Seruling Samber Nyawa 13
Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 13
Seruling Samber Nyawa Karya dari Chin Yung Tapi dia tidak ambil peduli. Sebab dia tahu, bahwa dirinya sudah menjadi tokoh yang menggemparkan dunia persilatan. Maka dalam situasi yang genting dan banyak tokoh-tokoh silat yang mengasingkan diri saling bermunculan ini, tidaklah mengherankan kalau dirinya semakin menarik perhatian dan pengejaran mereka. Tatkala ia sudah melampaui Bu san dan mulai menginjak daerah Bu-tong-san dengan pegunungan yang lebat memanjang itu. Mendadak ia melihat dilamping gunung dikejauhan sana ada dua puluhan bayangan orang tengah melayang dan berkelebat menghilang. Betapa tajam pandangan Giok-liong sekarang, sekilas pandang saja sudah cukup mengejutkan hatinya. Karena kedua puluh bayangan manusia itu masing masing kepalanya berambut-panjang dan terurai melambai. Dilihat gelagatnya naga naganya pihak Hian-bing-mo-kek juga sudah ikut bergerak didaerah pegunungan Bu tong-san ini. Untuk apakah kedatangan mereka? Apakah mereka sudah akan mulai dengan pergerakan? Begitulah sambil berpikir ia meogempos semangat dan mengerahkan tenaga, kini badannya melenting semakin pesat menuju kepuncak Bu-tong-san. Belum lama ia menempuh perjalanan, tiba-tiba terdengar kumandang tembang mantra dari belakang sebuah batu besar di pinggir jalan. segera Giok liong menyilangkan kaki badannya terus berhenti bergerak dan berdiri tegak diatas tanah. Dari belakang batu cadas besar berjalan keluar sebarisan pendeta gundul mengenakan seragam ungu. Seorang yang memimpin didepan alisnya tampak gombyok memutih menjulai turun, air mukanya bersemu merah seperti muka bayi, sepasang matanya sedikit dipejamkan gerak geriknya sangat lamban dan agung sebagai pembawaan seorang suci. Yang mengekor di belakangnya terdiri dua baris, kanan kiri masing-masing enam orang, semuanya berjumlah dua belas, rata rata sudah mencapai pertengahan umur, dengan pandangan mata berkilat tajam. Sekali pandang saja lantas dapatlah diketahui bahwa kedua belas pendeta ini memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi. Iringan para pendeta ini maju terus sampai didepan Giok liong sejauh lima tombak baru menghentikan langkahnya. Pendeta pemimpin yang lebih tua itu masih beranjak maju dengan langkah lamban dan kalem sampai empat tindak di hadapan Giok-hong baru berhenti. Sepasang matanya yang merem melek itu dengan seksama tengah mengamati Giok liong. Melihat sikap pendeta tua yaag agung serta penuh hidmat ini, tahu Giok-liong bahwa orang dihadapannya ini pasti tokoh bukan sembarangan tokoh, sedikit soja ia berseru lantang. "Toasuhu merintang jslan, entah ada petunjuk apakah?" Pendeta tua angkat sebelah tangannya di-depan dada sambil bersabda Budha, lalu ia bertanya dengan suara rendah. "Apakah Siau-si-cu ini adalah Kim-pit-jan hun Ma Giok liong yang baru-baru ini menggemparkan Bu lim?" Alis Giok liong rada berjengkit, sahutnya sambil merangkap tangan. "Aku yang rendah memang Ma Giok-liong adanya, Harap tanya siapakah nama julukan Taysu ini serta dari aliran atau seaiaysjaa dikuil yang mana ?" Sebentar sepasang mata pendeta tua memancarkan kilat tajam lantas menghilang, sahutnya tertekan. "Loceng Hiankhong, Hong-tiang, Siau lim-si beserta dua belas muridku, sudah lama kita menunggu kedatangan tuan disini." Terkejut Giok-liong dibuatnya, pikirnya. "sungguh tak nyana Hong tiang Siao-lim-si Hian-khong Taysu pimpin para muridnya ikut campur dalam urusan ini. Apa mungkin kedatangan mereka disini melulu hendak menghadapi aku ?" Ternyata ketua Siau-lim-si Hian-khong Taysu ini sudah puluhan tahun lamanya mengasingkan diri, sekian tahun lamanya tidak ikut campur mengurus perkara duniawi, Begitu hebat kepandaiannya menurut kabarnya sudah sempurna betul, tapi selama ini belum pernah dengar ada orang pernah menjajal ilmu silatnya itu. Otaknya berpikir, namun lahirnya Giok liong tetap berlaku tenang, sikapnya ini sungguh sulit untuk dijajaki, katanya sambil tersenyum. "O ini ... aku yang rendah sungguh tidak berani terima sampai sampai ketua Siaulim-si serta para Taysu menunggu aku disini, Hian-khong Lo cianpwe apakah ada urusan harap suka memberi petunjuk!" Sekali lagi Hian-khong bersabda Budha, baru berkata lirih. "Kedatangan pendeta tua ini tak lain bukan hanya untuk menolong bencana pembunuhan yang berkenaan di Bu-lim." "Oh." Ujar Giok-Hong. "Menghindarkan bencana pembunuhan besar yang berkancah di Bulim ini, adakah sangkut pautnya dengan diriku ?" "Kulihat Siau-si cu bermuka cakap bersinar terang, kalau dugaan Loceng tidak salah pasti kepandaian silatmu tidak sudah dibawah gurumu Pang cian-pwe bukan ?" Giok liong unjuk senyum lagi, ujarnya. "Cian-pwe terlalu memuji, aku yang rendah sungguh tak berani menerima pujian ini." "Kalau Siausicu mempunyai dendam sakit hati dengan delapan aliran besar lurus Loceng ingin benar mendengar penjelasan serta seluk beluknya. Mungkin aku bisa jadi penengah untuk melerai pertikaian, demi Siau-sicu sendiri juga bagi kaum persilatan umumnya." Mendadak Giok-liong mendongak bergelak tertawa, nada gelak tawanya kumandang meninggi seperti gerungan naga dan aum singa, bergema lama dan menembus ketengah awan. Setelah menghentikan tawanya, mendadak ia berseru lantang "Para kawan sudah jauh berdatangan kemari, sungguh aku yang rendah merasa sangat beruntung mendapat kehormatan begini besar. Mengapa bermain sembunyi kepala mengerutkan ekor seperti bangsa panca longok ?" Kelihatan Hian-khong Taysu sedikit mengerutkan alis, hatinya membatin. "Baru saja aku mendengar kesiur angin. Dia lantas bisa mengetahui ... " Benar juga dari belakang batu besar sebelah samping sana lantas kumandang tawa terkekeh yang menusuk telinga, beruntun melompat keluar tiga orang enam puluhan tahun, rambut dan jenggot mereka sudah beruban semua. Jilid 13 Seorang tua yang terdepan berseru keras sambil tertawa lebar. "Ma Giok-Iiong kiranya memang tidak bernama kosong, Aku Ka Liang-kiam benar-benar tunduk akan kelebihanmu ini." Habis berkata berbareng mereka lantas unjuk hormat kearah Hian-khong Taysu serunya. "Kita bertiga saudara setindak rada lambat, harap Taysu suka memberi maaf !" Hian-khong membalas hormat sambil merangkap sebuah tangan didepan dada sahutnya. "Thian-san-sam-kiam mau turun gunung sendiri, benar-benar merupakan keberuntungan Bulim." Tengah mereka berbasa basi ini, dari hutan sana berjalan keluar pula seorang Tosu tinggi kurus, punggungnya memanggil sebatang pedang panjang enam kaki, raut muka rada pucat, kedua matanya sipit sembari jalan menghampiri ia menyelak dingin. "Hehehehe, ternyata kalian sudah datang lebih dulu !" Begitu melihat Tosu tua ini, Hian-khong serta Tian sansam- kiarn seketika tercengang segera mereka buru-buru unjuk hormat sambit tertawa. "Tak nyana Ji-ngo Lo cian-pwe tidak menikmati hidup ma di Ciong-lam ini betul betul merupakan rejeki besar bagi kaum persilatan." Tatkala itu dari empat penjuru beruntun berdatangan banyak macam dan ragam tokob-tokoh silat, ada Hwesio ada Tosu serta banyak pula orang-orang preman, sedikitnya ada puluhan orang jumlahnya. Serta merta Giok-liong menjadi terkurung ditengah gelanggang. BegituIah setelah semua hadirin saling sapa sekadarnya, pandangan semua hadirin lantas terpusatkan pada diri Giok liong, Suasana menjadi sunyi dan tegang melingkupi benak seluruh hadirin. Begiulah setelah semua hadirin saling sapa sekedarnya, banyak orang meloncat tinggi di belakang Giok-liong. Dimana mereka berbareng mengayun tangan, digabung sinar berkeredepan dari pancaran jarum berbisa warna biru meluncar kearah pinggang Giok liong. Bukan sampai disitu saja serangan ganas ini, bersama itu tiga gulung angin pukulan juga sekaligus menerpa tiba. Giok-liong berdiri tenang seperti tidak tahu bahwa dirinya terancam bahaya, ujung mulutnya menyungging senyum ejek yang samar-samar tak dapat dilihat orang lain. Adalah Ciong-lam-koay-to (Tosu aneh dari Ciong-lam-san) Ji-ngo mendelikkan sepasang biji matanya yang membara, sambil mendengus hina ia menggumam. "Dihadapan aku orang tua juga berani bermain pola !" Lengan bajunya yang panjang gondrong pelan pelan dikebutkan, segulung angin segera menerjang keluar tanpa mengeluarkan suara. Giok-liong sedikit manggut kearahnya serta katanya. "Terima kasih akan kebaikan Cian-pwe!" Seenaknya saja sebelah tangannya mengulap sedepan, ditengah gelanggang lantas terdengar pekik kesakitan yang tertahan ketiga bayangan orang yang bergerak membokong mendadak jungkir baiik terpental balik tergulung didalam jarum jarum beracun yang disambitkan tadi, seketika terjadi hujan darah dan mereka terbanting sejauh beberapa tombak sebelum terbanting ditanah jiwanya sudah melayang. Sementara itu Ji-ngo merasa seakan-akan suatu tenaga lunak yang tidak kentara membendung tenaga kebasan lengan bajunya itu sehingga badannya sedikit tergeliat. Kejadiao yang mendadak ini menimbulkan kegemparan diluar gelaaggang, banyak orang memaki dan berteriak "Dimana keadilan dunia persilatan, bocah keparat ini sekali turun tangan lantas melukai orang ..." "Kinilah saatnya kita tumpas kejahatan dan ringkus iblis laknak ini ..." "Sungguh kejam dan telengas betul cara turun tangan bocah keparat ini ... " "Maknya, sekali turun tangan mencabut jiwa orang, emangnya jiwa manusia tidak berharga, permainan apa ini ..." Bayangan orang berkelebatan tujuh delapan orang sudah melompat memasuki gelanggang di sebelah sana banyak para Tosu yang berangasan sudah mencabut pedang serta menghardik galak. "Kita harus tuntut balas bagi Go-bi-pay, berabtas sampah persilatan, sekarang sudah tiba saatnya." Semakin banyak orang berdatangan mengepung diluar gelanggang, mungkin jumlahnya tidak kurang dari seratus orang. Ketua Siaulim si Hian-khong Tajsu malah pejamkan mata dan tunduk kepala, mulutnya bersabda Budba, Demikian juga Thian-san-sam-kiam berdiri diam saja. Sekonyong konyong gema tawa dingin yang merindingkan pendengaran berkumandang diantara keributan itu, Ringan sekali Ji-ngo si Tosu aneh dari Clong-lam malah berdiri sejajar dengan Giok-liong, serunya dingin. "Ketiga kurcaci ini membokong dari belakang. Dengan cara kematiannya ini cukup setimpal dengan perbuatan mereka ini sudah boleh dikata cukup bijaksana! Kalian semua coba siapa yang tidak terima, mari hadapi Lohu." Memang ketenaran dan kebesaran nama si Tosu aneh dari Ciong-lam pay ini bukan kosong belaka, seketika seluruh hadirin terbungkam mulutnya. Giok-liong tersenyum ewa kearah Ji-ngo ujarnya. "Teriina kasih akan bantuan cianpwe..." Ciang-lam-koay to Ji-ngo menjengek dingin. "Aku bekerja menurut gelagat sekarang, setelah urusan ini selesai, perhitungan lainnya harus diselesaikan secara lain." Baru selesai ia bicara, meluncurlah dua bayangan abu-abu kedalam gelanggang tahu-tahu dua orang tua dengan jenggot panjang menjulai didepan dada menggunakan baju abu abu mendarat dihadapan Ciong-lam-koay-to, serunya. "Selamat bertemu! selamat bertemu!" Air muka Ciong-lam-koay to membeku dingin dengusnya. "Untuk apa kalian kemari?" Diluar terdengar suara bisik bisik. "Cihu ji-lo juga datang, mungkin Ci hu-sin-kun sudah tidak jauh dari sini." "Biarkan saja, coba lihat Ji-ngo si tua bangka itu cara bagaimana hendak menghadapi mereka." Salah seorang dari Ci-hu-ji-lo yang berdiri disebelah kanan air mukanya mengunjuk warna abu-abu, segera ia merubah sikap lalu berkata menyeringai. "Ma Giok-liong adalah orang yang sudah di tunjuk untuk diringkus pulang oleh Sin kun, kita berdua menerima perintah beliau untuk menyambutnya pulang!" Tepat pada saat itulah muncul sesosok bayangan hijau pupus, laksana dedemit hinggap ditengah gelanggang, suasana seketika menjadi seram diliputi kengerian, sebuah suara yang mengalun lemah merdu berkata. "Apakah obrolan Sin-kun saja lantas menjadi perintah kerai?" Keruan semua hadirin menjadi kaget, beramai mereka berpaling kearah datangnya suara. Kiranya bayangan hijau pupus ini adalah seorang pertengahan umur berwajah pucat pias, tubuhnya kurus semampai kelihatan sangat lemah. Dari bentuk tubuhnya yang tinggi semampai raut mukanya yang lonjong indah serta bibirnya yang tak berdarah itu, dapatlah diperkirakan semasa mudanya pasti perempuan ini adalah seorang wanita cantik yang menggemparkan jagat. Begitu orang ini muncul seluruh gelanggang menjadi ribut bisik-bisik dan seruan tertekan "Bik-lian-hoa..." "Bu-lim-su-bi kiranya masih hidup ..." Samar-samar Giokliong mendengar bahwa perempuan pertengahan yang baru datang ini ternyata adalah Bik-liam-taoan salah satu dari Bu - lim - su - bi serta merta darinhati kecilnya timbul rasa dekat dan bersahabat Berulang kali ia melirik memandang dengar seksama. Apa yang dilihatnya menjadikan hati Gi-ok-liong merasa terkesiap dan kasihan.. Meski sudah pertengahan umur namun wajah Bik-lian-hoa masih kelihatan halus cantik kedua biji matanya yang hitam sebaliknya meoiankan rasa duka dan pedih sedalam lautan. "Oh, Tuhan! Sangguh kasihan benar perempuan tercantik di jagat ini harus hidup merana sebatang kara." Kebetulaa saat mana Bik-lian-hoa juga tengah memandang kearahnya, begitu pandangan kedua belah pihak saling bentrok, sorot mata Bik-Iian-hoa mendadak memancarkan sinar aneh yang sangat ganjil, tapi itu terjadi dalam kilasan yang pendek sekali. Begitu melihat kehadiran Bik-lian-hoa, wajah tua Ciong lamkoay- to yang bersitegang leher tadi lantas pelan-pelan pulih kembali mengunjuk senyum girang, sambil soja ia berkata seperti tidak tertawa. "Nona Li apakah baik-baik saja sekian tahun ini?" Bik-lian hoa tertawa lemah, ujarnya perlahan. "Terima kasih akan perhatianmu, baik-baik saja." Adalah Ci-hu ji-lo lah yang merasa disepelekan, air muka mereka bersemu abu-abu, agaknya mereka tengah menahan gusar dan mengerahkan tenaga, terdengar yang disebelah kiri berkata dengan nada berat. "Jadi nona Li sengaja hendak menghina Sin-kun?" Kebetulan Thian-san-sam-kiam juga tengah maju menghampiri dan unjuk hormat kepada Bik-lian-hoa, seru mereka. "Apa kabar Li-cian-pwe?" Hakikatnya Bik-Iian-hoa seperti tak hiraukan ucapan Ci-hu ji-lo, katanya kepada Thian-san-sam-kiam. "Apakah kalian juga baik?" "Kita sehat walafiat berkat lindungan Tuhan, selama ini mengasingkan diri di Thian-san." Sementara itu ketua Siau lim-si Hian-khong Taysu juga membungkuk tubuh mengunjuk hormat dari kejauhan, Bik lian hoa menyambut dengan menganggukkan kepala. Keruan Ci-hu ji-lo menjadi berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot. Tapi mereka tahu bahwa Bu-lim su-bi bukan musuh sembarang musuh yang gampang diganggu usik. Maka sedapat mungkin mereka berlaku sabar, tanyanya dengan suara lirih. "Lalu cara bagaimana penyelesaiannya menurut pendapat nona Li?". Sekilas Bik-lian-hoa melirik hina kearah mereka, lalu semprotnya dingin. "Apa kalian ada harga ikut-ikutan memanggilku dengan sebutan nona Li apa segala? "Lalu ia melangkah menghampiri kearah Giok liong, katanya lemah lembut. "Nak marilah ikut aku." Giok liong menjadi tertegun, pikirnya. Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kenapa dia minta aku ikut dia?" Demikian ia berpikir sehingga susah ambil kepastian. Sekonyong-konyong terdengar galaknya menggila yang riuh rendah menusuk telinga semua hadirin bagai geledek menggelegar sampai bumi terasa bergetar kuping juga seperti ditusuk-tusuk. Dimana bayangan merah berkelebat beruntun muncul empat orang kata berkepala besar bermuka gepeng mengenakan jubah panjang warna merah. Sungguh lucu bentuk keempat orang cebol ini, rambut kepalanya awut-awutan kaku seperti bulu landak, raut mukanya merah darah, mata merekapun memancarkan kilat merah yang tajam membuat orang tak kuat beradu pandangan dengan mereka. Kepalanya terlalu besar, raut wajahnya juga gepeng sungguh lucu jelek dan jenaka sekali. Segera terdengar ada orang yang berteriak kejut. "Hiat-ing su-ai..." Begitu Hiat-ing-su ai (empat cebol dari Hiat-ing-bun) muncul lantas gelak tawa mereka berhenti, secepat itu mereka sudah mendarat tiba di hadapan Giok-liong, mereka memutar tubuh menyapu pandang ke seluruh gelanggang lalu berteriak tertawa. "Bagus, kiranya nona Li yang pegang peranan digelanggang sini!" Hadirin semakin tegang dan was-was. Harus diketahui bahwa kedudukan Hiat ing-bun bagi kaum persilatan masih setingkat lebih atas dari aliran Ci-hu, justru Hiat-ing-su-ai ini merupakan tokoh terpenting didalam Hiat ing bun mereka, jarang dan sulit sekali keempat orang cebol ini pernah unjuk diri karena kedudukannya yang tinggi, kecuali mereka turun tangan maka apa yang dituju pasti berhasil dan itu merupakan urusan besar. Lain lagi dengan pihak Ci hu-ji-lo meskipun ilmu silat mereka sangat tinggi, hakikatnya mereka bukan merupakan tokoh penting dalam golongannya, kedudukan mereka juga tidak begitu tinggi, maka meskipun semua orang tidak berani memandang rendah pada rnereka, tapi juga tidak berlebihan seperti sikap mereka terhadap Hiat-ing su ai. Terdengar Bik lian-hoa tertawa sinis. "Urusan disini tiada tempat bagi kalian untuk ikut campur !" "Belum tentu !" Sebuah suara serak dan berat mendadak menyelak diluar gelanggang sana, serta merta semua orang berpaling ke arah datangnya suara. Sebuah bayangan abu-abu meluncur tiba terus hinggap didepan Ci-hu ji-Io. orang ini bertubuh kekar dan gagah, bermuka ungu dengan jenggotnya yang menjiwai panjang sungguh garang dan angker sekali sikapnya, ia mengenakan jubah panjang warna ungu terbuat dari sutra mahal serba perlente. Sekali lagi suasana gelanggang menjadi sunyi begitu orang ini muncu. Dia bukan lain adalah Ci-hu sin-kun Kiong Ki, salah satu tokoh silat yang tenar, selama ratusan tahun namanya tak pernah luntur, tindak tanduknya serba misterius. Tanpa bersuara Ci-hu-jilo membungkuk tubuh terus mundur ke belakangnya. Sikap raut muka Hiat-in su-ai sekarang kelihaian mulai rada kikuk dan kurang wajar. Demikian juga Ciong-lam-koay-to Ji-ngo yang berdiri disamping Giok-liong mengerutkan kening, katanya kepada Giok-liong. "Buyung, cara bagaimana kau mengganggu usik gembong gembong aneh sebanyak ini." Giok liong menjawab dengan sombongnya. "Kalau Cianpwe takut urusan, boleh silakan mundur saja sebagai penonton." Ciong-lamnkoay-to menjengek dingin, katanya. "Selamanya Lohu belum pernah takut kepada siapapun ... ." Sementara itu, Ci-hu-sin-kun sudah maju beberapa langkah sedikit membungkuk hormat kearah Bik-Iian hoa serta katanya. "Naga-naganya nona Li sengaja hendak memikul seluruh persoalan ini ke atas pundakmu sendiri, bukankah begitu?" Bik-lian-hoan juga balas sedikit menekuk lutut, sahutnya. "Ternyata semakin tua Sin-kun semakin sehat dan bersemangat!" "Mana, mana, berkat pujian melulu." "Tapi semakin tua juga semakin ceroboh." Ci-hu-sin kun menarik muka dingin, seringainya. "Nona Li kalau bicara sukalah memberi muka." Bik lian-hoa juga tertawa dingin. "Secara langsung Sin-kun menunjuk anak ini, entah untuk keperluan apakah?" Ci-hu sin-kun mengakak tawa, kedua biji matanya membelalak besar berkilat serunya lantang. "Urusan sudah sampai begitu jauh, aku juga tidak perlu main pat gulipat. Tujuan Lohu adalah seruling sambar nyawa yang digembol oleh bocah ingusan itu." Waktu mengucapkan kata-katanya ini sengaja ia bikin nadanya menjadi tinggi dan keras memamerkan Lwekangnya, jadi hakikatnya kata-katanya ini bukan melulu ditujukan kepada Bik-lian-hoa seorang ini merupakan peringatan dan tantangan bagi seluruh kaum persilatan yang hadir. Betul juga seluruh hadirin menjadi gempar. Satu sama lainnsaling pandang tapi tiada seorang pun yang berani tampil kedepan menandingi urusan ini, Sebab semua orang tahu, bagi siapa saja yang mengajukan diri pasti seluruh perhatian orang tertuju pada dirinya, Coba pikirkan siapa, yang kuat bertahan menghadapi sekian banyak orang. Bik-lian hoa terkekeh-kekeh geli, begitu geli sampai ia meliukkan pinggang menekan perut. Hawa ungu berkelebat lagi dimuka Ci-hu-sin-kun, hardiknya bengis. "Apa yang kau tertawakan?" Bik lian hoa menjebir bibir, katanya serba kalem. "Harap tanya Sin-kun, apakah seruling samber nyawa sudah ditakdirkan menjadi milikmu seorang?" Ci-hu-sin-kun terhenyak terkancing mulutnya. Terdengar Bik-lian-hoa menyambung lagi. "Seruliag samber nyawa adalah benda pusaka kaum persilatan, siapa yang tidak ingin memiliki, kukwatir bukan kau saja yang mengincar." Dalam berkata-kata ini sengaja atau tidak sepasang matanya yang hitam besar dan jeli menggiurkan itu menyapu pandang keseluruh hadirin yang berjumlah ratusan orang itu. Sebaliknya Ci-hu sin-kun menantang dengan takabur. "Siapa yang ingin mengincarnya, silakan keluar menghadapi aku bermain silat." Sungguh sombong dan takabur sekali, hakikatnya ia tidak pandang sebelah mata seluruh kaum persilatan yang hadir. Tapi kedudukan Ci-hu-sin-kun yang tinggi serta kepandaian silatnya yang lihay, kiranya cukup membuat keder seluruh gembong-gembong silat dari aliran putih dan hitam, mereka gusar dalam hati, sedikitpun tidak berani unjuk kegarangan dilahiriah, berbisik-bisik tanpa berani banyak tingkah. Sebaliknya Bik-lian-hoa mempunyai perhitungannya sendiri, suara tawanya merdu menggiurkan, katanya memancing. "Ucapan Sin-kun ini apa tidak keterlaluan . ." Sengaja ia tarik panjang suaranya sehingga ucapan selanjutnya dihentikan. Ci-hu sin kun menjadi berjingkrak gusar semprotnya gusar. "Apa ? Takabur ? Atau kurang sembabat ?" Cepat Bik-lian hoa menyahut. "Bukan!, bukan takabur, kalau mengandal nama Cihu dari Sin-kun, Lwekang serta kepandaian silat, meskipun diantara hadirin ada yang kuat bertahan bergerak sampai tiga ratusan jurus melawan Sinkun, tapi toh takkan mendapat keuntungan yang diharapkan Apa boleh buat ... " Lagi lagi ia sengaja jual mahal akan katakatanya memancing kemarahan Ci-hu-sin-kun. Betul juga Ci-hu sin-kun menjadi tidak sabaran, selaknya. "Apa boleh buat gimana?" Bik-lian hoa meninggikan suaranya. "Apa boleh buat karena siapapun yang hadir disini mempunyai hak mendapat bagiannya, Kau sendiri terlalu tamak hendak mengangkangi sendiri apa kau tidak takut orang orang ini bergerak maju mengeroyokmu ?" Lagi-lagi seluruh hadirin menjadi geger oleh ucapan propokasi dari Bik-lian hoa ini. Ci hu-sin kun sendiri juga menjadi ter-longong-longong. Betapa juga ia harus waspada dan memperhitungkan rugi untungnya sebelum bertindak. Agaknya propokasi Bik lian-hoa mendapat hasiI, pertamatama Hiat ing-su ai tampil kedepan, salah seorang diantaranya segera berteriak sambil menggerakkan kepalanya yang besar tercetus teriakannya . "Ucapan nona Li memang benar siapapun jangan harap bisa mengangkangi seorang diri !" Ciong-lam kay to Ji ngo mengerutkan kening, Sambil meraba gagang pedangnya ia pun ikut bicara. "seruling samber nyawa ini menyangkut suatu urusan besar dunia persilatan. Tujuan sembilan partai besar bukan terletak pada benda pusaka itu, Tapi keselamatan dan kesejahteraan hidup kaum persilatan betapa juga harus dipikirkan." Sembari berkata matanya berkedip memberi syarat kearah Thian sansam- kiam. Maka Thian-san-sam-kiam segera mengiakan bersama . "Tepat sekali ucapan ini." Selanjutnya Bik-lian hoa angkat bicara lagi. "Nah, kan begitu, siapapun berhak memikirkan kepentingan bersama." Begitulah percakapan yang bersifat menyindir dan nada tajam ini membuat Ci-hu-sin-kun tambah gusar sampai lidahnya terasa kaku tak bisa bicara, hawa ungu bertambah tebal menyelubugi mukanya, desisnya berat. "Sudah jangan cerewet tak karuan, Lohu sendiri sudah datang kemari betapapun harus berhasil membawanya puIang." Bik lian hoa tidak mau kalah wibawa, tanpa kelihatan ia bergerak mendadak tubuhnya melayang tiba disamping Giokliong, katanya lemah lembut. "Nak, mari kita pergi." Tak terduga tiba-tiba Giok-liong mementang mulut menggembor keras dan panjang, suaranya mengalun tinggi bagai pekik naga nyaring dan menggetarkan sukma. Sudah tentu perbawa gemboran Giok-liong ini sangat mengejutkan semua hadirin. Siapa akan menduga pemuda yang kelihatan lemah ini ternyata membekal latihan Lwekang yang sudah sempurna dan tinggi. Mengandal suara gemborannya ini saja cukup untuk menggetarkan nyali setiap tokoh silat kelas satu. Ci hu-sin kun sendiri juga menjadi berang, hardiknya bengis. "Buyung, gembar gembor mengeluarkan kentut busuk apa kau?" Sikap Giok liong gagah sambil membusungkan dada serunya lantang. "seruling satnber nyawa adalah benda pusaka peninggalan perguruanku. Siapa yang bermaksud jelek hendak merebut seruling ini, kecuali dapat merobohkan aku dulu, Kalau tidak, hm." Angker benar sikap garang Giok-Iiong ini sambil berdiri bertolak pinggang dan bercagak kaki. "Kunyuk sombong benar!" Tiba-tiba bayangan abu-abu berkelebat hawa berkabut ungu mengembang luas. Baru saja suara Ci-hu-sin-kun lenyap tahu-tahu telapak tangannya segede kipas sudah menyelonong tiba menekan dada Giokliong. "Serangan bagus!" Giok-liong membentak gusar, tangan kanan bergerak memapas, sedang, tangan kiri bergerak melingkar menimbulkan mega putih membawa kekuatan hawa dahsyat jurus Ciu-chiu cari salah satu jurus ilmu Samji ciu-huchiu dilancarkan. Seketika terdengar ledakan gemuruh bagai gugur gunung. sebelum seluruh penonton sempat mengedipkan mata kedua orang sudah secepat kilat mengadu pukulan. Betapa cepat adu pukulan ini sungguh luar biasa, hakikatnya lebih cepat dari kilatan kilat. Terlihat wajah Ci-hu-sin-kun diselubungi hawa ungu, kulit mukanya menjadi kaku membesi penuh kemarahan, suaranya bernada berat. "Memang kepandaian Pang Giok tidak lemah, tapi Lwekang Pang Giok belum tentu dapat kau pelajari seluruhnya." Seluruh hadirin banyak adalah gembong dan tokoh-tokoh silat kenamaan dan ahli dalam bidang ini, entah mereka dari aliran hitam atau putih, rata-rata mereka tahu bahwa adu pukulan tadi merupakan pelajaran besar ilmu silat tunggal yang jarang punya tandingan di jaman ini, yaitu Ci-hu-sinkang dan Sam-ji-hui-cun-chiu. Wajah Bik-lian-hoa berubah dingin, segera ia menerjang maju sambil menarikan kedua tangannya, cukup kesiur kebasan lengan bajunya saja dapat mengundurkan mereka berdua. Jengeknya dingin. "Kiong Ki, seorang orang tua seperti kau tidak malu menindas yang masih muda?" "Ha. kan dia sendiri yang tidak tahu tingginya langittebalnya bumi, berani kurang ajar terhadap orang tua." "Terang gamblang aku melihat kau dulu yang turun tangan." Ucapan ini terang memihak dan mengeloni Giokliong, sungguh Ci-nu-sin kun Kiong Ki menjadi penasaran. Karuan air makanya semakin tebal diselubungi hawa ungu, kedua biji matanya semakin mendelik besar. garangnya murka. "Jadi kau sengaja hendak ikut campur dalam urusan ini?" Acuh tak acuh Bik lian-hoa berkata. "Sudah puluhan tahun aku tilak pernah bergebrak, Kalau Sin-kun ada minat tiada halangan aku melayanimu tiga gebrak atau dua jurus." Meskipun tidak menantang secara terang-terangan, namun kata-kata halus dan dingin ini cukup menyebalkan dan menjengkelkan bagi pihak Iawan. Ci-hu-sin-kun adalah Bing cu dari golongan hitam, sebagai seorang yang berkedudukan tinggi mana rela menerima ejekan yang merendahkan martabatnya ini, maka sambil menggentakkan kedua lengannya ia berteriak. "Baik, marilah akan kulayani setiap tantanganmu." Belum lenyap suaranya tiba-tiba kakinya melangkah setengah langkah, dimana kedua telapak tangannya bergerak silang, samar-samar terlihat jalur hawa ungu melesat serabutan, telapak tangan segede kipas itu menari-nari lincah sekali ditengah kabut ungu. Bik-lian-hoa mandah berseri riang, namun sepasang matanya berkilat dingin, Sret, tiba-tiba ia kebaskan lengan bajunya, seketika timbul sorot sinar hijau memancar sampai delapan kaki, hawa dingin menembus keluar dari kebasan lengan bajunya itu. Seketika lima tombak sekeliling gelanggang samar-samar terdengar suara gemuruh seperti guntur menggelegar diseling hawa dingin yang meresap kebadan masuk kedalam tulang sungsum, tanpa merasa para hadirin terdekat menjadi merinding dan bergidik kedinginan. Situasi menjadi tegang dan mencekam leher, kedua belah pihak sudah siap siaga seperti busur yang tinggal melepas anak panah, seluruh tokoh-tokoh silat menjadi tegang serius dan kwatir, beramai-ramai mereka menyurut mundur sampai lima tombak jauhnya, sehingga terluang arena bertempur yang cukup lebar. Besar minat mereka menonton pertunjukan adu silat tingkat tinggi yang jarang terjadi ini, sekonyong-konyong bayangan putih melejit maju terdengar suara berseru. "Lician- pwe, tunggu dulu!" Tahu-tahu Giok-liong sudah menghadang ditengah kedua tokoh besar yang sudah berhadapan sambil membusung dada ia berdiri dengan tersenyum simpul, katanya sambil membungkuk badan kepada Bik - lian - hoa. "Yang dia tuju adalah aku, maka harap Li-cianpwe tak usah mencapekan diri" Rasa gusar Ci hu-sin-kun semakin merayu eak, serunya bergelak tawa. "Hehehe! Hahaha Bik-lian-hoa! Boeah ingusan ini tidak mau terima budimu!" Bik-lian-hoa menatap Giok-liong tajam, katanya terhenyak. "Kau..." Kata Giok-liong Iantang. Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Yang dicari adalah aku, biarlah aku bertanding dengan dia untuk menentukan siapa yang lebih unggul, seorang laki laki berani berbuat berani bertanggung jawab, aku tidak mau mengandal bantuan orang lain." Jikalau Ci-hu-sin-kun betul-betul bertempur melawan Biklian hoa, siapa bakal menang atau asor sulit ditentukan. Ketahuilah bahwa Bu lim-su-bi adakah tokoh lihay yang sukar dilayani, jangan sekali-kali diganggu usik. Begitulah setelah menerawang situasi di hadapan ini, secara licik ia berusaha mengambil keuntungan tanpa menanti Bik lian-hoa sempat membuka mulut ia mendahului ber-kata. "Baik, kita tentukan demikian, biar Lo-hu melawanmu satu demi satu." Ma Giok-liong menyahut dengan gagah. "jikalau aku minta orang membantu, hitunglah aku yang kalah." "Demikian juga Lohu!" Ci-hu-sin-kun menyeringai licik, Lalu ia mengulapkan tangan keaiah Ci-hu-ji-lo. "Kalian mundur dan jangan sembarangan bergerak." Ci-hu-ji-lo mengiakan terus melompat mundur dua tombak jauhnya menonton dari kejauhan. Nama Kim-pit-jan hun memang sudah tenar dan menggetarkan Bulim, tapi yang betul betul pernah melihat atau menjajal kepandaian Giok-liong sejati masih belum banyak orang. Seluruh hadirin bersitegang leher menahan napas, suasana menjadi sunyi seakan tiada insan hidup ditempat ini, seumpama sebatang jarum jatuh juga dapat didengar dengan jelas. Dalam pada itu Ci-hu-sin-kun sudah mulai mengerahkan tenaga Lwekangnya serta menggeser tempat mencari kedudukan yang menguntungkan. Ma Giok-liong menjura kearah Bik-lian-hoa tanpa bersuara, terus melompat ke samping setelah sana berhadapan dengan lawan sejauh setombak lebih, kabut putih mulai mengepul bergulung seperti gumpalan bunga salju. "Buyung, sambutlah pukulanku !" "Silakan keluarkan kemampuanmu !" Mega putih berkelompok menyelubungi pancaran sinar putih perak, sebaliknya di sebelah sana bayangan kepelan tangan berlapis-lapis, hawa ungu membumbung tinggi bagai asap. Begitu kedua lawan melancarkan serangannya terdengarlah ledakan gemuruh, batu pasir beterbangan menari-nari, hawa sekitar gelanggang menjadi mengalir cepat menghembus deras melambaikan baju para penonton diluar gelanggang. Lambat laun sinar perak dan hawa ungu itu saling bergulung dan menggubat menjadi satu, begitu cepat dan tangkas sekali mereka bergerak sehingga bayangannya saja sukar dibedakan mana Giok-liong dan yang mana pula Ci-husin- kun. Yang jelas kelihatan banyalan hawa ungu kadang-kadang mumbul tiba-tiba tenggelam naik turun bergantian, Demikian juga kabut putih itu-saban-saban melambung luas dan melayang ringan, sekonyong-konyong bergulung-gulung cepat seperti dihembus angin badai mengelilingi pancaran linar perak yang cemerlang. Diam diam Bik-lian hoa manggut-manggut. Demikian juga para penonton lainnya merasa kagum dan memuji. Mendadak terdengar suara gemboran keras diselingi jengek tawa dingin, kedua bayangan musuh yang sedang berkutet itu mendadak berpencar melompat mundur sejauh setombak. Kedua biji mata Ci-hu-sin kun mendelik besar seperti kelereng yang hendak mencelat keluar, air mukanya serius dan membesi, lengannya digerak-gerakkan sambil mengusapngusap telapak tangan, bergaya siap menubruk lagi. Ma Giok-liong pentang kedua matanya yang memancarkan sorot berkilat, wajahnya yang putih ganteng bersemu merah, tenang sekali ia bergaya memasang kuda-kuda, sambil menyiapkan kedua tangannya melintang di depan dada. Melihat sikap Giok-liong ini Bik-lian-hoa menjadi kwatir, omelnya dalam hati. "Bocah ini terlalu berani, bagaimana kuat dia berani mengadu Lwekang dengan Ci-hu-sin-kun." Namun ia tidak berani bersuara memperingatkan, takut mengganggu konsentrasi Giok-liong. "Omitohud !" Siau lim Ciang-bun Hian-khong Taysu bersabda Budha dengan nada rendah. Hakikatnya siapapun tiada yang berani mengorbankan jiwanya untuk menempuh bahaya menolong situasi yang gawat ini, sebenarnya memang tiada seorangpun diantara hadirin yang punya pegangan termasuk Bik-lian hoa sendiri yang berani menempuh bahaya ini. Tapi betapa juga Bik-lian-hoa sudah menghimpun Lwekang bersiap-siap turun tangan bila diperlukan. Tatkala mana hawa ungu diwajah Ci hu-sin-kun semakin tebal Demikian juga semu merah dimuka Giok-liong semakin besar, seluruh badannya diselubungi kabut putih, akhirnya kabut ungu menjadi gelap dan Ci-hu-sin kun dikerahkan sampai puncak tertinggi. Berhadapan dengan mega putih yang semakin tebal. Jilo sudah dihimpun sampai titik paling sempurna. Dua musuh tua dan muda dalam waktu sedetik atau semenit ini bakal mengadu kepandaian membagi hidup dan mati. Sekonyong-konyong, dari kejauhan diufuk langit sana terdengarlah suitan panjang yang melengking tinggi menggiriskan sukma orang, disusul suitan lain saling berebut dari berbagai penjuru, seluruh pegunungan Bu-tong-san, dari berbagai penjuru terdengar lengking suitan yang menggetarkan sukma itu. Kalau disebelah sana terjadi suatu keributan yang menggemparkan lagi, tapi ditengah gelanggang bayangan putih dan ungu sedikitpun tidak terganggu atau tergugah oleh suitan yang menyayatkan itu." Mereka masih tegas dalam tujuan pertama mengadu jiwa sampai mati. "Haha ... " "Hai ..." Dua gerangan dan gemboran keras berbareng keluar dari mulut kedua lawan yang berhadapan itu. Kabut ungu tiba-tiba meletus sampai lima tombak luasnya terus menubruk kedepan dengan kekuatan dahsyat. Mega putih juga mengembang luas sekitar lima tombak sekelilingnya, menerpa deras kearah musuh, sedetik sebelum kedua kekuatan dahsyat kedua belah pihak saling bentrok, mendadak sejalur bayangan ungu meluncur datang dengan kecepatan anak panah terus menyelusup diantara gelombang pukulan yang hampir beradu itu terdengar suara berteriak keras "Jangan!" Namum suara itu menjadi kelelap oleh ledakan gemuruh yang menggoncangkan bumi dan memekakkan telinga sehingga jantung para penonton berdebur keras, napas juga menjadi sesak seperti dada ditimpa godam. Kejadian adalah begitu cepat, kabut ungu seketika lenyap tampak badan Ci hu-sinkun yang tinggi itu melayang ringan jatuh meluncur setombak diluar sana. Begitu juga mega putih lantas ditarik kembali, bayangan Giok-liong jumpuIitan mendarat diatas tanah. Sebuah bayangan ungu lain adalah seorang gadis jelita yang terbanting keras diatas tanah, mulut kecilnya langsung menyemburkan darah segar, wajahnya pucat pasi, rambutnya nap-riapan menggeletak celentang tanpa bergerak. Peristiwa ini terjadi begitu cepat dan di luar dugaan, boleh dikata hanya sekedipan mata belaka. Serentak Ci hu-ji lo melejit maju, berbareng mereka berseru. "Tuan putri!" Belum sempat Ci tau-sin-kun pernahkan diri dan menormalkan pernapasannya ia menjadi kaget setengah mati, seketika air mukanya berubah pucat dengan terhuyung ia memburu maju sambil berteriak. "Anak Ling! anak Ling!" Saat mana Giok-liong juga sudah melihat, keadaan Kiong Ling-ling yang mengenaskan itu. Teringat akan budi kebaikan Kiong Ling-ling yang telah berdampingan bersama Tan Soatkiau menolong jiwanya, hatinya menjadi haru dan tak tega, sekuatnya ia melangkah maju sambil berteriak. "Nona Kiong!" Ci-hun-sin-kun mendelikan matanya semprotnya mendesis. "Apa pedulimu!" Ma Giok-liong juga tidak mau kalah garang, tentangnya berani. "Apa! Mau coba-coba lagi?" Ci-hu-sin-kun sudah malang melintang memimpin golongan hitam sekian tahun lamanya, jelek-jelek ia seorang cikal bakal sebuah perguruan silat maha agung, dalam gebrak pertama ini tanpa dapat dibedakan siapa menang dan asor, ini sudah merupakan pukulan batin dan jatuh pamor baginya, mana kuat ia mendengar ejekan Giok-liong yang kurang ajar ini. Maka sambil melintangkan kedua tangannya, ia menghardik dengan murka. "Bocah sombong, kau sangka aku takut!" Tiba-tiba bayangan hijau melejit datang menghadang dihadapan mereka. ternyata Bik-lian hoa sudah berdiri ditengah gelanggang sambil berseri tawa, ujarnya. "Tidak perlu bertanding lagi, kalah menang sudah kelihatan! " "Apa kalah menang sudah berketentuan?" Semprot Ci-hu-sin-kun tercengang, matanya membelalak gusar. Bik-lian-hoa menarik badan Giok-liong, ujarnya lembut. "Nah, mari kita pergi, gebrak pertama ini kemenanganmu bagus sekali." Giok-liong tidak tahu kemenangan cara bagaimana yang dikatakan itu, tanyanya. "Aku ..." Bik-lian-hoa menyelak. "Pihak Ci-hu-bun telah melanggar janji, dua lawan satu malah yang satu terluka parah lagi bukankah sangat mentereng kemenangan mu ini." Ci hu-sin-kun menjadi gugup dan menggerung gusar. "Omong kosong belaka anakku..." "Anak gadismu membantu kau toh masih kewalahan jaga, Haha, sungguh memalukan!" Demikian jengek Bik-lian-hoa. Sebaliknya Ma Giok liong menyangkal. "Dia bukan membantu, tapi..." Giok-liong tahu bahwa tujuan Kiong Ling-ling adalah hendak melerai dan mencegah pertampuran ini, siapa tahu dia sendiri yang konyol terluka parah. Tak duga Bik lian hoa melerok kearahnya sambil omelnya. "Bocah gendeng, ayah anak kandung sendiri kalau tidak membantu dia masa membantu kau malah, Mari pergi!" Keruan Ci hu-sin-kun semakin berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot, rambut diatas kepalanya sampai berdiri bergo-yang-goyang. Tapi seumpama si bisu menelan empedu yang pahit, ada maksud berkata tapi tak dapat bersuara. Dalam pada itu terdengarlah keluhan sakit Kiong Ling-ling yang mulai sadar dari pingsannya, Ujung mulutnya masih melelehkan darah, badannya lemah celentang di-tanah, dadanya kembang kempis pernapasannya memburu cepat. Menolong orang lebih penting, maka sambil membanting kaki segera Ci-hu-sin-kun merogoh pulungan obat dari dalam bajunya terus berjongkok menuang dua butir pil sebesar anggur terus dijejalkan ke mulut anaknya. Lalu dijinjing dan dipeluknya badan putrinya lalu ancamnya kepada Giok liong penuh kebencian. "Buyung, ingat perhitungan hari ini." Lalu membentak kearah Ci-hu ji-lo. "Ayo pulang!" Sekejap saja bayangan mereka sudah meluncur jauh keluar hutan sana dan menghilang. Mengantar kepergian Ci-hu-sin-kun, perasaan Giok-liong menjadi mendelu dan tertekan seperti kehilangan sesuatu. Enjah mengapa hatinya merasa menyesal, terasa olehnya bahwa derita yang menimpa Kiong Lin-ling adalah penasaran belaka, meskipun dirinya tidak sengaja hendak melukainya, tapi mengapa ia merintangi pukulan ayahnya sedang serangan tangannya ... Giok liong menduga bahwa iuka-Iukanya itu pasti sangat parah, karena serangan yang dilancarkannya itu merupakan himpunan seluruh kekuatannya, betapa hebat hantaman dahsyat itu boleh dikata merupakan ketahan seluruh tcekuatan latihannya selama ini. Masa ia kuat bertahan jikalau hantaman nya ini sampai menghancur leburkan isi perutnya ... Giok-liong tidak berani memikirkan akibat selanjutnya. "Cian-pwe selamat bertemu !" Setelah menjura kearah Bikliau- hoa Giok-liong ber-siap angkat langkah mengejar kearah jurusan Ci-hu sin-kun itu. "Kemana kau ?" Bayangan hijau berkelebat tahu tahu Biklian- hoa sudah menghadang dihadapannya menatap tajam kearahnya. "Aku hendak melihat keadaan Kiong Ling-ling." Situasi menjadi ribut iagi, bayangan berloncatan mendesat, terdengar dengusan dan makian orang banyak. "Enak benar mau tinggal pergi !" "Hutang darah golongan Go-bi-pay Harus kau bayar dengan darahmu pula !" "Benar urusan ini tokh belum selesai, mau ngacir !" Thian-san-sam-kiam, Ciong-lam koay-to berserta Hiankhong yang memimpin kedua belas muridnya segera merubung datang mengelilinginya, Tak ketinggalan Hiat-ing-su ai juga berpencar keempat penjuru. Melihat sepak terjang pihak musuh, Giok-Iiong menjadi bergelak tawa dengan angkuhnya, Sorot matanya mulai buas penuh nafsu membunuh, teriaknya keras. "Kalian mau apa ?" Bik-liap hoa juga bertolak pinggang dan berdiri dengan angkernya, bentaknya nyaring. "Hendak main keroyok ya ?" Siau-lim Ciang-bun Hian khong Taysu merangkap tangan sambil bersabda Buddha lalu sahutnya perlahan . "Nona Li jangan kau lupa bahwa Bu-lim-su-bi adalah kaum cendekia yang mengenal keadilan, golongan kependekaran yang diagungkan !" "EaidtjiTifa kau sangka Sia-mo-gwa-to !" Jengek Bik-lianhoa. Ka Liang-kiam salah satu dari Thian-san-sam-kiam ikut menyelak bicara. "Lalu mengapa tidak menegakkan keadilan dan kebenaran." Berubah air muka Bik-lian hoa didesak begitu rupa, makinya tak senang. "Hidung kerbau menjadi filiranmu berani menuding nonamu ?" Meagandal kedudukan dan wibawa Thian-san sam-kiam memang tidak berani banyak mulut lagi terhadap Bik-lian-hoa. Muka Ka Ling-kiam menjadi merah, sahutnya tergagap. "Mana berani, tapi...tapi bocah ini ..." Giok-liong menjadi gusar selalu dimaki bocah ingusan semprotnya congkak. "Hai, mari tampil kedepan, jangan pintar bersifat lidah melulu !" Hiat-ing su-ai terkekeh-kekeh dingin, terlihat bayangan merah darah mulai bergerak "Sungguh menyenangkan. Memang harus begitulah cara penyelesaiannya !" Serentak mereka bergerak siap hendak melancarkan serangan gabungan. Belum lagi mereka sempat bergerak, tiba-tiba sebuah jeritan panjang mengalun tinggi ditengah udara, Dipuncak Butong- san didalam Sam cing koan terdengar suara bentakan yang riuh rendah. Sebuah bayangan orang melesat turun bagi anak panah, begitu cepat seperti mengejar setan laksana meteor jatuh langsung menuju ke kalangan sini. Keruan seluruh hadirin bercekat hatinya, serentak mereka mementang lebar mata masing masing memandang kearan sana. "Bluk!" Tahu-tahu bayangan hitam yang meluncur datang itu tiba-tiba terkapar jatuh diatas tanah, terang menderita luka berat ditambah harus mangerahkan tenaga berlari kencang sehingga tak kuat lagi dan terbanting keras. Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Serentak puluhan bayangan tokoh-tokoh silat melejit maju memeriksa. Tampak bayangan yang meluncur jatuh itu bukan lain adalah seorang Tosu tua yang berjenggot panjang dan bermuka kuning, sepasang matanya mendelik banyak putih dari hitamnya, dari lubang kuping, hidung dan mulutnya merembes darah segar. "Bu-tong-ciang-bun !" "Cin-cin-cu, dia ..." Hiat khong Taysu Ciang bun-jin Siau-lim-pay segera memburu maju terus membopongnya, tangannya segera meraba pergelangan tangan, suaranya terdengar gemetar . "Toheng! Ciang-bun! Kau ..." Pernapasan Cin cin-cu Ciang bun-jin Bu-tong pay banyak dihembuskan dari disedot, kelopak mata serta bibirnya bergerak-gerak, agaknya ingin berkata namun tak kuasa mengeluarkan suara, napasnya sudah kempas kempis. Kesepuluh jarinya mencengkeram dalam kedalam tanah dari sini dapat dibayangkan betapa sakit dan parah luka yang dideritanya. Dari dalam Sam ceng-koan saban-saban terdengar jeritan dan pekik kesakitan yang mengerikan, sungguh seram dan mendirikan bulu roma. "Celaka, pasti Sam ciang-koan telah terjadi sesuatu mara bahaya!" Demikian teriak Ciong-lam-koay to Ji-ngo. "Ya, bencana kehancuran telah terjadi di sana." Ujar Biklian- hoa sambil mengerutkan kening. "Apakah ini juga perbuatanku ?" Jengek Giok-liong aseran. Thian-san-sam-kiam tadi jatuh pamor karena disenggak oleh Bik-lian-hoa. kini saatnya telah tiba untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, seringainya sinis. "Ada kemungkinan..." Sedapat mungkin Giok-liong menahan sabar, gerungnya. "Mari kita tengok kesana." Tanpa menanti jawaban kaki segera menjejak tanah, tubuhnya lantas melambung tinggi, hebat memang ilmu Leng-hun-toh yang dikembangkan begitu melesat langsung berlari kencang menuju kearah Sam-cengkoan! sengaja ia mendahului yang lain saking dongkol tadi, besar harapannya dapat memeriksa dan mencari sumber kejahatan yang tengah berkecamuk ini. Maka sedikitnya ia tinggalkan para tokoh-tokoh silat itu dua puluhan tombak jauhnya. Keadaan Sam-cing-koan ternyata sunyi senyap, tanpa terdengar sedikit suarapun. Luncuran tubuh Giok liong begitu pesat, sekali loncat puluhan tombak dapat dicapainya, undakan batu sebanyak tiga ratus enam puluh lapis hanya dua kali loncatan saja tubuhnya gudah menerobos masuk kedalam biara agung. Begitu kakinya mendarat ditanah, hidung Giok liong lantas dsrangsang bau amis yang memualkan, dilihatnya noktahnoktah darah berceceran, mayat bergelimpangan patungpatung pemujaan banyak yang roboh dan tak keruan lagi letaknya, Diatas dinding darah dan cairan otak manusia menjadikan peta bergambar yang menyolok mata, kaki tangan serta kepala manusia yang tidak lengkap lagi dengan badannya berserakan dimana-mana. Sesaat Giok-liong menjadi tertegun dan mengkirik. segera ia kerahkan Leng-hun-toh badannya menerobos pesat beberapa bangunan biara lain menerjang kebelakang. Sepanjang jalan yang dilalui jenazah orang tiada seorangpun yang ketinggalan hidup, jangan dikata hidup yang terluka parah saja tiada. "Siapa yang turun tangan sekejam ini!" Demikian Giok-liong membatin, tubuhnya masih bergerak lincah berloncatan dari ruang sini keatas rumah sana, sampai akhirnya tiba di-ruang belakang Sam ceng-koan, keadaan sama tiada bedanya. Tiba-tiba dari ruang semadi sebelah samping sana terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat teraling kain gordyin terus menerobos keluar melalui jendela. "Siapa!" Seiring dengan bentakannya Giok-liong melesat mengejar, Betapa cepat gerakkan Giok-liong itu, namun bayangan kuning itu mendahului bergerak dan lebih cepat lagi. Tampak tungku besar didalam ruang semadi itu roboh, api masih membara, segala barang perabot morat-marit tak karuan, Dua orang Tosu muda tampak menggeletak digenangi air darah, perut mereka sobck sehingga isi perutnya dedel dowel, dan badannya terasa belum dingin seluruhnya, terang bahwa belum berselang lama ia dibunuh orang. "Tak percaya kau dapat bergerak begitu cepat !" Giok-liong menggumam seorang diri, jendela sebelah belakang dipentangnya terbuka. Betul juga dilihatnya sebuah bayangan kuning seperti meteor jatuh laksana anak panah terlepas dari busurnya tengah berloncatan lincah sekali lari ke arah hutan lebat di belakang gunung sana inilah sumber penyelidikan satusatunya yang ada. Tanpa ayal lagi Giok-liong segera menerobos keluar dengan kencang ia kembangkan Leng-huntoh seperti awan mengembang entengnya terus mengejar dengan pesatnya. Baru saja Giok-liong melesat keluar Di luar ruang semadi sana terdengar suara ribut serta dc.SJ p 1 a'ci o^,ng banyak yang menda ia u(ji. Ciong-lam-koay-to Ji.ngo baru saja sampai diambang pintu, mendadak melompat mundur lagi serta berteriak . "Kita semua sudah diapusi dan tera&nli oleh tipu muslihatnya." "Diakali bagaimana?" Teriak Ka Liang-kiam dengan uringuringan. "Bocah itu banyak tipu muslihatnya dengan tipu harimau meninggalkan sarangnya serta cara suara di timur hantam dibarat, seorang diri ia menghambat kita di depan gunung, sedang kamrat serta kawan-kawan-nya mencuci bersih Samcing- koan dengan darah." Hian-khong Taysu Siau-lim Ciang-bun-jin menjadi raguragu, katanya . "Ini, .." "Ini apa ? Pasti tidak akan salah !" "Tapi selama perjalanan ini Kim-pit-jan hun tiada punya seorang temanpun." "Itukan kelicikannya saja. Coba kalian lihat !" Semua orang berpaling kearah yang ditunjuk oleh Cionglam koay-to di belakang jendela sana, Terlihat jauh ratusan tombak sana dua titik kuning dan putih tengah berkejaran dengan pesatnya. "Bocah licik dan keji!" Maki Thian-saa-sam-kiam bersama. Sesaat Bik-lian-hoa sendiri menjadi bimbang, lalu katanya sambil mengerutkan kening. "Sebelum duduk perkaranya dibikin terang, lebih baik kalian jangan main tebak dan tuduh sembarangan." Ciong lam-koay to menjadi tidak senang bantahnya. "pendengaran kuping mungkin bisa salah, tapi kenyataan mata kita sudah melihat sendiri, Apakah nona Li tadi tidak melihat ?" Bik-lian-hoa menjadi dongkoI, semprotnya. "Jadi kau sudah tahu pasti dan terang bahwa dia yang melakukan semua ini ? Apakah tidak mungkin ia mengejar musuh yang tengah mengundurkan diri !" Ciong-lam koay-to bergelak tertawa, serunya . "Bukankah nona Li rada eman dan sayang pada bocah itu, Terpaksa Pinto tak bisa banyak bicara lagi." Kapan Bik - lian-hoa pernah dibantah otnongannya di hadapan sekian banyak orang seketika ia menjadi gusar, semprotnya. "Hidung kerbau, berani kau bicara kurang ajar terhadap aku, sudah bosan hidup kiranya ?" Orang kebiasaan berkata. "Membunuh seorang Hwesio membikin malu seluruh penghuni kelenteng." Sudah tentu makian "hidung kerbau" Ini bukan saja memaki Ciong-lamkoay- to, tapi bagi pendengaran Thian-san-sam-kiam juga menusuk telinga dan mengetuk hati, seketika merah jengah selebar muka mereka. "No ... Li ... " Ka Liang-kiam tergagap bicara. "Kau panggil aku apa ?" Tuding Bik-lian-hoa sambil mendelik. "Li-cian-pwe kau membela bocah itu, begitu rupa, apa mungkin..." Sepasang mata Bik lian hoa yang jeli seperti mata burung Hong yang memancarkan sorot aneh, sinar matanya ini sukar dapat dilihat tapi sebetulnya begitu agung dan penuh rasa welas asih. Lama dan lama kemudian baru ia meghela napas, katanya lembut. "Ai, umpama aku tidak ikut campur dalam pertikaian ini. Mengandal kalian para tua bangka yang tidak berguna ini masa dapat berbuat apa terhadap dia. Tadi kalian sudah melihat sendiri betapa hebat Sam- ji cui-hun-chiu, Lwekang yang hebat serta hawa pelindung badan yang kokoh." Ciong-lam koay-to masih belum kapok, jengeknya. "Sinar kunang-kunang, silat kembangkan belaka." "Bik lian hoa mengejek hina, dengusnya. "Hm, coba kutanya bagaimana kepandaianmu dibanding Ci- hu-sin-kun?" Cep celakep Ciong lam koay-to menjadi bungkam seribu basa, Sudah tentu Thian-san sam kiam juga menjadi malu, kalian lama mereka menjadi kikuk dan keki, akhirnya Ka Liang kiam mencari alasan belaka. "Omong kosong belaka tak berguna, To heng! Kejar bocah itu lebih penting." Inilah kesempatan untuk menarik muka, sudah tentu Ciong-latn-koay-to menjadi ber-semangat." Ya betul, mari kita kejar !" Lalu beriring mereka melompat keluar jendela. Melihat tiada sesuatu yang perlu digondeli di tempat ini, tanpa bersuara apa-apa Hiat ing-su-ai saling memberi syarat kedepan mata, serentak mereka mengapung tubuh menerjang keluar juga terus menghilang di kejauhan sana. "Kalian boleh kejar!" Ejek Bik-lian hoa. "kuharap kalian tidak ketemu, ini terhitung untung kalian!" Tanpa pamit lagi ia melayang keluar terus menghilang. Sete!ah mereka pergi Thian-san sam kiam mendesak kepada Siau-lim Ciang-bun Hian-khong Taysu. "Taysu adalah Bing cu dari partai sembilan besar aliran lurus, urusan kali ini bukan sembarang urusan, betapa juga jangan menggendong tangan tinggal menonton saja" "Ai!" Hian-khong menghela napas panjang, Alisnya berkerut dalam, katanya penuh prihatin. "Urusan ini harus kita rundingkan dan hadapi dengan hati-hati. Bencana besar yang menimpa Kangouw sejak ratusan tahun agaknya mulai kumat lagi, ini bukan kekuatan Lolap seorang dapat mengatasinya." "Maka itu marilah kita pikirkan bersama cara bagaimana harus membendung bahaya ini." Demikian seru Thian san sam-kiam bersama. Hian-khong Taysu tertawa getir, katanya sambil manggutmanggut. "Maksud Pinceng, seumpama kita gabung seluruh kekuatan sembilan besar aliran lurus juga belum tentu dapat berlawanan dengan para iblis laknat yang mengganas itu ! Maka ..." Sekian lama ia merenung tak kuasa ambil keputusan yang positip. "Kalau begitu kita hidup berdikari secara untung-untungan saja, Mari pulang !" Ujar Ka Liang-kiam sambil tertawa ejek. "Omitohud ! Mari kita juga pulang gunung !" Serentak dua belas murid besar Siau-lim pay merangkap tangan bersabda Buddha sambil meramkan mata, mengiring di belakang Ciang bunjin mereka terus berjalan keluar melalui mayat-mayat yang bergelimpangan dibiara besar Sam ceng koan ini terus turun gunung. Sementara itu Giok-liong yang mengerahkan seluruh tenaganya mengembangkan Leng-hun-toh dengan kecepatan kilat meluncur, sekejap mata saja sedikitnya sudah puluhan li ditempuhnya. Namun bayangan kuning didepannya itu masih berjarak tiga empat puluh tombak, begitu lincah dan pesat sekali dari bayangan itu hahikatnya tiada niat hendak berhenti. BegituIah kejar mengejar terus terjadi akhirnya Giok-liong merasa akan keganjilan keadaan yang ditempuhnya ini. Ternyata gerak langkah bayangan kuning didepan itu cepat atau lambat memang sengaja dilakukan, mengikuti perobahan Leng hun-toh dirinya yang dikembangkan ini. Terang bayangan kuning ini memang sengaja hendak memancing dirinya. Apakah ia hendak memancing aku masuk ke dalam perang-kapnya ? Sekilas pikirannya ini menjadi hati Giok-liong yang berdarah panas menjadi dongkol, keinginan menang sendiri membara dalam benaknya, serentak ia empos semangatnya dan himpun tenaga sampai tingkat ke sepuluh, sedikit saja pundaknya bergoyang, bayangan tubuhnya laksana segulung asap mengembang meluncur lebih cepat lagi berapa lipat ganda. Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Darah Daging Karya Kho Ping Hoo