Ceritasilat Novel Online

Seruling Samber Nyawa 9


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 9


Seruling Samber Nyawa Karya dari Chin Yung   Naga-naganya Ciok Kun memang takut juga bersentuhan secara berhadapan, cara turun tangannya juga lantas tidak mengenal kasihan lagi angin badai yang dingin membeku badan terus berseliweran membawa kabut gelap, sementara waktu kedua belah pihak sama kuat bertahan.   Dalam pada itu, Giok-liong tengah mengarahkan hawa murninya yang terakhir dalam usahanya menolong jiwa Tan Hak-siau, hawa murni dalam pusarnya sudah hampir terkuras habis melalui pori-pori kulitnya terus merembes masuk kebadan pemuda baju kuning.   Sang waktu terus berjalan detik demi detik, keringat diatas badan Giok liong terus tercurah membasahi seluruh tubuh seperti kehujanan, cahaya air mukanya juga semakin guram.   Tan Hak siau yang tertindih dibawah badannya itu masih tetap celentang kaku tanpa bergerak seolah-olah jiwa sudah melayang, Hati Giok-liong menjadi gelisah dan gundah kemampuannya sudah dikerahkan sampai titik tertinggi, keadaan badannya sudah capek kehabisan tenaga.   Kalau keadaan seperti ini masih terus bertahan lagi seperminuman teh bukan mustahil Giok-liong sendiri bisa mampus saking lemas.   Sekarang badannya mulai mendingin seperti es, sulit untuk bertahan lebih lama lagi.   Tapi ia masih kertak gigi mengerahkan sisa tenaganya supaya hawa murninya terus menerobos dan bekerja bergelombang seputaran dalam badan Tan Hak-siau.   Sekonyong-konyong ia rasakan Tau Hak-siau yang tertindih di bawah itu bergerak-gerak, keruan girang bukan main hatinya.   Tapi menyusul itu ia rasakan kepalanya pusing tujuh keliling pandangannya menjadi gelap, hawa murni sudah luber seluruhnya, badannya menjadi dingin membeku, tak tertahan lagi ia terus menggelinding jatuh ke samping.   Tepat pada saat itulah Tan Hak-siau mulai siuman, pelanpelan ia membuka matanya yang bening cemerlang, pelan pelan ia mengulet dengan bernafsu, Tapi baru bergerak setengah saja ia lantas merandek kesima, mendadak ia menjerit kaget.   "Ah, ini..."   Waktu ia menunduk seketika merah jengah seluruh wajahnya cepat-cepat disambernya pakaian yang terletak disampingnya untuk menutupi badannya, terus bergegas loncat berdiri serta mundur sejauh lima kaki.   Mata yang bening indah itu seketika mengembang air mata terus meleleh kedua pipinya, Kini iapun sudah melihat Giok liong yang rebah tengkurep diatas tanah dengan telanjang bulat pula bermuka pucat pias laksana kertas.   Timbul rasa curiga dan heran dalam sanubarinya, lantas disusul perasaan marah membakar hatinya geramnya mendesis sambil mengertak gigi.   "Kiranya kau tak lain binatang rendah yang tidak tahu malu. Terhitung aku Tan Soat-kiau salah menilai orang, sehingga aku terluka parah ditangan Ko-bok-im hun karena kau. Siapa nyana air mata membanjir semakin deras, cepat cepat dikenakan pakaian sendiri. Sebetulnya Giok liong, hanya dalam keadaan sadar tak sadar, Kupingnya masin bisa mendengar suara Tan Hak siau tapi seolah-olah diucapkan dari tempat yang jauh sekali. Tahu dia, karena dirinya terlalu membuang tenaga sehingga hawa murninya kena cidera, asal bisa istirahat beberapa hari pasti kesehatannya bisa lekas pulih, Besar niatnya bangkit berdiri memberi penjelasan, tapi hakekatnya ia sendiri bergerak saja tidak bisa. Setelah mengenakan pakaiannya, sekian lama Tan Soatkiau menatap wajah Giok-liong. Mendadak seperti kesurupan setan ia menggembor terus menangis gerung-gerung, mulutnya mengigau.   "Aku benci, aku benci. Akan kubunuh Kau, bunuh kau ...."   Terus diangkatnya badan Giok-liong, beruntun tangannya bergerak "plak-plok "   Puluhan kali ia tampar muka Giok-liong keras, darah segar mengalir dari ujung mulutnya. Kedua pipinya bengap merah seperti bakpao. Dengan sulit Giok-hong coba berkata.   "Aku . .."   Lantas jatuh pingsan. (BERSAMBUNG   Jilid KE 9)   Jilid 09 Tan Soat-kiau seperti kehilangan kesadaran mulutnya mengguman seperti orang gila.   "Hantam, kuhantam mampus manusia rendah melebihi binatang ini , .."   Air matanya mengalir dengan deras, demikian juga kedua tangannya itu masih terus bekerja bergantian sehingga seluruh muka Giokliong benjal benjol, sekarang mata dan hidungnya juga melelehkan darah segar, setelah sekian lama melampiaskan kedongkolan hatinya dengan memukul secara membabi buta itu, akhirnya Tan Soat Kiau berhenti kelelahan, dengan cerrott ia awasi muka Giok-liong yang matang biru itu, tanpa merasa ia sesenggukan lagi dengan sedih.   Dengan penuh rasa sesal ia amati sepasang tangannya yang halus memerah itu, tetesan air mata menitik jatuh ditelapak tanganaya.   Lalu diloloskannya keluar sapu tangan untuk membalut air mata.   selanjutnya ia pandang kepala Giok-liong dengan hati-hati dan teliti ia membersihkan noda darah yang mengotori muka Giok-liong.   Mulutnya masih menggumam lagi sambil sesenggukan.   "Aku bila ...bisa ... membunuhmu ... lalu , ..aku juga bunuh diri , . , biarlah kita berdampingan di akhirat..."   Setelah membersihkan darah dimuka Giok-liong ia membalut lagi air mata dipipinya, pelan-pelan tangan kanan diangkat jarinya mengarah tepat ke Bing-bun hiat Giok-liong, lalu pelanpelan diturunkan menotok kebawah..   jelas kelihaian dari telunjuknya yang terjulur keluar itu gemetar hebat, ini menandakan betapa haru dan sedih hatinya, semakin dekat ketubuh Giok-liong getaran jari itu semakin hebat, siapapun takkan mau percaya bahwa jari halus yang putih indah itu bakal dapat mencabut nyawa seseorang.   Tapi kenyataan akan membuktikan bahwa jari halus kecil ramping itu akan mencabut nyawa Giok-liong ini tinggal tunggu waktu saja.   Begitulah tutukan jari itu sudah semakin dekat tinggal satu kaki, setengah kaki sekarang tinggal beberapa senti lagi.   Asal jari telunjuk itu menyentuh punggung Giok-liong, kiranya cukup mengorbankan nyawa Giok-liong sebagai pelampiasan dendam hatinya.   Tepat pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar sebuah bentakan ringan nyaring dari mulut gua.   "Tahan!"   Tanpa merasa Tan Soat-kiau merandek menghentikan gerakannya, Hati kecilnya tengah berperang secara kontras, Bunuh atau tidak, dua pikiran ini tengah berkecamuk dalam sanubarinya.   Diambang pintu gua melayang masuk sesosok bayangan gadis yang mengenakan pakaian serba merah dengan mengenakan sari panjang merah jingga yang membelit dipundak dan badannya, sambil tersenyum manis gadis pendatang ini langsung menuju ke arah Giok-liong dan bertanya.   "Kau hendak membunuhnya ?"   Seketika merah jengah selebar muka Tan Soat kiau tersipusipu diraihnya pakaian Giok liong terus ditutupkan keatas badannya sahutnya dengan hampa.   "Ya."   "Kenapa ?"   "Dia .. dia .., siapa kau ? ini urusan ku sendiri orang lain tidak perlu turut campur !"   Pipinya yang halus bertemu merah lagi, tak kuasa ia memberi penjelasan. Gadis itu tersenyum manis, katanya penuh jenaka.   "Aku bernama Chiu ki, aku datang ikut siocia kemari, malam itu kami merebutnya . , .   "   Bicara sampai disini ia menunjuk Giok      Tiraikasih WEBSITEhttp.//kangzusi.com   / liong lalu sambungnya lagi.   "Merebutnya dari tangan Ko-bokim- hun serta mengobatinya."   Tan Soat-kiau berseru kejut, tapi telunjuknya masih mengarah ke punggung Giok-liong, katanya.   "Tua bangka Kikiat yang kejam telengas itu ..."   Chiu-ki tersenyum riang, ujarnya.   "setelah bertempur dengan nona Tan, kedua belah pihak sama menderita luka parah, Tapi untung ia bersua dengan saudara angkatnya kedua bernama Ciok Kun serta menolongnya, sekarang lukalukanya sudah sembuh !"   "Oh,"   Keluh Tan Soat-kiau, mulutnya menggumam.   "Lukanya sudah sembuh, lalu lukaku ..."   Chiu-ki segera menyambung.   "Untung nona ketemu oleh Ma-siau-hiap, Dengan berkorban ia berusaha menyembuhkan luka-Iukamu."   Tergetar seluruh badan Tan Soat-kiau, tangannya menjadi lemas Iunglai, air mata mengalir deras lagi, katanya tergagap.   "Tapi, dia... dia tidak mengenakan pakaian . .... dia. ."   Kata Chiu-ki lagi menjelaskan.   "seumpama tidak pantas dia melucuti seluruh pakaianmu. Tapi situasi yang mendesak demi menolong nyawa nona yang sudah diambang pintu kematian itu, Selain berbuat demikian tiada lain cara lagi, kalau tidak tentu nona ..."   Tan Soat-kiau memalingkan muka, air mata berderai bercucuran, katanya penuh tekad.   "Aku rela mati dari pada ...   "   Sedikit matanya melirik dilihatnya mulut dan hidung Giokliong melelehkan darah kembali, pipi yang bengap, dan mata yang biru membuat hatinya terketuk dan tidak tega tak tertahan lagi ia menangis pula sesenggukan, Chiu-ki menghela napas, bujuknya.   "Nona Tan kesehatanmu lebih penting, sudah jangan nangis."   Sambil sesenggukan Tan Soat-kiau mengertak gigi, katanya .   "Semua ini gara-gara kesalahan Ki-kiat bangsat tua itu, jikalau nonamu ini tidak menghancur leburkan..."   "Ko-bok-im-hun sudah mati !"   "Apa ? Siapa yang membunuh dia ?"   "Nona majikanku Ling Soat-yan!"   "Dimana nona Ling ?"   "Diluar sedang bergebrak dengan musuh ?"   "Siapa ?"   "Iblis tanah akherat Ciok Kun !"   "Ha, dia, mari lekas kita keluar ...   "   "Untuk sementara siocia masih kuat bertahan, hanya dia ini ...   "   Katanya menunjuk kepala Giok-liong lalu sambungnya lagi.   "Mungkin dia tidak kuat bertahan lama."   Tan Soat-kiau menjadi pilu, batinnya.   "Untuk aku dia mengerahkan seluruh tenaga dan menguras habis hawa murninya untuk mengobati luka-Iukaku, tapi aku masih tega melukai dia sedemikian rupa ..."   "Lekaslah."   Bujuk Chiu-ki lagi.   "Meski pun Thian lam-samyau sudah mati seorang tapi dua yang lain lebih lihay, nona Tan harus segera berusaha mengobati luka-luka Ma-siau hiap untuk menjaga segala kemungkinan ! lalu dirogohnya keluar dua butir pil warna biru diserahkan kepada Tan Soat-kiau serta katanya lagi.   "Biarlah aku keluar dulu, tak peduli apa yang terjadi diIuar, lebih penting kau mengobati luka-luka Masiau- hiap dulu."   Habis berkata lantas ia berkelebat keluar gua. Setelah Chiu-ki menghilang di luar gua, teringat akan Giokliong rela berkorban demi menolong dirinya, seketika timbul rasa kasih dalam benaknya, tak terasa selebar mukanya menjadi merah jengah, batinnya.   "Kiranya cukup baik juga dia padaku."   Lalu ia maju mendekat serta memayang badan Giokliong dengan teliti penuh kasih sayang ia membersihkan noda darah dan kotoran di atas tubuhnya.   Meskipun ia merasa malu sampai mukanya terasa merah panas, tapi dia masih bekerja membersihkan seluruh tubuh yang kotor itu sambil menundukkan kepala, Serelah bersih baru dikenakan pakaiannya, siapa bilang hatinya tidak bahagia ? Setelah semua sudah selesai, kedua butir pil biru diendusnya di dekat hidung, kiranya memang obat yang baik dan mujarab, pelan-pelan dipentangkan mulut Giok-liong lalu dijejalkan masuk.   Dengan jarak yang rada dekat ini baru dia melihat lebih jelas, bahwa muka Giok-liong benjal benjol kena pukulannya sampai bibir pecah-pecah, pipi sembab dan mata melepuh.   Dua titik air mata mengalir lagi dari kelopak matanya.   pelan-pelan ia mengelus-ngelus pipi Giok-liong, gumannya.   "Siapa suruh kau begitu goblok tidak mau bicara dulu dengan aku. Ai!"   Dari dalam bajunya dikeluarkan tiga butir obat terus diremuk menjadi babuk lalu dipoleskan keluka-luka dimuka Giok-liong, setelah itu ia panjang Giok-liong bergaya duduk mulailah ia mengerahkan tenaga sendiri untuk memberikan pertolongan.   Sebetulnya pertempuran diluar gua saat itu sudah mencapai puncak yang hampir menentukan.   Memang kepandaian silat iblis tanah akhirat hebat luar biasa, sekuat tenaga ia kembangkan ilmu Hiat-si-im-ou, setiap kali menggerakkan tangan atau angkat kaki, kabut tantas bergulung gulung disertai angin dingin menderu-deru tajam laksana sebuah pisau mengiris kulit.   Bukan saja ia sudah membendung tiga kaki bundar sekitar tubuhnya dengan rapat, malah serangan balasannya juga dilancarkan semakin sengit dan gencar, Hiat si-im-ou terus memberondong bagai amukan gelombang samudera raya, berlapis-lapis sambung menyambung.   Keadaan Hiat ing Kongcu (putri bayangan darah) rada payah ia tak mau adu kekuatan secara langsung, mengandal kesebatan gerak tubuhnya bayangan darah melayang dan berkelebat lincah sekali, setiap kali ada lubang kelemahan meskipun hanya sekejap saja cukup sebagai peluang untuk melancarkan serangan gerak kilat.   Tapi bagi orang yang berpengalaman sekali pandang saja lantas dapat tahu, bahwa keadaannya sudah rada banyak membela diri dari pada balas menyerang, keadaannya ini memang sangat berbahaya.   Sang waktu terus berlalu terasa Hiat-ing Kongcu sudah semakin lemah.   Bayangan merah darah yang menyolok itu kini semakin guram dan luntur, ini menandakan bahwa ia sudah kecapean kehabisan tenaga, tak kuat bertahan lama lagi.   Iblis tanah akhirat mempergencar serangannya, saking puas ia terloroh loroh bangga, serunya.   "Budak ayu, terhitung Lohu hari ini sudah berhadapan langsung dengan Hiat ing-bun kalian!"   Sekonyong-konyong bayangan darah berkelebat melambung ketengah udara, kedua telapak tangan bertepuk nyaring, muncullah bayangan asli dari bentuk rupa Ling Soatyan.   Tampak wajahnya pucat badannya sudah basah kuyup oleh keringat, napasnya juga sudah memburu.   Diiringi angin badai yang gemuruh dengan seluruh sisa kekuatannya ia menubruk turun dari atas seraya hirdiknya.   "Biarpun hari ini harus kalah melawan kau, jangan sekali kau bertemu dengan ayahku..."   Gesit sekali CiokKun berkelebat kesamping menghindar diri sembari mengulur cengkeraman tangannya terus menjojoh ke dada Ling Soat yan, jengeknya tertawa.   "Lohu akan menutuk jalan darah perasa besar lalu kubawa pulang untuk bersenang-senang. setelah puas lalu kututuk lagi Khi-hay hiat dan kupecahkan kantong suaramu, kuserahkan kepada anak buahku supaya menikmati bentuk tubuhmu yang menggiurkan ini secara bergiliran, seumpama Hiat-ing-cu sendiri datang, juga takkan tahu bahwa kau terjatuh ditanganku."   Berubah hebat air muka Ling Soat-yan, jari-jari tangannya digerak tutupkan seperti menggunting sesuatu terus dikebutkan ke arah cengkeraman Ciok Kun yang mengarah dadanya, bentaknya dengan murka.   "Bangkotan tua tidau tahu malu. Dunia persilatan dikotori sampah persilatan macam kau ini, Kalau nonamu hari ini tidak membunuhmu, bersumpah...."   "Blang,"   Benturan keras sekali dari adu kekuatan mereka berdua, Terdengar Ciok-Kun semakin tertawa riang.   sementara putri bayangan darah terhuyung mundur tiga langkah, Ciok Kun melejit lagi sambil lancarkan tutukan mengarah jalan darah Thian-ti-hiat.   Tepat pada saat itulah ditengah alas pegunungan yang sunyi lengang itu terdengar suitan panjang yang berkumandang, Sedemikian tinggi suitan ini sampai menusuk telinga, membuat pendengarannya merinding dan merasa seram.   Begitu mendengar suitan ini seketika Ciok Kun menghentikan aksinya, wajahnya menunjukkan rasa girang, mulutnya masih terloroh-loroh tak henti-hentinya.   Sebaliknya putri bayangan darah Ling Soat-yan semakin pucat pjkirnya.   "Celaka, habis sudah. Tertua dari Thian-lam sam-yau Pit-loh-thian-mo Kiau Pwe juga sudah datang."   Ma Giok liong berdua entah sampai kapan baru saja sembuh seluruhnya seumpama sembuh juga percuma tentu tidak kuat melawan gabungan mereka dua saudara..."   Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ling Soat-yan tahu bahwa kepandaian Pit-loh-thian mo ini pada ratusan tahun yang lalu sudah mencapai kesempurnaan apalagi setelah giat berlatih sekian lama lagi, maka dapatlah dibayangkan sampai dimana tingkat kepandaiannya..."   Kalau kepandaian silat Ciok Kun dibanding dengan saudaranya tua ini, entah terpaut berapa jauhnya.   sekarang menghadapi Ciok Kun seorang saja dirinya tidak mampu apalagi menghadapi Pik-thian-mo Kiau-Pwe.   Suasana dalam gua dibelakang batu besar itu tetap sunyi senyap tanpa terdengar suara.   Tatkala itu iblis tanah akhirat Ciok Kun lebih mempergencar serangannya dengan di landasi Hian-si-im-ou, angin dingin menderu deru, bayangan pukulan tangan setajam golok terus memberondong ke arah putri bayangan darah Ling Soat-yan.   Dalam keadaan serba runyam dan kepepet ini tergetar sanubari Ling Soat yan akhirnya ia berlaku nekad, hardiknya.   "Kubunuh dulu kau ..."   Lemah gemulai pinggang meliuk-liuk seperti menari, awan merah mulai mengembang menyelubungi badannya, tangan yang putih halus itu beruntun digerakkan, kekuatan hawa merah darah seketika melambung memenuhi udara samberan angin kencang berseliweran saling berlomba melesat maju memapak kearah musuh.   Sesaat sebelum pukulan kedua belah pihak saling beradu terdengar suara kekeh dingin ditengah gelanggang.   "Budak perempuan, takabur benar kau ya !"   Timbul angin Hsi-s yang bawa kelebat bayangan biru lalu disusul terdengar "Bum"   Yang keras memekak telinga, seketika bayangan orang terpental mundur.   Kini ditengah gelanggang tahu-tahu sudah bertambah seorang tua berambut uban mengenakan jubah panjang warna biru bermuka merah bertubuh tambun pendek.   Air muka putri bayangan darah Ling Soat-yan semakin pucat, badannya terhuyung bergoyang gontai hampir roboh, mulutnya menguak lantas menyemburkan darah segar, Agaknya iblis tanah akhirat sangat menghormati dan takut terhadap saudara tuanya ini cepat ia unjuk soja dan maju menyapa.   "Toako, bocah she Ma itu sekarang sudan terluka berat sedang berobat didalam gua itu l"   Lalu ditunjuknya gua di belakang batu besar. Pit-toh tbian-mo sedikit manggut sebagai jawaban, lalu katanya.   "Biarlah aku melihatnya kesana !"   Enteng sekali tanpa melihat kakinya bergerak tahu-tahu badannya berubah segulung bayangan biru sudah meluncur kearah belakang batu besar itu. Melihat ini saking gelisah tanpa hiraukan luka-luka dirinya lagi segera Ling Soat-yan membentak.   "Berdiri. ."   Tapi bertepatan dengan itu iblis tanah akhirat Ciok Kuo juga lantas terkekeh-kekeh sedikit menggerakkan badan tahutahu ia sudah merangsak dekat terus mengulur tangan mencengkram ke dada orang, jengeknya.   "Bocah ayu, menikah saja menjadi istriku. Kutanggang selama hidup ini kau dapat senang sekali !"   Sungguh malu dan geram putri bayangan darah bukan kepalang, sedikit membuka mulut ia menyemburkan darah lagi, tapi ia tidak berhenti bergerak, beruntun tangannya digerak silangkan, dengan mengembeng air mata ia membentak nyaring.   "iblis tua, biarlah aku adu jiwa"   Laksana kilat bayangan merah mengembara berubah bayangan darah terus menerjang maju dengan nekad.   Baru saja Pit-loh-thian mo sampai diambang pintu gua, sekonyong-konyong terasa angin menungkrup tiba dari atas kepalanya, Bersama itu beberapa jalur angin tajam yang mendesis disertai bayangan merah dari sosok tubuh langsing telah menubruk kearah dirinya.   Kiau Pwe terbahak-bahak, tangan kanan dikiblatkan kebelakang menerbitkan gelombang angin dingin yang bergulung-gulung seperti ombak, sementara itu tubuhnya masih terus meluncur cepat laksana anak panah memutar kebelakang batu besar dan melesat masuk kedalam gua "Blang..aduh ..,"   Terjadilah benturan keras diselingi pekik nyitim". Tahu-tahu Chiu-ki terpental jungkir balik seperti bola menggelinding sejauh tiga tombak, mulutnya lantas menyemburkan darah segar.   "Plak terbanting keras di tanah. Begitu Pit-Iah thian-mo memasuki gua, terlihat olehnya seorang gadis mengenakan jubah panjang warna kuning sebagai seorang satrawan umumnya tengah mengerahkan tenaga berusaha menolong menyembuhkan seorang pemuda berpakaian putih didepannya. Diatas kepala kedua orang itu sudah mengepulkan uap, ini menandakan bahwa semadi mereka sudah mencapai puncak yang paling gawat, sekarang asal mendapat ganguan ringan saja dari luar pasti celakalah jiwa kedua orang ini, paling tidak juga luka berat. Kiau Pwe tertawa ejek, batinnya.   "Pemuda baju putih ini mungkin dikabarkan bernama Ma Giok liong itu !"   Karena pikirannya ini langkah kakinya malah diperlambat terus maju mendekat sambil mendekat ini tak urung wajahnya menampilkan rasa kaget dan heran, matinya lantas berpikir lebih jauh.   "Bakat bocah ini benar-benar susah dicari selama ratusan tahun terakhir ini, jika aku bisa membujuknya menjadi murid tunggalku, itu bagus benar"   Sambil berpikir ini matanya lantas mengerling kearah Giok-liong, seketika ia melonjak kaget.   Ternyata raut muka Giok liong yang pucat seperti kertas itu, saat mana mendadak berubah menjadi merah padam, lalu lambat laun berubah menjadi putih lalu bersemu merah lagi, ini pertanda sebagai seorang tokoh silat yang mempunyai dasar latihan Lwekang yang tinggi dan ampuh tengah terluka berat dan luka-lukanya itu sudah hampir dapat disembuhkan.   Sangat kokoh berat dasar latihan Lwekang bocah ini.   Tapi bagi penilaian Pit-lo-thian-mo, tingkat latihan Lwekang Giokliong sudah tentu tidak masuk dalam hitungan perhatiannya.   Supaya tidak mengulur waktu terlalu lama, seenaknya saja Kiau Pwe lantas angkat jarinya menutuk tepat pada saat air muka Giok liong belum pulih menjadi sedia kala, sedang lukanya jaga sudah dalam taraf penyembuhan ini.   ditutuknya dua jalur angin dingin dan lemas.   masing-masing meluncur mengarah kearah Giok-liong dan Tan Soat-kiau.   Siapa tahu baru saja tutukan angin jarinya menyamber keluar, lantas terbit segulung angin sepoi-sepoi yang aneh menggulung tiba, seketika angin tutukan jarinya itu lantas sirna tanpa bekas ! Keruan hatinya terperanjat, dengusnya dingin.   "siapakah yang malu sembunyi ditempat gelap?"   Lwekang lantas dikerahkan terpusat dikedua lengannya, dengan cermat ia mendengar dan meneliti keadaan sekitarnya dalam gua itu.   Tapi keadaan gua lebih dalam sana -sunyi senyap tanpa ada suatu suarapun.   Pada saat itulah Giok-liong bersama Tan Soat-kiau berbareng membuka matanya, terbayang akan keadaan telanjang bulat tadi seketika merah jengah selebar mukanya sambil menunduk segera ia memberi soji serta katanya tergagap.   "Aku ... aku... kalau perbuatanku tadi menyakitkan kau harap..."   Giok-liong tersenyum, sahutnya.   "Yang sudah lalu biarlah sudah, bukankah nona juga telah menolong jiwaku !"   Mendengar pertanyaan Giok-liong ini otak Tan Soat-kiau serasa dipukul godam, tak terasa air mata meleleh deras, katanya lirih.   "Ya ... yang sudah lewat.... biarlah lalu."   Melihat sikap orang ini Giok liong menjadi heran, tanyanya dengan lemah lembut.   "Nona Tan kenapakah kau..."   Mana dia tahu sebagai seorang gadis remaja yang masih suci bersih betapa tinggi harga dirinya, jangan kata begitu seenaknya badannya disentuh malah berdempetan mengobati luka dengan telanjang bulat lagi, seumpama dilirik orang juga sudah merupakan pengorbanan besar.   Air mata semakin deras mengalir namun Tan Soat-kiau berusaha mengendalikan perasaannya, katanya lagi tergagap sambil sesunggukan.   "Aku... aku baik ... .ti... ..tidak apaapa .., .   "   Sedemikian tekun mereka bicara sehingga tidak menyadari akan kehadiran Pit-lo-thian-mo tak lebih tiga tombak jauhnya dari samping mereka, Melihat keadaan kedua muda mudi ini Pit-lo-thian-mo sendiri juga ikut dibuat heran dan hampa.   Seolah-olah ia tenggelam dalam kenangan lama yang mengetuk sanubarinya.   Sekonyong-konyong raut mukanya bergetar, bentaknya dingin.   "Buyung, kau ini yang bernama Ma Giok-liong ?"   Giok-liong berjingkat kaget, sinar matanya berkilat, begitu angkat kepala lantas ia memberi soja, sahutnya.   "Ya, benar, siapakah tuan ini ?"   Perasaan Tan Soat-kian saat mana benar-benar pahit getir dan mendelu, perlahan-lahan ia mengangkat kepala, mendadak ia berseru kaget.   "Kau... bukankah Pit-lo-thian-mo Kiau Pwe Kiau-lo cianpwe."   Kiau Pwe terbahak-bahak, sahutnya.   "Tajam benar matamu, ternyata masih kenal wajah asliku semasa masih muda dulu."   Sedapat mungkin Tan Soat-kian kendalikan rasa pedih hatinya, katanya lembut.   "Kedatangan Kiau lo-cianpwe ini entah ada keperluan apakah ?"   Sekilas Kiau Pwe melirik kearah Giok-liong, sahutnya lantang.   "Untuk minta seruling sambar nyawa milik bocah ini !"   Tan Soat-kiau melengak. Tapi Giok-liong malah tersenyum geli, katanya.   "Cian-pwe sudah terlambat setindak !"   "Apa ? Masa ...   "   "Ya. seruling itu sudah terjatuh ketangan orang lain."   "Siapa?"   "Adik angkat Cian-pwe sendiri, yaitu Ko-bok-im-hun Ki-kiat! "   "Apakah benar kata-katamu ini?"   "Sudah tentu benar."   "Buyung, mari kalian ikut aku."   "Wanpwe masih banyak urusan yang perlu segera diselesaikan, harap maaf tidak dapat memenuhi permintaan Cian-pwe."   "Hah, berani kau membangkang akan ke hendakku!"" "Selamanya Wanpwe tidak pernah membangkang terhadap siapapun."   "Hm, Lohu ingin menerima kau sebagai murid tunggalku, seluruh kepandaianku kuturunkan kepadamu ... ."   "Wanpwe tidak ingin menjadi murid Cianpwe,"   "Bocah sombong akan Lohu lihat sampai dimana akan kemampuanmu sehingga begini berlaku kukuh terhadapku!"   Sambil membentak gusar, seluruh rambut uban diatas kepalanya itu bergerak melambai Enpe tfrrer bvs nrg'n, dimana tangan mendahului maju angin dingin meluncur laksana seutas rantai terus menggubat tiba kearah badan Giok-liong.   Giok liong juga nnendengus dongkol, baru saja ia hendak turun tangan membela diri, tahu-tahu terdengar sebuah seruan berkumandang seperti dari jauh mendatng liu-nya.   "Bocah gendeng, lekas mundur kau bukan tandingan tua bangka ini."   Tapi tepat begitu suara itu lenyap pandangan semua orang serasa kabur, tahu tahu ditengah diantara mereka sudah muncullah seorang perempuan pertengahan umur bertubuh tinggi semampai meskipun sudah menanjak umur tapi raut mukanya masih kelihatan jelita.   Pakaian putih panjang yang dikenakan diatas tubuhnya itu seperti selarik selendang sari panjang yang seluruhnya digubatkan, diatas badannya sehingga menunjukkan lengan putih laksana batu giok juga seperti salju, membuat siapa saja yang melihat pandang bergejolak semangatnya.   Di jari-jari tangan kanannya yang halus putih itu kelihatan menyekal sebuah keliningan kuning yang memancarkan sinar berkilauan, ditambah wajahnya yang ayu dengan pakaian yang putih bersih lagi.   Seolah-olah seperti dewi kayangan membuat orang tidak berani memandang lama-lama.   Begitu muncul lantas ia melirik kearah Giok-liong dan Tan Soat-kiau, mulutnya menyungging senyum ma-nis.   katanya.   "Kalian istirahat dulu kesamping ....bersama itu tangan kiri sedikit terangkat, lemas gemulai seperti tak bertulang seenaknya saja terayun maju, dimana angin halus dikebutkan, serangan angin dingin dari cengkeraman tangan Kiau Pwe tadi seketika sirna menghilang tanpa bekas. Sejenak Pit-loh-thian-mo melengak, di lain saat ia terbahakbahak lagi sambil menggerak-gerakkan kepala, serunya.   "Hahahaha, tak kira, kiranya kalian perempuan ayu jelita ini masih kulihatan muda dan menggiurkan !"   Perempuan pertengahan umur berpakaian putih itu mengunjuk senyum, katanya.   "Kiau-lo-ji, banyak tahun tidak bertemu, Tak nyana kau masih sedemikian kolot dan tiada kemajuan tamak lagi, hendak merebut barang milik anak kecil."   Berubah air muka Kiau Pwe, dengusnya.   "Bu-lim-su bi yang kenamaan dulu kiranya juga masih berani memincut simpatik pemuda gagah ganteng ini."   Seketika membesi raut muka perempuan pertengahan umur ini mendengar ejekan ketua itu desisnya dingin.   "Kiau Pwe, dengan obrolanmu uang kotor ini kau setimpal di hukum mati. Mengingat dan kupandang muka adik Yong, biarlah kuampuni jiwamu sekali ini ! Pergilah !"   Begitu wajahnya membesi, ujung matanya lantas menunjukkan kerut kerut kulit yang tak terlindung lagi dengan segala obat rias, sehingga selebar laut muka yang jelita itu lantas menampilkan rasa duka dan kelanjutan usia yang kenyataan.   Sementara itu, pelan-pelan Tan Soat-kiau menggeser kaki mendekat kesamping Giok-liong, katanya lirih.   "inilah Kim-lingcu Kim lo-cianp-we, salah satu dari Bu-1im-su-bi ...."   Tergentak kaget hati Giok-liong, batinnya.   "Bukankah pesan Suhu menyuruhku menyampaikan beberapa patah kata terhadap beliau ?"   Dalam pada itu, air muka Kiau pwe juga berubah iebat, katanya lirih dan seperti kehilangan semangat katanya gemetar.   "Adik Yung, dia ... dia apakah dia masih hidup?"   Kim-ling-cu tertawa sedih, sahutnya, hambar.   "Sejak dulu kala umbaran cinta pasti akan membawa kekosongan hampa. Ai, baiklah! Tiga puluhan tahun yang lalu aku pernah melihatnya sekali di laut selatan, Wajahnya masih tetap tak berubah, hanya sayang hari-hari kepedihan melulu yang melingkupi hidupnya, jaman yang tidak mengenai waktu ini sudah berubah seluruh rambut halusnya yang indah menghitam dulu."   Kini raut muka Kiau Pwe mengunjuk rasa girang, dalamdalam ia membungkuk kearah Kim-ling-cu, katanya.   "Lo-toaci, apakah kau tahu tempat tinggalnya yang tetap?"   "Kau benar-benar ingin tahu?"   "Tak peduli di ujung langit atau didalam samudera, selama ratusan tahun ini Kiau Pwe sudah mencarinya kemana-mana dengan penuh jerih payah."   Sembari berkata tak tertahan lagi air mata meleleh dengan deras dan sedihnya sampai sesenggukan.   Keadaan ini lantas mengetuk pula hati Tan Soat-kiau yang berdiri berdampingan dengan Giok-liong, tak tertahan air matanya juga meleleh tak terbendung lagi.   Pelan-pelan Kim-ling-cu menggeleng kepala, katanya.   "Baiklah, biar kuberitahu kepadamu, Dia sudi tidak menemui kau, aku tidak berani memastikan! Dia bersemayan di pulau Biau-to diteluk ombak hitam dilaut selatan!"   "Apa! Bertempat tinggal dipulau yang beriklim jahat dan sulit penghidupan itu?"   "Keadaan pulau Biau bong-to sebaliknya adalah sedemikian subur dengan segala tumbuhan kembang dan rumput. Binatang hidup bebas keliaran dimana-mana seumpama tempat dewa yang aman sentosa! Kiau Pwe kalau adik Yung mau rukun kembali dengan kau, seharusnya kau sendiri juga perlu menyekap diri menyempurnakan hidupmu dan membina diri."   "Terima kasih akan petunjuk toaci ini Kalau adik Yung benar-benar mau mengampuni segala kehilafan dulu, untuk selanjutnya pasti merubah kebiasaan burukku selama ini membina diri menjadi manusia baik2."   "Itulah bagus, bolehkah kau segera berangkat janganlah kau sia-siakan pengharapanku."   Dengan wajah riang gembira Kiau Pwe segera menjura kepada Kim ling-cu serta katanya.   "Selamat bertemu kembali Toaci, aku berangkat!!"   Berkata sambil menggerakkan kepalanya yang besar bayangan biru lantas berkelebat meluncur keluar gua.   Sekonyong-konyong terdengar tawa terkekeh dingin dan pekik tertahan yang ketakutan diluar, Berubah air muka Kimling- cu cepat cepai iapun berlari keluar gua.   Giok-liong sendiri juga tergetar hatinya, tercetus teriaknya.   Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Celaka, nona Ling mungkin..."   Seperti anak panah yang melenting dari busurnya, iapun melesat keluar.   Tersipu-sipu Tan Soat-kiau menyeka air matanya terus ikut mengejar keluar.   Waktu tiba diluar, tampak Ling Soat-yan pucat pasi, ujung mulutnya melelehkan darah badannya rebah lemas dalam pelukan Pit-loh-thian mo Kiau Pwe.   Saat mana Kiau Pwe telah merogoh botol kecil menuang dua butir pil terus dijejalkan kemulutnya, sementara itu dengan pandangan penuh keheranan iblis tanah akhirat tengah berdiri melongo disebelah sana, tanpa bergerak juga tidak bersuara.   Tapi begitu ia melihat Giok-liong meloncat keluar, seketika dia menghardik keras.   "Dia inilah Ma Giok-liomg adanya."   Secepat setan gentayangan mendadak ia menubruk datang, belum tubuhnya tiba tangannya sudah terayun lebih dulu menyerang dengan angin pukulan dahsyat menerpa kearah Giok-liong. Giok-liong mendengus ejek, kakinya menggeser sebat sekali.   "sret"   Gesit sekali ia berkelit kesamping meluputkan diri. Tepat pada saat itulah terdsngar bentakan gusar Kiau Pwe.   "Ciok Kun berhenti."   Iblis tanah akhirat Ciok Kun berhenti dengan melengak, tanyanya tak mengerti.   "Toako, kau , ..mengapa , .."   Kata Kiau Pvve sambit mendukung tubuh putri bayangan daiah Ling Soat-yan.   "Kau tunggu dulu, saudara tuamu ini pasti akan membuat penyelesaian yang adil,"   Lalu ia melejit kehadapan Kim ling-cu dengan kedua tangannya ia sodorkan badan putri bayangan darah diserahkan kepada Kam-ling-cu, katanya.   "Toaci, aliran keluarganya berhubungan erat dengan kau, tapi dia sendiri merupakan seorang gadis suci yang polos."   Setelah Kim-ling cu menyambuti tubuh Ling Soat-yan, lalu Kiau Pwe menghadapi Ciok Kun serta angkat tangan, ujarnya.   "Hiante masih tidak mengerti akan maksud perbuatanku ini !"   Ciok Kun manggut-manggut kepala tanpa bersuara. Kiau Pwe tertawa getir, katanya tertawa.   "Angin, api air dan tanah kalau berjodoh tentu bergabung, tiada berjodoh lantas berpisah. Lurus dan sesat selamanya tiada dapat berdiri berdampingan yang kalah biarlah kalah, Kuharap Hiante bisa berpikir dua kali sebelum bertindak dalam sesuatu persoalan, Kelak biarlah kita bertemu lagi, Kalau kelak Hiante masih belum dapat merubah cara hidup sesat seperti sekarang ini saudara tuamu ini mungkin tidak menghargaimu lagi sebagai saudara muda ..."   Bicara sampai terakhir air matanya sudah membanjir keluar, tenggorokannya menjadi sesak, serunya serak .   "selamat bertemu !"   Secepat kilat bayangan biru meluncur hilang memasuki hutan lebat didepan sana, langsung ia menuju ke Biau-hong-to yang terletak di teluk ombak hitam di laut selatan untuk mencari Hu-yung Siancu Ci Yung. Iblis tanah akhirat menjadi gugup, teriaknya.   "Toako, tunggu sebentar !"   Iapun lantas mengejar dengan kencang, dilain kejap bayangan mereka sudah hilang dari pandangan mata. Memandang kearah bayangan yang telah hilang itu, Kimling- cu gcleng-geleng kepala serta tanyanya menghela napas rawan.   "Lurus atau sesat hanya terpaut satu pikiran saja ! Ai, Banyak mengumbar cinta akhirnya pasti berakibat mengejar kekosongan yang hampa dalam hidup."   Ditundukkannya kepala memandangi wajah nan ayu pucu di pelukannya. Putri bayangan darah Ling Soat-yan masih pingsan seperti terpuji lemas. Lalu pandangan Kim-ling-cu beralih kearah Tan Soat-kiau, ujarnya.   "janganlah asmara banyak diumbar, kehampaanlah yang akan kau dapat, Ai, Jiac, seumpama kau secantik bidadari namun bagi orang yang membabi buta mengobral cinta, pasti berakibat ngenas dan menderita maka hati-hatilah kalian anak-anak muda !"   Sekilas ia lirik Chiu-ki yang masih rebah diatas tanah, lalu katanya kepada Tan Soat-kiau.   "Nak, coba kau dukung tubuhnya masuk kemari."   Naga-naganya dia tiada simpatik terhadap Giok-liong maaka sekejappun ia tidak bicara terhadapnya tapi saban-saban ia melirik dengan sorot pandangan yang susah diterka.   Tan Soat-kiau menunduk dengar nafsu, mukanya merah jengah.   Tanpa bersuara ia bopong tubuh Chiu-ki terus mengikuti dibelakang Kim-ling-cu dengan melangkah lebar menuju ke gua dibelakang batu besar itu.   Giok-liong berdiri terlongong-longong ditempatnya, timbul rasa dongkol akan dirinya yang diremehkan.   Tapi betapa juga Kim-ling cu adalah penoIongnya, bagaimana ia harus bersikap?.   Baru saja kakinya bergerak hendak ikut masuk Kim- Iingcu sudah berpaling ke arahnya serta berkata sambil tersenyum.   "Kau, kau boleh pergi!"   Tiba-tiba Giok-liong angkat kepala, katanya.   "Cian-pwe harap berhenti, ada beberapa patah kata yang ingin Cayhe sarnpaikan."   "O, ada urusan apa?"   Benar juga Kim-limg-cu menghentikan langkahnya.   Tatkala itu sang surya sudah doyong ke-arah barat, cahaya kuning emas memancar terang menerangi setengah angkasa, Meskipun saat itu adalah pertengahan musim rontok, angin menghembus rada kencang, sari panjang yang membeku dibadan Kim ling cu melambai lambai laksana bidadari turun dari kahyangan.   Pelan-pelan Giok liong menghela napas, katanya.   "Budi kebaikan Cian-pwe yang telah menolong jiwa Cayhe, selama hidup ini tentu takkan kulupakan."   Kim-ling-cu juga menghela napas rawan, tanyanya lemah lembut.   "Asal selanjutnya kau bisa berdiri tegak berjalan lurus, janganlah kau mengail banyak cinta asmara, ini sudah terhitung kau membalas sekedar kebaikanku Ai., janji kalian orang laki laki ..."   Sepasang matanya yang indah ini entah kapan ternyata salah mengembeng air mata, mulutnya mengguman bersenandung.   "Sejak dulu bagi yang banyak pengobral cinta pasti rasa peroleh kekosongan yang hampa ..."   Mendadak melonjak sanubari Giok-liong, lantas tercetus senanduns pula dari mulutnya.   "Ulat bersutra sampai mati air mata kering setelah lilin habis...belum habis senandungnya ini tiba-tiba pandangannya serasa kabur, terasa hembusan angin sepoi yang membawa bau harum merangsang hidung, terdengar pula suara keliningan berdering nyaring di pinggir kupingnya.   "Siapa yang suruh kau berkata begitu?"   Tahu tahu Kim lingcu sudah berdiri didepannya sambil menatap dengan sorot pandangan tajam bersikap serius, kedua belah pipinya sudah dibasahi oleh airmata yang meleleh turun.   Sungguh Giok liong tak menduga bahwa gerak gerik Kimling- cu ternyata sedemikian cepat dan lincah sekali, cepatcepat ia mundur selangkah, sahutnya sungguh-sungguh.   "Itulah guruku, beliau bernama Pang Giok."   "Alis lentik Kim-ling cu berjengkit tinggi, sepasang matanya yang mengembang air mata mengunjuk rasa duka dan rawan, katanya sedih.   "Bagaimana pesannya?"   Giok-liong menutur sambil menunduk.   "Suhu menyuruh Wanpwe meskipun sampai diujung langit atau didalam lautan juga harus mencari sampai ketemu jejak Cianpwe, untuk menyampaikan perkataan tadi."   Kim ling-cu menggigit bibir, mulutnya mengguman.   "Dia ....mengapa sejak dulu-dulu tidak mau mengatakan...mengapa membuat aku hidup merana sepanjang masa ini ..."   Perasaan Giok liong menjadi terkejut, dalam hati ia membatin pasti Kim-ling-cu ini ada hubungan asmara dengan gurunya.   Tapi entah mengapa akhirnya mereka berpisah.   Teringat olehnya akan cinta kasihnya terhadap Coh Ki-sia yang telah mengikat janjinya sehidup semati sampai hari tua.   Baru beberapa lama mengecap kesenangan hidup sebagai suami istri sekarang telah berpisah sejauh ini.   Tak tertahan air mata pelan-pelan mengalir dari ujung matanya.   Pelan pelan Kim-Iing cu menarik pandangan matanya yang melihat kearah jauh sana, sekilas memandang kearahnya, lalu bertanya dengan penuh canda tanya.   "Kau masih ada urusan?"   "Haraf maaf akan kelancangan Wanpwe, Wanpwe tiada urusan apa lagi."   Kim-ling cu menghela napas katanya.   "Ya, mungkin kau mempunyai kesukaranmu sendiri. Tapi, nak kau harus ingat selama hidupmu ini jangan sampai ditunggangi oleh asmara, Dan jangan pula kau mengikat orang lain dalam belenggu cinta asmara, Sekali kau menyadari bahwa dirimu tengah mencintai seseorang, sekali-sekali jangan kau membuat suatu kesalah pahaman atau urusan sehingga merebut sang waktu yang seharusnya dapat kalian kecap dengan mesra ! seumpama harus hidup menderita, tidak menjadi soal asal dapat hidup rukun dan saling memberikan kasih mesra,"   Sampai disini ia merandek sebentar, wajahnya berkembang kulum senyuman getir memandang kearah Giok-liong, katanya lagi.   "Nak, marilah ikut masuk i Kedua teman perempuan itu mungkin tidak boleh tunggu terlalu lama."   Giok-liong mengiakan sambil menunduk. Lalu mengintil dibelakang Kim-ling-cu masuk kedalam gua pula, Setelah mendengar wejangan Kim-ling-cu tadi kini hatinya tengah bergejolak tidak tentram seperti damparan ombak samudera yang mengamuk.   "Apakah ucapannya itu betul ? Antara aku dan Coh Ki-sia memang mempunyai banyak rintangan, baru bertemu lantas berpi-sah, kelak apakah dapat rukun dan bahagia ..."   Demikian dengan pikiran pepat dan hati gundah langkahnya terus beranjak, sampai tidak diketahui olehnya bahwa Tan Soat-kiau yang rupawan itu tengah memandang kearahnya dengan sorot pandangan girang dan terhibur, Tapi semua adegan ini tidak luput dari pengawasan Kim-ling cu yang banyak pengalaman dalam bidang itu, tanpa merasa ia menghela napas, langkahnya seringan awan mengembang terus memasuki gua besar itu.   Waktu pertama kali masuk tadi keadaan dalam gua kelihatan sederhana dan cekak pendek saja, berjalan tidak berapa sudah sampai di ujung dinding gua.   Tapi Kim-ling-cu lantas mengulur tangan menekan sebuah tombol di atas sebuah batu yang menonjol keluar diatas dinding, maka dilain saat terbukalah sebuah lubang pintu setinggi orang, Dibelakang pintu ini adalah sebuah lorong panjang setelah melewati lorong panjang ini, sampailah mereka pada ruangan batu yang diatur rapi dan bersih.   Dikedua samping ruangan batu ini masing-masing terdapat sebuah pintu lagi, lalu Kim ling cu menyuruh Tan Soat-kiau membopong Chiu ki memasuki ruangan batu lain lalu katanya kepada Giok-liong.   "kau istirahat disini, Nanti kita bicara lagi setelah kutolong mengobati mereka."   Lalu ia sendiri juga memasuki ruangan batu yang ditunjukan kepada Tan Soat-kiau tadi sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi lengang.   Giok-liong tenggelam dalam kenangan lagi Cinta! Entahlah sudah berapa umat manusia didunia ini sudah menjadi korban akan sepatah kata ini sehingga melewatkan masa remaja dengan penuh penderitaan dan segera.   Teringat akan diri pribadi Coh Ki sia, Li Hong, Kiong Lingling, Tan Soat-kiau serta Ling-Soat-yan, betapa tidak mereka menaruh perhatian besar terhadap dirinya.   Bukankah kecantikan mereka tidak kalah dibanding bidadari dari kahyangan? seumpama mereka terhadap dirinya ....wah akibatnya benar-benar tidak berani dipikirkan.   Serta merta timbul kewaspadaan dalam benaknya diamdiam ia berjanji dalam hati.   "Giok-liong hai Giok-liong, janganlah sekali-kali kau menjadi seorang yang ingkar janji dan tidak setia, gampang menerima uluran cinta lain orang, janganlah lantaran kau sehingga menyia-nyiakan masa remaja orang lain yang penuh nikmat dan mesra."   Pikir punya pikir tak terasa lagi seluruh badan basah kuyup oleh keringat dingin.   Sang waktu berlalu secara diam-diam.   Lambat laun Giokliong dapat mengekang gejolak hatinya, mulailah menerawangi tindak selanjutnya.   Pertama-tama apakah dirinya perlu segera menuju ke Lam-hay untuk mencari suhunya ataukah mengerjakan urusan lain.   Tepat pada saat mana pintu samping ruang batu terbuka, beriang berjalan keluar Kim-ling-cu diikuti Tan Soat-kiau, Ling Soat-yan dan Chiu-ki.   Agaknya perasaan Kim-ling-cu sudah banyak longgar, tanyanya.   "Apa yang celaka?"   Segera Giok liong menyahut hormat.   "Seruling samber nyawa pemberian Suhu itu kini sudah terjatuh ditangan Kobok -im-hun Ki-kiat ..."   Dengan langkah gemulai putri bayangan darah Ling Soatyan lantas maju mendekat, katanya sambil tertawa geli.   "Bukankah Ki-kiat sudah mati."   Lalu dikeluarkan seruling samber nyawa dari dalam balik bajunya langsung disodorkan kearah Giok-Iiong, katanya lagi.   "Aku ...   "   Sebetulnya ia hendak menutur duduk perkara kejadian ini sejujurnya. Tapi sudah keburu disanggah oleh Giok-liong. Betapa girang hati Giok liong, segera ia unjuk soja serta katanya.   "Nona Ling sedemikian dermawan dan baik budi, bagaimana aku yang rendah harus membalasnya."   Terdengar Kim- ling cu ikut menyela bicara.   "Ya, akan kulihat cara bagaimana kau hendak menyelesaikan utang piutang ini, Karena kau nona Ling sampai terluka parah di tangan Ciok Kun malah merebutkan kemba li seruling samber nyawa ! Demikian juga nona Tan hampir mati karena kau juga, secara sewajarnya dengan kebesaran jiwanya ia mau menemui kau lagi, akhirnya menolong jiwamu pula ..."   Serentetan kata-kata ini seketika membuat Ling Soat-yan dan Tan Soat-kiau malu jengah.   Tapi hatinya merasa syuuuur senang sekali, dengan sorot kegirangan matanya melirik kearah Giok-liong.   Sesaat Giok-liong menjadi kesengsem sampai tidak berani menyambuti seruling samber nyawa yang disodorkan kepadanya.   Akhirnya Kim-ling-cu sendiri yang maju ambil seruling samber nyawa itu dari tangan Ling Soat-yan terus disesapkan ketangan Giok-liong, katanya.   "Akan kulihat cara bagaimana kau hendak menyatakan terima kasih terhadap orang, Hm, ada guru mesti ada murid"   Merah jengah selembar muka Giok-liong seperti kepiting direbus, Hanya Chiu-ki yang bertingkah paling jenaka, sepasang matanya yang bundar besar itu pelerak pelerek dengan lincahnya seakan-akan ada sesuatu persoalan yang menggirangkan hatinya.   Sekilas Kim-ling cu melirik ke arahnya serta tanyanya.   "Chiu ki kau punya saran apa?"   Chiu-ki tertawa terkikik sambil menutupi mulutnya dengan tangan, sahutnya.   "Hamba punya sebuah saran, entah dapat tidak dilaksanakan."   "Saran apa itu? Coba katakan!"   "Nona Tan ini dan nona majikanku bersama menjadi anak angkat Lo cianpwe harap Lo-cian-pwe suka memberikan pertimbangan serta membela kepentingan mereka berdua."   Kim-ling-cu menjadi girang, namun dilahirkannya ia purapura sungkan, makinya sambil mengerutkan alis.   "Budak binal, kau ambil persoalan rumit untukku."   Tanpa banyak pikir lagi segera Tan Soat-kiau dan Ling Soat-yan tersipu-sipu malu berlutut dihadapan Kim-ling-cu sambil memanggil.   "Ibu diatas, terimalah sembah putrimu !"   Saking girang air muka Kim-ling-cu berseri tawa, dengan tangannya ia bimbing mereka bangun seraya berkata.   "Kalian siapa yang lebih tua ?"   Setelah masing-masing menyebutkan umurnya akhirnya diketahui Tan Soat kiau menjadi cici berusia delapan belas tahun, Ling Soat-yan lebih muda setahun menjadi adik.   Adalah merupakan keberuntungan Tan Soat-kiau dan Ling Soat-yan dapat diambil anak angkat oleh Kim-ling cu yang berkepandaian hebat itu, Tapi sebaliknya bagi Giok-liong merupakan hal yang memusingkan kepala.   Dengan adanya Kim-ling cu sebagai sandera, maka runyamlah keadaan dirinya untuk hari-hari selanjutnya, Meskipun banyak keberatan yang perlu dikemukakan namun apakah ia berani buka mulut ? Tatkala itulah Kim-ling cu lantas berpaling kearahnya, ujarnya.   Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Untuk selanjutnya mereka adalah anak putriku, kalau kau berani menggoda mereka, awas bukan saja kupatahkan sepasang kakimu itu, akan kulaporkan juga kepada gurumu untuk menghukummu berat."   Tersipu-sipu Giik-liong menjura serta sahutnya hormat.   "Mana Wanpwe berani."   "Apa kau perlu segera pergi ke Bu-ing-to dilaut selatan untuk menemui gurumu ?"   Giok-liong mengiakan "Apakah ada urusan yang benar-benar penting ?"   "Dalam setengah tahun ini hutan kematian berhasrat untuk menggerakkan suatu aksi besar-besaran, dengan menyebar banyak tipu muslihat dunia persilatan untuk memperbudak kaum persilatan."   "Hutan kematian ....hutan kematian yang mana ? siapakah pemimpin Hutan kematian itu ? Berani dia begitu sombong dan takabur !"   "Hal ini Wanpwe kurang jelas, menurut Liong Bun Liong Cian-pwe yang mengatakan langsung kepada Wanpwe, supaya Wanpwe segera menemukan Suhu untuk mengumpulkan seluruh golongan sealiran untuk berjaga dan bersiap membendung serangan besar-besaran mereka."   "Hah, jadi Liong-tay-hiap masih hidup?"   "Benar!"   "Dimana kau bersua dengan dia ?"   "Didalam hutan kematian !"   "Untuk apa dia didalam sana ?" "Liong-cian-pwe menyelundup kedalam hutan kematian sudah hampir seratus tahun, Menurut analisanya bahwa kekuatan hutan kematian itu, mungkin seluruh aliran dan golongan persilatan dalam Tionggoan ini tidak satupun yang kuat untuk melawanya,."   Sampai sekarang Kim-ling-cu baru paham dan sadar betapa penting persoalan ini setelah ia minta penjelasan lebih cermat dan teliti, lantas ia berkata.   "Kau boleh langsung menuju keselatan mencari Suhumu di pulau bayangan, untuk merundingkan serta mencari daya upaya, Biarlah dengan waktu yang masih ada ini kuturunkan beberapa kepandaianku kepada putri-putriku ini disamping itu juga berusaha mengundang beberapa kenalan kental dulu untuk berkumpul di Gak-yang-lo di pesisir danau Tong-king pada malam Cap-go meh pada tahun akan datang !"   Giok liong menjadi girang, dalam-dalam ia membungkuk tubuh, serta katanya.   "Wanpwe minta diri untuk segera berangkat."   Kim ling-cu merenung sebentar, lalu katanya.   "Pergilah. Hati hatilah sepanjang jalan ini supaya jangan terjebak dalam muslihat orang. Terutama Serulrig sumber nyawa itu yang paling gampang menimbulkan keonaran."   "Wanpwe sudah paham."   Sahut Giok-liong memberi hormat Iagi, Lalu dipandangnya Tan Soat kiam dan Ling Soat yan bergantian serta katanya.   "Adik berdua selamat bertemu !"   Memutar tubuh terus berjalan keluar dengan langkah lebar. Begitulah dilain saat ia sudah keluar dari dalam gua dengan diiringi pandangan mereka yaag segan dan berat berpisah. Dibelakangnya sayup-sayup terdengar pesan mereka berdua.   "Engkoh Liong, hati-hatilah di jalan, jangan suka menimbulkan onar ..."   Dengan langkah cepat laksana terbang Giok-liong terus berlari-lari kencang menuju arah tenggara, berselang dua hari kemudian ia sudah memasuki daerah propinsi Sucwan, sepanjang jalan yang dilalui selalu adalah alas pegunungan, apalagi setelah memasuki daerah Su-cwan itu, gunung gemunung saja yang dilalui, lembah yang dalam binatang buas sering ditemui sepanjang jalan ini.   Terutama dipuncakpuncak pegunungan dengan awan putih mengembang halus laksana berada ditempat dewa saja.   Semakin keselatan pegunungan semakin belukar, jarang ditemui penduduk sepanjang jalan ini, sehingga sering sampai berhari-hari ia narus menahan lapar.   Tatkala itu matahari sudah doyong kearah barat menjelang magrib, awan bergulung gulung gelap angin pegunungan menghembus keras, Diatas pegunungan yang liar dan sepi ini dimana ia harus mencari makanan untuk sekedar untuk tangsel perut ini benar benar bulan soal yang gampang.   Sekonyong konyong dari kejauhan didepan sana terdengar gema suara auman harimau yang sedang marah.   Meskipun jaraknya rada jauh tapi dari suaranya yang keras dan garang itu dapatlah diperkirakan bahwa itulah seekor harimau yang besar tentunya, Entah sedang berkelahi dengan siapa sehingga binatang itu mengeluarkan gerangan marah yang keras.   Tergerak hati Giok-liong, batinnya.   "Dilihat keadaan ini, terpaksa harus berburu binatang untuk sekedar mengisi perut yang keroncongan ini."   Dengan minat yang besar ini bergegas ia lari kedepan menuju arah datangnya suara auman harimau itu.   Setelah berlari semakin dekat suara gerungan harimau itu benar-benar sangat keras sampai memekakkan telinga menggetarkan pegunungan sekitarnya lagi.   Giok- liong berdiri tegak diatas sebuah batu yang menonjol diatas ngarai, dengan ketajaman matanya ia menyelidik kebawah yang dipenuhi kabut gelap, samar-samar terlihat dikeremeng dibawah sana, empat titik sinar terang tengah mengurung segulung bayangan merah yang sedang berloncatan dengan gesit dan tangkas sekali.   Sekarang jelas terdengar pula oleh -Giok liong bunyi pernapasan orang yang rada lemah di bawah jurang sana, Giok-liong menjadi kaget, pikirnya.   "Mungkin ada orang yang diserang terluka oleh binatang buas ini hingga timbulIah jiwa kependekarannya, buru-buru ditanggalkan jubah luarnya, lalu dirogohnya beberapa pulung obat pemunah hawa beracun terus ditelan ke dalam muIut, setelah menarik napas panjang lalu merambat turun melalui dinding jurang, keadaan di dasar jurang ini memang cukup gelap dan remang-remang, suara gedebukan dan langkah-langkah berat semakin nyata terus berkumandang saling susul. Giok liong kerahkan Ji-lo untuk melindungi badan, lalu dari ketinggian puluhan tombak itu ia melompat turun waktu masih mengapung ditengah udara ia lolos keluar Kim-pit ditangan kanan. Waktu kakinya menginjak tanah dimana ia pandang kedepan seketika ia melonjak mundur. Ternyata keempat titik sinar terang yang dilihatnya tadi bukan lain adalah dua pasang mata harimau, kedua harimau ini sama besar dan garangnya hampir setombak panjang tubuhnya dan setinggi kerbau. Sambil mendekam dikanan kiri mulutnya menggerung gerung, kedua ekor mereka tak henti-hentinya disabetkan diatas tanah dan kekiri kanan, sehingga debu mengepul, batu dan pasir beterbangan memercikkan lelatu api. Meskipun gerungannya sangat keras dan garang, tapi naga-naganya mereka tahu gelagat tidak berani sembarangan bergerak. Cahaya merah marong itu bukan lain adalah mata tunggal seekor ular besar yang berkepala menyerupai kepala ayam jago, sedemikian aneh bentuk kepala ular ini, matanya memancarkan sinar merah yang berkilau dengan tajam ia awasi gerak gerik kedua harimau besar dihadapannya yang sudah siap menyerang setiap saat. Badan ular yang besar dan panjang ini tengah melingkar menggubat seluruh badan seorang Hwesio tua yang berjenggot putih duduk bersila diatas tanah. Mulut Hwesio tua itu menganga lebar mengulum sebuah benda bundar sebesar kepalan bocah berwarna putih kemilau laksana perak, agaknya Hwesio tua ini berusaha menelan benda bundar itu. Tapi karena seluruh badannya tergubat kencang oleh badan ular, hakikatnya bernapas saja sangat sukar, mana bisa ia menelan benda di mulutnya itu. Meskipun seluruh badan tergubat ular tapi kedua tangan Hwesio tua itu tepat mencengkeram tenggorokkan kepala ular itu. Pada mulut ular ini juga menggigit sebutir benda bundar warna putih perak. Benda bundar dimulut ular ini jauh lebih kecil dibanding yang berada dimulut Hwesio tua. Kabut beracun bergulung-gulung menyembur keluar dari mulut ular tapi karena adanya rintangan benda bundar putih perak yang tergigit dimulutnya itu sehingga semburan kabut berbisanya ini tidak banyak mengambil keuntungan malah kehilangan perbawanya. Saban-saban Hwesio tua melepas salah satu tangannya hendak meraih benda bundar dimulut ular itu. Tapi begitu ia lepas tangan mulut ular lantas terbuka semakin lebar, agaknya bisa segera menelan benda bundar itu, malah berpaling dan kepalanya ku menerjang datang hendak mematuk. Saking ketakutan cepat-cepat ia cengkeram lagi tenggorokan ular tempat paling lemas diseluruh badan ular yang terletak tujuh senti dibawah kepala ular. Kedua harimau besar itu naga-naganya adalah binatang piaraan si Hwesio tua ini. Berulang kali mereka sudah bergerak hendak menubruk maju tapi selalu disapu mundur oleh ekor ular besar yang keras laksana baja itu. Dengan cermat Giok-liong meneliti dan mengamati benda bundar dimulut ular dan yang dikulum dimulut si Hwesio tua itu, akhirnya ia berjingkrak kaget karena kedua butir benda bundar itu bukan lain adalah Cu-hok-gin-kong -ko, buah sinar perak ibu beranak yang sudah berusia ribuan tahun yang merupakan benda pusaka yang paling dikejar-kejar oleh kaum persilatan umumnya. Kulit dari buah sinar perak ibu beranak ini sangat keras laksana besi ibu buah lebih besar, itulah yang dikulum dimulut si Hwe-sio tua, seribu tahun berbuah sekali sedang anak buah lebih kecil adalah yaitu tergigit di mulut ular, selaksa tahun baru berbuah. Buah ajaib yang mujarab semacam ini kalau tahu cara penggunaannya, sedikitnya dapat menambah latihan Lwekang orang sebanyak seratus tahun lebih! Bagi orang biasa dapat panjang umur dan tak gampang diserang penyakit. Tapi kasiat anak buah adalah setingkat lebih besar dan mujarab dari pada ibu buah nya. Melihat orang dan ular sedang berebutan menelan buah ajaib yang mujarab ini sampai saling tempur dan bertahan sekian lama. bukan mustahil akhirnya mereka sama-sama mampus kelelahan Diam-diam Giok liong membatin dalam hati.    Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini