Ceritasilat Novel Online

Seruling Samber Nyawa 1


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 1


Seruling Samber Nyawa Karya dari Chin Yung   Bu Lim Su Cun Karya . Chin Yung *** (*   Jilid 01 Malam telah larut, musim rontok menjelang habis, puncak Tay-soat san nan abadi ditaburi salju yang membeku, Diatas ngarai bersalju di puncak pegunungan yang jarang diinjak kaki manusia, terlihat sinar pelita kalap-kelip ditengah kabut tebal yang mengembang datar diatas permukaan bumi.   Sebuah gubuk reyot dibangun diatas ngarai itu terbungkus oleh kembang salju, sinar pelita kelap-kelip itu tersorot keluar dari gubuk reyot melalui celah-celah jendela.   Kesunyian mencekam alam sekelilingnya dibawah cahaya pelita yang remang-remang menyinari keadaan prabot dan suasana yang yang sederhana dalam gubuk reyot itu, menghadapi pelita kecil diatas meja duduklah dua orang berhadapan keduanya membisu sekian lamanya.   Seorang yang duduk diatas adalah seorang nyonya cantik yang menyanggul rambat diatas kepalanya, pada wajahnya yang cantik itu terunjuk rasa masgul dan penuh gelisah, matanya mendelong memandangi pelita entah apa yang tengah direnungkan, seorang lain yang duduk di hadapanaya adalah pemuda yang berusia empat-lima belas tahun berwajah putih cakap.   Dengan mendelong ia awasi wajah si nyonya yang dirundung kesedihan itu, diapun membisu, tak berani bersuara.   Suasana yang sunyi ini sangat menekan perasaan.   Angin malam yang dingin diatas puncak pegunungan terdengar menderu-deru di luar gubuk, sinar pelita bergoyang-goyang hampir padam, tiada terdengar lagi suara lain.   "Ibu..."   Akhirnya pemuda yang mengenakan jubah putih panjang itu membuka suara.   "Beberapa hari ini kau kelihatan tidak tenang, adakah sesuatu yang mengganjal dalam hatimu ataukah badanmu kurang sehat?"   Setelah diberondong pertanyaan panjang lebar baru si nyonya kelihatan terbangun dari lamunan, sahutnya lemah lembut.   "Giok-liong, apa yang kau katakan?"   "Ibu, apakah berapa hari ini badanmu kurang sehat ?"   "Hus, anak bodoh, jangan sembarangan omong. Bukankah ibumu baik-baik saja."   "Tidak bu, Giok-liong tahu pasti kau terkenang lagi akan ayah."   Si nyonya tertawa dibuat-buat, lalu menghela napas dengan masgul tanpa membuka suara lagi.   "Bu, jikalau hatimu kurang enak, besok kita keluar tinggalkan tempat ini untuk menghibur diri, dari pada kita selalu berdiam ditempat sunyi yang jarang diinjak manusia."   Sekali lagi si nyonya mengunjuk tawa dipaksa, sahutnya selengan berbisik.   "Ya, memang kita harus meninggalkan..."   Sampai disini sengaja ia memutar kepala untuk menitikkan dua butir air mata diatas lengan bajunya.   "Hm, bu sungguh menyenangkan kita sudah puluhan tahun tidak pernah keluar..."   Memang sejak kecil ia sudah di sekam diatas ngarai bersalju ini, kini setelah mendengar ibunya melulusi untuk meninggalkan tempat yang sunyi dan menyebalkan ini tanpa terasa ia berjingkrak kegirangan, tapi secepat itu ia lantas berdiri termangu melihat sikap ibunya yang kurang wajar itu.   kata-katanya selanjutnya lantas ditelan kembali, pandangannya penuh tanda tanya, katanya bertobat .   "Bu, Giok-liong memang tidak berbakti sampai melukai hatimu, Bu, jangan kau bersedih hati, untuk selanjutnya Giok-ilong tidak berani lagi."   Perlahan-lahan si nyonya angkat kepala, diulurkan tangannya yang putih lembut mengusap-ngusap pundak Giok liong, dengan sorot mata yang penuh cinta kasih dan sayang ia awasi wajah anaknya, lalu ia tertawa getir dan berkata halus.   "Nak, seumpama kau seorang diri harus meninggalkan tempat ini, dapatkah kau menjaga dirimu baik-baik?"   Giok-liong tersendat oleh pertanyaan yang mendadak ini, sejenak ia tertegun lalu menggeleng kepala, sahutnya.   "Bu, jika kau tidak pergi, Giok-liong juga tidak mau pergi."   Si nyonya menghela napas panjang yang rendah, pandangannya penuh kasih sayang. Keadaan dalam gubuk tenggelam lagi dalam kesunyian yang menekan perasaan, Akhirnya Giok-liong pula yang memecahkan kesunyian ini.   "Bu, sebetulnya dimanakah ayah berada ? Kenapa dia tidak pernah kembali ?"   Tiada jawaban.   "Bu, beritahulah kepadaku, bukankah Giok-liong sudah besar sampai nama ayahnya sendiri juga tidak mengetahui, kemana pula dia pergi aku juga tidak tahu ...   "   "Ai, memang sengaja tidak kuberitahu."   "Bu, kenapa kau selalu menyimpan rahasia ini ? Kau larang aku meninggalkan ngarai ini meskipun hanya satu tindak pun, sampai turun gunung untuk membeli segala keperluan juga tidak boleh ikut, Aku sudah belajar silat selama sepuluh tahun, bekal untuk menjaga diri kukira sudah lebih dari cukup..."   Saat itu tampak wajah si nyonya jelita itu mengunjuk mimik aneh yang sudah diraba, bukan saja masgul gelisah juga rada lega dan riang. Tapi kedua matanya yang indah itu berlinang air mata. Giok-liong tercengang, sambungnya.   "Bu besok juga kita turun gunung untuk mencari ayah ..."   Mendadak wajah si nyonya berubah membeku dan mengunjuk sikap tegas, terdengar ia berkata dengan suara dingin dan tenang.   "Nak, ibu boleh memberi tahu, tapi kau harus dapat memenuhi permintaan ibu."   "Baik bu, apapun yang kau katakan, pasti akan kulakukan."   "Nak, ayahmu terbokong dan dikepung serta dikeroyok oleh musuh-musuhnya sampai menderita luka berat, untung dia masih sempat melarikan diri sampai dirumah, setelah lukanya sedikit baikan, kita lantas memboyong kau pindah ke tempat ini, untuk menghindarkan pengejaran musuh-musuhnya supaya tidak mengancam keselamatan kita ibu beranak, maka dia segera tinggal pergi lagi seorang diri... pergi ..pergi ke Lembah putus nyawa..."   Berkata sampai disitu terasa hatinya pilu air matanya tak tertahan lagi mengalir dengan deras! Kontan Giok-liong merasa pandangannya berkunangkunang, seperti kepalanya dipukul godam, badan juga sempoyongan sekuat tenaga ia menghimpun semangat menguatkan hati, tanyanya.   "Bu, maksudmu ayah pergi ke Lembah putus nyawa yang tidak bakal dapat kembali lagi ?"   "Ya,"   Sahut ibunya sambil merogoh keluar sapu tangan sutra untuk mjmbasut air matanya, lalu sambungnya lagi.   "IImu silat ayahmu bukannya tidak tinggi, dik alangan Kangouw dia mempunyai kedudukan tinggi dan sangat disegani tapi tak urung masih dapat dilukai orang sedemikian rupa, Tujuannya menuju ke Lembah putus nyawa adalah untuk mencari pelajaran silat yang maha tinggi, tapi ... dia ..takkan kembali lagi ...   "   Tak tertahan air mata menderai lagi membasahi pipinya. Giok-liong seorang bocah yang sejak kecil telah kehilangan kasih sayang dari ayahnya sekarang wajahnya mengunjuk sikap tegas dan penuh ketekadan, tanyanya kalem.   "Bu, siapakah musuh besar ayah itu?"   "Ai, sebelum pergi ayahmu pernah berkata.   "jikalau setelah lima tahun dia tidak kembali, dia minta aku menjaga dan mengasuh kau baik-baik seumpama dapat mempelajari ilmu maha sakti, maka kau diharuskan menuju kemata air di rawa naga berbisa yang terletak di Bu ki-san untuk mengambil se   Jilid buku peninggalannya, buku itu berisi keterangannya yang jelas ! Tapi dia juga berkata, jikalau kau tidak dapat mempelajari ilmu tinggi maka dia minta aku tidak usah memberi tahu namanya kepadamu untuk menghindari bencana yang mungkin bisa mencabut nyawamu."   "Bu..."   "Maka sekarang belum saatnya aku memberi tahu nama ayahmu. Kecuali kau sudah dapat turun kedalam rawa naga beracun itu dan mengambil buku peninggalannya itu, Tapi ketahuilah bahwa air rawa naga beracun itu dingin sekali bisa menusuk tulang, bulu burung juga akan tenggelam ke dasar air yang sangat dalam itu, Betapapun sebelum ilmu silatmu dapat mencapai tingkat tertinggi, kau takkan mampu turun kesana."   "Bu, dapatkah kau sendiri turun kesana ?"   Giok Liong tahu bahwa ilmu silat ibunya sangat tinggi, pelajaran silat dan Lwe-kang yang dipelajari itu juga ibunya sendiri yang langsung menurunkan kepada dirinya.   Menurut tutur ibunya, dengan bekal pelajaran yang telah dipelajari selama sepuluh tahun ini, tokoh kelas satu di Kangouw juga belum tentu dapat mengalahkan dirinya, Tapi kenyataan bahwa dirinya tidak mampu melawan ibunya dalam sepuluh jurus saja.   Maka dalam kesannya, pasti ilmu silat ibunya itu sangat tinggi dan sudah diukur Iagi.   "Ai, jika ibumu ada kemampuan itu, siang-siang aku sudah kesana, seumpama sepuluh lipat lagi lebih lihay dari kepandaian ibumu sekarang, juga belum tentu dapat menyelam kedasar rawa naga beracun itu."   Keterangan ibunya ini seumpama air dingin yang diguyurkan keatas kepalanya, hatinya yang telah membara dan penuh ketekatan tadi mulai tenggelam dan padam, tapi Giok liong adalah pemuda yang berwatak keras, sebentar dia merenung, lalu angkat kepala dan bertanya lantang.   "Bu, ilmu silat dari Lembah putus nyawa itu apa tiada bandingannya diseluruh jagat ini ?"   "lni ... ibumu juga tidak kurang terang, Dalam jangka ratusan tahun ini, benggolan pertama dari aliran hitam yaitu Sim-hiat-ling Toan-bok ki, pendekar aneh dari laut utara Withian- khek Ma Hua dan ayahmu serta tiga empat puluh orang lainnya yang pernah masuk kesana tiada seorangpun yang kelihatan dapat keluar ..."   Sampai disini mendadak tergetar, lalu sambungnya lagi.   "siapapun tiada yang tahu apakah didalam Lembah putus nyawa itu benar-benar ada harta karun, bahan obat-obatan yang mustajab serta pelajaran silat maha tinggi, Mungkin itu merupakan tipu muslihat atau perangkap, kelak sekali-kali kau jangan pergi kesana, Kalau tidak, keluarga Ma kita hanya tinggal kau seorang, janganlah sampai putus turunan."   "Oh, bu, jadi ayah dan aku sama-sama anak tunggal ?"   "Ai, ayahmu memang seorang anak tunggal sedang kau masih mempunyai seorang adik kandung, dia bernama Ma Giok-hou, tapi adikmu itu hilang sebelum berusia satu bulan." "Bu, bolehkah Giok-liong mengetahui namamu ?"   "Memang kau belum tahu nama ibumu tapi ibu juga belum mau memberitahukan. Nanti setelah kau mampu menyelam ke dasar rawa naga beracun itu, segala-galanya kau akan paham !"   Setelah berkata pelan-pelan ia bangkit terus berjalan keluar pintu, disini ia berdiri dan termangu-mangu memandang keluar.   Betapa tidak hati Giok-ling takkan mendelu dan murung, sebagai seorang putra ternyata sampai nama bundanya tidak diketahui sungguh sangat memalukan.   Hatinya terasa pilu laksana digigit ular berbisa, Tak terasa air mata meleleh berderai menetes ke tanah.   "Nak, apakah kau mau dengar nasehat ibu ?"   Terdengar si nyonya berkata lembut sambil memutar tubuh.   "Aku patuh akan pesan ibu!"   "Baik, bawalah batu kumala ini pergi ke Ih-hun-sam cheng di daerah Lok tiong menemui Toan-bok Ih-hun, Mintalah kepadanya untuk mencarikan guru kenamaan untuk belajar silat maha tinggi, Kalau sepanjang jalan ini kau menemui rintangan tunjukanlah batu kumala ini, pasti kau dapat leluasa dan mendapat bantuan diperjalanan."   "Bu, lebih baik besok pagi kita pergi bersama !"   "Tidak, kau pergi seorang diri, sekarang juga harus berangkat."   "Tidak, kalau ibu tidak berangkat, aku juga tidak pergi, Aku segan berpisah dengan ibu."   Air muka si nyonya mendadak merengut gusar, desisnya.   "Kau harus segera pergi!"   Saking kaget Giok-liong sampai tertegun.   Sejak ia mempunyai ingatan dan dapat berpikir mereka ibu beranak hidup tentram dan saling kasih sayang, belum pernah ibunya selama ini mengeluarkan makian dan berlaku galak terhadap dirinja, entahlah mengapa malam ini...   "Perbekalan sudah kusiapkan, sebagai seorang putra yang baik, kau harus ingat dan menurut kata-kata ibu!"   "Ibu. kau ...."   "Masih ada suatu urusan yang harus ku urus, setelah urusan itu selesai aku juga segera menyusul ke In-hun-samcheng, atau mungkin juga sementara waktu aku tidak datang."   Habis berkata ia menghampiri pembaringan mengambil sebuah buntalan kecil.   Dalam sekejap mata itulah dia telah meneteskan air mata yang mengembeng dikelopak matanya, Lalu dirogohnya keluar sebuah batu kumala yang bewarna merah maron, sekali berkelebat kembali kehadapan Giok-liong.   Diikatnya buntalan itu dipunggung Giok liong serta mengkalungkan batu kumala itu dilehernya, Tak lupa dipakai juga sebuah jubah panjang warna putih sambil katanya lembut.   "Nak, ibu tak berada disisimu, kau harus jaga dirimu sendiri"   Suaranya tersendat dan tak kuat diucapkan lagi.   Betapapun sebetulnya Giok-liong sangat tidak rela disuruh pergi, Tapi dia adalah seorang anak yang sangat berbakti terhadap orang tua, selamanya belum pernah dia membangkang terhadap ucapan ibunya, maka sambil mengembang air mata, katanya memohon.   "Bu, Giok-liong menunggu kau saja untuk pergi bersama. .."   "Jangan, sekarang juga kau harus berangkat."   Sambil berkata sedikit menggunakan tenaga sekali jinjing tubuh Giok-liong diseretnya keambang pintu, sedang tangan yang lain segera membuka pintu, Angin badai disertai bunga salju segera menghembus keras masuk kedalam rumah.   Keadaan alam diluar adalah sedemikian dingin dan gelap, Tanpa terasa air mata Giok liong mengalir semakin deras.   Sedetik sebelum berangkat ini mendadak terasa suatu pirasat jelek dalam hati kecilnya, berpaling ia memandangi wajah ibunya yang telah membesarkan dirinya selama puluhan tahun ini, mohonnya sekali lagi.   "Bu, harap kau suka ..."   "Tutup mulutmu! Segera pergi, tak peduli kau melihat dan mendengar apa, jangan sekali-kali kau berpaling! Kalau kau tidak dengar pesan ibu, kau anak yang tidak berbakti!"   Terasa suatu tenaga besar mendorongnya, kontan tubuh Giok liong lantas terbang meninggi sejauh lima tombak, terdengar suara ibunya tengah beritata.   "Nak, jagalah dirimu baik-baik, ingat ..,..pesan . ,., , ibu selamat tinggal"   Suara yang terakhir terdengar sayup sayup sampai akhirnya tersendat hilang saking pedih perasaannya. Begitu kaki Giok-liong menyentuh tanah, segera ia berpaling kebelakang, kebetulan "brak"   Pintu gubuk itu telah tertutup rapat.   Angin malam diatas pegunungan sungguh sangat dingin, Giok-liong sampai menggigil dihembus badai yang dingin menusuk tulang ini.   Lekat-lekat ia memandangi gubuk reyot tempat dirinya menetap selama puluhan tahun yang telah membesarkan dirinya lalu sigap sekali ia memutar tubuh terus lari sekencang-kencangnya sambil berteriak lantang.   "Bu, Giokliong pergi!"   Dimana tubuhnya melesat bagaikan meteor cepatnya tubuhnya meluncur turun kebawah gunung.   Ditengah ributnya hembusan angin malam, sayup-sayup terdengar olehnya isak tangis ibunya dari dalam gubuk, Hatinya menjadi tidak tega dan pilu rasanya, serentak ia menghentikan langkah kakinya, ingin dia kembali, tapi lantas terpikirkan ucapan ibunya tadi.   "Kalau kau tidak dengar kata ibu, maka kau tidak berbakti."   Maka sambil mengerahkan seluruh tenaganya segera ia lari sekencang-kencangnya, dengan lari secepatnya yang banyak menghabiskan tenaga ini ia hendak melampiaskan perasaan hatinya yang tertekan.   Belum ada satu jam ia sudah berlari sejauh puluhan li, diam-diam ia menghentikan langkah dan berpaling kebelakang memandang keatas ngarai sana.   Diatas ngarai ber-salju itu, samar-samar terlihat sinar pelita kuning yang kelap kelip itu, Hatinya menjadi pilu dan mengalirkan air mata, tanpa meiasa mulutnya mengeluh lirih .   "Bu, oh ibu ...   "   Mendadak dari kejauhin sebelah timur luar sana terdengar sebuah suitan panjang yang menusuk tinggi semakin nyaring dan mendekat, agaknya tengah meluncur menuju kearah gubuk tempat tinggalnya diatas ngarai itu.   Terkejut hatinya.   Terdengar pula sebuah suitan panjang lain yang lebih keras dan lebih dekat, dari suara suitan yang keras dan nyaring ini, dapatlah diperkirakan bahwa Lwekang dan kepandaian silatnya orang ini pasti sangat tinggi tujuannya terang adalah ngarai yang baru saja ditinggalkan itu.   Dilain kejap lantas terdengar pula suitan susul menyusul saling bersahutan dari empat penjuru, semua melesat menuju kearah ngarai ....Pada saat itulah lantas terlihat sinar pelita kelap kelip diatas ngarai itu padam.   Bukan kepalang kejut Giok-liong, batinnya.   "Apa, mungkin para musuh ayah dan ibu telah meluruk datang ?"   Dengan seksama ia lantas berpikir.   "sejak beberapa hari yang lalu setelah pulang dari bawah gunung membeli perbekalan, ibunya selalu murung dan lesu, malah saban saban mengalirkan tir mata secara sembunyi-sembunyi. Hari ini tingkah laku ibunya juga luar biasa terbalik dari kebiasaan, berbeda jauh dari pribadinya semula seakan telah berganti rupa dan bentuk orang lain, Malam ini memaksa dirinya untuk pergi, malah dipesan meskipun mendengar dan melihat apapun juga dilarang berpaling dan kembali. Berpikir sampai disini, mendadak ia berseru kecut.   "Celaka!"   Begitu putar tubuh ia terus lari balik dari arah datang semula.   Tak lama kemudian ia telah tiba dibawah lereng bukit, dengan ketajaman matanya ia memandang keatas, Angin badai yang dingin masih tetap ribut, keadaan sekelilingnya menjadi pekat, sayup-sayup terdengar dua kali gerangan orang yang kesakitan.   Begitu menjejakkan kakinya bagaikan anak panah yang terlepas dari bujurnya tubuhnya melenting tinggi meluncur keatas ngarai.   Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Dekat dan semakin dekat...   Diatas ngarai sana benar juga terdengar suara pertempuran yang dahsyat, dikegelapan malam samar-samar terlihat berkelebatnya bayangan orang, kiranya ada beberapa orang tengah berkutet dan bergebrak dengan sengitnya secara mati-matian.   Giok Liong semakin gelisah dan gugup, mengerahkan seluruh tenaganya ia meloncat tiba diatas mengarai, tepat pada saat itu terdengar pekik kesakitan suara seorang perempuan disusul sebuah bayangan putih kecil langsing terbang tinggi dan arah pertempuran terus meluncur kearah batu es diluar sebelah sana.   Walaupun ia tidak melihat tegas siapa orang itu, tapi suara yang sangat dikenalnya itu, serta rasa prihatin yang terjalin antara ibu dan anak adalah sedemikian kuat kontan.   Giokliong lantas dapat meraba bahwa itulah ibunya.   Rasa gusar yang membara dalam rongga dadanya membuat ia menjadi nekad dan berteriak beringas .   "Bu jangan takut, aku datang !"   Tubuhnya meluncur secepat kilat menerjang kearah depan.   Sekonyong-konyong suara tawa dingin yang menjengek hina terdengar dari sampingnya, disusul angin pukulan yang panas membara lantas melandai menggulung dirinya.   Perasaan Giok-Iiong sudah begitu murka matanya mendelik dan wajahnya merah padam, kontan ia juga ulurkan kedua tangannya terus mendorong kedepan menyambut pukulan musuh sekuat tenaganya.   "Tahan ... !"   Sebuah teriak perempuan yang mengerikan terdengar dari arah samping sana, Tapi sudah terlambat.   "Blang"   Begitu terdengar dentuman yang keras ini kontan Giok-liong merasakan jantungnya seperti dipukul godam, darah terasa mengalir terbalik, tubuhnya lantas melayang tinggi ketengah udara, begitu pentang mulut ia menyemburkan darah segar dengan derasnya.   "Keparat, bangsat kurcaci biarlah aku adu jiwa dengan kalian, Kembalikan jiwa anakku .."   Terdengar angin semakin ribut, matanya terasa berkunangkunang, Giok-Iiong merasa sangat tersiksa seperti badannya dipanggang diatas tungku yang panas membara.   "Bluk"   Terasa punggungnya sangat kesakitan sampai menusuk jantung, tubuhnya terus terkapar lemas tak ingat diri lagi.   Lama dan lama sekali, entah sudah berapa lama ia jatuh pingsan akhirnya perlahan-lahan ia membuka mata dan siuman, sekarang terasa tubuhnya sangat dingin hampir membeku.   Matanya terbuka semakin lebar, ia memandang keatas dan kesekelilingnya.   Ternyata tubuhnya semampai dan tercantol di atas dahan sebuah pohon Siong yang menonjol keluar ditengah-tengah ngarai, waktu ia memandang kebawah, hanya terlihat awan yang mengembang tidak terlihat dasar jurang yang dalam ini.   Dua titik air mata meleleh membasahi pipinya.   Oh Tuhan, dimanakah ibu dan bagaimana keadaannya? Susah payah ia menggerakkan lengannya, terasa tulangtulang seluruh tubuh seperti sudah hancur lebur, sakitnya bukan main, Tapi dia paksakan juga merogoh keluar puntung obat dari kantong bajunya terus menelan beberapa butir pil.   setelah itu ia pejamkan matanya mulai menghimpun semangat dan mengalir serta melancarkan hawa murni dalam tubuhnya, setelah mengalami banyak penderitaan, jerih payahnya ternyata berhasil menghimpun kembali hawa murni yang telah buyar tadi, dibantu khasiat obat yang ditelannya tadi mulailah darahnya lancar mengalir memasuki seluruh uratnadi.   Entah berapa lama berselang, ia merasakan sebagian besar luka-lukanya sudah dapat disembuhkan maka dia berjalan merangkak keatas menyelusuri akar-akar pohon terus merambat keatas ngarai.   Pagi hari itu cuaca terang benderang, namun keadaan diatas ngarai itu sungguh sangat menyedihkan, gubuk reyot tempat tinggalnya itu kini tinggal tumpukan puing saja, dimana-mana terlihat noda-noda darah yang berceceran diatas tanah, keadaan ini sungguh sangat menyedihkan.   Tiba-tiba terlihat secuil sobekan lengan panjang yang penuh berlepotan darah, inilah bekas sobekan baju ibunya.   Terasa kepalanya berat dan pusing tubuh juga lantas sempoyongan tak tertahan lagi mulutnya menyemburkan darah segar sebanyak-banyaknya.   "Blang..."   Badannya roboh terkapar dan tak ingat diri lagi.   Waktu hari menjelang magrib baru Giok Liong siuman kembali dari pingsannya.   Alam sekelilingnya diliputi kabut tebal angin badai juga tengah mengamuk dengan dahsyatnya.   Susah payah ia merangkak bangun berdiri, kedua biji matanya mengalirkan air darah, bibit dendam kesumat sudah bersemi dengan cepatnya dalam sanubarinya, sesaat ia termangu memandang puing-puing bekas gubuknya, terus perlahan lahan berengsot turun dari atas ngarai itu tanpa bersuara lagi.   Angin badai terus menghembus dengan kerasnya, badan sampai terasa dingin hampir membeku, Dengan badan yang terasa kecapaian serta hati yang remuk redam, dia tinggalkan ngarai tempat tinggalnya selama sepuluhan tahun dimana ia dibesarkan ! Akhirnya dicarinya sebuah tempat tersembunyi dimana ia mengobati luka-lukanya serta mengerahkan tenaga dan hawa murni memulihkan kesehatannya.   Berselang lama kemudian pikirannya mulai menerawangi ucapan ibunya tentang letak dan arah dimana Lembah putus nyawa berada, dia tahu bahwa lembah putus nyawa itu juga berada didalam lingkungan pegunungan Tay-soat-san ini diam-diam ia berdoa.   "Bu, ampunilah anakmu yang tidak berbakti ini, aku tidak akan menuju ke Ih-hun-san-ceng! Tapi aku harus menuju ke Lembah putus nyawa, satu pihak mencari ayah, lain pihak untuk belajar ilmu kepandaian untukku dan menuntut balas untuk ayah! Oh, ibu, lindungilah anakmu yang malang ini!"   Selesai berdoa ia berdiri mulai beranjak menuju kedalam rimba sebelah dalam yang lebat dan angker, Dalam waktu satu harian yang pendek ini dia berubah segala galanya, Pendiam dan dingin mewakili semua sifat-sifatnya.   Jubah panjang pemberian ibunya itu, kini sudah sobek compang camping tidak karuan iagi, namun ia masih memakainya.   Hari itu dia tiba dibawah sebuah puncak yang mencakar langit, setelah istirahat sekian lamanya, dengan banyak makan tenaga ia mulai manjat keatas, waktu ia sampai di-atas puncak dengan kelelahan hari sudah menjelang malam, baru sekarang ia berkesempatan duduk istirahat mendadak pandangannya terasa menjadi terang, terpaut dari tempat duduknya didepan sana terlihat ada sebuah puncak lainnya yang menembus awan, puncak gunung itu gundul plontos tanpa tumbuh tumput atau pepohonan lainnya.   Ditengah keremangan kabut terlihat didinding puncak gunung didepan sana samar-samar terlihat sebuah celah celah.   Bukankah keadaan ini seperti Lembah putus nyawa yang dituturkan ibunya itu, Kontan darah bergelora dalam benaknya.   Melupakan badan yang capai lemas ini segera ia melompat berlari-lari menuju ke-puncak, didepan sana waktu dekat dan di-tegasi benar juga dipinggir puncak sebelah kiri berdiri tegak sebuah papan batu yang tinggi, diatas papan batu ini tertuliskan tiga hurup warna merah darah sebesar tampan sangat menyolok.   ketiga huruf itu berbunyi "Toan-bing-loh" - jalan pendek nyawa.   Dibelakang atas papan batu ini menjulur jauh kebelakang kearah celah - celah sebelum depan sana sebuah batu jembatan sebesar lengan orang.   Dan diatas celah-calah dinding itu pula terlihat tiga huruf besar lagi yang berbunyi "Lembah putus nyawa."   Tanpa merasa Giok-liong berjingkrak kegirangan ia masih ingat ibunya pernah berkata.   "Memanjat ngarai sukma gentayangan melewati jalan pendek yang tibalah di-Lembah putus nyawa, jurang dibawah jalan pendek nyawa yang tidak kelihatan dasarnya itu diliputi kabut tebal yang bergulung      Tiraikasih WEBSITEhttp.//kangzusi.com   / gulung, itulah dinamakan selokan setan masgul.   Ya, terang bahwa sekarang dirinya sudah berdiri dingarai sukma gentayangan.   Betapa girang hatinya ini, pelan-pelan ia memutar tubuh memandang kearah timur, terpesona memandangi sang dewi malam yang baru saja muncul deri tempat peraduannya, pelan-pelan mulutnya menggumam.   "Rembulan oh bulan, besar harapanku malam ini kau dapat selamat dan abadi melampaui angkasa yang terang cerah, janganlah sampai terganggu dan ditutupi oleh awan. Begitulah mendongak keatas langit ia berdoa dan bersujud kepada Tuhan. Darah panas sudah menjalar diseluruh tu-buhnya, wajahnya terun juk tekad dan kemauan yang teguh, Sigap sekali mendadak ia membalik tubuh - jalan pendek nyawa huruf huruf yang menyolok dan menggetarkan sukma itu terpajang didepan matanya. Jauh memandang kearah Lembah putus nyawa didepan sana, hatinya timbul suatu keraguan. Dengan kemauan kepandaiannya sekarang, paling banter sekuatnya ia dapat melompat sejauh puluhan tombak saja, ini berarti paling sedikik ia harus berloncatan dua kali diatas jembatan batu kecil yang penuh ditumbuhi lumut dan licin sekali itu. Konon bahwa jalan pendek nyawa ini sebegitu licin sampai tiada tempat cukup menggunakan tenaga. Entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh silat yang sudah terjerumus masuk kebawah selokan setan yang masgul dalam itu, Mengandalkan kepandaian sekarang, mungkin dirinya juga takkan terhindar dari nasib yang lain, terjungkal kebawah jurang. Lama sekali ia harus berpikir dan mempertimbangkan, akhirnya terpikirkan olehnya sebuah cara. Cepat-cepat ia menanggalkan jubah panjang yang compang-camping itu terus dipuntir-puntir menjadi tali besar terus melesat kearah jalan pendek nyawa, kedua tangannya kencang-kencang memegangi kedua ujung tali besar itu terus disampirkan keatas batu jembatan jadi tubuhnya bergelantungan waktu ia memandang kebawah, awan putih bergulung gulung angin menghembus keras membuat pandangan dimukanya samarsamar. Hatinya menjadi mengeluh dan berdoa.   "Oh Tuhan, bantulah hambamu ini!"- Saat itu hatinya sudah bergelantungan ditengah jurang dlbawah jalan pendek nyawa. Begitu menyedot hawa dalam-dalam kakinya terus menjejak kearah dinding batu di belakangnya dengan sekuat tenaga, kontan tubuhnya terus meluncur maju membesut sejauh dua pukulan tombak baru daya luncurnya agak lambat dan sebelum berhenti mendadak tubuhnya mengayun kebelakang terus kedepan lagi sehingga meluncur beberapa tombak pula, sebelum berhenti karena jarak sudah agak dekat, tiba-tiba kedua tangannya menarik tubuh ke-atas sekuatnya terus lepas tangan sehingga tubuhnya melambung naik jumpalitan ditengah udara lantas dengan tangannya hinggap diatas tanah diseberang sana. Waktu ia berpaling dan memandang kebawah, jubah putihnya yang digulung menjadi tali itu kini sudah melayang jatuh kebawah selokan setan masgul, semakin kecil dan akhirnya menghilang dari pandangan mata ditelan kabut tebal. Seketika timbul perasaan haru dan semangat yang berkobar dalam benaknya, sebuah kulum senyum tersungging di ujung bibirnya, pelan-pelan ia memutar tubuh, di hadapannya terbentang sebuah gua yang hitam gelap, dia kerahkan seluruh ketajaman pandangannya keadaan didalam memang sangat gelap tak terlihat apapun jua. Malah terasa hembusan angin dingin yang dapat membekukan terus bergulung-gulung dari dalam gua itu, sampai tubuhnya terasa hampir membeku dan menggigil. Tapi dia tidak hiraukan keadaan yang menyiksa tubuh ini. Yang terang gua di depan matanya ini adalah jalan masuk kedalam Lembah putus nyawa yang serba misterius selama ratusan tahun ini. Entah berapa banyak tokoh-tokoh silat yang memasuki gua ini tak keluar kembali, diantara mereka adalah ayahnya sendiri. Teringat akan ayahnya seketika timbul rasa bangga yang jiwa kesatrianya,teriaknya lantang.   "Yah, lihatlah anak mu ini, bukan seorang pengecut yang takut mati! Yah, anak Liong juga datang!"- sambil berteriak ia kerahkan seluruh hawa murninya untuk melindungi seluruh badan dengan langkah lebar terus memasuki gua mulut Lembah putus nyawa. Mulut gua lembah putus nyawa adalah sedemikian dingin dan gelap sekali. Meskipun Giok-liong sudah digembleng sejak kecil dan mempunyai dasar Lwekang yang kuat ketajaman matanya melebihi orang biasa, tapi begitu memasuki gua ini yang terpandang disekitarnya adalah gelap pekat melulu sampai kelima jari sendiri juga tidak kelihatan. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang dan ulu hati membuat seluruh bulu romanya merinding semua, seluruh badannya menggigil kedinginan dan hampir membeku. Tapi Giok-liong pusatkan seluruh perhatian dan semangatnya tanpa mau mundur di tenjah jalan dengan langkah pelan ia terus maju semakin dalam, hanya satu ingatan yang berkecamuk dalam pikirannya.   "Terus maju! Untuk mencari jejak ayahnya. Demi sakit hati ibunya demi keadilan dan kebenaran kaum persilatan, aku harus berhasil,"   Sambil menggertak gigi dia terus maju dengan derap langkah yang tegap ! Sebetulnya gua ini merupakan celah-celah dari himpitan dua gunung yang berendeng, tinggi gua ini ada beberapa tombak sedang lehernya hanya tiga empat kaki, semakin dalam semakin sempit setelah beberapa li kemudian jalanan hanya tiba cukup untuk berjalan satu orang saja, semakin dalam daya hembusan angin dingin itu semakin lemah, tapi hawa disini bertambah dingin.   Sepanjang jalan goa ini adalah lurus tanpa suatu rintangan apapun juga, maka Giok-liong dapat beranjak maju terus didalam kegelapan tanpa ragu-ragu dan takut-takut.   Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berjalan dalam kegelapan itu, lambat laun terasa keadaan gua yang gelap pekat ini menjadi agak sedikit terang, dan tak berapa jauh kemudian, di kedua sisi dinding kedua samping gua itu tersoren keluar puluhan sinar terang yang menyolok mata sehingga keadaan dalam gua menjadi terang benderang seperti disiang hari bolong.   Sekian lama Giok-liong harus memejamkan matanya, karena pandangannya masih terasa silau, waktu di tegasi terlihat diatas dinding batu diatas sana ada delapan huruf besar-besar yang disusun dengan butir-butir mutiara beraneka warna yang terporotkan diatas dinding batu, tulisan itu berbunyi.   "Dilarang menggunakan ilmu silat."   Sejak kecil Giok-liong dididik ibunya menjadi bocah yang mengenal sopan santun bakti serta setia dan patuh berhati bijaksana terhadap sesamanya, setelah melihat kedepan huruf-huruf yang tertulis dengan porotan butir-butir mutiara sebesar jeruk itu bukan saja hatinya tidak merasa tersinggung dan timbul suatu angan-angan yang tidak genah, malah segera ia buyarkan hawa murni yang terhimpun tadi, diamdiam hatinya membatin.   "Ternyata Lembah putus nyawa ini masih ada penghuninya, entah siapakah dia, pasti dia seorang tokoh yang hebat dan lihay sekali."   Karena timbul rasa hormatnya ini segera ia angkat tangan serta membongkok hormat kearah delapan huruf-buruf besar itu serta berkata.   "Wanpwe sudah tahu!"   Pelan-pelan ia mulai beranjak maju lebih jauh, tidak lama kemudian dia sampai pada satu pengkolan, begitu ia membelok pandangannya menjadi lebih terang lagi, keadaan dalam gua ini lebih datar dan rata dinding kedua samping serta atapnya sampai lantai goa ini semua berbuat dari batu pualam yang sangat indah, diatas dinding ada lukisan indah yang terporotkan dari butirbutir mutiara besar kecil, sekilas lihat gambar-gambar ini adalah sedemikian indah mempesonakan.   Giok-liong menjalani keadaan seluruh gua terlihat dimanamana sinar segala permata saling berlomba menunjukkan keindahan masing-masing sampai sedemikian jauh dan panjang sampai tidak terlihat lagi ujung pangkalnya.   Tanpa merasa hatinya menjadi gelisah "Kalau tidak mengembangkan Ginkang, entah berapa lama aku harus menempuh habis jalan panjang ini.   Tapi bila teringat peringatan huruf-huruf besar diatas dinding itu, segera ia batalkan niatnya hendak menggunakan ilmu ringan tubuhnya.   dengan langkah lebar segera ia maju kedepan.   Saban-saban terlihat ada kotak-kotak yang melekuk kedalam dinding dimana tertaruh dan terpenuhi dengan berbagai intan serta permata yang tak ternilai harganya, semua benda-benda itu memancarkan cahaya terang yang dapat memincut dan menimbulkan loba dan tamak dihati orang.   Tapi Giok-liong sendiri sudah tahu bahwa Lembah putus nyawa ini adalah tempat yang berpenghuni apalagi memang dia tiada hasrat hendak mengangkangi harta benda yang tidak halal ini, maka sedikitpun tiada minatnya untuk mengambil barang sebutirpun.   Kira-kira dua li telah dilampaui lagi, sedikit kurang hati hati kakinya terpeleset dan hampir saja ia roboh terjengkang, Waktu ia menunduk ternyata dibawah kakinya penuh bertaburan intan kecil yang menyilaukan mata, selepas pandang didepan dan kedua dinding sepanjang jalan ini masih penuh berserakan berbagai permata serta butiran-butiran mutiara besar kecil yang tidak terhitung banyaknya membuat matanya terasa pedas dan berkunang-kunang.   Tanpa ragu-ragu dan sayang lagi kakinya melangkah maju terus butiran-butiran mutiara dan intan serta lainnya bertaburan sedemikian tebal ditanah sampai gerak jalan Giokliong menjadi terganggu karena tidak boleh mengembangkan ilmu ringan tubuh belum lama dalam perjalanan ini ia sudah megap-megap dan banyak mengepulkan peluh.   Tapi ia tidak peduli segala-galanya, setindak demi setindak ia terus maju kedepan secara hati hati supaya tidak sampai terjerumus jatuh.   Berselang tidak lama, tiba-tiba didepannya mencorong cahaya warna merah yang keras dan terang benderang.   Waktu ia angkat kepala, terlihat didinding sebelah kanan sana terporotkan mutiara besar-besar merah marong yang dijajar sedemikian rupa menjadi beberapa huruf tulisan yang berbunyi.   "Gudang harta disini."   Dibawah huruf-huruf warna merah itu adalah sebuah pintu bundar kecil yang terbuat dari batu pualam warna merah pula, agaknya asal sedikit dorong saja lantas dapat terbuka dan masuk kesana, dari celah-celah pintu yang tidak tertutup cepat itu terpencar keluar cahaya beraneka warna dan hawa yang hangat, ini menandakan bahwa didalam ruang sana pasti tersimpan harta benda serta barang-barang pusaka yang tak ternilai harganya.   Gioi-liong menghela napas, batinnya.   "Siapakah penghuni lembah ini, tak ayal sedemikian banyak simpanan harta bendanya, mungkin merupakan koleksi barang-barang pusaka dan benda benda terbesar diseluruh dunia ini! "   Dalam hati membatin, namun kakinya terus bergerak maju, kira-kira puluhan tombak kemudian ia tiba lagi disebuah pengkoIan, begitu ia tiba dibagian lain tanpa merasa Giokliong berdiri tertegun ditempatnya.   Terbentang dihadapannya yang melintang adalah sebuah selokan pendek selebar lima tombak dan sedalam puluhan tombak, ini masih belum yang membuatnya mengkirik adalah bahwa didasar selokan ini ternyata hidup penuh ular berbagai jenis, semua tengah mendongak keatas menjulurkan lidahnya yang berwarna merah darah, sambil mendesis-desis mengerikan dan menakutkan sekali, sedang dinding kedua selokan adalah sedemikian tajam dengan batu-batu runcing yang dapat mengkoyak badan manusia.   Giok-liong menjadi bimbang dan menghentikan kakinya pikirnya.   "selokan selebar lima tombak ini sebetulnya gampang saja dapat kulompati, tapi penghuni lembah ini sudah melarang untuk menggunakan kepandaian ... ."   Karena pikirannya ini maka sambil mengangkat alis segera ia mulai merambat turun melalui batu-batu runcing yang tajam mengiris kulit itu, Darah segar mengalir membasahi seluruh badan, seluruh tangan kaki dan perutnya sudah penuh Iukaluka teriris koyak darah bercampur keringat terus mengalir membasahi seluruh tubuh, Dengan sudah payah akhirnya ia tiba juga didasar selokan, Entah berapa banyak ular yang tak terhitung banyaknya menjulurkan lidah dan pentang mulutnya bersiap mematuk dirinya, desis ular-ular itu membawa bau amis yang memualkan hampir saja ia muntah-muntah sampai kepala terasa pusing tujuh keliling.   Tapi tanpa gentar sedikitpun ia terus maju tindak demi tindak, dimana ia lewat ular-ular itu lari menyingkir sendiri, Sudah tentu hatinya menjadi heran dan tak habis mengecil menurut apa yang diketahui semua ular-ular itu adalah ular paling berbisa di seluruh dunia ini sekali gigit saja pasti jiwa akan melayang, Tapi sekarang begitu bertemu dengan dirinya mengapa semua malah mundur menyingkir? Tapi tiada banyak kesempatan bagi Giok liong untuk banyak berpikir setelah melewati selokan pendek ini mulailah ia manjat lagi keatas dengan kedua tangan dan kaki yang sudah penuh luka-luka dan berdarah, Tiba-tiba dari belakangnya terdengar angin mendesis meluncur kearah dirinya, seketika tangan serta kaki dan punggungnya kesakitan luar biasa, entah berapa banyak ular berbisa itu telah menggigit tubuhnya.   Kontan pandanganya menjadi gelap, tahulah dia bahwa dirinya telah tergigi oleh ular-ular berbisa itu.   Namun dia tak berani melepaskan pegangan tangannya dengan sekuatnya terus berusaha merambat naik sampai diatas tanah datar, Begitu sampai dan dapat berdiri segera ia meraba kebelakang kakinya terus menarik bergantian satu persatu ular yang menggigiti paha dan punggungnya ditariknya sampai daging tubuhnya ikut terbetot dedel duwel.   Pahanya menjadi linu gatal dan kesakitan luar biasa sampai merangsang seluruh tubuh ditambah luka luka dikedua tangannya, pandangannya menjadi gelap dan kepala juga menjadi berat, kerongkongan terasa kering dan dahaga sekali tak kuat lagi kedua kakinya menunjang badan yang terasa semakin berat.   Waktu ia angkat kepala terlihat diatas dinding batu ada beberapa huruf besar yang terukir dari batu putih berbunyi.   "jangan berhenti ditempat ini!"   Terpaksa sekuat tenaga dengan susah payah dia harus merangkak maju kedepan setelah jatuh bangun beberapa kali, mendadak ia merasa rasa linu dan gatal diatas kedua pahanya itu sudah mulai merambat naik, keatas tubuhnya saat itu sudah merambat naik sampai pangkal pahanya, kalau sampai pinggangnya maka susahlah jiwanya dapat diselamatkan lagi.   Tanpa terasa ia menghela napas serta membatin .   "sebetulnya lembah ini tiada sesuatu yang harus dibuat takut, apakah tokoh silat yang lihay serta aneh aneh itu semuanya juga mati dalam keadaan seperti aku ini ?"   Demikian dia bertanya dalam hati, sampai begitu jauh ia masih belum berani mengerahkan hawa murninya untuk menutup jalan darah, ia maju terus kedepan.   Tak lama kemudian hawa racun sudah menjalar sampai dibawah pinggangnya, sampai saat itu kakinya sudah susah digerakkan lagi untuk berjalan, seluruh tubuh basah kuyup oleh keringat, syarafnya juga mulai membeku dan semangatnya juga mulai kabur.   Baru sekarang timbul sedikit penyesalan dalam benaknya .   "Ah, Tuhan, aku harus mengerahkan rawa murni untuk menolak racun mati cara begini ...   "   Kesadarannya semakin hilang, sedikit sempoyongan tubuhnya lantas jatuh terkapar d atas tanah tak ingat diri.   Seluruh tubuh dari pinggangnya kebawah sekarang sudah berubah menjadi hitam, air beracun yang berwarna hitam merembes keluar melalui seluruh luka-lukanya, hawa racun juga dengan cepatnya menjalar keatas, pernapasannya mulai berat dan lemah hampir berhenti seorang lagi bakal menjadi korban didalam lembah putus nyawa ini.   Pada saat itulah mendadak dari gua sebelah sana terhembus keluar segulung kabut tebal yang berwarna hijau demikian indah warna kabut itu malah berbau harum lagi.   Lambat laun kabut hijau yang lebat itu mulai memenuhi seluruh ruangan gua dan terus menjalari seluruh tubuhnya, sungguh heran bin ajaib, sekarang pernapasannya malah mulai pulih lagi.   Bau harum yang merangsang hidungnya itu menyadarkan Giok-liong dari pingsannya, Waktu ia membuka mata, terlihat diatas tanah didepan matanya terukir diatas batu putih beberapa huruf besar yang berbunyi.   "jangan berhenti disini."   Tanpa banyak berpikir lagi segera ia merangkak bangun sekuatnya terus merambat jatuh bangun kedepan, Luka luka dipahanya yang sebetulnya sudah mampet dan darah yang sudah membeku karena gerakannya itu menjadi pecah dan mengeluarkan darah lagi, darah hitam yang mengandung racun berceceran sepanjang jalan, semakin berjalan kedalam, kabut warna hijau itu semakin tebal menghalangi pandangan didepan matanya, tapi semangat dan kesadarannya malah semakin pulih dan badan menjadi segar bugar.   Hawa beracun diseluruh tubuhnya juga mulai punah dan hilang, kini darah yang mengalir keluar dari luka-lukanya adalah darah segar yang berwarna merah.   Tak larna kemudian seluruh hawa beracun dalam tubuhnya indah terusir keluar semua.   Tatkala itu juga sudah melewati gulungan kabut hijau yang tebal itu, sekarang ia tiba disebuah persimpangan jalan, Diatas dinding sebelah atas terpancang sebuah papan batu yang bertuliskan.   "Gudang obat obatan !"   Sekarang walaupun hawa beracun didalam tubuhnya sudah punah semua, namun seluruh tubuh masih terasa sakit dan pegal sekali, kalau orang lain pasti segera masuk kedalam gudang obat obatan itu, karena bukan mustahil dalam gudang obat-obatan itu tersimpan segala macam obat mujarab yang sukar didapat didunia ini."   Sebentar-ia ragu-ragu lantas hatinya memaki diri sendiri.   "Giok-liong, wahai Giok-liong, semua benda dan barang barang itu adalah milik orang lain, mana boleh seenaknya saja kau ambil dan kau gunakan untuk kepentinganmu pribadi ?"   Karena pikirannya ini, maka dengan sekuatnya sambil menahan sakit ia beringsut maju lagi, keadaan jalan dalam lorong itu kembali menanjak keatas dan lurus sepanjang lobang ini adalah terdiri dari batu-batu pualam putih, setiap jarak sepuluh langkah diatas dinding terporotkan dua butir mutiara sebagai penerangan.   Dia maju dan maju terus dengan susah payah dan banyak makan tenaga Meskipun pikirannya sudah sadar, tapi karena luka lukanya serta seluruh tulang belulangnya terasa linu dan pegal tubuhnya menjadi lemah sampai tenaga untuk mengangkat kaki berjalan juga tiada lagi.   Keringat terus membanjir keluar, terasa seluruh tubuh panas dan gerah sekali, Mendadak entah kakinya menginjak apa sehingga terpeleset dan tubuhnya kontan tersungkur jatuh disertai suara gemerayak yang ramai, saking keras jatuhnya itu sampai matanya serasa berkunang-kunang, setelah napasnya tenang kembali waktu ia pentang mata hampir saja ia berteriak saking kaget.   Ternyata tepat didepan matanya tergeletak sebuah kepala tengkorak manusia, demikian juga di-sekeliling tubuhnya berserakan tulang tulang putih manusia yang hancur berantakan, sebetulnya itulah sebuah kerangka manusia yang masih lengkap bergaya duduk, tapi begitu tertendang dan berinjak menjadi putus dan berantakan.   Sungguh kejut Giok-liong bukan buatan, tersipu-sipu ia merangkak bangun, tanpa sengaja tangannya meraba badan sendiri terasakan sesuatu yang ganjil pada tubuhnya, waktu ia menunduk lagi-lagi ia hampir berseru kaget, Ternyata seluruh tubuh sendiri berlepotan darah dan kotor amis ini masih belum apa-apa, yang paling mengejutkan entah sejak kapan ternyata seluruh tubuhnya telanjang bulat.   Sungguh tanpa disadari entah kapan baju ditubuhnya itu sudah hancur luluh tanpa ketinggalan bekas-bekasnya.   Sekian lama ia menunduk dan berpikir, akhirnya ia sadar.   "Ya, tentu kabut hijau itu mengandung racun yang berbisa sekali, sedemikian lihaynya racun itu sampai baju yang dipakainya hancur luluh tanpa meninggalkan bekas. Tapi kenapa aku sendiri tidak kurang suatu apa?" - diperiksanya kerangka tuIang-tulang yang berserakan ditanah itu, betul juga tidak dilihatnya kada bekas-bekas barang benda lain. Siapakah orang ini? Tentunya dia mati keracunan setelah melewati kabut beracun itu, berpikir sampai diiini, timbul pula keheranan dalam benaknya.   "Tubuhku pasti juga sudah keracunan, hanya belum saatnya kumat, Hm, entah apa maksud dari penghuni lembah itu. Sebelum aku ajal ini betapa juga aku harus menemumya dan minta penjelasan."   Karena tekadnya ini, seketika timbul lagi sedikit tenaganya terus melangkah maju ke-depan lagi tanpa menghiraukan tulang-tulang kerangka yang berserakan itu.   Betul juga tepat seperti dugaannya, sepanjang jalan kedepan ini dimana-mana terlihat sesosok tumpukan tulang kerangka manusia setiap kerangka itu tanpa meninggalkan bekas-bekas benda apapun, Tak lama kemudian terlihat dikedua dinding kanan kiri ada tulisan yang berbunyi.   Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Gudang kecerdikan", dan yang lain adalah.   "Gudang ilmu silat."   Diatas kedua huruf-huruf besar ini masing-masing ada sebuah lorong untuk masuk.   Giok-liong sudah tidak hiraukau mati hidupnya lagi, besar tekadnya hendak menemui penghuni lembah ini, maka dengan dada terangkat dan langkah tegak ia maju terus.   Puluhan tombak kemudian sebuah dinding batu besar mencegat ditengah jalan, diatas dinding ini ada tulisan pula yang berbunyi.   "Menghadap dinding ini harus berlutut tiga kali dan menyembab sembilan kali."   Hati Giok-liong menjadi dongkol dan uring-uringan tapi sebelum tahu sebab musababnya serta seluk beluknya betapapun harus menghormati peraturan yang telah di tegakkan oleh tuan rumah, maka segera ia berlutut tiga kali dan menyembah sembilan kali.   setelah penghormatan besar ini tiba-tiba pandangannya menjadi terang dan terbelalak, kiranya dinding baju didepannya itu kini sudah terbuka sendirinya terus amblas kedalam tanah.   Belakang dinding batu ternyata adalah sebuah ruangan batu yang kosong melompong, dibelakang ruangan sebelah samping sana terdapat sebuah pintu bundar berbentuk bulan sabit, pintunya sudah terpentang lebar, setelah melangkah masuk kedalam ruangan batu ini serta merta Giok-liong lantas berpaling memandang kebelakang, dinding batu itu ternyata telah menutup lagi secara otomatis tanpa mengeluarkan suara.   Dalam hati Gion-liong menjengek, batinnya."Penghuni lembah ini benar-benar seorang tokoh yang lihay, sayang cara pengaturan jebakan ini terlalu kejam sedikit."   Dalam pada itu dia sudah melangkah sampai diambang pintu bulan sabit itu, baru saja kakinya melangkah masuk "Brak""   Sebuah suara keras terdengar, cepat-cepat ia menarik kakinya waktu dipandang, ternyata diambang bulan sabit itu tuiang-tulang kerangka berserakan, semua sudah hancur tiada satupun yang utuh.   Terang bahwa orang itu sebelum ajal sudah dihancurkan tubuhnya, sehingga setelah mati keadaannya menjadi demikian mengenaskan.   Hati Giok-liong menjadi mengkirik, dengan hati-hati kakinya melangkah maju dari antara sela-sela tulang tulang yang berserakan itu terus maju puluhan langkah kemudian, disini ia dihadang sebuah dinding batu lagi, diatas dinding batu ini juga bertuliskan "Berlutut tiga kali menyembah sembilan kali!"   Giok liong harus menekan rasa gusarnya, terpaksa ia maju berlutut dan menyembah, dinding batu ini juga bergerak secara otomatis amblas kedalam tanah, Demikian Giok-liong harus melewati sembilan dinding batu semacam ini.   Dari lapis kelapis dinding ini tulang-tulang kerangka yang dilihatnya semakin sedikit dan pada lapis kedelapan sudah tiada sekerat tulangpun yang dilihatnya, ini menandakan bahwa belum pernah ada seorang juapun yang bisa sampai mengembalikan kakinya dilapis kedelapan - kesembilan.   Giok-liong sendiri sudah pasrah nasib dan percaya pasti mati, sebab ia sendiri sudah terkena racun jahat, maka sepanjang jalan tiada henti-hentinya ia patuh dan berlutut tujuannya hanyalah ingin menemui penghuni lembah ini untuk minta penjelasan.   Begitu dinding batu lapis sembilan terbuka, kontan hidung Giok-liong dirangsang semacam bebauan yang wangi semerbak dihadapannya terbentang pula sebuah ruang batu, Tapi ditengah ruang batu itu terlihat duduk bersila seorang berpakaian pelajar yang cakap berusia bertengahan.   Pelajar pertengahan umur ini berwajah bersih angker dan agung, dudut tenang sambil memejamkan kedua matanya, Tangan kanannya diangkat lurus kedepan dengan sikut sedikit ditekuk kedalam, diantara kedua jari-jari tengah menjepit selembar kain sutra warna putih.   Begitu melihat orang ini timbul rasa hormat dalam benak Giok-liong, batinnya.   "pelajar pertengahan umur ini mungkin adalah penghuni lembah putus nyawa ini, sungguh tak terduga usianya masih begitu muda..."   Dalam membatin ini segera ia sudah berlutut dan menyembah serta serunya.   "Wanpwe Ma Giok-liong, memikul dendam kesumat dan masuk kemari untuk mencari ayah, untuk kelancangan mana harap cianpwe suka memaafkan serta harap diberi sedikit petunjuk."   Setelah berkata ia bangkit berdiri.   Lama sekali tiada kelihatan suatu reaksi Mendadak badan pelajar pertengahan umur itu pelan-pelan mundur kebelakang, kain sutra yang terjepit di jari tangannya itu melayang jatuh didepan kaki Giok-liong.   Tersipu-sipu Giok liong membungkuk badan menjemput kain sutra itu, dengan seksama ia baca tulisan yang tertera diatas kain sutra putih itu.   "Aku mengasingkan diri dalam lembah ini sudah selama dua abad, kau adalah satu-satunya manusia persilatan yang dapat menghadap kemari selama dua abad ini, sikapmu luhur tahu tata kehormatan pula, memang harus dipuji, setelah membaca surat ini, segeralah kau berlutut dan menyembah maju sampai kehadapanku."   Sutra putih dengan tulisan bak hitam seperti baju saja ditulis, ini tak mungkin benda peninggalan pada dua abad yang lalu, apalagi makna dalam tulisan itu sedemikian takabur dan angkuh sekali. Giok-liong membatin .   "Watak orang yang kelihatan luhur dan bersih, seperti tiada maksud hendak mencelakai aku. Tapi menurut katanya aku adalah orang pertama yang mampu sampai ditempat ini, bukan mustahil ayah ..."   Tak berani ia banyak berpikir pula, setelah berlutut waktu ia angkat kepala lagi pelajar pertengahan itu sudah mundur sampai puluhan tombak jauhnya baru berhenti.   Tanpa raguragu lagi segera Giok-liong berlutut dan menyembah berulang kali sambil merangkak maju sampai dihadapan tempat duduk pelajar pertengahan umur itu.   Luka-luka pada pahanya itu sebetulnya sangat parah, kini harus menjalani sedikit siksaan badaniah lagi, kekuatan tubuhnya menjadi semakin kendor dan sampai akhirnya sudah tidak kuat bertahan lagi.   Tiba-tiba secarik kain sutera melayang jatuh lagi didepannya, dimana tertulis.   "Duduklah bersila dihadapanku, himpunlah semangat dan semadilah, selama satu jam!"   Tulisan ini bernada memerintah tak bisa tidak harus dituruti.   Giok-liong menjadi dongkol, tapi ia turuti saja apa yang diperintahkan mulailah ia duduk bersila menghimpun semangat mengatur pernapasan sampai akhirnya ia tidak ingat spa-apa lagi.   Tiba-tiba jalan darah Bing-bun-hiat terasa linu, lantas sejalur hawa hangat merembes masuk dari kepalanya terus menerjang masuk kemana-mana, seketika itu dia lantas kehilangan kesadaran, Lama dan lama kemudiaa baru dia siuman kembali.   Baru saja ia membuka mata lantas terasa badannya segar bugar, semangatnya berkobar menyala-nyala, rasa capai dan lelahnya hilang lenyap seluruhnya, Waktu ia angkat kepala entah kapan pelajar pertengahan umur itu telah mundur lagi setombak jauhnya.   Didepan bawah kakinya terbentang secarik kain sutra lagi yang bertuliskan.   "Kau sekarang telah membakal Lwekang selama ratusan tahun, kau ada jodoh masuk perguruan menjadi muridku. Aku bernama Pang Giok bergelar To-ji."   Begitu membaca habis tulisan itu kaget Giok liong bukan kepalang, Kiranya pelajar tengahan umur dihadapannya, ini adalah To-ji Pang Giok salah satu dari Ih-lwesu-can yang telah menggetarkan dunia persilatan, pada dua abad yang lalu.   Setelah hilang rasa kagetnya, tersipu-sipu Giok liong merangkak maju serta berlutut dihadapan To-jin Pang Giok, dengan rasa haru dan kegirangan, ia menyembah serta berkata sambil mengalirkan air mata.   "Guru diatas terimalah sembah sujud murid ini."   Sebuah suara yang kalem halus seakan-akan diucapkan dipinggir telinganya tapi juga seperti terdengar dari kejauhan berkata.   "Anak baik, sepanjang jalan masuk gua ini sungguh menyusahkan kau saja, lekaslah bangun!"   Tersipu-sipu Giok-liong angkat kepala dilihatnya wajah Tojin Pang Giok mengulum senyum manis, pelan-pelan kedua matanya terbuka lalu menatap tajam kearah muka Giok-liong. Giok-liong jadi membatin.   "Ai, orang ini sudah hidup sekian lamanya. tapi masih kelihatan sedemikian muda, betapa tinggi ilmu silatnya pastilah sudah mencapai kesempurnaannya."   Walaupun tengah berpikir tapi kakinya tak berani gerak bangun. Segera To-ji Pang Giok mengulurkan sebelah tangannya yang putih laksana batu giok mengusap-usap kepala Giok- Iiong, ujarnya.   "Anak baik, bangunlah, jangan kau terpaku disitu saja, apa tidak lelah dan sakit kakimu!"   Giok-liong menyembah lagi serta berkata "Terima kasih Suhu, Tecu Ma Giok-liong menyampaikan sembah sujud."   Habis memberi hormat baru dia bangkit berdiri, sesaat To-ji Pang Giok mengawasinya dengan seksama, lalu berkata.   "Giok-liong cara bagaimana kau bisa sampai memasuki Lembah putus nyawa ini?"   Giok-liong menyahut.   "Murid tengah mencari jejak ayah, juga ingin belajar ilmu silat untuk menuntut balas"   "Siapakah nama ayahmu?"   "Aku..,.....aku tidak tahu."   To-ji Pang Gi,ok tercengang, dengan sorot mata yang aneh ia pandang Giok-liong lalu katanya.    Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID Mustika Gaib Karya Buyung Hok Perangkap Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini