Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 17


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 17


Badik Buntung Karya dari Gkh   "Jelas kau hanya membual belaka! Menurut aku asal- usulmu kurang jelas, mungkin kau datang dari Tionggoan, betul tidak?"   Bercekat hati Thian-hi, sahutnya tertawa.   "Cianpwe main menuduh karena aku tidak sudi menjelaskan dimana aku menemukan buah ajaib itu?"   Giok-hou-sian semakin berang, sebaliknya Pek-bi-siu tertawa, katanya.   "Kalau begitu cobalah kau sebutkan nama orang yang melarang padamu itu!"   "Aku tidak tahu siapa namanya, diapun tak mau menerangkan padaku!"   "Usiamu masih muda, tapi berani membual hendak menipu kami berdua,"   Demikian jengek Giok-hou-sian.   "masa ada urusan begitu gampang, dia yang kasihkan kau atau kau sendiri yang memperoleh buah ajaib itu?" . Jelas kelihatan oleh Thian-hi bahwa Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian ini masing-masing berwajah warna merah dan putih, karena diberondong oleh pertanyaan terus ia menjadi jengkel, sahutnya dingin.   "Apakah Cianpwe berdua anggap pernah menanam budi lantas mendesakku sedemikian rupa? Kenapa sikap kalian begitu kasar dan kurang terhormat? "   Pek-bi-siu merengut membesi, katanya kereng.   "Soalnya karena asal usulmu yang tidak jelas jangan kau sangka ilmu silatmu sudah lihay, usiamu masih begitu muda berani memandang rendah orang lain!"   "Jika kalian tiada urusan lain lagi, maaf, aku mohon diri saja, tugas di istana menjadi bebanku, tidak bisa aku meninggalkan dinas terlalu lama!"   Tiba-tiba Giok-hou-sian terloroh-loroh dingin panjang, serunya.   "Baru hari ini aku melihat ada seseorang berani bersikap begitu kurang ajar terhadap kami, ingin aku melihat betapa lihay bocah macammu yang belajar sendiri tanpa bimbingan guru ini!"   "Cianpwe tidak berhasil memeras dan mengorek keterangan, lantas hendak menggunakan kekerasan adu kepandaian?"   "Sungguh besar nyalimu, tapi dengan sikapmu yang jumawa terhadap angkatan tua, sudah seharusnya kami berdua mengajar adat terhadapmu, tapi kau tak perlu takut. kami tidak akan mengeroyok kau seorang!"   Mendengar orang hendak menghajar adat pada dirinya, Thian-hi insaf bahwa hari ini sulit terhindar bentrok, betapapun sanubari Thian-hi tidak mau turun tangan, terutama ia tidak suka memperlihatkan ilmu silat aslinya. Dengan tertawa tawar ia berkata.   "Satu lawan satu boleh! Satu lawan dua pun tidak menjadi halangan."   "Bocah sombong!"   Teriak Giok-hou-sian menyeringai dingin.   "bila kami tidak menghajar adat padamu, kau tidak akan tahu betapa tingginya langit dan tebalnya bumi, mari aku saja yang menjajal kepandaianmu, dalam dua puluh jurus bila kau tidak terkalahkan. pasti kami berdua tidak akan mempersulit lagi kepada kau!"   Girang hati Thian-hi, memang kata-kata inilah yang hendak dipancingnya dari mereka, serunya tertawa besar.   "Sikap dan pembawaan yang gagah ini sungguh tidak malu kalian diangkat menjadi Thian-bi-siang-kiam!"   Lalu pelan-pelan ia melolos pedang serta katanya lagi.   "Mari silakan Cianpwe mulai dulu!"   Walaupun Giok-hou-sian tahu bahwa dirinya sudah tertipu oleh pancingan Thian-hi, serta melihat tantangan Thian-hi yang mengumpak itu, hatinya menjadi girang juga. Pelan-pelan iapun mengeluarkan pedangnya, katanya.   "Mari kau saja yang mulai serang!"   Thian-hi angkat kedua tangannya sedikit menjura lalu dari kejauhan menyodokkan pedangnya ke depan lalu ditariknya kembali dan berdiri tegak tak bergerak lagi.   Melihat Hun Thian-hi tidak sudi diberi hati dan tidak mau mengalah jengkel hati Giok-hou-sian, tanpa banyak cingcong lagi, tahu-tahu pedangnya melesat miring, segulung angin pedang yang menderu tajam kontan menerpa ke arah Thian-hi.   Diam-diam Thian-hi sudah ambil keputusan, ia tidak mau banyak urusan lagi, asal dirinya sudah menyambut dua puluh jurus serangan musuh berarti urusan dapat selesai begitu saja.   Maka pedang panjangnya terangkat naik sedikit dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap ujung pedangnya memapak maju, begitu permainan pedangnya dikembangkan, segulung bayangan pedang yang kelabu memutih berkembang melebar di sekitar tubuhnya, membendung serangan pedang Giok- hou-sian.   Tujuan serangan Giok-hou-sian .   ini adalah hendak menjajaki sampai dimana Lwekang Hun Thian-hi, serta serangan pedangnya dilancarkan, tahu-tahu kekuatan tusukan pedangnya ternyata sirna dan amblas di tengah jalan, hakikatnya dia gagal menjajaki betapa tinggi atau rendah Lwekang Thian-hi, sekali lagi pedang terputar membuat sebuah bundaran melancarkan tipu Hohg- sa-liu-co (pasir angin mengalir), kontan berkembanglah gugusan bayangan pedang yang kemilau merangsak dari berbagai penjuru menyerang kepada Thian-hi.   Melihat jurus serangan Giok-hou-sian yang aneh dan lihay ini, terkejut hati Thian-hi, serta merta hatinya sedikit gentar, demikian juga permainan jurus pedangnya menjadi merandek dan sedikit lamban, bahwasanya sejak mulai ia tidak kerahkan seluruh Lwekangnya, begitu kedua pedang masing-masing saling bentrok, kontan ia tergetar mundur dua langkah.   Mendapat hasil Giok-hou-sian tidak memberi hati, kaki melangkah maju pedang bergerak pula melancarkan serangannya yang lebih gencar.   Kali ini Thian-hi lancarkan jurus lain dari Gin-ho-sam- sek yaitu Gelombang perak mengalun berderai, bayangan sinar pedangnya sekokoh gunung tegak memunahkan seluruh rangsekan Giok-hou-sian yang hebat itu.   Penjagaan Thian-hi begitu rapat begitu kokoh kuat, sedikitpun Giok-hou-sian tidak bisa lihat atau menyelami jurus permainan apa yang digunakan oleh Thian-hi, demikian juga ia merasa jurus permainan pedang Thian hi sangat aneh, tanpa terasa ia berseru memuji.   "Kepandaian yang hebat!"   Pedangnya bergerak dan menyerang lagi lebih sengit.   Menurut perkiraannya semula, sejurus ia dapat menjebol bendungan lawan jurus-jurus selanjutnya pasti gampang mengocar-kacirkan pertahanan lawan, tak nyana perubaban permainan Thian-hi ternyata begitu cepat dan cekatan.   meskipun rangsekannya cukup cepat, namun sekarang tidak mampu lagi mendesak mundur Thian-hi meski hanya setengah tindak saja.   Sekejap saja sepuluh jurus telah lewat.   Sungguh kejut dan gusar pula hati Giok-hou-sian, selama ini Thian-hi melulu gunakan kedua jurus permainannya itu saja.   sehingga serangannya yang lihay dan hebat itu selalu kandas ditengah jalan.   Semula ia beranggapan betapa tinggi kedudukan Thian-bi-siang-kiam dan betapa tenar namanya di Thian-bi-kok, menghadapi bocah macam Hun Thian-hi ini meskipun dengan perjanjian dua puluh jurus, rasanya sudah berkelebihan dan sudah menurunkan derajatnya sendiri, maka selama puluhan jurus ini ia tidak mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya.   Separo dari perjanjian sudah dilewati, serangannya selalu kandas pula ditengah jalan, bila tidak kerahkan segala kemampuan lagi, mungkin dirinya bakal terjungal ditangan seorang bocah muda yang dianggap masih berbau pupuk ini.   Karena kekuatiran hatinya inilah serta merta kerahkan Lwekang di atas batang pedangnya.   Diiringi dengan kegesitan gerak tubuhnya yang lincah, pedang panjangnya berkelebat melayang seperti bianglala kelap-kelip, kemilau sinar pedangnya berputar terbang mengelilingi Thian-hi dengan rangsekan membadai.   Kontan Thian-hi rasakan empat penjuru sekelilingnya bertamhah gencetan tenaga yang besar sekali, karena kuatir dapat dilihat dan diketahui seluk beluknya Thian-hi tidak berani kerahkan kekuatannya, namun ia insaf bila dirinya tidak menyambut serangan musuh, mau tidak mau, akhirnya dirinya mesti terdesak untuk mengerahkan Lwekangnya.   Sebat sekali ia mengegos miring, kakinya menjejak tanah tubuhnya lantas melayang naik keudara, dengan menukik turun inilah ujung pedangnya menutul kebawah dengan jurus Hun-liong-pian-yu salah satu jurus terlihay dari Thian-liong-cit-sek, yang diarah adalah ubun-ubunnya kepala Giok-hou-sian.   Melihat Thian-hi mulai lancarkan serangan balasan Giok-hou-sian lebih waspada dan bersikap hati-hati, tanpa berani ayal sedikitpun ia kerahkan seluruh kekuatannya untuk melawan serangan musuh.   Ujung pedangnya teracung tinggi lalu berputar membabat dan membacok serabutan, Sejak mula pertempuran Thian-hi tidak mau kerahkan Lwekangnya, sudah tentu dia punya perhitungan permainan pedangnya.   melihat rangsekan balasan lawan pedangnya diputar turun naik merabu dengan berbagai tipu serangan gertak sambel saja, sedikit mengancam musuh terus ditarik pulang kembali tanpa benar-benar hendak melukai lawan.   Giok-hou-sian gusar mencak-mencak, lima enam belas jurus sudah berlalu, sedemikian jauh ia masih belum berhasil menjajaki sampai dimana tinggi atau rendah Lwekang Hun Thian-hi.   Tiba- tiba ia bersuit nyaring panjang, pedangnya berubah memainkan jurus Hou-tiong-jit-gwat, Serangan pedang ini dilancarkan dengan penuh variasi yang menakjubkan, dikata satu jurus sebetulnya mengandung perubahan yang tidak terhitung banyaknya, bayangan pedang seperti sebuah poci pendek bundar saja menungkup ke atas kepala Thian-hi.   Melihat itu bukan kepalang kaget Giok-hou-sian, serentak secara reflek ia lancarkan tiga jurus kembangan berantai untuk merintangi luncuran serangan balasan Thian-hi itu.   Namun ia tidak berhasil menahan terjangan musuh.   Dua puluh jurus pun tepat telah berakhir.   Dilain saat Hun Thian-hi sudah jumpalitan hinggap di tanah, segera ia rangkap tangan serta menjura, katanya.   "Atas kemurahan hati Cianpwe. Wanpwe sudah menandingi dua puluh jurus!"   Betapa pedih dan pilu hati Giok-hou-sian, anggapannya semula sepuluh jurus saja Thian-hi tidak akan mampu bertahan, tapi sekarang dua puluh jurus mampu ditandingi, malah dirinya sendiri yang terdesak dipihak yang runyam.   tanpa merasa ia goyang2 tangan dengan rawan.   Kun Thian-hi menjadi girang, sangkanya urusan sudah selesai sampai disitu saja, baru saja ia niat tinggal pergi, tiba-tiba Pek-bi-siu membentak.   "Nanti dulu!" dengan kejut dan heran Thian- hi berpaling memandang Pek-bi-siu. Kata Pek-bi-siu tertawa sinis.   "Dimulut kau berkata sungkan, namun sepak terjang dan tingkah lakumu sangat takabur, kau memakai seragam militer, mengenakan mantel panjang lagi, dan yang lebih menjengkelkan kau tidak mau terima kebaikan orang lain!"   "Jadi maksudmu hendak menahan aku lagi?"   Demikian batin Thian-hi, namun lahirnya ia berkata.   "Cianpwe! Sebetulnya Wanpwe terpaksa, kalau tidak mengenakan seragam ini, mana aku bisa pulang masuk kota!"   Pek-bi-siu menyeringai, ujarnya.   "Itu bukan soal, yang jelas kulihat aliran silatmu dari Tionggoan, untuk hal ini kau harus memberi keterangan sejelasnya, ketahuilah selamanya Thian- bi-kok tidak akan membiarkan orang Tionggoan menyelundup kemari!"   Bercekat hati Thian-hi, namun lahirnya tetap tenang, sahutnya.   "Kalau Cianpwe menuduh demikian aku pun tidak bisa main debat, tapi ingin aku tanya, uraiannya ilmu silat tiada perbedaan dengan garis yang tegas, entah apa yang disebut aliran Tionggoan atau golongan Thian-bi"   "Permainanmu ada beberapa jurus yang aneh, ada beberapa jurus pula seperti pernah kulihat entah dimana, tapi yang pasti bahwa dalam wilajah Thian-bi-kok tidak ada jurus permainan silat seperti itu."   Demikian jengek Pek-bi-siu dingin.   Dalam pada itu Giok-hou-sian tengah menjublek, kelihatannya iapun dibuat keheranan, meskipun mereka melarang orang-orang Tionggoan kemari, tapi dulu sering mereka ke Tionggoan.   Diapun merasa walau pun permainan silat Thian-hi rada aneh, samar-samar seperti pernah dilihatnya.   "Bagaimana! Kau datang dari Tionggoan bukan?"   Desak Pek-bi-siu. Belum lagi Thian-hi menjawab, mendadak Giok-hou-sian berseru keras.   "Tadi waktu kau balas menyerang aku apa namanya jurus itu?"   Berdetak jantung Thian-hi, jurus itu adalah Han-liong-pian-yu, Ilmu Thian-liong-cit-sek memang hebat, tidak sedikit kaum Kangouw yang pernah melihat dan tahu akan kehebatannya.   Dari nada seruan Giok-hou-sian ini kelihatan memang dia pernah menyaksikan ilmu ini.   Sejenak ia merandek lalu jawabnya.   "Jurus kesebelasankah yang kau maksudkan?"   Mendadak Giok-hou-sian berkata lagi.   "Dulu pernah aku melihat ada orang menggunakan jurus permainanmu ini!"   Thian-hi tertawa geli, ujarnya.   "Permainan silat yang sama di seluruh dunia ini tidak terhitung banyaknya, jurus permainanku itu belum rampung seluruhnya, masa kau tahu apa betul jurus yang kau maksudkan tadi?"   "Siapapun yang datang dari Tionggoan harus diberantas lenyap!"   Seru Pek-bi-siu.   "Sebelum kami jelas duduknya perkara, bila kau mengaku terus terang, kami akan beri jalan hidup padamu, paling-paling hanya larang kau pamerkan ilmu silatmu selamanya menetap di Thian-bi-kok. Tapi setelah dapat kami selidiki jelas, kematianlah jalan yang harus kau tempuh."   Sudah tentu Thian-hi tidak sudi pilih satu diantara kedua cara yang ditunjuk ini, ia geleng- geleng kepala katanya.   "Aku tidak mau main debat dan bertengkar dengan Cianpwe berdua. Kenyataan aku sudah bertahan sebanyak dua puluh jurus sesuai dengan janji kalian sendiri aku harus pulang, apakah Cianpwe berdua hendak menjilat ludah sendiri?"   Melihat sikap Thian-hi begitu tenang, namun kata-katanya selalu menghindari pertanyaan langsung Pek-bi-siu menjadi dongkol, katanya mendengus.   "Kuanjurkan bicaralah terus terang!"   Selama ini memang Thian-hi sengaja men-cari2 alasan, tapipun tidak berani membual secara langsung. katanya tertawa.   "Silakan kalian menyelidiki saja, sekarang mungkin Baginda sedang mencari aku, aku harus cepat pulang."   "Pek-bi!"   Tiba-tiba Giok-hou-sian berteriak.   "Pernahkah kau dengar Thian-liong-cit-sek dari Tionggoan?" dengan seringai sinis ia tatap tajam muka Thian-hi. Bercekat hati Thian-hi, bila orang tahu akan nama Thian-liong-cit-sek, terang mereka bisa tahu akan nama-nama jurus permainannya tadi. Pek-bi-siu manggut-manggut, sahutnya.   "Ya, sekarang aku ingat lagi!"   Dengan lekat Giok-hou-sian awasi Thian-hi, katanya pelan.   "Kiranya kau sealiran dengan Lam- siau, apakah kau tidak mau mengaku?" seringainya lebih seram. Thian-hi tersenyum, sahutnya.   "Kapan Cianpwe pernah dengar nama Lam-siau?"   Giok-hou-sian menggerung gusar, serunya.   "Lam-siau Kongsun Thoan! Apakah dia ayahmu?"   Mendengar nama Kongsun Thoan, itulah nama Sucou Thian-hi, atau ayah Kongsun Hong, Thian-hi tertawa, sahutnya.   "Selamanya Thian-liong-cit-sek tidak diturunkan kepada orang luar!"   "Apakah nama Tio Gun itu bukan nama aslimu?"   Desak Giok-hou-sian. Belum lagi Thian-hi membuka mulut, Pek-bi-siu bergelak tawa panjang, katanya.   "Darimana bisa kau tahu sedemikian banyak, urusan Bulim di Tionggoan ada berapa banyak orang di Thian- bi-kok ini yang mengetahui? Thian-liong-cit-sek tidak diturunkan orang luar, baru sekarang aku tahu dari mulutmu, dari mana kau bisa tahu begitu jelas? Apakah kau masih tidak berani mengaku bahwa kau datang dari Tionggoan?"   Sampai disini mendadak mereka mencelat berpencar kekanan kiri mengepung Thian-hi dari depan dan belakang. Thian-hi insaf tidak mungkin mengelabuhi lagi, terpaksa katanya tertawa.   "Buat apa kalian begitu bersitegang leher, apakah kalian takut menghadapi aku seorang?"   "Sepuluh tahun yang lalu dari Tionggoan ada meluruk kemari delapan orang, mereka dapat merambat naik ke Thian-bi-kok sudah tentu bukan tokoh silat kelas kambing, namun mereka berhasil kami bunuh seluruhnya, masa sekarang kami takut menghadapi kau seorang! Tapi kau bisa menetap disini begitu lama tanpa konangan kedok aslimu, sekarang malah menjabat kedudukan Komandan Gi-lim-kun lagi, kau betul cukup licin!"   Sesaat Thian-hi menjadi mati kutu tidak tahu harus menjawab apa. ujarnya.   "Banyak orang yang sudah tahu, melulu kalian saja yang ketinggalan!"   Pek-bi-siu menggerung murka, semprotnya.   "Tapi kamilah yang tidak akan beri ampun padamu."   Sembari berkata telapak tangannya menyelonong maju menepuk kepunggung Thian-hi.   Caranya turun tangan cepat dan ganas, kekuatannyapun bukan olah-olah katanya.   Melihat Pek-bi-siu turun tangan, terpaksa Thian-hi harus mengadu jiwa, namun pertarungan ini menang atau kalah untuk selanjutnya terang dirinya tidak akan bisa menetap lama lagi diwilajah ini.   Kecuali ia bunuh kedua orang ini supaya tutup mulut dan rahasia tidak diketahui umum! Seiring dengan jalan pikirannya ini, ia membalik sebuah tangannya menyambut pukulan orang, menggunakan daya pental kekuatan benturan pukulan itu tubuhnya mencelat terbang kesamping terus berkelebat menyingkir, maksudnya mau tinggal merat saja.   Dilain pihak Giok-hou-sian sudah bersiaga diluar gelanggang sudah tentu ia tidak mandah membiarkan Thian-hi melarikan diri begitu saja, segera tubuhnya mencelat terbang, sebelah tangannya menindih ke atas kepala Thian-hi dengan pukulan berat.   Cepat-cepat Thian-hi menyedot hawa, sekonyong-konyong badannya terbang jumpalitan ditengah udara, badannya mumbul lebih tinggi.   lolos dari serangan lawan.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Pek-bi-siu menjadi murka serunya.   "Jangan harap hari ini kau dapat lolos?"   Sembari mengancam tubuhnya ikut melesat tinggi mengejar, kedua telapak tangannya didorong keluar memukul dari jarak jauh dengan setaker tenaganya.   Begitu mendengar kesiur angin pukulan musuh yang dahsyat ini terkejut Thian-hi.   Kepandaian Pek-bi-siu memang tidak rendah, kecuali Si-gwa-sam-mo, mungkin tokoh-tokoh macam Situa Pelita pun tidak akan lebih ungkulan dibanding mereka berdua ini.   Untung Thian-hi membekal latihan Pan-yok-hian-kang, Lwekangnya maju pesat berlipat ganda Untuk menang dari keroyokan kedua orang ini memang tidak mudah, kalau untuk meloloskan diri saja cukup berkelebihan segampang membalikkan telapak tangan.   Begitu melihat serangan dahsyat yang menerpa tiba ini, Thian-hi memutar balik kedua telapak tangannya terjulur maju, kekuatan Pan-jok-hian-kang terkerahkan penuh, memukul balik ke arah serangan musuh.   Pek-bi-siu menjadi geram, pikirnya.   "Bukankah kau cari mati ini?"   Kontan ia kerahkan seluruh kekuatannya terus memapak maju secara kekerasan.   "Blang!"   Kekuatan pukulan sama bentur ditengah udara, menimbulkan gelombang angin yang menderu laksana angin topan, batu pasir beterbangan.   Tampak tubuh Thian-hi terpental terbang ke belakang, sementara Pek-bi-siu melorot jatuh mentah-mentah terus sempoyongan beberapa langkah, setelah berdiri tegak mulut terpentang terus menyemprotkan darah segar.   Masih untung baginya karena Thian-hi rada memberi kelonggaran padanya, kalau tidak mungkin luka-luka yang dideritanya bakal lebih berat.   Melihat Pek-bi-siu kalah dan terluka, sungguh kejut dan heran pula Giok-hou-sian, cukup sekali pukul pemuda yang masih bau pupuk bawang ini berhasil melukai Pek-bi-siu, lwekang sendiri setingkat lebih rendah dari saudaranya jelas diri sendiri jauh bukan lawannya.   Namun betapapun ia tidak rela membiarkan Thian-hi tinggal pergi begitu saja.   dengan menghardik keras ia terbang mengejar, namun jaraknya sudah setengah li ketinggalan oleh Thian- hi, tampak tubuh Thian-hi melesat turun seperti meteor jatuh secepat kilat.   Sungguh murka bukan kepalang hatinya, namun apa yang dapat dilakukan? Sungguh Thian-hi merasa girang bukan kepalang.   siapa nyana sekali pukul ia berhasil membuat Pek-bi-siu terluka parah, kini dapat membebaskan diri lagi dari kecokan mereka, namun demikian hatinya rada was-was pula, mungkin musuh terlalu pandang ringan dirinya, selanjutnya bagaimana untuk menghadapi kericuhan ini? Thian-bi-siang-kiam jelas sudah mengetahui bahwa dirinya datang dari Tionggoan, soal ini bakal menimbulkan keonaran di seluruh negeri kecil ini, mungkin tiada tempat berpijak lagi dalam wilajah Thian-bi-kok bagi dirinya.   Tengah pikirannya melayang, sementara kakinya masih berlari kencang secepat anak panah.   sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar petikan irama kecapi.   Kontan berubah air muka Thian-hi, itulah irama kekal abadi, tempo hari ia pernah dengar lagu ini, namun orang yang memetik harpa kali ini jauh lebih pandai iramanya juga lebih mantap, jelas bukan petikan Ma Gwat-sian, jika bukan Ma Gwat-sian tentu gurunyalah yang sudah kembali.   Dan yang lebih menguatirkan justru Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna dilatih olehnya.   Bab 18 Irama harpa semakin tegas dan kumandang dialam pegunungan nan sunyi ini, tenaga Thian-hi masih belum bujar, ia masih cukup bertahan.   sambil kertak gigi dan menyedot napas, tubuhnya meluncur turun semakin pesat.   Hampir tiba pada tunggangannya, dia sudah tidak kuat bertahan lagi.   Dia insaf bila menerjang terus kebawah pasti seluruh isi perutnya bakal hancur lebur oleh tekanan dahsyat irama harpa itu.   Pemetik harpa itu menggunakan irama getar yang paling dahsyat seolah-olah dia tahu bahwa dirinya masih berusaha lari, kedengaran suara harpa semakin tegang dan membawa hawa membunuh yang tebal.   Akhirnya Thian-hi tidak kuat lagi, pelan-pelan ia duduk bersila menentramkan pikiran memusatkan semangat, Pan-yok-hian-kang dikerahkan untuk membendung serangan dari luar pelan-pelan ia berhasil menghimpun seluruh hawa murni dipusarnya.   lambat laun tenanglah hati dan pikirannya.   Tapi dia tidak berani sembarangan bergerak.   Sementara itu Giok-hou-sian tidak berputus asa.   meski ketinggalan ia nekad mengejar terus, sekonyong-konyong didengarnya suara harpa keruan girang bukan main, tahu dia bahwa tokoh aneh yang tertinggi di Thian-bi-kok sudah muncul dan turun tangan, seumpama kepandaian Thian-hi setinggi langit juga jangan harap dapat lolos lagi.   Begitulah dengan kencang ia mengejar kebawah, tampak Thian-hi masih berlari seperti sipat kuping.   diam-diam tengetar hatinya, betapa tinggi Lwekang Hun Thian-hi ini, bila aku sendiri jelas tidak kuat bertahan lagi.   Akhirnya dilihatnya Hun Thian-hi berhenti dan duduk bersila.   Giok-hou-sian menjadi girang cepat ia memburu datang, waktu tiba.   disamping Thian-hi, dilihatnya Thian-hi samadi dengan tenangnya.   Kagum dan memuji dalam hati, usianya masih begini muda sudah membekai Lwekang sehebat itu, ada berapa banyak tokoh di dunia ini yang dapat memadainya! Sesaat lamanya ia berdiri menjublek di tempat itu, tak tahu apa yang harus dilakukan.   Begitu Thian-hi mengerahkan Pan-yok-hian-kang, irama harpa menjadi kalem, tekanan sedikit ringan perasaannya juga rada enteng.   Hatinya senang.   diam-diam ia membacn; Pan-yok-hian- kang latihanku ini ternyata begini sakti mandra guna, kiranya irama kekal abadi yang hebat itu juga tidak mampu menyerang masuk melukai diriku lagi.   Sementara itu, lagu kekal abadi masih terus berkembang mengalun tinggi laksana awan berlalu seperti gelombang berderai, bak umpama air sungai mengalir terjun kebawah.   Begitulah lagu nan merdu ini meresap pelan-pelan ke bawah, sekonyong-konyong Thian-hi merasakan sesuatu keganjilan, kiranya irama harpa di dalam keadaan yang tidak terasa olehnya telah meresap masuk mengeram dalam badannya, baru saja ia hendak laksanakan rontaan terakhir, tiba-tiba irama harpa berhenti putus, kontan seluruh jalan darah tubuhnya seperti tertutuk oleh Jiong-jiu-hoat tanpa dapat berkutik lagi.   Kesadaran Thian-hi masih segar bugar, tahu dia bahwa dirinya sudah tamat, tanpa kusadari ternyata aku telah teringkus begitu gampang.   Tak lama kemudian badan Thian-hi tergetar, lantas ia rasakan tekanan badannya menjadi enteng, seluruh jalan darah yang tertutuk bebas seluruhnya, waktu ia buka mata dan celingukan, tampak dirinya masih berada di tengah hutan, di sebelah kiri sana terdapat sebuah pohon besar di bawah pohon terdapat pula sebuah batu besar, di atas batu besar ini duduk tenang seorang Nikoh pertengahan umur, Thian-bi-siang-kiam tampak berdiri tegak menjulurkan tangan dikedua sampingnya.   Pelan-pelan Thian-hi bangkit berdiri, dengan cermat ia awasi Nikoh itu, tampak wajahnya bersih dan welas asih, mengenakan jubah hijau mulus, dipangkuannya terletak sebuah harpa kuno sikapnya serius dan sungguh-sungguh.   Tahu Thian-hi bahwa Nikoh ini pasti guru Ma Gwat-sian adanya, lekas-lekas ia menjura serta menyapa.   "Wanpwe Hun Thian-hi, menghadap pada Cianpwe."   Thian-bi-siang-kiam saling berpandangan. Nikoh pertengahan itu mengamati Thian-hi lekat- lekat, ujarnya.   "Urusanmu aku tahu jelas sekali."   Thian-hi mandah tertawa-tawar saja, dalam hati ia membatin.   "Apa benar-benar kau tahu seluruhnya?"   Terdengar Nikoh itu menyambung lagi.   "Mungkin kau pun tahu, bahwa aku adalah guru Gwat- sian."   Thian-hi manggut-manggut, sahutnya.   "Aku sudah tahu!"   Kata Nikoh itu lagi.   "Sejak kau menetap di Thian-bi-kok, selama ini belum pernah melakukan perbuatan tercela, jika boleh dikata malah melakukan pekerjaan baik. Aku tidak peduli sepak terjangmu waktu kau berada di Tionggoan dulu, berdiri pihak Thian-bi-kok sini, bolehlah aku melanggar larangan biasanya, kau harus segera meninggalkan Thian-bi-kok."   Thian-hi tercengang, ia berdiri bingung tak bersuara. Pek-bi-siu menjadi gugup, selanya.   "Mana boleh begitu, setiap orang luar yang menginjak kakinya di Thian-bi-kok tidak boleh dilepas pulang."   Nikoh itu tidak hiraukan protes Pek-bi-siu, kata-katanya tetap tertuju kepada Hun Thian-hi.   "Sekarang juga kuperintahkan kau meninggalkan Thian-bi-kok!"   Thian-hi serba bingung dan gundah, ia tenggelam dalam pikirannya, akhirnya ia mendongak kata-kata Ka-yap Cuncia seperti terkiang di pinggir telinganya.   "Sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek sempurna kau latih, kularang kau meninggalkan Thian-bi-kok." sejak mula datang ia sudah melanggar salah satu pantangan Ka-yap Cuncia, memperlihatkan kepandaian silatnya, sekarang mana boleh mengingkari pula pesan beliau? Dengan tajam Nikoh itu pandang muka Thian-hi, dia tidak bisa meraba kemana jalan pikiran Thian-hi yang kebingungan itu. Akhirnya Thian-hi menunduk sambil tertawa, katanya.   "Wanpwe ada sebuah permintaan, entah apakah Cianpwe bisa memberi persetujuan!"   Hati si Nikoh menjadi rada berang, selamanya tiada seorang pun yang berani melanggar setiap patah katanya, sekarang apa pula yang diatur Hun Thian-hi ini. ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan olehnya, maka tanyanya.   "Coba kau katakan!"   Kata Hun Thian-hi.   "Waktu Wanpwe hendak kemari, aku pernah berjanji pada seseorang untuk mematuhi dua buah pesannya. Pesannya yang pertama tidak mungkin tertolong lagi, urusan yang kedua ya itu bahwa aku harus tinggal lagi selama sepuluh hari baru bisa menyelesaikan pesannya yang kedua. Apakah Cianpwe suka memberi ijin supaya aku menetap sepuluh hari lagi disini?"   Timbul amarah si Nikoh, alisnya terangkat tinggi, sahutnya tegas.   "Tidak bisa!"   Diam-diam Giok-hou-sian dan Pek-bi-siu mengumpat dalam hati, begitu besar nyali Thian-hi main tawar menawar untuk tinggal lagi sepuluh hari disini. Thian-hi menunduk lagi menepekur, akhirnya ia berkata pula.   "Lima haripun bolehlah, dapatkah Cianpwe melulusi?"   Nikoh itu duduk tak bergerak dengan angkernya, dingin-dingin ia awasi Thian-hi, katanya.   "Kau sangka aku tidak berani bunuh kau?"   Thian-hi tersenyum kecut, katanya.   "Tiga hari juga bolehlah!"   Nikoh itu bergegas bangun, matanya mendelik dan membara gusar mengandung hawa membunuh, dengan tajam ia pandang Hun Thian-hi.   Tapi tanpa mengenal takut Thian-hi pun balas pandang dia.   Terketuk sanubari si Nikoh, begitu tinggi kepandaian silat Hun Thian-hi, belum pernah ia ketemukan lawan yang begitu lihay, kelihatannya juga begitu tawar hati dan perasaannya, kelihatannya sedikit pun ia tidak gentar bila aku membunuhnya.   Lama dan lama sekali ia pandang orang lekat-lekat, akhirnya dia tak kuasa turun tangan Waktu pertama datang dulu Thian-hi tidak mau unjuk kepandaian silatnya, sampai mandah dihajar orang dengan pecut dan dihina, namun justru karena hubungannya dengan Ma Gwat-sian, akhirnya ia terdesak dan memperlihatkan kepandaiannya yang sejati.   Hari ini dia kena tertawan dan terjadi peristiwa yang tidak enak ini, betapapun dirinya harus ikut mempertanggung jawabkan akibatnya.   Akhirnya ia duduk lagi pelan-pelan, katanya.   "Urusan apakah itu, coba kau tuturkan pada aku, biar aku yang bantu kau menyelesaikan."   "Terima kasih Cianpwe,"   Ujar Thian-hi tersenyum.   "urusan ini harus kukerjakan sendiri orang lain tidak akan bisa membantu!"   "Apa yang hendak kau kerjakan, beritahu aku, biar kupertimbangkan."   "Maaf Wanpwe tidak bisa memberitahu!"   Melihat kekukuhan Thian-hi, Thian-bi-siang-kiam menjadi gegetun, pikirnya.   "Bila aku, sejak tadi sudah kubunuh kau!"   Nikoh itu merenung sesaat lamanya, akhirnya berkata.   "Kali ini aku baru pulang dari Tionggoan, banyak kudengar persoalanmu, sebetulnya aku harus bunuh kau, namun ada sebuah urusan menurut aku latar belakangnya masih belum jelas dan tidak bisa kupercaya demikian saja, maka kuputuskan hanya mengusirmu keluar dari Thian-bi-kok. Sebab lain karena kulihat selama disini kau tidak punya maksud-maksud jelek, malah pernah melakukan tugas dengan baik!"   Sampai disini ia pandang Thian-hi lagi lalu sambungnya.   "Kudengar katanya kau kejam dan telengas, seluruh golongan dan aliran Kangouw di Tionggoan semua ingin meringkus dan membekuk kau, tapi hanya pihak Siau-lim-pay saja yang tidak ikut campur, akhirnya karena sepak terjangmu terlalu mengumbar nafsu dan kelewatan, terpaksa Siau-lim-pay baru ikut bergabung, tapi soal itu jauh lebih kecil dibanding kau membunuh Ciangbunjin Bu-tong-pay. Kalau semula Siau-lim-pay tidak turut campur, maka persoalan belakangan seharusnya juga tidak usah turun tangan, kenyataan toh mereka ikut meng-uber-uber kau. Akhirnya seluruh kaum persilatan disana mulai menguber jejakmu, kemanapun kau pergi selalu dikuntit, terpaksa kau menyelundup ke Thian-bi-kok dan sembunyi disini."   Berhenti Sebentar, ia pandang Thian-hi lagi, lalu sambungnya.   "Tapi setengah bulan kemudian, pihak Siau-lim mengundurkan diri pula."   Thian-hi menjadi heran dan bertanya-tanya, Siau-lim Ciangbun Te-coat Taysu sendiri memimpin pengejaran itu dan mengurung dirinya dengan Sutouw Ci-ko di Jian-hud-tong, bagaimana mungkin bisa mengundurkan diri! Mungkinkah Ka-jap Cuncia sendiri sudah mengunjukkan diri? Tidak mungkin, bila Ka-yap Cun-cia mau bicara sekejap saja bukan saja pihak Siau-lim.   Seluruh kaum Kangouw tiada yang tidak akan mendengar nasehatnya.   Ini betul-betul hal yang sangat ganjil.   pikir punya pikir tanpa merasa mulutnya lantas menggumam.   "Ini tidak mungkin!"   Dengan heran si Nikoh pandang Thian-hi, katanya.   "Konon kabarnya Te-coat Taysu terluka parah, baru pihak Siau-lim mundur, tapi tidak mungkin, karena Te-coat sudah lama terluka, hampir luka-luka parahnya sembuh baru pihak mereka mengundurkan diri."   Thian-hi tertunduk menepekur tanpa buka suara. Kata si Nikoh itu lagi.   "Maka aku bertindak tidak berdasarkan sepak terjangmu di Tionggoan, yang jelas tingkah lakumu disini tidak jelek pernah mendharma-baktikan kemampuanmu demi keselamatan, negara ini lagi, maka keputusanku cukup mengusirmu keluar! Ini cukup bijaksana."   Thian-hi tertawa geli, seperti mentertawakan kelakuannya selama ini.   "Aku sudah bicara panjang lebar, apakah kau maklum maksud juntrunganku?"   Tanya si Nikoh. Thian-hi tahu, maksud si Nikoh adalah supaya dirinya lekas meninggalkan tempat ini, katanya tawar.   "Tidak! Paling sedikit aku harus tinggal tiga hari lagi!"   Kau hendak mohon Gwat-sian mintakan ampun bagi kau?"   Jengek si Nikoh. Hun Thian-hi tertawa-tawa, sahutnya.   "Bila begitu, buat apa melulu tiga hari saja?"   Si Nikoh menghela napas, sedemikian kukuh dan teguh pendirian Thian-hi, membuat ia merasa kewalahan, akhirnya dia manggut-manggut, katanya.   "Baiklah! Kuijinkan kau menetap lagi tiga hari saja!"   Tersipu-sipu Thian-hi menjura dengan senang. serunya.   "Terima kasih Cianpwe!"   Si Nikon mengulapkan tangannya ujarnya.   "Kau pergilah!"   Cepat Thian-hi lari ke kudanya terus dicemplak cepat kebawah gunung langsung pulang ke istana.   Si NikOh terlongong memandangi punggung Thian-hi yang semakin menjauh, mantel merah yang melambai-lambai terhembus angin di belakang punggungnya membuat pikirannya membayangkan adegan yang baru saja terjadi.   setiap gerak gerik Hun Thian-hi sedemikian tegas dan punya wibawa yang besar.   Sikapnya angkuh dalam keadaan yang gawat tadi sedikit pun tidak kelihatan menjadi gugup atau gentar.   sungguh sukar didapat orang macam ini! Dari lahirnya yang bersikap sopan dan halus, tiada seorang pun yang bakal menduga bahwa dia diberi julukan sebagai Leng-bin-mo-sin (hati iblis muka dingin).   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Dalam pada itu setelah tiba di dalam kota, langsung Thian-hi mengadakan perondaan kesekeliling kota.   setelah memberi petunjuk-petunjuk seperlunya kepada bawahannya, langsung ia pulang ke kamarnya terus mengunci pintu, mulailah ia memperdalaan pelajaran Wi-thian-cit-ciat- sek.   Seluruh pikiran dan semangatnya dipusatkan untuk menyelami pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek, dalam jangka tiga hari ia harus berhasil mencangkok seluruh pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek ini.   supaya dapat meninggalkan Thian-bi-kok dengan bekal ilmu yang mencukupi untuk membela dan menjaga diri.   Sebelumnya dia sudah memberi pesan kepada anak buahnya.   siapapun dan ada perlu apa juga dilarang mengganggu dirinya, seumpama sang Baginda ingin bertemu juga harus ditolak.   Tanpa tidur dan tidak mengenal istirahat seluruh perhatian Thian-hi ditumplekkan pada pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek itu, dia sendiri tidak tahu berapa hari dan berapa lama ia sudah menyekap diri dalam kamarnya ini.   yang jelas bahwa lambat laun ia sudah berhasil menyelami Wi- thian-cit-ciat-sek lebih dalam lebih sempurna, terasa olehnya semakin hebat dan ampuh intisari pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek yang sakti dan digdaya Pada saat itu ia tengah tenggelam dalam memecahhkan sejurus permainan.   sebatang pedang terpegang ditangnnya sedang mempraktekkan pelajaran menurut apa yang tercatat di atas buku.   Mendadak diluar ada orang menggedor pintu.   "blang"   Tahu-tahu pintu kamarnya diterjang terbuka. Begitu cahaya matahari menyorot masuk menerangi kamarnya baru Thian-hi tersentak sadar. Tampak seseeorang anggota Gi-lim-kun menerjang masuk. teriaknya.   "Ing-ciangkun memberontak!"   Habis berkata lalu menjerit ngeri dan roboh tak berkutik lagi.   Terkesiap hati Thian-hi, tampak ditubuh Gi-lim-kun itu tergubat seekor ular panjang tiga kaki.   Seluruh istana ribut kalang kabut.   Lekas Thian-hi menerjang keluar sambil menenteng pedangnya, begitu tiba di luar dilihatnya dimana-mana dalam istana ini ular besar kecil melata, para anggota Gi-lim-kun menjadi panik dan lari serabutan dengan ketakutan, pintu gerbang Utama sudah tertutup, namun dari luar pintu digedor dan diterjang dengan keras, mungkin tak lama lagi bakal dijebol rusak.   Sungguh Thian-hi tidak mengira situasi berubah begitu gawat, mulutnya bersuit panjang, serentak dengan kegesitan gerak tubuhnya pedang ditangannya bekerja lincah laksana bianglala beterbangan ke-mana-mana, setiap kali sinar pedangnya melesat ular di badan para Gi-lim-kun itu dibabatnya kutung semua.   Sekaligus ia memutar tubuh seraya mengayun pedangnya, ular-ular yang memenuhi lantai menjadi ketakutan dan lari serabutan, sekejap saja ia berhasil membunuh separoh diantaranya.   Seluruh anggota Gi-lim-kun berjingkrak kegirangan begitu melihat Thian-hi muncul dengan memperlihatkan perbawa ilmu silatnya, bangkitlah semangat dan keberanian mereka, serentak mereka angkat senjata serta menyerbu ke pintu gerbang untuk berjaga-jaga dan menahan serbuan dari luar bila pintu gerbang benar-benar kena dijebol.   "Dimana baginda?"   Tiba-tiba Thian-hi berseru keras.   "Baginda masih berada di istana!"   Sahut salah orang Gi-lim-kun yang terdekat.   Selayang pandang Thian-hi menyapu keadaan sekelilingnya, situasi gawat tadi sudah dapat diatasi, kekacauan sendiri diantara para anggota Gi-lim-kun karena serangan ular-ular tadi sudah mereda.   Beban yang paling dikuatirkan melulu keselamatan Baginda raja dan tuan putri, lekas- lekas ia memburu masuk ke-istana dalam, tampak Baginda raja tengah mengalangi di depan tuan putri menghadapi seekor ular besar yang melata mendekat, ular ini cukup besar dan panjang setombak lebih.   Muka Baginda tampak pucat kehijauan, seluruh mukanya penuh keringat dingin.   Cepat Thian-hi memburu maju seraya membentak, sekali ayun tangan kanan, pedangnya panjang segera melesat ke depan secepat kilat, telak sekali menancap amblas di bawah leher, siular kontan roboh dan binasa.   Bergegas Thian-hi maju memberi hormat serta serunya.   "Hun Thian-hi terlambat datang menolong membuat Baginda kena kejut!"   Baginda raja terlongong ditempatnya, sesaat kemudian baru bisa bicara.   "Darimana kau datang?"   Karena apa Ing-ciangkun angkat senjata memberontak?"   Tanya Hun Thian-hi cepat. Baginda menghela napas, katanya.   "Karena Tan-siangkok gagal melamar tuan putri untuk putranya, segera Ing-ciangkun kerahkan bala tentaranya menawan Ma-ciangkun, sekarang sedang pimpin anak buahnya untuk menggedor pintu gerbang istana."   Kejut dan gugup pula hati Thian-hi, Ma Bong-hwi telah ditawan berarti bala bantuan dari luar sudah tak mungkin diharapkan lagi karena memikirkan keadaan yang lebih gawat diluar istana segera ia berkata.   "Harap Baginda ikut hamba keluar supaya dapat melindungi dari segala kemungkinan"   Habis berkata bergegas ia melangkah keluar.   Tanpa bicara lagi Baginda dan Titan putri mengintil dibelakangnya.   Setiba diluar tampak masih banyak ular dimana-mana, seluruh kekuatan Gi-lim-kun dikerahkan untuk menahan gedoran pintu gerbang Istana, sebagian diantarania dikerahkan untuk menyapu ular-ular yang menjijikkan itu.   Sungguh geram hati Thian-hi bukan main.   Tan-siangkok berani menggunakan ular untuk menyerbu dan mengacau, kontan ia putar pedangnya, sebentar saja seluruhnya dapat dibinasakan oleh pedang Hun Thian-hi.   Lalu ia kumpulkan seluruh pasukan Gi-lim-kun, jumlah seluruhnya cuma seratus dua puluh orang, perusuh di luar semakin gencar menggedor pintu.   Segera Hun Thian-hi mengertak gigi, katanya kepada Baginda.   "Keadaan semakin gawat. kita tidak bisa bertahan melulu disini dengan kekuatan yang kecil ini. Harap Baginda beramai ikut menyerbu keluar kepungan, kalau bisa terjang sampai ke Bi-seng tentu keadaan jauh lebih baik."   Sesaat Baginda terlongong dan sangsi katanya.   "Mana boleh begitu. tentu mereka sudah menutup seluruh pintu kota!"   "Tidak usah takut, hamba punya kemampuan untuk menerjang keluar."   Segera ia perintahkan anak buahnya mempersiapkan kuda.   tak lama kemudian seluruh keperluan telah dipersiapkan.   Sementara itu pintu gerbang istana yang kokoh tebal itu pun telah retak.   Thian-hi suruh seluruh anggota Gi-lim-kun naik kuda, mempersiapkan anak panah, sedang tuan putri mengendalikan kereta membawa Baginda didalamnya.   Dalam pada itu Thian-hi pun sudah membawa seluruh keperluannya dan siap di atas kudanya pula.   Kebetulan saat itu juga pintu gerbang telah bobol dan terbuka lebar, pasukan pemberontak segera berbondong-bondong menyerbu masuk sambil berteriak-teriak.   Thian-hi memberi aba-aba untuk lepas anak panah.   seketika hujan panah menyambut serbuan para pemberontak, kontan sebagian besar diantaranya roboh mati, sisanya yang masih hidup menjadi ketakutan dan mundur keluar.   Hun Thian-hi memberi aba-aba pula, semua lemparkan anak panah dan menjinjing tombak, di bawah pimpinan Thian-hi sambil melindungi kereta tuan putri terus menerjang keluar.   Pasukan pemberontak tidak menduga akan serbuan Thian-hi beramai, dimana pedangnya terputar.   kontan sinar pedangnya merobohkan banyak perintangnya.   Tiada seorangpun yang mampu bertahan.   "Tio Gun!"   Lapat-lapat terdengar oleh Thian-hi seruan kaget seseorang dikejauhan.   Sekali dengar lantas Thian-hi dapat mengenali suara Ing Si-kiat, namun keadaan cukup genting tiada kesempatan membuat perhitungan dengannya, kudanya dicongklang ke depan terus menuju pintu utara.   "Lekas perintahkan tutup seluruh pintu kota!"   Ing Si-kiat berteriak memberi perintah.   Namun keburu pasukan Gi-lim-kun sudah menerjang keluar, melihat kegagahan Hun Thian-hi pasukan pemberontak menjadi gentar mana kuat menahan serbuan mereka.   Tak lama kemudian mereka berhasil menerjang tiba di pintu utara, pasukan yang menjaga di atas pintu gerbang segera lepaskan anak panah menyambut kedatangan mereka.   Sungguh gusar Thian-hi bukan kepalang, tubuhnya melambung maju ke tengah udara, kedua telapak tangannya mengerahkan Pan-yok-hian-kang.   Seluruh anak panah kena disampoknya runtuh, para Gi-lim-kun di belakangnya serempak melontarkan tombak2, sebagian besar pasukan pemberontak di atas gerbang pada terjungkal roboh binasa tertembus tombak.   Di lain kejap Hun Thian-hi telah mencelat mumbul lagi ke tengah udara, seluruh kekuatannya dikerahkan lagi di kedua tangannya.   "blang!"   Pintu kota yang tebal dan kuat itu kena dipukulnya roboh berantakan, pasukan mereka segera berbondong-bondong menerjang keluar, sebentar saja mereka berhasil menempuh ke Bi-seng.   Setiba di Bi-seng, tampak oleh Thian-hi jauh di belakang sana debu mengepul tinggi, tahu dia bahwa Ing Si-kiat membawa pasukan pemberontak mengejar kemari.   Tanpa ayal Thian-hi bawa pasukannya memasuki Bi-seng serta perintahkan tutup pintu rapat.   Thian-hi memeriksa kekuatan pasukannya, ternyata hanya delapan tunggangan saja yang roboh binasa kena panah musuh.   Panglima tentara yang menjaga di kota Bi-seng segera memburu turun memberi sembah hormat kepada Baginda raja Thian-hi tahu sebentar lagi pasti Ing Si-kiat memburu tiba.   segera ia memberi petunjuk pada pasukannya serta menyuruh bawahannya mengantar Baginda dan tuan putri ke rumah gedung Ma-ciangkun.   Seluruh pasukan Gi-lim-kun dikerahkan di atas pintu kota.   Tak lama kemudian Ing Si-kiat sudah tiba dengan pasukannya, teriak Ing Si-kiat kepada Hun Thian-hi.   "Tio Gun, lekas buka pintu, saudara angkatmu Ma Bong-hwi berada di tanganku, berani kau tidak buka pintu kubunuh dia!"   "Ing Si-kiat,"   Seru Hun Thian-hi tertawa.   "Awas kau! Saudara angkatku di tanganmu mungkin aku rada kuatir akan keselamatannya, bila kau bunuh dia, aku bisa bikin kau mati tidak ingin hidup pun sukar, kau tahu akan kemampuanku ini!"   Ing Si-kiat menjublek di atas kuda, secara langsung tadi ia melihat sendiri betapa tinggi dan lihay ilmu silat Hun Thian-hi, hatinya memang rada gentar dan was-was, biasanya ia rada takut menghadapi Ma Bong-hwi, namun sekarang justru Hun Thian-hi yang paling ditakuti.   Dua hari mendatang ini tidak kelihatan bayangan Hun Thian-hi, inilah kesempatan baik sesuai dengan intriknya dengan Tan-siangkok, mengancam Baginda raja dengan pasukan pemberontak untuk meminang tuan putri atas putranya.   Pikirnya sekali gebrak pasti berhasil, tak nyana sebelum rencananya berhasil tahu-tahu Hun Thian-hi menerjang keluar sambil melindungi Baginda dari istana, semakin besar takut hatinya menghadapi Hun Thian-hi.   Mendengar ancaman Hun Thian-hi semakin ciut nyalinya, bila dia bunuh Ma Bong-hwi jelas jiwanya sendiri juga tidak akan hidup lama.   Ia insaf untuk menyerbu dan menggempur Bi-seng bak umpama mimpi di siang hari bolong, bila Hun Thian-hi betul membuka pintu lebar-lebarpun belum tentu dia berani menerjang masuk.   Terpaksa dia harus berpikir, lebih baik kembali saja untuk berunding dengan Tan-siangkok, akhirnya tanpa banyak omong lagi ia tarik pasukannya kembali.   Thian-hi mendongak melihat cuaca, matahari sudah tinggi di tengah cakrawala, sudah lewat lohor, ini berarti bahwa dirinya sudah dua hari dua malam mengunci diri di dalam kamarnya mempelajari ilmu pedangnya.   Malam nanti ia harus meninggalkan negeri ini, namun urusan disini belum lagi dapat diatasi, cara bagaimanakah baiknya? Badannya terasa letih, dilihatnya panglima wakil Ma Bong-hwi sudah tiba, segera ia serah terimakan penjagaan pada mereka terus mengundurkan diri pulang ke gedung Ma-ciangkun.   Begitu masuk ke dalam tampak Baginda raja, tuan putri semua hadir disitu ditemani istri Ma Bong-hwi, Ma Siau-hou dan Ma Gwat-sian.   Muka mereka semua mengunjuk rasa kuatir dan lesu.   Begitu Hun Thian-hi melangkah masuk, pandangan semua orang terhadapnya rada berlainan.   Setelah memberi hormat ala kadarnya, segera Baginda bertanya, padanya.   "Apakah Ing-ciangkun sudah menarik tentaranya?"   "Untuk sementara waktu dia mengundurkan diri, tapi Ma-ciangkun berada ditangannya, kitapun tidak bisa terlalu mendesaknya!"   Baginda manggut-manggut, tanyanya.   "Bagaimana menurut pendapat Tio-ciangkun?"   Thian-hi menunduk, sahutnya.   "Kejadian ini timbul karena hamba melalaikan tugas, hamba rela seorang diri menyerbu ke Thian-seng untuk menolong Ma-ciangkun, soal yang lain kukira cukup gampang untuk diatasi."   "Mana boleh begitu,"   Teriak tuan putri.   "kau sediri sudah sangat letih, mana boleh seorang diri ke sana!"   Sekilas Ma Gwat-sian pandang tuan putri lalu menundukkan kepala.   Hun Thian-hi menunduk tanpa bicara, memang dia sudah merasa cukup letih dan lesu, dua hari ini ia terlalu tekun mempelajari Wi-thian-cit-ciat-sek, teringat olehnya Thian-bi-siang-kiam, terbayang akan guru Ma Gwat-sian, ia heran kenapa mereka begitu acuh tak acuh terhadap kemelut di negeri sendiri ini.   Terdengar Baginda berkata.   "Untuk sementara kuduga Ing Si-kiat tidak berani bertindak terhadap Ma-ciangkun, kau memang sudah letih, pergilah istirahat dulu. Soal ini tak kesusu diselesaikan!"   Hun Thian-hi tertawa getir, sampai pada detik ini temponya tinggal beberapa jam lagi, bagaimana dirinya tidak akan gugup, sambil mendongak ia berkata.   "Bagi hamba soal ini sangat penting dan genting. sekarang juga hamba harus berangkat."   Baginda menghela napas tanpa bersuara lagi. Dengan langkah lebar Hun Thian-hi segera beranjak keluar.   "Tio-ciangkun!"   Tiba-tiba Ma Gwat-sian berseri. Langkah Hun Thian-hi merandek dan berputar mengawasi Ma Gwat-sian. Kata Ma Gwat-sian: .Kemaren Suhu kemari, tanpa diberitahu aku pun sudah tahu Permintaanmu! Kau tidak perlu kesusu pergilah istirahat!"   Terbayang oleh Thian-hi akan kata-kata si Nikoh itu.   "Kau ingin Gwat-sian minta ampuh bagi kau?"   Ia menjadi geli dan berkata.   "Tidak apa-apa, aku tidak seletih seperti yang kalian bayangkan!"   Segera ia memutar tubuh terus berlari pergi.   Setelah melihat bayangan Hun Thian-hi menghilang diluar Ma Gwat-sian menunduk, Dengan lekat tuan putri mengawasi dirinya.   Setelah keluar dari gedung Ma-ciangkun, seorang diri Hun Thian-hi menuju ke arah Thian-seng.   Sekonyong-konyong didengarnya sebuah suara yang sangat dikenalnya dari ufuk sebelah utara nan jauh sana, sejenak ia terlongong, dilihatnya di sebelah utara sana seekor burung dewasa tengah menukik turun ke arah utara kota Bi-seng, itulah letak dimana tebing curam itu berada, hatinya semakin tegang, kiranya Bu-bing Loni telah mengejar tiba sampai disini, dihitung2 waktunya, memang jangka perjanjian setahun sudah tiba diambang mata.   Baru sekarang Thian-hi sadar, kenapa Thian-bi-siang-kiam dan guru Ma Gwat-sian tidak muncul selama ini, terasa olehnya sang waktu semakin mendesak segera ia keprak kudanya dilarikan sekencang mengejar angin, sekejap saja tibalah dia di Thian-seng, pintu gerbangnya yang diterjang jebol masih belum sempat diperbaiki maka dengan gampang saja Thian-hi terus menerjang masuk, para tentara yang berjaga menjadi takut dan lari cerai berai berkaok2.   Thian-hi tahu dimana Ing Si-kiat berada maka langsung ia keprak kudanya membelok ke arah kiri, dari depan ia dipapaki sebarisan tentara yang membawa tameng dan tombak terus menerjang dan mencegat dihadapannya, namun tanpa gentar sedikit pun Thian-hi menerjang dengan kudanya.   Belum lagi dekat mendadak dari depan sana Thian-hi dihujani anak panah yang tidak terhitung banyaknya.   Cukup dengan sepasang tangan sambil mengerahkan Pan-yok-thian-kang seluruh anak panah itu kena disampoknya jatuh, sementara kudanya masih mencongklang pesat ke depan langsung menuju ke gedung Siangkok.   Sepanjang jalan ini dirinya disongsong oleh ke-lompok2 tentara yang bersenjata lengkap berusaha merintangi dan mencegat Thian-hi.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      namun dengan kehebatan tenaga dan ilmu saktinya, Thian-hi dapat membikin seluruh perintangnya bercerai berai, pontang panting tak bangun lagi.   Waktu hampir sampai digedung Siangkok.   tiba-tiba didengarnya lengking suara seruling bambu yang mengalun halus, bertepatan dengan itu, dari pintu besar Siangkok berbondong-bondong menyerbu keluar banyak sekali ular besar kecil dari berbagai jenis.   Thian-hi menggeram gusar, ia berpaling dan mengawasi dangan tajam.   tampak di atas sebuah pohon tinggi di dalam halaman gedung Siangkok ada seorang berpakaian baju putih sembunyi disana sambil meniup seruling bambu itu.   Dengan membekal ilmu sakti mana Thian-hi takut menghadapi ular-ular ini, tapi terhadap si orang yang meniup seruling bambu mengendalikan ular-ular itulah ia benci sekali, sekali menyedot napas, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul ke tengah udara secepat kilat terbang menerjang ke arah si orang baju putih di atas pohon itu.   Orang baju patih itu terkejut dan menjadi ketakutan.   cepat ia diumpalitan turun dan hinggap di atas tanah, maksudnya hendak melarikan diri.   Tapi sementara itu Thian-hi sudah melampaui tembok tinggi pagar gedung Siangkok, dari ketinggian ia menukik seraya menepuk sebelah tangannya kebawah, kontan si orang baju putih menjerit ngeri dan muntah darah.   tubuhnya terguling dan tidak bergerak lagi.   Luncuran tubuh Thian-hi terus menerjang ke dalam, langsung menuju keruang besar belakang, baru saja kakinya melangkah masuk lantas dirinya dihujani anak panah pula, cepat Thian-hi tarikan sepasang telapak tangannya, untuk melindungi.   tubuh, karena rintangan ini serta merta dirinya menjadi terhalang sebentar.   Sebuah suara lantas berkaok dari dalam.   "Tio Gun! Kularang kau masuk, kalau tidak jiwa saudara angkatmu she Ma ini akan lenyap!"   Suara ancaman ini terdengar gemetar.   Waktu Thian-hi melihat ke dalam.   tampak dua baris tentara berpanah siap dibusur menghadap kepintu, sedang Tan-siangkok dan Ing Si-kiat kelihatan berdiri sebelah samping, Ing Si-kiat sendiri juga menentang busur menjujuhkan ujung panahnya kepunggung Ma Bong-hwi, asal ia lepaskan panahnya itu.   kontan jiwa Ma Bong-hwi pasti melayang.   Thian-hi menjadi bingung, sesaat ia merandek sambil melolos keluar pedangnya, hatinya bekerja cepat menerawang tindakan selanjutnya.   Dengan mendelik Ing Si-kiat berseru.   "Lekas keluar, kalau tidak jiwa Ma Bong-hwi menjadi jaminan!"   "Thian-hi!"   Teriak Ma Bong-hwi "Jangan kau hiraukan aku, bila dia bunuh aku, kaupun bunuh dia menuntutkan balas sakit hatiku."   Ing Si-kiat menjengek, seringainya.   "Ma Bong-hwi, apakah kau rela mati konyol? Keluargamu sedang menanti kedatanganmu!"   "Ing Si-kiat!"   Teriak Hun Thian-hi lantang.   "Berani kau mencabut seujung rambutnya saja, akan kubuat kau mati konyol lebih seram dan lebih mengenaskan!"   Bercekat hati Ing Si-kiat, nyalinya menjadi ciut saking gentar kakinya rada lemas dan mundur selangkah, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Thian-hi, kontan ia ayun pedangnya, selarik sinar terang segera melesat ke depan.   Tepat pada waktu itu anak panah dibusur Ing Si-kiat juga menjepret ke punggung Ma Bong-hwi, tujuan Ing Si-kiat menamatkan jiwa Ma Bong-hwi namun pedang Thian-hi secara tepat berhasil mengutungi anak panahnya di tengah jalan.   Seiring dengan ayunan tangan melemparkan pedangnya Thian-hi melesat seperti burung elang menubruk maju, barisan pemanah segera menyongsong dirinya dengan puluhan anak panah yang diberondongkan kepada dirinya, namun secara mudah Thian-hi berhasil meruntuhkan semua anak panah dengan pukulan saktinya, melihat kesaktian Thian-hi para pemanah itu menjadi ketakutan dan lari sipat kuping.   Terlihat oleh Thian-hi Ing Si-kiat juga terbirit2 lari ke dalam, namun didapatinya Ma Bong-hwi rebah di lantai, tiada tempo ia mengejar Ing Si-kiat, cepat atau lambat pasti durjana itu bakal dihukum setimpal, maka cepat ia membuka melenggu Ma Bong-hwi serta menolongnya bangun, dijemputnya sebatang pedang diserahkan kepadanya.   Dengan malu dan penuh sesal Ma Bong-hwi berkata.   "Lote! Untung kaulah adanya, bila aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan!"   "Toako tidak usah main sungkan lagi, yang penting kita harus cepat menerjang Keluar!"   Begitulah sambil menenteng pedang mereka menerjang keluar, melihat Thian-hi begitu gagah, keluar masuk begitu gampang seolah-olah rintangan yang dihadapi dianggap rumput yang gampang diinjak2 para tentara yang berjaga di luar menjadi kuncup nyalinya, apalagi Ma Bong-hwi sudah lolos maka mereka tidak berani maju merintangi.   Setelah berhasil merebut dua ekor kuda mereka langsung mencongklang keluar kota langsung menuju ke Bi-seng.   Begitu memasuki Bi-seng, seluruh rakjat dan pasukan di sana menyambut mereka dengan sorak sorai yang gegap gumpita.   Ma Bong-hwi sedikit kikuk, langsung mereka menuju ke gedung kediamannya.   Begitu masuk di dalam, Baginda segera menyongsong keluar, betapa girang hatinya sungguh sukar dilukiskan, sampai tidak bisa berkata-kata.   Segera Ma Bong-hwi sembah hormat, serunya.   "Hamba terlalu tidak becus sampai terjatuh di tangan Ing Si-kiat, hampir saja membuat malapetaka bagi seluruh negeri, harap Baginda suka memberi hukuman yang setimpal."   Baginda tertawa, ujarnya.   "Soal ini sulit diduga sebelumnya, kau bisa selamat dan situasi sudah dapat diatasi, tidak perlu kau salahkan diri sendiri lagi!" lalu ia berpaling dan berkata pada Hun Thian-hi.   "Tio-ciangkun sungguh gagah perwira, tentu kau sudah banyak capai."   Hun Thian-hi tertawa, sahutnya.   "Sekarang Ma-ciangkun sudah pulang dengan selamat, segala sesuatunya pasti dapat dibereskan. Hamba masih ada sedikit urusan, mohon ijin untuk keluar sebentar!"   Tuan putri menjadi gugup, serunya.   "Kau sudah begitu letih, ada urusan apa lagi, apakah tidak bisa besok saja?"   "Urusan ini sangat penting, aku sendiri merasa sudah terlambat, bila segera tidak kususul kesana, entah apa akibatnya nanti!"   "Jadi maksud Tio-ciangkun sekarang juga hendak berangkat?"    Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Mustika Gaib Karya Buyung Hok Geger Solo Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini