Badik Buntung 16
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 16
Badik Buntung Karya dari Gkh "Aku baru saja terima jabatan, disana ada urusan pula maka tiada senggang kemari." "Hun-toako," Ujar Ma Gwat-sian menunduk, suaranya lirih. "Aku merasa.seolah-olah kau segan bertemu dengan aku!." "Tak ada kejadian itu!" Cepat Thian-hi menyahut gugup. "Kau tak usah kelabui aku," Ujar Ma Gwat-sian lirih. "aku sudah tahu! Tapi aku tidak tahu kenapa kau tak sudi bertemu dengan aku!" "Mana ada kejadian begitu, hubungan kami seperti saudara sekandung, mana bisa aku tak sudi bertemu dengan kau!" Ma Gwat-sian angkat kepaja mengawasi Thian-hi dengan seksama, katanya. "Coba beritahu aku apakah karena urusan tuan putri, kemarin siang kau keluar pesiar bersama tuan putri, pulangnya air muka tuan putri rada berbeda dengan keadaan biasanya, hari ini kudengar kabar dia jatuh sakit lagi! Kenapa?" Sungguh gugup dan gelisah hati Thian-hi, kata-kata Ma Gwat-sian memang tepat dan sulit untuk dielakkan, terpaksa ia menjawab. "Tiada kenapa, di atas gunung kami berjumpa dengan dua ekor biruang yang tinggi besar, dia ketakutan tapi biruang itu berhasil kubunuh." "Kukira bukan itu sebabnya, aku tahu watak tuan putri, tak mungkin karena gangguan kedua ekor biruang itu lantas menjadi murung, kedua ekor biruang itu tak perlu dibuat heran, semestinya dia perintahkan orang untuk mengangkutnya pulang serta memberikan pujian muluk2 kepada kau, tapi semua ini tak pernah terjadi." "Tapi kami memang benar-benar disergap oleh kedua ekor biruang itu." Thian-hi meng-ada2 membela diri. "Jadi kau sudah mengakui bukan karena kedua ekor biruang itu sehingga tuan putri bersikap dingin dan murung. Pasti ada kejadian lain yang lebih penting lagi, kalau tidak tak mungkin dia begitu sedih sampai jatuh sakit!" "Tuan putri adalah putri tunggal Baginda, kelak dialah yang bakal mewarisi kedudukan ayahnya, ada omongan yang tidak bisa ku utarakan." "Beritahu kepadaku," Tiba-tiba Ma Gwat-sian menyela. "Apakah dia. jatuh hati kepada kau?" Bergetar tubuh Thian-hi, kepalanya terangkat ia mengamati Ma Gwat-sian, katanya. "Kenapa kau bisa memikirkan ke arah itu?" "Betul bukan?" Ujar Ma Gwat-sian bangkit berdiri sambil tertawa-tawa. "Kudengar dari engkohku katanya kau pernah bertemu dengan dia dalam istana, tentu sikapnya sangat simpatik terhadap kau. Kau jauh lebih kuat dan baik dibanding putra Tan-siangkok. Kau dapat menduduki jabatanmu sekarang sebagai Komandan Gi-lim-kun kukira dia punya andil yang cukup besar." Thian-hi menjadi sebal, segera ia mengalihkan pembicaraan, katanya. "Tadi baru saja aku menyelidiki ke gedung Tan-siangkok. Disana kulihat Ing-ciangkun sedang mengadakan perundingan rahasia." "0," Ma Gwat-sian mengiakan, katanya. "Mereka sedang berunding cara bagaimana untuk menghadapi kalian bukan?" "Akhirnya Tan-siangkok menulis entah apa di atas telapak tangannya, dia tidak membacakan, jadi akupun tidak tahu apa sebenar-benarnya rencana mereka." lalu secara singkat jelas ia menceritakan pengalamannya kepada Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian berpikir, katanya. "Kelihatannya mereka sudah mempersiapkan segalanya, menggunakan kekuatan tentara lagi untuk menghadapi kau dan engkohku. Tentu besok mereka akan mengadakan Hong-bun-yam (perjamuan) mengundang kalian berdua." Thian-hi juga berpikir demikian, namun ia bertanya. "Tapi kenapa menggunakan cara halus dan mempersiapkan kekuatan lagi?" "Untuk perjamuan itu kukira mereka sudah mempersiapkan arak beracun, sepihak menggunakan tipu daya yang licik. dipihak lain sudah mempersiapkan bala tentara, bila rencana licik terbongkar mereka menggunaKan kekuatan pasukannya untuk menumpas kamu." "Kiranya begitu!" Ujar Thian-hi bingung. "Tidak bisa tidak kalian harus hadir dalam perjamuan itu, kalau tidak pergi berarti kalian sudah secara terang-terangan berdiri dipihak yang berlawanan. Apa-lagi Ing-ciangkun juga pasti hadir, mungkin pula Toh-ciatsu juga diundang, kalau kalian pergi jangan sekali2 minum arak. Thian-hi manggut-manggut. katanya. "Mereka menyiapkan tentara, cara bagaimana mengatasinya?" "Urusan itu aku tidak tahu dan bukan bidangku, silakan kau tanya engkohku saja. Perjamuan besok malum itu sangat penting. merupakan titik tolak dari segala keselamatan negara, jangan sekali2 dihadapi secara serampangan. Selamanya engkohku anggap Ing Si-kiat sebagai sahabat lama, Ing Si-kiat tidak akan mencelakai jiwanya, tepat pada waktunya harap kau suka menjaga dan melindungi dia!" "Sudah tentu aku akan berusaha sekuat tenaga dan kemampuanku betapapun aku pasti melindungi engkohmu," "Tuan putri jatuh sakit, bagaimana menurut maksudmu?" Melihat Ma Gwat-sian menyinggung persoalan itu pula. Thian-hi tertawa, sahutnya. "Mati atau hidup besok malam susah diketahui, kenapa membicarakan urusan itu!" Ma Gwat-sian tersenyum, ujarnya. "Sekarang sudah larut malam, pergilah tidur, besok kau harus menghadiri Hong-bun-yam itu!" habis berkata segera ia mengundurkan diri. Thian-hi berdiri mengantar Ma Gwat-sian, setelah menyendiri terasa hatinya hambar entah berapa lama ia menjublek ditempatnya. mendadak terbayang raut wajah Ham Gwat, lalu terbayang pula akan Su Giok-lan, tak lama lagi teringatlah kepada Sutouw Ci-ko, demikian juga bentuk wajah Ka-yap Cuncia yang welas asih itu terbayang dalam benaknya. Kemana pula jejak Lam-siau Kongsun Hong sang guru berbudi berkelebat juga dalam otaknya. Tak lama kemudian didengarnya. langkah kaki mendekat, tampak Ma Bong-hwi mendatangi, Thian-hi tersentak dari lamunannya, kata Ma Bong-hwi tertawa. "Tadi Gwat-sian sudah menjelaskan seluruhnya kepada aku sungguh aku hampir tak mau percaya!" "Tiada jeleknya Toako percaya untuk kali ini. Jikalau Tan-siangkok benar-benar mengadakan Hong-bun-yam itu, bagaimana Toako hendak menghadapinya?" "Mengandal Ing Si-kiat, aku tidak perlu takut, kekuatan pasukannya jauh lebih lemah dari aku. jikalau tidak pulang pada waktu yang ditentukan. diapun takkan bisa hidup lebih lama lagi!" "Toako hendak menggunakan kekerasan atau cara halus?" "Gwat-sian minta aku tidak membocorkan rahasia ini. selamanya aku patuh akan nasehatnya. Demikian juga untuk hal ini, kau sendiri bagaimana pendapatmu?" "Jika berada dalam gedung Tan-siangkok, bila musuh kuat dan pihak kita lemah, tindakan yang utama adalah kita harus berdaya untuk meloloskan diri, setelah lolos baru kita pikirkan cara menghadapinya!" Ma Bong-hwi tenggelam dalam pikirannya, katanya. "Sedianya aku sudah siap menghantamnya untuk hancur bersama, sekarang aku menjadi beragu malah, rasanya tiada harganya hancur bersama mereka, apakah kau punya cara untuk meloloskan diri itu!" "BUat kita tidak minum arak beracun mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa atas diri kita. Kalau tepat pada waktunya kita belum keluar dari gedung Tan-siangkok, akan kuutus seseorang menggunakan perintah raja untuk menarik mundur kita berdua secara kilat. Bila mereka sedikit lena tentu akan terjebak ke dalam tipu daya ini." "Ini merupakan salah satu cara. Lebih baik kita bekerja menurut gelagat!" Begitulah setelah bercakap-cakap sekadarnya. mereka masuk istirahat. Thian-hi mulai berlatih dan samadi di dalam kamarnya. Ka-yap Cuncia menyuruh aku kemari untuk terlatih Wi-thian-cit- ciat-sek, sekarang tiga bulan sudah berselang, sedikit pun aku belum memperoleh hasil, Tionggoan sudah semakin kemelut, bagaimana aku bisa hidup tentram disini. Lalu dikeluarkan buku pelajaran Wi-thian-citciat-sek, dengan seksama ia memeriksa dan meneliti meski pun dalam kamarnya. petang gelap, namun gambar2 Wi-thian-cit-ciat-sek itu dapat dilihat dan dibacanya secara jelas, otaknya bekerja. Tahu-tahu cuaca sudah mulai terang. Pagi2 benar-benar Ma Bong-hwi sudah bangun, Thian-hi pun menyimpan Wi-thian-cit-cia-sek lalu berangkat ke Thian-seng. Sebagai komandan Gi-lim-kun yang berkuasa di istana Thian-hi tidak perlu piket setiap pagi, setelah upacara berakhir. Tan-siangkok melangkah masuk ke dalam kamar kerja Thian-hi sembari berseri tawa, katanya. "Tio-ciangkun. Tio-ciangkun seorang panglima yang gagah perwira, merupakan panglima tinggi yang paling muda dan berani dalam sejarah Thian bi-kok kita, hari ini aku mengadakan perjamuan untuk merajakan pengangkatan Bu-wi Ciangkun, kuundang pula para pembesar istana. harap kau sendiri tidak menampik untuk hadir dalam perjamuan nanti malam." Cepat Thian-hi menjawab. "Siauciang baru saja berkedudukan di istana, Tan-siangkok begitu tinggi menghargai kami, sungguh kami tidak berani terima." Sementara itu Ing Si-kiat juga ikut melangkah maju, katanya. "Tio-lote merupakan tunas harapan bangsa kita, Tan-siangkok dan aku sering berdebat seru sampai kepala panas, namun betapapun kita merupakan satu rumpun, satu keluarga dalam satu negara. Malam nanti aku pun bersedia hadir, demikian juga Ma-ciangkun. sedang Toh-ciatsu menolak. maklum dia sudah tua dan berpenyakitan lagi. Banyak pula pembesar lain yang akan hadir semua. Harap Tio-ciangkun tidak menolak." Thian-hi tahu, katanya. "Para pembesar semua adalah angkatan yang lebih tua, kalau aku tidak hadir berarti aku tidak tahu penghargaan, baiklah nanti aku hadir, sebelumnya kunyatakan banyak terima kasih terlebih dulu kepada Tan-siangkok." Tan-siangkok tertawa lebar, katanya. "Tio-ciangkun merupakan tunas harapan kita semua, masih begitu muda sudah menjabat kedudukan begitu tinggi, kelak pasti punya harapan lebih tinggi dari kita semua. Tak usah sungkan-sungkan!" Lalu dengan berseri tawa bersama Ing Si-kiat mengundurkan diri. Ma Bong-hwi lantas melangkah masuk, Thian-hi tersenyum penuh arti, kata Ma Bong-hwi. "Sungguh tak nyana, ternyata seperti dugaan semula. Baik aku pulang dulu menyiapkan segala sesuatunya!" Thian-hi mengantar Ma Bong-hwi sampai di ambang pintu, tak lama kemudian datang seorang Thaykam memberi lapor bahwa Baginda raja mengundangnya untuk bicara. Diam-diam bergejolak hati Thian-hi, entah ada urusan apa Baginda mengundang dirinya, tersama Thaykam itu ia ikut masuk ke dalam istana. Setelah menyembah kepada Baginda raja, tampak olehnya sang raja sedang murung dan bersedih. katanya. "Setelah pergi bersama kau tuan putri lantas jatuh sakit tanpa mau bicara, sebetulnya apa ang telah kalian alami?" Bercekat hati Thian-hi, sesaat ia menjadi bingung, akhirrja menjawab. "Mungkin hamba yang kurang becus menjaga tuan putri sehingga beliau ketakutan, kami disergap dua ekor biruang besar di atas gunung, mungkin saking takut itulah sehingga beliau jatuh sakit." Baginda goyang2 tangan, ujarnya. "Tidak mungkin, nyali tuan putri tidak sekecil seperti apa yang kau katakan, tak mungkin hanya karena urusan sekecil ini menjadi ketakutan dan sakit. Sejak kecil dia jarang sakit, menurut tabib katanya punya janggalan hati, itulah sakit rindu, sebetulnya apa yang telah kalian alami lagi?" "Hamba tidak tahu sebetulnya tiada kejadian lain yang luar biasa." Baginda menarik muka, katanya rada gusar. "Apa! Kau tak mau bicara?" "Apakah tuan putri sekarang sudah siuman?" "Dia baik-baik saja, hanya tidak mau berkata atau bersuara, selalu terlongong-longong ngelamun, coba kau bicara terus terang, aku tidak akan salahkan kau." "Apakah Baginda dapat mengijjnkan hamba bertemu dengan tuan putri?" "Kau." Baginda melengak. Mendadak ia seperti tersadar, dengan seksama ia amat-amati Thian-hi, sesaat kemudian berkata. "Berapa umurmu sekarang?" "Hamba berusia dua puluh satu!" "Apakah kau sudah punya calon jodoh?" Tergetar jantung Thian-hi, setelah terlongong ia menjawab. "Belum!" Baginda manggut-manggut tak bicara lagi. Thian-hi pun tidak bersuara lagi, hatinya menjadi gelisah, pertanyaan Baginda ini merupakan suatu pernyataan yang paling dikuatirkan untuk diterima. Diam-diam ia berdoa semoga tuan putri dapat menyelami perasaannya. "Sekarang aku tahu, kau boleh keluar. Urusan ini aku tidak salahkan kau." Thian-hi menyembah lalu mundur, sungguh ia tidak bisa melukiskan bagaimana perasaan hatinya saat itu. Baru saja cuaca menjadi gelap Tan-siangkok sudah mengirim utusan mengundangnya, sejak siang Thian-hi sudah berpesan seperlunya kepada anak buahnya, segera ia naik kuda terus berangkat bersama utusan itu. Gedung Tan-siangkok dihias begitu indah dan megah, ramai luar biasa, ratusan pembesar2 militer dan sipil sudah hadir, ruang yang besar itu menjadi penuh sesak. Tak lama kemudian Ma Bong-hwi juga sudah datang, banyak pembesar mengelilingi Thian-hi, Thian-hi menjadi keripuhan berbagai pertanyaan dan sanjung puji yang berkelebihan, kepala menjadi pusing, namun dengan tersenyum sedapat mungkin ia layani mereka. Tan-siangkok menyeruak orang-orang yang merubung itu terus mendekati Thian-hi, katanya. "Kedatangan Tio-ciangkun sungguh merupakan suatu kehormatan bagi aku orang tua ini." "Demi permintaan Siangkok Tayjin, mana Siau-ciang berani tidak hadir. Siangkok Tayjin mengadakan perjamuan bagi diriku, sungguh membuat aku malu dan terima kasih, budi kebaikan Siangkok ini sungguh sulit aku membalasnya." Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya. "Tio-ciang-kun masih muda ganteng lagi, setiap orang akan kagum dan memujimu, kalau punya gadis perawan sungguh ingin rasanya kau kuambil mantu." Seluruh hadirin ikut bergelak tawa akan kelakar ini, Thian-hi sendiri menjadi kikuk, diam-diam hatinya rada dongkol. Tak lupa Tan-siangkok pun sekedar basa basi dengan Ma Bong-hwi, akhirnya mereka dipersilahkan duduk di kursi teratas. Tan-siangkok sendiri duduk di sebelah kanan Thian-hi, di sebelah yang lain duduk Ma Bong-hwi. Setelah seluruh hadirin menempati tempat duduknya masing-masing, tampak serombongan gadis2 aju membawa poci arak dan cawan berbondong-bondong tersebar ke seluruh ruangan menyuguhkan hidangan pertama. Segera Thian-hi berdiri dan berkata kepada Tan-siangkok. "Siangkok, maaf aku tidak bisa minum arak!" Tan-siangkok lekas bangun berdiri pula, katanya. "Kenapa Tio-tiiangkun begitu sungkan, apakah sengaja hendak membuat aku serba runyam!" "Sebetulnyalah aku pernah berjanji di hadapan ibunda sebelum beliau ajal, selamanya tidak akan minum arak." Begitulah Thian-hi kemukakan alasannya. Tan-siangkok menjadi kewalahan, matanya melirik ke arah Ing Si-kiat, segera Ing Si-kiat bangun serta bertanya kepada Thian-hi. "Waktu ibundamu wafat entah berapa umur Tio- ciangkun?" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Thian-hi merandek, jawabnya. "Kira-kira empat belas tahun!" "Nah tatkala itu Tio-ciangkun masih bocah kecil, sudah tentu ibunda Tiong-ciangkun melarang minum arak, sekarang Tio-ciangkun naik pangkat mendirikan pahala, usia sudah dewasa!" "Tapi ibundaku." "Bagaimana kalau Baginda yang menganugrahi secawan arak?" Tanya Ing Si-kiat mendesak. Thian-hi menjadi bungkam, sebetulnya sengaja ia mengada2 menggunakan pesan ibunya untuk menolak, tapi pertanyaan Ing Si-kia+ ini membuatnya serba sulit, tidak bisa tidak ia harus minum, sesaat ia bingung dan berdiri terlongong. Lekas Ma Bong-hwi bangkit serta menalangi. ujarnya. "Tan-siangkok, Ing-ciangkun sudahlah kenapa begitu bersitegang leher. Apalagi aku dan Tio-lote sudah melulusi permintaan adikku untuk tidak minum arak." Sesaat Ing Si-kiat tampak melongo, katanya. "Kenapa? Apa Ma-ciangkun juga tidak sudi minum arak?" "Pesan adikku tidak bisa tidak harus kupatuhi. Bukankah Ing-ciangkun juga tahu hal ini." Apa boleh buat Ing Si-kiat menyeringai sinis. Selamanya Ma Bong-hwi sangat mematuhi setiap patah kata adiknya memang sudah diketahuinya dengan jelas. Sekarang Ma Bong-hwi bicara secara gamblang, diapun menjadi kewalahan. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, segera Tan-siangkok berkata. "Kenapa Ma- ciangkun tidak sudi minum arakku, apakah curiga dan merasa sirik terhadapku?" "Ah, Siangkok berkelakar saja!" "Biasanya aku tak senang mengurus segala urusan tetek bengek dalam keluarga, sehingga putra anjingku itu suka bersimaharaja di luaran. Tapi hari ini secara langsung biarlah aku mohon maaf sebesar2nya kepada Ma ciangkun di hadapan sekian orang-orang gagah, apakah Ma- ciangkun masih tidak sudi mencicipi arakku?" Melihat orang sudah naik pitam Ma Bong-hwi mandah tersenyum saja, ujarnya. "Mana aku membenci dan sirik terhadap Siangkok, soalnya aku terpaksa." Tan-siangkok memberi isyarat dengan kedipan mata, seorang gadis pelayan segera menuang arak, tanpa banyak cincong lagi Tan-siangkok segera menyamber cawan arak di hadapan Thian-hi dan Ma Bong-hwi terus ditenggak habis. Para pembesar militer atau sipil lainnya beramai ikut angkat cawan dan tenggak habis arak masing-masing. Tan-siangkok suruh kedua gadis pelayan yang lain menuang lagi dua cawan arak dipersembahkan kepada Thian-hi dan Ma Bong-hwi. Melihat tingkah laku Tan-siangkok ini semakin besar curiga Ma Bong-hwi, timbul kewaspadaannya, namun dalam hati ia berpikir: mungkin Thian- hi dan adikku yang banyak curiga, belum lagi mereka jelas duduk perkaranya, mana mereka tahu bahwa arak ini mengandung racun! Sebaliknya bagi pandangan Thian-hi kelakuan Tan-siangkok itu malah mempertegas akan keyakinannya atas kelicikan orang. Untuk dirinya tiada halangan ia minum arak itu, karena Lwekangnya jauh mencukupi untuk menolak segala racun, tapi bagaimana dangan Ma Bong-hwi, bila dia ikut minum bukan berarti aku pun menyelakai jiwanya? Tan-siangkok tertawa lebar katanya sambil angkat cawan. "Para hadirin sekalian, marilah kita minum menyampaikan selamat kepada Tio-ciangkun." lalu ia angsurkan cawannya ke depan Hun Thian-hi. Thian-hi pun angkat sebelah tangan, katanya. "Terima kasih akan kebaikan Tan-siangkok, baiklah dengan tangan kosong ini kuterima pemberian arak ini." Seperti orang menenggak arak tangannya terangkat ke depan mulutnya lalu mendongak. Melihat Thian-hi dan Ma Bong-hwi mengukuh tidak mau minum arak, Tan-siangkok dan Ing Si- kiat saling pandang sebentar. Dengan sebuah lirikan beringas Tan-siangkok memberi isyarat, kedua gadis pelayan itu segera digusur ke belakang. Bertaut alis Thian-hi, tak tahu ia apa yang akan diperbuat atas kedua gadis pelayan itu. Tapi dalam hati ia berkata; akan kulihat bagaimana kau akan bertingkah, betapapun hari ini aku pantang minum setitik arak pun. Tak lama kemudian dua laki-laki menyanggah dua nampan perak maju menghadap ke hadapan Tan-siangkok, di atas nampan perak itu jelas terletak dua kepala kedua gadis pelayan tadi. Saking terperanjat Thian-hi sampai berjingkrak bangun. Tan-siangkok berkata. "Kedua pelayan tidak becus tadi sudah kubunuh dan sekarang kupersembahkan kepada kalian!" Ma Bong-hwi juga berubah pucat air mukanya. Dari samping suara Ing-ciangkun berkata lantang. "Tan-siangkok terlalu banyak minum!" Dengan mengunjuk senyum lebar, Tan-siangkok menggapai dua pelayan lain yang membawa poci dan cawan pula. Bab 17 Terkejut hati Thian-hi, kelihatan tangan kedua gadis pelayan itu gemetar dan ketakutan, begitu dekat salah seorang menuang arak di depan Thian-hi serta berkata bergidik. "Tio-cjangkun! Silakan minum arak!" Karena takut dan gemetar arak banyak tumpah di atas meja. Tan-siangkok mandah tersenyum manis, matanya melirik congkak menyapu pandang ke sekelilingnya. Dua laki-laki berseragam hijau segera maju menyeret gadis itu, cepat gadis itu berlutut di hadapan Thian-hi serta meratap. "Tio-ciangkun, tolonglah jiwaku!" "Nanti dulu!" Thian-hi berjingkrak bangun. matanya menyapu ke seluruh hadirin. Sikap Tan-siangkok acuh tak acuh, duduk dengan angkernya. Keruan bukan kepalang gusar Thian-hi. Serunya. "Siangkok Tayjin, apakah boleh pandang mukaku, ampuni jiwanya?" Tan-siangkok tertawa, katanya. "Apakah Tio-ciangkun benar-benar tidak mau memberi muka?" Pandangan Hun Thian-hi menyapu keadaan sekelilingnya. Ing Si-kiat segera bangkit seraya berkata. "Sungguh Tio-ciangkun membuat Tan-siangkok serta runyam dan kena malu!" Dilihat oleh Thian-hi air muka Ma Bong-hwi yang geram, seperti tidak tahan sabar lagi, dengan lirikan matanya ia mencegah orang berbuat gegabah, lalu katanya tersenyum kepada Tan- siangkok. "Kalau Siangkok memaksa terpaksa tak dapat kutolak lagi, namun Ma-ciangkun terang tak bisa minum, biarlah aku yang mewakili saja, bagaimana menurut pendapat Siangkok?" Baru saja Tan-siangkok hendak bicara, Ing Si-kiat keburu mendahului, katanya. "Begitupun baik, ucapan adik perempuan Ma-ciangkun seolah-olah lebih tinggi dari perintah raja bagi dia, maka Tan-siangko kpun tak perlu memaksanya lagi." Sekaligus Thian-hi tenggak habis dua cawan arak, begitu masuk perut terasa perutnya seperti dibakar, terang itulah arak beracun yang sangat jahat, heran dia kenapa tadi Tan-siangkok bisa minum, mungkinkah mereka sudah minum obat pemunah sebelumnya. Melihat sikap Thian-hi yang masih berdiri tegak tanpa bergeming dengan gagah, diam-diam terkejut hati Ing Si-kiat dan Tan-siangkok, serta merta mereka saling berpandangan. Menurut perhitungan Ing Si-kiat dia terlalu tinggi menilai ilmu silat Hun Thian-hi, melihat orang rela mewakili Ma Bong-hwi minum arak, dalam hati ia membatin; hanya meringkus Thian-hi seorangpun bolehlah, soal Ma Bong-hwi gampang saja dihadapi dengan pasukan pendam yang sudah dipersiapkan diluar. Siapa kira setelah Hun Thian-hi minum arak itu sedikitpun ia tidak kurang suatu apa. Keruan kejut dan gentar hatinya, mungkinkan arak beracun itu tidak mujarab lagi khasiatnya? Bergegas Tan-siangkok berdiri minta diri ke belakang untuk tukar pakaian, karena gemetar Ing Si-kiat berlaku kurang hati-hati tangannya menyenggol jatuh sebuah cawan arak. Ma Bong-hwi melonjak bangun sambil meraba pedangnya, dia siap menghadapi segala kemungkinan. Tapi kenyataan keadaan tetap tenang tiada terjadi apa-apa. Dengan tajam matanya menyelidik ke empat penjuru, akhirnya berhenti di muka Ing Si-kiat, katanya tertawa tawar. "Ing-ciangkun menjatuhkan cawan membuat aku kaget!" Sudah tentu Ing Si-kiat yang paling kaget dan pucat mukanya, bagaimana mungkin pasukan sebanyak lima ratus orang yang telah dipersiapkan diluar itu satupun tiada yang muncul, apakah telah terjadi sesuatu di luar dugaan?" Dasar licik, sebentar saja dia dapat mengendalikan perasaannya, dengan tersenyum simpul ia berkata. "Minumku juga terlalu banyak, sebuah cawan saja sampai tak kuasa kupegang." Ma Bong-hwi mandah tertawa ejek, hatinyapun heran dan bertanya-tanya, kenapa suasana masih demikian tenang, sampai dimana tingkat kepandaian ilmu silat Ing Si-kiat ia tahu jelas, takkan mungkin sebuah cawan saja tak kuasa memegangnya, apalagi arak yang diminumnya tidak banyak, tak mungkin kena mabuk, tapi kenyataan pasukan terpendam itupun tidak muncul. Begitulah hatinya bertanya-tanya, dia pun heran apakah arak yang diminum itu beracun? Tan- siangkok sendiri tidak kurang suatu apa, demikian juga Hun Than-hi tetap segar bugar, sungguh hatinya bingung dan tak mengerti. Demikian juga hati Thian-hi dirundung rasa heran yang sama, kenapa pasukan pendam yang dipersiapkan itu tidak muncul menyerbu. Tengah ia bertanya-tanya dalam hati, tampak seseorang pengawal yang mengenakan seragam Busu serba merah muncul langsung menghadap ke depan Thian-hi. "Lapor komandan, sekarang juga Baginda raja ingin bertemu dengan Komandan dan Ma- ciangkun, diperintahkan untuk segera menghadap!" Thian-hi bersama Ma Bong-hwi lantas berdiri, katanya kepada Ing Si-kiat. "Perintah Baginda memanggil, terpaksa kami tak bisa tinggal lebih lanjut, harap Ing-ciangkun mewakili kami mohon diri kepada Tan-siangkok." Habis berkata angkat tangan menjura lalu melangkah lebar keluar, dengan hambar dan terlongong Ing Si-kiat berdiri di tempatnya, sesaat lamanya mulutnya terbungkam tak kuasa bicara. Bagaimana ia harus bertindak selanjutnya, mau menahan orang terang dirinya tidak mampu, kalau membiarkan mereka berdua pulang, bak umpama membiarkan harimau kembali kesarangnya. Kejadian hari ini betapa pun harus dirahasiakan. Bila besok pagi waktu piket dihadapan Baginda Ma Bong-hwi membeber intrik kejahatan ini, Tan-siangkok sendiripun takkan terhindar dari bencana. Begitulah waktu ia mendongak lagi, Thian-hi berdua sudah pergi jauh, tersipu-sipu ia memburu keluar dan memeriksa ke empat penjuru, tampak olehnya kelima ratus tentara pendamnya yang bersenjata lengkap itu semua rebah di tanah, sebagai seorang ahli silat sekali pandang saja lantas dia tahu duduk perkaranya, ternyata seluruh pasukan pendamnya telah tertutuk jalan darah penidurnya, keruan kejut dan murka pula hatinya, darimana datangnya tokoh kosen yang telah menggagalkan rencananya, merobohkan lima ratus pasukan pendamnya tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, sungguh lihay dan tinggi kepandaian tokoh silat itu. Sekonyong-konyong tersentak sanubarinya, pikirnya mungkinkah semua ini hasil berpuatan Bu- wi Ciangkun Tio Gun itu? Sekujur badannya menjadi basah oleh keringat dingin, arak beracun dipandangnya minuman nikmat yang menyegarkan badan, betapa tinggi lwekangnya sungguh tak berani dibayangkan. Semakin pikir Ing Si-kiat menjadi semakin takut, mengandal ilmu silat Hun Thian-hi yang begitu menakjupkan itu, bila mau memenggal kepala mereka rasanya segampang mengambil barang di dalam kantong bajunya sendiri. Sementara itu, begitu keluar dari gedung Tan-siangkok langsung Thian-hi berdua naik kuda terus dibedal ke depan cepat-cepat, setelah di perjalanan, Thian-hi ulapkan tangan, lari kuda diperlambat, segera ia kerahkan tenaga mendesak arak beracun itu keluar dari perutnya. Begitu arak itu menyemprot di tanah, rumput sekitarnya yang kecipratan arak itu kontan menjadi kuning terbakar. Diam-diam bercekat hati Ma Bong-hwi, begitu jahat arak beracun ini, namun lebih kagum lagi akan kekuatan Thian-hi yang bisa bertahan lama mengendom arak beracun dalam perutnya. Setelah mengeluarkan arak beracun, badan Thian-hi terasa lemas dan kesal, batinnya; jahat benar-benar arak beracun ini. Melihat keadaan temannya itu Ma Bong-hwi segera berkata. "Lote, lebih baik malam ini kau menginap dirumahku saja!" Thian-hi tertawa-tawa, katanya. "Badanku masih cukup kuat, mungkin Baginda ada urusan dengan aku, aku harus berada di tempat tugasku." Begitulah akhirnya mereka berpisah ditengah jalan, Thian-hi langsung pulang keistana. Dalam hati selalu ia heran dan bertanya-tanya kenapa pasukan pendam Ing Si-kiat tidak muncul. Begitu memasuki kamarnya, tampak di atas mejanya terletak secarik kertas. dimana tertulis. "Besok tengah malam, bertemu dipuncak Thian-ting datanglah dan jangan membangkang!" surat ini tidak dibubuhi tanda tangan, hanya tergambar sepasang pedang. Berkerut alis Thian-hi. pikirnya, aku belum ada kenalan di tempat ini, darimana orang ini bisa mengundang aku untuk bertemu muka, tanda sepasang pedang ini entah apa pula maksudnya, mungkin merupakan julukan seseorang. Begitulan hati Thian-hi menjadi gundah, mau pergi atau tidak. kalau orang itu bisa keluar masuk dalam istana dan meninggalkan secarik kertas ini di atas meja, ilmu silatnya tentu tidak lemah, tapi apa tujuannya dia mengundang aku? Tengah Thian-hi terpekur, seorang Gi-lim-kun beranjak masuk, lapornya. "Baginda minta Tio- ciangkun segera menghadap diistana!" Thian-hi rada melengak, sembari menyimpan kertas itu ia mengiakan terus melangkah tersipu- sipu menuju keistana raja. Setelah Thian-hi melakukan sembah sujudnya segera Baginda berkata kepadanya. "Apa kau tahu cara bagaimana sehingga kau dapat memangku jabatan Komandan Gi-lim-kun ini." Berdetak jantung Thian-hi, sahutnya. "Sebetulnya hamba masih banyak kekurangan, semua itu berkat budi dan anugrah Baginda raja." Baginda menggeleng pelan-pelan, ujarnya. "Tidak! Menurut maksudku semula hendak kuangkat kau sebagai wakil Ma Bong-hwi, namun tuan putri sangat simpatik terhadap kau, katanya jabatan komandan Gi-lim-kun masih kosong, kaulah yang paling cocok mendudukinya!" Thian-hi bungkam, Ma Gwat-sian ternyata menebak betul. Kiranya memang maksud hati tuan putri yang mencalonkan dirinya pada kedudukan sekarang ini. Dengan lesu Baginda menghela napas, katanya. "Apa kau tahu kenapa aku tidak mengusut lebih lanjut perkara hilangnya benda-benda mestika itu?" "Hamba tidak tahu!" "Begitu melihat situasi dan keadaan selama ini lantas aku maklum, tujuan orang itu bukan melulu mencuri barang-barang mestika itu, para pembesar dalam lingkungan istana saling berebutan pegang kuasa, aku menjadi pusing dan tak mau urus mereka lagi!" Selesai bicara, ia menunduk dengan lemas lunglai. hatinya tampak sangat sedih dan murung. Sungguh haru dan tergugah perasaan Thian-hi, Baginda raja ini kiranya bukanlah raja lalim yang begitu ceroboh seperti dugaan mereka semula. Bagi seorang raja, ternyata setiap hari setiap saat dirundung kerisauan hati yang memuncak. Memang kalau dia mengusut perkara ini labjh lanjut, pasti selurah negara bakal terjadi keonaran besar. Terdengar Baginda berkata lagi. "Tuan putri adalah anakku satu-satunya, aku mengharap dia baik, tanpa dia mau bilang akupun tahu perasaannya. Selamanya dia pasti dapat memperoleh barang apa saja yang diinginkan, ternyata sekarang dia tidak sudi mendesak dan memaksa pada kau, aku sendiri aku pun tidak akan paksa kau. kalau mungkin saja, kuharap kau tidak menyia- nyiakan harapannya yang suci." Thian-hi tunduk semakin dalam tanpa buka suara. Setelah menghela napas. Baginda berkata pula. "Cara bicaraku ini tiada perbedaan antara raja atau pembesar lagi, aku bicara sebagai orang tuanya!" "Baginda," Kata Thian-hi sambil angkat kepala. "Apakah kau tahu asal usulku?" Dengan seksama Baginda pandang mata Thian-hi. katanya. "Aku sendiri kurang jelas, tapi aku tahu bahwa kau adik angkat Ma Bong-hwi, dan yang terpenting aku percaya penuh kepada kau!" "Nama asliku bukan Tio Gun, yang benar-benar aku bernama Hun Thian-hi, aku juga bukan rakjat dari Thian-bi-kok ini, aku menyelundup datang dari Tionggoan." Terkejut Baginda. "Apa?" Serunya berjingkrak bangun. Thian-hi menunduk lagi, sahutnya. "Aku tahu akibat apa setelah aku menjelaskan asal usulku, tapi sekarang aku terpaksa harus bicara terus terang. tak lama lagi aku harus kembali ke Tionggoan." Baginda pandang Thian-hi lekat-lekat, sesaat lamanya bungkam dan duduk kembali, katanya. "Kau cukup jujur. Bagi orang yang menyelundup ke Thian-bi-kok ini hukumannya adalah penggal kepala, betapa pun tinggi kepandaian silatmu, puncak Thian-ting sana tidak kurang tokoh-tokoh kosen yang mampu meringkus kau. Rahasia ini hanya aku saja yang tahu, jangan kau katakan kepada orang lain!" "Terima kasih akan budi dan keluhuran Baginda!" "Dikala kita bersemajam bersama, aku tidak mau kau bicara begitu rupa, aku simpatik akan sikapmu yang perwira dan pambekmu yang tinggi. Kuduga tuan putri pasti ketarik juga akan sifat2mu ini!" Thian-hi tidak bicara, dalam hati ia sangat bersyukur akan kemurahan hati Baginda. Sejenak merandek, Baginda meneruskan. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sebelum kau pulang meninggalkan kami, apakah kau sudi tetap tinggal di istana saja?" "Dengan senang hati hamba akan tetap tinggal dan menunaikan tugas sekuat tenaga." "Apa kau mau bertemu dengan tuan putri?" Thian-hi sangsi sebentar, akhirnya manggut-manggut. Baginda segera bangkit membawa Thian-hi masuk ke istana keputrian. waktu mereka memasuki sebuah kamar tidur yang besar, para dayang segera menyingkir minggir serta memberi sembah hormat. Di tengah sebelah pojok dinding sana terletak sebuah ranjang, disanalah tuan putri rebah, wajahnya kelihatan pucat dan rada kurus, kedua biji matanya terpejam, kelihatannya sedang tidur nyenyak. Baginda menghela napas ringan, ujarnya. "Dia tidur nyenyak, mari kembali keluar saja!" Mendadak tuan putri membuka biji matanya, sekilas pandang dilihatnya Thian-hi berada di situ dengan kaget tersipu-sipu ia berusaha bangun duduk dengan sikut menahan badannya, kedua matanya terbelalak besar, serunya. "Kau." Cepat Thian-hi membungkuk memberi hormat, sapanya. "Tio Gun memberi hormat pada tuan putri, semoga tuan putri lekas sembuh dan sehat walafiat!" Baginda bergegas maju mendekat, sekian lama tuan putri terlongong memandangi Thian-hi, akhirnya dengan rasa hambar ia lepaskan topangan tangannya, badannya rebah lagi dengan lesu. Thian-hi menunduk, diam-diam dalam hatinya ia mencercah diri sendiri. "Apakah harus aku kemari menemui dia? Tetapi tinggal di istana belum tentu lantas benar-benar, pengalaman yang kuhadapi di Thian-bi-kok ini sungguh belum pernah terbayangkan sebelumnya." Sementara itu Baginda sudah dipinggir ranjang, tuan putri masih terlongong bungkam, Baginda menjadi rawan dan menghela napas, ujarnya. "Ih-ji.jangan kau membuat aku bersedih hati!" Kelopak mata tuan putri mengembeng air mata, sesaat kemudian baru bersuara dengan sesenggukkan. "Hanya hatiku saja yang rasanya kurang enak, sebentar saja tentu sudah baik, aku tidak apa-apa, ayah tidak perlu bersedih!" "Dia memang benar-benar, tak lama lagi dia akan segera kembali ke Tionggoan, untuk kau dia kurang cocok!" Tuan putri termangu-mangu, sesaat lamanya baru tersenyum dan berkata. "Aku tidak akan salahkan dia!" Dengan mengembeng air mata Baginda manggut-manggut, katanya. "Aku hanya punya seorang putri, kau tahu aku tidak bisa kehilangan kau!" Thian-hi tahu dirinya tidak enak tinggal terlalu lama di tempat itu, secara diam-diam ia mundur keluar terus kembali ke tempatnya sendiri. Dalam hati ia berpikir Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna, bagaimana juga aku jangan menyia-nyiakan waktu untuk berlatih, maka malam itu semalam suntuk ia tekun dan lebih giat mempelajari Wi-thian-cit-cit-sek. Hari kedua setelah selesai piket Ma Bong-hwi datang, Thian-hi lantas bertanya soal tanda sepasang pedang itu merupakan julukan siapa? Dengan heran Ma Bong-hwi berkata. "Apa Thian-bi-siang-kiam juga tidak kau kenal?" Melihat sikap Ma Bong-hwi ini bercekat hati Thian-hi, mungkin Thian-bi-siang-kiam itu merupakan tokoh aneh yang berkepandaian sangat tinggi, namun sediki tpun aku tidak tahu, jangan sampai aku memperlihatkan kebodohanku ini. Maka segera ia menjawab tak acuh. "Selamanya aku tidak tahu akan seluk beluk hal ini!" Ma Bong-hwi mengawasinya dengan pandangan tidak percaya, serunya. "Apa! Jadi mereka mencari dirimu?" Thian-hi mandah tertawa-tawa tanpa bersuara lagi. "Ini bukan soal main-main, mereka berdua mengasingkan diri di Thian-ting, kecuali urusan yang sangat besar selamanya mereka segan turut campur menguruS segala tetek bengek, bila benar-benar mereka mencari kau, jelas kau bakal menemui kesulitan, bila urusan baik itulah tak menjadi soal, kalau urusan buruk, kukuatir." "Tiada apa-apa, aku hanya bertanya sambil lalu saja," Tukas Thian-hi. Ma Bong-hwi tidak percaya, katanya. "Dalam istana tiada tugas yang penting, mari kau ikut pulang ke rumahku, hanya adikku saja yang rasanya dapat mengorek keteranganmu, terhadap aku agaknya kau tidak sudi bicara blak2-an!" Thian-hi menampik dengan alasan, namun Ma Bong-hwi memaksa dan menariknya keluar, apa boleh buat terpaksa Thian-hi ikut pergi. Setelah sampai di rumahnya Ma Bong-hwi suruh Thian-hi duduk menunggu di ruang tamu, tersipu-sipu ia masuk memanggil Ma Gwat-sian, tak lama kemudian tampak mereka keluar sambil bicara. Melihat Ma Gwat-sian keluar Thian-hi lantas bangkit dan menyapa. "Toa-moaycu, kau baik?" Ma Gwat-sian tersenyum, katanya sambil duduk. "Apakah Thian-bi-siang-kiam mencari kau?" Dengan kikuk Thian-hi manggut-manggut, seolah-olah dihadapan Ma Gwat-sian sedikit pun ia tidak berani membual, daya pikir dan analisa Ma Gwat-sian membuat dia sulit untuk bohong di hadapannya. Ma Gwat-sian tertawa geli, Ma Bong-hwi segera menyeletuk. "Nah apa aku bilang? Setiap kali kau bertemu dia seperti tikus melihat kucing!" Benak Thian-hi dan Ma Gwat-sian bergetar bersama, sekilas mereka saling beradu pandang, otaknya lantas membayangkan pikiran sendiri, tanpa bersuara. Akhirnya Ma Gwat-sian tertawa, katanya. "Menurut dugaanku mungkin karena kedua biruang itulah sebabnya!" "Biruang?" "Apakah yang sedang kalian perbincangkan, apa boleh dijelaskan kepada aku?" Ma Bong-hwi menukas. "Soal ini tak ada sangkut paut dengan kau, maka kaupun tidak perlu banyak tanya!" Sahut Ma Gwat-sian. Ma Bong-hwi menghela napas, ujarnya. "Begitulah aku yang menjadi engkoh ini, setiap urusan selalu harus dengar ucapan adik! Baiklah aku menyingkir saja supaya tidak mengganggu keasjikan kalian bicara!" Ia bangkit terus tinggal pergi sambil tertawa lebar. Merah jengah selebar muka Ma Gwat-sian, katanya tersenyum manis. "Sebagai seorang pejabat tinggi engkohku bicara terlalu bebas!" Thian-hi juga tertawa, katanya. "Mungkin sekedar kelakarnya saja untuk menyenangkan hati belaka!" Sejenak mereka berdiam diri, lalu Ma Gwat-sian berkata. "Apakah benar-benar kau gunakan tenaga dalam untuk memukul mati kedua biruang itu!" Thian-hi manggut-manggut. Tatkala itu dia sudah punya pikiran bila hal ini diketahui orang lain pasti bakal menimbulkan buntut perkara yang menyulitkan dirinya, sayang waktu itu dia tidak memendam saja kedua ekor biruang itu, sekarang menyesalpun sudah kasep. Kata Ma Gwat-sian. "Thian-bi-siang-kiam pasti sudah tahu bahwa orang yang membunuh kedua ekor biruang itu tentu kau adanya. Lwekang mereka sangat tinggi, mungkin kau bukan tandingan mereka. Tapi sebagai Bu-wi Ciangkun tentu mereka tidak berani berlaku kasar terhadapmu, yang penting hanya mencari tahu asal usul perguruanmu saja." Thian-hi tenggelam dalam pikirannya, tanyanya. "Orang macam apakah sebenar-benarnya Thian-bi-siang-kiam itu?" "Kalau kau tidak tahu bila ketemu mereka mungkin lantas dapat diketahui asal usulmu, bahwa kau bukan warga Thian-bi-kok asli, dalam wilajah Thian-bi-kok ini tua muda laki perempuan tiada seorang pun yang tidak kenal akan kebesaran nama Thian-bi-siang-kiam!" Bercekat hati Thian-hi; untung hari ini aku kemari, kalau tidak kesulitan bakal lebih besar kuhadapi! Setelah merandek Ma Gwat-sian melanjutkan. "Mereka bernama Giok-hou-sian dan Pek-bi-siu. Sepuluh tahun yang lalu, dari Tionggoan ada serombongan gembong-gembong iblis yang menyelundup kemari segera mereka yang tampil ke depan membunuh seluruh gembong-gembong iblis itu. Maka seluruh rakjak Thian-bi-kok tiada yang tidak kenal ketenaran mereka." Thian-hi lantas membatin. "Thian-bi-siang-kiam ini pasti bertangan gapah dan kejam, yang jelas ilmu silat mereka pasti sangat lihay!" Sekian lamanya mereka tenggelam lagi ke alam pikiran masing-masing, akhirnya Ma Gwat-sian menunduk serta bicara kalem. "Hun-toako, apakah benar-benar kau rada takut terhadapku seperti yang dikatakan oleh engkohku itu? Terhadap urusan orang lain aku dapat meraba dan memberikan pandanganku, namun serta menghadapi urusan yang melibatkan diriku sendiri, hatiku menjadi bingung dan kehilangan akal sehatku!" Thian-hi tertawa, katanya. "Sebetulnya aku sangat kagum pada kau, kau benar-benar seorang cerdik pandai!" "Kata Ma Gwat-sian. "Guruku sudah pergi lagi, entah kapan beliau baru akan pulang. Bila beliau ada disini, mungkin aku bisa minta pertolongannya. Bolek dikatakan guruku merupakan tokoh paling aneh di seluruh negeri kecil ini, ada beliau yang tampil ke depan, urusan sebesar gunungpun akan dibikin beres segampang membalikkan tangan." Thian-hi tertawa seraya menyatakan terima kasih, katanya. "Ini menyangkut urusanku sendiri tak enak kalau gurumu ikut campur, apalagi gurumu sedang pergi, mungkin sedang menyelidiki persoalanku di Tionggoan!" Ma Gwat-sian mengawasi Thian-hi lekat-lekat, katanya. "Guruku menyuruh aku jangan terlalu dekat dengan kau, katanya waktu berada di Tionggoan kau dijuluki Leng-bin-mo-sin, sedang kau sendiri kau memang berwatak tinggi hati ya bukan?" "Benar-benar," Thian-hi mengakui. "Dikala gurumu pulang, saat itulah bencana bakal menimpa diriku. Sebelum kemari guruku pemah berpesan supaya aku tidak menunjukkan ilmu silatku, atau sebaliknya aku bakal ketimpa bahaya besar!" "Kalau begitu jadi gurumu juga seorang tokoh aneh yang tinggi kepandaiannya, apalagi cara bagaimana beliau bisa mengetahui adanya tempat terasing ini?" Thian-hi geleng-geleng kepala sembari tertawa tanpa buka suara. "Ketahuilah guruku seorang yang cukup bijaksana dan mengenal aturan, bila kau tidak melakukan perbuatan yang tercela kau tidak perlu takut terhaday beliau, dia tidak akan sembarangan turun tangan tanpa alasan, apalagi.apalagi aku bisa mohon pengampunan pada beliau." "Aku sendiri tidak merasa takut, sudah sering aku kebentur urusan yang menyulitkan diriku, aku sendiri juga bisa mengakui akan julukan Leng-bin-mo-sin itu, julukan ini memang cukup menakutkan bukan?" Ma Gwat-sian termangu-mangu, agak lama kemudian mendadak bertanya. "Hun-toako, apa kau sudi beritahu lebih banyak tentang dirimu kepada aku?" Thian-hi beragu sesaat lamanya, ujarnya. "Sekarang aku belum bisa bicara, bila kukatakan seakan-akan memberi bahan kepada kau untuk minta pengampunan terhadap gurumu, lebih baik setelah gurumu memberitahu kepada kau baru akan kujelaskan, begitu lebih jelas lebih baik!" "Selalu aku merasa sikapmu terlalu congkak, apa kau merasa akan hal ini?" "Selamanya aku pantang meminta2 kepada orang lain, pernah aku mengalami pahit getir yang mengenaskan, toh aku tidak pernah mendapat simpatik dan belas kasihan orang lain!" teringat olehnya peristiwa di Giok-bun-koan dimana dia berhadapan secara langsung dengan Situa Pelita, yang dia minta dan pengampunan bukan untuk dirinya, tapi demi hidup Sutouw Ci-ko, saudari angkatnya itu! "Aku tahu akan watakmu ini! Cara bagaimana kau akan menghadapi Thian-bi-siang-kiam nanti malam?" "Aku sendiri belum tahu apa tujuan mereka mencari aku, mana bisa aku ambil kepastian?" "Watak mereka juga sangat takabur dan tinggi hati, kecuali guruku selamanya tidak mau tunduk pada orang lain, mereka tentu akan menanyakan perguruanmu, dan kau tentu sulit untuk menerangkan. Urusan ini tentu sulit diselesaikan secara damai." "Kalau begitu aku menjadi tak berminat untuk kesana!" "Kau harus pergi, kalau tidak mereka tentu akan mencari kau. Dengan kehadiranmu disana malah mempelihatkan jiwa ksatriamu, kau bisa membawa sikapmu yang sombong tapi jangan keterlaluan, atau mereka tidak akan memberi angin kepada kau, jiwa mereka rada sempit!" "Terima Kasih akan nasehatmu ini, tiba pada waktunya tentu akan berbuat seperti apa yang kau katakan!" "Aku pernah dengar kau mengajar meniup seruling kepada Siau-hou, tiupan seruling yang merdu itupun pernah kudengar juga, namun kau belum pernah mempelajari intisari keindahan seninya. Bila kau mempelajari Tay-seng-ci-lau segala persoalan tentu bisa dibereskan." Thian-hi tertawa-tawa tanpa bersuara. Ma Gwat-sian melanjutkan. "Guruku pantang pandangan subjektif, kesan beliau akan sepak terjangmu selama berada di Thian-bi-kok ini sangat baik, namun soal urusanmu di Tionggoan rada kurang dapat menerimanya, bila kesannya terhadapmu baik mungkin beliau bisa menurunkan ilmu Tay-seng-ci-lau kepada kau, pada waktu itu kau akan menjadi seorang tokoh tanpa tandingan di seluruh jagad!" "Beliau belum lagi pulang, dari mana kau bisa tahu? Jangan kecewa dan berputus asa!" "Bahwasanya kau sendiri juga paham akan persoalan inj, kenapa kau ngapusi dirimu?" Kecut perasaan Ma Gwat-sian, dengan mendelu ia menundukkan kepala. Sebetulnya dia sendiri tahu akibat apa yang bakal terjadi, namun sungguh aneh dan heran kenapa selalu ia berpikiran- ke arah yang baik, menurut anggapannya Hun Thian-hi pasti bisa merubah haluan dari sesat menuju kejalan benar-benar, sehingga dia mau sembunyi di tempat ini. Bila gurunya pulang dan mengetahui liku2 hidupnya tentu Hun Thian-hi bakal mendapat hukuman yang setimpal apakah adil sikap dan keputusan demikian ini? Lama dan lama sekali Ma Gwat-sian menepekur. tiada memperoleh jawaban cara bagaimana ia harus membantu Hun Thian-hi, kecuali ia turunkan ilmu Tay-seng-ci-lau kepadanya, tapi dia tidak berani, karena bila dia mengajarkan ilmu hebat itu akan membuat gurunya lebih murka lagi, mungkin Hun Thian-hi akan menerima akibat yang lebih berat. Entah berapa lama mereka berdiam diri, tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Tahu- tahu Ma Bong-hwi berjalan mendatangi. serunya. "Kalian sudah selesai bicara belum?" Hun Thian-hi tersipu-sipu bangun, Ma Siau-hou memburu kehadapannya, serunya. "Guru! Jangan kau pulang keistana lagi, lebih baik tinggal dirumahku saja, ajarkan aku meniup seruling!" "Siau-hou sendiri bisa belajar! Aku tiada tempo lagi, kelak bila ada waktu pelan-pelan kuajarkan kepada kau!" "Siau-hou selalu terkenang pada kau, tahu bahwa kau pun pandai main silat, diapun ingin berguru kepadamu!" Demikian ujar Ma Bong-hwi. "Guru," Seru Ma Siau-hou mendongak. "Kapan kau tinggal lagi dirumah kami?" Hun Thian-hi tertawa, sulit untuk memberi jawaban. "Siau-hou," Kata Ma Bong-hwi. "Gurumu sangat repot. lekas kau masuk membantu ibumu!" Siau-hou menarik tangan Thian-hi dan tak mau pergi, sesaat ia celingukan memandang Ma Gwat-sian, lalu katanya nakal. "Aku tahu!" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Bocah kecil Kau tahu apa?" Tanya Ma Bong-hwi. Ma Siau-hou berlari masuk, serunya. "Ajah berkata pada ibu katanya pak guru sedang berkencan dengan Bibi. mungkin pak guru hendak menikah dengan bibi. setelah menikah tentu pindah tinggal disini!" Keruan merah malu muka Ma Gwat-sian, demikian juga Thjan-hi menjadi kikuk dan geli. Ma Bong-hwi segera membentak dan suruh anaknya pergi. Ma Gwat-sian lantas minta diri kembali ke kamarnya. Thian-hi juga minta diri kepada Ma Bong- hwi. Setiap kali ia selalu mendapatkan Thian-hi bicara dengan Gwat-sian di belakang orang lain, diam-diam ia girang hatinya, pikirnya: kelak Thian-hi pasti bakal menjadi iparku. Cuaca sudah gelap, dengan tetap mengenakan pakaian seragam kebesaran Thian-hi naik kuda terus dicongklang menuju ke Thian-ting. Sepanjang jalan hatinya menerawang cara untuk menghadapi mereka, supaya urusan ini tidak berlarut dan membawa akibat yang buruk, terpikir pula olehnya bahwa sebelum guru Ma Gwat-sian pulang ia harus sudah menyelesaikan pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan, dengan mudah ia bisa tinggal pergi dengan cepat. Tak lama kemudian ia sudah tiba dipegunungan Thian-ting. langsung ia bedal kudanya manjat ke atas, alam pegunungan gelap gulita, pekik burung malam sebangsa kokok-beluk saling bersahutan membuat suasana sunyi di pegunungan bertambah seram. Jalan pegunungan semakin lelak lekuk, akhirnya kudanya tak kuasa lagi berjalan, terpaksa Thian-hi tinggalkan kudanya, meski pun latihan Lwekang Thian-hi belum mencapai puncak kesempurnaan, namun boleh dikata sudah cukup ampuh dan hebat. Segera ia empos semangat dan menarik napas, cukup mengerahkan lima bagian tenaganya. tubuhnya lantas meluncur naik laksana roket menembus angkasa, ringan sekali setiap kakinya menutul tanah badannya lantas mumbul pesat kepuncak gunung. Setiba dipuncak tertinggi keadaan hening lelap, tiada kelihatan bayangan seorang pun, angin malam di atas pegunungan mengbembus kencang menderu dipinggir telinga, namun sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi sedikitpun Thian-hi tidak terganggu oleh keadaan alam yang ribut ini. Tak lama ia menanti sambil celingak-celinguk tampak di bawah sana dua titik putih kecii sedang meluncur mendatangi dengan pesat. Tahu dia itulah Thian-bi-siang-kiam. Sejap lain Thian-bi- siang-kiam sudah hinggap di pucak gunung. Sambil tersenyum lebar Thian-hi awasi mereka satu persatu. Kelihatan kedua pendatang ini orang-orang yang berpakaian aneh dan sudah lanjut usia, yang satu rambut dan jenggotnya sudah ubanan namun seorang yang lain rada lucu, rambut dan jenggotnya ternyata tetap menghitam, punggung mereka memanggul pedang panjang, sekali pandang saja lantas dapat diketahui yang berambut ubanan itulah Pek-bi-siu dan seorang lain sudah tentu Giok-hou-sian adanya. Sementara itu dengan seksama mereka berdua juga tengah mengamati Thian-hi, segera Thian- hi maju selangkah serta menjura, sapanya. "Wanpwe Tio Gun, sesuai dengan Undangan kedua Cianpwe kemari, entah ada petunjuk apakah para Cianpwe?" Pek-bi-siu tertawa, katanya. "Hanya ketarik dan heran saja kita mengundang Tio-ciangkun kemari, ada beberapa omongan ingin kami tanyakan kepada Tio-ciangkun." Giok-hou-sian menimbrung bicara. "Dalam Thian-bi-kok mendadak muncul seorang tokoh kosen yang lihay, kami merasa sangat heran dan kejut, maka kami merasa ketarik!" "Sebetulnyalah Wanpwe bukan seorang kosen apa segala, ilmu silat aku hanya belajar secara sambil lalu dan cakar kucing belaka, bila Cianpwe berdua begitu memuji, sungguh Wanpwe merasa sangat malu!" Demikian Thian-hi merendah. Pek-bi-siu tertawa lebar, kelihatannya ia simpatik akan sikap Thian-hi yang merendah diri dan tahu tata kehormatan, katanya. "Tio-ciangkun, setelah melihat biruang yang kau bunuh dengan pukulanmu itu, meskipun harus kau tambahi dengan sebuah tusukan pedang lagi, namun Lwekangmu yang hebat itu sungguh jarang kami lihat selama ini. Entahlah apakah Tio-ciangkun sudi beritahu kepada kami siapakah gurumu yang mulia?" Thian-hi tersenyum, sahutnya. "Sebetulnya tusukan pedangku itulah yang tepat mengenai sasarannya, tiada yang perlu dibanggakan." Melihat Thian-hi bicara menyimpang tidak mau menyinggung gurunya, Giok-hou-sian tidak sabar dan mendesak. "Siapakah sebenar-benarnya guru Tio-ciangkun." "0," Thian-hi seperti tersentak sadar, sahutnya. "Pelajaranku ini kuperoleh dari sebuah buku saja!" "Jadi Tio-ciangkun belajar sendiri?" Tanya Pek bi-siu menegas. Sudah tentu Thian-hi tak leluasa menyebut nama gurunya Lam-siau atau menyinggung kebesaran Ka-yap Cuncia terpaksa ia manggut-manggut membenar-benarkan. Terangkat alis Giok-hou-sian, tampak mukanya merengut berang, katanya. "Dinilai dari usiamu mungkinkah kau belajar sendiri dapat memperoleh tingkat kepandaian yang begitu tinggi?" "Secara kebetulan aku memperoleh rejeki, aku pernah memakan Kiu-thian-cu-ko!" Thian-bi-siang-kiam saling pandang, tanya Pek-bi-siu. "Di tempat mana kau dapat?" Thian-hi beragu sesaat lamanya, tahu dia bahwa jawaban kali ini tidak boleh ngelantur. sambil tertawa ia berkata. "Apakah Cianpwe berdua harus mengetahui?" Pek-bi-siu mendengus, jengeknya. "Di dalam wilajah Thian-bi-kok ini, bila di tempat mana ada tumbuh buah ajaib seperti yang kau katakan itu, masa ada keserapatan giliranmu?" Bercekat hati Thian-hi, namun lahirnya tetap tenang dan tersenyum simpul, katanya. "Dengan alasan apa Cianpwe berdua berani begitu yakin? Rejeki yang berjodoh tiada punya sangkut paut dengan tinggi rendah kepandaian seseorang!" Diam-diam curiga dan sangsi pula hati Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian, namun dalam batin mereka mengakui akan kebenar-benaran kata-kata Thian-hi ini. Kata Giok-hou-sian. "Soalnya kau main sembunyi2, tak berani bicara terang-terangan supaya diketahui oleh kami berdua?" "Soalnya kenapa pula aku harus beritahu kepada kalian?" Demikian Thian-hi tak mau kalah debat. "Selamanya aku belum saling kenal dengan kalian, kalian pun baru saja tahu adanya seseorang macam aku ini, apakah seseorang yang punya sekedar kepandaian silat harus kalian periksa dan diselidiki asal usulnya?" Giok-hou-sian menjadi murka oleh debat Thian-hi yang beralasan itu. dengan menggeram ia melangkah setindak, jengeknya. "Tajam benar-benar mulutmu, kami mengajukan pertanyaan, selamanya tiada seorang pun yang berani tidak menjawab!" Thian-hi pura-pura melengak dan angkat pundak keheranan, serunya. "Kalian adalah tokoh kosen dari aliran lurus bukan? Kenapa berkata demikian, aku tiada punya permusuhan atau sakit hati dengan kalian, kenapa pula aku harus menjawab setiap pertanyaan kalian?" "Sahabat kecil," Pek-bi-siu cukup licin, ia mengubah sikap dan merubah suasana yang semakin tegang ini. "Maksudmu bila ada permusuhan atau ada hutang budi baru boleh mengajukan tanya jawab?" Thian-hi melenggong, tak tahu ia apakah Pek-bi-siu ada permusuhan atau pernah menanam budi terhadap dirinya, dalam hati bertanya-tanya, namun lahirnya tetap bersenyum, jawabnya. "Boleh dikata begitulah!" "Kami Thian-bi-siang-kiam tiada sebab takkan mengajukan pertanyaan kepada kau, sebelum ini kamipun pernah sekedar membantu kau mengerjakan urusan kecil saja. Ketahuilah lima ratus pasukan pendam digedung Siangkok yang bersenjata lengkap itu, semua berhasjl kami tutuk jalan darah penidurnya. Anggaplah perbuatan kami ini sebagai budi kecil belaka!" habis berkata Pek- bi-siu tertawa lantang. seolah-olah ia sangat bangga akan buah karyanya itu, bahwa sebenar- benarnyalah Thian-hi harus mengetahiii bahwa Thian-bi-siang-kiam bukan golongan tingkat rendah yang boleh diajak main-main. Baru sekarang Thian-hi sadar. "Kiranya adalah perbuatan kalian" "Bagi kami kejadian itu tidak perlu dibanggakan. tapi sekarang kau boleh menjawab pertanyaan kami bukan?" Demikian desak Pek-bi-siu. "Kiranya Cianpwe berdualah yang turun tangan. "Kemaren aku heran kenapa pasukan pendam itu seperti mati kutu, kalau begitu aku harus ucapkan banyak terima kasih pada kalian!" "Kami sudah menerimanya dan tidak perlu disinggung lagi," Kata Pek-bi-siu. "yang penting kau harus menjawab pertanyaan yang kuajukan tadi." Thian-hi tahu kalau dirinya menjelaskan urusan bakal semakin runyam, Thian-bi-siang-kiam sudah puluhan tahun menetap di Thian-bi-kok, tempat mana saja yang tidak diketahui oleh mereka, maka katanya. "Seharusnya aku menjelaskan. Soalnya aku pernah berjanji kepada seseorang supaya tidak membocorkan rahasia tempat itu, harap Cianpwe berdua maklum dan memberi maaf!" Giok-hou-sian mendengus, jengeknya. Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Perintah Maut Karya Buyung Hok