramah.   "Kami telah mengganggu perjalananmu, Giok Siauw Sin Hiap!"   "Kalian...."   Tio Bun Yang memandang mereka.   "Ada urusan apa?"   "Ketua kami mengundang Anda ke markas!"   "Siapa ketua kalian?"   "Setelah bertemu, Anda pasti mengetahuinya. Kami adalah anggota Tiong Ngie Pay."   "Oooh!"   Tio Bun Yang manggut-manggut.   "Harap Anda ikut kami!"   "Baik,"   Tio Bun Yang lalu mengikuti mereka. Berselang beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di suat tempat yang sangat sepi, dan di sana tampak sebuah bangunan tua berdiri kokoh.   "Harap Anda mengikuti langkah kami!"   Kata orang itu.   "Sebab di tempat ini telah dipasang berbagai macam jebakan."   "Ooooh!"   Tio Bun Yang menengok ke sana ke mari.   Ia memang mengerti tentang jebakan, sebab Tio Cie Hiong, ayahnya pernah memberitahukan kepadanya.   Mendadak ia mendengar suara seruan yang sambung menyambung.   "Giok Siauw Sin Hiap telah tiba! Giok Siauw Sin Hiap telah tiba! Giok Siauw Sin Hiap telah tiba!"   Kemudian muncul beberapa orang tua, yang kemudian menyambut Tio Bun Yang dengan hormat.   "Silakan masuk, Giok Siauw Sin Hiap!"   Ujar mereka serentak.   "Terima kasih!"   Tio Bun Yang melangkah kedalam Ketika sampai di ruang tengah, ia melihat seorang wanita duduk di situ ia terbelalak dan berseru tak tertahan.   "Bibi Suan Hiang!"   "Bun Yang."   Yo Suan Hiang segera mendekatinya.   "Giok Siauw Sin Hiap ternyata adalah engkau, bahkan engkau pun pernah menolong belasan anggotaku pula"   "Tidak salah dugaan kakekku,"   Ujar Tio Bun Yang.   "Ketua Tiong Ngie Pay adalah Bibi"   "Bun Yang!"   Yo Suan Hiang menatapnya dengan rasa kagum "Tujuh tahun lebih bibi tidak melihatmu, sungguh tak disangka kini engkau telah besar dan sangat tampan pula."   "Bibi "Wajah Tio Bun Yang kemerah-merahan "Kauw-heng,"   Tanya Yo Suan Hiang kepada monyet bulu putih yang duduk di bahu Tio Bun Yang.   "Apa kabar? Baik-baik saja, bukan?"   Monyet bulu putih bercuit tiga kali sambil manggutmangggut.   "Oooh! Kauw-heng baik-baik saja!"   Ujar Yo Suan Hiang sambil tersenyum, kemudian memperkenalkan orangorangnya kepada Tio Bun Yang.   "Mereka adalah Tan Ju Liang wakil ketua Lim Cin An pelaksana hukum dan Cu Tiang Him kepala para anggota Tiong Ngie Pay"   "Oooh!"   Tio Bun Yang segera memberi hormat kepada mereka, dan seketika mereka pun balas memberi hormat kepadanya.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Perlu kalian ketahui, Bun Yang adalah putra kesayangan Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong, sedangkan ibunya adalah putri kesayangan Lim Peng Hang, ketua Kay Pang."   Yo Suan Hiang memberitahukan. Betapa terkejutnya Tan Ju Liang, Lim Cin An dan Cu Tiang Him, dan mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata terbelalak.    Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini