Badik Buntung 15
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 15
Badik Buntung Karya dari Gkh "Belakangan ini aku pun suka meniup seruling, apakah kau sudi mengajarkan aku?" Demikian ujar tuan putri. "Mana aku berani mengajarkan kepada tuan putri!" Tersipu-sipu Thian-hi mengiakan. Tuan putri tak hiraukan ucapan Thian-hi dari dalam lengan bajunya ia mengeluarkan seruling terus diangsurkan kepada Thian-hi sembari berkata. "Coba kau periksa bagaimana seruling ini?" Terpaksa Thian-hi menerima seruling itu, tampak seruling ini begitu mulus dan bening laksana terbuat dari kaca, waktu dipegang terasa hangat, seluruh batangnya terukir sembilan naga bergulat seperti sedang bermain di tengah angkasa, kelihatannya jauh lebih bagus dari seruling miliknya itu. Tuan putri tertawa bangga, ujarnya. "Bagaimana? Tidak kalah bukan dibanding serulingmu?" Thian-hi tersenyum, katanya. "Seruling tuan putri ini jauh lebih bagus dari serulingku!" Tuan putri berkata. "Coba kau tiup sebuah lagu untuk kudengar!" Thian-hi melengak, tanyanya. "Sekarang juga?" Tuan putri manggut-manggut. "Ya, sekarang juga!" Thian-hi menjadi bimbang, katanya. "Tiupan serulingku tidak begitu mahir, semoga tidak menjadi buah tertawaan tuan putri." Tuan putri manggut-manggut, dengan mendelong ia perhatikan Thian-hi serta menanti. Pelan-pelan Thian-hi angkat seruling kedekat mulutnya, sejenak ia berpikir lalu mulai memup seruling melagukan sebuah irama yang halus mengalun pelan, itulah lagu indahnya alam, nada lagunya rendah dan datar mengembang laksana mega berlalu seumpama air mengalir terus mengalun tak putus2. Sedemikian merdu dan mempesonakan irama seruling lagu Indahnya alam ini sehingga Tuan putri dan kedua dayangnya terlongong kesima, sekian lama setelah lagu selesai ditiup baru Tuan putri menghirup hawa segar, katanya. "Selamanya belum pernah kudengar irama seruling sedemikian bagus, sungguh enak dan menyegarkan badan, seharusnya kau menjadi guru musik saja." Thian-hi tertawa-tawa, ujarnya. "Tiupan serulingku masih kurang sempurna, tak perlu dibanggakan. Sebetulnya Ma-ciangkun." Sebetulnya ia hendak menyinggung soal Ma Gwat-sian, tapi serta dipikir menjadi kurang enak rasanya, maka segera ia urungkan. "Kau cukup pintar dalam ilmu silat dan sastra, aku menjadi kurang paham dari mana Ma- ciangkun dapat mencari orang sepandai kau ini." "Tuan putri terlalu memuji, sebenar-benarnya bisaku juga sangat terbatas!" "Apakah kau mau sering kemari menemani aku?" "Apa?" Tanya Thian-hi melongo. "Maksudku, tiupan serulingmu begitu bagus, selanjutnya seringlah datang mengajarkan kepada aku!" Hun Thian-hi tersenyum getir, sahutnya. "Aku kuatir tidak mungkin!" "Apa kau tidak sudi?" Thian-hi serba sulit tak tahu cara bagaimana harus menjawab, terpaksa ia meng-ada2 saja katanya. "Tuan putri juga tahu, tadi aku sudah gagal dalam tugas pertama, kehilangan Ce-kim-cu merupakan kelalaianku, sehingga Ma-ciangkunlah yang ketimpa akibatnya, hatiku." "Tak perlu kau takut menghadapi urusan itu, biar aku yang mintakan ampun kepada ayah baginda bagi kau dan Ma-ciangkun, ayah baginda tentu melulusi!" "Sekali2 tuan putri tidak boleh berbuat demikian. Hatiku akan lebih menyesal lagi, kebaikan tuan putri sungguh Huh Thian-hi menyatakan banyak terima kasih." Dengan tajam tuan putri pandang Hun Thian-hi, katanya. "Kau ini sungguh sombong, kebaikan lain orang sedikit pun kau tidak mau terima, untung aku ini seorang tuan putri, kalau tidak betapa kau akan lebih sombong lagi." Thian-hi menjadi tergagap dan tak kuasa menjawab lagi, diam-diam ia membatin dalam hati, apakah begitu watakku, demikian ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah sikapku ini betul? Tuan putri tertawa, ujarnya. "Bila Giok-hud sampai hilang pula nanti malam, apakah kau hendak berpeluk tangan saja melihat seluruh keluarga Ma-ciangkun dipenggal kepalanya?" Thian-hi terlongong diam, sesaat kemudian baru menjawab. "Terima kasih tuan putri!" "Hari ini cukup sekian saja, mungkin ayah baginda mencari aku, aku harus segera pulang, kau sendiri juga lekas keluar dari tempat ini!" habis berkata lalu balik masuk ke dalam sebentar saja bayangan punggungnya menghilang dibalik rumpun kembang. Diam-diam bergejolak perasaan Thian-hi, sungguh ia merasa sangat terima kasih dan haru, tuan putri ternyata seorang budiman yang baik hati, tapi sayangnya ia dilahirkan dalam kalangan bangsawan, mungkin dia tidak menyadari betapa culas hati manusia yang sedang saling berebutan kekuasaan harta dan kedudukan. Tanpa merasa ia menghela napas rawan, sekonyong-konyong ia merasa tangannya masih memegang sebuah benda apa, waktu menunduk kiranya seruling itu masih belum sempat ia kembalikan kepada tuan putri. Keruan ia menjadi bingung dan menjublek sekian lama, tak mungkin ia mengejar ke dalam terpaksa dalam kesempatan lain saja baru bisa dikembalikan. Thian-hi tak berani tinggal terlalu lama di tempat terlarang ini, sambil menyimpan seruling ke dalam bajunya bergegas ia lari keluar dari taman bunga, Waktu sampai di bilangan istana luar tampak Ma Bong-hwi tengah ubek2an mencari dirinya, melihat kedatangannya cepat ia bertanya. "Thian-hi, kemana kau, sukar mencari kau!" "Maaf toako, secara tidak sadar aku melanggar masuk kebun, tadi bicara sebentar dengan tuan putri!" "Kau ketemu dengan tuan putri?" Ma Bong-hwi menegas dengan terbelalak. Thian-hi manggut-manggut. Ma Bong-hwi menghela napas panjang, ujarnya. "Untung kau masih bisa keluar lagi. Selanjutnya jangan sembarang terobosan!" Thian-hi mengiakan. Selanjutnya mereka berdua pergi istirahat untuk menghimpun semangat supaya nanti malam lebih segar menjaga Giok-hud (patung Budha). Thian-hi duduk samadi di atas dipan dalam sebuah kamar khusus yang disediakan untuk dirinya, dalam kesunyian ini ia dapat melatih Pan-yok-hian- kang. Tanpa merasa waktu ia selesai dalam latihannya cuaca sudah gelap, pelita juga suaah dinyalakan, bergegas ia keluar menemui Ma Bong-hwi, tampak muka orang kejut dan semangatnya lojo, terang ia tidak bisa tidur. Ma Bong-hwi masuk ke dalam istana mengeluarkan Giok-hud, tampak Patung Budha ini tinggi tiga inci seluruh patung ini mengkilap bening terbuat dari pualam pilihan, betul-betul merupakan barang antik yang tak ternilai harganya. Ma Bong-hwi segera suruh anak buahnya memasang tangga dan perintahkan supaya patung Budha ini ditaruh di atas belandar. Mendadak Thian-hi tersentak oleh sebuah pemikiran lain, cepat ia berkata. "Ma-ciangkun! Siapa yang mengusulkan supaya patung ini diletakkan di atas belandar?" "Ing-ciangkun yang mengusulkan, menurut hematku memang tepat diletakkan disana, apakah kurang tepat tempat itu?" Tergerak hati Thian-hi, teringat olehnya akan kecurigaan Ma Gwat-sian yang mengatakan kalau Ing-ciangkun ini kurang dapat dipercaya, segera ia buka suara. "Hari ini lebih baik kita tidak meletakkan patung ini di atas belandar, coba sekali ini diletakkan di lantai saja!" Semula Ma Bong-hwi beragu, akhirnya setuju juga meletakkan patung Budha itu di atas lantai, ternyata malam itu berlalu dengan tenang dan aman tanpa terjadi suatu apa. Hari kedua semua tercengang dan kejut2 heran. Ma Bong-hwi sendiri juga merasa heran dan takjup. Memang Ce-kim-cu itu hilangnya secara misterius. Apakah belandar besar itu yang kurang beres? Bagaimana mungkin pencuri itu datang pergi begitu cepat tanpa suara lagi seakan-akan bisa menyulap Ce-kim-cu itu masuk ke dalam kantongnya sendiri Sungguh aneh! Thian-hi sendiri sudah curiga sejak mula bahwa di atas belandar itu tentu ada rahasianya. Mengandal taraf kepandaian Lwekangnya, betapapun pencuri itu takkan dapat lolos dari pengawasan begitu saja, kecuali pencuri itu sebelumnya memang sudah sembunyi di atas belandar, bila sembunyi di atas memang orang di bawah tak dapat melihat, waktu perhatian semua orang di bawah sedang terpencar gampang saja ia mengambilnya, namun orangnya masih sembunyi di sana, tanpa dapat meninggalkan tempat sembunyinya itu, kalau tidak, tiada alasan tanpa perbuatannya itu bisa konangan oleh begitu banyak orang. Tapi analisa ini pun tidak mungkin terjadi, bila orang itu tetap sembunyi di atas, siang hari lebih tak mungkin bisa lari, masa dalam sehari semalam dia bisa tahan lapar dan dahaga sembunyi terus di atas belandar? Hal ini terang tidak mungkin. Hari kedua pagi2 benar-benar, serta mendengar patung Budha tidak hilang sungguh girang sang Baginda bukan main, tapi segera iapun keluarkan perintahnya, memberi jangka waktu sepuluh hari untuk mengejar kembali barang-barang mestika yang hilang itu. Apa boleh buat Ma Bong-hwi terpaksa mengiakan saja. Betapapun karena patung Budha tidak sampai hilang perasaannya yang tertekan rada kendor dan berlega hati. Setelah mengundurkan diri cepat bersama Thian-hi ia pulang ke gedungnya di Bi-seng. Belum lagi sampai di rumah, seluruh anggota keluarganya sudah mendengar berita gembira ini semua berbondong keluar menyambut. Mereka dielu2kan memasuki rumah, setelah basa basi sekadarnya, Ma Bong-hwi lantas masuk istirahat, Thian-hi tahu beruntun beberapa malam dia tidak tidur maka iapun cepat kembali ke kamar bukunya. Seorang- diri ia termenung dalam kamarnya memikirkan cara bagaimana sebenar-benarnya pencuri itu mengambil Ce-kim-cu, sekian lama ia tidak berhasil memecahkan persoalan ini. Kecuali belandar besar itu ada rahasianya yang tersembunyi. Tengah ia terpekur, Ma Gwat-sian datang bertandang. cepat Thian-hi menyilahkan duduk, sekadarnya mereka bicara urusan biasa, akhirnya pembicaraan mereka beralih ke persoalan pencurian barang-barang mestika itu. Thian-hi menceritakan pengalamannya cara bagaimana Ce- kim-cu itu hilang dalam sekejap mata kepada Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian berpikir sekian lamanya, akhirnya ia bertanya. "Menurut sangkamu di atas belandar itu dapat bersembunyi si pencuri itu bukan?" "Itu hanya suatu kemungkinan saja!" "Apa pula kemungkinan yang lain?" "Kemungkinan lain perbuatan ini bukan dilakukan oleh manusia!" "Hun-toako, jika aku harus memilih satu diantara kedua kemungkinan itu, aku memilih kemungkinan kedua. Istana raja bukan kediaman pribadi seseorang, betapapun takkan ada kesempatan bagi seseorang membuat tempat-tempat rahasia di belandar istana, kemungkinan kedua hanyalah kesimpulan dalam perkataan saja," Setelah mendengar ucapan Ma Gwat-sian seketika ia berjingkrak bangun, teringat olehnya akan bau amis yang aneh itu, ja, benar-benar, itu bukan perbuatan manusia, tapi adalah. Semula ia tidak perhatikan bau amis yang aneh itu, sekarang setelah diingat, terasa olehnya bau semacam itu dulu ia pernah menciumnya sekali, itulah pada saat ia mempelajari jurus pencacat langit pelenyap bumi di dalam gua ular yang dlajarkan oleh Ang-hwat-lo-mo itu. Ja, bau amis itu adalah bau yang keluar dari badan ular. Sambil menepuk kepalanya Thian-hi berseru kegirangan. "Sekarang aku tahu sebab musabab menghilangnya barang mestika itu!" Ma Gwat-sian tersenyum manis, ujarnya. "Perbuatan ular, ya bukan!" Terkeaima Thian-hi memandangi muka Ma Gwat-sian, orang begitu yakin akan kesimpulannya, sudah tentu Thian-hi terkejut akan kecerdikan gadis rupawan yang lemah ini, atau sebetulnya memang dia membekal kepandaian silat yang tiada taranya? Sedikitpun ia tidak berani menyangkal dugaan Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian sendiri pernah mengatakan bahwa dia tidak pandai main silat, namun kecerdikan yang luar biasa ini serta keyakinannya yang teguh ini benar-benar sangat mengagumkan. "Jikalau bukan perbuatan orang, sudah pasti perbuatan binatang, binatang lain yang bisa merambat ke atas belandar dan tanpa diketahui oleh orang, apalagi punya gerak gerik yang gesit dan cekatan kecuali ular tiada binatang lainnya lagi. Orang itu dapat mengendalikan ular untuk mencuri mestika itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, jelas bahwa orang ini pasti seorang kosen juga, jangan kau pandang remeh dia." Thian-hi manggut-manggut, sungguh ia takjup akan kecerdikan Ma Gwat-sian, setiap perkataannya seolah-olah dikatakan seperti dia sendiri yang menghadapi perkara itu, atau lebih jelas lagi seperti ia sendiri yang melakoni. Dihadapan Ma Gwat-sian ia merasa betapa bodoh dirinya ini. Ma Gwat-sian menunduk menghindari pandangan Thian-hi, sambungnya. "Untuk mengendalikan ular gampang, tapi mengendalikan secara diam-diam tanpa bersuara justru sangat sukar. Aku harus istirahat, kudoakan semoga kau sukses malam nanti." -habis berkata terus dia keluar mengundurkan diri. Thian-hi bangkit mengantar orang sampai diambang pintu. sekian lama ia termenung2 lagi, lalu mulai pula dengan latihan Pan-yok-hian-kangnya, tak lupa iapun menyelami pelajaran Wi-thian-cit- ciat-sek. Sang waktu berjalan sangat cepat, tahu-tahu hari sudah menjelang magrib setelah makan malam bersama Ma Bong-hwi mereka berangkat lagi menunaikan tugas diistana. Malam ini Thian-hi mengusulkan lagi kepada Ma Bong-hwi supaya patung Budha pualam itu diletakan di atas belandar saja. "Bukankah di bawah lebih gampang dijaga dan diawasi?" "Tapi tujuan kita adalah hendak menancing pencuri itu datang baru bisa menangkapnya, kalau di bawah dia tak mau datang bagaimana kita bisa meringkusnya!" Ma Bong-hwi rada kuatir patung Budha itu bisa menghilang secara misterius lagi, namun Baginda memerintahkan dirinya dalam jangka sepuluh hari harus mengejar pulang mestika yang tercuri, cara menunggu lobang untuk menangkap kelinci bukanlah cara yang baik untuk menyelesaikan perkara pencurian ini, adalah lebih baik memancing pencuri itu datang sendiri lebih tepat, karena pikiran ini segera ia manggut-manggut dan menyuruh anak bUahnya meletakkan patung Budha itu ke atas belandar. Hakikatnya Thian-hi tidak memberi tahu jalan pikirannya kepada Ma Bong-hwi, namun dia sudah punya pegangan, hanya dia meraba-raba, entah ular macam apakah yang begitu lihay dapat bekerja secerdik manusia sampai sekarang dia belum mendapat akal cara bagaimana ia harus mengatasi ular lihay ini. Akhirnya ia berkata pada Ma Bong-hwi. "Ma-ciangkun menjaga bagian bawah, biar aku mengawasi bagian atas!" Ma Bong-hwi manggut-manggut. Malam ini Thian-hi menghimpun seluruh semangat dan mencurahkan seluruh perhatiannya dengan waspada menanti kedatangan simaling, diam-diam dalam hati ia sudah bertekad harus dapat meringkusnya, seperti kegagalan semula pihak lawan tentu menggunakan cara licik untuk memencar perhatian seluruh penjaga itu lalu melepas ularnya untuk bekerja dengan cepat, akan kulihat cara apa yang dia gunakan malam ini. Tengah ia bepikir, suasana hening dan sunyi tiba-tiba terdengar seseorang berseru. "Baginda datang!" Baginda benar-benar muncul dihadapan mereka keruan semua orang tersentak kaget dan tersipu-sipu menyembah memberi hormat, Baginda menyapu pandang kepada mereka lalu berkata. "Ma-ciangkun mengundang aku kemari ada urusan apa?" Ma Bong-hwi melongo. Sementara Thian-hi mengeluh dalam hati, cepat ia mendongak, dalam waktu sekejap itu benar-benar juga patung Budha sudan lenyap, hanya tampak selarik cahaya bergerak lantas lenyap. Sebat luar biasa ia jejakkan kaki mencelat naik ke atas. Perbuatan Thian-hi ini sungguh sangat mengejutkan sang Baginda, ia tersurut dua langkah, sementara itu Ma Bong-hwi sedang menjawab. "Hamba sekalian tiada pernah mengundang Baginda. Terang kita telah kena tipu lagi!" Begitu tiba di atas belandar Thian-hi melihat seekor ular hitam panjang empat kaki tengah melata cepat sekali ke depan sana sambil menggigit patung Buddha itu, gerak geriknya begitu gesit secepat angin, sekejap saja sudah tiba di ambang sebuah lobang dan hampir menghilang. Tanpa ayal segera Thian-hi sambitkan pedang ditangannya, tepat sekali menancap di depan lobang itu sehingga jalan lari siular kebuntu, cepat sekali ia ulur tangan mencengkeram keleher ular terpaut tujuh senti dari bawah kepala ular, dimana terletak kelemahannya. Melihat jalan lari sudah putus, ular itu agaknya tahu bahaya tengah mengancam cepat buntutnya melingkar terus melecut naik menyerang jalan darah pergelangan Thian-hi. Disebelah bawah Ma Bong-hwi sudah perintahkan seluruh pintu ditutup rapat dan dijaga ketat mulai mengadakan penggeledahan. Sudah tentu Thian-hi tidak gampang kena diserang oleh siular, tangannya membalik berbareng jarinya menyelentik tepat sekali menjentik ujung ekor siular, ular itu berteriak kesakitan, tapi mulutnya tetap menggondol patung Buddha itu tak mau meletakkan, gesit sekali mendadak hendak menerobos keluar. Ketiga jari tangan Thian-hi lantas mencengkeram ke tempat kelemahan siular di bawah kepalanya, cara kerjanya cepat dan telak, apalagi dia sudah bertekad hendak menangkap ular lihay ini. Tapi disaat ia berhasil, mendadak dari belangkangnya terasa menyerang datang sejalur angin kencang menerjang ke arah jalan darah Ling-tai-hiat dipunggungnya, keruan kejut hati Thian-hi, tangkas sekali ia membalikkan telapak tangannya yang lain menyampok ke belakang, seekor ular putih telak sekali kena ditamparnya sampai jatuh di atas belandar tak bergerak lagi. Ular hitam itu lari lagi ke depan, namun mana bisa lolos dari kesigapan tangan Thian-hi, sekali berkelebat ia mengejar maju dan tepat sekali berhasil menggencet kelemahannya di bawah kepalanya, ular itu dipaksa mengeluarkan patung Budha, lalu sambil menjinjing patung Buddha itu Thian-hi melompat turun ke-bawah. Cepat Thian-hi maju menghadap kepada Baginda memberi lapor. "Pencurinya adalah seekor ular, sudah berhasil hamba ringkus, di atas belandar masih terdapat seekor ular putih yang lain juga berhasil kupukul mampus!" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Baginda berseri tawa, ujarnya. "Jasa Hun-ciangkun sungguh tidak kecil, ilmu silatnya juga hebat sekali, Yim (aku) berkeputusan untuk memberi anugerah dan pahala kepada kau." Tuan putri mengikik tawa dan melangkah maju, katanya. "Ilmu silatmu ternyata begitu lihay. Sungguh aku tidak mengira kaulah orangnya yang naik ke atas belandar!" Hun Thian-hi merangkak bangun. Dengan heran sang Baginda bertanya kepada tuan putri. "Jadi kalian sudah kenal?" "Ya," Sahut tuan putri. "Belum lama berselang aku udah pernah melihat dia, kemarin pagi akupun baru teromong2 dengan dia!" Sang Baginda melenggong. Thian-hi berkata. "Pemelihara ular ini pasti berada di dalam istana juga, ular ini belum mati, harap sang Baginda menyingkir, aku mau melepasnya untuk mencari pemiliknya." Sang Baginda rada sangsi, akhirnya berkata. "Aku sudah berada disini tak perlu menyingkir lagi. Aku ingin ikut menyaksikan!" Apa boleh buat Thian-hi lantas melepas ular hitam tu. Ular itu merambat cepat sekali berputar- putar di dalam istana lalu melata keluar, begitu cepat dan gesit sekali gerak geriknya, namun selama itu Thian-li membuntuti di belakangnya dengan ketat. Setelah melewati sebuah serambi panjang mereka memasuki sebuah taman, kesanalah ular hitam itu menuju terus menuju ke sebuah gunung2an palsu, untung Thian-hi bergerak sangat cepat sebelum si ular menyusup masuk ke dalam sebuah lubang di bawah gunung2an palsu itu ia berhasil menawannya pula. Sementara itu sang Baginda, tuan putri dan banyak orang lagi pun telah tiba. Segera sang Baginda memberi perintah. "Panggil orang untuk mengeduk gunung2an palsu ini, apakah barang-barang yang hilang tu berada di sana." Tak lama kemudian beberapa orang telah datang lalu mencangkul dan menggali lobang itu, setelah gunung2an itu roboh tampak di bawahnya situ memang terpendam barang-barang mestika yang hilang itu. Baginda jadi berpikir, katanya tertawa. "Siapakah pemelihara ular ini sulit diketahui dalam waktu singkat ini, bunuh saja ular itu habis perkara!" Apa boleh buat, terpaksa Thian-hi melaksanakan perintah raja. Tapi dia tahu bahwa belakangan hari kejadian ini pasti bakal menimbulkan bibit bencana yang lebih besar. Bab 16 Tatkala itu cuaca sudah gelap gulita. Baginda suruh Thian-hi besok pagi harus masuk piket dan memberi lapor selengkapnya. Setelah itu ia lantas tinggal pergi bersama tuan putri. Ma Bong-hwi tertawa puas, katanya kepada Thian-hi. "Kalau Lote ingin mencapai kedudukan yang lebih tinggi besok pagilah saatnya. Kejadian hari ini sungguh diluar dugaanku, kiranya hanya seekor ularlah yang membuat gara-gara. Kalau bukan atas tindakanmu yang cepat sungguh aku tidak berani membayangkan akibatnya." Hun Thian-hi tertawa tawar. katanya.. "Inipun berkat adikmu yang beritahu kepada aku!" Ma Bong-hwi melengak, katanya tertawa. "Dia lagi, Dia tidak beritahu kepada aku, kini memberitahu kepada kau malah." Dengan cengar-cengir pandang Thian-hi. Thian-hi kehabisan kata-kata untuk menjawab. Begitulah segera mereka keluar dan pulang bersama. Sepanjang jalan diam-diam Thian-hi ambil keputusan, ia sudah penujui gunung gemunung yang tinggi dan luas di belakang Thian-seng itu. Ingin dia mencari suatu tempat disana untuk mengasingkan diri sementara. Begitu tiba di gedung Ciangkun, sudah tentu terjadi keramaian dengan sambutan yang meriah sekali. Tengah malam itu juga diam-diam Thian-hi sudah mempersiapkan diri, setelah ganti pakaian ia menulis sepucuk surat diletakkan di atas meja, diamat-amati kedua batang seruling itu lalu disimpan ke dalam butalannya, gesit sekali ia melompat keluar dari jendela terus tinggal pergi. Begitu tiba di luar ia terus memasuki taman bunga belum berapa langkah ia berjalan tiba-tiba ia menjublek di tempatnya, kelihatan Ma Gwat-sian tengah berdiri disana menantikan dirinya. Kata Ma Gwat-sian tertawa. "Hun-toako! Aku tahu kau pasti akan tinggal pergi, maka sejak tadi ku-tunggu kau disini. Thian-hi menunduk tanpa buka suara, segala gerak geriknya ternyata sudah di dalam perhitungan Ma Gwat-sian. "Mari kau ikut aku," Ajak Ma Gwat-sian. "Ada beberapa patah kata hendak kuucapkan kepada kau." Hun Thian-hi menguntit di belakangnya, Ma Gwat-sian mencari sebuah batu hijau besar lalu duduk di sana. Diapun suruh Thian-hi duduk di sebelahnya, setelah rada sangsi Thian-hi duduk juga di sampingnya. Kata Ma Gwat-sian. "Guruku beritahu kepada aku, katanya jika kau mau menyembunyikan jejak dan asal usulmu, ada lebih baik kau sembunyi di dalam kota besar saja. Kau punya harapan untuk menjabat sebagai komandan Gi-lim-kun. Tapi bila kau berkukuh hendak pergi, cara menghilangmu yang mendadak ini malah akan menimbulkan prasangka." Thian-hi menjublek tanpa bicara, otaknya tengah berpikir. Kata Ma Gwat-sian pula. "Watakmu rada congkak, tapi bila kau sudi menjabat pangkat, orang lain tidak akan mengira ada seorang tokoh kosen menyembunyikan diri sebagai pejabat tinggi pemerintahan. Sebaliknya kalau kau tinggalkan pangkat dan kedudukan ini, justru bakal membongkar rahasiamu sendiri." Thian-hi juga menginsyafi hal itu, katanya. "Jadi maksudmu supaya aku tetap tinggal saja?" Ma Gwat-sian tertawa. ujarnya. "Itupun menurut omongan guruku, aku hanya menyampaikan saja kepada kau!" Heran dan ketarik hati Thian-hi, tanyanya. "Sebenar-benarnya siapakah gurumu itu? apa boleh beri tahu padaku?" "Kau tak usah kuatir akan hal itu! Guruku tidak akan mencelakai kau!" Hun Thian-hi tak enak untuk bertanya lebih lanjut, terpikir olehnya ucapan Ma Gwat-sian tadi memang cukup masuk di akal, tiada halangannya ia menurutkan nasehat itu, tanyanya. "Apakah kau tahu asal usulku sejelasnya?" "Juga tidak! Tempo hari guruku pernah berjalan-jalan sampai dipinggir tebing curam itu, dilihatnya sebarisan lobang2 kecil, tahu ia bahwa pasti ada seseorang Tionggoan yang telah menyelundup masuk kenegeri ini, dan akupun menemukan kau pula, dan kaupun menggunakan seruling, maka tahulah aku bahwa pasti kau datang dari Tionggoan, tidak salah bukan rekaanku?." Dengan cermat Thian-hi pandang sepasang biji mata Ma Gwat-sian yang jeli bening berkilat, wajahnya begitu halus elok bak umpama sang dewi dari rembulan, serta merta kepalanya manggut-manggut. diam-diam bercekat hatinya, kiranya tanpa disadari aku telah meninggalkan jejak waktu menyelundup masuk ke Thian-bi-kok ini. Kata Ma Gwat-sian lagi. "Orang yang mengetahui nama Tay-seng-ci-lau sedikit sekali jumlahnya, yang bisa menyelami intisarinya jarang pula terdapat. Sebaliknya begitu kau melihat Tay-seng-ci-lau dengan gugup lantas suruh Siau-hou mengembalikan, dapatlah diselami bahwa kau pasti sudah paham akan Tay-seng-ci-lau itu, malah hatimu juga baik dan lurus!" Diam-diam mengeluh hati Thian-hi, setiap tujuan gerak-geriknya seolah-olah telah dipaparkan secara jelas dihadapan Ma Gwat-sian. "Pada malam itu, ada seseorang datang menyatroni engkohku, setelah orang itu pergi salah seorang pengawal telah dibunuh oleh engkohku. Tapi pengawal itu mengeluarkan suara lebih dulu, sebetulnya tiada alasannya dia berteriak kecuali ada seseorang yang memaksanya begitu. Dan lagi dalam gedung kita ini tiada orang lain kecuali kau!" Thian-hi bungkam seribu busa, tak kuasa ia mendebat. menunduk saja tanpa bersuara. Ma Gwat-sian tersenyum. ujarnya. "Itu melulu analisaku yang cukup cermat belaka. untung benar-benar semuanya. Guruku sudah menghapus jejak yang kau tinggalkan itu, kau tak usah kuatir." "Gurumu itu pasti seorang aneh yang kosen, aku tiada jodoh untuk menghadap menyatakan terima kasih kepada beliau, harap kau suka mewakili aku menyatakan hormat dan sembah sujudku." "Kenapa begitu sungkan, sekarang apa kau pasti hendak pergi? Atau tetap tinggal disini?" Thian-hi beragu dan tak bersuara. "Menurut aku, aku harap kau tetap tinggal disini. urusan disini belum selesai, masih banyak hal yang harus kuminta bantuanmu. Akhirnya tanpa bersuara Thian-hi manggut-manggut setuju. Benar-benar juga besok paginya Thian-hi diangkat menjadi Bu-wi Ciangkun, kedudukannya sebagai komandan Gi-lim-kun. Setelah lewat lohor, tuan putri minta Thian-hi menyiapkan kereta, dia ingin mengendalikan kereta pergi pesiar. minta Thian-hi sebagai pengiringnya. Terpaksa Thian-hi turuti permintaannya, tak lupa iapun menyiapkan tunggangannya. Tak lama kemudian tuan putri sudah berdandan mengenakan seperangkat pakaian ketat serba merah langsung naik ke atas kereta, katanya kepada Hun Thian-hi. "Kau harus hati-hati menguntit dibelakangku jangan sampai ketinggalan!" Selesai berkata kudanya segera dibedal dengan kencang. Thian-hi membawa empat orang pengikut. Begitu enam ekor penarik kereta tuan putri membedal kencang bersama pengikutnya Thian-hi segera menyusul. Setelah keluar dari pintu selatan mereka berputar-putar mengelilingi kota tiga putaran lalu luruS menuju ke selatan. Menginsafi tugasnya yang berat Thian-hi tidak berani lena dengan kencang iapun mengikuti dibelakang. keenam ekor kuda penarik kereta, adalah kuda pilihan, keruan keempat pengikutnya itu jauh ketinggalan dibelakang. Hun Thian-hi sendiri juga ketinggalan beberapa tombak dibelakang. Entah berapa jauh dan berapa lama mereka seolah-olah berlomba, akhirnya tuan putri memperlambat lari keretanya. Lambat laun Hun Thian-hi dapat mengejar dekat, sambil memandang ke arahnya tuan putri tersenyum geli. sambil membetulkan letak rambutnya ia berkata. "Selamanya belum pernah ada orang mampu mengejar aku sedemikian dekat!" Setelah dekat Thian-hi merogoh keluar seruling batu Giok putih itu dikembalikan kepada tuan putri. katanya. "Tempo hari tuan putri lupa membawa kembali seruling ini, harap tuan putri suka terima kembali." "Tidak usah. kuberikan kepadamu!" Thian-hi melengak, tuan putri berkata lagi. "Sebetulnya aku tidak bisa meniup seruling kau ambil saja!" "Aku sendiri sudah punya, harap tuan putri suka terima kembali." "Kenapa?" Tanya tuan putri kurang senang. "Apa kau tidak sudi menerima pemberianku? Serulingmu sendiri itu justru sangat baik, kalau kau ingin kembalikan, boleh ditukar dengan milikmu itu saja!" Thian-hi menjadi serba sulit. katanya. "Sebetulnya serulingku itu harus dipersembahkan kepada tuan putri, soalnya seruling Itu pemberian seorang Cianpwe sebagai kenang2an tak boleh hilang!" Tuan putri mendengus hidung, waktu berpaling dilihatnya keempat pengikut itu sudah kelihatan bayangannya, pecutnya segera terayun "tar!" Keenam kuda penarik kereta itu segera mencongklang lagi seperti kesetanan. Terpaksa Thian-hi menyimpan seruling dan mengejar lagi. Kali ini tuan putri membelokkan keretanya memasuki hutan pegunungan, keretanya menjadi bergoyang2 seperti menari2 di atas pegunungan yang belukar dan tidak rata itu. Thian-hi menjadi kuatir, betapa pun baiknya tuan putri dapat mengendalikan kereta. namun dijalanan yang tidak rata ini bukanlah mustahil nanti bisa terjadi sesuatu diluar diluar dugaan. Dengan sekuat tenaga dan segala daya upaya Thian-hi berusaha mengejar, namun tunggangan sendiri kalah kalau dibanding keenam kuda pilihan penarik kereta itu, jarak mereka tetap beberapa tombak. Mendadak didengarnya Tuan putri menjerit2 ketakutan, Thian-hi terkejut dan membedal maju. tampak keenam kuda itu berdiri berbareng dan menjadi beringas liar ketakutan, Kiranya tak jauh disebelah depan sana tampak dua ekor beruang besar tengah mendatangi pelan-pelan, tuan putri menjadi pucat ketakutan. Thian-hi sangat kalut, cepat ia lonmpat turun seraya melolos pedangnya. lalu memburu ke depan mencegat di depan kedua biruang besar itu. "Tio Gun" Teriak tuan putri. "Lekas kembali, seorang diri mana kau mampu melawan!" Terlihat oleh Thian-hi kedua biruang ini jauh lebih besar dan tinggi dari tubuhnya sendiri, tinggi kepalanya hanya sebatas pinggang kedua ekor biruang itu. Diam-diam ia heran dan kejut akan kebesaran kedua ekor biruang ini, namun mana Thian-hi gentar menghadapi kedua binatang ini. Katanya tertawa. "Tuan putri tak perlu takut, hari ini anggap saja kita berburu biruang." Melihat Thian-hi berani maju sambil menenteng pedang, kedua ekor biruang itu seperti merasa heran dan saling pandang, sambil mengaum keras serempak menubruk ke arah Thiani-hi. Thian-hi juga membentak keras, badannya berkelit menyingkir ke samping, seluruh tenaga dikerahkan ditangan kanan begitu sebat gerak geriknya, begitu berada disamping kiri salah seekor biruang itu. kontan pedangnya lantas bekerja menusuk ambles seluruh batang pedangnya ke dalam lambungnya. Biruang itu menggerung kesakitan dan murka. seekor yang lain segera mengulur sebelah tangannya mengemplang kekepala Thian-hi. Thian-hi berusaha menutupi kepandaian sendiri, sambil menarik pedangnya ia melompat berkelit lagi rada jauh, dari kejauhan ini segera ia ayun pedangnya, laksana anak panah selarik sinar pedangnya meluncur ke depan dan ambles seluruhnya kedada biruang yang lain itu. Meski terluka berat kedua biruang itu masih belum mati, namun sebelum ajal mereka pantang menyerah, berbareng menggerung keras terus menubruk maju lagi dengan cakar terpentang! Tatkala itu jarak mereka semakin dekat, keruan tuan putri menjerjt ketakutan. dilihat pula oleh Thian-hi keenam ekor kuda itu tak jauh disebelah sana, sedikit beragu kedua ekor biruang itu sudah menyerbu datang. tanpa banyak pikir lagi mulut Thian-hi bersuit nyaring, Pan-yok-hian- kang yang dilatihnya selama beberapa lama ini segera digunakan. seenaknya saja ia menepuk ke depan. kontan kedua ekor biruang yang tinggi besar itu diterpa gelombang tenaga pukulan yang dahsyat sehingga terpental tiga tombak jauhnya, rebah tak berkutik lagi. Sekian lama Thian-hi berdiri menjublek. hatinya sungguh sangat menyesal, tidak seharusnya ia melancarkan Pan-yok-hian-kang, bagi seseorang yang punya landasan pelajaran silat, begitu melihat seluruh isi perut kedua biruang ini hancur luluh pasti mereka bakal tahu bahwa keduanya terpukul mati oleh sebuah pukulan tenaga dalam yang sangat hebat. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tengah ia tenggelam dalam pikirannya. tiba-tiba terasa sebuah tangan meraba pundaknya, kontan ia tersadar dari lamunannya. tampak tuan putri berdiri di depannya, kelihatannya ia sangat takut sehingga seluruh tubuhnya lemas lunglai hampir roboh. Serta merta Thian-hi harus memajangnya katanya: Tuan putri tak perlu takut lagi!" Saking lemas tubuh tuan putri lantas menggelencut ke dalam pelukan Thian-hi. katanya. "Disini tiada orang lain, tak usah kau panggil aku tuan putri, aku bernama Ih-gi!" Tergetar hati Thian-hi, cepat ia memajangnya berdiri. katanya. "Tuan putri! Biruang itu sudah mampus, silakan tuan putri berdiri, tak usah takut!" Setelah berdiri tegak dengan berang tuan putri pandang Thian-hi, katanya. "Apa kau tidak suka kepada aku?" Merah jengah dan panas muka Thian-hi, jawabnya tergagap. "Tuan putri berbadan agung berkedudukan tinggi. mana bisa aku." "Bukankah kau sendiri sekarang sebagai panglima tinggi yang pegang kekuasaan. masa kau tidak berani menyukai aku?" Thian-hi menghela napas, katanya. "Tuan putri kau dan aku baru bertemu beberapa kali, mana bisa membicarakan soal ini." Tuan putri cemberut dan kurang senang, tanyanya. "Kudengar Ma-ciangkun punya seorang adik perempuan, apa benar-benar?" "Benar-benar, tapi apa sangkut pautnya dengan kau?" Tuan putri menjengek tanyanya. "Apakah kau pernah bertemu dengan dia" Thian-hi manggut-manggut. "Sejak lama sudah kudengar bahwa dia punya seorang adik perempuan yang sangat cantik, tapi selamanya belum pernah keluar pintu, tiada seorang pun yang pernah melihat dia, banyak orang mengajukan lamaran semuanya gagal, dia cantik bukan?" Bicara sampai disini tuan putri menjadi rawan, pelan-pelan ia menunduk. dilain saat ia angkat kepala dan bertanya tegas. "Jangan kau bohongi aku. Sebetulnya kau suka aku atau suka dia." Thian-hi terlongong sekian lamanya, dilihatnya sikap tuan putri begitu murung dan sedih sungguh sangat kasihan, setelah menarik napas, ia berkata. "Kejadian di dunia ini siapa yang berani mengira sebelumnya!" Sungguh dia tidak mengira setelah berada di Thian-bi-kok ini dia harus menghadapi berbagai kesulitan ini. Angkat kapala dilihatnya tuan putri masih menantikan jawabannya, terpaksa ia berkata. "Tuan putri! Menurut hemadku, tidak lebih kita sebagai sahabat yang baru berkenalan saja!" Tuan putri membalikkan tubuh dengan jengkel langsung ia naik ke atas kereta. Thian-hi memburu datang serunya berteriak. "Tuan putri tak boleh menuju ke dalam sana." Tak usah kau urus aku!" Semprot tuan putri gusar Keretanya dilarikan lagi ke depan dengan cepat, Thian-hi menjadi gugup dan berteriak-teriak, terpaksa ia memburu dengan kencang. untung jalanan disebelah depan sangat jelek lari kereta menjadi lambat, Thian-hi bisa mengejar semakin dekat. Akhirnya kereta berhenti juga karena jalan terlalu sempit. Thian-hi lantas tampil ke depan serta berkata. "Tuan putri. mari putar haluan saja!" "Tidak mau. Kau temani aku disini, orang lain takkan mampu mencari kemari." Begitulah tuan putri merengek2. Thian-hi angkat pundak tanpa bersuara. Begitulah mereka berdiri tanpa bersuara, sejenak kemudian tuan putri membuka suara. "Hatiku kesal, coba kau tiup serulingmu untuk menghibur hatiku." Apa boleh buat Thian-hi keluarkan serulingnya. di lain saat irama yang merdu mengasjikkan mengalun merdu di alam pegunungan yang sunyi, dengan asjik dan menjublek tuan putri mendengarkan tanpa merasa air mata mengalir membasahi pipinya yang putih molek, setelah lagunya habis, ia lantas berkata sesenggukkan. "Kenapa kau bersikap dingin terhadap aku?" Thian-hi tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. sesaat kemudian baru ia bersuara. "Cita- cita dan tujuan hidup kita berlainan, kau dan aku bukan manusia dalam satu tingkatan." Tuan putri terlongong memandang Thian-hi katanya. "Yang kuinginkan hanyalah kau. Apabila kau megejar kedudukan pangkat dan harta, semuanya dapat kuberikan kepada kau, apakah kau menyangsikan kemampuanku?" Thian-hi tersenyum, ujarnya. "Banyak kejadian di alam fana ini yang belum diketabui oleh tuan putri, tak pernah terpikir olehku untuk mengejar pangkat dan harta, yang terang memang tuan putri bersikap sangat baik terhadap aku. sungguh aku harus nyatakan banyak terima kasih, menurut pendapatku tuan putri tak lain karena terburu oleh perasaan belaka, dulu aku juga pernah mengalami hal demikian. "Bukan begitu jalan pikiranku, kau pandai silat dan pintar sastra lagi, apalagi watakmu cukup baik dan lurus, tidak seperti putra Tan-siangkok itu, sikapnya takabur dan licik. Kau punya bakat sebagai pemimpin, calon suamiku kelak pasti dapat mewarisi kedudukan raja. menurut pilihanku kaulah yang paling tepat!" Thian-hi tertawa getir, katanya. "Kelak kau akan tahu sendiri bahwa justru aku orang yang paling tidak tepat." Tuan putri menunduk menepekur, beberapa lamanya tak bersuara lagi. "Tuan putri," Panggil Thian-hi pelan-pelan. "aku bicara menurut kenyataan." suaranya begitu lirih hampir kupingnya sendiri juga tak dapat mendengar. Mereka menjadi menjublek di tempat masing-masing tanpa bersuara sampai sekian lamanya. Akhirnya Thian-hi yang membuka kesunyian lagi. "Cuaca hampir gelap, kita harus lekas pulang!" Dengan menunduk tuan putri memutar keretanya kembali, dia biarkan saja keenam kuda putih itu berjalan pelan-pelan, kedua biji matanya lempang mengawasi depan tanpa berkesip, seolah- olah tenggelam dalam pemikiran yang tiada berujung pangkal. Dengan menunggang kuda Thian-hi berjalan disisi kereta, dari samping terlihat olehnya rambut tuan putri yang terurai dihembus angin memanjang, ujung matanya basah oleh air mata. Sambil menghela napas ia menunduk tak berani melihat lagi. Begitulah dengan legak-legok kereta itu akhirnya sampai juga di jalan raja, jauh di ufuk barat sana sang surja sudah hampir tenggelam. Keempat anggota Gi-lim-kun itu dengan gelisah masih menanti diluar hutan. Setelah tiba di istana, Thian-hi rasakan seluruh badannya capai, setelah makan malam ia terus masuk kamar berlatih. Pan-yok-hian-kang. Tapi sekian lama ia menjadi gundah karena pikirannya tak bisa tenteram. Akhirnya dengan kesal ia berjalan keluar dan mondar-mandir di serambi panjang lalu meronda ke berbagai pos penjagaan, tampak rombongan demi rombongan pasukan Gi-lim-kun mondar mandir meronda, tanpa tujuan kakinya melenggong sampai ufuk timur mulai terang. Hari kedua dari istana dalam didapat kabar bahwa tuan putri rebah di tempat tidur tak bisa bangun, jatuh sakit. Diam-diam Thian-hi menghela napas. Setelah piket, Ma Bong-hwi mengundangnya Thian-hi kerumahnya, tapi Thian-hi takut bertemu dengan Ma Gwat-sian, menggunakan alasan kerena repot di istana, ia menolak ajakan itu. Tak lupa ia menanyai alamat tempat tinggal Tan-siangkok, Ma Bong-hwi rada sangsi, namun akhirnya memberi tahu juga. Diam-diam Thian-hi sudah berkeputusan untuk menyatroni gedung kediaman Tan-siangkok untuk membuat penyelidikan, orang macam apakah sebenar-benarnya Tan-siangkok itu, setelah segala urusan disini dapat dibereskan lebih baik akupun harus segera membebaskan diri dari segala kerepotan. Baru saja cuaca menjadi gelap Thian-hi lantas salin pakaian hitam yang ketat. Gedung kediaman Tan-siangkok juga berada di Thian-seng ini, segera ia beranjak menuju ke gedung Tan- siangkok. Tak lama kemudian ia sudah tiba diambang pintu gedung Tan-siangkok, setelah celingukan tak melihat bayangan orang, sekali berkelebat enteng sekali ia lompat naik ke atas tembok lalu melejit lebih tinggi ke atas wuwungan. Pelan-pelan ia menggeremet maju terus loncat turun ke sebuah taman bunga. Baru saja kakinya menyentuh tanah, di dalam keremangan malam terdengar seseorang bicara. "Tan Su! Hari sudah gelap! Lekas lepaskan anjing!" Terkejut Thian-hi, sebat sekali tubuhnya melejit tinggi hinggap di atap rumah. Dengan seksama ia awasi keadaan sekelilingnya, didapatinya gedung Tan-siangkok ini jauh lebih besar dan megah dibanding gedung Ma-ciangkun, empat penjuru dikelilingi tembok tinggi dan pohon-pohon rindang dan tanam2an kembang. Di lain saat terlihat oleh Thian-hi bayangan hitam besar2 berlari-lari kian kemari, Thian-hi dapat melihat tegas itulah anjing2 besar sebangsa serigala yang buas. Baru saja ia berniat maju lebih lanjut ke dalam, tiba-tiba pintu besar terbuka, dari luar masuk seseorang. Diam-diam bercekat hati Thian-hi, karena dilihatnya orang yang baru datang ini tak lain tak bukan adalah Ing-ciangkun Ing Si-kiat. Thian-hi berpikir, ternyata benar-benar orang ini tidak bisa dipercaya, malam2 dia kemari tentu punya intrik dengan Tan-siangkok. Tidak salah kecurigaan Ma Gwat-sian terhadapnya. Tampak Ing Si-kiat menggunakan pakaian preman, Tan-siangkok sendiri menyongsong keluar menyambut tamunya ini, setelah sekedar sapa sapi mereka masuk bersama. Diam-diam Thian-hi menguntit mereka dari atas genting. Mereka memasuki sebuah ruang besar, empat penjuru ruang besar itu terjaga ketat, dengan hati-hati Than-hi berkelebat keluar terus sembunyi di bawah pajon untuk mencuri dengar. Terdengar Tan-siangkok bertanya kepada Ing Sikiat. "Apakah Ing-ciangkun tahu asal usul Tio Gun itu?" Ing Si-kiat menjawab. "Ma Bong-hwi cukup percaya kepada aku, namun soal ini dia tidak pernah beritahu kepada aku, aku sendiri juga tidak enak menanyakan!" Diam-diam hati Thian-hi, pikirnya; Ing Si-kiat ternyata sedang menyelidiki asal usulku terang memang sekongkol dengan Tan-siangkok. Tapi entah apa yang sedang hendak mereka lakukan. Tan-siangkok mengerutkan alis, katanya. "Tio Gun itu memang cukup menyebalkan, ilmu silatnya benar-benar hebat, Baginda kelihatannya sangat sayang dan bangga kepadanya. Sebetulnya Komandan Gi-lim-kun dijabat oleh adikmu, kini berada di tangannya, kukira urusan akan lebih menyulitkan kita!" Bercekat hati Thian-hi, batinnya. "Ternyata mereka hendak berontak, tak heran Ma Gwat-sian bilang kecuali peristiwa kehilangan barang-barang mestika itu, Thian-bi-kok ini masih punya bencana lain yang bakal terjadi." "Entah bagaimana dengan putramu itu" Terdengar Ing Si-kiat bertanya. Tan-siangkok mendengus, sahutnya. "Dia kurang becus, tuan putri melirik pun tidak mau melihat dia!" "Menurut berita yang kuperoleh dari Gi-lim-kun, katanya tuan putri sangat simpatik terhadap Tio Gun, apalagi sebelum ini mereka sudah pernah berjumpa." "Apa benar-benar?" Tan-siangkok menegas. Ing Si-kiat manggut-manggut. Thian-hi menjadi was-was, ternyata diantara anggota pasukan Gi-lim-kun itu ada mata2 pihak musuh, tak heran orang itu tempo hari begitu leluasa melenyapkan dirinya. Memang pejabat komandan Gi-lim-kun yang terdahulu adalah adik kandung Ing Si-kiat, maka tak perlu dibuat heran bahwa diantara mereka masih ada terdapat bawahan kepercayaannya. Setelah kembali nanti aku harus mengadakan razia dan pembaharuan di dalam tubuh Gi-lim-kun. Tan-siangkok berjalan mondar-mandir, katanya. "Tio Gun ini lebih menakutkan dari Ma Bong- hwi, bagaimana juga orang ini harus dilenyapkan." "Kelihatannya Baginda juga semakin ceroboh, mengangkat orang tanpa tahu asal usul orang itu, hanya mengandal kesenangan hati belaka." Tan-siangkok mendengus dua kali, katanya. "Apakah dia tidak mencari tahu siapakah dalang pencurian barang-barang mestika itu?" pada perkataannya penuh rasa cemooh dan membanggakan diri sendiri. Merandek sejenak lalu melanjutkan. "Tuan putri justru sangat teliti dan cermat, Goan-mo anakku itu kiranya tidak memenuhi seleranya! Jah, apa boleh buat!" "Kalau Tio Gun disingkirkan kukira putramu masih punya harapan. Angkat dia sebagai komandan Gi-lim-kun, tanggung kelak ia bakal menonjol diantara rekan2nya." Tan-siangkok berhenti lalu mendongak memandang atap rumah, di lain saat ia mondar-mandir lagi, katanya: .,Toh-ciatsu situa renta itu tak perlu ditakuti, dulu hanya Ma Bong-hwi seorang, dia pegang kekuasaan militer, sekarang tambah lagi seorang Tio Gun." "Sepak terjang Tio Gun selama ini rada mencurigakan, entah darimana Ma Bong-hwi menemukan bocah keparat itu." Tan-siangkok berhenti lagi memandang Ing Si-kiat. katanya. "Jika tiada Ma Bong-hwi dan tak ada Tio Gun pula, apa pula yang hendak kau lakukan?" Ing Si-kiat tertawa, sahutnya. "Meskipun Ma-ciangkun berdinas luar, tapi kekuatan tentaranya jauh lebih kuat dari aku, apalagi bala tentaranya juga jauh lebih terlatih, melulu Tio Gun dan ratusan pasukan Gi-lim-kun tak perlu dibuat takut." "Jikalau tiada mereka berdua, pasti Toh-ciatsu takkan berani banyak bacot. Tatkala itu putraku bakal dapat menumpas huru-hara dan mendirikan jasa dan memperoleh pahala, jikalau kita melamar putrinya, Baginda tak bisa tidak mesti menerima pinangan ini." Thian-hi semakin jelas akan duduk perkara sebenar-benarnya. Kiranya Tan-siangkok sedang berusaha supaya putranya menikah dengan tuan putranya menikah dengan tuan putri, supaya kelak dapat mewarisi kedudukan raja, dengan jalan yang licik tapi cukup nyata ini tentu tiada seorangpun yang tidak akan tunduk. Ing Si-kiat tertawa, katanya. "Baginda raja tentu akan setuju!" Tan-siangkok juga tertawa senang, ujarnya. "Kali ini tidak mungkin menggunakan ular lagi. Tak kukira Tio Gun itu pandai menangkap ular!" Ing Si-kiat berpikir sekian lama, katanya. "Bagaimana menurut pendapat Tan-siangkok?" Tan-siangkok menyeringai sinis, dari atas rak buku diambilnya alat2 tulis terus menulis apa-apa di atas telapak tangannya. Melihat huruf2 itu Ing Si-kiat tertawa, katanya. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Akupun punya maksud demikian." terdengar gelak tawa mereka yang keras kumandang. Thian-hi tidak tahu apa yang tengah mereka lakukan, tapi samar-samar ia dapat meraba tentu mereka merencanakan sesuatu yang bertujuan jahat, entah tipu daya jahat apa lagi yang sedang mereka rancang. Terdengar Ing Si-kiat berkata. "Cara ini dapat membabat rumput sampai ke-akar2nya, cukup kita hadapi Tio Gun itu dengan cara yang lebih hati-hati saja!" Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya. "Untuk pelaksanaannya kuharap Ing-ciangkun membantu sekedarnya." "Ah, kenapa Tan-siangkok begitu sungkan? Untuk pelaksanaan rencana ini harap Tan-siangkok memikirkan lebih matang." "Urusan jangan terlambat, pukul besi mumpung masih panas, Tio Gun baru saja diangkat menjadi panglima, kesempatan inilah yang paling baik untuk melaksanakan rencana itu." "Menurut maksud Tan-siangkok." "Besok saja!" "Besokpun baik, tapi kalau rencana kali ini gagal belakang hari tentu bakal menimbulkan bibit bencana." "Besoklah saatnya pembukaan dasar. masa kita tidak berlaku hati-hati. Bagaimana menurut pendapat Ing-ciangkun mengenai pasukan yang berada di Bi-seng itu?" "Yang aku kuatirkan hanyalah Ma Bong-hwi seorang, orang lain sedikit pun tidak kupandang sebelah mataku." Lalu mereka bergelak tawa sambil berjabatan tangan. Ing Si-kiat lalu bangkit dan minta diri, katanya. "Sekarang aku minta diri, rencana kerja di dalam seluruhnya tanggung jawab Tan- siangkok, mengenai penjagaan diluar akulah yang akan mengatur." Tan-siangkok bangkit mengantar tamu, sahutnya. "Aku tak menahanmu lebih lama lagi, waktu terlalu mendesak, harap Ing-ciangkun banyak membantu." Ing Si-kiat tertawa sambil manggut-manggut, mereka berjajar keluar pintu. Thian-hi berkelebat di atas wuwungan, dilihatnya Tan-siangkok mengantar Ing Si-kiat sampai di pintu luar. Thian-hi menghirup napas panjang, setelah meneliti keadaan sekelilingnya, sebat sekali tubuhnya melesat terbang keluar dari lingkungan Gedung Tan-siangkok ini, terdengar anjing di bawah meng-gonggong2 bersahutan Terpaksa Thian-hi mendekam di atas pojokan atap tanpa berani bergerak, seluruh gedung menjadi ribut dan ramai, tak lama kemudian baru kembali menjadi sunyi. Sementara itu hati Thian-hi masih menerawang, entah tipu daya apa yang sedang direncanakan oleh kedua orang itu, dalam pada itu ringan sekali kakinya melangkah bagai terbang berlari menuju keistana raja. Dari kejauhan tampak istana yang megah menjulang tinggi, tanpa terasa terbayang olehnya muka tuan putri yang sedih menangis, pelan-pelan ia menghela napas. Begitu sampai diistana Thian-hi langsung kembali ke kamarnya. Ternyata Ma Bong-hwi sedang menunggu disana. Begitu melihat Thian-hi pulang segera Ma Bong-hwi memapak maju serta tanyanya. "Lote, kau menyelidik ke gedung Siangkok bukan?" Thian-hi tidak menduga hari sudah begitu malam namun Ma Bong-hwi masih berada di tempatnya, sebagai jawaban ia manggut-manggut saja "Lote," Kata Ma Bong-hwi. "Bukan aku suka cerewet sebetulnya tindakanmu ini terlalu bahaya, di dalam gedung Tan-siangkok ada memelihara ratusan anjing2 galak, sekali jejakmu konangan. pasti kau bakal menghadapi banyak rintangan." "Ucapan Toako memang benar-benar, malam2 Toako kemari entah ada urusan apa?" "Bukan keperluanku adikku yang mengundang kau kesana, ada omongan yang perlu dikatakan kepada kau." Berdetak jantung Thian-hi, Ma Gwat-sian mencari aku? Malah ada urusan lagi. kelihatannya urusan yang cukup genting! Thian-hi terlongong. Ma Bong-hwi mendesak. "Marilah sekarang juga berangkat, dalam istana tiada pekerjaan penting, malam ini kau menginap dirumahku saja," Apa boleh buat Thian-hi segera ganti pakaian, setelah memberi pesan kepada anak buahnya bersama Ma Bong-hwi naik kuda terus berangkat. Tiba dipintu gerbang kota, kebetulan bersua dengan Ing-ciangkun. Begitu melihat mereka berdua Ing Si-kiat segera maju menyapa. "Kiranya saudara Ma dan Tio-lote! Hendak kemana kalian?" "Ternyata Ing-ciangkun, Ing-ciangkun selalu berdinas ronda sungguh tidak mengenal lelah, kami hendak pulang kerumah Ma-ciangkun." "Tentu kalian punya urusan penting! Silakan!" Segera ia perintahkan membuka pintu. Cepat Thian-hi berdua mencohgklang kuda keluar. Langsung mereKa menuju ke Bi-seng. ditengah jalan Ma Bong-hwi menutur bahwa Siau-hou sangat kangen bertemu dengan Thian-hi. Thian-hi tertawa senang, setelah sampai langsung mereka masuk keruang belakang. Thian-hi segera menyampaikan salam kepada Ma-hujin serta, menjumpai Siau-hou. Tak lama kemudian tampak Ma Gwat-sian juga keluar. Setelah bercakap-cakap sekadarnya Ma Bong-hwi dan istrinya minta diri sambil menyeret Siau-hou masuk ke dalam. Ma Gwat-sian unjuk senyuman manis, Thian-hi membalas dengan senyuman pula. Kata Thian-hi. "Kudengar katanya kau punya urusan dengan aku, apa benar-benar?" "Benar-benar. mungkin bagi kau cukup penting, sebab guruku sudah tahu sebab musabab kau sembunyi dinegara kecil ini, tak lain untuk menghindari bencana bukan?" Terkejut Thian-hi, berubah air mukanya, katanya tersekat. "Gurumu." "Beberapa hari yang lalu guruku baru pulang dari perjalanannya ke Tionggoan, beliau rada kurang percaya akan sepak terjangmu dulu, beliau berkata kau bukan orang macam itu. Tetapi kenyataan kau sembunyi di tempat ini! "Adakah orang lain pula yang mengetahui?" "Kau tak usah gelisah." Ujar Ma Gwat-sian. "Hanya guruku dan aku saja yang tahu. Menurut guruku hanya ingin mencari tahu dulu, apakah berita itu dapat dipercaya." Thian-hi mandah tertawa ewa, seolah-olah ia mendapat firasat apa-apa sampai pada tahap sekarang agaknya aku tidak usah pedulikan segala tetek bengek lagi. katanya. "Adakah gurumu membicarakan keadaan di Tionggoan?" Sekian lama Ma Gwat-sian pandang Thian-hi lalu katanya tertawa. "Situasi di Tionggoan sangat kalut, katanya banyak gembong-gembong iblis bermunculan membuat huru hara. Tiada seorang toKoh kosen dari aliran lurus yang mampu mengatasi gelombang huru hara ini." Thian-hi manggut dengan maklum, tahu ia bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah lolos, tentu dia bakal menimbulkan keonaran, entah apakah Tok-sim-sin-mo juga sudah berhasil lolos, kalau dihiturg waktunya, perjanjian Soat-san-su-gou dengan Bu-bing Loni bakal habis waktunya, entah apakah beliau bisa mencari dirinya di tempat ini. "Apakah kau masih punya sanak kadang di Tionggoan?" Demikian Ma Gwat-sian main selidik. "Guruku masih hidup, aku punya seorang taci angkat, entah bagaimana keadaan mereka." Ma Gwat-sian menunduk, sesaat kemudian bertanya. "Orang lain adakah yang membuat hatimu rindu padanya?" "Memang banyak orang di Tionggoan menyangka aku ini sesuai dengan berita yang tersebar luas itu, namun banyak pula orang-orang yang menanam budi kepada aku, selamanya hatiku terkenang dan berterima kasih kepada mereka." Demikian Thian-hi berdiplomasi. Ma Gwat-sian tertawa, katanya. "Thian-bi-kok ini selamanya melarang orang asing menyelundup kemari, memang orang luar tidak akan mampu datang kemari. Kalau kau diketahui datang dari Tionggoan pasti kau akan mengalami kesulitan." "Terima kasih akan peringatanmu ini, aku pun terpaksa datang kemari." "Asal guruku tidak membuka rahasia ini. selamanya tidak akan ada orang tahu." "Kukira tidak lama lagi aku harus meninggalkan tempat ini, kedatanganku ini tidak punya perhitungan untuk menetap selamanya disini." Ma Gwat-sian rada melengak, katanya. "Benar-benar kau hendak pergi?" "Ya, aku tidak bisa menetap terlalu lama disini. Banyak urusan yang harus kukerjakan di Tionggoan, tak bisa aku menyembunyikan diri saja disini." "Apa kau tidak takut? Apakah kau unggulan melawan mereka?" "Seumpama tidak unggulan aku juga harus pulang ke sana." "Kau tak usah kuatir," Ujar Ma Gwat-sian lirih. "Aku bisa minta guruku bantu kau, asal beliau mau, kau tentu tak perlu kuatir lagi. Ketahuilah gunung gemunung di belakang Thian-seng yang bernama Thian-ting itu, banyak bersemajam orang-orang aneh, guruku adalah orang aneh diantara orang-orang aneh itu." "Ada kalanya suatu urusan yang tidak bisa diselesaikan dengan bantuan orang luar, apalagi gurumu sekarang sedang menyelidiki keadaanku, betapapun tak mungkin membantu, untuk kebaikan ini, aku terima setulus hati." "Sekarang kau tak usah gelisah, segalanya akulah yang mengatur, guruku tidak akan bertindak terhadap kau." "Terima kasih akan kebaikanmu ini." Ujar Thian-hi tertawa dibuat-buat. "Tak perlu sungkan, bagaimana keadaanmu di istana?" "Cukup baik!" "Tadi pagi engkohku mengundang kau kemari, kenapa kau tak mau datang?" Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo