Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 11


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 11


Badik Buntung Karya dari Gkh   "Memang tidak kunyana Ling-bin-mo-sim yang menggetarkan jagad ini kiranya orang macam tampangmu ini. Aku kuatir kabar itu terlalu digedekan melampaui kenyataan."   "Tak nyana Kim-i-kiam-khek macammu ini juga melebihi kenyataan begitu pengecut mengundang begini banyak orang untuk mengeroyok orang. Hm, mengotorkan mulut dan memerahkan kuping saja kalau dipersoalkan ."   Demikian sindir Sutouw Ci-ko. Dasar licik Kim-i-kiam-khek tetap tertawa tawa tanpa tersinggung kelihatannya, katanya.   "Aku mendapat pesan orang lain, sudah tentu harus kulaksanakan sesuai dengan rencana, betapapun aku harus punya persiapan yang lengkap bukan!"   Hun Thian-hi tersenyum ewa, meski banyak para pengepungnya, situasi yang lebih genting dan lebih besarpun sudah pernah dihadapi, walau ilmu silat mereka tidak rendah, namun bila dibanding dengan Bu-bing Loni, boleh dikata punya perbedaan antara langit dan bumi.   Sebetulnya dalam hati ia sudah ambil putusan untuk menggunakan jurus pencacat langit pelenyap bumi, bagaimana juga aku tidak rela mati secara konyol, dan yang terpenting jangan sampai Sutouw Ci-ko kena terlukakan atau cidera.   Terdengar Yan-bun-siang-ing mendehem keras, lalu berkata kepada Hun Thian-hi.   "Selamanya kami berdua anggap kau adalah murid Lam-siau Kongsun Hong, tak nyana ternyata kaupun punya sangkut paut erat dengan Ang-hwat-lo-koay."   "Apakah kalian punya parmusuhan dengan Ang-hwat-lo-hoay?"   Tanya Thian-hi. Ciok Sing tertawa panjang dengan nada dingin. katanya.   "Bukan hanya permusuhan saja!"   Sementara itu Sutouw Ci-ko menjadi heran dan kebat-kebit melihat sikap Thian-hi yang adem ajam, apakah Thian-hi punya andalan yang dibanggakan untuk mengatasi mereka? Kenapa begitu wajar dan kelihatan tidak takut atau gentar sedikitpun.   Jelas kusaksikan sendiri ilmu silatnya tidak lebih unggul dari Bun Cu-giok, kenapa sikapnya begitu takabur.   Terdengar Hun Thian-hi berkata kepada Yan-bun-siang-ing.   "Begitulah baik, jikalau kalian sudi percaya, belum lama ini baru saja aku berhasil lolos dari kejarannya."   Yan-bun-siang-ing saling pandang lalu mendengus menyatakan kurang percaya. Tanpa hiraukan mereka lagi Thian-hi berpaling menghadapi Lim Bing, katanya.   "Tempo hari kita pernah jumpa sekali, kau mengejar dan ingin meringkus aku, akupun tak perlu banyak kata lagi. Tapi sekarang perlu kutandaskan dan kuberi nasehat kepada kalian berdua, kalau tiada permusuhkan dendam kesumat, silakan kalian menyingkir cepat-cepat."   Ucapannya memang bermaksud baik, namun Lim Bing menjengek dingin, makinya.   "Hun Thian- hi kematian sudah di depan mata, masih berani kau bicara besar menghina orang."   Sekarang giliran In-tiong-it-ho Ling-ce-cu, berkata Thian-hi kepadanya.   "Kau dan aku sudah lama berkenalan. Hari ini sudah tentu kau takkan sudi mundur, akupun tidak akan melepasmu lagi."   "Hun Thian-hi,"   Sela Kim-i-kiam-khek tertawa.   "Para hadirin disini kebanyakan pernah menyaksikan ilmu silatmu, sekarang giliranku untuk belajar kenal sampai dimana tingkat kepandaianmu!"   "Satu lawan satu, atau kalian maju bersama?"   Tantang Thian-hi tersenyum.   "Satu lawan satu dulu, kalau aku kalah terpaksa kau dikeroyok."   "Begitupun baik, siapa diantara kalian yang maju lebih dulu."   "Kami berdua yang menempur kau lebih dulu"   Yan-bun-siang-ing tampil ke depan.   Hun Thian-hi insaf bahwa Yan-bun-siang-ing sukar dilayani, tempo hari gurunya bersama Pedang utara berdua melawan mereka juga cuma lebih unggul sedikit, walau dirinya sudah menelan buah ajaib, sayang satu sepersepuluh dari khasiatnya saja tak dapat memperlihatkan perbawanya, untuk menghadapi keroyokan mereka berdua, betul-betul merupakan lawan tangguh.   Dia termenung sebentar, sementara Yan-bun-siang-ing sudah mengeluarkan Yan-hap-to, katanya.   "Bagaimana? Kau takut?"   Thian-hi tersenyum hambar, sahutnya.   "Apa hanya kalian berdua saja? Kupikir lebih banyak orang lebih menyenangkan, terutama paling kusambut gembira tuan Kim-i-kiam-khek dan In- tiong-it-ho berdua untuk tampil sekalian!"   Melihat Thian-hi begitu rendah menilai mereka Ciok Sing menjadi naik pitam, dengan menggerung ia berseru.   "Kami berdua saudara jauh lebih cukup, buat apa tambah orang!"   Sembari kata gesit sekali mereka turun dari tunggangan, begitu menggerakkan senjata terus menyerbu kepada Thian-hi.   Thian-hi lompat berkelit turun dari kuda pula, sebelum kakinya menyentuh tanah tahu-tahu tangannya sudah menggenggam seruling putih bersemu merah itu.   Dalam hati ia membatin.   "Betapapun aku harus nekad dan bertindak secepat mungkin. para pengejar dari Tionggoan mungkin saat ini sudah bikin geger di Bu-la-si, tak lama lagi bakal menyusul tiba, kalau dapat lolos dari kejaran mereka ini, begitu memasuki gurun pasir, selamatlah kami berdua!"   Sementara ia berpikir Yan-bun-siang-ing sudah merangsak datang dari kiri kanan.   Thian-hi mengegos menyingkir, dia insaf para musuh yang dihadapi merupakan tokoh kejam yang ingin mengambil jiwanya, kalau terpaksa akupun harus bertindak tegas bunuh mereka.   Terlihat Seruling di tangannya berkelebat menangkis, bersama itu Yan-bun-siang-ing sudah lancarkan serangan gabungan gelombang ketiga.   Dalam situasi yang mendesak begini terpaksa jurus pencacat langit pelenyap bumi untuk ketiga kalinya dikembangkan pula.   Jurus pencacat langit pelenyap bumi ini sudah diakui sebagai ciptaan tunggal yang ganas dari Ang-hwat-lo-mo yang sudah diakui sebagai iblis nomor satu di kalangan persilatan masa kini.   Begitu jurus ganas ini berkembang, tampak selarik sinar putih kemerahan melebar laksana bianglala dalam gelanggang, Thian-hi sendiri setiap melancarkan serangan ganas ini pasti tidak mampu menguasai diri sendiri.   Di saat melompat berkelit tadi sekaligus ia sudah menyingkir jauh dari kadudukan Sutouw Ci-ko.   Maka begitu melihat cahaya merah berkelebat, Yang bun-sian-ing berseru kejut, serempak mereka lompat mundur berusaha lari menyingkir, namun sudah terlambat tanpa mengeluarkan suara bersama mereka menggeletak di tanah, ditengah leher mereka jelas bertapak sebaris garis merah.   Pelan-pelan Thian-hi membasut keringat di dahinya, dengan pandangan tajam ia sapu para pengepungnya, termasuk Sutouw Ci-ko semua mematung di tempatnya.   Bergegas Thian-hi memburu maju menepuk Sutouw Ci-ko serta berseru.   "Cici, mari lekas pergi!"   Sutouw Ci-ko tersentak seperti sadar dari lamunan, begitu mengempit perut kuda bersama mereka congklangkan ke depan.   Kim-i-kiam-khek sendiri juga terlongong di tempatnya, betapa tenar dan tinggi kepandaian Yan- bun-siang-ing, masa dalam segebrak saja mati ditangan Hun Thian-hi, walaupun mereka sadar, tapi siapa pula yang berani mengantar nyawa sendiri secara konyol.   Sementara itu, dengan larikan kudanya berendeng Thian-hi menjadi semakin gelisah.   Yan-bun-siang-ing pendekar angkatan muda yang menjulang namanya, tiada punya permusuhan yang mengikat, namun kenyataan sudah mati di bawah serulingnya.   Malah Sutouw Ci-ko yang membuka kesunyian, katanya tertawa.   "Kenapa kau? Begitu gelisah dan murung kelihatannya. Sebetulnya kalau kau tidak turun tangan ganas, mereka bakal bunuh kau."   Thian-hi tertawa dibuat-buat, sahutnya.   "Tapi mereka tak punya dendam permusuhan dengan aku. Seharusnya aku hanya memberi hajaran setimpal saja kepada mereka, tapi aku tak kuasa."   "Soal itu tak perlu diperbincangkan lagi, yang terang sekarang kita sudah berhasil menjebol rintangan pertama. Depan sana tanpa rintangan lagi, setelah lewat Giok-bun-koan tanah nan luas itu adalah duniaku sendiri."   Thian-hi berdaya untuk melegakan hati, katanya.   "Sungguh aku kagum dan ketarik sekali, sejak kecil sudah hidup bebas dan berderap di padang pasir nan luas segar."   "Apa benar-benar? Kalau begitu lekaslah jalan lebih cepat lebih baik."   Bersama mereka pecut kuda lalu membedal bagai terbang ke depan.   Hari kedua hampir magrib mereka sudah tiba di luar perbatasan Giok-bun-koan, dari jauh pintu gerbang sudah kelihatan.   Thian-hi menjadi girang, tempat yang dituju sekarang sudah tiba, masa depan bakal langgeng tanpa mengalami berbagai kesukaran.   Tengah ia berpikir2, Sutouw Ci-ko berkata.   "Lekas! Dik! Mari berlomba, siapa lebih dulu sampai disana!"   Tanpa menanti jawaban ia keprak kudanya lebih dulu.   Sudah tentu Thian-hi tak mau ketinggalan, cepat iapun congklang kudanya memburu dengan kencang.   Waktu hampir sampai di pintu gerbang ia berhasil mengejar Sutouw Ci-ko, mereka lari jajar, baru saja hampir menerobos lewat pintu gerbang, sekonyong-konyong sesosok bayangan abu-abu meluncur turun dari tengah udara, segelombang angin pukulan telapak tangan seketika menyurut mundurkan Thian-hi dan tunggangannya.   Menegak alis Hun Thian-hi, amarahnya berkobar gesit sekali ia mengendalikan tunggangannya lalu memandang ke depan, kiranya adalah Jan-teng Lo-jin.   Dalam pada itu Sutouw Ci-ko sudah membedal lewat pintu gerbang Giok-bun-koan, tiba-tiba ia tidak dengar Thian-hi mengejar datang, dengan kaget ia berpaling dan menarik tali kekangnya, tunggangannya berdiri dengan kedua kaki belakang dan bebenger panjang, sedikit gunakan tenaga ia putar haluan kudanya membalik.   Tampak Bun Thian-hi tengah dirintangi seseorang disana, cepat ia memburu balik.   Setelah dekat terlihat Thian-hi tetap duduk di atas kuda sedang berhadapan dengan seorang tua ubanan, orang tua itu pejamkan mata dan duduk bersila di tanah.   Hun Thian-hi terlongong ditempatnya, cepat ia mendekat dan bertanya.   "Dik! Siapakah orang ini? Dia menghalangi kau!"   "Beliau adalah Jan-teng Lojin! Dia."   Pelan-pelan situa Pelita membuka mata, katanya.   "Hun Thian-hi, janjimu terhadapku tempo hari kau buang kemana lagi? Tersipu-sipu Thian-hi melompat turun terus menyembah, sahutnya.   "Cianpwe, Wanpwe terdesak oleh keadaan, terpaksa harus kulakukan!"   "Tempo hari siapa yang bantu kau meloloskan diri dari kepungan?"   Jengek situa Pelita, Ang- hwat-lo-koay bukan?"   Hun Thian-hi manggut-manggut dengan hambar, ia insaf bawa hari ini dirinya bakal menemui kesukaran lagi. Mengandal tenaga pukulan situa Pelita tadi, jelas dirinya bukan tandingan. Dengan murka situa Pelita mendengus, serunya.   "Sebetulnya aku masih menaruh setitik harapan kepadamu, tapi sekarang aku jadi menyesal kenapa tempo hari aku tidak beri hukuman mati saja. sehingga dalam Bulim terjadi gelombang huru hara yang berkepanjangan!"   Hun Thian-hi terbungkam. Dari samping Sutouw Ci-ko menyela bicara.   "Lo-cianpwe, kabar angin di Kangouw tidak boleh dipercaya!"   Tanpa melirik terhadap Sutouw Ci-ko, situa Pelita berkata kepada Hun Thian-hi.   "Dulu melihat kau mengalami bencana, bermusuhan lagi dengan Bu-bing Loni, aku menaruh kasihan dan sayang akan bakat dan kepintaranmu, baru kuberi petunjuk sebuah jalan penerangan, sekarang."   Ia berhenti sejenak lalu meianjutkan.   "Dulu aku kebacut melepas budi kepada kau, maka hari ini akupun tidak sudi memukulmu mampus, cepat kau kembali! Tidak kuijinkan kau keluar dari Giok- bun-koan!"   Bagai mendengar guntur dipinggir telinga Hun Thian-hi tersentak kaget dan menjublek ditempatnya. Sutouw Ci-to juga tertegun. sejak mula ia tidak senang melihat sikap situa Pelita yang begitu sombong, ia berteriak dengan keras.   "Itu tidak mungkin!"   Hun Thian-hi menghirup hawa, dia pandang Sutouw Ci-ko memberi tanda supaya ia tidak banyak bicara, ia menyembah lagi serta berkata kepada situa Pelita: Cianpwe, Hun Thian-hi memikul dosa yang pantas dihukum mati.   Tapi Cianpwe harus beri kesempatan kepadaku untuk mencuci bersih nama baikku.   Aku percaya dosa Hun Thian-hi belum setimpal sampai harus dihukuan mati, Bila Cianpwe bijaksana.   harap memberi jalan kepada Wanpwe."   Situa Pelita mendelikkan matanya, makinya.   "Dosa2mu pantas aku melenyapkan jiwamu, Keputusan sudah kuambil tidak mungkin digugat lagi!"   Hun Thian-hi tertawa tawar, pelan-pelan ia bangkit serta katanya.   "Selama hidup ini baru sekarang Hun Thian-hi minta2 kepada orang, soalnya sakit hati keluarga belum terbalas, tuduhan2 penasaran belum kuhimpas."   Sampai disini ia merandek, ia tahu bila dia tak boleh keluar dari Giok-bun-koan, jelas Sutouw Ci-to juga pasti tak mau tinggal pergi begitu saja. Tiba-tiba ia tertawa melolong, serunya.   "Cianpwe, jiwa Hun Thian-hi tidak perlu dibuat sayang. Aku tahu bila aku kembali kaum Bulim di Tionggoan pasti tidak mau melepas aku. Tapi Sutouw-cici tidak seharusnya ikut kerembet dalam persoalan ini, Cianpwe harus memberi ijin supaya aku dapat mengantarnya keluar Giok-bun-koan, sampai di Thian-san!"   Situa Pelita merenung sesaat lamanya. sahutnya dingin.   "Kalau mau pergi dia bisa jalan sendiri, aku tidak sudi banyak usil!"   Sutouw Ci-ko tertawa kepada Hun Thian-hi. katanya.   "Dik, kita senasib sepenanggungan. meski bukan saudara sekandung. namun hubungan kami lebih erat lebih kental, kalau kau tidak bisa keluar, aku pun takkan tinggalkan kau, kenapa kau minta2 kepada orang!"   Sekonyong-konyong berkobar hawa amarah dirongga dada Hun Thian-hi, kalau dirinya tidak bisa keluar pasti Sutouw Ci-ko bakal ikut berkorban karena dirinya, dengan murka ia berkata pada Situa Pelita.   "Masa kau tidak punya perikemanusiaan?"   "Perikemanusiaan?"   Teriak Situa Pelita, matanya berkilat-kilat.   "Ang-hwat-lo-koay bunuh tujuh puluh lebih anggota keluargaku. dimana perikemanusiaannya?"   Hun Thian-hi menggerung gusar, seutas sinar merah melayang ditengah udara, seruling ditangannya mendadak meluncur menutuk ditengah alis Situa Pelita.   Situa Pelita terloroh-loroh dingin, tubuhnya melejit terbang berputar diudara.   sebat sekali ia ulur tangan kanan, cukup dengan gerak ulur odot tangannya itu, ia sudah mendesak mundur Hun Thian-hi.   Hun Thian-hi maju menyerang lagi dengan sengit, seluruh tenaga dikerahkan untuk melancarkan Thian-liong-cit-sek.   laksana seekor naga terbang menari tubuhnya juga melejit mumbul ke atas, seruling ditangannya laksana ular hidup merangsak dengan gencar.   Tapi dengan unjuk tawa dingin, kedua tangan situa Pelita ditarikkan rapat, tenaga pukulannya cukup menggetar mundur Hun Thian-hi lagi.   Urusan sudah sedemikian lanjut, tanpa banyak pertimbangan lagi segera Sutouw Ci-ko melolos pedang iknut menyerang kepada situa Pelita.   Situa Pelita menggertak keras, kedua tangannya melintang terus didorong ke depan, segelombang angin topan bagai hujan badai menerpa ke arah mereka berdua, kontan mereka terdesak mundur sempoyongan tiga tombak jauhnya.   Hun Thian-hi berteriak.   "Cianpwe, apa kau harus membiarkan Wanpwe tenggelam dalam tuduhan penasaran ini?"   Situa Pelita tidak menjawab.   "Dik,"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Ujar Sutouw Ci-ko, buat apa kau banyak bacot terhadapnya, kalau tidak bisa terjang keluar, pasrah nasib saja."   Hun Thian-hi terpekur di tempatnya, rada lama kemudian baru mengutik kepala berkata pada Sutouw Ci-ko.   "Ci-ko cici, kau keluar seorang diri dari Giok-bun-koan, aku pasti berusaha untuk menyusul kau!"   Sutouw Ci-ko tertawa-ewa, sahutnya menggeleng.   "Apa-apaan katamu ini, tidak bisa!"   "Cici,"   Ujar Thian-hi rawan sambil menunduk.   "Inilah sebuah permintaanku pada akhir hidup ini, masa kau tak sudi melulusi permohonanku ini?"   "Tidak,"   Sahut Sutouw Ci-ko tersenyum hambar.   "urusan lain boleh dipertimbangkan, soal ini tidak tawar menawar lagi."   Thian-hi menghela napas, ujarnya.   "Beliau pernah tanam budi kepada aku."   "Tapi, mari kita coba sekali lagi!"   Ajak Sutuow Ci-ko sambil tersenyum. Tegang hati Thian-hi, katanya.   "Baiklah akan kucoba sekuat tenaga, harap Cici mundur rada jauh!"   Setelah Sutouw Ci-ko mundur, Thian-ki mulai mengerahkan tenaga mengempos semangat, seluruh kekuatannya dipusatkan pada seruling ditangan kanan, dimana ia bergerak untuk kesekian kalinya ia lancarkan jurus Pencacat langit pelenyap bumi.   Cahaya merah dadu berkembang melebur udara terus menerjang ke arah situa Pelita.   Situa Pelita bergelak tawa dengan murkanya, seenteng asap tubuhnya melejit tinggi mengembangkan Ginkangnya yang tinggi tanpa kurang suatu apapun diantara gubatan cahaya merah dadu itu.   Ditengah gelak tawanya, tiba-tiba ia menukik menerkam dengan rangsekan hebat.   Thian-ki terkejut, serulingnya menggetar hebat melancarkan salah satu jurus dari Gin-ho-sam-sek yang terakhir, Tam-lian-hun-in-hap yang ampuh dan rapat, sembari membela diri ia balas menyerang akan rangsekan Situa Pelita yang lihay ini.   Tapi dasar kepandaian terpaut terlalu jauh, betapa pun Thian-hi sudah kembangkan kemampuannya, tahu-tahu ia merasa pergelangan tangan kesemutan, seruling ditangannya sudah terampas oleh situa Pelita, bukan sampai disitu saja sepak terjang situa Pelita, dengan seruling rampasannya ia menutuk ke jalan darah Hou-ciat-hiat Thian-hi.   Thian-hi tahu dirinya takkan luput dari kematian, dalam detik-detik menentukan itu ia sudah pejamkan mata saja menanti ajal.   Tapi serambut sebelum seruling ditangannya mengenai sasarannya mendadak situa Pelita membatalkan niatnya.   Dengan jumpalitan ia melesat mundur, dengan seksama ia amati seruling di tangannya, lalu katanya sambil membuang seruling ke arah Hun Thian-hi.   "Sebetulnya siapapun yang berani menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi atas diriku harus kubunuh. Kali ini kau menggembol Hwi-hong-siau, mungkin kau punya hubungan erat dengan majikan Ngo-hong-lau, memandang muka beliau kuampuni jiwamu. Selanjutnya awas kalau kau berani menggunakan jurus ganas ini, takkan kuberi ampun lagi!"   Hun Thian-hi menjemput kembali serulingnya lalu berdiri menjublek.   "Thian-hi, apa kau takut mati?"   Tanya Sutouw Ci-ko sesaat kemudian. Dengan tertawa sombong Thian-hi menjawab.   "Mana aku takut mati!"   "Lalu kenapa sikapmu begitu bimbang. Kalau tidak bisa keluar Giok-bun-koan, mari kita terjang balik ke Tionggoan, seumpama mati harus secara gemilang!"   Sungguh haru perasaan Thian-hi, dengan tertawa rawan ia berkata kepada Situa Pelita.   "Dulu kau tanam budi kepadaku, kebaikanmu itu takkan kulupakan. Tapi peristiwa hari ini bilamana Hun Thian-hi masih tetap hidup, akan datang suatu ketika bakal menuntut balas." ~setelah berkata bersama Sutouw Ci-ko ia putar balik menunggang kuda. Dengan murung Situa Pelita angkat kepala memandang punggung mereka semakin jauh. Hatinya mulai menyesal, namun pikiran lain lantas menghibur sanubarinya, dengan putar balik ini cepat atau lambat mereka bakal menempuh jalan kematian. Tetapi gadis yang bernama Ci-ko itu, membuat hatinya kurang tentram. Sepanjang jalan ini Thian-hi berdua tidak banyak bercakap lagi, entah berapa jauh sudah mereka tempuh, akhirnya Sutouw Ci-ko membuka kesunyian.   "Thian-hi! Kau memikul dendam kesumat keluarga, betapapun harus tetap hidup, kalau kau dapat hidup terus, seumpama aku harus berkorban juga rela."   Tergugah perasaan Thian-hi, katanya tertawa: Cici, kenapa kau berkata begitu, bila kau mati, aku pun tak ingin hidup sebatangkara."   Sutouw Ci-ko tertawa hambar tanpa bicara, tiba-tiba mukanya berubah tegang memandang ke depan.   Tampak di depan sana mendatangi serombongan penunggang kuda, itulah rombongan Kim-i-kian-khek.   Begitu melihat mereka berdua Kim-i-kiam-khek dan lain-lain, menjadi melongo di tempat duduknya.   Thian-hi hanya mendengus saja, bersama Sutouw Ci-ko mereka maju lebih lanjut.   Setelah dekat, berubah air muka Kim-i-kiam-khek, seringainya sinis.   "Sungguh besar nyali kalian. Seluruh tokoh kosen dari Tionggoan sudah memburu tiba, kalian berani putar balik."   "Siapa diantar kalian yang berani maju!"   Demikian tantang Hun Thian-hi.   Tiada seorang pun yang berani tampil ke depan.   Sudah tentu siapa yang berani mengantar jiwa secara konyol di bawah serangan ganas Thian-hi.   Bab 12 Thian-hi dan Sutouw Ci-ko bersama mengeprak kuda menerjang maju.   Kim-i-kiam-khek dan lain-lain lekas-lekas menyingkir kesamping memberi jalan.   Dengan menyeringai dingin Hun Thian- hi berdua menerobos lewat dari rombongan mereka terus membedal ke arah timur.   Memandang punggung Thian-hi berdua, Kim-i-kiam-khek menjengek dingin.   "Mereka menuju ke timur hanya mengantar kematian belaka. Tak perlu kita banyak capek lagi."   Kira-kira satu hari sudah lewat, Thian-hi terus menuju ketimur, kini mereka sudah memasuki daerah Tunyiong.   Tiba-tiba tampak dua penunggang kuda mencoklang mendatangi dengan cepat.   Dengan ketajaman mata Thian-hi.   dari jauh ia sudah melihat jelas kedua orang ini mengenakan seragam putih.   jelas adalah anak buah Partai Putih.   Setelah dekat begitu melihat Thian-hi berdua, kedua orarg itu lantas menghentikan kudanya setelah saling pandang lantas maju bertanya kepada Hun Thian-hi.   "Tuan ini apakah Hun Thian-hi Hun-tayhiap adanya?"   "Benar-benar!"   Sahut Thian-hi lantang. Ia tahu bahwa rombongan kaum persilatan Tionggoan yang mengejar sudah tiba.   "Pangcu kami ingin bertemu dengan kau,"   Demikian salah seorang itu berkata.   "Beliau memberi perintah bila bertemu dengan Hun-tayhiap, supaya mengatakan sebagai pendekar yang menggetarkan Bulim, bila tidak takut supaya tak usah lari lagi, sebentar beliau bakal sampai. Thian-hi mandah tersenyum simpul, ujarnya.   "Bun-pangcu akan tiba? Memang kami hendak menuju ke Tionggoan kalian boleh pulang dulu, laporkan pada Bun-pangcu bahwa kami segera datang!"   Kedua orang merasa diluar dugaan, sekilas mereka pandang Hun Thian-hi dengan pandangan ragu dan bimbang, seolah-olah mereka curiga bahwa orang yang dihadapi ini bukan Hun Thian-hi. Melihat sikap mereka Hun Thiar-hi tersenyum geli. serunya.   "Tidak akan salah, akulah Hun Thian- hi adanya!"   Bersama kedua orang itu merangkap tangan menjura lalu lari balik.   Hun Thian-hi pandang Sutouw Ci-ko.   mereka larikan kudanya pelan-pelan, ia insaf bahwa pertempuran mati hidup yang bakal menimbulkan banjir darah segera akan terjadi.   mereka maklum lawan terlalu berat betapapun diri sendiri bukan tardingan mereka.   Kira-kira setengah jam kemudian, tampak dikejauhan sana debu mengepul tinggi terbawa angin, serombongan orag berkuda tengah mendatangi dengan cepat, Berkilat biji mata Hun Thian-hi, betapapun ia tidak bisa menghilangkan rasa sesal dan terima kasihnya kepada Sutouw Ci-ko.   Pelan-pelan ia menunduk.   diam-diam ia berdoa kepada Thian yang maha kuasa supaya menolong jiwa Sutouw Ci-ko.   Tak lama kemudian derap kaki kuda semakin riuh mendatangi, debu membumbung memenuhi angkasa.   Waktu Hun Thian-hi angkat kepala, puluhan muka yang sangat dikenalnya sudah berjajar dihadapannya.   Terutama Bun Cu-giok yang paling dikenalnya, disampingnya bercokol seorang padri tua.   Mata padri tua ini meram melek memancarkan sorot berkilau, wajahnya halus welas asih namun mengandung wibawa.   Kelihatan Ci-hay berada dibelakangnya.   Selayang pandang lantas Hun Thian-hi tahu bahwa padri tua yang dihadapi ini pasti adalah Siau-lim Ciangbunjin Te-ciat Taysu.   Te-ciat Taysu meng-amat-amati Hun Thian-hi sebentar, lalu berkata.   "Pihak Siau-lim-pay kita selamanya tidak ikut mengurus pertikaian Bulim, tapi kali ini terpaksa sebagai Siau-lim-pay Ciangbunjin aku harus turun gunung sendiri, mengundang dan mengumpulkan para kawan pendekar untuk menghalau kamu."   "Cayhe juga insaf melulu perdebatan mulut tidak akan dapat membereskan pertikaian,"   Demikian ujar Hun Thian-hi tersenyum.   "Sungguh aku sangat menyesal. hanya karena perkara yang tiada juntrungnya ini sampai membikin susah para pendekar. Apalagi tokoh agung sebagai Taysu ternyata pun ikut dipermainkan tanpa sadar, sungguh aku merasa penasaran dan malu."   Sebagai pejabat tertua dari Siau-lim-pay yang diagungkan di kalangan Bulim, sebagai partai terbesar, Te-ciat Taysu mana sudi dicercah begitu hina, lambat-lambat ia berkata.   "Sebetulnya aku sendiri tidak perlu datang. Tapi malam itu Sicu bertandang ke Siau-lim-si sayang Suheng melepasmu pergi, apalagi sepak terjangmu setelah turun gunung begitu buruk dan bikin keonaran di Kangouw. Sebagai Ciangbunjjn Siau-lim-pay, aku pantang membiarkan nama baik Siau-lim-pay hancur lebur karena perbuatanmu. Alasan pembelaanmu. Suheng sudah beritahu kepada aku. Beliau pun merasa sayang, dengan bakat dan kepintaranmu ternyata nyeleweng kedialan sesat. Sekarang kau harus segera bunuh diri, atau harus menerima hukum keadilan Bulim."   Thian-hi bergelak tawa, serunya lantang.   "Hun Thian-hi masih punya banyak urusan yang belum selesai dikerjakan, mana boleh bunuh diri. Taysu membawa begini banyak tokoh-tokoh silat Bulim kemari, aku lebih suka menantang berkelahi dengan kalian."   Ci-hay segera tampil ke depan Te-ciat Taysu, katanya merangkap tangan.   "Tit-ji suka menempur Hun Thian-hi seorang diri, bila kewalahan harap diganti orang lain!"   Te-ciat Taysu sedikit mengangguk. Ci-hay segera maju ke depan Thian-hi, katanya.   "Harap Sicu memberi petunjuk."   "Ci-hay suhu, tempo hari kami pernah bersua, sebagai murid Lam-siau aku menggunakan seruling sebagai senjata, harap Ci-hay suhu suka memberi pelajaran."   Ci-hay menunduk hidmat, sahutnya.   "Siauceng menggunakan Cap-pwe-lo-han-ciang untuk menghadapi Thian-liong-chit-sek!"   Thian-hi tertawa lebar, pelan-pelan ia keluarkan serulingnya, tanpa banyak bicara lagi ia mulai menyerang kepada Ci-hay.   Gesit sekali Ci-hay berkelit, berbareng sebelah tangannya bergerak miring seperti golok membacok ke arah Hun Thian-hi, tenaganya begitu besar membawa deru angin yang Keras, terang Lwekangnya tidak lemah.   Hun Thian-hi membekal seruling menempur lawannya yang bertangan kosong, sudah tentu ia tidak mau direndahkan.   demi gengsi maka ia bergerak selincah mungkin untuk secepatnya dapat merobohkan lawan.   Begitulah dengan gaya Sinyiong-wijiong tubuhnya melambung tinggi, Serulingnya menukik turun dengan jurus serangan Hun-liong-pian-yu mengetok kebatok kepala Ci- hay.   Ci-ay adalah salah seorang angkatan muda Siau-lim-pay yang paling dibanggakan kepandaiannya.   Melihat serangan dahsyat Hun Thian-hi, hatinya rada bercekat, ia tidak berani menyambut secara kekerasan.   tangkas sekali ia menjejakkan kaki melejit mundur menghindar.   Namun Hun Thian-hi sudah kebajut mengembangkan permainan Thian-liong-cit-sek untuk mengekang jalan mundur Ci-hay, dalam tiga puluh jurus musuh dibuatnya kelabakan seperti burung dalam sangkar, dalam suatu ketika dengan ringan sekali seruling Thian-hi dapat menutuk bolong lengan baju Ci-hay, kemenangan sejurus ini cukup membuat Thian-hi unggul segera ia lompat mundur.   Demikian juga Ci-hay segera merangkap tangan bersabda Budha lantas mengundurkan diri.   Dengan seksama Te-ciat Taysu pandangan Hun Thian-hi.   hatinya dirundung rasa heran mengapa orang macam Hun Thian-hi bisa tersesat begitu dalam, benar-benar merupakan suatu kerugian bagi kaum persilatan khususnya.   Melihat orang pandang dirinya begitu rupa, lambat-lambat Hun Thian-hi berkata.   "Taysu! Persoalan hari ini merupakan tanggung jawabku seorang. Betapa, pun jangan sampai merembet Ci-ko cici."   Sambil memicingkan mata Te-ciat pandang Sutouw Ci-ko. Su Touw Ci-ko mendengus, ancamnya.   "Bila kalian mau bunuh dia, terlebih dulu harus bunuh aku!"   Disebelah sana terdengar Bun Cu-giok terkekeh hina, maju beberapa langkah ia berkata kepada Te-ciat Taysu.   "Taysu, urusan ini merupakan persoalan pihak Bu-tong kami, biar aku Bun Cu-giok yang bereskan Hun Thian-hi."   Sutouw Ci-ko menggerung gusar tanpa buka suara. Terdengar Te-ciat Taysu tertawa.   "Bun- pangcu adalah murid tunggal Ce-hun Totiang, sudah tentu aku berlega hati. Bukan saja Hun Thian-hi murid Lam-siau Kongsun Hong, diapun memperoleh pelajaran dari Ang-hwat-lo-mo, sekali2 Bun-pangcu jangan pandang ringan padanya. Jurus Pencacat langit pelenyap bumi itu harus hati-hati kau hadapi!"   Bun Cu-giok mengiakan sambil memutar badan, cambuk perak dan pedang mas dikeluarkan bersama, Sutouw Ci-ko segera tampil di depan Thian-hi, katanya.   "Biar aku yang layani dia." Sembari bicara ia melolos pedangnya. Berubah air muka Bun Cu-giok, desisnya dingin.   "Bukan kau yang ingin kugasak!"   "Tapi akulah yang hendak menggasak kau!"   Kata, Sutouw Ci-ko dengan geram.   "Lama tahun sudah kau sebagai pejabat Pangcu, ingin aku melihat sampai dimana kemajuan silatmu!"   "Tar!"   Bun Cu-giok mengayun cambuknya, serunya.   "Siapa sudi menyinggung masa lalu!"   "Bun-pangcu sudah lama kenal dia?"   Tanya Te-ciat Taysu.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Dia murid Thian-san Lolo yang telah dibuang, Giok-bin-hwi-hou Sutouw Ci-ko adanya. Dulu memang aku akrab dengan gurunya."   "Ya, dan kau adalah murid kesayangan Ce-hun Totiang,"   Jengek Sutouw Ci-ko.   "Belum lama berselang kau dan Thian-hi adalah kenalan kental, sekarang menjadi musuh besar malah, apakah yang menjadi sebabnya, kukira kau paham sekali!"   Bun Cu-giok berteriak gusar, pedang masnya terayun terus menyerang dengan sengit kepada Sutouw Ci-ko.   Dalam gebrak permulaan masing-masing pihak memang sama keluarkan kepandaian simpanan yang hebat, tapi meski kepandaian Bun Cu-giok cukup tinggi, namun Sutouw Ci-ko menang dalam gerak kelincahan tubuhnya, ilmu pedangnya pun cukup tangkas dan gesit.   untuk waktu dekat walaupun bersenjata dua gaman.   Bun Cu-giok tidak kuasa mengurung musuhnya.   Lima puluh jurus kemudian Bun Cu-giok kembangkan Eng-hong-cap-pwe-ciang dikombinasikan dalam permainan pedangnya.   Tubuhnya mendadak bergerak semakin cepat.   Sudah tentu Sutouw Ci-ko mengenal permainan jurus Eng-hong-cap-pwe-ciang lawan, diam-diam iapun bercekat hatinya karena gugup ia menjadi terdesak di bawah angin.   Hun Thian-hi sendiri pernah juga menyaksikan permainan Eng-hong-cap-pwe-ciang, namun dalam kombinasi permainan pedang yang lihay ini sungguh membuatnya lebih takjub.   Melihat Sutouw Ci-ko semakin terdesak, kelemahannya menjadi semakin kentara, tanpa banyak pikir lagi Thian-hi segera menerjang maju seraya membentak, cukup satu jurus serangan serulingnya lantas mendesak mundur Bun Cu-giok, katanya kepada Sutouw Ci-ko.   "Serahkan padaku!"   Hitam legam muka Bun Cu-giok, dengan menggeram seperti harimau kelaparan, ia mengumbar panas hatinya.   "Ingin hari ini mencoba betapa besar perbawa jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang paling kau banggakan itu!"   Hun Thian-hi menyapu pandang seluruh hadirin, lalu berkata tawar.   "Bun-pangcu sudi memberi petunjuk, Hun Thian-hi akan melayani dengan senang hati." ia tahu musuh kuat mengepung sekitar gelanggang, kalau keadaan berlarut begini terus, mungkin Sutouw Ci-ko menjadi sulit menyelamatkan diri. Kalau aku gunakan pencacat langit pelenyap bumi, pasti situa Pelita akan muncul pula disini, mungkin beliau dapat menyelamatkan jiwanya. Tapi walaupun Bun Cu-giok dan Sutouw Ci-ko sudah putus percintaan, perjodohannya dengan Ciok Yan sudah terang jadi, betapapun Ciok Yan pernah jumpa beberapa kali dengan dirinya, dia seorang baik, apakah aku harus menurunkan tangan kejam kepada Bun Cu-giok? Tengah ia bimbang dan ragu inilah Bun Cu-giok sudah menggerakkan cambuk dan pedangnya menyerang kepada Hun Thian-hi. Dengan bergaman Seruling yang memang mencocoki seleranya Hun Thian-hi kembangkan Thian-liong-chit-sek menghadapi rangsakan Bun Cu-giok yang gencar dengan Eng-hong-cap-pwe- ciang yang hebat. cambuk peraknya melontar2 seperti sapu jagat, demikian juga pedangnya laksana kilat menyamber, permainan kombinasi yang serasi ini sungguh membuat Hun Thian-hi terdesak kewalahan. Terdengar Bun Cu-giok menggertak sekali, kedua senjatanya dibaling2kan semakin cepat, bergantian menyerang dengan berbagai serangan yang cukup ganas, dalam keadaan terdesak keripuhan ini Thian-hi tak mampu lagi melawan dengan Thian-liong-chit-sek, terpaksa ia kembangkan Tam-lian-hun-in-hap jurus terakhir dari Gin-ho-sam-sek yang punya daya tahan dan serang yang ampuh. Sekarang Thian-hi dapat bertahan lebih mantap. Te-ciat Taysu mengenal itulah permainan jurus-jurus dalam ilmu Gin-ho-sam-sek, tanpa merasa ia mengerut kening dan berpikir; kepandaian silat yang diperoleh Thian-hi semua adalah jurus- jurus ilmu tangguh yang tiada taranya di dunia, sekarang Lwekangnya masih terlalu rendah, kalau berlatih dengan tekun dalam jangka waktu tertentu, kelak tiada seorangpun dalam Bulim ini yang mampu menundukkan dia. Serangan Bun Cu-giok semakin membadai, namun perbawa Gin-ho-sam-sek memang bukan olah-olah hebatnya, cukup hanya menggunakan dua jurus saja Soat-san-su-gou dapat mengurung Bu Bing Loni yang tiada tandingannya itu selama satu hari satu malam, maka dapatlah dibayangkan kekuatannya. Lama sekali Te-ciat Taysu tunduk menepekur, ia tahu bahwa Bun Cu-giok takkan mampu mengambil kemenangan, ia berpaling ke arah Ci-hay, niatnya menyuruh Ci-hay maju mengerubut, tapi dalam pertempuran tadi ia dapat melihat Ci-hay menaruh simpatik kepada Hun Thian-hi, sesaat ia menjadi sukar mendapat keputusan. Untung saat itu Bu-tong Sam-lo-chit-cu tampil bersama kehadapan Te-ciat, katanya bersama.   "Kami beramai ingin maju bantu meringkus Hun Thian-hi!"   Te-ciat manggut-manggut, menjadi sangat kebetulan malah, demikian ia berpikir, urusan ini memang menyangkut pihak Bu-tong-pay, adalah jamak kalian sendiri yang menyelesaikan.   Pucat muka Sutouw Ci-ko, cepat ia melolos pedang maju menghadang, namun mengandal kepandaiannya, cukup beberapa jurus saja Sam-lo-chit-cu berhasil mendesaknya mundur.   Segera Sam-lo-chit-cu berpencar mengurung, serempak sepuluh pedang mereka bergerak menggunakan Cap-ciat-tin mengurung Thian-hi berdua.   Taburan sinar pedang berkembang melebar selulup timbul ditengah gelanggang.   Semakin tempur Bun Cu-giok menyerang semakin gencar.   Hun Thian-hi berdua melawan keroyokan sebelas lawan, andaikata kepandaian setinggi langit juga bakal kewalahan.   Thian-hi sudah kerahkan setaker tenaganya, namun terasa kilatan angin pedang begitu tajam menyamber2, setiap kilasan pedang musuh hanya terpaut setengah inci dari badannya, sementara pedang dan cambuk Bun Cu-giok juga terasa semakin menekan berat.   Sekonyong-konyong Sutouw Ci-ko berteriak kejut, tahu-tahu pedang di tangannya tergentak lepas dari tangannya, sejalur sinar pedang berkelebat kontan lengannya kanan tergores luka berdarah.   Thian-hi menggerung murka, serulingnya melengking tinggi melancarkan Pencacat langit pelenyap bumi, keruan Sam-lo-chit-cu dan Bun Cu-giok terkejut dan ketakutan, serempak mereka angkat pedang menangkis.   Te-ciat juga terkejut, cepat ia meraih sebilah pedang dari salah seorang muridnya terus melesat terbang mengembangkan It-ti-to-kang, Ginkang tertinggi dari kepandaian tunggal Siau-lim-pay, bersamaan dengan itu pedangnya pun menyapu maju dengan kekuatan dahsyat, sinar gemerdep berkembang menungkrup ke arah Hun Thian-hi.   Begitu senjata kedua belah pihak saling bentur, kontan Te-ciat merasa pedangnya tergetar hebat, seketika Hun Thian-hi kena tergetar mundur tiga langkah, terasa darah bergolak dalam rongga dadanya, sekuatnya ia menahan napas dan menelan mentah-mentah segumpal darah yang hampir menyembur keluar dari mulutnya.   Dalam pada itu Sam-lo-chit-cu dan Bun Cu-giok menjublek di tempatnya, sebelas batang pedang dari sebelas orang sama kutung semua.   Te-ciat juga terlongong, waktu ia menunduk dilihatnya pedang sendiri juga gumpil.   Diam-diam bukan kepalang kejut hatinya.   Ang-hwat-lo-mo si iblis itu sungguh menakutkan, siapapun dan betapapun tinggi kepandaian atau Lwekangnya bila menghadapi Pencacat langit pelenyap bumi, betapapun pasti kena cedera.   Hun Thian-hi insaf, lama bertempur semakin tidak menguntungkan pihaknya, Sutouw Ci-ko juga berdiri tertegun.   Tanpa banyak pikir lagi segera ia kempit tubuh Sutouw Ci-ko terus mencepat naik ke atas kuda putih dan dilarikan sekencangnya ke arah samping sana.   Semua orang seperti tersentak dari mimpinya.   Lekas-lekas Te-ciat Taysu melejit tinggi terus lari mengejar, tubuhnya melayang bagai seekor bangau terbang terus mengudak ke arah Thian-hi.   Tunggangan Thian-hi adalah kuda jempolan yang dapat lari ribuan li sehari, mana mereka dapat menyandak.   Kuda putih dipecut lari laksana angin lesus, waktu Thian-hi berpaling, dilihatnya para pengejarnya berpencar, tampak Te-ciat Taisu mengejar paling dekat hanya terpaut lima tujuh tombak saja.   Begitulah kejar-mengejar terjadi dengan sengit, para pengejarnya semakin tertinggal jauh, namun Thian-hi tahu bahwa musuh tersebar di mana-mana, kira-kira dua puluhan li kemudian, Te- ciat Taysu sudah ketinggalan dua puluhan tombak.   Mendadak dari samping depan sana melayang terbang sesosok bayangan orang, waktu Thian-hi menegasi kiranya adalah situa Pelita.   Mengandal Ginkangnya yang tinggi serta aneh itu, naga-naganya dirinya berdua sulit dapat lolos.   Sementara itu Sutouw Ci-ko juga sudah melihat situa Pelita, segera ia berseru.   "Mari menuju ke Jian-hud-tong saja!" dengan tangkas kedua kakinya menjepit kuda serta dibelokkan ke arah kiri terus dicongklang semakin kencang. Situa Pelita sudah mengejar semakin dekat, Jiat-hud-tong juga sudah dekat di depan mata. Melihat Thian-hi menuju ke Gua seribu Buddha, ia menyeringai dingin, tiada seorangpun dapat keluar lagi dengan hidup dari gua itu? Selama berpuluh tahun, tiada seorangpun yang bisa keluar dengan masih hidup ke dalam Gua seribu Buddha. peduli kau seorang gembong silat yang punya kepandalan maha tinggi juga tidak berani sembarangan masuk kesana. Sebenar-benarnya Hun Thian-hi juga tahu akan hal ini, namun dalam keadaan yang kepepet begini, tiada jalan lain yang harus ditempuh, terpaksa harus mencari jalan hidup ke arah jalan kematian secara untung2an. Begitu masuk ke dalam gua, keadaan di dalam gelap gulita. Terdengar situa Pelita terbahak- bahak diluar gua, serunya.   "Kecuali kalian selamanya takkan keluar pula!"   Lekas Thian-hi dan Ci-ko melompat turun, meminjam cahaya yang menyorot masuk dari pintu gua mereka menerawang sekelilingnya, tampak tinggi gua ada dua tiga puluh tombak, dalam dinding gua terukir banyak sekali Buddha2 dengan berbagai bentuk dan gaya, sebuah jalan berliku memanjang ke arah dalam nan gelap sana.   Sekian lama mereka meng-amat-amati ditempatnya berdiri.   Diluar gua terdengar derap langkah kuda yang guruh gemuruh, rombongan pengejar dari Tionggoan telah mengejar tiba.   "Thian-hi!"   Kata Sutouw Ci-ko.   "Mereka pasti mengejar masuk, mari maju lebih lanjut, meski harus mati juga rela daripada terjatuh ditangan mereka."   Tengah Hun Thian-hi beragu.   tampak sebuah bayangan telah berada diambang pintu gua.   Tanpa banyak pikir lagi, segera Thian-hi tarik tangan Ci-ko terus berlari ke dalam.   Pendatang itu bukan lain adalah Bun Cu-giok.   Melihat mereka berlari masuk segera ia mundur dan keluar.   Dengan bergandeng tangan Thian-hi berdua berlari maju, baru membelok dua pengkolan, terdengar gema suara aneh dari sebelah dalam Sana.   Keadaan dalam gua gelap pekat lima jari sendiri tidak kelihatan.   Tanpa merasa mereka menjadi gemetar ketakutan.   Setelah hening sesaat lamanya.   Sutouw Ci-ko berkata.   "Mari maju lagi, coba lihat suara apakah itu!"   Thian-hi manggut-manggut, ia berjalan disebelah depan.   setelah membelok lagi sekali, mendadak terasa kakinya menginjak tempat lunak terus ambles kebawah, keruan Thian-hi terperanjat, cepat ia menarik kakinya berusaha mundur, namun sudah terlambat, sebelah kakinya sudah ambles sampai kepahanya.   terasa panas seperti direndam dalam tungku, sehingga kepalanya berkaringat.   Cepat ia berseru.   "Ci-ko cici, lekas mundur, tak bisa maju lagi!"   Sutouw Ci-ko tersentak kaget, cepat ia ulur lehernya pandang kedepar, lapat-lapat terlihat kabut putih bergulung di atas tanah dan berbuih, seolah-olah tengah berputar-putar.   Lambat laun terasa Hun Thian-hi semakin tersedot ambles.   Bergegas ia menarik sebelah tangan Thian-hi, mereka tidak tahu bahwa Thian-hi sudah terjeblos masuk ke dalam rawa penyedot tulang yang paling ditakuti dikalangan Bulim, begitu Sutouw Ci-ko menarik Hun Thian-hi, kabut berbuih itu kelihatan berputar semakin cepat, daya sedotnya juga semakin kuat, saking bernafsu sampai Sutouw Ci-ko terhujung ketarik maju dan kakinya juga ikut terjeblos masuk ke dalam lumpur.   Mereka meronta berusaha keluar, namun semakin bergerak, kaki ambles semakin dalam, apalagi seluruh badan juga terasa panas seperti dipanggang.   Tiba-tiba Thian-hi rasakan dadanya dingin nyaman, teringat olehnya akan daun buah ajaib, lekas ia merogohnya keluar, tinggal empat lembar, dua diantaranya ia angsurkan kepada Sutouw Ci-ko, katanya.   "Cici, lekas telan!"   Begitu mereka menelan daon buah ajaib, suhu panas yang merangsang badan dari bawah rawa seketika hilang.   seluruh badan kini terasa nyaman dan segar kembali.   Tapi Sip-kut-tam atau rawa penghisap tulang sungsum ini berputar semakin kencang, badan mereka tersedot semakin dalam.   Keruan Thian-hi menjadi gugup, menghirup napas panjang kedua tangannya terangkat keluar lumpur terus menepuk kuat2 dipermukaan rawa.   ia berusaha untuk melompat keluar, tak kira begitu ia kerahkan tenaga, badannya malah menceplos semakin dalam beberapa inci.   Karena gerakan Thian-hi ini, seluruh.   rawa menjadi bergelombang, daya putarnya semakin kencang, cepat sekali Thian-hi sudah terseret ke tengah rawa, namun setelah sampai ditengah keadaannya lebih mending malah, badannya tidak tersedot lagi.   Mendadak ia menemukan sebuah keajaiban.   sepasang titik sinar berkilat warna hijau mulus tengah menatap mereka berdua dari pinggir rawa sebelah Sana.   Bukan kepalang kejut Thian-hi.   Terdengar Sutouw Ci-ko berteriak.   "Thian-hi, bagaimana keadaanmu?"   Kabut putih menguap semakin banyak dan tebal dipermukaan rawa.   seperti air mendidih bergolak keras dan semakin banyak.   Thian-hi mendelong mengawasi depan, tampak olehnya sepasang mata hijau itu menatap tajam tanpa berkedip.   tanpa bergerak ia menyahut.   "Aku tak apa-apa, tak usah kuatir." Selesai berkata ia berpaling, bayangan Sutouw Ci-ko sudah tidak kelihatan terbungkus kabut tebal. Karuan kaget ia dibuatnya, teriaknya keras.   "Ci-ko cici, dimana kau?"   Beruntun ia memanggil dua kali, baru mendengar sahutan Sutouw Ci-ko.   "Thian-hi, aku."   Sampai disini mendadak ia melengking tinggi suaranya lantas lenyap. Melonjak jantung Thian-hi teriaknya. cepat.   "Ci-ko cici! Kenapa kau?" Beruntun ia berkaok2 tanpa mendengar balasan. tanpa terasa matanya mengembeng air mata, ia tahu bahwa Sutouw Ci-ko pasti menemui bahaya, siapa nyana dirinya masih bertahan. sebaliknya orang sudah mendahului mangkat, Thian-hi menjublek ditempatnya, kabut semakin tebal dipermuKaan rawa, hampir tangan sendiri tak terlihat lagi. Tapi sepasang mata berkilat hijau dikejauhan sana masih kemilau menatap ke arah Thian hi. Dengan putus asa Thian-hi menggembor memanggil nama Ci-ko, namun tak mendengar reaksi! Dengan murung ia menunduk, Sutouw Ci-ko sudah lenyap, didengar dari lengking suaranya, pasti bukan ambles tersedot ke dalam rawa, mungkin mengalami bahaya lainnya. Thian-hi pejamkan mata, air mata mengalir deras, selamanya ia jarang menangis, sekarang entah mengapa ia tak kuasa menahan rasa pedih hatinya! Sutouw Ci-ko ikut berkorban demi dirinya, siapakah yang bersalah, dia tidak berdosa! Biji mata berkilat itu bergerak-gerak, akhirnya sebuah suara. yang rendah dingin berkata kepada Thian-hi.   "Kau mau tidak kutolong?"   Begitu mendengar suara manusia, Thian-hi tersentak kaget, dengan terbelalak ia pandang biji mata berkeliat itu, lama dan lama kemudian baru ia menghela napas ringan tanpa bicara. Orang itu bicara lagi dengan suara rendah seram.   "Sungguh besar nyalimu dengan genduk itu berani lari masuk ke dalam Jian-hud-tong. Lima puluh tahun mendatang ini, ada orang masuk tiada orang keluar!"   Thian-hi tidak hiraukan ocehan orang, dia berpikir.   "Sutouw Ci-ko sudah mati, dia berkorban demi kepentinganku, jikalau dirinya bisa bertahan hidup, apa pula artinya?"   Orang itu mendengus dengan geram, setelah bungkam sesaat lamanya ia berkata lagi.   "Lima puluh tahun lamanya, baru pertama kali ini kulihat kalian berdua kejeblos ke dalam rawa tanpa mati. Kalau orang lain, tulang belulangnya pun sudah terbakar habis!"   Mendengat ucapan orang tergerak hati Thian-hi, cepat ia tanya.   "Kau tahu kemana kawanku itu?"   Orang itu mandah terkekeh dingin tanpa bicara.   "Katakan. Nanti kubiarkan kau menolongku keluar."   Orang itu menyeringai seram, katanya.   "Tapi kau kuat bertahan di dalam rawa tanpa terbakar."   "Tak mau ya sudah!"   Ujar Thian-hi. Orang itu tunduk menepekur, akhirnya berkata.   "Kalau kutolong kau, apa kau mau melakukan segala urusanku?"   "Kau harus beritahu dulu, kemana kawanku tadi."   "Sudah tertolong orang, dia merupakan salah seorang dari kita bertiga yang dapat meloloskan diri selama lima puluh tahun di dalam gua ini."   Thian-hi menjadi girang, tanyanya.   "Siapakah dia?"   "Jangan cerewet!"   Bentak orang itu.   "Aku tiada tempo untuk ngobrol dengan kau, syaratku mau kau terima tidak?"   Kiranya mereka bertiga terkurung di dalam gua ini, demikian Thian-hi menerka dalam hati. Seluruhnya berjumlah tiga orang, lolos satu tinggal dua, entah macam apa pula seorang yang lain itu. Setelah berpikir ia berkata.   "Aku tidak tahu apakah syaratmu itu, masa begitu gampang harus setuju.? Coba terangkan dulu?"   Orang itu menjengek, pelan-pelan tinggal pergi.   Tahu bahwa Sutouw Ci-ko sudah tertolong orang, Thian-hi jadi kegirangan, Ilmu silat orang itu pasti luar biasa, kalau tidak masa begitu mudah dapat menolong orang keluar dari rawa ini.   Jelas jiwa Sutouw Ci-ko pasti selamat.   Setelah rada jauh orang itu berpaling dan menegas.   "Bagaimana setuju tidak? "Tolong tidak terserah kau, aku tidak ambil pusing!"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Melihat kekukuhan Thian-hi orang itu kewalahan, sesaat ia berkata lagi.   "Meski sudah tertolong pergi. namun jiwa kawanmu itu juga bakal mampus belaka."   Bercekat hati Thian-hi, tanyanya.   "Apa maksud ucapanmu ini?"   Orang itu terkekeh kering dua kali tanpa bicara. Thian-hi segera menambahi.   "Dia sudah tertolong masa bisa mati. Jangan kau berkelakar dan menakut2i, aku bukan bocah umur tiga tahun, begitu mudah kau tipu."   "Kau tahu siapa yang menolong kawanmu itu?"   Tanya orang itu menjengek jngin.   "Siapa?"   Tanya Thian-hi gelisah. Orang itu diam saja. Thian-hi menghela napas, ujarnya.   "Kalau dapat. menyelamatkan kawanku, aku rela melakukan segala perintahmu."   Agaknya orang itu tengah berpikir tanpa bicara. Kini Thian-hi juga harus berpikir, ia tidak tahu siapakah orang ini, namun dari biji matanya yang berkilat hijau itu. terang bukan dari golongan lurus, Sesaat kemudian terdengar orang itu berkata.   "Kau harus hati-hati!"   Seiring dengan peringatannya kedua telapak tangannya terayun ke depan, dua gelombang tenaga lunak dingin menerjang kepermukaan rawa sehingga menimbulkan gelombang berderai, permukaan rawa menyeruak kesamping.   segulung tenaga besar timbul dikaki Thian-hi terus menyodoknya naik.   Sungguh kejut Thian-hi bukan kepalang, betapa tinggi kepandaian orang ini sungguh belum pernah dilihat sebelumnya, dalam hati berpikir, berbareng kakinya menjejak kuat2, kontan badannya lantas mencelat mumbul dan terbang miring kesamping dan meluncur turun hinggap di atas tanah.   Heran hatinya, bahwa ilmu silat orang begitu tinggi, namun terkurung di dalam gua ini.   Melihat Thian-hi sudah berhasil mendarat di tanah, orang itu juga lantas menghentikan aksinya.   Dengan seksama Thian-hi amat-amati orang itu, tampak olehnya seluruh tubuh orang itu terbungkus dengan rambut panjang, hanya terlihat sepasang biji matanya yang berkilat tajam, tanpa merasa ia bergidik dan merinding.   "Kalau orang lain siang-siang sudah mampus,"   Demikian kata orang itu sesaat kemudian.   "Kulihat kau kejeblos masuk tapi tidak terbakar mati, kupikir mungkin kau berjodoh denganku, maka suka aku menolong kau."   Thian-hi masih ragu-ragu, orang punya kepandaian begitu tinggi. kenapa tidak mau keluar, tanyanya.   "Hairap tanya nama julukan Cianpwe yang mulia?"   "Kau tanya asal usulku?"   Tanya orang itu lalu mendengus.   "Akulah Si-gwa-sam-mo!"   Thian-hi berjingkrak seperti melihat momok yang menakutkan, badan gemetar dan terhujung dua langkah ke belakang dengan terbelalak.   "Akulah Tok-sim-sin-mo!"   Kata orang itu pula dengan nada dingin.   Pucat pasi wajah Thian,hi, Si-gwa-sam-mo (tiga iblis dari dunia luar) ternyata berada disini.   Ternyata siapapun orang yang memasuki Gua seribu Buddha ini tiada yang bisa keluar lagi dengan hidup karena adanya Si-gwa-sam-mo ini.   Lima puluh tahun yang lalu secara mendadak Si-gwa-sam-mo sama menghilang, Ternyata mereka terkurung disini selama lima puluh tahun.   Jadi Sutouw Ci-ko kemungkinan adalah tertolong oleh Kiu-yu-mo-lo, keselamatannya sungguh harus dikuatirkan.   Dengan sikap dingin Tok-sim-sin-mo pandang Thian-hi, katanya.   "Seluruh kolong langit tiada seorang pun yang tahu bahwa kami bertiga dikurung disini. Sekarang Kiu-yu-mo-lo sudah lolos. Tapi sudah terlambat, lima puluh tahun telah berlalu. tentu dia sudah mati."   Thian-hi tidak tahu kemana juntrungan ucapan Tok-sim-sin-mo.   Tiga pentolan ibiis terbesar di dunia berkumpul disini, benar-benar sesuatu hal yang luar biasa.   mengandal kepandaian silat mereka bertiga yang begitu tinggi, entah siapakah yang begitu punya kemampuan untuk mengurung mereka di tempat ini.   Terdengar Tok-sim-sin-mo mendengus lalu berkata lagi.   "Meski Mo-lo dapat bebas lebih cepat. namun dia belum mendapat keuntungan, sedikitnya ia harus menghadapi dinding setahun lamanya baru tenaga murni dan Lwekangnya dapat dipulihkan."   Pelan-pelan Thian-hi bernapas.   setelah menenangkan hatinya ia berpikir; Tok-sim-sin-mo punya urusan yang perlu minta bantuanku, tak perlu takut lagi.   Pelan-pelan Tok-sim-sin-mo meraih ke belakangnya mengambil seutas rantai besi yang halus dan berkata.   "Kau lihat, inilah penyebab kenapa aku sampai terbelenggu disini."   Rantai itu sebesar ibu jari, terurai memanjang ke belakang terporot dibatas sebuah batu hitam yang sangat besar. Diam-diam ia kaget.   "Masa rantai sekecil itu dapat membelenggu Iblis yang kejam dan ganas ini?"   "Kau sangka ini rantai besi umumnya?"   Tanya Tok-sim-sin-mo tertawa ejek, tiba-tiba sebelah tangannya terangkat tinggi terus mecuat ditengah udara, dinding batu disebelah depan sana lantas rontoh berhamburan.   Sungguh kejut dan heran pula Thian-hi dibuatnya.   Dari jarak dua tiga tombak Tok-sim-sin-mo mampu mencengkeram hancur batu keras menjadi hancur berkeping, kepandaian yang tinggi tiada tarannya ini, boleh dikata sangat menakutkan.   "Inilah rantai yang dibuat dari Ham-thian-cin-kim. Kalau tidak masa aku mandah dibelenggu disini selama puluhan tahun!" Sebentar merandek, lalu melanjutkan.   "Terkunci di atas Kiu-thian- ham-giok, sampai sekarang sudah terbelenggu selama lima puluh tahun! Limapuluh tahun sudah. Kau tahu betapa lama dan panjang hari2 yang harus kulewatkan!"   Sungguh tidak pernah terpikir oleh Thian-hi, dalam terbelenggu sedemikian lamanya ini, santapan apa yang dapat mereka makan.   "Untung selama itu aku tidak mampus."   Demikian Tok-sim-sin-mo menutur, Lima puluh tahun aku makan kelelewar, minum air embun, akhirnya takkan lama lagi aku dapat bebas."   "Siapakah orangnya yang mengurung kalian disini?"   Tanya Thian-hi.   "Siapa?"   Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo bergelak tawa menggila.   "Kecuali dia siapa yang mampu membuat kami pasrah nasib terima dibelenggu disini, hanya dia itulah Ka-yap Cuncia, apa kau pernah dengar perihal dia?"   Thian-hi menjadi paham, sahutnya.   "Kiranya beliau! Ya, tidak perlu heran, Kecuali beliau. tiada seorang pun yang mampu mengalahkan Si-gwa-sam-mo."   "Jangan kau anggap begitu gampang dia dapat mengalahkan kami bertiga, kecuali dia masih dibantu Hian-thian-kiam-khek dari Ui-san, Thian-toh-ih-su dari Kiu-hoa, akhirnya dua diantara mereka gugur tinggal Ka-yap seorang yang masih hidup."   Habis berkata ia bergelak tawa lagi.   "Lalu kalian?"   "Ka-yap sendiri juga kena terpukul Kiu-yu-ciang, secara kekerasan akhirnya kami bertiga kena dibekuk olehnya, tanggung dia pun takkan lama hidup lagi."   Thian-hi berkecek mulut, katanya.   "Tapi aku dengar beliau pernah muncul di Thian-lam."   Terbelalak bengis mata Tok-sim-sin-mo, dengusnya.   "Apa benar-benar?"   "Hanya kabar saja!"   "Tidak mungkin lagi, kami bertiga sama terluka parah, dapat hidup sampai sekarang sudah merupakan suatu keajaiban, dia kena pukulan Kiu-yu-ciang. selain itu terluka besar kecil lainnya, mana bisa tetap hidup."   "Masa bisa dipastikan, kalau kalian bisa hidup masa dia tidak bisa hidup?"   Tok-sim-sin-mo menggeram gusar, serunya.   "Bila dia sudah mati, akan kutiari muridnya, bunuh habis seakar2nya."   "Kalau beliau tidak punya murid?"   Tanya Thian-hi. Tok-sim-sin-mo mendelik kepada Thian-hi, Thian-hi berkata lagi.   "Hakikatnya tiada seorang murid Ka-yap yang pernah muncul di Bulim."   "Terpaksa aku akan cabut nyawa setiap orang Bulim sebagai tumbal penderitaanku selama lima puluh tahun di dalam gua ini."   Mendengar sumpah keji dari Tok-sim-sin-mo ini bergidik tengkuk Thian-hi. sesaat lamanya baru ia tenangkan pikiran, katanya.   "Apa bisa mengandal tenagamu seorang? Betapa banyak tokoh kosen dari Bulim?"   "Tokoh kosen apa, tokoh yang dapat melawan aku dalam Bulim hanya Ka-yap seorang, lain orang, tidak perlu dipersoalkan lagi."   "Hui-sim-kiam-hoat sekarang malang melintang di Kangouw, apa kau punya pegangan dapat mengalahkan Hui-sim-kiam-hoat?"   "Memang aku ingin mencobanya."   "Kau sendiri sekarang belum terlepas, jangan kau mimpi melakukan urusan lain."   "Menolong jiwamu justru untuk membebaskan belenggu ini."   "Kau pikir aku sudi menolong kau? Sumpahmu tadi terlalu menakutkan."   "Kau sudah kutolong, tidak bisa tidak harus dengar perintahku, seumpama ingin mati juga sukar dapat terlaksana."   Jang menjadi kekuatiran Thian-hi hanya keselamatan Sutouw Ci-ko, segera ia berkata.   "Jika kau mau menyerahkan kawanku itu, aku rela bantu mengerjakan urusanmu."   "Kalian berdua kenapa tidak takut terhadap Rawa penghisap tulang sungsum."   "Dimana kawanku itu?"   Mendadak Tok-sim-sin-mo menyeringai dingin, lengannya terulur panjang, kelima jarinya mencengkeram dari jarak jauh ke arah Thian-hi.    Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini