Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 13


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 13


Badik Buntung Karya dari Gkh   Kiu-yu-mo-lo berteriak melengking saking gusar mendengar olok2 orang, kedua telapak tangannya bergerak seperti kupu2 lincah menari di atas kuntum bunga.   Tapi kepandaian Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong tidaklah lemah, apalagi lwekang Hwi-king Lojin jauh lebih tinggi dari Tang Siau-hong, dengan gabungan kekuatan mereka, untuk waktu dekat mereka berhasil mendesak Kiu-yu-mo-lo di bawah angin.   Kiu-yu-mo-lo berkaok2 dengan beringas seperti kesetanan gerak-geriknya seperti serigala kelaparan yang ingin menelan bulat2 lawannya, namun sedemikian jauh ia terdesak dan tak mampu menempati posisi yang lebih menguntungkan.   Sekejap saja ratusan jurus sudah berlalu, Kiu-yu-mo-lo insaf bahwa bertempur terus tidak akan menguntungkan dirinya, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul, beruntun ia tepukan telapak tangannya berantai empat lima kali, waktu Hwi- king dan Tang Siau-hong menyambut pukulannya, sigap sekali tubuhnya melayang jauh terus meluncur turun disamping Sutouw Ci-ko, sekali raih ia cengkeram tengkuk Sutouw Ci-ko.   Tercekat hati Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong mereka menjadi keder dan kuatir atas keselamatan Sutouw Ci-ko, sesaat mereka berdiri melongo tak berani bertindak lebih lanjut.   Kiu-yu-mo-lo menyeringai iblis, desisnya.   "Ketahuilah hari ini aku sedikit terluka, maka kuhentikan saja pertempuran sampai disini."   Dengan mengalirkan air mata Sutouw Ci-ko berteriak kepada Hwi-king Lojin dan Tang Siau- hong.   "Suhu, Supek, jangan kalian hiraukan aku, bunuh saja iblis laknat ini!"   Kiu-yu-mo-lo menjadi geram, dengan jengkel tangan kanannya bergerak, beruntum ia tutuk beberapa tempat jalan darah penting ditubuh Sutouw Ci-ko.   Kontan Sutouw Ci-ko mengeluh panjang terus jatuh pingsan.   Kejut dan perih perasaan Tang Siau-hong, baru saja ia hendak memburu maju, namun sorot panjangan Kiu-yu-mo-lo yang tajam bengis mengancam itu mengurungkan niatnya.   Sebetulnya ia sudah sangat benci dan tidak mau gubris lagi Sutouw Ci-ko, seumpama Sutouw Ci-ko mati ia pun takkan bersedih, dasar sifat manusia memang bijaksana dan luhur, melihat anak asuhannya sejak kecil kena siksa dan menderita ia menjadi terpukul perasaannya dan menjadi gugup akan keselamatannya.   Terdengar Kiu-yu-mo-lo mendengus ejek.   "Kalau kalian ingin dia tetap hidup hanya ada satu cara untuk menolong jiwanya. Lekas serahkan Kiu-thian-cu-ko kepadaku!"   "Apa?"   Seru Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong berbareng.   "Bagaimana! Tidak mau serahkan?"   Desak Kiu-yu-mo-lo mengancam.   Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong mengeluh dalam hati, namun apa daya, terpaksa mereka saling pandang saja tanpa buka suara, dalam hati masing-masing sedang berpikir cara bagaimana mencari akal untuk mengatasi situasi tegang ini.   "Jiwa bocah ini sebagai tumbal dari buah ajaib itu terserah cara bagaimana kalian hendak menyelesaikan jual-beli ini."   Setelah merenung sesaat lamanya, Tang Siau-hong buka bicara.   "Apakah yang kau maksudkan Kiu-thian-cu-ko?"   "Benar-benar!"   Dengus Kiu-yu-mo-lo, cahaya matanya memancar terang.   "Muridmu ini membawa aku kemari, tentu kau juga tahu dimana jejak buah ajaib itu!"   Hati Tang Siau-hong menjadi rada marah dan sesalkan tindakan Sutouw Ci-ko yang ceroboh dan brutal itu, hidungnya mandah mendengus tanpa buka suara lagi. Segera Hwi-king Lojin menalangi, setelah tertawa kering ia berkata.   "Gurunya pun tidak tahu dimana buah ajaib itu berada, justru karena dia tidak mau beritahu kepada gurunya maka gurunya ini mengusirnya dari perguruan. kalau mau tanya, silakan tanya kepadanya saja!"   Mereka maklum bahwa maksud tujuan kedatangan Kiu-yu-mo-lo adalah buah ajaib itu, maka segala tanggung jawab urusan ini ditumplekkan kepada Sutouw Ci-ko, demi mencapai tujuan dan hasratnya tentu Kiu-yu-mo-lo takkan mencelakai jiwa Sutouw Ci-ko.   Dengan memicingkan mata Kiu-yu-mo-lo pandang air muka kedua musuh tua ini ganti-berganti dengan cermat, diam-diam hatinya mengumpat caci akan kelicikan akal Sutouw Ci-ko, serta merta terbayang olehnya waktu Tang Siau-hong pertama kali melihat Sutouw Ci-ko tadi sikapnya memang kurang senang dan tak mau gubris padanya.   Sejenak ia berpikir, lalu berkata.   "Baik! Sementara ini aku percaya akan obrolan kalian, akan kuperas keterangannya." selesai berkata ia memutar tubuh hendak tinggal pergi.   "Nanti dulu!"   Teriak Tang Siau-hong, melihat orang hendak membawa Sutouw Ci-ko ia menjadi gugup.   "Kenapa?"   Tanya Kiu-yu-mo-lo sambil berpaling.   "Apa kalian hendak menahan aku?" wajahnya mengunjuk senyum sinis yang menyebalkan. Hwi-king segera memberi aba-aba kepada Tang Siau-hong serempak mereka bergerak pencar kedua arah cepat sekali mereka mencari kedudukan menggencet Kiu-yu-mo-lo di tengah antara mereka. Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, ujarnya.   "Kalian sangka aku takut, kalau kalian tidak mau lepas aku, terpaksa kita harus gugur bersama, atau kalian sudah tidak hiraukan lagi mati hidup bocah ini?"   Hwi-king rada sangsi, katanya.   "Kalau kulepas kau, apakah jiwanya masih bisa hidup?"   "Itu terserah kepada sikapnya selanjutnya!"   Jengek Kiu-yu-mo-lo dingin.   "Serbagai murid murtad aku tidak mengharapkan dia lagi,"   Demikian kata Tang Siau-hong tanpa emosi.   "Tapi kami pun tidak bisa melepas kau membuat keonaran di kalangan Kangouw."   Berubah air muka Kiu-yu-mo-lo, kalau Tang Siau-hong berdua tidak mementingkan jiwa Sutouw Ci-ko dirinya betul-betul bisa konyol di tempat ini. Dengan tertawa dingin segera ia berkata.   "Kau sangka aku takut kepada kamu berdua?"   Di mulut ia bicara garang, hakikatnya hatinya sangat membenci Sutouw Ci-ko, diam-diam ia menerawang mencari akal cara bagaimana harus meloloskan diri, kalau Sutouw Ci-ko tidak tahu tempat dimana beradanya buah ajaib itu, sungguh ingin rasanya ia bunuh bocah kurang ajar ini.   Mulut Tang Siau-hong memang mengancam dengan angkernya, namun iapun ragu-ragu untuk bertindak Jikalau Sutouw Ci-ko tidak berteriak supaya mereka tidak hiraukan jiwanya lagi, mungkin sekarang ia sudah bertindak demi kepentingan kaum persilatan umumnya, namun situasi sekarang sudah membuatnya serba sulit.   Melihat kedua lawannya tidak bergerak, diam-diam timbul rasa curiganya, pikirnya.   "Bukankah kalian juga tidak tega melihat kematian Sitouw Ci-ko? Sama saja mereka pun ingin mendapatkan buah ajaib itu!"   Sejak mula Kiu-yu-mo-lo hanya memikirkan kepentingan pribadinya untuk memperoleh buah ajaib itu, mimpipun ia tidak mengira bahwa sejak permulaan ia sudah masuk perangkap Sutouw Ci-ko.   Sekonyong-konyong timbul sebuah pikiran dalam benaknya; Sekarang aku sedang kepepet, kalau mereka ngotot menahan aku, aku pun tak mampu meloloskan diri, sepucuk buah ajaib itu berbuah enam butir, hanya perlu sebutir saja aku sudah cukup, lebih baik kuajak mereka kompromi saja.   Sutouw Ci-ko berada di tanganku, masa mereka tidak mau terima saran baikku ini.   Tengah ia berpikir2, tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang melambung tiba, begitu menginjak tanah baru terlihat tegas, itulah seorang laki-laki tua bermuka putih tanpa jenggot, begitu melihat kedatangan orang ini bermula Kiu-yu-mo-lo sangat kejut dan heran, namun dalam kilas lain hatinya menjadi kegirangan.   Karena orang tua ini bukan lain adalah Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat yang juga telah menghilang selama lima puluh tahun itu, entah cara bagaimana pula ia berhasil lolos dari belenggu.   "Samte!"   Teriak Kiu-yu-mo-lo kegirangan.   "Kau pun datang kesini! Lekas bantu aku."   Bukan kepalang kejut Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong, Pek-kut-sin-mo juga meluruk datang.   Si-gwa-sam-mo malang melintang dan sudah menghilang sejak lima puluh tahun yang lalu dari dunia persilatan, sungguh tak duga hari ini bakal muncul dua diantara tiga, ini benar-benar sangat mengejutkan dan menakutkan.   Kedatangan Pek-kut-sin-mo seketika lebih menyempitkan kedudukan mereka berdua, mungkin untuk mati pun tidak akan bisa dengan jasad tetap utuh.   Meski ajal betapa pun harus turun tangan lebih dulu, serempak mereka membentak bersama terus menyerang ke arah Kiu-yu-mo-lo.   Kiu-yu-mo-lo terkekeh-kekeh.   Mendapat bantuan Pek-kut-sin-mo umpama musuh ditamboh dua lagi iapun tak perlu takut, pelan-pelan ia letakkan Sutouw Ci-ko di atas tanah, gesit sekali ia menggerakkan kedua kepelannya menyambut serbuan musuh.   Sedikit bergerak tubuh Pek-kut-sin-mo melesat masuk ke dalam kalangan pertempuran, dimana kedua kepelannya bergerak seketika segulung uap putih dari kekuatan angin pukulannya menyampok mundur Hwi-king dan Tang Siau-hong.   Serasa arwah sudah keluar badan kejut Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong, insaf mereka bahwa diri sendiri bukan lawan musuh, sebat sekali mereka melompat mundur rada jauh, namun begitu mereka segan untuk melarikan diri.   Kiu-yu-mo-lo terloroh-loroh kering, katanya kepada Pek-kut-sin-mo.   "Samte! Pek-kut-sin- kangmu jauh lebih maju dari lima puluh tahun yang lalu!"   Kedengaran oleh Pek-kut-sin-mo akan pujian orang yang mengandung rasa kekecutan hatinya maksud tujuannya kemari bukan melulu untuk itu, segera ia buka bicara.   "Ji-ci! Apakah bocah ini bernama Sutouw Ci-ko?"   Berubah serius air muka Kiu-yu-mo-lo, sekilas ia menyapu ke arah Hwi-king berdua lalu menjawab.   "Benar-benar! Dia tahu dimana buah ajaib berada, kalau ketemu boleh kami bagi dua sama rata dengan kau."   "Ji-ci terluka di dalam bukan?"   Tanya Pek Si-kiat dingin Kiu-yu-mo-lo tersenyum ewa.   Melihat Kiu-yu-mo-lo dan Pek-kut-sin-mo main debat sendiri sudah tentu Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong menjadi senggang dan tidak mau tinggal pergi saja, betapa pun Sitouw Ci-ko harus ditolong.   Sebagai kawan lama sudah tentu Pek Si-kiat tahu tabiat dan karakter Kiu-yu-mo-lo, dengan mendengus ia berkata.   "Kalau tidak aku tidak mau turut campur pertikaian kalian"   Dengan sendirinya Kiu-yu-mo-lo juga tahu bahwa Pek-kut-sin-mo selamanya berlaku kejam dan telengas terhadap orang luar, diantara mereka bertiga hanya dia yang berhati jujur dan lapang dada, entahlah kenapa hari ini sikapnya begitu, akhirnya ia membuka suara.   "Samte! Apa hendak kau kangkangi sendiri?"   Pek-kut-sin-mo bergelak tawa, serunya.   "Ketahuilah Sutouw Ci-ko tidak tahu menahu tentang buah ajaib itu. yang terang aku mendapat perintah dari Ka-yap Cuncia kemari, untuk menolong Sutouw Ci-ko juga untuk minta kembali Hian-thian-pit-kip."   Laksana geledek mengguntur dipinggir telinganya Kiu-yu-mo-lo melonjak kaget, tiba-tiba ia melengking tinggi seraya melemparkan tubuh Sutouw Ci-ko ke tengah udara begitu keras lemparannya sampai badan Sutouw Ci-ko melambung tinggi dan jauh, berbareng ia sendiri lantas melenting jauh melarikan diri.   Kuatir diketahui oleh Pek-kut-sin-mo maka waktu melontarkan tubuh Sutouw Ci-ko ia tidak berani membuat cedera ditubuhnya.   Keruan bukan kepalang gusar Pek Si-kiat.   Ia insaf bahwa Hwi-king dan Tang Siau-hong tidak akan mampu menolong Sutouw Ci-ko.   terpaksa ia melejit tinggi menolong jiwa Sutouw Ci-ko.   Mendengar Pek-kut-sin-mo diutus oleh Ka-yap Cuncia, Hwi-king dan Tang Siau-hong menjadi girang, serempak mereka bergerak bersama Tang Siau-hong memburu ke arah Sutouw Ci-ko sedang Hwi-king Lojin mengejar dan merintangi jalan mundur Kiu-yu-mo-lo.   Dilain pihak Kiu-yu-mo-lo tahu bahwa dirinya bukan tandingan Pek-kut-sin-mo, maka begitu melejit jauh terus lari sipat kuping, waktu Hwi-king Lojin mengejar tiba di belakang dan menyerang dengan sebuah pukulan tangan.   ia mandah saja kena hantaman sampai muntah darah, mulutnya berteriak kesakitan, suaranya serak dan panjang sampai bergema dialam pegunungan, namun kakinya bergerak lebih cepat lagi, sebentar saja ia sudah menghilang.   Waktu Pek-kut-sin-mo berhasil menolong Sutouw Ci-ko, sementara Kiu-yu-mo-lo pun sudah lari jauh, dengan gegetun ia membanting kaki, sungguh ia sangat menyesal terburu nafsu membuka mulut.   Tapi nasi sudah menjadi bubur, menyesal pun sudah kasep.   Dengan mendelong Tang Siau-hong mengawasi Sutouw Ci-ko ditangan Pek-kut-sin-mo, ia tidak berani maju memapah.   Setelah berkeluh kesah sendiri baru Pek Si-kiat teringat akan Sutouw Ci-ko yang dipondongnya itu, cepat-cepat ia membebaskan tutukan jalan darah Sutouw Ci-ko.   Pelan-pelan Sutouw Ci-ko membuka mata, setelah celingukan kekanan kiri, tiba-tiba merangkak bangun terus berlutut dihadapan Tang Siau-hong, serunya sesenggukan.   "Suhu!"   "Siapa Suhumu?"   Jawab Tang Siau-hong ketus. Tangis Sutouw Ci-ko semakin jadi, terdengar Pek Si-kiat bertanya.   "Apa yang telah terjadi, coba tuturkan kepada aku!"   Kesannya sangat baik terhadap Hun Thian-hi, melihat keadaan Sutouw Ci-ko yang bersedih ini tak tertahan lagi lantas mengajukan pertanyaan.   Sutouw Ci-ko angkat kepala, dia tahu bahwa orang tua irnilah yang tadi membebaskan tutukan jalan darahnya, melihat sikap kaku dan kukuh Tang Siau-hong terpaksa ia menjawab pertanyaan Pek Si-kiat.   "Te-rima kasih pada Cianpwe telah menolong jiwaku."   Pek Si-kiat menyengir dengan girang, seolah-olah baru pertama kali inilah selama hidup ia pernah berbuat kebaikan, sekarang baru pertama pula ada orang menyatakan terima kasih kepadanya.   Setelah mengawasi Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong lalu ia berkata tertawa.   "Bocah ini baik dan cantik rupawan lagi, untuk urusan apa kalian tidak mau kenal dia lagi?"   Tahu bahwa Pek-kut-sin-mo diutus oleh Ka-yap, Tang Siau-hong mengira bahwa Pek-kut-sin- mo tentu sudah kembali kejalan lurus, terpaksa ia membungkuk serta menyahut.   "Cianpwe tidak tahu, sekarang ia sudah menyeleweng."   Pek Si-kiat merengut dan rada gusar, katanya.   "Mungkinkah Ka-yap Taysu menyusuh aku menolong seorang jahat? Jika kau tidak mau, biar dia ikut aku saja!"   Segera Sutouw Ci-ko menyembah lagi kepada Tang Siau-hong. selanya.   "Suhu tidak sudi aku kembali, sebetulnya aku belum pernah melakukan kejahatan apa, di dunia ini aku sudah sebatangkara, aku tidak ingin hidup lebih lama lagi, mohon Subu suka mengakui aku sebagai murid sebelum ajal ini." Sampai kata-kata terakhir suaranya hampir lenyap oleh sengguk tangis dan air mata yang membanjir sedih.   "Apa,"   Teriak Pek Si-kiat keras.   "Hun Thian-hi mohon Ka-yap Cuncia supaya aku menolong kau, kenapa kau ingin mati pula?"   "Apa?"   Sutouw Ci-ko juga berjingkrak kegirangan.   "Apa benar-benar dia?"   Hwi-king Lojin dan Tang Siau-hong beradu pandang, dalam hati mereka berpikir.   "Bagaimana bisa terlibat pula dengan Hun Thian-hi!"   "Benar-benar,"   Jawab Pek Si-kiat.   "Dia selamat dan ikut bersama Ka-yap Cuncia diangkat sebagai murid angkat, diberi pelajaran Pan-yok-hian-kang dan Wi-thian-cit-ciat-sek, mungkin dalam satu setengah tahun ini kau tidak bisa bertemu dengan dia."   Saking kegirangan suara, Sutouw Ci-ko sampai gemetar, katanya tersekat.   "Aku.aku mengira dia tentu sudah mati!" Sekarang dia menangis karena kegirangan. Mendengar semua kejadian ini melulu karena tujuan dan kemauan Ka-yap Cuncia. Apalagi Hun Thian-hi yang berjuluk Leng-bin-nio-sin itu juga telah diangkat menjadi muridnya. Ka-yap adalah tokoh teragung nomor satu pada ratusan tahun yang lalu, sungguh tak nyana beliau masih hidup, setiap ucapannya lebih mempertebal kepercayaan dirinya sendiri, hanya kejadian ini benar-benar diluar dugaan. Sesaat melongo akhirnya Tang Siau-hong bertanya.   "Cara bagaimana kau berkenalan dengan Hun Thian-hi?"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Dengan mengembeng air mata, Sutouw Ci-ko menjawab sambil tersenyum senang.   "Dia terhitung adik angkatku!"   Dengan tajam Tang Siau-hong menatap Sutouw Ci-ko, dalam hati membatin.   "Melihat gelagatnya bukan melulu hubungan antar kakak beradik . tapi masih ada Bun Cu-giok lagi, ai, memang sudah ditakdirkan kiranya!"   Terdengar Sutouw Ci-ko berkata lagi.   "Bermula dia berangkat kemari bersama aku, dia mendapat tugas dari majikan Ngo-hong-lau untuk menemui Hwi-king Supek!"   "Kakak misanku?"   Seru Hwi-king Lojin terkejut.   "Dimana beliau sekarang?"   Sutouw Ci-ko beragu sebentar, lalu menjawab.   "Beliau tidak suka orang lain tahu alamatnya. Beliau memberi sebatang Hwi-hong-siau kepada Thian-hi, tapi waktu sampai di Giok-bun-koan kami bentrok dengan seorang tuan yang bernama Situa Pelita, dia melarang kami kemari!"   Hwi-king Lojin tidak tanya lebih lanjut, dengan rawan ia menghela napas. Dengan tertawa berseri Pek Si-kiat pandang Sutouw Ci-ko sungguh girang dan berterima kasih pula Sutouw Ci-ko, katanya.   "Dapatkah aku mengetahui nama Cianpwe yang mulia!"   "Akulah Pek-kut-sin-mo!"   Jawab Pek Si-kiat sambil tertawa lebar. Sutouw Ci-ko melengak kaget, rada lama kemudian baru berkata.   "jangan kau gertak orang, aku tidak takut."   Pek Si-kiat terbahak-bahak, serunya.   "Hampir saja Hun Thian-hi mampus ditanganku, sungguh kamu berdua bernasib mujur, terjeblos ke dalam Sip-kut-tam tidak mati, kalau orang lain, sudah mati konyol tanpa bekas lagi."   Sutouw Ci-ko menenangkan hatinya lalu bertanya.   "Sekarang dimanakah Hun Thian-hi?"   "Aku juga tidak tahu, cuma hari ini kiu-yu-mo-lo berhasil lolos membawa serta Hian-thian-pit- kip, kelak tentu menimbulkan banyak bencana, Ka-yap Taysu menugaskan banyak urusan yang perlu kulaksanakan. Aku betul-betul ketarik kepada kau, lain waktu aku pasti datang menjenguk kau kemari."   Sutouw Ci-ko berjingkrak kegirangan, tanyanya.   "Kapan kau akan datang?"   "Tidak perlu kuatir untuk menemukan kau? Kau tak usah gelisah!" demikian kata Pek Si-kiat seraya melambaikan tangan terus berlari pergi dengan cepat. Pelan-pelan Sutouw Ci-ko membalik badan, dengan penuh rasa kasih sayang Tang Siau-hong mengelus rambutnya serta berkata.   "Nak, mungkin aku terlalu terburu nafsu salahkan kau."   Sutouw Ci-ko menubruk ke dalam pelukan Tang Siau-hong dan menangis gerung-gerung.   "E, eh, kenapa ni? Kukira kau bukan bocah lagi, lima tahun sudah, masa sikapmu masih aleman seperti kanak-kanak"   Demikian goda Tang Siau-hong.   Sutouw Ci-ko angkat kepala seraya membasut air matanya, pelan mereka menggeser menuju ke dalam gubug sambil berpelukan, saat itu sinar matahari sudah tergantung tinggi ditengah cakrawala.   Waktu mereka memandang sekelilingnya, ternyata Hwi-king Lojin sudah tinggal pergi diam- diam, Tang Siau-hong berdua menjadi geli dan saling pandang.   Ooo)*(ooO Waktu sinar cahaya sang surja mulai menongol keluar dari peraduannya menyorot sebuah tebing tinggi ratusan tombak, cuaca masih terlalu pagi, tebing itu terlalu tinggi dan lurus lempang, seperti dipapas dengan kapak atau senjata tajam lainnya.   Dibawa tebing sebelah sana pelan-pelan mendatangi seorang pemuda cakap ganteng, pendatang ini bukan lain adalah Hun Thian-hi, setelah sampai di bawah tebing ia mendongak meneliti tebing tinggi ini.   Jikalau dapat melampaui tebing tinggi maka di dalam sana adalah sebuah negara kuno yang terasing dari dunia luar di daerah selatan ini yaitu Thian-bi-kok seperti yang dikatakan oleh Ka-yap Cuncia itu.   Menurut pesan Ka-yap Cuncia ia harus memanjat tebing tinggi ini dan menyelundup masuk kenegeri kuno bernama Thian-bi-kok ini.   Setelah meneliti sekian lamanya diam-diam Thian-hi mengerut alis, tebing setinggi ratusan tombak begini cara bagaimana bisa masuk kesana, entah cara bagaimana orang yang menemukan negara kecil itu bisa masuk kesana.   Pelan ia berjalan menyusuri kaki tebing mencari jalan.   Tiba-tiba dilihatnya disebuah lekukkan diujung tebing sana ada sebaris retakan batu, garis retak ini sudah penuh ditumbuhi lumut sangat licin susah untuk tempat berpegang atau berpijak, boleh dikata sulit sekali untuk dapat memanjat ke atas.   Sekian lama ia berpikir mencari akal, akhirnya dilolos keluar seruling dipinggangnya, diam-diam ia kerahkan tenaga murni sekali tusuk ternyata mudah sekali serulingnya amblas ke dalam batu tebing.   keruan girangnya bukan kepalang, lekas ia keluarkan pula kutungan serulingnya sendiri, tusuk demi tusuk bergantian dengan gegamannya ia mulai merambat ke atas.   Entah berapa lama kemudian dengan susah payah akhirnya ia berhasil mencapai puncak tebing juga, namun terasa kaki linu pinggang pegal, telapak tangan pun lecet.   Dengan menghela napas lega ia berpaling memandang kebawah, tebing sedemikian tinggi, setapak demi setapak ia berhasil manjat ke atas, hampir ia tidak percaya akan kenyataan ini.   Setelah beristirahat seperlunya pelan-pelan ia mulai beranjak masuk ke dalam sebuah lembah, di dalam lembah tumbuh hutan lebat, tiada kelihatan jejak manusia seorangpun.   Dengan hati-hati Thian-hi menyusuri hutan lebat ini terus maju ke depan.   entah berapa lama kemudian, akhirnya pohon-pohon mulai jarang tibalah ia diujung hutan, lapat-lapat dikejauhan sana kelihatan perumahan orang, ladang sawah nan subur, lebih jauh di depan sana samar-samar kelihatan bentuk sebuah kota.   Bab 14 Dengan saksama Hun Thian-hi memandang ke depan nan jauh sana, dalam hati ia menerawang, betapapun aku harus melihat-lihat situasi dan keadaan kota di depan itu.   Begitulah melalui gili2 sawah ia terus maju ke depan, langsung menuju kekota.   Tak lama kemudian ia sudah tiba diambang pintu kota, tamtak orang berlalu lalang dengan ramainya, kiranya itulah sebuah kota yang cukup besar.   Sambil celingukan kekanan kiri seperti orang desa yang pertama kali masuk kota Hun Thian-hi maju terus ke depan melihat-lihat keadaan kota kuno yang terasing dari dunia luar ini.   Tiba-tiba dilihat orang-orang yang berlalu lalang dikejauhan menjadi ribut dan berlari-lari minggir kedua samping jalan, tampak sebarisan sepasukan seragam hijau membedal kudanya mendatangi bagai terbang.   Cepat-cepat Thian-hi juga ikut menyingkir kepinggir, namun sekilas dilihatnya tak jauh di depan sana seorang anak kecil tengah berlari ditengah jalan, tanpa banyak pikir lagi segera ia memburu maju menarik bocah kecil itu, namun saat mana juga barisan berkuda itupun sudah tiba, baru saja Thian-hi hendak gunakan Ginkangnya untuk melesat berkelit, mendadak teringat akan pesan Ka-yap Cuncia, supaya orang lain tidak tahu bahwa dia seorang persilatan, orang-orang yang berkerumun disekitar jalanan itu menjadi menjerit ngeri dan gempar, tak ampun lagi Thian-hi keterjang ke depan, meminjam daya terjangan ini ia menggelundung kesamping sambil mengempit bocah itu.   Kuda itu lantas berdiri dengan kedua kaki belakangnya sambil bebenger panjang.   penunggangnya tak kuasa mengendalikan kudanya lagi terus lompat turun.   terpaksa rombongan berkuda itu harus berhenti semua.   Dari pinggir jalan sebelah sana memburu seorang gadis dengan muka pucat, katanya kepada Hun Thian-hi.   "Banyak terima kasih akan pertolonganmu!"   Sekali tarik ia terus bopong bocah itu terus bawa lari dan menghilang dipagar manusia yang menonton dipinggir jalan.   Belum lagi Thian-hi sempat inenjawab, tiba-tiba didengarnya sebuah bentakan caci maki, segulung angin menerpa tiba mengarah mukanya, baru saja ia hendak berkelit tapi kuatir diketahui ia bisa main silat terpaksa pura-pura terhujung mundur dan tepat sekali terhindar dari serangan keras yang mengarah mukanya.   Melihat lecutannya tidak mengenai sasarannya, orang itu semakin marah, maju setapak ia ayun pula cambuknya menghajar kepada Thian-hi.   Thian-hi tak berani, menghindar lagi, sekali ia berkelit tentu bisa mengunjuk kepandaiannya silat, dia pun tak berani mengerahkan tenaga untuk melawan sekali kena pecut, kontan terasa kulitnya pedas dan kesakitan, waktu matanya melirik baju yang dipakainya sudah kojak2 kena pecutan, kulithja pun membekas segaris merah darah, Mendapat hasil orang itu semakin bernafsu, lagi-lagi pecutnya terayun tinggi, Thian-hi menjadi berangan, namun apa boleh buat betapapun ia tidak boleh mengunjuk kepandaiannya silat, terpaksa mandah saja kena lecut sampai babak belur.   Sambil menghajar orang itu memaki.   "Bocah keparat. Besar nyalimu berani menghalangi perjalanan rombongan dari istana, sudah bosan hidup ya?" sembari maki pecutnya sekali lagi melecat dengan keras. Baru saja ia hendak meneruskan hajarannya, dari kejauhan tiba-tiba seseorang berteriak mencegah.   "Hentikanlah!"   Dari luar kota sana mendatangi serombongan pasukan berkuda, penunggangnya mengenakan seragam Busu, Pemimpinnya yang terdepan adalah seorang laki-laki berperawakan tinggi besar berusia pertengahan, laki-laki tegap ini bertanya.   "Apakah Tan Siangkok ada?"   Begitu melihat laki-laki pertengahan umur ini orang itu berubah air mukanya, cepat ia turunkan tangannya, sahutnya.   "Ma-ciangkun, orang ini berani menghadang ditengah jalan, terpaksa harus kuhajar. Joli Siangya sebentar lagi bakal tiba."   Thian-hi angkat kepala mengamati laki-laki pertengahan yang dipanggil Ma-ciangkun itu, tampak mukanya kereng sikapnya gagah, kedua biji matanya berkilat terang, naga-naganya membekal Lwekang yang cukup tinggi juga.   Ma-ciangkun itu mengamati Hun Thian-hi sebentar lalu berkata.   "Kalau begitu jangan sampai mengejutkan Siangkok, orang ini biar kubawa pergi dia berani menghadang jalan, dihajar dua kali lecutan juga sudah cukup, bagaimana menurut maksudmu?"   Cepat orang itu membungkuk, sahutnya.   "Cukup hanya sekecap kata saja Ma-ciangkun boleh bawa orang ini."   Ma-ciangkun manggut kepala lalu mengulapkan tangan ke belakang, seorang bawahannya segera menuntun seekor kuda diberikan kepada Thian-hi, lalu katanya kepada Hun-hian-hi.   "Mau kau ikut aku!"   "Terima kasih akan pertolongan Ma-ciangkun!"   Sahut Thian-hi sambil menekuk dengkul kirinya.   Agaknya Ma-ciangkun itu sudah biasa mendengar pernyataan terima kasih, cukup ia goyang tangan saja terus membedal kudanya ke depan.   Sebetulnya Thian hi tidak mau ikut, namun melihat sikap Ma-ciangkun terpaksa ia naik ke atas kuda.   Punggungnya ada dua jalur berdarah bekas kena cambukan tadi, semua orang dikedua pinggir jalan yang menonton menjadi bergidik dan mengelus dada, Thian-hi sendiri juga menjadi kikuk dan malu ditonton begitu banyak orang.   Setelah melewati beberapa jalan raja dan membelok kesebuah gang besar tibalah mereka di depan sebuah gedung mentereng, Ma-ciangkun segera melompat turun dari atas kuda, para Busu pengawalnya segera mertuntun kudanya masuk.   Dengan langkah tegap dan cepat ia berjalan masuk naik undakan batu hijau, sikapnya sungguh gagah dan penuh wibawa.   Hun Thian-hi tidak tahu orang macam apakah Ma-ciangkun ini namun melihat sikapnya yang gagah dan perwira serta pakaiannya yang serba lengkap dengan pangkat militernya, tentu seorang pejabat tinggi pemerintahan, setelah turun dari kudanya ia berdiri menjublek tak tahu harus berbuat apa.   Setelah beranjak diundakan batu baru Ma-ciangkun seperti teringat kepadanya, segera ia merandek dan berpaling serta menggapai tangan, lalu berjalan masuk lagi.   Melihat orang memanggil dirinya dengan ragu-ragu akhirnya Thian-hi ikut beranjak masuk, setelah melewati pintu besar tibalah mereka disebuah ruang besar, Ma-ciangkun itu menanggalkan jubah perangnya seraya bertanya kepada Thian-hi.   "Siapa namamu?"   Thian-hi menjadi sangsi sesaat lamanya, menyebut nama aslinya pun tidak seorang pun yang bakal mengetahui, segera ia menjawab.   "Aku bernama Hun Thian-hi!"   Ma-ciangkun manggut-manggut, ujarnya.   "Sepak terjangmu dari kejauhan tadi sudah kulihat, kau cukup berani, dengan keadaanmu yang lemah itu kau berani menolong orang, sungguh tidak tahu diri. jikalau bukan karena bernasib baik sejak tadi kau sudah mampus."   "Terima kasih akan budi pertolongan Ma-ciangkun!"   Segera Hun Thian-hi menjura. Kelihatan Ma-ciangkun merasa simpatik terhadapnya, dengan tertawa ia berkata lagi.   "Tak perlu ditaruh dalam hati. Kulihat kau seorang sekolahan bukan?"   Tujuan Hun Thian-hi justeru hendak menutupi keadaan dirinya yang sebenar-benarnya, segera ia manggut-manggut serta menjawab dengan hormat.   "Benar, benar, aku seorang pelajar!"   Ma-ciangkun tertawa-tawa ujarnya.   "Kulihat usiamu masih terlalu muda, apalagi seorang pelajar yang punya keberanian yang pantas dipuji, sungguh sukar didapat, sungguh aku ketarik kepada kau, adakah famili lain dirumahmu?"   "Ajah bundaku sudah lama wafat, hanya aku sebatangkara!"   "Itulah baik,"   Ujar Ma-ciangkun sesaat berpikir.   "Kalau kau sudi, aku punya seorang putra, apakah kau mau jadi gurunya?"   Sungguh girang dan senang Thian-hi sukar dilukiskan. sungguh tak nyana olehnya baru pertama kali ia datang lantas mendapat tempat menetap yang cukup aman dan selamat, setelah terlongong sebentar ia menyaJhut.   "Terima kasih kepada Ma-ciangkun!"   "Sejak hari ini juga kau kuangkat menjadi guru anakku dan menempati bilik sebelah barat sana. Aku bernama Ma Bong-hwi, lekas kau pergi ganti pakaian dan menemui aku diruang belakang." Selesai bicara terus tinggal pergi ke dalam. Seorang pelayan segera membawa Thian-hi kesebuah kamar pakaian untuk mengganti bajunya yang sudah butut dan kojak2 tadi. tak lama kemudian ia sudah beranjak menuju keruang dalam. Gedung panglima besar ini kiranya cukup mentereng dan megah, segala perabotnya serba mewah, seorang pelayan menuntunnya menelusuri serambi panjang yang belak-belok ditanam bunga, lalu memasuki sebuah bangunan besar yang terdiri dari sebuah ruangan besar. Tampak Ma Bong-hwi sudah menunggu disana bersanding seorang wanita pertengahan umur. Selamanya Thian-hi belum pernah menghadapi keadaan serba megah dan angker ini, begitu memasuki kamar besar itu sikapnya menjadi prihatin dan kikuk, dengan laku hormat segera ia memberi hormat kepada Ma Bong-hwi dan wanita pertengahan umur itu. Disamping perempuan itu berdiri seorang laki-laki berusia 12-an, begitu melihat Hun Thian-hi masuk segera berpaling dan bertanya kepada Ma Bong-hwi.   "Ajah, apakah dia ini bakal guruku?"   Ma Bong-hwi manggut-manggut sambil berseri tawa, segera ia silakan Thian-hi duduk.   Tahu Thian-hi bahwa bocah laki-laki ini adalah bakal muridnya itu tanpa merasa ia awasi bocah ini dengan seksama, bocah ini cukup tampan dan jenaka, lincah lagi berani, sepasang biji matanya bundar bening mengawasi Hun Thian-hi tanpa berkedip, kelihatannya sangat nakal.   Segera Ma Bong-hwi memperkenalkan Hun Thian-hi, bocah itu bernama Siau-hou, Perempuan pertengahan umur itu adalah istrinya.   Ma Siau-hou meninggalkan ibunya, maju mendekati ke depan Hun Thian-hi lalu berputar mengelilingi Thjan-hi seperti memeriksa sesuatu barang yang menarik perhatiannya.   Hun Thian-hi menjadi jengah dan risi.   Dalam hati ia membatin; bocah ini cukup nakal, mungkin rada sukar mengatasinya. Segera Ma Bong-hwi mengucapkan kata-kata sapa-sapi sekadarnya serta menjelaskan keadaan dirinya.   dengan patuh Thian-hi mengiakan saja.   Akhirnya Ma Bong-hwi surah seorang pelayan mengantar Bun Thian-hi pergi memeriksa kamar dan ruang bukunya.   Di dalam kamar buku ini terletak sebuah harpa, terdapat sebuah meja tulis juga serta beberapa buah kursi, keadaan kamar tidurpun serba lengkap dan nyaman.   Dengan menghela napas panjang pelan-pelan ia duduk di atas sebuah kursi, pelayan itu segera minta diri terus keluar pintu.   Diam-diam Thian-hi merasa was-was dan hampir tidak percaya akan pengalaman sendiri, sungguh suatu pengalaman yang cukup aneh dan menggetarkan sanubarinya.   Tengah ya melayangkan pikirannya, mendadak terdengar derap langkah lirih tengah mendatangi, diam-diam ia terkejut, namun ia cukup waspada untuk tidak mengunjuk kepandaian silatnya, terpaksa ia pura-pura tidak dengar saja.   Tak lama kemudian derap langkah lirih itu sudah sampai di depan pintunya, dengan acuh tak acuh Thian-hi pura-pura tidak dengar, di dalam kamar ia berjalan bolak-balik menggendong tangan membelakangi pintu kamar.   Sesaat kemudian baru ia memutar tubuh, tampak orang itu adalah putra Ma Bong-hwi yang bernama Ma Siau-hou itu, dia tengah longak-longok ke dalam.   Begitu Thian-hi putar tubuh dan melihat dia, bocah itu menjadi kaget dan mengkeret sembunyi dibalik pintu, sesaat kemudian baru berani berjalan keluar.   Dengan tersenyum Hun Thian-hi segera menyapa.   "Ada urusan apa Siau-hou? Kemarilah!"   Pelan-pelan Ma Siau-hou berjalan masuk, dengan terlongong ia awasi Thian-hi, sesaat kemudian baru buka suara, katanya.   "Hun-losu (pak guru), aku datang untuk merundingkan suatu hal dengan kau!"   "Ada urusan apa boleh silakan silakan saja!"   "Aku tidak ingin membaca buku. dan kau pun tak usah ajarkan aku membaca?"   "Lalu apa yang hendak kau pelajari?"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kau bawa sebatang seruling, kau ajarkan aku meniup seruling saja, belajar membaca aku tidak suka!"   Thian-hi merenung sesaat baru menjawab.   "Kau mau belajar meniup seruling pun boleh, asal kau sudah belajar membaca lalu kuajarkan kau meniup seruling!"   "Tidak mau! Aku tidak punya begitu banyak tempo. Waktu yang lain aku harus berlatih silat"   Thian-hi menjadi serba sulit, bocah ini sungguh sukar dilayani, akhirnya ia mengada2 saja.   "Waktu terlalu panjang untuk belajar, aku bisa mengatur waktumu secukupnya."   Ma Siau-hou miringkan kepala berpikir.   tanpa bicara lagi segera ia berlari keluar.   Diam-diam Thian-hi mengerut kening, entah cara bagaimana ia harus menghadapi kebinalan bocah ini.   Tak lama kemudian cuaca sudah mulai gelap, setelah makan malam Thian-hi teringat akan Wi- thian-cit-ciat-sek pemberian Ka-yap Cuncia itu, sembunyi di dalam kamar tidurnya pelan-pelan ia keluarkan buku itu dan dibaca di bawah penerangan pelita.   Omslag buku tipis itu terbuat dari sutra halus, dengan saksama ia periksa dari halaman ke halaman terakhir, buku itu melulu memuat gambar2 manusia dalam berbagai bentuk dengan keterangan huruf yang cekak saja.   Seluruhnya ada tujuh jurus gerak pedang serta empat posisi duduk.   Keempat posisi duduk ini kelihatan rada baru, mungkin tambahan belum lama berselang.   Diam-diam Thian-hi membatin mungkin inilah posisi duduk pelajaran dari ilmu Pan-yok-hian-kang, Dengan saksama Thian-hi memeriksa dan mempelajari ajaran Wi-thian-cit-ciat-sek yang menggetarkan kolong langit ini, sesaat ia menjadi melongo, beruntun ia membalik lembar demi lembar, ternyata ketujuh gambar jurus ilmu pedang itu semuanya sama dan persis benar-benar.   Keruan bukan main kejut hatinya, setelah diteliti dari sebarisan huruf2 kecil yang memberi keterangan itu baru ia paham duduk perkara sebenar-benarnya, tampak di baris paling depan ada sebuah pernyataan yang cukup serius, huruf2 itu berbunyi; Perhatian: Tanpa mempelajari Pan- yok-hian-kang, takkan dapat menyilami intisari Wi-thian-cit-ciat-sek."   Baru sekarang Thian-hi dapat menghela napas berlega hati, segera ia tutup buku itu, rada lama kemudian baru ia buka pula, setelah sampai halaman terakhir ia amat-amati posisi2 duduk itu dengan seksama, dibawahnya ada kalimat yang memberi penjelasan dan keterangan prakteknya dengan sempurna.   Perlahan-lahan ia mendongak sambil menepekur sesaat kemudian baru mendadak seperti teringat memahami, sekali lagi ia meneliti keempat posisi duduk itu, lalu memadamkan pelita, duduk bersila mulai memusatkan pikiran dan berlatih.   Di luar dugaan latihannya berhasil dengan baik, hawa murni dapat dituntun berputar selingkaran dalam tubuhnya, waktu ia membuka mata terasa badannya enteng segar dan nyaman, keruan girang hatinya bukan buatan, memandang keluar jendela, kelihatan cuaca sudah terang tanah.   Segera ia bangun dan berjalan keluar, dengan langkah ringan ia memasuki taman bunga.   Mendadak didengarnya suara orang mendatangi, sekilas saja lantas ia tahu itulah Ma Bong-hwi beserta anaknya, mereka tengah mendatangi ke arahnya.   Thian-hi berpaling ke kanan kiri, jelas tiada tempat untuk sembunyi terpaksa pura-pura tidak tahu dan tidak dengar saja terus berlenggang ke depan sambil menikmati bunga2 yang mekar segar.   Sebentar saja Ma Bong-hwi dengan Ma Siau-hou sudah mendekat, begitu melihat Hun Thian-hi, Hun Thian-hi segera menyapa lebih dulu.   "Ma-ciangkun! Selamat pagi!"   Ma Bok-hwi juga berseri tawa, sahutnya.   "Kau juga bangun pagi2 benar-benar, matahari belum lagi terbit kau sudah berada disini. Apakah semalam tidurmu nyenyak?"   Belum lagi Thian-hi sempat menjawab, dari samping Siau-hou sudah menyela dengan suara keras.   "Kenapa ayah perlu tanya lagi, tentu dia mengatakan tidur nyenyak sekali."   "Hus, bocah kecil sembarangan omong!"   Segera Ma Bong-hwi membentak anaknya. Thian-hi mandah tertawa tawar saja tanpa bersuara. Siau-hou berkata lagi.   "Ajah! Pak guru pintar meniup seruling, suruh dia mengajar aku. Aku tidak mau belajar membaca."   Ma Bong-hwi pelototi Siau-hou lalu berkata kepada Hun Thian-hi.   "Kau bawa sebatang seruling, tentu kau pandai meniupnya, kalau ada tempo tiada halangannya kau ajarkan Siau-hou."   Hun Thian-hi tersenyum, jawabnya.   "Seruling ini kuperoleh dari seorang Cianpwe sebagai tanda kenangan. Aku sendiri tidak begitu baik meniupnya, digantung disini juga sebagai perhiasan saja!"   "Pak, guru!"   Seru Siau-hou sambil berlari ke depan Hun Thian-hi.   "bolehkah pinjam lihat serulingmu ini?"   Hun Thian-hi tanggalkan serulingnya lalu diberikan kepada Siau-hou, dengan saksama Siau-hou membolak-balik dengan semaunya, katanya.   "Bagus sekali Bolehkah kuperlihatkan kepada bibiku?"   "Siau-hou,"   Segera Ma Bong-hwi membentak.   "lekas kembalikan, mana boleh begitu nakal."   Dengan cemberut dan monyongkan mulut Ma Siau-hou angsurkan kembali seruling itu kepada Thian-hi. Ma Bong-hwi berkata lagi.   "Aku akan berlatih silat kesana dengan Siau-hou, silakan kau jalan- jalan dalam taman bunga ini."   Thian-hi manggut sambil mengiakan.   mengantar Ma Bong-hwi dan putranya pergi jauh dengan pandangan mendelong, dalam hati ia membatin; bocah ini sungguh binal dan susah dilayani. Hun Thian-hi tak punya selera jalan-jalan lagi, setelah berputar rada jauh lalu kembah ke kamarnya.   Setelah makan pagi, tampak Ma Siau-hou berlari datang, tangannya menjinjing sebatang seruling kehitaman terbuat dari besi.   Begitu masuk pintu Ma Siau-hou lantas berlari duduk di atas sebuah kursi bundar katanya tertawa kepada Thian-hi.   "Kau boleh mulai ajarkan aku meniup seruling. Baru saja kutemukan. seruling ini!"   Hun Thian-hi mengerut kening, katanya.   "Baik! Lagu apa yang suka kau pelajari?"   Ma Siau-hou berpikir sambil miringkan kepalanya, pikir punya pikir akhirnya ia berkata.   "Aku juga tidak tahu, lagu apa yang sering dipetik oleh bibi."   Berhenti sebentar lalu melanjutkan sambil loncat berdiri.   "Kau tunggu sebentar, ada se   Jilid buku musik, biar kuambil kemari."   Habis berkata lalu berlari-lari pergi. Thian-hi jadi berpikir cara bagaimana baru ia berhasil memberi pelajaran kepada Ma Siau-hou, tak lama kemudian Ma Siau-hou memburu tiba pula serta berseru kepada Thian-hi.   "Coba lihat, kubawa kemari!"   Begitu melihat buku yang dibawa Ma Siau-hou itu kontan berubah air muka Hun Thian-hi. Buku musik yang tipis dan sudah tua itu di atas sampulnya ada tertera tulisan yang berbunyi.   "Tay- seng-ci-lao." (Lagu sempurna abadi). Hun Thian-hi adalah murid Lam-siau (seruling selatan), aliran Lam-siau dapat menggetarkan Bulim lantaran ilmu pelajaran Thian-liong-cit-sek dan Siau-im-pit-hiat, terutama pelajaran menutuk jalan darah menggunakan gelombang irama serulingnya ini, sudah tentu hasil pelajaran yang sempurna ini membuat Hun Thian-hi tambah luas dan dalam mengenai pengetahuan musik, waktu mulai terjun kedunia persilatan ia sudah menggemparkan Kangouw karena berhasil menutuk roboh begitu banyak gembong silat ternama, namun sejak itu tiada kesempatan menggunakan lagi, sebab setiap musuh yang dijumpai belakangan Lwekangnya semua cukup tinggi dan lebih lihay dari kemampuannya. Dari penuturan gurunya ia tahu bahwa waktu kakek gurunya masih hidup, hanya karena dapat mencangkok sebagian dari "Tay-seng-ci-lao"   Ini sehingga ia cukup malang melintang menjagoi Kangouw.   Tapi sejak kakek mojang meninggal pelajaran ini tidak diturunkan kepada gurunya, sekarang, Tay-seng-ci-lou ternyata muncul di tempat ini.   Betapa ia takkan kejut dan heran.   Sebelumnya ia tidak pernah perhatikan siapakah bibi Siau-hou itu tapi sekarang membuatnya was-was dan waspada, gedung besar ini kiranya juga menyembunyikan seorang tokoh aneh, semula ia menyangka dirinya bisa aman dan tentram sembunyi di tempat ini, ah sungguh menggelikan.   Sebentar ia mem-balik-balik, airmukanya semakin pucat, cepat ia berkata dengan nada rendah.   "Siau-hou! Kau tak boleh ambil buku ini, lekas kembalikan!"   Baru saja suaranya lenyap, muncullah seorang gadis diambang pintu kamarnya, begitu Siau- hou menoleh lantas berdiri dan berteriak.   "Bibi!"   Gadis itu tanpa buka bicara, cepat-cepat ia meraih buku Tay-seng-ci-lao itu lalu bergegas keluar lagi dengan terburu-buru.   Gadis itu pergi datang begitu cepat, sehingga Thian-hi tak berhasil memperhatikan wajahnya, yang jelas ia mengenakan pakaian serba hijau mulus, perawakannya langsing menggiurkan, selain itu tiada apa yang dapat disimpulkan.   Namun untuk sekilas saja cukup membuat jantung Thian-hi mendebur keras, diam-diam ia mengeluh celaka, kalau darinya pura-pura tidak tahu masih mending, tadi ia suruh Siau-hou mengembalikan, kalau ucapannya ini didengar oleh bibinya itu, wah, bukankah membongkar jejaknya sendiri.   Sesaat kemudian baru pikirannya tenang kembali, dilihatnya Siau-hou masih menjublek diam, akhirnya ia angkat kepala berkata kepada Thian-hi.   "Selamanya bibi belum pernah bersikap begitu kasar terhadap Siau-hou, buku itu telah direbutnya kembali."   Hati Thian-hi semakin gelisah, lebih jelas lagi ucapan Siau-hou, bahwa bibinya itu tentu sudah mengetahui kedok aslinya. Pikir punya pikir akhirnya ia keluarkan serulingnya, katanya.   "Kau ingin belajar meniup seruling? Tapi kau harus tahu, untuk meniup seruling sebelunnnya kau harus belajar teorinya dulu, dan untuk mempelajari teori ini kau harus belajar membaca pula, semakin pintar membaca, cara meniup serulingnya pun semakin bagus."   Habis berkata ia angKat serulingnya, mulai meniup sebuah lagu kanak-kanak yang sangat popular di Kang-lam, yaitu lagu dendang jenaka, iramanya mengalun lincah dan merdu, sekian lama Siau-hou sampai terpesona mendengarkan.   Mendadak Thian-hi menghentikan lagunya serta berkata.   "Siau-hou kau suka lagu ini? Apa kau mau belajar? Saking girangnya Ma Siau-hou manggut-manggut sekuat tenaganya. Hun Thian-hi ada ganjalan hati, maka segera ia mengakhiri sampai disitu saja, katanya.   "Untuk belajar meniup kau harus belajar membaca dulu hari ini cukup sekian saja. Besok boleh dimulai!"   Ma Siau-hou lari pergi berloncatan, diam-diam ia berpikir, aku harus belajar lebih pandai meniup seruling dari guru.   Thian-hi jadi tersenyum geli, tahu ia bahwa Siau-hou sekarang sudah punya kegemaran, apalagi sudah punya kepercayaan terhadap dirinya, mau dengar kata nasehatnya lagi.   Entahlah apakah bibinya itu bakal membongkar rahasianya tidak.   Duduk seorang diri di dalam kamar ia menjadi bebal dan gundah.   Diam-diam terpikir oleh Thian-hi.   "Orang macam apakah sebenar-benarnya bibi Siau-hou itu."   Begitulah sampai lohor, keadaan masih tetap sunyi aman, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.   Thian-hi sendiri menjadi tidak sabar lagi segera keluar dari kamar bukunya terus berjalan keluar gedung.   Maksudnya.   hendak jalan-jalan dan melihat-lihat keadaan kota besar ini, tempo hari ia belum sempat menyaksikan keramaian kota seluruhnya.   Para Centing banyak yang sudah mengenal dirinya, maka dengan leluasa ia dapat keluar gedung.   Setelah berada diluar pintu gerbang Thian-hi.   menyelusuri jalan bear terus berlenggang ke depan, dilihatnya didua sisi jalan semua adalah bangunan gedung besar dan mentereng, naga- naganya jalan ini merupakan komplek perumahan para pejabat tinggi pemerintah setempat.   Thian-hi berjalan terus sambil menikmati pemandangan beraneka warna dari bangunan gedung yang banyak ragam dan modelnya, tapi sebegitu banyak keadaan disini tidak ubahnya seperti keadaan kota2 besar di Tionggoan, boleh dikata tiada perbedaannya yang menyolok.   Thian-hi berlenggang terus ke depan, dari depan sana berjalan pelan-pelan mendatangi seekor kuda putih yang ditunggangi seorang pemuda ganteng mengenakan jubah sutra yang serba perlente.   Tangannya pelan-pelan mengayun dan mempermainkan pecut pendek, wajahnya berseri tawa riang gembira, mungkin hatinya sedang senang.   Dimana kudanya lewat orang-orang yang berlalu lalang di jalan segera menyingkir memberi jalan, sedapat mungkin menyingkir jauh, seolah-olah ada sesuatu di atas pemuda itu yang menakutkan.   Thian-hi sendiri menjadi heran, dengan seksama ia perhatikan Kongcu jubah sutra itu, wajahnya kelihatan tersenyum simpul, mulutnya bersiul-siul riang, entah kenapa orang itu menyingkir ketakutan.   Sementara itu tunggangan Kongcu jubah sutra itu sudah mendekat, sekilas dilihatnya Hun Thian-hi berdiri di tengah jalan tiada niat menyingkir, kontan wajahnya cemberut dan kurang senang, segera ia menghentikan kudanya, baru Thian-hi tersentak sadar, tersipu-sipu ia menyingkir ke pinggir jalan, dalam hati ia membatin.   "Sekali2 aku tidak boleh membuat keributan disini!"   Kongcu itu tersenyum lagi, baru saja hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnya sebatang seruling putih gading yang tergantung di pinggang Thian-hi itu, segera ia berseru.   "Hai, berhenti, kemari kau!"   Hun Thiah-hi melengak, tak tahu dimana ia telah membuat salah terhadap Kongcu ini, setelah membalik tubuh ia berdiri di tempatnya mengawasi Kongcu perlente itu.   "Apa kau tidak kenal aku sebagai putra kesayangan dari Sianghu (istana) yang bernama Tan Goan-mo?"   Demikian tanya Kongcu itu uring-uringan. Hun Thian-ki kaget tersipu-sipu ia membungkuk sambil menyapa.   "Kongcu! kau baik, entah untuk apa kau panggil aku?"   Tan Goan-mo mendengus hidung, ujarnya.   "Ternyata kau kenal aku juga, kenapa tadi tidak menyapa lebih dulu, apa aku dulu yang harus menyapa kepada kau?"   Apa kerjamu disini."   Thian-hi tidak ingin membuat perkara, segera ia minta maaf.   Anggapannya dengan minta maaf tentu urusan menjadi beres, diluar tahunya bukan saja urusan selesai sampai disitu malah hampir saja merembet kepada Ma Bong-hwi.   Sayang tadi ia tidak mengatakan bahwa dirinya sebagai guru sekolahan di gedung kediaman Ma-ciangkun, tentu selanjutnya tiada perkara apa lagi.   "Baru sekarang kau minta maaf demikian jengek Tan Goan-mo.   "Kau berani kurang ajar kepada aku, maka serahkan seruling di pinggangmu itu sebagai penebus dosamu."   Thian-hi semakin tertegun bingung, sahutnya.   "Mana boleh jadi!"   Berubah air muka Tan Goan-mo, teriaknya.   "Apa? Tidak boleh? Mari kau ikut aku ke gedung balai kota!"   Diam-diam timbul hawa amarah Thian-hi, tapi setelah dipikir lebih lanjut segera ia berkata.   "Tan-kongcu, seruling ini adalah tanda mata yang diberikan oleh seorang Cianpwe mana boleh diberikan kepada orang lain! Kalau Kongcu ingin memiliki seruling kelak tentu kucarikan sebatang yang lain yang lebih bagus lagi!"   "Bedebah!"   Maki Tan Goan-mo dengan murka.   "Tar!"   Cambuknya melecut mengenai dagu Thian-hi, Thian-hi menjadi gemas dan membatin; kenapa keluarga dari Sianghu begitu brutal dan bersimaharaja! Sementara itu pecut Tang Goan-mo sudah menyamber tiba lagi, cepat-cepat Thian-hi melangkah mundur menghindar.   "Berani kau berkelit?"   Maki Tar Goan-mo lebih murka, lagi-lagi pecutnya terayun menghajar kepada Thian-hi.   Sudah tentu Thian-hi tidak mau dihajar semena-mena, ia berhasil menghindar lagi.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Keruan semakin berkobar amarah Tan Goan-mo.   Dari sebelah belakang mendatangi pula seekor kuda, Tan Goan-mo segera berpaling dan berteriak.   "Hoan Kim-pa! Mari kau bantu menghajar bocah kurangajar ini!"   Waktu Thian-hi angkat kepala, dilihatnya pendatang ini adalah seorang laki-laki besar bermuka hitam mengenakan pakaian warna hijau, mendengar teriakan Tan Goan-mo segera ia melompat turun katanya kepada Tan Goan-mo.   "Kongcu, siiakan kau lihat saja!" sambil menenteng cambuknya yang besar dan panjang ia mendekati Thian-hi. Bercekat hati Thian-hi, kelihatannya laki-laki ini bukan orang biasa, agaknya membeka! kepandaian silat yang cukup lumajan, pakaiannya sederhana dan preman, mungkin bukan orang dari istana atau anggota Busu. Sambil menyeringai sadis Hoan Kim-pa mengayun cambuknya, Tar! Tar! langsung ia memecut ke arah Thian-hi. Sudah tentu Thian-hi tidak rela dihajar begitu saja, cepat ia mundur ke belakang dua langkah dengan pura-pura terhujung, untung bisa terhindar. Namun ayunan cambuk Hoan Kim-pa tidak berhenti, lagi-lagi ia melangkah maju, beruntung ia memecut lagi dua kali. Kedua serangan pecut terakhir ini sebetulnya sudah tak mungkin dihindari lagi. Betapa murka hati Thian-hi, namun terdesak oleh keadaan, apa boleh buat ia berusaha mundur lagi selangkah, ia berhasil menghindari pecutan pertama, sedang pecutan kedua dengan telak mengenai pundaknya, kontan bajunya sobek, pundaknya pun berdarah. Hampir Thian-hi tak kuasa menahan gelora amarah hatinya, cara turun tangan Hoan Kim-pa ini sungguh sangat kejam dan keji, bila ada kesempatan pasti kubalas penasaran ini. Hoan Kim-pa menyeringai semakin kejam, ia mendesak lebih dekat lagi. Sekonyong-konyong terdengar suara kelintingan yang riuh dan congklang kuda yang ramai tengah mendatangi. Seketika berubah air muka Tan Goan-mo, cepat ia ulurkan tangannya, segera Hoan Kim-pa menurunkan cambuknya. Sebuah kereta kencana yang terukir indah ditarik enam ekor kuda putih berlari kencang mendatangi, yang mengendalikan kereta ternyata adalah seorang gadis rupawan berbaju merah, begitu cepat keretanya mendatangi, melihat keramaian ini segera ia berseru heran dan menghentikan kereta, meski dengan cekatan ia berhasil menghentikan kudanya tak urung kudanya sudah melampaui ke depan tiga tombak jauhnya, segera ia putar keretanya mendekat ke arah mereka bertiga. Tersipu-sipu Tan Goan-mo maju menyapa dengan hormat.   "Tuan putri! apa kau baik?"   Ganti berganti Tuan putri mengawasi mereka bertiga lalu bertanya kepada Tan Goan-mo.   "Apa yang telah terjadi disini?"   Tan Goan-mo tersenyum, sahutnya.   "Orang ini punya sebatang seruling pualam semu merah, aku ingin membelinya untuk dipersembahkan kepada Tuan putri, tapi orang ini tidak mau menjual"   Sementara itu, Hun Thian-hi juga sudah mengamati Tuan putri itu, matanya begitu bening dan jeli, sungguh seorang putri remaja yang cantik rupawan, begitu mahir ia mengendalikan keretanya, mungkin sudah biasa, demikian ia membatin.   Di lain pihak Tuan putri juga tengah mengawasi Thian-hi, katanya kepada Goan-mo.   "Jika dia tidak suka jual ya sudah, apa kau telah memukul dia?"   Tan Goan-mo berpaling ke arah Thian-hi dengan mata mendelik gusar, lalu menjawab pertanyaan Tuan putri dengan tertawa.   "Seruling pualam semu merah itu sungguh baik sekali, bukankah Tuan putri paling gemar warna merah. Maka aku ingin membelinya untuk Tuan putri."   Mulut Tuan putri mengiakan dengan lirih, lalu berkata kepada Thian-hi.   "Seruling pualam semu merah milikmu itu bolehkah kupinjam lihat sebentar?"   Hun Thian-hi bersangsi sebentar, lalu menanggalkan serulingnya diangsurkan kepada Tuan putri.   Dengan seksama Tuan putri perhatikan seruling itu, kelihatannya sangat ketarik, ia mendongak ke arah Thian-hi, melihat sikap Thian-hi yang wajar tiada maksud hendak berikan kepada dirinya, ia menjadi kecewa, apa boleh buat akhirnya ia kembalikan kepada Thian-hi.   Dengan kedua tangannya Thian-hi menerima kembali serulingnya, Tuan putri lantas tanya pula.   "Kau bisa memiliki seruling sebagus ini, tentu bukan sembarangan orang, dimana kau tinggal sekarang?"   Sejenak beragu Thian-hi lantas menjawab.   "Aku tinggal di gedung Ma-ciangkun."   "Di gedung Ma-ciangkun?"   Tanya Tuan putri menegas. Thian-hi manggut-manggut. Dari belakang sana mendatang sepasukan pengawal yang mengenakan mantel serba merah. Tuan putri berpaling seraya berkata.   "Aku harus segera pulang, kalian tidak perlu bertengkar lagi."   Selesai berkata ia ayun pecutnya membedal kuda keretanya kencang-kencang. Rombongan pengawal merah itu segera mengejar di belakangnya. Dengan murka Tan Goan-mo pandang Hun Thian-hi, dengusnya dingin.   "Kiranya warga dari Ma-ciangkun, tak heran berani bertingkah terhadap aku Tan Goan-mo!" lalu ia ulapkan tangan bersama Hoan Kim-pa naik kuda tinggal pergi, kejap lain mereka sudah menghilang di pengkolan jalan. Setelah Tan Goan-mo tak kelihatan, Thian-hi masih berdiri menjublek, hatinya berpikir anggota keluarga dari Sianghu kenapa begitu telengas dan bertingkah kasar. Mungkin negeri ini tidak begitu makmur dan aman sentosa. Tapi entahlah Siangkok (perdana menteri) seorang baik atau orang jahat kejam. Hilang selera jalan-jalannya tadi, segera ia jalan pulang, ditengah jalan teringat pula akan bibi Siau-hou yang serba misterius itu, entah bagaimana keadaannya sekarang, sebetulnya orang macam apakah dia, Tay-seng-ci-lau kenapa bisa berada di tangannya. Demikian Thian-hi bertanya-tanya dalam hati. Sekembali Thian-hi di gedung Ma-ciangkun, sampai petang mendatang keadaan masih tetap tenang dan tiada terjadi apa-apa, lambat laun Thian-hi baru merasa tentram. Malam itu, ia mengulang lagi pelajarah Pan-yok-hian-kang. Hari kedua baru ia mulai ajarkan Siau-hou meniup seruling dan membaca buku. Sebagai murid tunggal Lam-siau, Lam-siau sebagai keturunan aliran kenamaan pula di daerah Kanglam, seluruh kepandaian sastra dan ilmu silatnya sudah diturunkan semua kepada Thian-hi. Untuk mengajar kepada Siau-hou adalah soal sepele bagi Thian-hi. Apalagi Siau-hou sangat ketarik dan punya minat besar mempelajari Seruling, sudah tentu segala petunjuk dan nasehatnya dipatuhi. Sang waktu berjalan dengan cepat tanpa terasa, tahu-tahu tiga bulan sudah lewat, waktu pertama kali datang, beruntun terjadi dua perkara, sejak itu ia tidak berani keluar pintu lagi, dengan tekun ia memperdalam pelajaran Pan-yok-hian-kang. Agaknya kerjaan Ma Bong-hwi juga sangat banyak dan sibuk, jarang mereka bertemu muka. Selama itu belum pernah ada kesempatan ia melihat bibi Siau-hou, waktu yang cukup lama ini sudah mempererat hubungannya dengan Siau-hou semakin intim. Tiga bulan telah lewat, diam-diam Thian-hi berpikir; sudah tiga bulan aku mempelajari Pan-yok- hian-kang, kalau sekarang aku mulai mempelajari Wi-thian-cit-ciat-sek, kukira tiada halangannya. Setelah hari menjadi gelap ia mulai mem-balik-balik buku pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek. Dari jurus pertama secara seksama ia perhatikan ganti berganti sampai jurus ketujuh, setelah selesai diam- diam bercekat sanubarinya. Tiga bulan yang lalu waktu ia melihat ketujuh jurus itu kelihatannya serupa dan tiada perbedaannya, namun sekarang terasa jauh berlainan sama sekali. Ketujuh jurus ini hanya terpaut beberapa mili saja, namun di dalam pergerakan pedang yang hanya beberapa mili dalam waktu singkat itu, ternyata tersembunyi kekuatan yang luar biasa besarnya. Diam-diam kejut dan girang pula hatinya, dengan penuh perhatian ia menekuni dan mempelajari dengan hati-hati, namun sedemikian jauh ia masih kurang paham cara bagaimana ia harus menggunakan tenaga besar yang tersembunyi itu Begitulah dilihat lalu dipikir, dipikir dan diperiksa lagi dengan seksama, tanpa merasa ia habiskan waktu semalam suntuk tanpa membawa hasil. Malam kedua ia menyelami pelajaran Wi-thian-ci-ciat-sek lagi kira-kira sampai tengah malam, terasa sesuatu keganjilan olehnya, mendadak diluar diatap rumah sana ia mendengar lambaian ujung baju orang berjalan malam. Thian-hi terkejut, timbullah kewaspadaannya, cepat ia padamkan pelita dan menyimpan buku Wi-thian-cit-ciat-sek ke dalam bajunya, dengan tenang ia duduk menanti dan mendengarkan dengan cermat. Orang itu berjalan berputar-putar di atas genteng, tahu Thian-hi bahwa orang ini pasti bukan lewat jalan saja, terang sengaja sedang mencari tahu atau main selidik, entah siapa dan darimana dia bernyali besar berani meluruk ke gedung Panglima besar. sedikit mengempos napas ringan sekali Thian-hi melayang keluar dari jendela terus berkelebat sembunyi di bawah atap. Selepas pandangannya yang cukup tajam pada malam hari, kelihatan orang itu masih terpaut puluhan tombak disebelah sana, rupanya tidak begitu tegas, hanya kelihatan muka sampingnya mengenakan pakaian serba hitam legam, ia berdiri sekian lama, seolah-olah sedang berpikir apa- apa. Diam Thian-hi membatin.    Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini