Badik Buntung 12
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 12
Badik Buntung Karya dari Gkh Kontan Thian-hi merasa segulungan angin dingin yang punya kekuatan daya sedot menerjang ke arah dirinya, lekas-lekas ia bergerak hendak berkelit, namun sudah terlambat. terasa lengan kanannya seperti terjepit tanggem, ternyata sudah tercengkeram erat oleh Tok-sim-sin-mo. Dengan ringan Tok-sim-sin-mo menjingjihg Thian-hi ke tempatnya, katanya. "Kau harus bekerja menurut petunjukku, kalau tidak akan kusiksa kau menjadi setengah hidup separo mati." Cengkeraman Tok-sim-sin-mo membuat seluruh badan Thian-hi gatal2 dan kesemutan, rasanya tak enak dilukiskan, dengan merinding ia berkata ketus. "Apa pun yang akan kau perbuat atas diriku, kau harus menyerahkan temanku itu." "Kiu-yu-mo-lo sudah membawanya pergi, kecuali aku bebas dan minta padanya, kalau tidak, hm, punya sepuluh jiwa juga sudah tamat seluruhnya." Thian-hi tertegun di tempatnya. Sambung Tok-sim-sin-mo. "Cukup sebuah perkataanku saja pasti dia mau menyerahkan kawanmu kepadaku. Tenaga murninya sudah ludas, untuk beberapa waktu takkan mampu membunuh orang, asal kau bantu aku segera. membebaskan diri saja." Thian-hi terlongong sekian saat, Kiu-yu-mo-lo sudah pergi, Tok-sim-sin-mo sendiri terbelenggu tak mampu berkutik, seumpama mampu ia pun tidak boleh melepas iblis laknat ini, meski ia bertujuan menolong jiwa Sutouw Ci-ko. Demikian Thian-hi menerawang tindakan sendiri. "Bagaimana, mau tidak, kau jawab satu patah kata saja." "Apakah kau mampu panggil Kiu-yu-mo-lo untuk melepas kawanku itu? Hari ini aku terjatuh ke dalam cengkeramanmu, kalau kulepas kau, aku lebih celaka di tanganmu." "Hanya untuk urusan kecil saja, masa aku harus menipu kau" "Baiklah," Sesaat beragu akhirnya Thian-hi ambil putusan. "Tapi sumpahmu tadi terlalu kejam, kalau kau bisa lolos, akupun harus kau bebaskan." "Tidak menjadi soal, bukan saja kau, seluruh snak kandungmu boleh tidak usah mencelakai mereka." "Itulah yang paling baik. Ilmu silatmu begitu tinggi toh tak mampu membebaskan diri, cara bagaimana aku harus membantu kau?" "Gampang saja, kau buka gembok di belakang Kiu-thian-hom-giok ini." Thian-hi memeriksa batu hitam besar di belakangnya, tahu ia bahwa Tok-sim-sin-mo tak kuasa memutar dan menjangkau kesana. Tapi ia masih heran Kiu-yu-mo-lo sudah dapat membebaskan diri, kenapa dia tidak datang membantu kawannya ini, sekarang malah minta dirinya membantu? Dalam hati ia merasa curiga, namun lahirnya tetap ia berkata. "Baik, biar aku ke belakang membuka, tapi kau tak boleh ingkar janji, bantu aku mencari kawanku itu." "Jangan kau main gila terhadapku, jiwa kawanmu berada di tanganku tahu." Demikian ancam Tok-sim-sin-mo sambil melepas Thian-hi Thian-hi manggut-manggut, sebat sekali ia berlari ke belakang Kiu-thian-ham-giok, begitu tiba dibalik sebelah sana lantas ia melongok bertanya kepada Tok-sim-sin-mo. "Dimanakah Kiu-yu-mo- lo berada, apakah kau tahu?" "Sudah tentu aku tahu, dia tidak akan pergi jauh berada dalam Jian-hud-tong ini." "Kenapa kau tidak suruh dia bantu kau melepaskan diri, sebaliknya menekan aku?" "Dia sudah lama pergi!" Desis Tok-sim-sin-mo sambil memicingkan mata memandang Thian-hi. "Dia tahu kau berada disini, kenapa tidak mau bantu kau membebaskan diri?" "Dia sudah datang!" Mendadak Tok-sim-sin-mo berpaling. Baru saja Thian-hi mau menoleh. sekonyong-konyong nalarnya merasa sesuatu yang kurang beres, secara reflek segera ia berkelebat menyingkir, segulung tenaga angin dingin menerpa ke belakang Kiu-thian-ham-giok, terlambat sedetik lagi, tentu jiwa Thian-hi sudah melayang. Hatinya menjadi kebat-kebit dan berdiri bulu kuduknya, untung tidak tertipu. Melihat serangan pukulannya tidak mengenai sasarannya, Tok-sim-sin-mo menggeram murka, namun apa boleh buat, sebentar ia merenung lalu terkekeh-kekeh seram, serunya. "Kau cukup cerdik tidak tertipu olehku. Bicara terus terang, aku sudah bertengkar dengan Kiu-yu-mo-lo, sudah tentu dia tidak sudi membantu aku. Kalau kau mau bantu, aku suka ambil kau sebagai muridku, setelah bebas segera mencari temanmu." "Jiwamu sendiri tergantung di tanganku masa bisa membantu aku malah." Demikian jengek Thian-hi. "Kiu-yu-mo-lo dapat lolos, sebaliknya kau tidak, jelas dia lebih unggul dari kau." Tok-sim-sin-mo mendengus, desisnya. "Jika hari ini kau tidak lepaskan aku, kelak tentu kau akan menyesal sesudah kasep." "Kenapa aku harus menyesal!" Ejek Thian-hi dengan tertawa lebar. "Tanpa kau bantu paling lama setahun secepatnya setengah tahun aku bakal dapat lolos sendiri, saat mana jangan kau harap dapat hidup senang." "Aku juga tidak tahu apakah aku bisa hidup selama itu, tapi bila sekarang kau kulepas, jiwaku akan lebih cepat melayang. Dan ini pasti benar-benar tak perlu disangsikan." Tok-sim-sin-mo menepekur sambil menghela napas, katanya. "Terus terang saja, diantara kami bertiga, hanya aku dan Kiu-yu-mo-lo yang punya keserasian pendapat, meski dia terbelenggu. Secara kebetulan ia menemukan se Jilid Pit-kip, dengan bantuan Pit-kit itulah baru dia berhasil lolos. Tapi aku percaya kemampuannya masih belum kuasa menandingi aku. Pernah aku meminta pinjam padanya, dia berkukuh untuk mengangkangi sendiri akhirnya kami bertengkar. Lekas kau bantu aku, akan kubantu kau menuntut balas! Kalian berdua tentu terdesak lari kemari bukan?" "Terima kasih akan kebaikanmu. Aku sangat rela bantu kesukaranmu, namun aku tidak mungkin melakukan. Meskipun aku menjadi musuh besar kaum persilatan, namun aku tidak bisa bantu kau membebaskan diri." "Ilmu silatmu masih terpaut jauh sekali. Kau tidak mau membantu, jangan harap kau bisa keluar dari sini." "Menurut katamu Kiu-yu-mo-lo masih berada di Gua seribu Budha ini, apalagi tenaga murninya sudah ludes, kan menjadi kebetulan bagi aku, biarlah aku mencari dia saja." Tok-sim-sin-mo menggeram keras seperti singa kelaparan. Thian-hi menerawang sekelilingnya, tampak di atas sebelah sana terdapat sebuah lobang gua, dia tidak tahu kemana Kiu-yu-mo-lo telah lari, terpaksa harus dicari secara main gagap saja. Pelan-pelan ia merambat naik ke atas lobang itu secara hati-hati ia melongok ke sana, meski gelap masih dapat dilihat jelas, dalam gua sana tiada seorangpun. Si-gwa-sam-mo ada tiga iblis, Thian-hi sudah melihat satu dan yang muncul sudah dua, seorang lagi yang berjulukan Pek-kut-sin-mo entah terkurung disebelah mana, kalau tidak hati-hati dan kebentrok, pasti sukar dapat melarikan diri lagi. Dengan waspada dan bersiap siaga Thian-hi menggeremet maju terus, lobang ini rada rendah, terpaksa ia harus menundukkan kepala, semakin ke dalam semakin gelap, boleh dikata tiada setitik sinar apapun. Selangkah demi selangkah Thian-hi maju terus, terasa olehnya jalan gua ini semakin menanjak ke atas. tiba-tiba gua ini menjadi lebar dan luas, diam-diam ia menjadi girang, mungkin ia sudah tiba di ujung gua yang lain, hati-hati ia melongok keluar lagi, kiranya ia tiba di sebuah ruang gua besar, dalam ruang besar ini rada terang dan ada cahaya yang menyorot menerangi. Tinggi dua tiga tombak, dalamnya tak kelihatan ujung pangkalnya. Hun Thian-ki celingukan ke kanan kiri, tiada seorang pun, baru pelan-pelan ia merangkak masuk, ingin ia berteriak memanggil nama Sutouw Ci-ko, kalau dia berada disini tentu akan menyahuti. Tapi iapun takut kalau Pek-kut-sin-mo berada disini, jiwanya bakal terancam. Dengan tegak berdiri lambat-lambat ia maju beberapa langkah. Mendadak ia tersentak kaget dan menyurut mundur cepat-cepat memet dinding serta menahan napas. Dengan takut-takut, ia melongok ke arah samping kiri, di sana terdapat sebuah lobang, seseorang tua berambut panjang tengah duduk bersila membelakangi dirinya, di atas lehernya kelihatan mengenakan kalung hiasan tengkorak manusia. Siapa lagi dia kalau bukan Pek-kut-sin-mo, iblis sakti tulang putih. Thian-hi tak nyana bakal kebentur dengan seorang iblis lagi, sungguh tidak beruntung. "Kau tidak perlu main sembunyi," Terdengar Pek-kut-sin-mo berkata tanpa berpaling. "Sejak tadi sudah kuketahui kehadiranmu!" Thian-hi maklum bahwa derap langkah kakinya yang berat tentu sudah didengar oleh Pek-kut- sih-mo yang berkepandaian tinggi itu, harapannya orang pun terbelenggu dengan rantai di atas Kiu-thian-ham-giok Terpikir sampai disini, segera ia menyurut tubuh hendak tinggal pergi. Sekonyong-konyong Pek-kut-sin-mo melambung tinggi terus meluncur turun di hadapan Thian- hi, dengan pandangan dingin tidak bersahabat ia pandang Thian-hi. Berjingkrak Hun Thian-hi, batinnya: kenapa Pek-kut-sin-mo tidak terbelenggu, apalagi ilmu silatnya begitu tinggi, terang dirinya bakal konyol di tangannya. Lama Pek-kut-sin-mo mengamatinya, dia pun tak berani bergerak. Mendadak Pek-kut-sin-mo mencengkeram dengan telak ke arahnya, gerakan orang begitu cepat, sebelum ia bergerak tahu-tahu sudah kena dijinjing. "Ternyata kau bisa masuk kemari. Lima puluh tahun sudah aku tidak pernah melihat manusia hidup." Thian-hi pejamkan mata pasrah nasib saja tanpa hiraukan kata-kata orang. Entah cara bagaimana orang dapat lolos, konon kabarnya Pek-kut-sin-mo diantara Si-gwa-sam-mo adalah iblis yang paling kejam dan telengas, namun ilmu silatnya justru yang paling rendah, entah cara bagaimana sekarang ia telah lolos dari kurungan. Sekian lama Pek-kut-sin-mo mengamati Thian-hi dengan seksama, akhirnya mendengus dan berkata. "Kau terjatuh di tanganku, hanya kematianlah yang harus kau tempuh, jangan harap dengan sikap galakmu ini kau akan bertahan hidup." Thian-hi mendelikkan matanya dengan beringas menatap muka Pek-kut-sin-mo. Pek-kut-sin-mo menjadi semakin murka, tangannya terangkat hendak mengepruk. Sekarang baiklah kita mengikuti jejak Sutouw Ci-ko, waktu ia menyahuti seruan Thian-hi mendadak selarik tenaga besar tahu-tahu menjinjing tubuhnya ke atas, baru saja ia berteriak kejut jalan darahnya sudah tertutuk, seketika suaranya sirap. Waktu ia melirik, seseorang nenek tua mengempit tubuhnya dibawa lari terbang ke atas sebuah lobang gua lainnya, di kejap lain mereka sudah tiba di dalam sebuah ruang batu. Sinenek meletakkannya oitanah, napasnya sengal2, wajahnya kuyu dan kecapekan, ia duduk bersila tanpa bergerak, sesaat kemudian baru ia membuka matanya, napasnya sudah teratur kembali. Segera ia membuka jalan darah Sutouw Ci-ko, dengan mendelong Sutouw Ci-ko awasi nenek tua keriputan ini, bergegas berdiri terus putar tubuh hendak lari. Sinenek terkekeh dingin, tangannya meraut dari kejauhan, kontan Sutouw Ci-ko kena terseret mundur, terdengar sinenek bicara. "Jangan lari! Apa kau belum pernah dengar nama Kiu-yu-mo- lo?" Pucat wajah Sutouw Ci-ko. sejak mula ia merasa bahwa sinenek bukan orang baik, namun ia tidak nyana sinenek ini adalah salah seorang dari Si-gwa-sam-mo, hatinya menjadi takut dan ngeri. "Bangkotan tua itu tidak melihat." Demikian ujar Kiu-yu-mo-lo. "Tapi aku melihat tegas, bocah itu memberi kau dua lembar daun Kiu-thian-cu-ko bukan?" Sutouw Ci-ko terlongong, sahutnya. "Benar-benar! Menang itulah daun buah ajaib!" "Darimana kalian mendapatkan daon itu?" Tanya Kiu-yu-mo-lo dengan mata mendelik beringas. Melihat wajah orang tidak enak dipandang, Sutouw Ci-ko tahu orang pun tengah mengincar daun buah ajaib itu, dengan tertawa ia berkata. "Gampang saja, pergilah kau tolong adikku itu, dia masih punya beberapa lembar." Jelilatan biji mata Kiu-yu-mo-lo, dengan geram ya membanting tangan di tanah, ia tahu bahwa hati punya minat namun tenaga sendiri tidak mampu, sekarang dia sudah kehabisan tenaga untuk memutuskan rantai yang membelenggunya. Apalagi ia masih gentar menghadapi Tok-sim-sin-mo, maka ia hanya menggondol lari Sutouw Ci-ko yang jaraknya rada jauh dari Tok-sim-sin-mo. Tapi sekarang baru ia tahu bahwa Hun Thian-hi masih memiliki daon buah ajaib itu, sungguh ia sangat menyesal, kenapa tidak menyerempet bahaya menolong Hun Thian-hi saja, kalau sekerang balik kesana, tentu sudah kasep. "Apa benar-benar?" Demikian ia menegas dengan uring-uringan, tiba-tiba sorot matanya berkilat buas membayangkan nafsu membunuh yang tebal. Keruan Sutouw Ci-ko sangat terkejut, ia insaf bahwa Si-gwat-sam-mo rata2 bertangan gapah berhati kejam, sekali pukul mungkin Kiu-yu-mo-lo bisa membunuh dirinya. Otaknya yang cerdik segera mendapat akal. "Masih ada sepucuk buah ajaib yang lain disuatu tempat. Kira-kira dua bulan lagi buahnya bakal masak, jikalau kau sudi menolong adikku, kuajak kau ke tempat itu." Obrolannya ini melulu Jalan belaka. Dengan sinis Kiu-yu-mo-lo memandang Sutouw Ci-ko, ia kurang dapat mempercayai keterangan orang, tapi bila itu benar-benar ada, tentu sangat menguntungkan dirinya. Ia tahu bahwa Lwekang Tok-sim-sin-mo lebih tinggi dari kepandaiannya, jika bisa mendapatkan buah ajaib itu masa takut lagi menghadapi Tok-sim-sin-mo. "Bisa memperoleh sepucuk buah ajaib saja sudah merupakan suatu kurnia yang sulit didapat, masa masih ada pucuk yang kedua? Kau sangka aku bocah kecil yang gampang ditipu?" "Demi jiwa adikku, masa aku berani menipu kau? Seumpama aku benar-benar ngapusi kau mengandal kepandaian silatmu masa kuatir apa lagi. Ketahuilah kedua pucuk pohon buah ajaib itu tumbuh dalam suatu tempat yang sama!" Dia pernah dengar penuturan Thian-hi tentang buah ajaib itu maka segera ia menambahi. "Bukan kami berdua yang menemukan pohon buah itu adalah seorang Hwesio tua bernama Go-cu Taysu yang telah menunggunya selama enam puluh tahun." Sebenar-benarnya Sutouw Ci-ko hanya meng-ada2 saja, namun serta ia menyinggung nama Go-cu, maka Kiu-yu-mo-lo lantas memancarkan sinar aneh yang cemerlang, tanyanya menegas. "Apa Go-cu?" "Apa kau kenal dia?" Tanya Sutouw Ci-ko. Kiu-yu-mo-lo adalah iblis besar pada ratusan tahun yang lalu, masa tidak mengenal tokoh macam Go-cu, diam-diam girang hatinya setitik harapan telah menyenangkan hatinya. Pasti tidak salah lagi, mengandal dua bocah ingusan masa begitu gampang bisa mendapatkan Kiu-thian-cu- ko. kalau Go-cu itu dapat dipercaya dan masih diakal. Setelah mendengus ia berkata kepada Sutouw Ci-ko. "Kau bawa aku ke tempat dimana pucuk pohon buah ajaib itu berada." "Kau minta aku mencari Kiu-thian-cu-ko, maka kau harus menolong adikku dulu." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sudah tentu! Tapi aku kalah menempur iblis tua itu! setelah mendapat Kiu-thian-cu-ko baru aku mampu menolong adikmu." "Apa?" Berubah air muka Sutouw Ci-ko. Kiu-yu-mo-lo menyeringai sinis, katanya. "Si-gwa-sam-mo terkurung bersama digua ini selama lima puluh tahun baru sekarang aku dapat lolos, orang tua yang kalian hadapi dalam rawa itu adalah Tok-sim-sin-mo, apa kau dapat mempahami keteranganku?" Pucat pasi wajah Sutouw Ci-ko, tamatlah riwayat Hun Thian-hi, jika tidak mati ambles ke dalam rawa pasti menjadi korban Tok-sim-sin-mo, kepala terasa berat matapun berkunang-kunang, terhujung sempoyongan ia jatuh meloso, pingsan. Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh, dengan tajam ia pandang Sutouw Ci-ko yang pingsan tak bergerak kalau bukan ingin mendapatkan buah ajaib, sejak tadi ia sudah cabut nyawa Sutouw Ci-ko. Ia membangunkan Sutouw Ci-ko dengan meng-goyang2kan badannya, serunya. "Mari kau ajak aku mencari buah ajaib itu. kalau ketemu, kuberl jalan hidup padamu." Sutouw Ci-ko terlongong seperti orang linglung, matanya merah dan basah oleh air mata, sekian lama ia berdiam diri tak bergerak. "Baru pertama kali ini aku menolong jiwa manusia selama hidup. Kalau bukan karena buah ajaib itu, sejak tadi sudah kubunuh kau." Sesaat kemudian baru Sutouw Ci-ko sempat membuka mulut, katanya. "Tadi sengaja kutipu kau, sebetulnya tiada pohon buah ajaib yang lain, aku pun tidak tahu dimana buah itu berada." Tiba-tiba terpikir oleh Kiu-yu-mo-lo. "Tindak-tanduk Gu-cu sebagai naga yang kelihatan kepalanya. tidak kelihatan ekornya, kau kenal namanya, mana mungkin tidak tahu, terang sengaja hendak mengelabui aku." Karena pikirannya ia menjadi gusar, desisnya. "Kau anggap dapat menekan aku untuk menolong adikmu itu?" "Kau takkan mampu menolong dia," Ujar Sutouw Ci-ko menggeleng,.Kau bunuh aku saja!" Kiu-yu-mo-lo menggerung serak, sebat sekali ia tutuk jalan darah Sutouw Ci-ko terus dikempit diketiaknya, dibawa lari melesat ke arah pintu gua. Diambang mulut Gua seribu Buddha kala itu penuh sesak berjejal para kaum persilatan, semua orang hanya berani longak-longok ke dalam, tiada seorang pun yang berani beranjak masuk. Kiu-yu-mo-lo menyangsikan keterangan Sutouw Ci-ko, tujuannya hendak menggondolnya keluar dari Jian-hud-tong, begitu cepat gerak tubuhnya laksana kilat berkelebat, waktu tiba diambang pintu ia rada merandek, terlihat ratusan orang tengah berjaga dan mengepung mulut gua. Dalam hati ia menjengek dingin. "orang-orang ini mencari mati kemari!" Sedikit merandek, laksana anak panah meluncur tubuhnya meluncur keluar gua. Semua orang seperti melihat seekor burung melesat keluar secepat kilat. Sekilas Te-ciat sudah melihat jelas seorang nenek mengempit Sutouw Ci-ko, maka sambil membentak keras ia melompat naik ke atas seraya kerahkan delapan bagian tenaga murninya terus menepuk ke arah Kiu-yu-mo-lo. Melihat ada orang berani merintangi, Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh dingin, sebelah tangannya dijulurkan memapak, begitu pukulan kedua belah pihak saling bentrok. masing-masing terpental mundur terus menyurut tiga langkah. Keruan bukan kepalang gusar Kiu-yu-mo-lo, latihan selama lima puluh tahun di dalam Jian-hud- tong terhitung sia-sia, baru saja keluar pintu lantas dirintangi orang, apa-apaan ini. Dilain pihak Te-ciat Taysu sendiri juga bukan olah-olah kejutnya, Siau-lim-pay diagungkan karena ilmu pukulannya yang lihay, dengan mengerahkan delapan tenaga murninya, dirinya masih tak kuasa berdiri tegak, sebagai seorang pejabat Ciangbunjin, mana mandah terhina dihadapan begini banyak orang. Kiu-yu-mo-lo melengking tinggi dengan murka, tubuhnya melompat naik ke atas terus menyerang dengan penuh kegusaran. Lekas-lekas Te-ciat Taysu juga mengaum seperti harimau berang, dengan kekuatan dua belas bagian tenaga murninya ia pukulkan telapak tangannya memapak ke arah serangan Kiu-yu-mo-lo. Begitu melihat kedahsyatan pukulan lawan, Kiu-yu-mo-lo insaf bahwa hawa murni sendiri sudah ludes tenaga juga kurang kuat, sebelah tangan saja takkan kuat melawan, sigap sekali ia lemparkan tubuh Sutouw Ci-ko ke tengah udara, serempak kedua telapak tangannya terus menekan ke arah pukulan Te-ciat Taysu. Melihat perbawa tekanan Kiu-yu-mo-lo, terkejut Te-ciat Taysu, tahu ia bahwa dirinya bukan tandingan lawan, namun untuk menghindar sudah terlambat, apalagi tekanan tenaga musuh bagai gugur gunung telah melanda tiba, terpaksa ia sambut dengan kekerasan. "Blum!" Terlihat Te- ciat Taysu terpental jumpalitan terus rebah tak bergerak lagi. Sementara itu, Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh seperti bunyi burung kokok beluk, setangkas burung walet tubuhnya jumpalitan ditengah udara, tepat sekali meraih tubuh Sutouw Ci-ko yang melayang turun, dalam kejap lain ia sudah terbang pergi laksana burung elang. Seluruh orang-orang gagah diluar Gua seribu Budha menjadi kesima kaget, orang aneh yang mendadak muncul ini begitu enteng membawa Sutouw Ci-ko pergi. Te-ciat sendiri begitu beradu pukulan lantas terbanting jatuh dan pingsan, terang terluka dalam yang sangat parah. Sekejap saja bayangan Kiu-yu-mo-lo sudah menghilang dikejauhan dengan mengempit Sutouw Ci-ko. Lalu kemanakah Hun Thian-hi? Tiada seorang pun yang berani masuk ke dalam Jian-hud tong. Dilain pihak, Thian-hi sudah pejamkan mata pasrah nasib saja, pukulan dahsyat Pek-kut-sin-mo dengan telak mengenai kepalanya, tapi mendadak ia merasa tenaga pukulannya yang hebat itu seperti tenggelam didasar lautan, sirna tanpa bekas, keruan bukan kepalang kejut Pek-kut-sin-mo, sesaat ia terlongong ditempatnya. Waktu pukulan Pek-kut-sin-mo mengenai kepalanya kontan Thian-hi merasa kepalanya tergetar seperti dipukul godam, namun sedikit pun ia tidak kurang suatu apa, seketika terasa segulung hawa hangat mengalir dan menerjang berputar keseluruh badannya. Mendadak teringat olehnya akan penuturan majikan Ngo-hong-lau, bahwa khasiat buah ajaib semua tersekam di dalam jalan darah Pek-hwe-hiatnya, sedang pukulan hebat Pek-kut-sin-mo tadi secara kebetulan tepat mengenai Pek-hwe-hiat, bukan saja kepalanya tidak pecah hancur dan mati, malah secara tidak sengaja orang telah bantu membujarkan khasiat buah ajaib ke dalam seluruh badannya. Thian-hi insaf kesempatan untuk melangsungkan hidup selanjumja hanya kilasan waktu saja cepat-cepat ia kerahkan hawa murninya menuntun hawa panas itu menjalar kesegala urat nadi dan jalan darah di seluruh tubuhnya. Hawa hangat itu secepat kilat sudah bergulung-gulung tiga putaran mengelilingi seluruh tubuh Thian-hi. Tatkala itulah pukulan kedua Pek-kut-sin-mo sudah menepuk tiba kepunggung Thian-hi. secara gerak reflek Thian-hi bersuit panjang, tubuhnya mencelat bangun berbareng mengebaskan sebelah tangannya ke belakang menyambut pukulan Pek-kut-sin-mo. Dengan murka Pek-kut-sin-mo menambah tenaga dengan membarengi tangan kanan ikut memukul. gelombang badai segera menerpa dengan dahsyat ke arah Thian-hi. Dilain kejap kekuatan kedua belah pihak beradu ditengah jalan. Meminjam tenaga benturan kedua tenaga raksasa ini tubuh Hun Thian-hi mencelat terbang ke depan semakin menjauh. Sementara Pek-kut- sin-mo tergetar mundur beberapa langkah. Gema benturan yang dahsyat mendengung di dalam gua nan sunyi itu, seperti gunung meletus.. Bab 13 Pek-kut-sin-mo menggembor panjang seperti geledek mengguntur, sebagai bangkotan silat dengan latihan masa lima puluh tahun di dalam gua masa setanding melawan bocah ingusan, bukankah sia-sia hidup lima puluh tahun dalam gua ini. Bagai elang menukik ke angkasa tubuhnya mumbul ke atas, serangan kedua sudah dilancarkan. Mendadak di belakangnya kedengaran sabda Buddha yang nyaring menggema. Lekas-lekas Pek-kut-sin-mo melorot turun serta berpaling ke belakang, dengan kejut kegirangan ia menubruk maju serta menyembah hormat. "Ka-yap Cuncia, kapan kau orang tua datang kemari!" Thian-hi sendiri kala itu tengah dimabuk kegirangan bahwa Lwekangnya ternyata maju berlipat ganda dalam sekejap waktu, ini terbukti bahwa khasiat buah ajaib sudah bujar dan mendarah daging di dalam tubuhnya karena pukulan Pek-kut-sin-mo tadi. Melihat Pek-kun-sin-mo begitu murka dan menyerang dengan kalap, ia lebih waspada dan siaga untuk menghadapi segala kemungkinan, sekonyong-konyong didengarnya sabda Buddha yang menggetarkan sanubarinya, di lain saat dilihatnya Pek-kun-sin-mo menubruk maju kehadapan seorang Hwesio tua dan menyembah hormat. Dengan tersenyum Hwesio tua itu mengelus kepala Pek-kun-sin-mo. Ka-yap Cuncia sudah tersohor dikolong langit, sekarang secara beruntung dirinya bisa jumpa di tempat ini, tersipu-sipu ia maju berlutut serta sapanya. "Tecu Hun Thian-hi, menghadap Sin- ceng!" "Kalian bangunlah!" Ujar Ka-yap Cuncia tertawa. Berbareng mereka bangkit berdiri, dengan mendelik Pek-kut-sin-mo pandang Hun Thian-hi. Sebaliknya Thian-hi tengah pikirkan urusan lain, ia tak hiraukan sikap galak orang. Dengan tersenyum Ka-yap Cuncia berkata kepada Pek-kut-sin-mo. "Lima puluh tahun lamanya watak berangasan Pek-sicu masih belum luntur!" Terperanjat Pek-kut-sin-mo, cepat katanya. "Entah darimana bocah ini, kukira dia hendak mencari pusaka itu, maka tidak akan kuberi ampun!" "Dia kemari tentu punya tujuan," Demikian ujar Ka-yap Cuncia. "bukankah kau sudah melulusi aku untuk tidak sembarangan membunuh orang. Kenapa tadi begitu gegabah. Untung khasiat kekuatan buah ajaib mengeram di Pek-hwe-hiat, kalau tidak masa jiwanya bisa hidup karena pukulanmu tadi." Ka-yap Cuncia pejamkan mata, sesaat kemudian ia berkata pula. "Lima puluh tahun yang lalu, karena kesalahan pikiran, demi kebajikan, sekarang berbuah meninggalkan bibit bencana. Kedatanganku ini justru untuk menyelesaikan urusan terakhirku selama hidup ini." "Apakah Taysu punya janggalan hati?" Tanya Pek-kut-sin-mo. Ka-yap Cuncia tersenyum, pandangannya beralih kepada Hun Thian-hi, katanya. "Soal ini punya sangkut paut dengan Hun-sicu ini." Tersentak sanubari Thian-hi, percakapan Ka-yap dan Pek-kun-sin-mo sudah cukup membuatnya bingung dan keheranan, sekarang masih ada persoalan dari lima puluh tahun yang tertangguhkan itu punya hubungan erat dengan dirinya, betapa hatinya takkan kejut. "Dengan bocah ini?" Tanya Pek-kut-sin-mo melengak. "Ya," Sahut Ka-yap tersenyum. "Untuk urusan Hun-siculah aku menyusul kemari dari Thian- lam." Demi aku? Demikian Thian-hi dirundung pertanyaan, begitu jauh Ka-yap menyusul kemari, entah untuk urusan penting apakah? Dengan tersenyum lebar Ka-yap mengawasinya, ujarnya. "Pengalamanmu aku tahu semuanya. Setelah mendengar berita itu, aku lantas tahu siapakah Mo-bin Suseng itu. Tak nyana, disaat aku tak berada dia kembali menimbulkan huru hara pula di Tionggoan." Tergetar hati Thian-hi, cepat ia bertanya. "Siapakah Mo-bin Suseng?" pertanyaan ini menjadi teka-teki selama puluhan tahun, tiada seorang pun yang tahu nama dan muka asli dan Mo-bin Suseng. Tapi terhadap setiap tindak tanduknya yang serba pintar dan rapi itu, semua orang menjadi gentar dan segan mendengar nama julukannya. Sekarang hanya Ka-yap Cuncia yang diagungkan sebagai tokoh nomor satu sejagad ini tahu seluk beluk perkara itu. "Ih-lwe-tok-kun, apakah kau masih ingat dia?" Demikian tanya Ka-yap Cuncia terhadap Pek-kut- sin-mo. Pek-kut-sin-mo manggut-manggut dengan hambar dan mendelong, entah untuk apa Ka-yap menyinggung tokoh jahat itu. Thian-hi juga melengak heran. Ih-lwe-tok-kun, itulah iblis besar setingkat lebih tua dari angkatan Ang-hwat-lo-mo, dulu pernah dengar nama ini, namun sudah lama dilupakan. Kata Ka-yap. "Mo-bin Suseng adalah duplikat Ih-lwe-tok-kun dulu itu." pelan-pelan ia menghela napas. Thian-hi menjublek, menurut kabarnya ilmu silat Mo-bin Suseng tidak terlalu tinggi, tapi sekarang diketahui bahwa tokoh jahat itu adalah seorang iblis besar yang telah lama menghilang itu, sungguh sukar dipercaya. Ganti berganti Ka-yap pandang mereka berdua. melihat mereka menaruh curiga dan keheranan ia tertawa geli, ujarnya. "Dulu sebelum aku bersua dengan kalian bertiga, pernah dipuncak Thay- san aku menempurnya selama tiga hari tiga malam, meski dia kalah, aku juga sedikit terluka. Kamu tahu selamanya belum ada seorang pun yang mati ditanganku, secara suka rela ia bersumpah tidak muncul lagi di Kangouw, maka ilmu silatnya lantas kupunahkan dan melepasnya pergi. Tapi sungguh tidak kuduga sedemikian jauh ia masih mencari Ni-hay-ki-tin, sehingga menimbulkan gelombang pertikaian di dunia persilatan." Lalu dengan tertawa ia berkata kepada Hun Thian-hi. "Urusanmu aku tahu dengan jelas, pandangan Soat-san-su-gou memang tepat, mereka benar-benar. Mereka tahu kau berani berkorban demi tidak melancarkan jurus Pencacat langit pelenyap bumi itu, jelas bahwa kau punya hati yang bijaksana, seseorang yang bajik tidak akan menyeleweng ke jalan yang sesat!" Sungguh girang dan menyesal pula hati Thian-hi mendengar pujian Ka-yap Cuncia terhadap dirinya, bergegas ia menyembah. "Terima kasih akan petuah Sinceng." "Sayang aku tidak akan lama lagi tinggal di dunia yang fana ini, banyak urusan yang harus kuserahkan padamu untuk kau kerjakan." Demikian kata Ka-yap sambil tertawa. Thian-hi dan Pek-kut-sin-kun sama terkejut. "Apa kata Taysu?" Teriak Pek-kut-sin-mo. "Tiada kenangan abadi di dalam dunia fana ini, Pek-sicu, maukah kau kelak membantu Hun- sicu melakukan tugasnya?" "Petunjuk Taysu, aku Pek Si-kiat masa tidak tunduk, apakah Taysu terluka karena pertempuran dulu itu, kalau benar-benar, sungguh aku sangat menyesal." Teringat oleh Thian-hi akan ucapan Tok-sim-sin-mo, memang benar-benar bahwa Ka-yap Cuncia menderita luka dalam yang sangat parah, menurut perhitungan Tok-sim-sin-mo tentu Ka- yap sudah mati, tapi kenyataan sekarang Ka-yap masih belum wafat, namun dalam waktu dekat ini bakal wafat. tanpa merasa ia menunduk dengan rasa duka dan pedih. "Hidup atau mati sudah menjadi takdir Thian. Lolap sudah melampaui seabad, usia yang terlalu tua, kenapa Pek-sicu harus kuatir bagi aku." lalu ia melanjutkan. "Sekarang Kiu-yu-mo-lo sudah bebas, lak lama lagi Tok-sim-sin-mo juga bakal lolos, dalam dunia ini takkan ada seorang pun yang mampu menundukkan mereka. Lwekang Lolap sendiri sebagian besar juga sudah bujar!" Mendengar Lwekang Ka-yap Cuncia sudah bujar, terkejut Hun Thian-hi, serta merta ia bertanya. "Sin-ceng tahukah kau akan Bu-bing Loni?" "Ya, Bu-bing sudah memperoleh intisari Hui-sim-kiam, namun mana dia kuasa merintangi Tok- sim-sin-mo dan Kiu-yu-mo-lo meloloskan diri!" Hun Thian-hi menjadi bungkam, dari nada perkataan Ka-yap Cuncia, jelas memang diakui bahwa Hui-sim-kiam-hoat Bu-bing Loni tiada taranya dan tiada tandingan dikolong langit, meski dirinya pernah menelan buah ajaib, apa pula yang dapat dilakukan. Terdengar Ka-yap Cuncia berkata pula: Tadi kulihat Kiu-yu-mo-lo sudah pergi, dia menggondol seorang gadis, apakah temanmu?" Bercekat hati Thian-hi, cepat ia bertanya. "Sin-ceng, bagaimana keadaannya sekarang?" Ka-yap pejamkan mata dan berpikir sesaat lamanya, pelan-pelan jia buka mata serta berkata. "Kau tak usahlah gugup, aku bisa membereskan soal ini." Berhenti sebentar, lalu, melanjutkan. "Mengandal Lwekang yang kau bekal sekarang masih jauh dari pada cukup, kelak kau harus menjadi pemimpin kaum pendekar di dunia ini, kau harus punya Lwekang yang hebat melebihi kaum persilatan umumnya, dari perjalananku keselatan kali ini terhitung tidak sia-sialah hasil yang kucapai. Wi-thian-cit-ciat-sek telah terjatuh ketanganku, untuk menandingi Hui-sim-kiam-hoat hanya Wi-thian-cit-ciat-seklah!" "Taysu." Sela Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat "Apakah Hui-sim-kiam-hoat itu adalah ilmu warisan dari Hui-sim?" Ka-yap Cuncia manggut-manggut, ujarnya. "Hui-sim Sinni adalah Ciangbunjjn Ngo-bi-pay pada ratusan tahun yang lalu, Ngo-bi-pay merupakan pentolan teragung dikalangan Bulim pada jaman itu dengan sebatang pedang Hui-sim berhasil menindas para gembong-gembong iblis yang merajalela, akhirhja setelah beliau wafat Hui-sim-kiam-hoat juga ikut lenyap, tapi sekarang telah muncul ditangan Bu-bing Loni!" Merandek sebentar lalu meneruskan. "Sekarang kau belum boleh unjuk muka di depan umum, perjalanan jauh keselatan kali ini, aku menemukan sebuah negara kecil di Thianyam, tiada seorang dari Tionggoan yang bisa menjejakkan kakinya di tempat itu, kau harus mempelajari dan menyelami pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek dan Pan-yok-hian-kang disana, Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan pelajaran pedang tingkat wahid, melulu beberapa hari saja takkan mungkin dapat dicangkok pelajarannya, kalau bukan seorang cerdik pandai takkan dapat menyelami intisari pelajarannya yang paling tinggi, apalagi harus senyawa dan membekal Lwekang yang dalam dan kokoh kuat baru dapat mengembangkan kehebatannya. Kau harus segera menuju kesana, kalau tidak kau takkan berhasil mencapai hasil yang diharapkan di Tionggoan ini" Kejut dan girang pula perasaan Thian-hi, dalam hati ia membatin; apakah benar-benar begitu sukar pelajaran Wi-thian-ciat-sek itu? Kata Ka-yap Cuncia pula. "Tapi kau harus mematuhi sebuah pesanku, sebelum kau berhasil dalam pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek, jangan sekali2 kau mainkan ilmu silat, jangan sampai masyarakat umumnya tahu bahwa kau adalah seorang kosen dalam bidangmu. Kalau kau membangkang, bencana bakal menimpa dirimu bila para gembong-gembong iblis meluruk datang, sebeJum pelajaranmu berhasil kau bakal konyol ditangan mereka." Mendengar orang berpesan begitu serius, Thiian-hi semakin prihatin keringat dingin membasahi tengkuknya, cepat ia menyahut. "Sekali2 Wanpwe tak." Kemudian baru bersuara. "Wi-thian-cit- ciat-sek ku kan berani menggunakan ilmu silat." Dengan seksama Ka-yap pandang Thian-hi, sesaat kemudian baru bersuara. "Wi-thian-cit-ciat- sek kuserahkan kepada kau, dimana ada pelajaran Pan-yok-hian-kang juga, mari kau ambillah." Ia angsurkan se Jilid buku tipis terbungkus sutera kepada Hun Thian-hi. Dengan kedua tangannya Thian-hi menerima serta menyatakan terima kasih," Ka-yap berpesan lagi. "Sebelum kau berhasil dan sukses, kularang kau meninggalkan tempat itu, aku akan selalu jsampingmu." Sebentar ia pejamkan mata, sesaat lalu berkata kepada Pek- kut-sin-mo Pek Si-kiat. "Apa yang telah kukatakan kepadanya kau pun sudah dengar, nanti sebentar aku punya pesan lain untuk kau!" "Setelah pelajaranmu sukses." Demikian kata Ka-yap terhadap Thian-hi. "Kau harus minta bantuan Pek-sicu. Walaupun dulu dia disebut salah seorang dari Si-gwa-sam-mo, soalnya karena dulu ia ketiban bencana, dimana seluruh keluarganya musnah, karena tekanan batin yang terlalu berat sehingga pikirannya tersesat. Sekarang ia telah menyesal dan kembali kejalan yang lurus soal di Tionggoan kau tak usah kuatir, aku bisa mengurusnya bersama dia, kau boleh belajar dan memperdalam ilmu dengan tekun dan rajin saja." Hun Thian-hi mengiakan, hatinya menjadi lega dan terhibur. Asal Ka-yap sudi bicara sekecep saja. tanggung kaum persilatan di Tionggoan akan patuh dan tunduk pada kata-katanya, dosa2 tanpa alasan yang dituduhkan pada dirinya akan himpas seluruhnya. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Demikian juga soal Sutouw Ci-ko Ka-yap sendiri juga sudah melulusi untuk mengurusnya. "Gembong-gembong silat dari berbagai aliran dan golongan diluar gua seribu Buddha masih belum bubar, tentu berabe kau keluar dari sana, aku punya jalan rahasia lain dapat membawamu keluar dengan selamat. Harta benda tak bernilai di dalam gua ini terlalu banyak, jalan-jalan rahasia yang menyesatkan tak terhitung banyaknya, aku kuatir kelak.s ampai disini ia berhenti, matanya menjadi redup dan ragu-ragu, Thian-hi celingukan kekanan kiri. lapat-lapat ia pun merasakan firasat apa-apa. Terdengar Pek Si-kiat bergelak tawa, serunya. "Sekarang masih ada aku disini, takut apa?" "Besok pagi kau boleh ikut aku menuju ke Thian-bi-kok!" Demikian kata Ka-yap. Ooo)*(ooO Dalam pada itu dengan menggondol lari Sutouw Ci-ko yang tertutuk jalan darahnya Kiu-yu-mo- lo terus berlari-lari tanpa tujuan, setelah napas ngos2an baru berhenti dar membebaskan jalan darahnya. Pelan-pelan Sutouw Ci-ko bangun duduk lalu celingukan kesekitarnya tanpa bicara. "Budak aju," Kata Kiu-mu-mo-lo kepada Sutouw Ci-ko. "Dimanakah pohon buah ajaib itu? Lekas katakan, kalau tidak jangan kau salahkan aku berlaku keji kepadamu." Sutouw Ci-ko menunduk tanpa bicara. ia tahu bahwa Kiu-yu-mo-lo menjadi percaya obrolannya setelah ia menyebut nama Go-cu Taysu, sekarang ia bicara jujurpun tidak akan dipercaya olehnya. Kiu-yu-mo-lo menggeram gusar, katanya. "Jikalau kau mau terangkan mungkin aku suka ambil kau sebagai murid, kuajarkan pelajaran silat tingkat tinggi, malah kepandaian baru yang baru saja dapat kuperoleh yaitu Hian-thian-mo-kip juga akan kuajarkan kepadamu. Tapi bila kau tetap tutup mulut? Hm ." Sutouw Ci-ko tetap bungkam, mendadak ia berpikir, masa aku harus mati secara konyol begini, bukanlah luka-luka Kiu-yu-mo-lo belum sembuh, kalau saat ini tidak dapat menumpasnya, kelak tentu menjadi bibit bencana. Lekas-lekas ia angkat kepala serta katanya. "Aku tak perlu belajar kepandaianmu, yang penting setelah memperoleh buah ajaib kau harus kembali lagi ke Jian-hud-tong, bila adikku masih hidup kuharap kau sudi menolongnya keluar, begitu saja harapanku." Jang dipikir oleh Kiu-yu-mo-lo hanyalah buah ajaib. dengan tertawa melengking ia berkata. "Boleh, boleh, itu soal gampang, bila adikmu mati aku pun rela membalaskan dendamnya, membunuh bangkotan tua itu." Mendengar lengking suara orang saja cukup membuat Sutouw Ci-ko bergidik merinding, pelan- pelan ia menghela napas, katanya. "Buah itu berada di Hwi-king-ouw dipuncak Thian-san." Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh girang, menurut pendapatnya setelah mendapat buah ajaib, tentu dia dapat menjagoi dan bersimaharaja di Bulim, dia memiliki Hian-thian-mo-kip, bila kepandaian ini dapat dipelajari dengan sempurna mendapat bantuan buah ajaib tentu ia dapat malang melintang semau gue. Dengan mengempit Sutouw Ci-ki di bawah ketiaknya, tubuhnya mencelat terbang secepat anak panah terus menuju ke Thian-san. Entah berapa jauh sudah ia menempuh perjalanan, sekonyong- konyong sebuah bayangan laksana angin lesus telah mengejar datang, begitu cepat gerak tubuh itu tahu-tahu sudah melesat ke depan menghadang di depan Kiu-yu-mo-lo. Keruan Kiu-yu-mo-lo terkejut, walaupun ia masih terluka, malah mengepit seseorang lagi, namun tak terpikirkan olehnya ada tokoh mana yang mampu mengejar dirinya. Segera ia menghentikan langkahnya, dengan cermat ia awasi orang di depannya, lalu bertanya dengan nada ingin. "Siapa kau?" Pendatang ini bukan lain adalah Situa Pelita, mulutnya menyungging senyum sinis serta dengus dingin, nenek tua renta di depannya ini ternyata begitu sombong dan takabur, jengeknya dingin. "Aku bernama Situa Pelita. Siapa kau? Kenapa berada di dalam Gua seribu Buddha?" Kiu-yu-mo-lo melengking terloroh-loroh lagi dengan suaranya seperti bunyi kokok beluk, katanya. "Ternyata ada orang berani menghadang jalan Kiu-yu-mo-lo, berani pula menyebut nama mengagulkan diri dihadapanku." Situa Pelita tersentak kaget seperti disengat kala, air mukanya berubah, nenek tua renta ini kiranya adalah salah satu dari Si-gwa-sam-mo yang bernama Kiu-yu-mo-lo. Lima puluh tahun sudah tak pernah ketemu, ternyata sekarang muncul lagi dikalangan Kangouw. Sejenak ia tenangkan pikiran, lalu berpikir. "Terhadap Ang-hwat-lo-mo yang diagulkan sebagai Iblis besar nomor satu di seluruh Bulim masa kini saja aku tidak gentar, masa aku harus takut menghadapi nenek rejot tinggal kulit membungkus tulang ini!" sambil menyeringai sinis segera ia berkata. "Si-gwa-sam-mo melulu gabungan badut2 kecil belaka, berani begitu sombong mengundal mulut besar!" Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh kering dua kali, serunya. "Kami bertiga sudah lima puluh tahun tidak muncul di Kangouw, kiranya sudah banyak dilupakan oleh kaum persilatan. Ingin aku melihat betapa tinggi kemampuan para angkatan muda dari kalangan lurus." Kiu-yu-mo-lo pelan-pelan meletakan Sutouw Ci-ko di atas tanah, dilain kejap tiba-tiba kedua telapak tangannya sudah terangkat memukul ke arah Situa Pelita dengan dahsyat. Kelihatannya cara pukulannya biasa saja, namun hakikatnya sudah mengerahkan kekuatan Kiu- yu-ciang-lat yang sangat berbahaya dan ampuh, Segulung angin dahsyat yang dikerahkan dari pukulan tenaga dalam segera menerpa ke arah musuh. Melihat datangnya serangan dahsyat ini. Situa Pelita tidak berani menyambut dengan cara kekerasan, sebab sekali mengandal kegesitan tubuhnya ia mengegos mundur. Kiu-yu-mo-lo terkial-kial laksana bayangan mengikuti bentuk tubuhnya terbang mengejar tampak kedua telapak tangannya terkembang menggetar, gelombang demi gelombang angin pukulan yang menderu hebat terus bergulung menerjang ke arah Situa Pelita dari berbagai penjuru. Kontan Situa Pelita merasa tenaga pukulan Kiu-yu-mo-lo adalah sedemikian dingin membekukan darah, kuatir tenaga sendiri tak mampu bertahan dan tak kuat melawan, akhirnya bakal celaka sendiri terpaksa ia main kelit mengandal Ginkangnya yang tiada taranya itu. Namun serta dirinya dirabu sedemikian gencar dengan serangan ganas, timbul juga amarahnya, dalam suatu kesempatan ia berhasil lolos mencelat mundur, serempak ia tarikan juga kedua kepalan tangannya memukul dengan kekuatan tenaganya memukul miring dari samping kiri, berbareng tubuhnya mencelat terbang mumbul terus mendesak maju, tahu-tahu telapak tangannya sudah terjulur menampar pipi Kiu-yu-mo-lo dari sebelah pinggir. Melihat orang berkelahi main sergap dan tidak berani melawan secara berhadapan, Kiu-yu-mo- lo menjenget dingin, enteng sekali telapak tangannya kiri terangkat terus memapak ke arah tamparan Situa Pelita. Dalam melancarkan serangannya ini Situa Pelita sudah matang dalam perhitungan, melihat aksi lawannya ini, selicin belut tahu-tahu ia menyergap ke belakang orang, sembari lancarkan pukulan dahsyat juga, sasarannya adalah punggung Kiu-yu-mo-lo. Lima puluh tahun yang lalu nama Kiu-yu-mo-lo sudah cukup menggetarkan berbagai kalangan persilatan, sudah tentu ia punya bekal kepandaian yang lihay, masa mandah saja diserang oleh Situa Pelita, tidak kalah gesitnya tubuhnya berputar, lagi-lagi telapak tangannya kanan sudah memapak menangkis pula. Situa Pelita menjadi gusar, batinnya. "Masa kekuatan pukulan dua telapak tanganku tidak kuasa melawan sebuah pukulan tanganmu?" Seiring dengan pikirannya, serempak kedua telapak tangannya menghantam dengan kekerasan tujuannya hendak memukul mundur Kiu-yu-mo-lo. Namun Kiu-yu-mo-lo sendiri juga tahu bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang ringan, masa begitu goblok ia mau menempuh bahaya, jurus permainannya ini tidak lain hanyalah pancingan belaka, gerak geriknya serba guna bisa kosong dapat diisi juga. Begitu Situa Pelita mendesak maju, cepat sekali ia menarik tangannya kanan, berbareng tubuhnya berputar terbang, beruntung kedua kepalan tangannya menggenjot bergantian kepada Situa Pelita. Melihat lawan bermain begitu lincah dan berbuat licik, mendadak mencebak dengan pukulan berisi menjadi kosong, keruan bukan kepalang kejut Situa Pelita, tak kalah sebatnya ia berloncatan, sambil mainkan pukulannya secara gencar, namun usahanya sia-sia untuk membendung arus tenaga pukulan lawan, akhirnya terpaksa ia harus menyembut dengan kekerasan. Dengan menyeringai dingin Kiu-yu-mo-lo kerahkan tenaganya, Situa Pelita menyambut dengan tergesa-gesa, begitu kedua pukulan saling beradu, seketika ia rasakan segulung hawa dingin meresap ke dalam telapak tangannya terus merembas masuk ke dalam badan melalui sendi2 tulang dan urat nadinya. Sudah tentu tersirap kaget Situa Pelita, cepat ia empos semangat dan kerahkan hawa murni untuk menutup semua jalan darahnya, namun demikian tak urung mukanya sudah pucat pasi tak enak dipandang. Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh mengumbar rasa puas yang tak terhingga, tubuhnya mencelat naik dan menerjang kembali dengan pukulan hebat yang mendampar laksana hujan topan diprahara mengincar kepala Situa Pelita. Situa Pelita insyaf bahwa dirinya sudah terluka dalam yang cukup parah, mana berani ia melawan dan mengulur waktu lagi, dasar Ginkangnya memang hebat luar biasa, seenteng asap badannya melambung tinggi terus terbang laksana burung camar melarikan diri sipat kuping. Karena menguatirkan keadaan Sutouw Ci-ko, maka Kiu-yu-mo-lo segan mengejar, cepat ia putar balik, dilihatnya Sutouw Ci-ko masih berdiri menjublek disana tanpa bersuara, begitu tenang dan agaknya sangat asjik menonton pertempuran yang hebat tadi sehingga tidak ingin tinggal pergi. Diam-diam Kiu-yu-mo-lo mengucapkan syukur dalam hati, bila Sutouw Ci-ko mau lari, waktu Situa Pelita baru datang tadi mestinya ia punya cukup waktu untuk melarikan diri, bagaimana juga ia tidak akan mampu mengejar, apalagi tentu Situa Pelita akan melibatkan dirinya dan merintangi dirinya mengejar. Walaupun ia tidak takut menghadapi Situa Pelita, namun tak perlu disangsikan lagi pasti Sutouw Ci-ko sudah berkesempatan menghilang. Sekarang kenyataan dia tetap berdiri disitu, jelas sudah rela mengikuti dirinya. Sebetulnya Sutouw Ci-ko punya perhitungannya sendiri, bila mau lari sejak tadi memang ia sudah lolos, tapi apakah ia boleh lari? Bukankah dia harus menuntut balas, betapapun tak bisa membiarkan Kiu-yu-mo-lo bebas keluntang-keluntung kemana dia suka. Menurut hematnya dengan kekuatan gabungan gurunya dan Hwi-king Lojin pasti dapat mengalahkan Kiu-yu-mo-lo, namun setelah menyaksikan pertempuran yang seru tadi, diam-diam bercekat hatinya, dengan membekal luka dalam yang cukup parah ternyata Kiu-yu-mo-lo masih kuasa mengalahkan Situa Pelita. Tengah ia tenggelam dalam renungarunya, terdengar Kiu-yu-mo-lo berseru. "Mari berangkat!" Waktu Sutouw Ci-ko angkat kepala, tahu-tahu Kiu-yu-mo-lo sudah mengepitnya terus dibawa lari, perjalanan kali ini ditempuh dengan cepat, selama tiga jam Sutouw Ci-ko hanya pejamkan mata, terasa angin menderu keras dipinggir telinganya. yang terpikir dalam benaknya hanyalah Hun Thian-hi, entah bagaimana keadaannya, masih hidup atau sudah mati. Entah sudah berapa lama lagi, akhirnya Kiu-yu-mo-lo berhenti dan menurunkan Sutouw Ci-ko katanya. "Istirahat dulu sebentar!" Sutouw Ci-ko membuka mata, ia pandang keadaan sekelilingnya, ternyata mereka berada di atas sebuah bukit, rumput hijau nan subur seperti permadani terbentang luas tak berujung pangkal, di sebelah sana hanya terdapat beberapa buah pohon yang jarang tersebar diberbagai tempat. Tanpa bersuara Sutouw Ci-ko duduk menggelendot di atas sebuah pohon kecil, otaknya berpikir membayangkan Gurunya, Hwi-king-ouw dan Hun Thian-hi. Dengan cermat Kiu-yu-mo-lo pandang Sutouw Ci-ko, lama kelamaan hatinya menjadi ketarik pada gadis ini, Sutouw Ci-ko sudah meninggalkan kesan mendalam bagi sanubarinya. Menurut ketenaran namanya, andaikata Sutouw Ci-ko berhasil menunjukkan Buah ajaib, jiwanya juga tidak akan selamat dari tangannya yang sudah lama berlepotan darah. Ia heran dan bertanya-tanya, kenapa Sutouw Ci-ko tidak melarikan diri. Ia heran apa yang tengah dipikirkan Sutouw Ci-ko? Apakah dia selalu terkenang akan adiknya? Maka bertanyalah ia. "Tok-sim-sin-mo jauh lebih telengas dari aku, adikmu itu mungkin tidak terlepas dari kekejamannya. "Berkat buah ajaib pasti aku dapat menyembuhkan luka-luka dalamku, tatkala itu pasti aku bantu kau menuntut balas, ingin aku angkat kau sebagai muridku ." Sutouw Ci-ko tetap bungkam dan tidak bergerak, Kiu-yu-mo-lo menjadi rada gemas, katanya. "Bagaimana," Selamanya aku belum ketarik pada seseorang apa kau tidak senang dan sudi menjadi muridku?" Melihat Sutouw Ci-ko tidak memberi reaksi, Kiu-yu-mo-lo menjadi dongkol, desisnya. "Bagaimana? selamanya aku belum pernah penujui orang, sekarang kuangkat kau menjadi muridku apa kau tidak kegirangan?" Sutouw Ci-ko mengerling, katanya sesaat kemudian. "Kalau bukan karena adikku itu, aku tiada minat untuk hidup lagi, bila benar-benar dia telah meninggal, apa pula artinya aku hidup merana?" "Jadi kau tidak ingin hidup?" Jengek Kiu-yu-mo-lo tertawa kering. "Lima puluh tahun lamanya aku dikurung di dalam Jian-hud-tong oleh Ka-yap Cuncia, tapi aku ingin hidup, sebaliknya di alam bebas begini kau ingin mati." Sutouw Ci-ko menunduk tak bicara lagi. Kata Kiu-yu-mo-lo lebih lanjut. "Apa betul orang itu adalah adikmu? Dari nada dan rasa prihatinmu kulihat bukan melulu antara kakak beradik saja hubungan kalian." Tergetar sanubari Sutouw Ci-ko, pelan-pelan ia mendongak memandang langit nan cerah membiru, ia membatin. "Apa betul? Mati hidup Hun Thian-hi kau jadikan pegangan mati hidupmu, hubungan ini memang melampaui hubungan antar kakak beradik." "Apa betul dia adalah adik kandungmu?" Desak Kiu-yu-mo-lo dengan sinis. "Kau tidak perlu urus soal ini, itu adalah urusanku sendiri." Senggak Sutouw Ci-ko gemas. Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh dingin, ejeknya. "Sekarang kau pikirkan dia. juga tak berguna, dia tentu sudah mampus, jenazahnya saja kau tak mampu melihat dan menemukan lagi. Maka turutlah nasehatku, kelak aku akan bantu kau menuntut balas, kalau tidak, huh, aku kuatir jiwamu sendiripun kau tak mampu menjaganya." Sutouw Ci-ko tertawa tawar acuh tak acuh, diam-diam ia tengah terpekur apakah perlu ia harus menggantungkan mati hidup dirinya kepada keselamatan Hun Thian-hi. Terdengar Kiu-yu-mo-lo mendengus dan berkata. "Mari melanjutkan perjalanan lagi!" Tanpa menanti Sutouw Ci-ko membuka suara, sekali jinjing terus dikempitnya dibawa lari bagai terbang. Tanpa terasa tiga hari telah berlalu, dengan menjinjing tubuh Sutouw Ci-ko, hari itu Kiu-yu-mo- lo sudah tiba di pesisir danau kaca terbang, keadaan Hui-king-ouw hening tentram, di pinggir danau tumbuh sebarisan pohon-pohon bunga Bwe yang rindang, di sebelah timur dan barat kedua tepi danau tampak dibangun sebuah gubuk dari anyaman daun-daun welingi. Sampai disini baru Kiu-yu-mo-lo merasa lega dan menghela napas panjang, setelah menurunkan Sutouw Ci-ko ia berkata. "Sudah tiba di Hwi-king-ouw, dimana tempat buah ajaib, lekas bawa aku kesana!" Dari kejauhan Sutouw Ci-ko mendelong mengawasi gubuk sebelah timur, hatinya kebat-kebit dan segan, meski sejak kecil ia dibesarkan oleh gurunya, namun betapapun ia sudah diusir dari perguruan, apakah ada muka ia menemui gurunya lagi. "Ajo, lekas!" Desak Kiu-yu-mo-lo gegetun. Sesaat Sutouw Ci-ko menjadi sangsi, teringat olehnya kata-kata Hun Thian-hi terhadap dirinya tempo hari, tanpa merasa pelan-pelan ia menggerakkan langkahnya menuju ke arah gubuk itu. Melihat Sutouw Ci-ko menuju ke arah gubuk itu, timbul rasa curiga Kiu-yu-mo-lo, tanyanya. "Kemana kau!" "Gubuk itu adalah tempat tinggalku, sudah lama aku berdiam disana." "Maksudmu kau tinggal dalam gubuk itu menjaga buah ajaib itu?" Dengan sangsi Sutouw Ci-ko manggut, kakinya melangkah terus. Orang yang tinggal dalam gubuk sudah mendengar percakapan dan kedatangan mereka, tampak pintu terbuka keluarlah seorang perempuan pertengahan umur, begitu melihat Sutouw Ci- ko berubah air mukanya, putar tubuh terus masuk ke dalam gubuk lagi. Melihat gelagat yang ganjil ini Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, tanyanya. "Siapa dia? Akal busuk apa yang tengah kau rancang?" Sekilas tadi Sutouw Ci-ko sudah melihat gurunya Pek-bwe Siancu Tang Siau-hong, namun gurunya tak mau peduli lagi pada dirinya, saking duka air mata mengembeng di kelopak matanya, otak menjadi bebal sehingga ia tidak hiraukan pertanyaan Kiu-yu-mo-lo. "Jangan kau main gila dengan aku," Demikian kata Kiu-yu-mo-lo. "aku tidak gampang bisa kau tipu!" lalu sebelah tangannya mencengkeram jalan darah di pundak kiri Sutouw Ci-ko, katanya pula. "Selama ini aku tidak membuat kau menderita, ketahuilah belum pernah selama hidup aku memberi kelonggaran kepada tawananku." lalu ia terkekeh-kekeh begitu kelima jarinya mencengkeram semakin keras, seketika Sutouw Ci-ko rasakan seluruh badan lemas lunglai tak bertenaga lagi, tanpa kuasa ia meloso roboh di tanah. Pintu gubuk terbuka lagi, tampak Pet-bwe Siancu dengan muka merengut membesi dingin membentak seraya menuding. "Hentikan! Siapa bernyali besar berani bertingkah di danau kaca terbang!" Kiu-yu-mo-lo terkial-kial dingin, tangannya melepas Sutouw Ci-ko, tiba-tiba tubuhnya melejit terbang secepat kilat tahu-tahu sudah berada dihadapan Tang Siau-hong, sembari menyeringai dingin ia mendesis. "Lima puluh tahun aku tidak muncul di Kangouw, kiranya tiada seorangpun yang kenal lagi kepada aku." Sebenar-benarnya Tang Siau-hong tahu siapakah sebetulnya Kiu-yu-mo-lo itu, serta melihat keadaan Sutouw Ci-ko yang mengenaskan rebah di tanah, hatinya menjadi gusar, semprotnya. "Kenapa begitu kejam kau aniaja anak kecil." Kiu-yu-mo-lo tertawa aneh, dulu golongan hitam atau putih bila mendengar namanya saja mesti lari terbirit2 ketakutan, namun sekarang tiada seorang pun yang memberi muka kepadanya, semakin pikir semakin jengkel, pikirnya; Kalau aku tidak memberi tanda mata apa-apa, tentu kalian tidak akan ingat siapa aku ini. Tiba-tiba secepat kilat kedua telapak tangannya berkiblat terus menghantam ke arah Tang Siau-hong. Berdiri alis Tang Siau-hong, meski pun Sutouw Ci-ko sudah diusir dari perguruan, namun rasa kasih sayangnya terhadap gadis remaja yang diasuhnya sejak kecil masih tetap kental, sudah tentu ia tidak tinggal diam melihat orang menganiaja Sutouw Ci-ko begitu rupa, dengan murka ia pun menggerakkan kedua tangannya memukul ke arah Kiu-yu-mo-lo. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sedetik sebelum kedua pukulan lawan saling bentur, sekonyong-konyong ia merasakan firasat jelek, segesit tupai melompat enteng sekali ia jejakkan kakinya jumpalitan mundur ke belakang. Terdengar Kiu-yu- mo-lo terloroh-loroh menggila, kedua telapak tangannya ditarikan semakin cepat dan melancarkan serangan yang gencar. Untuk sesaat Tang Siau-hong yang belum sempat pernahkan diri menjadi kelabakan dan terdesak di bawah angin, sedikitpun ia tidak mampu balas menyerang. Pada saat itulah pintu gubuk disebelah utara sana terbuka, melangkah keluar seorang kakek tua, yaitu Hwi-king Lojin adanya. melihat pertempuran yang gawat ini, segera tubuhnya mencelat terbang, ditengah udara ia bersuit panjang melengking tinggi, seenteng burung walet tubuhnya beirlari terbang melewati permukaan air danau terus menerjang ke arah Kiu-yu-mo-lo. Melihat Hwi-king Lojin menyerang datang, bertambah murka hati Kiu-yu-mo-lo. Dia insaf bahwa dirinya terluka dalaim yang cukup parah, kalau satu lawan satu jelas ia lebih unggul dan pasti menang, namun melawan keroyokan dua orang ia menjadi mati kutu, terang tenaganya bakal terkuras habis untuk membela diri saja. Sebat sekali kakinya melangkah berputar, selicin belut selincah kera ia berloncatan mencari posisi penyerangan dari berbagai penjuru, bertempur main petak melawan kedua lawannya. Semakin tempur diam-diam Hwi-king Lojin bertambah kejut, kecuali Bu-bing Loni belum pernah ia menemukan musuh sehebat dan setangguh seperti nenek rejot ini. Segera ia membuka suara bertanya kepada Tang Siau-hong. "Siau-moay! Siapa dia, ini?" "Kiu-yu-mo-lo!" Sahut Tang Siau-hong singkat. Terperanjat Hwi-king Lojin serunya. "Bangkotan tua renta ini ternyata merajap keluar lagi dari liang kuburnya!" Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo