Badik Buntung 10
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 10
Badik Buntung Karya dari Gkh "Bun Cu-giok juga dengar kabar buruk itu lantas tanya kepadaku, sudah tentu aku menyangkal, malah dengan riang gembira kuberitahu bahwa aku telah berhasil mengalahkan Kim-ih-kiam-khek. Dia mencurigai aku, langsung dia naik ke Thian-san mencari Kim-ih-kiam, namun dia mandah tersenyum saja tidak mau menerangkan. Saking gusar Cu-giok lolos pedang lalu menempurnya sengit. Lima ratus jurus kemudian dia dikalahkan dan lari turun gunung. Sebetulnya aku sendiri bukan tandingan Bun Cu-giok!" Thian-hi terperanjat, cara Kim-ih-kiam-khek mengatur tipu dayanya sungguh lihay dan licik benar-benar, tujuannya begitu keji. "Setelah kembali Cu-giok tidak bicara terus tinggal pergi," Demikian Sutouw Ci-ko melanjutkan. "Peristiwa itu aku tidak tahu, akhirnya untuk ketiga kalinya aku naik ke Thian-san mencari Kim-ih- kiam-khek, aku memakinya supaya jangan suka main-main dan menggoda orang. Dia tak mau buka suara, saking jengkel aku melabraknya tapi untuk kali ini aku kena disekap tiga hari lamanya, kejadian terakhir ini lebih menjerumuskan aku, tak dapat aku mencuci bersih namaku! Bun Cu- giok tinggal pergi dan sembunyi, kalau aku mencarinya selalu dia menghindari pertemuan." Thian-hi juga merasa urusan semakin runyam, pikirnya; meski perangai Bun Cu-giok tidak terlalu jelek, namun rasa cemburunya itu terlalu besar dan tidak beralasan." "Dibeber secara terus terang begitulah duduk perkara sebenar-benarnya, akhirnya saking jengkel melihat dia tidak datang aku lantas membunuh orang, harapanku supaya dia mau datang, tapi kenyataan tidak" Demikian Sutouw Ci-ko mengakhiri ceriteranya sambil tertawa terkekeh- kekeh pilu. Thian-hi ikut tertawa, katanya. "Hal itu tidak bisa terlalu salahkan kau!" "Mungkin! Tapi tidak baik bukan!" "Adakah ayah bundamu masih hidup?" Thian-hi bertanya. Sutouw Ci-ko menggeleng kepala, sahutnya. "Aku hanya punya seorang guru, tapi belakangan beliau pun tak peduli padaku pula." Hun Thian-hi menghembus napas dari mulut. "Kenapa aku selalu melihat kau berkeluh kesah." "Aih, sama dengan aku, guruku pun mengusir aku," Kata Sutouw Ci-ko mengawasi Thian-hi. "Kau kasihan padaku atau kasihan kepada dirimu sendiri?" "Aku tidak kasihan pada diriku dan tidak Kasihan padamu. Aku hanya merasa hidup di dunia ini kenapa begitu gampang kena dipermainkan orang, dibuat bulan2an." Sutouw Ci-ko berdiam diri, lubuk hatinya yang paling dalam mendadak merasa bahwa pembawaan Thian-hi ini ternyata begitu agung dan membanggakan. Kata Thian-hi. "Sutouw-lihiap, kupikir aku harus segera berangkat!" "Kemana kau hendak pergi?" Thian-hi menduga Sutouw Ci-ko takkan melepas dirinya pergi, kecuali sekedar diapusi, maka segera ia berkata. "Sam-kong Lama mengundang aku kesana, dia percaya kepada aku." Mata bening Sutouw Ci-ko menatap Thian-hi lekat-lekat, seperti dapat menembusi kebohongan kata-katanya, akhirnya mereka sama menundukan kepala, kata Sutouw Ci-ko sedih. "Aku tak kuasa melindungi kau, sekarang aku hanya mengharap dapat sekuat tenaga membantu kau saja." Thian-hi menjadi terharu, katanya tersedat. "Terima kasih!" Setelah merenung Sutouw Ci-ko berkata. "Bun Cu-giok sudah pergi, akupun tak perlu bersedih lagi. Tapi aku mengharap dapat jumpa kembali dengan kau, pengalaman hidup kita sama, keadaanmu lebih sengsara dan menderita dari aku, tapi aku yakin akan datang satu hari kau akan berhasil, janganlah kau putus asa ditengah jalan." Thian-hi bungkam menelan liur, sesaat baru berkata. "Terpaksa baru guruku mengusir aku dari perguruan, tapi aku pun tak memikirkan beliau lagi, aku punya perhitungan sendiri, kau juga tak perlu kuatir akan diriku." sembari kata pelan-pelan ia bangkit. "Kuda putihku itu sudah lama ikut aku, sangat berguna bagi kau, biarlah kuberikan kepada kau saja!" Thian-hi hendak menolak, Sutouw Ci-ko keburu berkata lagi. "Kau tak usah menampik, mungkin inilah barang yang kuberikan kepadamu selama hidup ini, terimalah, daya larinya sangat kuat dan cepat, cerdik lagi, kupikir kelak akupun tak perlu menggunakannya lagi." Berdetak jantung Thian-hi, Sutouw Ci-ko memberikan hadiah terakhir kepadanya, apalagi untuk selanjutnya juga tak perlu menggunakan kudanya lagi .serta merta ia bersitegang leher mengawasi Sutouw Ci-ko. Sutouw Ci-ko tersenyum manis, katanya. "Orang-orang sekelilingku tiada satupun yang berbalas kasihan kepada aku, memang aku tidak perlu belas kasihan mereka, kau tak perlu kuatir aku bakal mencari jalan pendek. Aku akan kembali kepada guruku, pedangku ini silakan bawa sekalian!" lalu ia menanggalkan pedangnya diangsurkan kepada Thian-hi. Thian-hi terlongong mengawasi orang. Sutouw Ci-ko tersenyum lagi, katanya. "Selamat betemu, aku pun tinggal di Thian-san, kelak boleh kau datang mencari aku." Thian-hi menganggukkan kepala, Sutouw Ci-ko begitu baik terhadap dirinya, dia tertunduk menuntun kuda menenteng pedang terus keluar dari gua, katanya kepada Sutouw Ci-ko. "Kelak pasti aku tilik kepadamu." Melihat air mata yang mengembang dikelopak mata orang, hati Thian-hi menjadi mendelu, cepat-cepat ia berpaling terus berjalan pergi. Dalam hati ia berdoa supaya Sutouw Ci-ko selalu selamat dan sehat walafiat. Setelah berada diluar Thian-hi menghela napas, perasaan terasa enteng, waktu berpaling Sutouw Ci-ko sudah tak kelihatan, segera ia naik kuda, pedang ditangannya diamat-amati, pedang ini rada halus lencir dan panjang, bobotnya lebih ringan dari pedang biasa. Bayangan Sutouw Ci- ko kembali terbayang dalam benaknya. Kuda putih pelan-pelan berjalan ke depan. Haru benar-benar perasaan Thian-hi, tiada seorang pun di dunia ini yang memberi pengharapan besar terhadap dirinya, kecuali Sutouw Ci-ko seorang yang punya keyakinan akan masa depannya, ini merupakan dorongan kuat bagi dirinya sehingga ia dapat memulihkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Terketuk sanubarinya, tanyanya pada diri sendiri; Dimana jiwa gagah dan keperwiraanmu dulu? Thian-hi mendongak dipandangnya sekeliling yang sepi hampir gelap, tanpa merasa ujung bibirnya mengulum senyum bangga. Terpikir dalam hatinya; jangan aku membuat mereka kecewa! sebentuk bayangan yang sangat. dikenalnya terbayang di depan matanya. Dia tahu, dia tak pernah berbuat salah apapun juga, kenapa pula berkeluh kesah tanpa juntrungan? Tapi iapun amat sadar bahwa bahaya selalu mengintai disekitar dirinya. Setelah tiba di bawah gunung, membedakan arah langsung Thian-hi menuju ke Bu-la-si. Semalam suntuk Thian-hi melakukan perjalanan jauh. Waktu terang tanah, jauh di depan sana Thian-hi melihat Bun Cu-giok sedang menanti kedatangannya. Melihat Thian-hi menunggang kuda Sutouw Ci-ko menyoreng pedangnya pula, Bun Cu-giok mendengus ejek, pedang mas dan cambuk perak segera dikeluarkan. Melihat tingkah Bun Cu giok itu, Thian-hi tertawa tawar, katanya. "Bun-pangcu, perbuatanmu ini. kelak kau pasti menyesal!" "Hun Thian-hi," Desis Bun Cu-giok dengan muka membesi gusar. "Aku mendapat perintah dari perguruan, harus menunaikan tugas, harap kau suka ikut aku pergi ke Bu-tong!" Thian-hi mengangkat alis, katanya tertawa bangga. "Bun-pangcu selamanya kau paling jelas bagaimana sepak terjangku, terpaksa aku harus mengecewakan kau." "Kau tak sudi pergi, tugas perguruanku tak bisa kubangkang, terpaksa aku harus berlaku kasar terhadapmu." Thian-hi mendongak bergelak tawa, berubah air muka Bun Cu-giok, sinar perak berkelebat secepat kilat meluncur, cambuk perak terayun, Tar!" Membelit ke arah leher Thian-hi. "Sreng!" Thian-hi melolos pedang, pedang panjang mengiris miring, tepat sekali berhasil menyontek ujung cambuk Bun Cu-giok. Bun Cu-giok tertawa dingin, tubuhnya tiba-tiba melompat mumbul ditengah udara terbang jumpalitan satu lingkaran. cambuk peraknya tergentak bergulung-gulung menggulung ke arah pedang Thian-hi berbareng pedang mas ditangan kanan menyelonong maju menusuk tengah mata Thian-hi. Thian-hi memperkuat jepitan kakinya di perut kuda, kuda putih lantas berlari maju, dimana pedang panjangnya bergetar ia kembangkan Gelombang perak mengalun berderai, sekaligus dua sasaran serangan Bun Cu-giok dari kedua jurusan kena dipunahkan. Bun Cu-giok menggerung murka, pedang masnya kena disampok mental balik oleh daya pertahanan Thian-hi, belum lagi tubuhnya meluncur turun ditengah udara kakinya menjejak kaki yang lain, tubuhnya lantas meluncur ke depan menghalangi jalan Thian-hi, berbareng ia menyerang pula dengan tabasan yang lebih ganas. Melihat Bun Cu-giok dapat bergerak begitu lincah dan enteng, menyerang pula dengan keji. Thian-hi menarik kekang kudanya kesamping terus lari ke pinggir jalan. Bun Cu-giok mengejar. Thian-hi jejakkan kakinya dipedal kuda tubuhnya lantas mencelat tinggi, ditengah udara tubuhnya rada bergerak miring, dengan jurus Hun-liong-pian-yu pedangnya merabu dengan gencar. Bun Cu-giok menghardik keras, kedua tangan bergerak bersama, pedang dan cambuk menangkis dan balas menyerang, jalan darah Thian-bun dan Ki-kut yang mematikan menjadi incaran ujung pedang mas yang berkilauan itu. Melihat Bun Cu-giok selalu merintangi jalan, kelihatannya tak mau melepas dirinya, jengkel pula akan jiwa sempit dan pikiran picik orang, segera ia nekad menempur orang, tapi serangan telak sekaligus musuh ini, terpaksa membuatnya mundur dua langkah. Bun Cu-giok tidak memberi hati, serangan susulan dilancarkan semakin gencar. Permainan pedang. Thian-hi pun cukup hebat, dengan pedang panjang pemberian Sutouw Ci-ko itu ia layani permainan gabungan Bun Cu-giok. Sekejap saja ratusan jurus sudah lewat, mereka masih berkutet sengit sama kuat. Walau Thian-hi tak berhasil mengambil posisi, Bun Cu-giok sendiripun tak kuasa mendesak lawannya. Sebetulnya Bun Cu-giok sangat membanggakan kepandaian sendiri, terdengar mulutnya berteriak panjang, serangan kedua senjatanya semakin membadai, tapi cukup mengembangkan jurus Tam-liam-hun-in-hap, Thian-hi berhasil memunahkan seluruh serangan Bun Cu-giok. Semakin serang Bun Cu-giok semakin sengit, tapi pertahanan Thian-hi memang cukup berkelebihan untuk membendung setiap jurus serangan yang betapa pun lihaynya. Tengah mereka bertempur seru, sekonyong-konyong dari samping jalan Sana menerobos keluar dua penunggang kuda. Begitu melihat kedua pendatang baru ini Bun Cu-giok kelihatan kaget dan gusar, cepat ia menarik senjatanya lantas keluar gelanggang. Tampak oleh Thian-hi salah satu dari kedua orang itu adalah Serigala muka hijau Ih Seng tentu seorang yang lain adalah Ce-bin-Iong Ih Ceng, salah satu dari Thian-san-siang-lo yang lain, Ang- bin-long berarti serigala muka merah. Thian-san-siang-long semakin mendekat, begitu melihat Bun Cu-giok, mereka pun rada tercengang. Serta melihat Bun Cu-giok sedang menempur Hun Thian-hi, mereka sedikit lega. Dengan mendelik gusar Bun Cu-giok pandang orang, katanya. "Ternyata kalian yang datang, perhitungan tempo hari belum selesai, kalian sangka lari lantas urusan menjadi beres?" Ceng-bin-long Ih Seng tertawa dingin, katanya. "Bun-pangcu! Hari ini kita kesampingkan dulu pertikaian kita, kedatangan kita sama untuk meringkus Hun Thian-hi ini, kau seorang pun tak bakal unggul, kenapa tidak bergabung saja dengan kita?" "Sebaliknya aku punya perhitungan untuk melabrak kalian dulu," Jengek Bun Cu-giok. Ce-bin-long Ih Ceng bergelak tawa, serunya. "Bun-pangcu berkukuh demikian, kami berdua pun tak menolak, tapi dengan satu lawan dua, meski kami tidak becus, kami percaya takkan terkalahkan oleh Bun-pangcu. Apalagi kaki tangan kami tersebar luas disekitar daerah ini, aku kuatir nanti Bun-pangcu bakal rugi besar." "Sebagai pejabat Pangcu dari Partai Putih, kalian sangka aku kelujuran seorang diri?" Lalu dengan muka cemberut tangan bertepuk tiga kali. Dari. semak-semak pohon dipinggiran jalan sekitar pertempuran satu persatu menongol keluar anak buah Partai Putih. Berubah air muka Thian-san-siang-long, katanya. "Agaknya memang Bun-pangcu ingin mengajak bar2an." Dari ujung jalan pengkolan sana berderap segerombolan orang berkuda. Terdengar Thian-san-siang-long melanjutkan. "Hanya menguntungkan Hun Thian-hi saja." Thian-hi bergelak tawa, serunya kepada Thian-sansiang-long. "Apakah kalian mencari aku?" "Benar-benar," Jengek serigala muka hijau Ih Seng. "kau bunuh dua anak buahku, dengan kedudukanmu sekarang masih berani keluntang keluntung membuat perkara dimana-mana, maka jangan kau sesalkan kita mencari perhitungan terhadap kau." Thian-hi menyeringai sedih, pembunuhan kedua orang itu ditumplekan pula kepada dosa dirinya. Dia pun tak mau main debat, katanya. "Aku Hun Thian-hi disini, mari kalian meluruk kepada aku saja, coba kalian rasakan betapa nikmat kepelanku ini." Bergidik kuduk Thian-san-siang-long, serta teringat akan julukan muka dingin berhati iblis hati lantas menjadi keder, tapi dilihat gelagatnya kepandaian silat Thian-hi tidak begitu tinggi, apalagi pihak sendiri kedatangan bala bantuan, kepandaian sendiripun tak lemah, kenapa harus takut. Pandangan kilat Thian-hi menyapu lebih tajam, hati mereka makin kuncup, serunya. "Hun Thian-hi! Jangan kau sangka kita takut kepadamu, bicara terus terang, kedatangan kita ini adalah menuntut Badik buntung dari tanganmu." Thian-hi rada tercengang, pikirnya; bukankah Badik buntung sudah berada di tangan Partai merah? Kenapa pula mereka menuntut kepada aku? Dalam hati ia berpikir begitu, tapi mulutnya tertawa lebar, katanya. "Bagus, asal kalian bisa menunjukkan kemampuan, jangan kata Badik buntung, batok kepalaku inipun boleh kalian ambil." saat itu nafsunya membunuh sudah menghangati pikirannya, kalau musuh tidak bergerak itulah baik, atau sebaliknya aku terpaksa harus menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang ganas itu. Dasar sudah keder Thian-san-siang-long menjadi sangsi, tapi sebagai manusia tamak yang sangat mengincar Badik buntung itu, mereka sudah bersiap2 hendak menyerbu. Tapi keburu Bun Cu-giok mencegah dari samping, teriaknya: Nanti dulu!" Dengan lirikannya Bun Cu-giok menyapu kedua lawannya, dia heran kenapa sikap Thian-hi hari ini rada ganjil, begitu nekad untuk mengikat permusuhan pula dengan musuh kuat ini. Badik buntung tidak berada ditangannya, kenapa dia tidak menyangkal, entahlah apa maksudnya? Biji matanya berputar, sekilas ia melirik ke arah Thian-hi lalu berkata kepada Thian-san-siang- long. "Kalian harus tanya dulu kepadaku apakah aku setuju akan sepak terjang kalian." lalu iapun berkata kepada Thian-hi dengan pongah. "Jangan anggap aku membantu kau." Thian-hi tersenyum dengan sombong, ujarnya. "Kalau begitu, aku hendak pergi saja!" lalu ia cemplak ke atas kudanya. Serempak Thian-san-siang-long mengeprak kudanya maju menghadang. Dengan dingin Thian-hi menjengek. "Apa kalian sudah tak ingin hidup lagi?" Gemetar badan Thian-san-siang-long, tapi mereka nekad melolos rujung baja hendak merintangi jalan Thian-hi. Biji mata Thian-hi memancarkan sorot membunuh, sembari menggeram ia menerjang maju. Tapi Bun Cu-giok bergerak lebih dulu, pedang dan cambuknya sudah bergerak merangsak kepada Thian-san-siang-long. Thian-hi hendak meneruskan perjalanan, tapi cambuk perak Bun Cu-giok menyabet balik menyerang ke arah dirinya. Melihat perbuatan Cu-giok yang takabur ini Thian-hi rada gemes, tapi betapapun Bun Cu-giok pernah memberi bantuan yang sangat besar artinya terhadap dirinya, apalagi dia tidak berniat merebut Badik buntung, bagaimana juga aku harus mengalah terhadapnya. Cepat ia menarik kekang mengundurkan Kudanya. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sekarang Bun Cu-giok lebih leluasa menggerakkan pedang dan cambuknya menyerang kepada Thian-san-siang-Iong. Anak buah Partai Putin sembunyi di sekitar gelanggang, anak buah Thian-san-siang-long bisa melihat gelagat, mereka tak berani sembarangan bergerak, maka pertempuran dua lawan satu ini berjalan dengan sengit. Meski melawan dua gerak gerik Bun Cu-giok masih kelihatan lebih unggul, senjatanya bergerak lincah merangsak kepada kedua lawannya yang cukup tangguh juga. Sekonyong-konyong terdengar Sabda Buddha mengalun di angkasa, tiga orang yang bertempur menjadi kaget dan melompat berpencar. Tampak seorang Lama berjubah kuning melangkah pelan mendatangi. Di daerah luar perbatasan kedudukan Lama punya kuasa yang tertinggi, mereka bertiga sama-sama tokoh kosen, tapi naga takkan mungkin dapat melawan ular tanah setempat, begitu melihat kedatangan Lama ini segera mereka berhenti bertempur. Setelah dekat Lama itu merangkap tangan serta berkata. "Pinto mendapat perintah dari ketua Sam-kong Lama, kami undang kalian berempat untuk bertandang ke biara Bu-la-kiong!" Terkejut hati Thian-hi, batinnya. "Eh? Sam-kong Lama sudah tahu kedatanganku ini?" Sekilas Thian-san-siang-long saling pandang, mereka tengah terdesak di bawah angin, kedatangan Lama ini sungguh kebetulan bagi mereka malah. Bun Cu-giok mendengus, katanya. "Apa Sam-kong Lama?" "Betul!" Sahut Lama jubah kuning. "tuan ini tentu Bun-pangcu adanya?" Diam-diam Bun Cu-giok juga bercekat, bagaimana mungkin Sam-kong Lama juga kenal akan namanya, dalam hati ia menertawakan, kalau begitu, tiada halangannya aku kesana untuk berkenalan dengan Sam-kong Lama lebih dekat. Maka segera ia menganggukkan kepala, katanya. "Kalau begitu menyusahkan Tay-lama menunjuk jalan." Setelah pandang keempat orang bergantian, Lama jubah kuning lantas membalik dan berjalan pergi. Thian-hi menuntun kudanya mengikuti di belakangnya. Diam-diam ia berpikir, kekuasaan Sam-kong diluar perbatasan sini sungguh sangat besar. Kepandaian silat Bun Cu-giok semestinya tidak lebih rendah dari Sam-kong Lama, ternyata dia harus tunduk akan kata-kata Sam-kong Lama juga." Kira-kira setengah jam kemudian, rada jauh dibalik gunung sana Bu-la-si sudah kelihatan. Bu- la-si bagian luar dikelilingi tembok pendek, di dalam halaman tertanam pohon-pohon besar tersebar di mana-mana. Pintu gerbangnya kira-kira tiga puluh tombak dari pintu biara. Thian-hi melayangkan pandangannya ke dalam, tiada kelihatan bayangan seorangpun. Lama jubah kuning langsung membawa mereka memasuki biara terus menuju ke ruang pemujaan bagian tengah. Begitu sampai di ambang pintu biara besar, sekilas pandang Thian-hi lantas melihat Sam-kong Lama tengah duduk di tengah ruang pemujaan, beliau sudah menanti kedatangan mereka. Begitulah melihat Thian-hi, Sam-kong Lama terus menyapa dengan tertawa. "Hun-sicu, sejak berpisah sudah setengah tahun lamanya. Hun-sicu masih sehat dan selamat, sungguh menggirangkan dan harus diberi selamat." Thian-hi rada tercengang, hampir ia tidak percaya akan pendengarannya dan pandangan matanya bahwa Sam-kong Lama masih bersikap begitu baik terhadap dirinya. Mungkinkah Sam- kong masih belum tahu akan pengalamannya terakhir? Tapi dia mengutus orang untuk menjemput aku, jelas sekali sangat tahu akan setiap jejaknya. Bagaimana mungkin dia tak tahu akan sepak terjangku belakangan ini? Waktu datang tadi dia berprasangka dirinya bakal ditahan, kini melihat sikap Sam-kong begitu mengindahkan, dia jadi tertegun, setelah menjublek baru ia berkata. "Cianpwe baikkah selama ini? Wanpwe tidak becus dan durhaka, aku telah diusir dari perguruan oleh Suhu!" Agaknya Sam-hong sudah tahu persoalannya, dengan tertawa ia berkata. "Kau tak usah kuatir persoalanmu aku jelas semua." Melihat Sam-kong bersahabat begitu baik dengan Hun Thian-hi, luluhlah hati Bun Cu-giok, betapapun besar kekuatan Partai Putih juga tak berani mencari perkara dengan para Lama. Sambil berseri tawa Sam-hong Lama berkata kepada Thian-san-siang-long. "Akupun jelas akan segala seluk beluk tentang kalian, menurut undang2 disini siang-siang aku sudah harus mengusir kalian kembali ke Thian-san. Tapi sekarang aku hanya perintahkan kalian segera bawa seluruh anak buahmu keluar dari wilajahku. Kalau bangkang kami akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku." Bergidik badan Thian-san-siang-long, walaupun Sam-kong bicara sambil tersenyum, tapi dengan kedudukannya sekarang di tempat itu, setiap ucapannya jauh lebih berpengaruh dari firman raja. Terpaksa mereka ngelojor pergi cepat-cepat. Sam-kong mengalihkan pandangannya kepada Bun Cu-giok, ujarnya. "Bun-pangcu, setelah pulang kau pun harus tutup pintu merenung kembali, harap wakilkan aku menyampaikan salam kepala gurumu!" Bun Cu-giok bersungut tak senang, serunya. "Hun Thian-hi membunuh Bu-tong-pay Ciang-bun Giok-yap Cinjin, kalau Tay-lama benar-benar hendak melindunginya, ini berarti menentang kaum persilatan di Tionggoan." "Terima kasih akan kebaikan Bun-pangcu," Ujar Sam-kong Lama. "Bun-pangcu masih muda belia gagah dan cakap lagi, merupakan tunas harapan kaum persilatan, tapi kalau masih ingin maju, maka kau harus berpegang pada kelurusan hati, lapangkan dada!" Bun Cu-giok menjadi sebal mendengar khotbah Sam-kong Lama, dengan langkah lebar ia membalik terus keluar dari biara. Sam-kong berseru menambahi. "Silakan Bun-pang-cu merenungkan lebih tenang di rumah!" Bun Cu-giok tak hiraukan, langkahnya dipercepat. Mengantar punggung Bun Cu-giok yang menghilang diluar pintu biara, perasaan Thian-hi menjadi hambar, untuk selanjutnya mungkin Bun Cu-giok bakal menjadi musuh kebujutannya. Memandang muka Thian-hi Sam-kong tertawa, ujarnya. "Kau tak usah kuatir, akan datang suatu hari dia bakal menyesal. Gurunya seorang cerdik pandai, dia pun tak terlalu lama tenggelam dalam kecerobohannya." Dengan rasa kurang tentram, Thian-hi bertanya. "Cianpwe! persoalanku benar-benarkah kau sudah tahu?" Sam-kong manggut-manggut, ia menjelaskan. "Hwesio jenaka telah beritahu kepadaku!" "Hwesio jenaka?" Seru Thian-hi kaget. Hatinya banyak dirundung pertanyaan, sudah beberapa kali Hwesio jenaka menolong dirinya. Apakah latar belakangnya? Sebenar-benarnya tokoh macam apakah dia? Tanya Thian-hi lagi. "Cianpwe juga kenal Hwesio jenaka? Sebetulnya orang macam apakah dia?" Sam-kong mengerut alis, jawabnya. "Saat ini tak berguna kuberitahu, tapi cukup kau mengetahui walau kelihatan dia bertubuh pendek kecil, tapi usianya jauh lebih tua dari aku, kau jangan anggap dia sebagai bocah kecil." Thian-hi menjadi tertegun, sungguh tidak nyana olehnya, Hwesio jenaka yang suka tertawa2 bertubuh pendek tambun dan mungil itu, usianya ternyata lebih tua dari Sam-kong Lama. "Kau selalu menyebut dia Siau-suhu, dia sangat tidak senang!" Sambung Sam-kong. Mencelos hati Thian-hi, dirinya begitu ceroboh dan kurangajar, naga-naganya dia semestinya menjadi seorang Cianpwe, tapi kenapa aku begitu kasar terhadapnya! Sam-kong menjadi geli melihat Thian-hi menjadi kikuk, katanya tersenyum. "Martabatnya memang jenaka suka guyon dan ngelajap, dia tidak pantang akan segala, kau pun tak usah kuatir apa-apa terhadap dia." Teringat akan bantuan Hwesio jenaka berulang kali itu, sudah semestinya aku harus nyatakan terima kasih kepada beliau, segera ia bertanya. "Sekarang dimanakah dia orang tua?" "Jejaknya selamanya tidak diketahui orang. Persoalanmu dia pun hanya kasih tahu duduk persoalan yang benar-benar, tentang latar belakangnya dia tak mau terangkan, agaknya persoalan ini membawa buntut dan akibat yang sangat besar." Bab 11 Thian-hi manggut-manggut, diapun tak tahu bagaimana latar belakang peristiwa yang dialami itu. Menurut apa yang diketahui hanya menyangkut persoalan Ni-hay-ki-tin melulu. Tapi apakah rahasia Ni-hay-ki-tin betul berada di dalam Badik buntung, dia sendiripun tak tahu. "Kedatanganmu hari ini sungguh tepat, kau bisa bertemu dengan seorang aneh, ada beliau disini, Bu-bing Loni tak berani datang kemari." Thian-hi berpikir, kecuali Ka-yap Cuncia yang pernah didengar dari mulut Ang-hwat-lo-cu tiada seorang tokoh kosen lainnya yang pernah didengarnya apalagi meski kepandaian Ka-yap mungkin lebih tinggi dari Bu-bing Loni, namun mati hidupnya merupakan tanda tanya besar. Kira-kira setengah tahun sudah berselang, Sam-kong membekal Sin-giok-ling milik Bu-bing Loni, kenyataan dia masih sehat segar, tidak bisa tidak dia harus percaya akan adanya orang aneh itu, jangan aku menyia-nyiakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan "Wi-thian-chit-ciat-sek" . Thian-hi mematung seperti orang linglung Sam-kong menjadi geli. tahu dia apa yang tengah dipikir oleh Thian-hi, katanya tersenyum "Beliau sudah pernah dengar tentang kau, ingin sekali bertemu dengan kau. Kalau memang berjodoh mungkin kau bakal ketiban rejeki." Thian-hi tertawa, pikirnya. "Aku tidak ingin rejeki apa segala, kalau benar-benar Bu-bing Loni tak berani datang, ini sudah cukup menggirangkan hatiku." "Mari ikut aku menghadap beliau. Tapi jangan sekali2 kau merasa takut, tahun terakhir ini wataknya suka aseran, apalagi dulu siapa saja yang sampai membuatnya gusar, celakalah dia." Thian-hi manggut, Sam-kong lalu membawa Thian-hi menyusuri lorong2 panjang dan serambi yang belak-belok, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah. Sam-kong memberi tanda supaya Thian-hi menunggu di luar, dia terus masuk ke dalam. Setelah Sam-kong masuk terdengar suaranya berkata di dalam. "Tecu Sam-kong menghadap!" Sebuah suara menyahut. "Sam-kong! Kau datang pula, di luar kau masih bawa orang, siapakah dia?" Suara ini adalah perkataan seorang nenek, Thian-hi menjadi heran, belum pernah ia dengar ada seorang nenek yang ditakuti oleh Bu-bing Loni. "Orang yang Tecu bawa kemari adalah Hun Thian-hi, apakah Ciangpwe sudi mengundangnya masuk?" Rada lama nenek itu berdiam diri, akhirnya berkata. "Baiklah! Silakan dia masuk!" Dari ambang pintu Sam-kong melambai tangan suruh Thian-hi masuk. Begitu tiba di dalam pintu, di mana matanya melihat seorang nenek tua, hampir saja dia berteriak kejut. Mana ada manusia seburuk itu, hampir menyerupai setan atau dedemit, seluruh mukanya belang bonteng malang melintang bekas luka-luka yang menonjol, kedua matanya buta, seluruh mukanya tiada secuilpun yang kelihatan halus, sungguh mengerikan. Cepat-cepat ia tenangkan hati terus menyembah sapanya. "Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Cianpwe!" "Bangun!" Ujar si nenek. "apa kau takut kepadaku?" "Takut sih tidak, aku hanya heran kenapa Cianpwe bisa berubah begitu rupa." "Sungguh tepat jawabanmu," Sahut si nenek tertawa kering. "tak heran Hwesio jenaka sangat tertariK kepadamu, berapa usiamu tahun ini?" "Tepat dua puluh!" Hilang seri tawa si nenek, wajahnya menjadi kaku, gumamnya. "Dua puluh, sudah dua puluh, ja, seharusnya memang dua puluh!" Air mukanya semakin sayu dan dirundung kepedihan. Melihat mimik wajah si nenek, Thian-hi mengira orang tentu punya kenangan yang menyedihkan, dari bekas2 luka di mukanya itu, tentu dicelakai oleh musuh besarnya, entah siapakah orang yang begitu keji dan telengas. Sam-kong Lama batuk2 lalu bicara. "Bantuan yang diminta oleh Hwesio jenaka kepada Cianpwe tidak terlupakan bukan!" Thian-hi melengak, pikirnya. "Bantuan apa yang di minta oleh Hwesio jenaka kepada nenek ini?" Si nenek tertawa, ujarnya. "Kau tak perlu kuatir, urusan itu pun tak perlu tergesa-gesa, sulit untuk menemukan seseorang yang tidak takut melihat rupaku ini, ada banyak omongan yang perlu kami bicarakan." Sam-kong lama mengiakan, si nenek lantas berkata pada Thian-hi. "Kau pernah bertemu dengan Bu-bing Loni?" "Pernah, apa yang perlu Cianpwe ketahui, Wanpwe sedia menjelaskan." Si nenek termenung, lalu bertanya. "Apakah kau hanya bertemu dia seorang? Adakah dia membawa orang lain?" "Masih ada muridnya Ham Gwat, Ham Gwat punya dayang bernama Siau Hong. Belakangan ini dia terima murid baru lagi bernama Su Giok-lan." Si nenek tenggelam dalam pikirannya, sekian lama tak bersuara. Thian-hi tak tahu untuk keperluan apakah si nenek menanyakan itu. "Ada sebuah kisah perlu kuceritakan kepada kalian," Demikian si nenek memecah kesunyian. "kisah ini mengenai aku, Bu-bing Loni dan seorang lain." lalu dia berkata kepada Sam-kong- "Kau layani aku selama dua puluh tahun, sudah tiba saatnya kau tahu asal usulku." Berhenti sebentar, lalu meneruskan. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku berada disini, Bu-bing Loni tentu tak berani bertingkah. Bukan karena ilmu silatnya tidak unggul dari aku. Ilmu Jiam-hun-ciang sudah sempurna kulatih. tapi masih tak bisa menang melawan dia." Sangat heran dan kejut pula hati Thian-hi. tak tahu dia ada permusuhan apa diantara si nenek dengan Bu-bing Loni, Bu-bing takkan mungkin kemari, dengan kekejaman Bu-bing, dia takkan gentar dan takut menghadapi siapapun juga. Terdengar si nenek melanjutkan. "Kalian mungkin heran bekas luka-luka di mukaku ini bukan? Biar kuberi tahu, inilah karya besar tangan Bu-bing Loni!" Sampai disini ia berhenti. Diam-diam bercekat hati Thian-hi, buah karya Bu-bing Loni, tanpa merasa ia bergidik dan merinding. Setelah berdiam diri nenek tua berkata lagi. "Dua puluh tahun! Tepat dua puluh tahun sudah! Dia masih mempermainkan aku, aku masih belum berdaya menuntut balas, kupikir saatnya sudah bakal tiba!" Dari tengah angkasa terdengarlah pekik burung dewata yang panjang mengalun tinggi. Nenek tua itu tersenyum getir, katanya pula. "Dia masih menekan aku untuk tutup mulut lagi. Dulu memang aku pernah melulusi dia untuk tak membeber rahasia ini, tapi sekarang aku harus bicara! Apa kalian tahu apa hubunganku dengan Bu-bing Loni? Dia adalah Toaciku!" "O, jadi kalian adalah kakak beradik, hati Bu-bing Loni sungguh sangat kejam, ada permusuhan apa diantara mereka? Begitu tega Bu-bing Loni sampai membuat adik kandung sendiri begitu rupa." Demikian batin Thian-hi. Ditengah angkasa terdengar pula bunyi burung dewata yang rada keras. Nenek tua itu meneruskan. "Kami semua lima saudara, aku paling muda, dia paling tua, tatkala itu dikalangan Kangouw dijuluki Ngo-hong, nama asliku bernama Ong Ging-sia. sampai disini berubah air mukanya, katanya lagi. "Bu-bing Loni sudah tiba!" Terkejut Hun Thian-hi. Terdengar desir lambaian kain dari luar, segera tampak Bu-bing Loni melayang masuk dari jendela. Dengan dingin ia pandang mereka bertiga, lalu berkata kepada sinenek. "Ging-sia! Kau tahu selamanya aku membalas setiap dendam dan sakit hati. Kalau kau bicara apa-apa terhadap mereka kau maklum tindakan apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!" Ong Ging-sia tertawa menyeringai, ujarnya. "Sikapmu sangat keterlaluan terhadap aku. Dia akan tahu, dan kau sendiri kelak juga pasti akan menyesal!" Berubah air muka Bu-bing Loni, jengeknya. "Dia tahu aku pun tak takut, apa kau berani menemui dia? Kupikir diapun ingin sekali melihat keadaanmu sekarang!" Pelan-pelan Thian-hi angkat kepala memandang Bu-bing Loni. Dulu katanya Bu-bing pernah patah hati dan menjadi kortan asmara, rupa2nya begitulah persoalannya? Saingan cintanya kiranya bukan lain adalah adik kandung sendiri, tapi ternyata dia begitu culas, begitu keji dan hina dina, dengan merusak wajahnya dia menyiksa dan melukai sanubari adik kandung sendiri! Ong Ging-sia terpekur diam. Bu-bing berkata lagi. "Kalau kau masih menepati sumpah dulu, aku pun tak perlu menjilat ludahku sendiri, silakan kau pikir dan pertimbangkan pula!" habis berkata ia menyapu pandang Hun Thian-hi lalu berkelebat menghilang diluar pintu. Ong Ging-sia duduk terlongong-longong. Terpaksa Sam-kong mandah membiarkan Bu-bing Loni pergi datang seenak udelnya sendiri tanpa berusaha merintangi. Hun Thian-hi tidak tahu janji apa yang terikat diantara mereka, begitu besar penderitaan Ong Ging-sia, namun tak berani mengatakan. Dengan teliti ia menyelusuri lagi setiap perkataan Ong Ging-sia tadi, tanpa kuasa iapun mengeluh pendek. "Dua puluh tahun sudah!" Nuraninya merasa bahwa Ong Ging-sia masih punya ganjelan hati atau sesuatu yang menjadi tanggungan pikirannya, seolah-olah dia sangat prihatin terhadap seseorang yang berada dekat bersama Bu-bing Loni, apakah Siau Hong punya hubungan erat dengan beliau? Ong Ging-sia angkat kepala, tangannya terulur panjang, kelima jarinya terpentang lalu dirangkapkan, sebuah pentung besi sebesar lengan bocah disampingnya kontan patah menjadi dua teremas oleh jari-jarinya. Keuua biji matanya yang picak mengalirkan air mata, desisnya perlahan. "Jiam-in-ciangku sudah sempurna, tapi apakah gunanya?" Pelan-pelan Ong Ging-sia menarik napas, lalu berkata kepada Hun Thian-hi. "Peristiwa yang lampau sudah berlalu, aku pun tak perlu ungkat2 lagi. Perihal kau menelan buah ajaib, Hwesio jenaka ada membicarakan kepada aku. Setelah kau menelan buah itu kau tidak mengerahkan Lwekang untuk melancarkan khasiatnya sehingga sekarang terkumpul di Pek-hwe-hiatmu Kecuali menggunakan Sian-thian-ciang guna menembus dan menjebol seluruh urat nadi dan jalan darah di seluruh tubuhmu, sukarlah dapat dikembangkan manfaatnya. Sebetulnya Go-cu Taysu beranggapan, lebih baik kau sendiri yang membujarkan, tapi keadaanmu sekarang tidak mungkin terlaksana. Hwesio jenaka minta kepada aku, tapi sayang sekali tenaga Jian-thian-ciang yang kulatih itu walaupun hampir mirip dengan Sian-thian-cin-gi, tapi aku hanya berlatih selama dua puluh tahun, baru rampung dan sempurna, aku kuatir kalau aku bantu kau bukan saja tidak membawa manfaat malah bakal mencelakai jiwamu!" Hun Thian-hi tercengang, pikirnya. "Rupanya begitu ajaib adalah buah pusaka laksana makanan dewa yang mengeram kekuatan luar biasa, kenapa begitu saja manfaatnya atas diriku?" Tiba-tiba Ong Ging-sia bertanya kepada Hun Thian-hi. "Bukankah gurumu itu Kongsun Hong adanya?" "Benar-benar! Tapi guruku sekarang telah mengusir aku dari perguruan." "Dulu Hwe-siang-ki malang melintang di dunia persilatan, selamanya tak ketemu tandingan, tapi Lam-siau dan Pak-kiam sesampai pada generasi tingkat gurumu menjadi melempem, terpaut jauh sekali. Bakat gurumu sangat terbatas, dengan kepandaian Thian-liong-chit-sek dan Siau~im- pit-hiat, dulu kakek gurumu benar-benar merupakan tokoh kosen yang sangat disegani seKali. Tapi sekarang Lwekang gurumu terlalu cetek, satu sepersepuluh dari kemampuan kakek gurumu dulu saja tidak memadai. Demikian juga keadaanmu, Lwekangmu kurang kuat." Hun Thian-hi tunduk tanpa bicara, gurunya memang pernah membicarakan hal ini, soalnya karena dulu kakek guru meninggal terlalu pagi, dan gurunya sendiri adalah belajar tanpa guru menurut Pit-kip peninggalan keluarganya, sudah tentu hasilnya jauh dari harapan. Kata Ong Ging-sia pula. "Kau sudah kemari tiada sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu, serulingmu sudah patah, sekarang tak punya senjata yang cocok, aku punya sebatang seruling gading, inilah senjata kepercayaanku dulu, dengan membekal seruling ini, berangkatlah ke Thian- san dan cari Hwi-king Lo-jin, dia adalah adik iparku. Dia akan membantu kau dengan Sian-thian- cin-gi menembus urat nadi dan jalan darah di tubuhmu." lalu diangsurkan kepada Thian-hi sebatang seruling warna putih mulus. Hun Thian-hi nyatakan terima kasih, lalu menerima pemberian seruling itu, tampak olehnya seruling ini begitu mulus warna putih bersemu ke-merah2an, seluruh batangnya diukir lima ekor burung Hong yang sangat indah seperti hidup. Kata Ong Ging-sia dengan tertawa getir. "Dulu sebelum ayahku ajal beliau memberikan seruling ini kepadaku, ayah sangat cinta kasih terhadap kami lima bersaudara. Bagi kami masing-masing didirikan bangunan berloteng yang diberi nama Ngo-hong-lau, seruling ini dinamakan Hwi-hong- siau (seruling burung hong terbang), merupakan pertanda kewibawaan dari majikan Ngo-hong-lau itu, diantara kami berlima, ayah paling sayang pada aku, maka peninggalan ini diberikan kepada aku!" Dengan rasa penuh eman Thian-hi mengelus seruling semu merah itu, hatinya merasa iba, terpikir olehnya bahwa Ong Ging-sia ini dulu waktu masih mudanya pasti seorang gadis remaja yang cantik jelita, namun sekarang.kejadian di dunia ini sungguh sukar diduga dan diraba, siapa bakal mengira wajahnya sekarang begitu jelek menakutkan. Terdengar Ong Ging-sia melanjutkan perlahan. "Bukan saja Bu-bing Loni berhasil memperoleh rahasia pelajaran Hui-sim-kiam-hoat, di suatu pulau di lautan timur iapun telah menemukan kemujijatan, dalam kolong langit ini mungkin tiada seorang pun yang dapat melawan dia. Kau sudah menelan buah ajaib, bila khasiatnya bisa menghasilkan manfaat yang fatal, Lwekangmu bakal tidak di bawah Bu-bing Loni. Kalian harus tahu sekarang Bu-bing Loni sudah bisa melebur Si- bu-sin-kang ke dalam permainan pedangnya untuk melukai lawan. Kalau Hui-sim-kiam-hoat dilandasi dengan Si-bu-sin-kang yang begitu kokoh dan kuat dasarnya, jurus terakhir yang berantai sebanyak tiga lintasan kilat pedang itu tiada seorang pun yang dapat menandingi." Hun Thian-hi merenung sebentar lalu bertanya. "Tiga jurus berantai yang hebat itu bagaimana kalau dibanding Wi-thian-chit-ciat-sek? orang kosen itu." Demikian pikirnya. "Dari penuturan Ang-hwat-lo-koay Wanpwe mendengar katanya Wi-thian-chit-ciat-sek telah muncul kembali. Sekarang berada ditangan Ka-yap Cuncia!" ~lalu ia ceritakan tipu daya yang direncanakan Ang-hwat-lo-koay secara jelas. Ong Ging-sia terpekur sesaat lamanya, katanya. "Aku sendiri belum pernah menyaksikan Wi- thian-chit-ciat-sek itu. Tapi konon adalah Kiam-sut tingkat tertinggi dari Lwekeh. Tapi Hui-sim- kiam-hoat dari Bu-bing Loni itu aku pernah melihat. Dua puluh tahun sudah, tentu ilmu kepandaiannya itu lebih maju, lebih matang!" Hun Thian-hi menjadi kecewa, pikirnya. "Kalau begitu benar-benar tiada sesuatu ilmu yang dapat menandingi Hui-sim-kiam-hoat Bu-bing Loni itu?" Sesaat Ong Ging-sia termenung lagi baru bicara. "Tapi menurut hematku Wi-thian-chit-ciat-sek merupakan ilmu kepandaian yang tiada taranya di dunia ini, mungkin bisa menandinginya. Tapi menurut Ang-hwat-lo-koay katanya berada ditangan Ka-yap Cuncia. Selama ratusan tahun masa kini Ka-yap Cuncia merupakan tokoh wahid nomor satu dalam Bulim, andaikata beliau masih hidup dalam dunia fana ini, tanpa Wi-thian-chit-ciat-sek juga tak perlu gentar menghadapi Bu-bing Loni lagi. Tapi meski beliau masih hidup, usianya pasti sudah melebihi seabad, entahlah apakah ucapan Ang-hwat-lo-koay itu dapat dipercaya?" "Kecuali Ka-yap Cuncia, apakah benar-benar di dunia ini tiada seorangpun yang mampu melawan Bu-bing Loni? Masa Go-cu Taysu juga tidak ungkulan?" Ong Ging-sia berpikir sebentar, katanya. "Sudah tentu Go-cu Taysu tak menang melawan Bu- bing. Namun secara kenyataan Bu-bing pun tak berani berhadapan dengan Go-cu. Seumpama seluruh tokoh-tokoh kosen persilatan berkumpul dan bergabung juga belum tentu mampu menyelamatkan diri dari serangan tiga jurus berantai ilmu pedang yang terakhir. Tapi Bu-bing Loni sendiri juga belum pernah mainkan ilmu hebatnya itu di hadapan orang, karena ketiga jurus itu sangat menguras tenaganya!" Dingin perasaan Thian-hi mendengar uraian Ong Ging-sia ini. Apakah benar-benar Hui-sim- kiam-hoat begitu hebat? Ong Ging-sia berkata lagi. "Sejak Ang-hwat-lo-koay menghilang, khalayak ramai menyangka dia sudah meninggal, para iblis yang lain juga menjadi mengkeret dan sama mengasingkan diri. Sekarang Ang-hwat-lo-koay telah muncul kembali, gelombang pertikaian dan huru hara di Bulim bakal lebih hebat dan situasi bakal semakin genting. Apalagi selama berapa tahun memencilkan diri tentu Ang-hwat-lo-koay sudah punya bekal kepandaian yang lebih hebat, sehingga sekarang dia berani bersimaharaja kembali!" "Jurus pencacat langit pelenyap bumi ciptaannya itu sudah bukan olah-olah lihaynya, kalau masih punya jurus jahat lainnya lagi, wah, dunia bakal tidak aman lagi!" Demikian Thian-hi mengeluh dalam hati. Sementara Sam-kong Lama yang sejak tadi diam saja pun ikut bercekat, beberapa lama berselang dunia persilatan aman sentosa aan sejahtera. Gelagatnya dalam waktu mendatang yang tak lama ini bakal geger dan kemelut. Kata Ong Ging-sia sambil menghela napas. "Seumpama membekal Sin-kang tiada taranya, apa pula paedahnya bagi aku?" "Memang tidak mengherankan keluh kesahnya ini," Demikian batin Thian-hi. "Siau Hong berada di samping Bu-bing Loni yang kejam ini, sembarang waktu dia bisa turunkan tangan jahatnya." Kata Ong Ging-sia kepada Thian-hi. "Sekarang berbagai golongan dan aliran di Tionggoan tengah menyelusuri jejakmu, berita adanya kau di Bu-la-si ini juga bakal cepat tersiar ke-mana- mana, meskipun kau disini tidak akan berhalangan dan berbahaya, Sam-kong Lama akan selalu melindungi kau. Namun. kaum Bulim dari Tionggoan itu pasti akan berdaya upaya dengan berbagai cara menuntut pada Sam-kong atas dirimu. Mungkin Ang-hwat-lo-koay yang penasaran itupun akan kemari membekuk kau. Maka sebelum berita ini tersebar luas lekas-lekas kau tinggalkan Bu-la-si saja. Mereka takkan menduga, bukan tidak sembunyi di tempat aman kau malah menempuh perjalanan jauh menuju ke Thian-san. Segera kau harus berangkat, sebelum jejakmu konangan oleh mereka kau harus sudah berada di Thian-san, begitu sampai disana carilah Hwi-king-ouw (danau kaca terbang), jiwamu pasti selamat dan aman!" Hun Thian-hi mengiakan sambil membungkuk tubuh, jejaknya sudah konangan, bagaimana juga jangan sampai merembet pada Sam-kong Lama, apalagi sekarang sudah punya tujuan tertentu yaitu ke Thian-san, Kekaligus disana bisa tilik pada Sutouw Ci-ko. Setelah menghaturkan sembah sujud dan terima kasih, Thian-hi mengundurkan diri bersama Sam-kong Lama, dengan rasa berat Sam-kong menahannya satu hari lagi, baru hari kedua ia berangkat menunggang kudanya. Terpaksa ia balik memasuki daerah Tionggoan lalu belok ke arah barat terus menuju keutara. Begitulah tahu-tahu sudah tiga hari selama perjalanan tanpa menemui rintangan. Di atas kuda ia menerawang sepak terjang selanjutnya. Manakala dirinya belum lagi tiba di Thian-san ditengah jalan sudah kepergok oleh musuh bagaimana. Tengah Thian-hi berpikir2, tiba-tiba jauh di depan Sana terlihat sebuah bayangan punggung orang yang seperti sangat dikenalnya. Girang hatinya lekas-lekas ia keprak kudanya membedal ke depan. Mendengar derap langkah kuda dibelakangnya orang itu memoleh, jelas sekali dia bukan lain, adalah Sutouw Ci-ko. Dia menunggang seekor kuda warna coklat, tengah berlari-lari kecil ke arah depan. Sekejap saja Thian-hi sudah menyusul tiba, tanpa merasa mereka tertawa saling berpandangan, sesaat kemudian baru Sutouw Ci-ko buka suara. "Bagaimana kau ini? Bukankah kau menuju ke Bu-la-si? Disana tiada seorang pun yang berani mengganggu usik padamu, kenapa kau gelandangan disini?" "Tak nyana bisa jumpa dengan kau ditengah jalan," Kata Hun Thian-hi tertawa. "Aku mendapat sebuah tugas dari seseorang untuk ke Thian-san mencari Hwi-king Lojin!" Sutouw Ci-ko kejut2 girang, serunya. "Kau mencari Hwi-king Lojin, sungguh kebetulan, Hwi- king Lojin bersemajam bersama guruku, sama berdiam dipuncak utara Thian-san, mereka berdua yang satu tinggal ditimur danau yang lain disebelah barat. Untuk keperluan apa kau mencari beliau?" Thian-hi tertawa-tawa, setelah rada sangsi ia menjawab. "Ada sedikit keperluan akan minta bantuannya!" Lalu ia ceritakan pengalamannya di Bu-la-si kepada Sutouw Ci-ko. Sutouw Ci-ko menghirup hawa, ujarnya tersenyum. "Sungguh aku turut senang bagi kau!" Thian-hi merasakan hatinya menjadi hangat, pedang dikembalikan kepada Sutouw Ci-ko serta katanya. "Pedang ini milikmu, sekarang aku sudah punya gaman, pedang ini lebih baik kukembalikan saja." Sutouw Ci-ko menatap tajam, akhirnya menjawab. "Untuk pedang ini kuterima kembali. Tapi kuda putih jangan kau kembalikan juga kepada aku!" Begitulah untuk selanjutnya mereka berkawan melanjutkan ke arah tujuan yang sama, sepanjang jalan ini riang gembira, hubungan mereka menjadi semakin kental. Sambil mendongak Sutouw Ci-ko berkata. "Sungguh aku kepingin punya adik semacam kau." Lalu ia berpaling memandang Thian-hi, tanyanya: Apakah kau suka punya cici macamku ini?" "Sudah tentu aku sangat senang," Thian-hi tersipu-sipu. "Kalau begitu selanjutnya kau jadi adikku saja ya?" - Thain-hi manggut. "Adik Thian-hi!" Teriak Sutouw Ci-ko dengan riangnya. Thian-hi mengiakan. Kata Sutouw Ci-ko dengan berseri. "Setelah sampai dipadang rumput, akan kukenalkan kau kepada sahabatku disana, inilah adikku Hun Thian-hi, tentu mereka akan kagum dan ketarik pada kau!" Begitulah sambil bersendau gurau mereka maju terus. Sutouw Ci-ko dibesarkan di daerah padang rumput, tehnik menunggang kudanya jauh lebih pandai. Meski kuda yang ditunggangi Thian-hi kuda jempolan, dia harus kerahkan tenaga dan segala daya upayanya baru berhasil menyandak. Akhirnya mereka larikan kudanya berendeng dan pelan-pelan! Entah berapa lama sudah mereka tempuh perjalanan, sekonyong-konyong pandangan Sutouw Ci-ko terlongong melihat seseorang dikejauhan sana. Thian-hi berpaling ikut memandang kesana, jauh disebelah sana tampak seorang pemuda yang mengenakan pakaian perlente, menunggang kuda menghampiri ke arah mereka, kudanya berlari pelan-pelan. Berubah ai rmuka Sutouw Ci-ko, hilang seri tawanya, katanya kepada Hun Thian-hi. "Dia itulah Kim-i-kiam-khek adanya! Sementara itu, tunggangan Kim-i-kiam-khek sudah mendekat, dengan berseri tawa ia berkata kepada Sutouw Ci-ko. "Sudah lama aku tak jumpa kau. Apakah kau baik-baik selama ini?" Lalu dengan lirikan ujung matanya ia pandang kepada Hun Thian-hi. Dengan seksama Thian-hi amat-amati Kim-i-kiam-khek ini, usianya kira-kira tujuh delapan likuran. Tapi dari apa yang pernah didengar dari penuturan SutoUw Ci-ko oran ini berhati culas, banyak tipu daya serta licik, sunguh sukar diraba. Dengan muka masam Sutouw Ci-to berpaling kepada Thian-hi. "Dik, mari kita jalan!" "Bocah ini adikmu?" Tanya Kim-i-kiam-khek dengan nada heran. "Kenapa aku belum pernah dengar sebelum ini?" Hun Thian-hi menjadi muak melihat tampang orang, dengan menyeringai dingin ia keprak kudanya, bersama Sutouw Ci-ko menerobos lewat ke depan. Kim-i-kiam-khek menjadi penasaran, cepat ia membalikkan kuda dan mengejar dengan kencang, begitu kejar mengejar, sekejap saja lima li sudah dilampaui. Mendadak Sutouw Ci-ko menarik tali kekang menghentikan kudanya, katanya berpaling kepada Kim-i-kiam-khek. "Kenapa kau mengejar aku terus?" Sudah lama kita tak berjumpa bukan." Ujar Kim-i-kiam-khek dengan cengar-cengir. "Ada beberapa patah kata hendak kukatakan kepada kau! Apa boleh?" Semprot Sutouw Ci-ko gusar. "Kau punya mulut sendiri, siapa larang kau bicara!" Sorot mata Kim-i-kiam-khek beralih kepada Thian-hi katanya. "Apakah dia benar-benar adikmu?" Hun Thian-hi menggeram gusar, katanya kepada Kim-i-kiam-khek. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Apa-apaan maksud katamu ini?" Kim-i-kiam-khek tertawa sinis, katanya. "Kuduga hubungan kalian tidak terpaut sebagai kakak beradik saja bukan?" Membesi muka Sutouw Ci-ko. "sreng!" Ia melolos keluar pedangnya. Kim-i-kiam-khek berkata dingin kepada Hun Thian-hi. "Kau bisa mengakui bukan?" Sutouw Ci-ko "menggerakkan pedang menyerang kepada Kim-i-kiam-khek. Lekas-lekas Kim-i- kiam-khek menarik tali kekang berkelit kesamping. tanpa balas menyerang. Thian-hi berseru kepada Sutouw Ci-ko. "Ci-ko cici, kenapa kau ladeni orang gila ini?" dia maklum Kim-i-kiam-khek memang sengaja memancing kemarahan dirinya, mungkin dia berniat turun tangan keji kepada dirinya. Berkilat sinar mata Kim-i~kiam-khek, mulutnya terpentang tertawa lebar tanpa bersuara. seakan-akan menantang. "Apakah kau berani?" "Apa kau tidak ingin tahu siapa aku sebenar-benarnya?" Tanya Thian-hi dengan seringai sinis. Kim.i-kiam-khek tetap bungkam. Thian-hi berkata dingin. "Aku inilah Leng-bin.mo-sim Hun Thian-hi!" Terkejut Kim-i-kiam-khek, katanya bergelak tawa. "Apakah Hun Thian-hi itu menakutkan? Kau menyamar atau meminjam namanya?" Thian-hi menjadi geli hatinya. "aku menyamar Hun Thian-hi? Berita tentang nama, julukannya itu memang rada keteelaluan. jikalau dirinya benar-benar bermuka dingin berhati iblis, tanggung Kim-i-kiam-khek ini tidak bakal dapat hidup lebih lanjut. Thian-hi mandah mendengus saja. Kim-i-kiam-khek semakin men-jadi2, katanya kepada Sutouw Ci-ko. "Jutru karena urusan Leng-bin-mo-sim itulah maka aku turun dari Thian-san. Siapa nyana adikmu ini berani mencatut nama Leng-bin-mo-sim!" "Anggapmu dia palsu?" Jengek Sutouw Ci-ko, sampai disini tiba-tiba ia terhenyak, terpikir olehnya bila orang benar-benar tahu kata-kata Thian-hi adalah benar-benar, bukankah bakal menimbulkan kesukaran malah. Maka segera ia keprak kudanya serta berseru pada Thian-hi. "Mari lanjutkan!" Sekilas itu Thian-hi melihat perubahan airmuka Sutouw Ci-ko, dasar cerdik iapun dapat meraba kemana juntrungannya. Tercekat hatinya, kenapa aku begitu ceroboh dan tak kuasa menahan sabar, kalau sampai jejak dirinya tersiar luas bukankah bakal berabe. Bergegas ia congklang kudanya cepat-cepat. Sekian saat Kim-i-kiam-khek terlongomg ditempatnya, tiba-tiba ia tersentak dari lamunannya, pikirnya. "Kenapa aku begitu lena. jelas sekali dia adalah Hun Thian-hi, sungguh menggelikan aku menyangka dia mencatut nama orang!" Ingin dia mengejar, tapi bila kecandak, mungkin Thian-hi bisa bunuh aku supaya tutup mulut, lantas terkilas pikiran lain dalam benaknya. "Kenapa mereka harus lari? Apakah di belakang ada orang mengejar?" Sementara itu, Thian-hi dan Sutouw Ci-ko sudah lari jauh, melihat Kim-i-kiam-khek tidak mengejar. mereka perlambat lari kudanya, kata Thian-hi kepada Sutouw Ci-ko. "Tadi hampir saja aku membunuhnya!" "Kau? Apakah kau benar-benar Leng-bin-mo-sim? Ilmu silatnya sangat tinggi, aku saja bukan tandingannya!" Thian-hi maklum orang tidak percaya, iapun mandah tertawa-tawar, ujarnya. "Dia mengatakan turun gunung karena aku, entah dia punya urusan apa dengan aku?" "Sekarang tentu dia tahu bahwa aku tidak menipu dia. Mari kita lekas jalan, sekarang tidak perlu kau urus kenapa dia mencari kau. yang penting kita harus segera tiba di Thian-san." Thian-hi juga maklum, seluruh kaum persilatan dikolong langit tengah mengubek2 jejaknya, apa pula urusannya selain mencari perkara pada dirinya. Beberapa hari kemudian, dengan jalan cepat tibalah mereka di daerah Ho-say dimana mereka sudah dekat disikitar Tun-hong. Sepanjang jalan ini mereka melihat banyak orang berlalu lalang dengan mengenakan pakaian ketat. Diam-diam timbul kewaspadaan mereka, mereka berjalan tergesa-gesa tanpa melirik pun juga, Thian-hi tak tahu kemana dan apa tujuan mereka. Mereka maju terus, tanpa terasa satu hari telah mereka lewatkan lagi, namun mereka insaf bahwa musuh2 tangguh sudah mengintip disekitar mereka, sulit dapat dipercaya begitu cepat mereka telah meluruk tiba. Di tempat duduknya Hun Thian-hi berkata kepada Sutouw Ci-ko. "Ci-ko cici, lebih baik kau lekas pergi saja, aku pikir." "Thian-hi!" Seru Sut0uw Ci-ko tertawa merengut. "Kau panggil aku cici, sudah seharusnya aku melindungi kau, mana mungkin aku tinggal pergi, apa kau sangka aku begitu penakut?" Thian-hi tertawa dibuat-buat. katanya. "Jumlah mereka terlalu banyak. kau disisiku menjadi serba sulit untuk bergerak." "Jadi kau anggap aku mengganggu kau malah?" "Ya, begitulah maksudku." "Kenapa kau gunakan alasan ini untuk mengelakkan diriku, bukankah lebih baik kita bersama? Kedatangan musuh tidak sedikit jumlahnya, tapi belum kelihatan ada seorang pun yang benar- benar seorang tokoh Kosen, takut apa?" "Memang tokoh kosen belum muncul, bila muncul sulit kami untuk melarikan diri." Lalu secara mendadak ia bertanya. "Ci-ko cici, bagaimana kalau kau naik kuda putih ini memburu ke Thian-san minta bantuan?" Sutouw Ci-ko beragu sekian lama, akhirnya berkata tersenyum. "Untuk sampai di Thian-san pulang pergi memerlukan sepuluh hari, lebih baik kita terjang keluar saja, begitu memasuki gurun pasir disana adalah tanah tandus yang merupakan duniaku sendiri, padang rumput juga banyak terdapat sahabat karibku, setelah tiba disana tak perlu kuatir lagi. Kecuali mereka menggunakan kekerasan, mungkin air minum saja sulit didapat!" Hun Thian-hi menjadi melongo, pengetahuan Sutouw Ci-ko ternyata begitu luas. Terdengar Sutouw Ci-ko berkata lagi. "Mungkin kau kurang percaya, bila kami bisa menerjang keluar dari kepungan mereka, secepatnya kami bakal tiba di padang rumput, tatkala itu setelah menyaksikan sendiri terserah bila kau mau percaya." Mendengar penjelasan ini Thian-hi rada terhibur, pikirnya, para pengejar dari Tionggoan itu pasti belum sampai, untuk menjebol kepungan yang merintang di depan sekarang, agaknya tak begitu sukar, namun entah siapakah pimpinan mereka. Begitulah mereka terus melanjutkan ke depan, tak lama kemudian terlihatlah jejak musuh, setelah menuruni segugusan pasir, tampak di depan sana berjajar sebaris kuda-kuda kekar menghadang di tengah jalan, dipimpin oleh Kim-i- kiam-khek sendiri. Setelah rada dekat Hun Thian-hi berdua menghentikan kudanya. Dari samping segera menerjang keluar dua penunggang kuda, mereka bukan lain adalah Yan-bun-siang-eng, dengan tunggangan dikeprak kencang menerjang datang. Di empat penjuru serempak muncul sebarisan berkuda mengepung mereka berdua. Thian-hi memicingkan mata menerawang situasi sekelilingnya, sebelah belakang adalah In- tiong-it-ho Ling-ce-cu dan Ling-it Loto. Sebelah samping sana adalah Im-hong-jiu Lim Bing dan seorang tua lagi. Musuh sudah memblokir jalan mundurnya pula, terdengar Kim-i-kiam-khek bergelak tawa, serunya. "Para sahabat yang hadir ini kukira banyak yang telah kau kenal. Hanya Jiang-si-cu dan Ngo-tok-jiu Lim Han, dialah saudara tua dari Im-hong-jiu! Sekarang mari kuperkenalkan!" Thian-hi menyapu pandang para pengepungnya, mereka tak lain adalah undangan Kim-i-kiam- khek, dengan tawa tawar ia menyahut. "Sungguh tak nyana, orang macam aku ini juga menggegerkan sedemikian banyak dedongkot2 silat besar." . Kim-i-kiam-khek bergelak tawa, serunya. Pendekar Bego Karya Can Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo