Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 18


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 18


Badik Buntung Karya dari Gkh   Sela Ma Gwat-sian gelisah.   "Belum tahu,"   Sahut Thian-hi, ia tahu orang salah paham, maka sambungnya.   "Tapi gurumu pasti juga disana, bila itu benar-benar selanjutnya aku tidak akan kembali lagi."   "Apa!"   Teriak Tuan putri gugup.   "Kau hendak pulang ke Tionggoan?"   Ma Bong-hwi berjingkrak kaget, teriaknya.   "Apa! Thian-hi! Kau."   Hun Thian-hi tersenyum lebar, katanya.   "Terdesak oleh keadaan, sekarang juga aku harus pergi!"   Lalu ia menjura memberi hormat kepada seluruh hadirin, cepat-cepat terus berlari keluar. Baginda sendiri merasa diluar dugaan, namun tiada alasan ia mencegah pemberangkatan orang, terpaksa ia berteriak.   "Tio-ciangkun, bila kau sudi, Thian-bi-kok selamanya menyambut kedatanganmu dengan tangan terbuka!"   Thian-si melambaikan tangan serta nyatakan terima kasih, setelah segala barang-barangnya diamhil langsung ia melayang cepat keluar.   Seluruh penghuni kota Bi-seng berbondong-bondong keluar mengantar pemberangkatan Thian-hi.   Thian-hi sudah siap untuk meningalkan tempat ini, namun selama empat bulan ia menetap di Thian-bi-kok kesannya terlalu mendalam, ia menjadi berat untuk meninggalkan negeri kecil ini.   Tapi serta teringat kejadian yang bakal terjadi di tebing tinggi sana, kakinya menjadi semakin cepat melangkah.   langsung ia menuju ke utara keluar lewat pintu utara.   Para penjaga di atas benteng kota menjadi heran, tak tahu mereka kemana Hun Thian-hi hendak pergi.   Waktu Thian-hi mendongak tampak burung dewata itu masih terbang berputar-putar di atas tebing curam itu, berdebuk jantung Thian-hi, gebrak perkelahian kali ini pasti sangat seru dan sengit, sampai lama ternyata masih belum ada kepastian siapa lebih unggul atau asor.   Tengah ia berpikir2 dan melangkah lebih cepat, tiba-tiba burung dewata itu terbang di atas kepalanya, berputar dua kali.   Waktu Thian-hi mendongak, tampak Siau Hong tengah bercokol di atas punggung burung dewata itu, baru saja ia hendak berteriak memanggil, burung dewata itu sudah menukik turun hinggap di tanah.   Di lain saat Siau Hong sudah muncul di depan matanya, kedua biji matanya yang bundar besar terkesima mengawasi dirinya.   "Siau Hong!"   Panggil Thian-hi tertawa. Siau Hong berkata kaget.   "Tak nyana kau berada disini. kenapa kau berdandan demikian?" ."Mencari aku bukan?"   Tanya Thian-hi tertawa Siau Hong tertawa, katanya.   "Bersama Siocia kami mencarimu ke-mana-mana, kelihatannya puncak tebing ini rada aneh, baru saja kami turun lantas kepergok dengan seorang Nikoh dan dua orang kakek. Kontan mereka lantas bertempur begitu sengit."   Tersentak jantung Thian-hi, batinnya.   "Kiranya Ham Gwat juga telah datang."   Sembari tertawa ia berkata pula.   "Akupun tengah menuju ke sana!"   "Apa!"   Teriak Siau Hong kejut.   "Kau mau mengantar kematianmu?"   Thian-hi mandah tersenyum tanpa buka bicara lagi, secepat terbang mereka melayang menuju ke arah tebing itu.   Melihat Thian-hi lari begitu cepat seperti tidak menggunakan tenaga sedikitpun, batin Siau Hong menjadi heran dan bertanya-tanya, segera ia kerahkan tenaganya untuk adu kekuatan lari cepat.   Lwekang Thian-hi saat itu boleh dikata sudah mencapai tingkat kaki melangkah berjalan di udara, langkah kakinya itu sudah bergerak paling lamban.   Tapi bagi Siau Hong masih terlalu cepat, keruan bercekat hatinya, sungguh ia heran akan ilmu silat Hun Thian-hi yang maju begitu pesat.   Waktu mereka tiba di pinggir tebing, sementara itu dengan pedang tunggalnya Ham Gwat tengah menghadapi keroyokan Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian, pedang Ham Gwat bergerak begitu lincah dan gesit sekali mendesak kedua musuhnya, Pek-bi-siu sudah kerahkan seluruh tenaga dan bojong keluar seluruh kemampuan, namun kepandaian mereka memang kalah setingkat, betapapun mereka berusaha tetap terdesak di bawah angin.   Sebaliknya seperti menari mendemonstrasikan gaya permainan pedangnya yang indah gemulai, Ham Gwat bergerak lamban dan seenaknya saja.   Diam-diam Thian-hi menjadi kagum akan Lwekang Ham Gwat yang tinggi dan hebat ini, selama ini belum pernah lihat Ham Gwat bertempur lawan orang, kini sekali dia turun tangan.   melihat permainan pedangnya itu, hatinya menjadi mencelos dan mengeluh dalam hati.   Dalam pada itu, dengan lirikan matanya Ham Gwat pun sudah melihat kehadiran Thian-hi, dilihatnya pakaian Thian-hi yang aneh itu, pandangan sinar matanya mengunjuk rasa heran dan tak mengerti, namun hanya sekejap saja lantas pulih seperti sediakala, kaku dingin tak berperasaan.   Dilihat oleh Thian-hi si Nikoh menggembol kecapinya menonton di pinggiran.   Diam-diam ia turut kuatir akan keselamatan Ham Gwat, begitu lagu irama abadi dikembangkan, mungkin dia tidak akan kuat bertahan.   Sementara itu, kedudukan Ham Gwat jelas dipihak yang menang, setiap jurus gerak pedangnya pasti membawa kesiur angin yang menderu keras merangsak kepada kedua musuhnya.   Meski bergabung namun Thian-bi-siang-kiam dibikin pontang panting menjaga diri keadaannya begitu runyam, sungguh mereka tidak akan menduga bahwa hari ini mereka bakal terjungkal di bawah tekanan sebatang pedang seorang gadis muda belia.   "Kau sudah datang!"   Terdengar si Nikoh menyapa kepada Hun Thian-hi. Segera Thian-hi menjura, sahutnya.   "Gadis ini datang mencari aku, harap Cianpwe melepasnya pulang, kami akan segera berangkat bersama!"   "Tidak boleh!"   Sahut si Niko;i dingin.   "Jangan asal sebagai murid Bu-bing Loni lantas dia berani main terobosan di Thian-bi-kok, seumpama Bu-bing Loni sendiri pun tidak kuijinkan."   Sudah tentu Ham Gwat juga dengar percakapan mereka, namun sinar matanya seperti tidak menunjukkan perubahan perasaan hatinya, sikapnya masih tetap dingin dan kaku.   "Cianpwe perhitungan ini biarlah aku saja yang menyelesaikan bagaimana?"   Tanya Thian-hi.   "Kau?"   Dengus si Nikoh geram.   "Keselamatanmu sendiri belum kau urus mau mohonkan ampun bagi orang lain?"   Dari samping Siau Hong segera menimbrung bicara.   "Buat apa kau bicara padanya, yang jelas Siocia berada di atas angin, suruh mereka berlutut kepada Siocia belum tentu Siocia sudi memberi ampun!"   Kelihatan amarah si Nikoh mulai memuncak, dengan tajam ia menyapu pandang ke tengah gelanggang, memang Thian-bi-siang-kiam sudah semakin payah dan tidak kuat bertahan lagi. Segera ia gerakkan tangan kanannya ke arah Thian-hi sedang mulutnya berkata.   "Kau sendiri urus dirimu, jangan cerewet dan turut campur urusan orang lain!"   Begitu mendengar suara kecapi kelihatan Ham Gwat juga tahu akan kelihayan musuh, cepat pedangnya menyabet balik menyongsong ke arah datangnya suara kecapi.   Thian-bi-siang-kiam berdua menjadi terkejut, cepat mereka jumpalitan mundur ke belakang.   Melihat permainan pedang Ham Gwat begitu lihay, dengan sebatang pedangnya ia mampu menangkis dan membendung serangan irama kecapinya, diam-diam si Nikoh bercekat, ia percaya bahwa lagu kekal abadi merupakan ilmu yang tiada taranya di alam maja pada ini, segera kesepuluh jarinya bergerak lincah memetik snar bergantian, melagukan Tay-seng-ci-lau.   Thian-hi sendiri menjadi kejut dan was-was, cara pertempuran macam ini baru pertama kali ini dilihatnya, Hui-sim-kiam-hoat memang belum pernah mendapat tandingan yang setimpal, namun Tay-seng-ci-lau pun sama hebatnya tiada yang kedua di seluruh kolong langit ini.   Setiap petikan irama kecapi si Nikoh tentu dapat disampok atau ditangkis oleh pedang Ham Gwat, pedang yang bergerak lincah dan hebat di tangannya itu setiap saat selalu memancarkan cahaya pedang yang putihkemilau dari desakan tenaga dalamnya yang hebat untuk membendung rangsakan irama Tay-seng-ci-lau.   Lambat laun lagu Tay-seng-ci-lau semakin keras dan cepat, lapat-lapat terasa adanya nafsu membunuh yang mulai menghayati serangan irama lagunya.   Akhirnya Ham-Gwat meletakkan pedangnya di tanah dan dia sendiri duduk bersila seperti orang semadi.   Kedua belah pihak bertahan sekian lamanya, saling serang menyerang, sekonyong-konyong irama harpa si Nikoh berubah.   jari jemarinya sekarang memetik lagu Le-liong-jut-cui seluruh lwekangnya dikerahkan melalui irama lagu ini untuk menyerang kepada Ham Gwat.   Raut muka Ham Gwat semakin pucat dan berkeringat, kelihaiannya sudah tidak kuat lagi.   Tahu bahwa Ham Gwat sudah terdesak segera Siau Hong berseru kepada Hun Thian-hi.   "Lekas kau tolong Siocia kami!"   Hun Thian-hi insaf bila Ham Gwat tetap bertahan dan melawan mati-matian akhirnya pasti bakal terluka dalam yang teramat parah, atau mungkin seluruh perutnya hancur dan sungsang sumbel sampai menemui ajalnya dengan mengenaskan.   Thian-hi tidak berayal lagi, sembari berkelebat ia meloloskan pedang.   kontan ia lancarkan jurus pertama dari ilmu Wi-thian-cit-ciat-sek yang bernama Thian-wi-te-tong (bumi bergerak langit berputar), pedangnya terangkat tinggi ke depan seperti tidak bergerak.   namun dalam gerak terpaut beberapa mili saja itu sudah kerahkan seluruh Lwekangnya di atas ujung pedang.   Setabir sinar perak kemilau dari batang pedang melesat keluar menggetar balikkan tenaga serangan si Nikoh melalui irama lagunya yang hebat itu.   Biji mata Ham Gwat rada terbuka mengawasi Thian-hi, sedikitpun ia tidak merasa heran atau aneh.   seolah-olah ia sudah tahu bahwa Thian-hi membekali ilmu yang teramat sakti ini.   Sebaliknya Siau Honglah yang kegirangan seperti putus lotre beberapa juta, teriaknya.   "Siocia! Lihatlah Hun-siangkong, ilmu pedangnya ternyata begitu lihay. ilmu pedang Suthay kiranya juga hanya begitu saja!"   Adalah si Nikoh itu yang bercekat, dua hari saja Thian-hi menyekap diri, namun ilmu pedangnya ternyata sudah maju melompat beberapa kali lipat hebatnya.   Ternyata ia mampu menggunakan hawa pedang untuk menyerang musuh, sejak dulu ia pernah dengar mengenai penggunaan hawa pedang untuk menyerang musuh dan belum pernah menyaksikan sendiri.   Sekarang dengan mata kepalanya sendiri ia saksikan seorang pemuda berusia likuran dapat menggunakan ilmu sakti yang tiada taranya itu justru untuk melawan dirinya, keruan kejutnya bukan main.   "Hun-siangkong!"   Teriak Siau Hong pula dari samping.   "Ilmu pedang apakah yang kau mainkan ini! Kenapa batang pedangmu sedikitpun tidak bergerak!"   Mendengar seruan Siau Hong ini, bertambah besar kejut si Nikoh, kenapa aku begitu gegabah. segera ia hentikan petikan harpanya serta berkata kepada Thian-hi.   "Adakah yang kau gunakan ini Wi-thian-cit-ciat-sek?"   Thian-hi rada tercengang.   Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu sakti yang sudah putus turunan sel ma beberapa ratus tahun lamanya.   Latihan dirinya pun belum sempuma paling-paling baru mencapai 80%, namun sekali dirinya menggunakan ilmu ini lantas dapat dikenali asal usulnya.   Mendengar akan nama Wi-thian-cit-ciat-sek, meski raut wajah Ham Gwat selalu kaku dingin ini tak urung sinar matanya memancarkan cahaya terang yang sangat aneh, kelihatannya heran.   kaget dan aneh namun juga mengandung rasa kurang percaya.   tapi juga sangat kegirangan, akhirnya seperti rada kecewa pula.   Perubahan pancaran sinar matanya ini terjadi dalam kilasan waktu saja, tiada seorangpun yang tahu.   Thian-hi merenung sebentar, dia ragu-ragu untuk menerangkan dihadapan Siau Hong dan Ham Gwat karena mereka adalah murid dan pembantu Bu-bing Loni, apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna dilatih olehnya, bila mereka memberitahu rahasia ini kepada Bu-bing Loni, mungkin jiwanya bakal terancam bahaya, Namun sesaat ia bersangsi akhirnya ia manggut-manggut sambil mengiakan.   "Darimana kau pelajari ilmu ini?"   Tanya si Nikoh. Hun Thian-hi awasi si Nikoh, dia guru Ma Gwat-sian, tidak seharusnya aku bohong padanya, katanya.   "Ka-yap Cuncia yang menganugerahkan kepada aku!"   "Beliau!"   Teriak si Nikoh dengan kejut. Diam-diam Thian-hi curiga, dari nada teriaknya kelihatannya ia cukup kenal siapa itu Ka-yap Cuncia. Akhirnya si Nikoh menghela napas panjang, tanyanya.   "Siapa kau sebenar-benarnya?"   "Aku sebagai murid angkatnya!"   "Beliaukah yang suruh kau kemari?"   Thian-hi manggut-manggut, sahutnya.   "Benar-benar, Taysu memberi pesan supaya aku tidak menonjolkan ilmu silat sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek kulatih sempurna dilarang meninggalkan tempat ini."   "Kalau begitu akulah yang salah. Seharusnya aku tidak membocorkan rahasiamu kepada Gwat- sian. Apakah Wi-thian-cit-ciat-sek sudah kau latih sempurna seluruhnya?"   Thian-hi geleng kepala, sahutnya.   "Belum seluruhnya, soalnya terjadi huru-hara dalam negara tadi sehingga latihanku tertunda beberapa bagian!"   "Aku bernama Po-ci,"   Si Nikoh memperkenalkan dirinya.   "Bila jumpa dengan gurumu, tolong sampaikan salamku pada beliau. Apakah kau tidak mau tinggal lagi beberapa lama?"   "Tidak perlu lagi, sekarang juga aku sudah siap untuk berangkat!"   "Terpaksa aku tidak menahanmu lagi, kelak bila kau memerlukan tenagaku akan kubantu sekuat tenaga!"   Demikian ujar si Nikoh, lalu sambungnya.   "Sekarang bolehlah kalian berangkat bersama!"   Habis berkata bersama Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian mereka tinggal pergi. Dengan suara lirih Siau Hong bertanya pada Thiani-hi.   "Benar-benarkah kau murid Ka-yap Cuncia?"   Thian-hi tertawa kikuk, katanya.   "Belum terhitung muridnya, yang benar-benar memang dia serahkan ilmu Wi-thiat-cit-ciat-sek kepada aku, dianggapnya aku sebagai murid angkat belaka."   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Siau Hong meleletkan lidahnya, katanya.   "Tak heran ilmu psdangmu begitu lihay, hampir lebih tinggi dari kepandaian Suthay!"   Thian-hi tertawa tawar. Katanya.   "Sunggun menyesal pesan beliau tiada satupun bisa kulaksanakan dengan baik."   "Kau hendak tinggalkan tempat ini. maksudmu hendak pulang ke Tionggoan?"   "Aku sendiri masih bingung apa yang harus kulakukan, yang jelas aku memang harus meninggalkan tempat ini!"   "Belum pernah kulihat orang setolol kau. kemana dirinya hendak pergi kok tidak tahu, menurut perasaanku sikap dan watakmu sudah jauh lebih baik daripada waktu pertama kali aku jumpa dengan kau dulu! Thian-hi mandah tersenyum saja. ia berpaling memandang ke arah Ham Gwat, saat mana Ham Gwat sedang bangkit berdiri, katanya.   "Jikalau aku adalah kau, sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek sempurna kulatih aku tidak akan tinggal"   Pergi!"   Wajah Ham Gwat memang tetap kaku dan dingin. namun sinar matanya memancarkan cahaya jernih dan kalem yang melimpah dari kemurnian hatinya. Hati Thian-hi menjadi hangat, katanya.   "Terimakasih, pasti akan kusempurnakan!"   Ham Gwat menunduk ujarnya.   "Sekarang Tionggoan sudah di bawah cengkeraman Tok-sim- sin-mo. Sejak ia lolos dari Jian-hud-tong mengandal kepandaiannya yang hebat ia berhasil menundukkan Partai Merah dan mengusir Partai Putih keluar perbatasan, Jian-hud-tong dibangun sebagai sarang pangkalannya. Guruku tidak mau saling bentrok padanya maka mengumbar saja perbuatannya. yang bersimaharaja itu."   Thian-hi rada kaget akan perkembangan situasi yang tidak diduga ini. tanyanya cepat.   "Lalu bagaimana dengan Kiu-yu-mo-lo dan Pek-kut-sin-mo?"   "Soal mereka aku tidak tahu! Mengandal ilmu kepandaianmu sekarang. seorang diri menghadapi gerombolan Tok-sim-sin-mo itu masih jauh dari cukup Ketahuilah anak buahnya semua adalah gembong-gembong iblis yang sudah lama mengasingkan diri dan kenamaan, berkepandaian tinggi lagi." * "Terimakasih akan penjelasanmu ini!"   "Kedatanganku hari ini sebenar-benarnya mencari kau, untuk menyeretmu kehadapan guruku. tapi tadi kau menolong jiwaku, sekarang aku harus pulang, biarlah lain kesempatan saja kubalas kebaikan badimu ini!"   "Nanti dulu!"   Seru Thian-hi tergesa-gesa.   "Aku tahu, maksud baikmu, mungkin tidak berguna lagi, tapi aku terima maksud baikmu ini!"   Lalu bersama Siau Hong ia naik ke atas panggung burung dewata dan terbang tinggi menghilang.   Thian-hi terlongong dipinggir tebing, baru pertama kali ini sejak kenal dulu ia langsung berhadapan dan bicara dengan Ham Gwat, apa yang terasa sekarang olehnya bahwa Ham Gwat ternyata begitu lemah lembut, berperasaan halus dan simpatik, jauh berlainan dengan kesannya dulu yang kaku dingin dan congkak itu.   Waktu bicara tadi kelihatan rasa simpatiknya terhadap dirinya.   ia prihatin akan keselamatan dirinya.   Pikir punya pikir, akhirnya hatinya menjadi mencelos, bukankah Ham Gwat masih anggap dirinya sebagai musuh besarnya.   Begitulah Thian-hi menjublek dipinggir tebing, perasaannya panas dingin bergantian, akhirnya pelan-pelan ia memutar tubuh hendak tinggal pergi.   Mendadak ia merasa segulung angin keras menerpa datang dari belakang, keruan kejut Thian-hi begitu mendengar kesiur angin ini lantas ia tahu bahwa yang datang ini pasti seorang tokoh silat yang berkepandaian tinggi, bukan saja tokoh malah seorang kosen lagi.   Lincah sekali kakinya bergerak pindah kedudukan seraya memutar balik.   sekali pandang tanpa terasa ia menjadi berjingkrak kegirangan, kiranya pendatang ini bukan lain adalah Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat adanya.   "Paman Pek!"   Teriak Thian-hi kegirangan. Pek Si-kiat tertawa lebar, katanya.   "Ka-yap Taysu berpesan supaya aku kemari menjemput kau pulang, apa kau tahu kenapa beliau antar kau ke tempat ini?"   "Disini aku tidak akan direcoki orang lain."   "Bukan begitu, Ka-yap Taysu tahu betapapun kau akan menggunakan ilmu silatmu, karena kau manusia, manusia punya hati dan dapat berpikir, betapapun kau tidak akan dapat menyembunyikan kepandaian silatmu."   Thian-hi terlongong, katanya.   "Jadi buat apa Ka-yap Taysu menyuruh aku kemari?"   "Tiada maksudnya yang tertentu, yang utama dia hendak melatih kesabaranmu, beliau menjelaskan kepadaku supaya aku menerangkan pula kepada kau, ilmu silatmu baik sekali, kau punya keberanian dan ketekunan melakukan segala sesuatu yang harus kau kerjakan, yang kurang ialah bahWa kau jarang menggunakan otakmu untuk beipikir!"   Terlihat oleh Thian-hi dibalik senyum Pek Si-kiat itu samar-samar terbayang kekuatiran yang mencekam hatinya. ia menjadi heran dan bertanya-tanya, namun bila Pek Si-kiat tidak menjelaskan iapun tidak enak menanyakan. Dalam hati ia membatin.   "Orang lain selalu memuji aku pintar kenapa Ka-yap Cuncia mengatakan aku masih kurang cerdik?"   "Beliau berkata selamanya kau bertindak tanpa memikirkan akibatnya, sepak terjangmu membabi buta dan serampangan. Dan sekarang kau sudah rela tunduk kepada orang lain, setiap tindak tandukmu tidak akan gegabah dan ceroboh lagi. itulah kesabaran yang melandasi sanubarimu dan itulah kecerdikan hanya sabar dan bijaksana baru akan timbul akal cerdikmu!"   "Paman Pek. kenapa guru tidak langsung menjelaskan saja kepada aku?"   Pek Si-kiat menghela napas rawan, ujarnya.   "Beliau sudah lama mangkat!"   Thian-hi terlongong-longong sedih, dia menunduk berdoa.   Selanjutnya Pek Si-kiat memberi gambaran situasi kalangan Kangouw di Tionggoan, selama ini ia menjelajahi jejak Kiu-yu-mo-lo tanpa berhasil.   Tok-sim-sin-mo sudah lama lolos, untuk kesekian kalinya ia main bersimaharaja di Kangouw.   Karena menghilangnya Thian-hi sekian lamanya berbagai aliran dan golongan yang meng-uber-uber dirinya itu sekarang menjadi putus asa dan tawar.   Apalagi Tok-sim-sin-mo malang melintang membuat huru hara dimana-mana.   Memang berbagai aliran dan golongan dari kaum lurus beberapa kali niat bergabung menghantam Tok-sim-sin-mo, dasar licik dan banyak kaki tangannya, pihak Tok-sim-sin-mo selalu dapat bertindak lebih cepat menumpas para aliran lurus itu, lambat laun kekuatan aliran besar kecil dari Bulim menjadi lemah dan tidak berdaya lagi.   Melulu Siau-lim-pay saja yang masih tetap jaya, berdiri tegak tanpa tergoyahkan.   Soalnya mereka jarang turut campur urusan dunia persilatan, pihak Tok-sim-sin-mo sendiri juga segan mencari gara-gara terhadap mereka, yang jelas karena Thian-cwan dan Te-coat kedua Taysu yang teragung dari pihak Siau-lim masih sehat kuat, betapapun Tok-sim-sin-mo harus berpikir dua belas kali untuk memancing kerusuhan terhadap pihak yang paling kuat ini.   Bab 19 Begitulah sambil bercakap-cakap Thian-hi berdua menempuh perjalanan, terlihat oleh Thian-hi wajah Pek Si-kiat dirundung hawa kekuatiran yang melesukan hati, beberapa kali ia niat bertanya namun selalu urung.   Diam-diam heran Thian-hi, akhirnya tak tertahan ia bertanya.   "Paman Pek, apa pula yang perlu kau katakan?"   Pek Si-kiat beragu sebentar, katanya.   "Hun-hiantit, ingin kutanya kau, Wi-thian-cit-ciat-sek sudah sempurna kau latih belum?"   Mendengar orang menanyakan soal itu, berdetak jantung Thian-hi, tahu dia bahwa urusan pasti rada janggal, atau pasti terjadi sesuatu yang menyulitkan, soalnya Pek Si-kiat masih kuatir bila Wi- thian-cit-ciat-seknya belum sempurna sulit untuk mengatasi soal ini, maka dia tidak berani membuka mulut.   Dari sikap dan raut muka Pek Si-kiat dapat diraba bahwa persoalan ini tentu sangat penting dan genting, katanya.   "Yang lain tidak berani kukatakan, melulu menghadapi Tok-sim-sin-mo kiranya cukup berlebihan!"   "Apa benar-benar?"   Pek Si-kiat menegas dengan muka kegirangan.   "Hian-tit, ada sesuatu hal yang harus kau sesalkan terhadapku, harap kau suka memaafkan!"   "Soal apakah sebenar-benarnya, harap paman suka menjelaskan?"   "Kalau dibicarkan sungguh memalukan, aku kehilangan taci angkatmu Sutouw Ciko!"   "Apa?"   Tanya Thian-hi berjingkrak.   "Ka-yap Taysu menyuruh aku menunggu sampai burung dewata muncul, bila kau turun segera kami harus langsung pulang ke Tionggoan, bila kau tidak turun, sepuluh hari kemudian aku harus naik ke atas tebing menyambut kau. Tapi aku kehilangan Sutouw Ci-ko terpaksa aku memburu ke atas."   Thian-hi menenangkan hati, katanya.   "Paman tahu cara bagaimana menghilangnya?"   "Diculik oleh Tok-sim-sin-mo!"   "Bukanlah Ci-ko tidak punya permusuhan apa dengan mereka."   "Benar-benar, tapi Ci-ko bersama aku. kubawa dia mengembara di Kangouw, entah bagaimana akhirnya Tok-sim tahu bahwa aku juga sudah lolos, berulang kali ia mengutus anak buahnya mencari aku minta aku masuk menjadi anggota gerombolan mereka, namun dengan tegas kutolak, siapa kira dia malah menculik Ci-ko sebagai sandera."   Thian-hi menjadi gugup, katanya.   "Entah bagaimana pula keadaan Ci-ko?"   "Dia minta aku menjadi anggota dan diangkat sebagai Wakil Pangcu, sudah tentu dia tidak berani siksa atau mempersulit Ci-ko, namun bila terlalu lama kurasa kurang leluasa juga. Aku tahu tenagaku bukan lawan Tok-sim, jalan yang terbaik hanya mencari kau. Bila Wi-thian-cit-ciat-sek sudah sempurna kau latih, apa pula yang perlu ditakuti?"   Thian-hi sudah melulusi permintaan Ham Gwat untuk menyempurnakan dulu latihan Wi-thian- cit-ciat-sek di Thia-bi-kok ini baru pulang ke Tionggoan.   Tapi kejadian ini terpaksa harus merubah pula keputusannya, bgaimana juga ia harus segera menyusul kesana untuk menolong Sutow Ci-ko meski ilmu pedangnya belum sempurna.   Karena itu terpaksa Thian-hi harus menyelusuri pula jejak2 berdarah di kalangan Kangouw, dan seluruh dunia persilatan bakal gempar pula karena Thian-hi muncul pula di Kangouw, yang jelas dia harus langsung berhadapan dengan para gmbong2 iblis yang lihay dan jahat itu.   Dunia persilatan bakal bergelombang dan tiada ketenteraman hidup lagi.   Justru karena Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna latihannya, Thian-hi sendiripun harus menempuh mara bahaya yang selalu mengancam jiwanya.   Begitulah bersama Pek Si-kiat mereka melakukan perjalanan cepat siang malam untuk menolong Sutouw Ci-ko dari cengkeraman sarang iblis.   Hari menjelang magrib.   sang surja sudah hampir terbenam diutuk barat, cahayanya nan kuning keemasan terang benderang menerangi jagat raja, di atas tanah tandus yang berdebu ke arah timur tampak bayangan dua ekor kuda yang memanjang ke depan.   di atas kuda ini masing-masing bercokol Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat.   Hun Thian-hi sekarang mengenakan jubah panjang seperti pakaian sastrawan umumnya.   Sudah beberapa hari ini mereka menempuh perjalanan jauh dengan tidak mengenal lelah.   tujuan utama adalah Jian-hud-tong.   Menurut perhitungan Pek Si-kiat, ia mengharap sebelum Sutouw Ci-ko berhasil digondol pulang masuk ke Jian-hud-tong mereka harus mencegatnya dulu ditengah jalan, menurut situasi dan keadaan menolong Sutouw Ci-ko dari cengkeraman musuh.   Lambat laun cuaca menjadi gelap, seluruh jagat raja ini dicekam kesunyian dan kegelapan tabir malam.   Mendadak Hun Thian-hi menarik tali kendali serta berkata kepada Pek Si-kiat.   "Paman Pek, ada orang mendatangi dari depan!"   Pek Si-kiat kaget, tahu ia orang yang dimaksud oleh Thian-hi ini tentu seorang tokoh luar biasa, maka cepat iapun menghentikan lari kudanya, dengan cermat ia pandang ke depan.   Benar-benar juga tak lama kemudian dilihatnya seorang mendatangi.   kiranya pendatang ini adalah Bing-tiong- mo-tho (siiblis bungkuk dari Bing-tiong) Sukong Ko.   Sejak Si-gwa-sam-mo kena dibelenggu dan disekam di dalam Jian-hud-tong oleh Ka-yap Cuncia, Sukong Ko tahu diri, ia mengundurkan diri dari percaturan dunia persilatan.   Kini setelah Si- gwa-sam-mo lolos dari hukuman, tujuan yang utama adalah menggabung seluruh kekuatan golongan hitam untuk menyelidik dan mencari tahu soal mati hidup Ka-yap Cuncia yang ditakuti itu.   Disamping itu keadaan yang cukup menguntungkan bagi golongan mereka pula sehingga mereka dapat melebarkan sayap dan kekuasaannya ke-mana-mana, karena pihak aliran lurus sedang merosot semangat dan tercerai berai.   Oleh karena itulah Bing-tiong-mo-tho Sukong Ko berani menampilkan diri pula dalam gelanggang adu kekuatan antar golongan sesat melawan aliran lurus ini.   Sudah tentu Pek Si-kiat tahu dan mengenal pribadi Sukong Ko ini melihat munculnya orang ini, ia insaf bahwa Tok-sim-sin-mo pasti sudah bertindak lebih cepat dari dugaan mereka, tentu kedatangan Sukong Ko ini tanpa sebab dan tujuan.   Bagaikan angin lesus Bing-tiong-mo-tho Sukong Ko mendatangi kehadapan mereka, setelah menyapu pandang sebentar ia berkata tertawa kepada Pek Si-kiat.   "Pek-heng! Pho-toako mengutusku kemari untuk menyilahkan kau kesana!"   Thian-hi tidak tahu siapakah Bing-tiong-mo-tho ini. ia heran dan terkejut akan kehebatan kepandaian orang yang tinggi, dengan cermat ia amati orang, lalu tanyanya kepada Pek Si-kiat.   "Paman Pek! Siapakah orang ini?"   Pek Si-kiat mendengus lirih, sahutnya.   "Mo-tho-cu! (iblis bungkuk)."   Selama hidup Sukong Ko paling benci dan sirik bila ada orang memanggilnya si Bungkuk, mendengar kata-kata Pek Si-kiat, kontan berubah airmukanya, katanya.   "Pek-heng! Ketahuilah kedatangan Sukong Ko hari ini bertujuan baik dan menguntungkan bagi kau, jangan kau sangka aku gentar menghadapi kau, sekarang aku menjalankan tugas engkohmu untuk mengundangmu kesana, kau sangka Sukong Ko sudi meminta2 sesuatu terhadap kau!"   Thian-hi belum pernah dengar nama Sukong Ko, namun dari ilmu silat orang dari sikapnya yang kaku serta punya hubungan erat dengan Pek Si-kiat lagi, ia kira orang sebagai salah satu gembong-gembong iblis yang telah mengundurkan diri dan sekarang muncul pula di Kangouw.   Pek Si-kiat menyeringai dingin, jengeknya.   "Dimana Sutouw Ci-ko sekarang? Lekas kau bebaskan dia!"   Sukong Ko pun tidak kalah dingin, dengusnya.   "Bila kau masuk anggota, jabatan wakil Pangcu jelas dapat kau duduki, kenapa pula kau terburu nafsu, bukan aku tidak tahu perangaimu, kenapa kau tidak mau bekerja sama dengan kita? Apakah kau tidak lagi ingin menuntut balas pada Ka-yap Cuncia yang telah mengurung kalian sekian lamanya?"   "Tutup mulutmu!"   Hardik Pek Si-kiat.   hatinya marah sekali.   Bercekat hati Sukong Ko, betapapun hatinya masih gentar menghadapi Pek Si-kiat, meskipun.   sebagai salah seorang gembong iblis yang jahat dan berkepandaian tinggi, namun bila dibanjng dengan Si-gwa-sam-mo rasanya masih kalah jauh beberapa tingkat.   Membayangkan sepak terjang Pek Si-kiat dulu, sungguh hatinya jadi mengkirik dan beku darahnya.   Tak tahu dia kenapa Pek Si- kiat melepaskan diri dari hubunngan eratnya dengan Tok-sim-sin-mo.   Pek Si-kiat dapat mengendalikan diri, ia tahu tak boleh membawa sikapnya yang keras dan ketus, soalnya Sutouw Ci-ko masih berada ditangan mereka, yang dikuatirkan justru adalah keselamatan Sutouw Ci-ko.   Dengan memincingkan mata ia pandang muka Sukong Ko lalu katanya pelan-pelan.   "Kau pulang dan suruh Pho Cu-gi kemari bicara langsung dengan aku!"   Dengan heran dan bertanya-tanya Sukong Ko pandang Pek Si-kiat, ia menjadi melengak akan perubahan sikap Pek Si-kiat yang mendadak dapat mengendalikan hawa marahnya ini. Sebentar kemudian ia menyeringai dingin, katanya.   "Pek-heng! Apapun yang kau inginkan bakal dikabulkan. Jangan kau lupa bahwa Sutouw Ci-ko sudah dibawa masuk ke Jian-hud-tong. Lima puluh tahun sudah menjelang, apakah kau masih takut dan gentar menghadapi Ka-yap si Hwesio tua itu?"   Memang Sukong Ko pernah dengar bahwa Ka-yap Cuncia belum wafat, namun dia tidak tahu bahwa Pek Si-kiat sekarang sudah berubah haluan, dari tersesat sudah kembali kejalan lurus.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Malah mendapat kebebasan langsung dari Ka-yap Cuncia sendiri.   Sekarang Ka-yap Cuncia sudah ajal, namun sikap Pek Si-kiat ini dianggapnya masih takut menghadapi Ka-yap seperti dulu.   Pek Si-kiat angkat alis, katanya mendengus lirih.   "Aku tak sudi banyak mulut pada kau, aku ingin bicara berhadapan dengan Pho Cu-gi. Dimana dia sekarang?"   "Pek-heng!"   Sindir Sukong Ko.   "Kau tak perlu takut pada Ka-yap lagi, meskipun Pan-yok-hian- kangnya itu merupakan kepandaian tunggal yang tiada taranya, namun kita sudah punya cara yang paling sempurna untuk mengatasi ilmunya ini!"   Pek Si-kiat semakin murka, semprotnya.   "Dimana Pho Cu-gi sekarang?"   Sukong Ko sengaja menghindari pertanyaan ini, matanya melirik ke arah Thian-hi lalu bertanya pula kepada Pek Si-kiat.   "Konon kabarnya Pek-heng menempuh perjalanan bersama seorang yang bernama Hun Thian-hi, apakah benar-benar bocah ini adanya?"   Pek Si-kiat menyeringai, ejeknya.   "Apakah Pho Cu-gi tidak sudi menemui aku? Atau takut melihat aku?"   Sukong Ko tertawa sinis, sahutnya.   "Kau bersaudara dengan dia sekian lamanya. masa tidak tahu tabiatnya? Emangnya dia pernah takut pada siapa? Bila tidak mendapat persetujuannya aku sendirilah yang tidak sudi kemari menemui kau, sekarang kaulah yang perlu menemui beliau, terpaksa akulah yang menunjukkan jalan, tapi jangan kau lupakan tabiatnya!"   Pek Si-kiat mendengus hidung, jengeknya.   "Dia pun bukan tidak tahu akan watakku, masa perlu kau orang luar ikut campur dalam urusan ini. Cukup asal kau bawa aku kepadanya saja!"   "Kalau begitu, akupun tidak akan merintangi perjalananmu sekarang dia berada di Jian-hut- tong, mari ku antar kesana!" habis berkata sebelah tangannya diayun ke belakang, seekor burung dara segera dilepaskan terbang cepat ke arah barat-laut. Pek Si-kiat cukup melirik saja, dengan kaku ia awasi Sukong Ko.   "Sekarang aku sudah memberi lapor, tidak bisa tidak kau harus datang ke sana!"   "Kau kira aku takut berhadapan dengan dia?"   Sukong Ko mandah menyeringai dingin, segera ia putar kudanya terus dilarikan dengan cepat.   Sepanjang jalan ini diam-diam Thian-hi pasang mata dan kuping, memang kenyataan kekuatan gerombolan Tok-sim-sin-mo sudah sedemikian luas dan kokoh kuat di daerah utara dan selatan sungai besar.   Banyak aliran lurus di daerah Tionggoan yang digencet dan diancam sehingga mereka tutup pintu dan menyarungkan pedang.   Daerah kekuasaan dan tempat rebutan antara Partai Merah dan Partai putih sekarang sudah menjadi sarang pusat Tok-sim-sin-mo dengan ganti nama menjadi Hek-liong-pang.   Singkatnya sepuluh hari kemudian rombongan Thian-hi bertiga tibalah dalam wilajah yang berdekatan dengan Jian-hud-tong.   Dari kejauhan Hun Thian-hi memandang ke arah Jian-hud-tong yang ditinggalkan beberapa bulan yang lalu, kini sudah ganti rupa, mulut Jian-hud-tong sekarang sudah diperlebar menjadi semacam pintu gerbang yang megah.   Baru saja mereka tiba diambang pintu gua, Tok-sim-sin-mo sudah menyongsong keluar, tampak oleh Thian-hi Tok-sim-sin-mo mengenakan pakaian serba hitam, wajahnya berseri tawa lebar, jenggot dan kumisnya sudah dicukur kelimis, hanya sepasang matanya itu yang tetap mencorong dingin berkilau seperti mata kucing, hampir Thian-hi tidak kenal bahwa yang dihadapi ini kiranya adalah Tok-sim-sin-mo.   Berkatalah Tok-sim-sin-mo lemah lembut kepada Pek Si-kiat.   "Samte! Watakmu seperti dulu, antara saudara sendiri kenapa main sungkan-sungkan apa segala. Sekarang kita sudah sama bebas seharusnyalah kita gabung dan kerja sama lagi untuk menghadapi Ka-yap. kenapa kau suka menyendiri dan tidak sudi bekerja sama!"   Pek Si-kiat menarik muka dan tidak bersuara. Kata Tok-sim-sin-mo kepada Hun Thian-hi.   "Kau pun ikut datang. Sejak kapan kau bergaul dengan Samteku, sekarang kami tidak perlu mempersoalkan perhitungan lama, kau sudah gaul bersama Samte berarti menjadi keluarga kami pula, mari silakan masuk!" lalu ia mendahului memberi jalan ke dalam. Dengan waspada Thian-hi amat-amati beberapa orang di belakang Tok-sim-sin-mo, diam-diam bercekat sanubarinya, para pengikutnya itu semua adalah tokoh-tokoh lihay atau gembong- gembong silat yang menakutkan, hampir seluruhnya dapat setingkat dijajarkan melawan Situa Pelita. Entah darimana Tok-sim-sin-mo dapat menggaruk begini banyak botoh2 silat ini! Dengan lirikan matanya Pek Si-kiat mengajak Hun Thian-hi masuk. Begitu berada di dalam didapati oleh Thian-hi, keadaan disini tidak banyak berbeda dengan keadaan dulu, hanya sekarang keadaan di dalam terang benderang ditimpah cahaya sinar mutiara yang diporotkan di atas dinding di berbagai tempat. Tampaknya Pek Si-kiat tidak pedulikan keadaan sekelilingnya, dengan langkah lebar ia beranjak masuk terus ke dalam gua. Akhirnya mereka dibawa masuk ke dalam sebuah kamar batu yang cukup luas dan besar. Setelah seluruh hadirin mengambil tempat duduk, belum lagi Pek Si-kiat sempat membuka mulut menuntut kebebasan Sutouw Ci-ko, Tok-sim-sin-mo sudah membuka suara lebih dulu, katanya.   "Samte! Aku punya sebuah barang ingin kuperlihatkan kepada kau!"   Tangannya bertepuk dua kali.   Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi sama heran, entah Tok-sim-sin-mo sedang main sandiwara apa! Segera mereka mendapat jawaban, tampak sebuah dinding di depan sana pelan-pelan terbuka, seorang berpakaian hijau segera keluar menyanggah sebuah kotak besi panjang dipersembahkan ke hadapan Tok-sim-sin-mo, Dengan berseri tawa Tok-sim-sin-mo meraih kotak besi itu terus dibuka, dari dalamnya ia menjemput keluar sebilah pedang panjang, pedang dan sarungnya lantas ia angsurkan kepada Pek Si-kiat serta katanya.   "Samte! Coba kau periksa, inilah pedang pusaka yang baru saja kusuruh orang membuatnya, bagaimana menurut penilaianmu?"   Berdetak jantung Pek Si-kiat, kiranya Tok-sim-sin-mo mampu cari seorang ahli untuk membuatkan pedang pusaka, sekarang diperlihatkan pada dirinya pula, entah kemana maksud juntrungannya.   Dengan kedua belah tangannya pelan-pelan Pek Si-kiat melolos pedang itu keluar, baru saja separo diantaranya tercabut selarik sinar kemilau yang menyilaukan mata memancar keluar dari batang pedang itu.   Begitu melihat cahaya berkilau yang menyilaukan mata ini kontan Pek Si-kiat berjingkrak kaget, otaknya lantas teringat akan seseorang, tanpa merasa mulutnya lantas berseru.   "Ling-lam-kiam-ciang!"   Hatinya menjadi was-was bila pandai pedang dari Ling-lam ini kena dipelet oleh Tok-sim-sin-mo, sungguh akibatnya sukar dibayangkan. Terdengar Tok-sim-sin-mo terkekeh-kekeh dingin, ujarnya.   "Benar-benar. Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo memang berada disini, oleh karena itu kau tidak perlu takut lagi bukan!"   Hun Thian-hi juga ikut kaget.   Tiada seorang pun kaum persilatan yang tidak tahu dan kenal akan seorang pandai pedang yang kenamaan macam Coh Jian-jo dari Ling-lam ini.   Bukan saja ia pandai membuat pedang, iapun pandai membuat bermacam2 senjata tajam lainnya yang hebat, beliau merupakan seorang jenius dari kaum Bulim.   Tapi konon sudah ratusan tahun lamanya menghilang dan tidak pernah membuat lagi senjata tajam, bila sekarang dia masih hidup usianya paling tidak sudah mencapai seratus lima puluh tahun, siapa nyana sekarang ahli pedang itu kena dipelet oleh Tok-sian-sin-mo.   Pek Si-kiat bungkam tak bersuara, hatinya semakin mencelos.   seperti yang dikatakan Bing- tiong-mo-tho tak perlu takut lagi menghadapi Pan-yok-hian-kang kiranya beginilah kenyataannya Kalau begitu pasti Tok-sim-sin-mo sudah memperoleh sebuah alat senjata yang jahat dan ganas dapat memecahkan ilmu Pan-yok-hian-kang itu.   Kalau ini benar-benar maka Hun Thian-hi tidak akan mampu bertahan mengandal Pan-yok-hian-kang latihannya itu menang atau kalah menjadi sulit diperkirakan lagi.   Terdengar Tok-sim-sin-mo mendesak.   "Samte! Sampai detik ini apa pula yang perlu kau pertimbangkan?"   Pek Si-kiat menunduk berpikir sebentar, mendadak ia angkat kepala serta katanya: Dimana Sutouw Ciko sekarang? "Samte!"   Ujar Tok-sim-sin-mo.   "Kulihat sikapmu sekarang tidak sewajar dulu lagi. Apa kau belum tahu tabiatku? Dari sikapmu ini jelas kau masih tidak rela bekerja sama dengan aku. sebetulnya apakah sebabnya?"   Pek Si-kiat tertawa tawar, sahutnya.   "Kau tak perlu tanya soal ini. Coh Jian-jo sudah berada disini, apa pula yang perlu kau takuti? Kaupun tidak perlu menarik diriku supaya bantu kau lagi!"   "Kukira soal apa, kiranya soal sepele ini."   Ujar Tok-sim-sin-mo tertawa.   "Watakmu seperti dulu, diantara kita bertiga hanya kaulah yang paling kupercayai, soal ini tiada halangannya kujelaskan kepada kau. Siapapun tiada yang kutakuti, tapi aku dapat membatasi diri tidak melebarkan sayapku keluar perbatasan dan juga tidak mencari perkara pada pihak Siau-lim, apa kau tahu apa sebabnya?"   Pek Si-kiat juga tahu tabiat Tok-sim-sin-mo, maka ia mandah diam saja, terdengar orang melanjutkan kata-katanya.   "Ang-hwat dia tidak akan mau dengar kata-kataku. Kau tahu tabiatku. lebih baik aku tidak mencari perkara pada pihak Siau-lim dan Ce-hun sitojin kerdil itu, tapi aku tidak akan membiarkan Ang-hwat bersimaharaja, sekarang diapun tengah mengumpulkan banyak kaki tangannya, tujuannya hendak mendirikan sebuah aliran yang bertentangan dengan pihak kami."   Pek Si-kiat tertawa, katanya.   "Ya, tapi bagi kau dia tidak lebih seperti seekor lalat belaka yang dapat ditimpuk mati."   Tok-sim-sin-mo menyeringai iblis, ujarnya.   "Seluk beluk soal ini belum kau ketahui, meskipun aku tidak gentar menghadapi dia, tapi Hwe-tok-kun sekarang sedang membantu dia."   Thian-hi tersentak kaget.   Hwe,tok-kun bukankah nama lain dari Mo-bin-suseng? Hampir dia berjingkrak bangun, setiap kali mendengar nama Mo-bin-suseng, darahnya lantas bergolak dirongga dadanya.   Dengan kalem Pek Si-kiat manggut-manggut.   setelah berpikir sebentar ia berkata.   "Darimana kau toako tahu bahwa Hwe-tok-kun sedang membantu usaha Ang-hwat?"   Tok-sim-sin-mo terkekeh kering. ujarnya.   "Kalau bukan dia yang bergerak di belakang layar pasti Ang-hwat sudah tergenggam dalam telapak tanganku,"   Lalu ia awasi Pek Si-kiat, sambungnya.   "Samte! Kau tahu maksudku bukan?"   Pek Si-kiat maklum bahwa Tok-sim-sin-mo mengharap dirinya suka bergabung dalam komplotannya untuk menghadapi Hwe-tok-kun. maka dengan tertawa ewa ia menyahut.   "Aku takkan mampu bantu kau menyelesaikan persoalan ini."   "Apa betul?"   Dengus Tok-sim-sui-mo sembari bergegas bangun. kedua biji matanya memancarkan cahaya berkilat mengandung hawa membunuh.   "Aku punya kepentinganku sendiri yang harus segera kuselesaikan. Sekarang aku sedang menjelajahi jejak Ji-ci. masa kau sendiri kau tidak pikirkan dia?"   Lekat-lekat Tok-sim-sin-mo awasi Pek Si-kiat, sesaat kemudian, baru berkata.   "Kiranya kaupun tahu soal itu, akupun tidak perlu menjelaskan lagi. Ketahuilah kupanggil kau tujuanku justru supaya menghadapi dia. Sekarang tentu dia sedang giat memperdalam ilmu Hian-thian-mo-kip untuk menghadapi aku. Kalau kau tinggal disini pasti dapat mencarinya, bukankah malah meringankan bebanmu!"   "Tidak, aku tidak sudi melakukan kejahatan lagi. Malah aku sudah menyesal akan perbuatanku yang penuh noda dulu!"   Terpancang pandangan heran dari biji mata Tok-sim-sin-mo, sesaat kemudian ia bergelak tawa serunya.   "Kau sudah menyesal? Kenapa kau harus menyesal? Apa tidak terlambat kau menyesal sekarang?"   Kata Pek Si-kiat menghela napas.   "Bila kau anggap antara kau dan aku masih punya hubungan persaudaraan, aku harap kau suka menyerahkan Sutouw Ci-ko kepadaku sekarang juga!"   Tok-sim sin-mo rada melengak, dengan pandangannya berkilat ia menyapu seluruh hadirin lalu berkata.   "Kau minta aku menyerahkan sekarang juga dihadapan sekian banyak orang?"   Terdengar hidungnya mendengus lalu melanjutkan.   "Memang hubungan kami seperti saudara sekandung layaknya, bila hanya kepentinganku seorang tentu segera kuserahkan Sutouw Ci-ko kepadamu, tapi soalnya sekarang berlainan, urusan umum harus diselesaikan secara umum, kecuali kau masuk menjadi anggota kumpulan kita, kalau tidak aku tidak bisa mementingkan urusan pribadi mengingkari kepentingan umum."   Pek Si-kiat tertawa sinis, ia pandang Hun Thian-hi sebentar lalu menyapu pandang semua orang yang hadir, katanya pula.   "Apakah urusan ini tiada kompromi lagi?"   Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo terbahak-bahak, ujarnya.   "Begitupun baik, berpisah selama lima puluh tahun, ingin aku melihat sampai dimana kemajuan ilmu silat Samte selama ini?"   Habis berkata dengan lirikan matanya ia pandang Bing-tiong-mo-tho. Bing-tiong-mo-tho segera bangkit dan berseru kepada Pek Si-kiat.   "Sukong Ko ingin mewakili Pangcu mohon pengajaran kepada Pek-heng!"   Pek Si-kiat bersikap tenang, sembari menyeringai pelan-pelan ia bangkit, tapi Thian-hi yang berada disampingnya juga melonjak bangun. katanya.   "Paman Pek, untuk gebrak ini biarlah aku saja yang turun gelanggang!"   Sebentar Pek Si-kiat pandang Hun Thian-hi, ia tahu kepandaian dan kemampuan Hun Thian-hi jauh mencukupi untuk menghadapi musuh, maka dia manggut-manggut lalu mundur dan duduk kembali.   Sementara Tok-sim-sin-mo malah pandang Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat bergantian dengan perasaan aneh dan heran.   Adalah Bing,tiong-mo-tho yang berjingkrak gusar, serunya.   "Selamanya Sukong Ko belum pernah lihat ada orang berani kurang ajar memandang rendah diriku!"   Hun Thian-hi mandah tersenyum manis, ujarnya.   "Aku bernama Hun Thian-hi, tidak lebih sebagai Wanpwe, angkatan muda!"   Lalu ia memutar menghahadapi Tok-sim-sin-mo. katanya pula.   "Bila Sukong Ko dapat kukalahkan, apakah Pho-pangcu rela menyerahkan Sutouw Ci-ko kepada kami?"   Hati Tok-sim-sin-mo rada was-was, biji matanya berjelilatan, katanya.   "Jadi maksudmu kau ingin main taruhan dalam pertandingan babak pertama. ini?"   Hun Thian-hi mandah tersenyum saja tanpa bersuara. Kata Tok-sim-sin-mo lagi.   "Apa yang kau taruhkan dalam pertandingari ini?"   Baru saja Thian-hi mau buka mulut. dari belakang Pek Si-kiat sudah keburu bicara.   "Bila dia kalah, kami berdua suka masuk menjadi anggota. Kau dengar, kami akan bekerja demi kepentinganmu!"   "Bagus!"   Teriak Tok-sim-sin-mo menepuk paha.   "Aku terima syarat pertandingan ini, bila kau yang menang, Sutouw Ci-ko segera kuserahkan. tapi bila kalah kalian harus menepati janji dan harus tunduk pada perintahku!"   Bing-tiong-mo,tho Sukong Ko beranggapan kepandaiannya cukup lihay dan berkedudukan tinggi pula, kecuali beberapa tokoh silat kosen jaman ini yang ditakuti hanya beberapa orang saja.   ia tidak pernah tunduk pada siapapun juga, sekarang justru harus berhadapan dengan Hun Thian- hi yang dianggap masih pupuk bawang, keruan hatinya murka sekali.   Dengan pandangan berapi-api ia pandang Pek Si-kiat sembari menggerung geram, ia sangka Pek Si-kiat sengaja memajukan Hun Thian-hi untuk mempermainkan dan menghina dirinya.   Bahwasanya ia tidak pandang Hun Thian-hi sebelah matanya.   Sambil menyungging senyum lebar pelan-pelan Hun Thian-hi beranjak masuk gelanggang, sikapnya tenang tanpa gentar.   Diam-diam Tok-sim-sin-mo terkejut dan tak habis herannya, melihat kewajaran sikap Thian-hi.   seolah-olah ia punya pegangan untuk memenangkan gebrak pertama ini.   Sebaliknya tampak sikap congkak Bing-tiong-mo-tho yang berkelebihan, tanpa merasa sanubarinya mendapat firasat jelek, seakan-akan Bing-tiong-mo-tho jelas bakal kalah.   Ia heran kenapa dia bisa punya pikiran demikian, memang kepandaian antara Hun Thian-hi dan Bing-tiong- mo-tho dalam pandangannya terpaut antara bumi dan langit.   Hun Thian-hi tidak akan kuat bertahan, sekali pukul.   Begitu Hun Thian-hi memasuki gelanggang Bing Cong-mo-tho lantas menggeram keras seperti harimau kelaparan, mendadak tubuhnya berkelebat menubruk maju seraya mencengkeram dengan cakar tangan kanannya.   Gebrak pertama ini ia sudah lancarkan kepandaian khususnya yang sangat dibanggakan yaitu Jian-yu-mo-jiu (cakar iblis beribu bayangan), maksudnya sekali cengkeram ia hendak membuat Thian-hi sebagai kelinci, makanan empuk yang dapat dibuat permainan, tindakannya ini bukan saja supaya Pek Si-kiat tahu bahwa dirinya tidak gampang dihina dan dipermainkan, tujuan yang utama adalah hendak memperlihatkan kepandaian silatnya sejati.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Gerakannya ini memang cepat luar biasa, telak sekali cengkeramannya ini mengenai pundak Hun Thian-hi.   Tampak biji mata Hun Thian-hi memancarkan sinar aneh, diam-diam ia menerawang situasi yang tidak menguntungkan ini, maka harus menyelesaikan pertandingan babak pertama ini secara kilat, maka Pan-yok-hian-kang segera dikerahkan tanpa berkelit lagi.   Begitu tangannya kena mencengkeram pundak orang, kontan berubah airmuka Bin-tiong~mo- tho Sukong Ko, terpancang rasa heran dalam sorot matanya, begitu kelima jarinya mencengkeram seketika terasa tangannya kesemutan tak mampu mengerahkan tenaga.   Keruan bukan kepalang kejutnya.   Kiranya pemuda yang dihadapi ini membekal ilmu sakti yang hebat sekali, sungguh aku terlalu memandang ringan padanya! Dasar ingin menangnya sendiri sedikitpun ia tidak gentar atau mumdur teratur, sambil mendengus ia kerahkan seluruh kekuatannya dikelima jarinya untuk mencengkeram lebih keras, pikirnya kecuali Ka-yap Cuncia.   tiada seorang pun yang akan mampu bertahan dari cengkeraman jarinya yang lihay seperti jepitan tanggem besi ini.   Dalam pada itu Thian-hi kerahkan seluruh Lwekangnya untuk bertahan, memangnya iapun rada memandang ringan pada Bing-tiong-mo-tho, apalagi Cian-kin-hiat dipundak kena dicengkeram, seolah-olah sipenunggang harimau yang sulit turun.   terpaksa ia harus melawan dengan segala kemampuannya.   sebab ia harus menang dalam pertandingan babak pertama ini.   Tampak Tok-sim-sin-mo mengunjuk rasa kaget dan tak habis herannya, kehebatan Lwekang Thian-hi benar-benar diluar perhitungannya semula.   yang lebih mengejutkan hatinya lagi justru dari tubuh Hun Thian-hi yang berdiri sekokoh gunung itu seolah-olah terbayang duplikat Ka-yap Cuncia yang sangat ditakuti itu.   Bukankah Lwekang yang dikerahkan itu adalah Pan-yok-hian-kang yang diandalkan Ka-yap Cuncia untuk malang melintang dan menjagoi dunia persilatan dulu? Sekian lamanya kedua belah pihak bertahan berdiri seperti tonggak kayu, kedua musuh ini sama tokoh kosen ahli Lwekeh yang lihay, adanya adu kekuatan tenaga dalam ini membuat seluruh hadirin menonton dengan jantung berdebar dan menahan napas, keadaan ruang batu itu menjadi sunyi senyap.   Entah berapa lama berselang, mendadak Hun Thian-hi menjebir bibir bersuit lirih pendek.   dimana kelihatan pundaknya sedikit bergerak terdengarlah suara "Duk!"   Yang keras kontan badan Bing-tiong-mo-tho yang tinggi besar itu terpental jauh tiga empat tombak terus terbancng roboh dan berkelejetan, Banyak orang segera merubung maju memajang Bing-tiong-mo-tho ke dalam untuk diobati.   Pundak kiri Thian-hi sendiri juga terasa sakit dan kesemutan lekas-lekas ia menyedot napas lalu mengerahkan hawa murninya untuk memulihkan kesegaran badannya.   Pek Si-kiat mengunjuk seri tawa lebar, ia sangat bangga akan hasil kemenangan Hun Thian-hi.   dengan tersenyum sinis ia pandang Tok-sim-sin-mo.   Tok-sim-sin-mo menggeram gusar, tanyanya kepada Hun Thian-hi.   "Apa hubunganmu dengan Ka-yap? Dimana dia sekarang?"   Lihay benar-benar Tok-sim-sin-mo ini, demikian pikir Thian-hi dengan kaget. Namun lahirnya ia tetap tenang, sahutnya tawar.   "Soal ini dibicarakan nanti. yang terang aku sudah menang lekas kau serahkan dulu Toaciku!"   Tok-sim,sin-mo menyeringai iblis, jengeknya.   "Hari ini bila kalian tidak masuk menjadi anggota, untuk meninggalkan tempat ini. sesulit memanjat langit!"   Pek Si-kiat berjingkrak bangun, pedang pusaka ditangannya diangsurkan kepada Thian-hi, serunya.   "Jadi kau mau ingkar janji?"   "Samte!"   Teriak Tok-sim-sin-mo mendongak sambil terbahak-bahak.   "Kau sangka aku gentar oleh sebatang pedang pusaka itu? Aku berani memperlihatkan pedang pusaka itu kepada kau sebelum kalian menentukan haluan, sudah tentu aku punya cara untuk mengatasi dan menundukkan Kamu berdua!"   Pek Si-kiat berdua bungkam.   "Kau harus tahu!"   Sambung Tok-sim-sin-mo.   "kenapa aku angkat nama dengan Hek-liong-pang! Lalu ia terkekeh-kekeh dingin sambil menyapu pandang keseluruh hadirin.   "Seumpama kau punya tipu daya yang keji kamipun tidak perlu gentar."   Demikian ujar Pek Si- kiat.   "Kau tahu watakku, apa yang hendak kulakukan kecuali aku lepas tangan, kalau tidak aku tidak merubah haluan sebelum tujuanku tercapai!"   Tok-sim-sin-mo tertawa kering dua kali, katanya kepada Hun Thian-hi.   "Aku tahu tentu kau pernah bertemu dengan Ka-yap. malah mendapat pelajaran. ilmu saktinya, namun semua pengalaman itu akupun tidak perlu main selidik lagi. Bila kau mau masuk anggota, kami tidak akan menyia-nyiakan bakat dan segala kemampuanmu. Apalagi Sutouw Ci-ko masih berada ditanganku, mau atau tidak, kau harus pilih satu diantaranya. Kalau kau benar-benar keras kepala dan tidak mau, aku kuatir kelak kau akan menyesal!"   Hun Thian-hi tersenyum manis. katanya.   "Setelah kau tahu aku sebagai ahli waris Pan-yok- hian-kang, maka tiada halangannya kita bicara secara blak2an saja. Kau sebagai Pangcu, aku menuntut supaya Sutouw Ci-ko segera kau lepaskan, soal masuk jadi anggota, saat ini aku tidak suka membicarakannya, karena kurasa pembicaraan ini tidak akan menguntungkan."   Lalu bagaimana menurut maksudmu?"   Semprot Tok-sim-sin-mo dengan mata berapi-api.   "Pak-yok-hian-kang cukup berkelebihan untuk menggetarkan Bulim,"   Ujar Thian-hi sinis.   "Hek- liong-pang kalian mengundang aku masuk menjadi anggota, dengan apa kalian hendak melemaskan hatiku?"   "Samteku menjabat wakil Pangcu, sedang kau bagaimana kalau kuangkat menjadi kepala dari empat pelindung kumpulan?"   Hun Thian-hi menggeleng dengan menjebir bibir. jengeknya.   "Bila demikian tawaranmu ini terlalu merendahkan derajatku, tidak sukar kau undang aku menjadi anggota, asal kau mau serahkan kedudukan Pangcu kepada aku!"   Tok-sim-sin-mo mendongak tertawa menggila, serunya.   "Sombong benar-benar, kau belum pernah lihat dan menjajal kekuatan Hek-liong-pang kami, bukankah kau mengandalkan Pan-yok- hian-kang yang tiada tandingannya di Bulim? Akan kupertunjukkan kepada kalian betapa hebat dan lihaynya, Pek-tok-kek-liong-ting! (paku naga hitam beratus racun)" lalu ia ulapkan sebelah tangannya empat orang berpakaian seragam hitam segera muncul, tangan masing-masing membawa selaras besi hitam, langsung diarahkan kepada mereka berdua. Pek Si-kiat kaget bukan main, dengan tajam ia pandang keempat orang itu. Ia tahu Pek-tok-hek-liong ting khusus untuk memecahkan Lwekang aliran Lwekeh yang terhebat, cara pemhuatannya sangat sukar, ratusan tahun yang lalu senjata macam ini sudah lenyap dari percaturan dunia persilatan. Sekarang mendadak muncul disini. jikalau Ling-lam-kiam- ciang Coh Jian-jo berada disini, tentu Tok-sim mampu membuat senjata jahat ini, tapi untuk membuat laras senjata ini diperlukan Besi murni laksaan tahun, entah dari mana Tok-sim-sin-mo mampu memperoleh bahan bakunya yang sulit didapat ini.   "Dalam dunia ini tokoh mana yang mampu melawan Pek-tok-hek-liong-ting? Pan-yok-hian-kang memang ilmu sakti yang tiada taranya, namun mana bisa melawan kehebatan Pek-tok-hek-liong- ting. Pek Si-kiat menggeram gusar, serunya.   "Jangan kau kira setelah memiliki Pek-tok-hek-liong-ting lantas kau dapat malang-melintang bersimaharaja. Apakah senjatamu itu tulen atau tiruan belum diketahui, bila benar-benar, kaupun akan kena ditumpas oleh seluruh kekuatan kaum persilatan!"   Tok-sim-sin-mo tertawa besar, ujarnya.   "Kau sangka senjataku itu tiruan? Kiu-thian-ham-giok merupakan bahan terpilih yang paling cocok untuk membuat Pek-tok-hek-liong-ting. Apalagi kekuatanku sedemikian besar ini masa takut ditumpas kaum persilatan apa segala?"   Hun Thian-hi berpikir sebentar lalu menyela bicara.   "Dalam kehidupan di dunia ini terdapat dua unsur positip dan negatif yang saling berlawanan. Kau sangka Hek-liong-tingmu ini tiada benda lain yang dapat mengatasinya?"   "Kau hendak mencari tahu? Sayang tiada suatu benda apapUn yang dapat mengatasinya. Dalam tempo sesulutan batang hio kuberikan kesempatan pada kalian untuk berpikir memberikan keputusan kalian."   Dari samping sana seorang menyulut hio lalu ditancapkan di atas meja.   Thian-hi harus berpikir secara cermat, mencari jalan untuk mengatasi situasi yang gawat ini, namun sesaat lamanya ia tidak memperoleh jalan keluar untuk menghadapi Tok-sim-sin-mo.   Sementara Pek Si-kiat sendiri pejamkan mata tanpa berkata-kata, ia mengandal kecerdikan otak Thian-hi, entah punya cara apa yang sempurna, buat dia sendiri tiada punya pegangan.   Tak lama kemudian batang hio itu sudah terbakar separo, Thian-hi lantas buka suara kepada Tok-sim-sin-mo.   "Apakah benar-benar Hek-liong-ting kalian bisa memecahkan segala Lwekang aku belum tahu, dengan cara ancamanmu ini kau hendak menarik kami menjadi anggota, kukira kalian bertindak kurang bijaksana."   "Jadi maksudmu kau ingin tahu kekuatan Hek-liong-ting ini lebih dulu?"    Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Perintah Maut Karya Buyung Hok Pendekar Bego Karya Can

Cari Blog Ini