Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 19


Badik Buntung Karya Gkh Bagian 19


Badik Buntung Karya dari Gkh   "Begitulah maksudku!"   Pek Si-kiat membuka mata, dia heran kenapa Thian-hi begitu gegabah, masa Hek-hong-ting dianggap barang mainan yang boleh dicoba apa segala, seumpama pedang pusaka atau senjata tajam lainnya juga tiada kemungkinan mematahkannya.   "Begitupun baik,"   Seru Tok-sim-sin-mo terloroh-loroh.   "Aku sendiri juga belum tahu apakah Hek-liong-ting dapat memecahkan Pan-yok-hian-kang, melalui percobaan ini ingin aku saksikan ilmu saktimu yang hebat itu, terlebih penting akan kuketahui betapa lihay Hek-liong-ting milik kita ini!"   "Tapi cara bagaimana mencobanya?"   "Gampang saja. Hek-liong-ting seluruhnya ada tujuh batang, kusuruh keempat orang itu bergantian menyerang kepadamu, kau boleh melawan dengan Pan-yok-hian-kangmu."   "Cara ini tidak bisa dilaksanakan!"   Dengus Pek Si-kiat. Dia tahu akan kelicikan pihak lawan, bila Thian-hi benar-benar tak kuasa bertahan, bukankah bakal menjadi korban secara konyol.   "Kenapa? Kalau tidak begitu cara bagaimana pula?"   Hun Thian-hi tertawa tawar, ujarnya.   "Paman Pek, cara ini memang cukup baik, kau tidak perlu kuatir padaku!"   Dengan sorot heran dan tak mengerti Tok-sim-sin-mo pandang wajah Thian-hi, Hun Thian-hi berani mempertaruhkan jiwanya untuk percobaan yang berbahaya ini.   Bagi perhitungan Hun Thian-hi bila dia berhasil memunahkan serangan Kek-liong-ting lawan, nyali Tok-sim-sin-mo tentu ciut dan gentar menghadapi dirinya, serta menyerahkan Sutouw Ci-ko.   Seumpama dirinya yang kalah, dirinya tidak akan hidup lama lagi, maka sasaran utama bagi musuh adalah dirinya, meski harus ajal di bawah paku naga hitam yang jahat ini, betapapun Pek Si-kiat harus berkesempatan meloloskan diri dari sarang iblis ini.   Tok-sim-sin-mo menggeram, dalam hati ia mencemooh.   "Anak muda, kau terlalu congkak!"   Bahwasanya ia tahu bahwa Hun Thian-hi tidak akan mampu melawan Hek-liong-ting, namun betapapun ia tidak mau kehilangan kesempatan paling baik yang sukar dicari ini.   Pelan-pelan Hun Thian-hi maju ke tengah gelanggang, pedang disarungkan di dalam serangkanya, terkilas olehnya akan Wi-thian-cit-ciat-sek, tergeraklah hatinya, bila Hek-liong-ting benar-benar khusus untuk memecahkan ilmu Lwekang, kenapa aku tidak gunakan saja Wi-thian- cit-ciat-sek untuk memenangkan percobaan ini? Seumpama gagal juga tidak menjadi soal, apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang dari aliran Lwekeh yang tiada taranya, apakah benar- benar tidak mampu bertahan dari serangan Pek-tok-hek-liong-ting? Melihat Thian-hi menunduk memandangi pedang di tangannya, seperti sedang memikirkan apa- apa, Tok-sim-sin-mo mengejek dingin.   "Kau menggunakan pedang juga boleh, tapi kukuatir Hek- liong-ting tidak semudah itu dapat ditangkis atau dilawan!"   Dengan tangannya Thian-hi obat-abitkan pedangnya sambil tertawa tawar tanpa bersuara.   "Kau sudah siap belum?"   Tanya Tok-sim-sin-mo.   Hun Thian-hi angkat kepala, dengan pandangannya yang tajam ia awasi seluruh hadirin, lalu manggut pelan-pelan.   Tok-sim-sin-mo menyeringai iblis seperti serigala yang kelaparan bakal menggares mangsanya, biji matanya berkilat mengandung hawa membunuh.   Dalam angan2nya, Hun Thian-hi segera bakal mati konyol di hadapannya.   Pelan-pelan ia sedikit angkat tangannya, salah seorang seragam hitam yang berdiri paling kanan segera angkat longsong besinya serta memijatnya.   "cret"   Setabur sinar hitam kontan melesat keluar, seluruhnya menerjang ke depan dada Hun Thian-hi.   Sejak menelan buah ajaib jasmani Hun Thian-hi luar biasa melebihi orang bjasa.   maka ia menjadi terkejut waktu melihat Pek-tok-hek-liong-ting melesat mengarah dirinya.   Dalam sekilas pandang saja ia melihat jelas formasi ketujuh Hek-liong-ting yang menerjang datang ini begitu sempurna dan lihay benar-benar, yang membuatnya terkejut adalah formasinya yang mengincai berbagai tempat, mungkin tiada seorang tokoh kosen dari Bulim yang mampu terhindar dari incaran Hek-liong-ting yang ganas ini.   Seumpama SitUa Pelita yang mengagulkan ilmu Gin-kang yang tiada keduanya dijagat ini juga takkan mampu menyelamatkan diri.   Sementara itu laksana kilat ketujuh paku naga hitam itu, sudah meluncur tiba, tiada tempo lagi bagi Hun Thian-hi untuk berpikir.   lekas-lekas ia angkat tangan kiri menepuk ke depan, ia kerahkan Pan-yok-hian-kang menyongsohg kedatangan ketujuh Hek-liong-ting itu dengan pukulannya.   Baru saja Thian-hi melancarkan pukulannya lantas dia merasa firasat jelek, tampak olehnya ketujuh Hek-liong.ting itu masih menerjang tiba dengan kecepatan yang ada, sedikitpun tidak menjadi terhalang atau menyimpang dan merandek oleh tenaga pukulan Thian-hi tadi.   Sebat sekali Thian-hi menggeser mundur seraya mengayun tangan, tahu-tahu pedang pusaka sudah berada ditangannya terus membalik ke depan, dengan jurus gelombang perak mengalun berderai salah satu jurus dari Gin-ho-sam-sek ia tangkis ke depan, cahaya pedangnya yang gemerdep segera mengurung luncuran senjata rahasia musuh.   Ketujuh paku naga hitam itu seperti terhenti sekilas ditengah udara, namun lantas meluncur maju lagi dengan kekuatan yang sama.   Apa boleh buat terpaksa Thian-hi lancarkan Wi-thian-cit- ciat-sek dengan tujuan men-coba-coba.   Dengkul ditekuk tubuhnya rada mendak kebawah pedang panjangnya lantas teracung miring ke depan, dimana pedangnya sedikit bergerak beberapa mili saja, (gerak pedang yang hanya beberapa mili ini sulit diikuti oleh pandangan mata) ia sudah kerahkan seluruh Lwekangnya.   seketika hawa pedang mengembang memenuhi udara sekitar gelanggang, benar-benar juga usahanya ternyata berhasil, ketujuh paku naga hitam beracun itu kena terhalang.   Keruan girang hati Thian-hi, dengan kekuatan hawa pedangnya ia bermaksud menghancur leburkan semua paku2 beracun itu, namun begitu pedangnya berputar terdengarlah suara Trang- tring yang ramai, terasa olehnya bahwa ketujuh paku itu adalah sedemikian keras pedangnya tak berhasil mematahkannya.   Sudah tentu kejut sekali hatinya, sembari bersuit nyaring cepat ia putar pedangnya pula menyapu jatuh ketujuh Hek-liong-ting itu tercerai berai di atas lantai.   Tok-sim-sin-mo kaget bukan main, tanpa kuasa ia melonjak bangun seraya berteriak.   "Itulah Wi-thian-cit-ciat-sek!"   Waktu pertama melihat Hun Thian-hi tidak berhasil melumpuhkan luncuran paku naga hitam musuh, berubah airmuka Pek Si-kiat.   Kini dilihatnya Thian-hi berhasil menyapu rontok seluruh paku berbisa dan ganas itu, keruan bukan kepalang senang hatinya, dengan suara lantang iapun berteriak.   "Benar-benar, itulah Wi-thian-cit-ciat-sek. Dalam kotong langjt ini siapapun yang mampu melawan Wi-thian-cit-ciat-sek?"   Tok-sim-sin-mo menggeram gusar, matanya berapi-api.   Dilihatnya Thian-hi berdiri tegak lurus dengan gagahnya pelan-pelan menyarungkan kembali pedangnya.   tanpa merasa hatinya menjadi gentar dan kuncup nyalinya.   Sekali sapu Thian-hi dapat menyampok runtuh senjata rahasia yang paling dibanggakan ini.   mungkin Wi-thian-cit-ciat-sek benar-benar sudah sempurna dilatihnya, betapapun dirinya bukan tandingannya, bagaimana tindakan selanjutnya? Ia menjadi bingung.   Tapi tidak terpikir olehnya bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-sek Thian-hi justru belum sempurna, sebelumnya tadi ia sudah lancarkan Pan-yok-hian-kang dan sejurus Gin-ho-sam-sek.   sehingga daya luncuran Hek-liong-ting yang keras dan cepat itu kena dipunahkan seoagian besar, begitu ia lancarkan sejurus Wi-thian-cit-ciat-sek dengan sendirinya mudah sekali ia rontokkan seluruh Hek- liong-ting itu.   Bila Tok-tim-sin-mo tadi memberi perintah pada anak buahnya supaya menyerang bergantian, betapapun tinggi kepandai Hun Thian-hi tidak akan lolos dari renggutan elmaut, dan kelak ia akan benar-benar dapat menjagoi dan bersimaharaja di seluruh dunia persilatan.   Justru karena kagetnya ini sehingga otak Tok-sim-sin-mo tidak dapat berpikir secara jernih, sesaat lamanya ia tak kuasa buka suara, entah berapa lama kemudian baru ia berkata.   "Kalau begitu, akupun tidak akan memaksa kalian masuk anggota lagi, Sutouw Ci-ko akan kuserahkan kepada kalian!"   Thian,hi dan Pek Si-kiat menjadi girang.   "Tapi ada syaratnya!"   Demikian tambah Tok-sim-sin-mo. Pek Si-kiat mendengus, jengeknya.   "Syarat apa? Apa kau mampu melawan Wi-thian-cit-ciat- sek? Ketahuilah Pek-tok-hek-liong-ting tidak lebih sebagai barang rongsokan belaka!"   "Benar-benar. memang aku tidak kuasa melawan Wi-thian-cit-ciat-sek."   Tok-sim-sin-mo mengakui terus terang.   "Tapi ingat Sutouw Ci-ko masih berada ditanganku, masa kalian berani mengusik-usik kepada aku?"   Pek Si-kiat terbungkam.   Dia tahu tabiat Tok-sim-sin-mo, bila ia sudah nekad segala apapun berani dilakukan, seumpama gugur bersamapun akan dia lakukan, dalam keadaan yang mendesak dan genting ini terpaksa ia harus berlaku sabar dan mengalah, maka katanya.   "Coba kau katakan dulu syarat apa yang kau ajukan?"   "Paling tidak sampai pada detik ini, setelah aku menyerahkan Sutouw Ci-ko, diantara kita tiada ikatan permusuhan dan dendam sakit hati lagi. Kelak peduli apapun yang kami lakukan, kalian berdua dilarang turut campur dan menghalangi, inilah syaratnya. gampang dan sepele saja apakah kalian mau setuju dan mematuhi syarat yang kuajukan ini?"   Hun Thian-hi berpikir sebentar, ia insaf bahwa situasi tetap gawat dan belum menguntungkan pihaknya, bila ia tidak setuju akan syarat yang diajukan ini, bila Tok sim-sin-mo murka dan nekad, paling-paling kepandaian sendiri setingkat sama Tok-sim belum lagi anak buahnya yang banyak jumlah dan tinggi kepandainnya, akan merupakan tekanan berat juga bagi pihaknya, maka ia berkata.   "Tapi bila tindakan kalian merugikan sanak kadang dan para sahabat kita bagaimana?"   "Tidak mungkin! Kalian harus cepat membawa Sutouw Ci-ko meninggalkan Tionggoan, sanak kadang atau teman2 kalian tidak akan kami recoki, bagaimana pendapat kalian?"   Thian-hi berpikir, bila aku mengajukan imbalan yang terlalu rumjt juga belum tentu mereka mau setuju, pula tidak mungkin hanya karena urusan kecil lantas aku mengingkari urusan besar ini, akhirnya ia tertawa mauggut2, ujarnya.   "Begitupun baiklah!""   Melihat Hun Thian-hi begitu wajar dan tanpa curiga sedikitpun menyetujui syarat2 yang diajukan Tok-sim-sin-mo menyeringai tawa lebar, katanya.   "Kau harus pegang teguh janji ini, kau tahu aku pernah kau tipu sekali, tempo hari kau tinggal merat sendiri tanpa hiraukan aku lagi, apakah kau masih ingat?"   Berdeguk jantung Thian-hi, sahutnya tertawa.   "Kau harus percaya kepada ucapanku sekarang!"   Tok-sim-sin-mo tertawa aneh, katanya.   "Segera kuantar Sutouw Ci-ko keluar gua, sekarang kalian boleh keluar dan tunggu diluar." habis berkata ia melangkah ke ruang sebelah dan menghilang. Thian-hi berdua keluar diantar anak buah Tok-sim-sin-mo. Tak lama kemudian tampak Tok-sim-sin-mo beranjak keluar sambil menggusur Sutouw Ci-ko. Begitu melihat Hun Thian-hi Sutouw Ci-ko berteriak kegirangan.   "Thian-hi, kau sudah pulang!" Begitu senang hatinya sampai matanya mengalirkan air mata.   "Mari lekas kita tinggalkan tempat ini!"   Demikian ujar Thian-hi sambil menggandengnya. Tok-sim-sin-mo mengunjuk tawa sinis yang aneh, tangannya segera diulapkan, anak buahnya segera menuntun tiga ekor kuda putih, katanya.   "Aku tiada punya tanda mata yang harus kuberikan, ketiga ekor kuda ini anggap saja sebagai tanda kenangan."   Pek Si-kiat rada heran dan bertanya-tanya kenapa Tok-sim-sin-mo hari ini begitu sungkan dan bersikap begitu baik.   malah begitu gampang kena diapusi lagi.   Siapa pun tahu Hun Thian-hi tidak mungkin mau pegang janjinya yang merugikan itu, tapi orang mau percaya begitu gampang, tentu ada udang dibalik batu.   Demikian ia menerawang dan berpikir.   Tok-sim-sin-mo mengangsurkan selempit kertas kepada Hun Thian-hi, katanya.   "Setelah meninggalkan tempat ini boleh kau baca surat ini seorang diri!"   Bercekat hati Pek Si-kiat, katanya cepat.   "Hun-hiantit, lekas kau lihat, apa yang dia tulis di atas kertas itu?"   Tanpa bersuara Thian-hi awasi Tok-sim-sin-mo dengan pandangan berkilat.   pelan-pelan ia membuka lempitan kertas itu.   Terdengar Tok-sim-sin-mo tertawa dingin, mendadak tubuhnya berkelebat menghilang kedalaan gua.   Begitu melihat apa yang tertulis di atas kertas itu, sejenak Hun Thian-hi melengak dan terlongong, lalu ia meremas hancur kertas itu dengan tangan kanannya, katanya kepada Pek Si- kiat dan Sutouw Ci-ko.   "Mari lekas berangkat!"   Melihat perobahan sikap Hun Thian-hi yang mendadak ini, Pek Si-kiat dan Sutouw Ci-ko berbareng mengajukan pertanyaan.   "Apa yang tertulis dalam kertas tadi?"   Thian-hi menunduk sambil tertawa tawar, sahutnya.   "Tiada persoalan bagi kalian!"   Mulutnya bicara begitu, namun jelas ia mengetahui bahwa urusan bakal berlarut-larut berkepanjangan, karena surat itu berbunyi;   "Sutouw Ci-ko sudah menelan Pek-tok-hoan (pil seratu5 bisa) setiap tahun pada pertengahan musim rontok, datanglah mengambil obat penawarnya."   Hun Thian-hi punya perhitungan, bila sekarang dia bersikap keras dan bermusuhan menghadapi Tok-sim-sin-mo, pihak sendiri terang tidak unggulan, dan pada pihak sendiri yang bakal konyol lebih baik bersabar dan main ulur waktu sembari menyempurnakan Wi-thian-cit-ciat- sek sebelum Tok-sim-sin-mo menyadari bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya belum sempurna ia harus cepat-cepat meninggalkan daerah yang penuh ancaman mam bahaya ini.   Maka segera ia keprak kudanya serta berseru kepada mereka berdua.   "Kita keluar dulu dari Giok-bun-koan baru bicara lagi lebih lanjut!" dalam bicara ini kudanya sudah dibedal sekencang angin. Terpaksa Sutouw Ci-ko dan Pek Si-kiat mengikuti jejak Thian-hi, merekapun mencongklang tunggangannya secepat angin pula, debu mengepul tinggi memenuhi angkasa. Sekejap saja mereka sudah pergi jauh dan tidak kelihatan lagi. Sementara itu Tok-sim-sin-mo sedang termenung memikirkan keadaan Hun Thian-hi, lambat laun timbul rasa kecurigaannya. masa Hun Thian-hi mandah saja mau tinggal pergi begitu saja? Rasanya tidak mungkin, atau mungkinkah dia punya urusan penting lainnya. sehingga harus cepat menyusul kesana. Begitulah ia menepekur dan menerawang adegan yang terjadi tadi, semakin dipikir terasa kejanggalan yang semakin menyolok, dia mendengus lirih, tingkah laku itu Hun Thian-hi terakhir ini sudah membuatnya curiga, maka terbayang pula. gerak-gerik Hun Thian-hi sejak ia memasuki Jian-hud-tong tadi. Mendadak terbayang olehnya waktu Hun Thian-hi melolos pedang, sikapnya rada ragu-ragu dan sangsi. Kontan terpancar sorot "tajam berkilat dari biji matanya, ia berpaling dilihatnya seluruh anak buahnya berdiri tegak meluruskan tangan. Gerak gerik Hun Thian-hi selanjutnya lantas terbayang pula di dalam ingatannya. Akhirnya ia menggerung dengan murkanya, baru sekarang ia paham kenapa Hun Thian-hi bersikap demikian. Adegan Hun Thian-hi menangkis dan menghadapi Pek-tok-hek-liong-ting tadi lantas terhenti dalam bayangannya. jelas kelihatan cara Hun Thian-hi menghadapi serangan itu begitu runyam dan terpaksa. Sungguh sesal dan dongkol dibuatnya kenapa waktu itu dirinya tidak perhatikan jurus permainan Wi-thian-cit- ciat-sek itu sendiri hakikatnya belum begitu sempurna dilancarkan oleh Hun Thian-hi. Baru sekarang ia sadar justru dirinyalah yang kena tipu malah. Cepat ia berteriak.   "Lekas siapkan kuda. Kita kejar Hun Thian-hi bertiga!"   Sebagai salah satu Huhoat (pelindungl Hek-liong-pang Bing-tiong-mo-tho merasa berkewajiban dalam tugas2 berat ini, sejenak ia tertegun lantas berkata.   "Mereka sudah berangkat satu jam yang lalu, apakah sekarang masih dapat kecandak?"   Tok-sim-sin-mo melongo, dengan kertak gigi ia berkata.   "Lekas kau lepas burung dara! perintahkan Siang-tongcu mencegat dan merintangi mereka, kita segera menyusul tiba. Bagaimana juga aku harus bunuh bocah keparat itu sebelum ia berhasil menyempurnakan Wi- cian-cit-ciat-sek!"   Bing-tiong-mo-tho rada terkejut cepat ia mengundurkan diri melaksanakan perintah, tak lama kemudian merexa sudah mencongklang kuda be-ramai-ramai dibedal menuju ke Giok-bun-koan.   Dalam pada itu Hun Thian-hi bertiga tengah membedal kuda masing-masing cepat-cepat, ditengah jalan ia memperingatkan kepada Pek Si-kiat dan Sutouw Ci-ko.   "Tok-sim-sin-mo pasti mengejar datang. Kita harus cepat keluar dari daerah kekuasaannya."   "Apa yang dia tulis dalam kertas tadi?"   Tanya Pek Si-kiat.   "Tidak apa-apa. Tok-sim-sin-mo mampu membunuh kami bertiga, kenapa dia tidak akan mengejar? Coba pikir apakah dia bisa menepati janjinya?"   Sebagai seorang kawakan Kangouw, serta mengetahui tabiat Tok-sim-sin-mo, sedikit berpikir lantas Pek Si-kiat maklum akan keadaan yang berbahaya ini.   tahu dia kemana juntrungan kata- kata Hun Thian-hi.   Begitulah tanpa berhenti dan tidak mengenal lelah mereka bertiga membedal tunggangan mereka, selama sehari semalam tanpa berhenti istirahat.   Untung tujuan Tok-sim-sin-mo semula supaya mereka lekas pergi dan meninggalkan wilajah kekuasaannya, maka kuda yang diberikan pada mereka rata2 adalah kuda pilihan yang dapat lari ribuan li sehari.   dalam waktu sehari semalam itu mereka sudah hampir tiba di Giok-bun-koan.   Mereka larikan kudanya berjajar.   sebelum memasuki Giok-bun-koan jauh di depan sana tampak jejak musuh telah menanti dan mencegat ditengah jalan.   Pek Si-kiat bertiga tidak tahu siapa dan apa tujuan mereka mencegat mereka? Apalagi sudah tiba diambang pintu Giok-bun-koan tidak perlu merasa kuatir yang berkelebihan, segera bersama menghentikan kuda dan menanti kedatangan rombongan musuh.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Setelah dekat baru Pek Si-kiat melihat tegas, diam-diam hatinya bercekat melihat siapa yang menjadi pemimpin rombongan pencegat ini, dia bukan lain Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong.   Nama julukan Lam-bing-it-hiong memang tidak begitu tenar di daerah Tionggoan.   Tapi Pek Si-kiat dulu pernah menjajal ilmu silatnya, kepandaian Lam-bing-it-hiong (si durjana dan selatan) tak terpaut jauh dibawahnya.   Sekarang Tok-sim-sin-mo sudah melebarkan sayapnya dan menggaruk sedemikian banyak gembong-gembong iblis, Siang Bu-wong adalah satu diantara gembong- gembong iblis itu, betapapun kita harus hati-hati menghadapi mereka, demikian Pek Si-kiat.   Sambil memincingkan mata Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong menyapu pandang mereka bertiga lalu berkata sembari tertawa aneh.   "Kiranya Pek-heng masih gemar tamasya naik kuda untuk melemaskan tulang-ulang tua. Aku mendapat perintah dari Pangcu untuk menahan kalian bertiga."   Pek Si-kiat tahu Tok-sim-sin-mo sangat mengandalkan tenaga dan kemampuan Siang Bu-wong ini, dia merupakan salah seorang tangan kanannya yang paling diandalkan.   Dia diutus bercokol di tempat ini tujuannya adalah untuk menghadapi Kiu-yu-mo-lo yang telah menghilang diluar perbatatan.   Sambil menjengek dingin segera Pek Si-kiat balas mengolok.   "Siang Bu-wong kiranya kau. Kau hendak menahan aku, haha, mampukah kau?"   Ternyata Lam-bing-it-hiong seorang yang licik dan licin, sedikitpun ia tidak terpengaruh oleh olok2 ini, dengan sikap dingin mendadak ia angkat sebelah tangannya memperlihatkan sebuah benda. teriaknya.   "Aku sendiri memang tidak mampu, namun kupercaya senjata ini akan mampu menahan kalian disini."   Berjingkrak kaget Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi, benda yang diacungkan Lam-bing-it-hiong itu bukan lain adalah laras Pek-tok-hek-liong-ting.   Dengan lirikan matanya Hun Thian-hi memberi aba-aba kepada Pek Si-kiat dan Sutouw Ci-ko, Sreng! cba2 tangan kanannya mencabut keluar pedang pusaka itu.   Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong mandah tersenyum sinis, begitu tangan kirinya menepuk ke atas laras besi panjang itu kontan setabur bayangan hitam kontan menungkrup ke arah Hun Thian-hi.   Sambil menghardik keras tubuh Thian-hi tiba-tiba mencelat mumbul dari tunggangannya.   pedang pusaka ditangannya lantas melancarkan jurus pedang dari ilmu Wi-thian-cit-ciat-sek, itulah tipu Thian-wi-te-liu (langit berputar bumi mengalir), hawa pedang yang menyerupai kabut putih kehijauan pupus menguap keluar dari batang pedang terus memberondong maju menerjang ke arah samberan Pek-tok-hek-liong-ting.   Dalam pada itu.   Pek Si-kiat juga sedang berteriak.   "Ci-ko. lekas terjang!"   Secepat kitiran kedua telapak tangannya bergerak.   dia kerahkan Pek-kut-sin-kang terus menerjang ke depan dilindungi kekuatan angin pukulannya terus menyerbu ke arah rombongan Lam-bing-it-hiong.   Lam-bing-it-hiong tahu begitu ia turun tangan.   pasti Pek Si-kiat juga tidak akan tinggal diam dan menerjang pada dirinya.   Cepat ia ayun laras Pek-tok-hek-liong-ting, terus menutuk kejalan darah Siau-hou-hiat ditenggorokan Pek Si-kiat.   hebat benar-benar serangan ini, kekuatannya pun ia kerahkan seluruhnya.   Pek Si-kiat rada kaget menghadapi rangsekan musuh yang lihay, tapi sebagai seorang ahli silat yang waktu mudanya merupakan seorang Gembong iblis juga kepandaian Pek Si-kiat sudah tentu tak terukur tingginya, mana ia gentar menghadapi serangan jurus yang lihay ini, tiba-tiba ia menggentakkan kaki, seketika tubuhnya mencelat tinggi meninggalkan tempat duduknya, berbareng kedua telapak tangannya terpentang ke kanan kiri terus melancarkan ilmu pukulan Pek- kut-mo-ou-ciang yang pernah menggetarkan kalangan Kangouw dulu, dimana kedua tangannya bergerak, dengan setaker tenaganya ia balas merangsak kepada Lam-bing-it-hiong.   Dalam pada itu, waktu Hun Thian-hi melancarkan Thian-wi-te-tong dengan seluruh kekuatan Lwekangnya untuk menghalau senjata rahasia musuh, namun Pek-tok-hek-liong-ting musuh masih menerjang maju terus sampai ke depan dadanya kira-kira setengah kaki baru kena dihalau dan tertangkis jatuh tercerai berai.   Betapa kejut hatinya bahwa Pek-tok-hek-liong-ting ternyata benar- benar begitu hebat, bila musuh melancarkan dua laras senjata rahasia yang lihay ini, jelas dirinya tidak akan mampu melawan.   Bila musuh sampai berhasil memproduksi laras2 senjata rahasia yang hebat ini, mungkin seluruh Kangouw ini tiada seorangpun yang bakal mampu melawan.   Bab20 Pikiran ini hanya berkelebat dalam alam pikirannya, waktu ia berpaling dilihatnya Pek Si-kiat dan Sutouw Ci-ko memang sudah berhasil mengacau balaukan perlawanan musuh dan berada di atas angin, namun selama itu belum berhasil menerjang lolos dari kepungan musuh.   Laksana seekor burung garuda tiba-tiba Thian-hi melompat jauh mencemplak ke atas kudanya terus dikeprak maju, berbareng pedang di tangannya menyerang dengan jurus Gin-go-sam-sek yang ketiga.   Gin-ho-sam-sek merupakan ilmu pedang yang maha sakti tiada taranya.   jurus ketiganya justru merupakan tipu yang paling hebat dan tepat untuk menggempur kepungan, dimana pedang panjangnya berkelebat, hawa pedangnya ikut berkembang melebar, kontan Siang Bu-wong kena terdesak mundur, tanpa ayal mereka bertiga segera menerjang lewat dan terus dibedal menuju ke Giok-bun-koan.   Melihat Thian-hi bertiga berhasil meloloskan diri dengan menghela napas rawan Siang Bu-wong mendelong mengawasi bayangan mereka yang semakin kecil dan hilang dikejauhan.   Waktu ia membalik tubuh jauh di arah yang barlawanan sana dilihatnya rombongan Tok-sim-sin-mo tengah mendatangi dengan cepat, sayang kedatangan mereka setindak telah terlambat, Hun Thian-hi bertiga sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.   Dari jauh Tok-sim-sin-mo sudah melibat bayangan Siang Bu-wong dan anak buahnya, kontan dingin perasaannya, tahu dia bahwa Hun Thian-hi pasti sudah berhasil meloloskan diri, bila mereka sudah keluar dari Giok-bun-koan jelas dirinya tidak mungkin dapat membekuknya Kembali.   Setelah dekat mereka memperlambat lari kuda, cepat Siang Bu-wong beramai maju memapak serunya memberi lapqr.   "Aku sendiri tidak becus, mereka bertiga sudah lolos pergi."   Tok-sim-sin-mo ternyata mandah tertawa besar, ujarnya.   "Siang-lote, bukan salahmu, kami sudah tahu mereka pasti berhasil lolos, cuma coba-coba saja merintangi, bila tidak berhasil tak perlu diambil dalam hati, kelak tentu aku punya cara untuk mengatasinya, Betapapun Hun Thian- hi pasti akan kembali ke Tionggoan, tatkala itu akan kami beri sebuah jalan kematian kepadanya!"   Habis berkata ia bergelak tawa pula.   "Maksud Pangcu adalah."   Siang Bu-wong bicara ragu-ragu. Dengan pandangan dingin Tok-sim-sin-mo menyapu pandang seluruh anak buahnya, ujarnya.   "Hun Thian-hi tidak lebih seorang bocah angkatan muda, dimana wibawa dan kegagahan kita pada waktu dulu? Masa takut terhadap bocah keroco itu? Aku bersumpah harus membunuhnya lebih dulu sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek berhasil ia latih sempurna. Aku harus bunuh dia."   Habis berkata ia menggeram dengan gegetun, lalu katanya pula kepada Siang Bu-wong.   "Kau tetap bertugas disini, bila Hun Thian-hi masuk perbatasan jangan kau ganggu usik dia, cukup asal kau memberi kabar dengan burung pos."   Lalu ia putar kudanya dan kembali ke arah timur diikuti anak buahnya.   Setelah keluar dari Giok-bun-koan, terbentang padang rumput nan luas di hadapan Hun Thian- hi bertiga.   Entah berapa lama kemudian, akhirnya mereka turun dan beristirahat.   Sutouw Ci-kolah yang paling merasa lelah, dengan suara lesu ia berkata tertawa.   "Setelah sampai disini, kita tidak perlu takut lagi terhadap Tok-sim-sin-mo. Dia tidak akan berani mengejar keluar dari Giok-bun- koan."   Begitulah sambil istirahat mereka menutur pengalaman masing-masing sejak berpisah, kira-kira satu jam kemudian, setelah badan terasa segar dan perut sudah kenyang, mereka berangkat lagi menuju ke Hwi-king-ouw (telaga kaca terbang) di Thian-san.   Entah berapa lama sudah mereka, menempuh perjalanan, tiba-tiba di hadapan mereka muncul seseorang, begitu melihat orang itu Hun Thian-hi lantas berteriak kegirangan.   "Siau-suhu! Bagaimana bisa kau berada disini?"   Cepat ia turun dan memburu maju. Hwesio jenaka tertawa lebar, serunya.   "Aku sedang tunggu kau disini. Eh, kenapa kau tidak panggil Siau-suhu lagi?"   Hun Thian-hi tersipu-sipu malu. Hwesio jenaka berpaling dan merangkap tangan ke arah Pek Si-kiat, ujarnya.   "Tuan ini bukankah Pek Si-kiat Pek-sicu. Apakah Pek-sicu baik selama ini?"   Begitu melihat tegas Hwesio jenaka kontan berubah air muka Pek Si-kiat, serunya kaget.   "Kau kiranya?"   Sambil cengar-cengir Hwesio jenaka manggut-manggut, tangannya sedikit digoyangkan, ia memberi tanda kepada Pek Si-kiat supaya tidak membocorkan rahasia dirinya.   Pek Si-kiat mandah tersenyum penuh arti tak bicara lagi.   Sungguh dia tidak nyana orang ini bisa berubah menjadi berbentuk seperti sekarang.   Sutouw Ci-ko pernah dengar mengenai Hwesio jenaka ini dari penuturan Thian-hi.   cepat ia loncat turun dan memberi hormat pada Hwesio jenaka.   Dengan cengar cengir Hwesio jenaka amat-amati Sutouw Ci-ko, lalu katanya berpaling pada Thian-hi.   "Ci-ko sudah berhasil kau tolong. Sekarang kau tidak punya urusan yang lebih penting bisakah sekarang kau ikut aku ke Bu-la-si?"   Thian-hi bertiga kaget.   "Sekarang?"   Tanya mereka bersama.   "Adakah keperluan penting disana?"   Tanya Pek Si-kiat lebih lanjut. Hwesio jenaka tertawa lebar, katanya pada Pek Si-kiat.   "Dalam hal ini kau jangan turut campur saja." Lalu katanya pula pada Hun Thian-hi.   "Pergilah nanti kau akan tahu. Kukira kau akan lebih berprihatin dari aku."   Thian-hi terlongong sejenak, katanya.   "Baiklah sekarang juga aku berangkat, Tapi sebetulnya ada kejadian apakah, bolehkah kau beritahu aku dulu?"   Hwesio jenaka tertawa, sesaat kemudian baru bicara.   "Soal mengenai Ham Gwat."   Thian-hi melengak, hatinya menjadi gugup, bukankah Ham Gwat diutus Bu-bing Loni untuk meringkus dirinya pulang? Dengan pulang bertangan kosong tentu Bu-bing Loni akan memberi hukuman berat padanya. Cepat ia berkata pada Pek Si-kiat.   "Paman Pek, terpaksa aku harus pergi ke Bu-la-si dulu!"   Pek Si-kiat mengerut alis, akhirnya manggut-manggut.   Ia tidak bicara karena dalam anggapannya semula ia mengira hubungan kental Thian-hi dan Sutouw Ci-ko merupakan pasangan yang setimpal.   Tapi dari keadaan sekarang dapatlah da meraba bahwa sebetulnya hati Thian-hi sudah tertambat pada gadis lain.   memang nasib SutOuw Ciko harus menjadi kakak angkatnya saja.   Kata Thian-hi kepada Sutouw Ci-ko.   "Ciko-ci, ada urusan lain yang harus kuselesaikan. Setelah urusan beres biar kudatang mendenguk kau, tunggulah aku di Hwi-king-ouw.!"   Sutouw Ci-ko sendiri tidak bisa mengatakan bagaimana perasaan hatinya pada saat itu, seakan- akan ia merasa hatinya sangat pedih. namun terasa juga rada girang. Matanya berkejap2, dengan berseri tawa ia manggut-manggut, katanya.   "Pergilah, kutunggu di Hwi-king-ouw, tapi kau harus hati-hati menghadapi Bu-bing Loni."   "Terima kasih Ciko-ci, aku akan cepat pulang." Lalu ia serahkan kudanya pada Sutouw Ci-ko, setelah ambil berpisah bersama Hwesio jenaka menuju ke selatan. Ditengah jalan ia bertanya pada Hwesio jenaka.   "Siau-suhu, apa kau tahu bagaimana keadaan Ham Gwat sekarang?"   Hwesio jenaka berpaling mengawasinya, katanya tertawa.   "Kau tak perlu gugup. dia tidak kurang suatu apa. Bu-bing Loni tidak akan berani menyakiti dia. Tapi Bu-bing Loni sekarang berada di Bu-la-si, petentengan dengan Ngo-hong Locu, kau sendiri sudah mendapat berkah dari Ka-yap Cuncia, Wi-thian-cit-ciat-sek sudah kau pelajari meski belum sempurna, perlu juga kau memburu kesana selekasnya."   Thian-hi menjadi kaget. kenapa Hwesio jenaka ini begitu jelas segala gerak geriknya, bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-sek dirinya belum sempurna juga sudah diketahui. Karena pikirannya ini, dengan heran dan melenggong ia. pandang Hwesio jenaka.   "Kau tak perlu heran, soal ini ada orang yang beritahu kepadaku, baru saja aku menyusul datang dari Bu-la-si."   Sambil berlari-lari kencang otak Thian-hi bekerja, tak lama Kemudian ia bertanya lagi.   "Bagaimana keadaan Bun Cu-giok sekarang? Apakah baik-baik saja?"   "Dia kena diusir dari Tionggoan oleh Tok-sim-sin-mo, untung dia didukung oleh gurunya Ce-hun dan Hoan-hi dua orang. Sam-kong Lama juga mau membantu dia, kalau tidak sejak lama dia sudah runtuh total, tapi keadaannya sekarang pun sudah payah, jikalau Tok-sim-sin-mo sedang tekun menghadapi perlawanan Hwe-tok-kun, mungkin dia sudah habis berantakan."   Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia merasa bahwa Bun Cu-giok hakikatnya bukan seorang jahat.   Hanya jiwanya rada sempit, dalam suatu ketika juntrungannya kurang lapang dan kurang dapat dihargai.   tapi untunglah bila dia tidak sampai dicelakai oleh Tok-sim-sin-mo.   "Sekarang dia sudah menikah dengan putri Ciok Hou-bu!"   Demikian tutur Hwesio jenaka.   Dingin perasaan hati Thian-hi, entah betapa perasaan sanubarinya sekarang, sebelum ia tahu hubungan antar Bun Cu-giok dan Sutouw Ci-ko, dia pernah merasa adalah jamak dan lumrah hubungan eratnya dengan istrinya sekarang.   Tapi lain pula keadaan sekarang, terasa olehnya bahwa Bun Cu-gioklah yang salah dalam hal ini, diam-diam ia sesalkan tindakan Bun Cu-giok yang tidak punya pribadi seorang laki-laki sejati.   Sesaat lamanya ia berdiam diri, lalu tanyanya lagi.   "Untuk apa Bu-bing Loni mencari urusan dengan Ngo-hong Locu?"   "Mengandal ilmu silatmu sekarang, kau boleh mengetahui."   Demikian ujar Hwesio jenaka sambil tertawa lebar. Sesaat kemudian baru melanjutkan.   "Sebab beliau adalah ibunda Ham Gwat."   Melonjak jantung Thian-hi, saking kaget kakinya sampai berhenti berlari, sekian lama menjublek ditempat.   Ong Gin-sia adalah ibu Ham Gwat? Kalau begitu.   Sungguh hal ini diluar dugaannya.   Waktu ia angkat kepala, Hwesio jenaka sudah jauh setengah li lebih di depan sana, cepat ia angkat kaki mengejar dengan kencang, sambil lari pesat hatinya merasa heran, setelah direnungkan sekian lama baru ia sadar.   Tapi hatinya masih dirundung keheranan.   Lalu bagaimana pula bisa terjadi ayah Ham Gwat bisa dibunuh oleh Ang-hwat-lo-mo? Setelah dekat mengejar Hwesio jenaka ia bertanya.   "Siau-suhu, apakah benar-benar ayahnya mati terbunuh oleh Ang-hwat-lo-mo?"   Hwesio jenaka tidaK hiraukan pertanyaannya, setelah rada jauh mereka berlari baru tiba-tiba ia berpaling dan jawabnya.   "Siapa yang bilang? ayahnya masih sehat baik-baik, bagaimana bisa mati dibunuh Ang-hwat?"   Thian-hi menjadi bingung.   ia heran kenapa segala kejadian itu begitu ganjil, tidak diketahui olehnya cara bagaimana peristiwa macam itu bisa terjadi.   Lebih heran lagi kenapa Bu-bing Loni bilang kepada Ham Gwat bahwa ayahnya terbunuh oleh Ang-hwat-lo-mo, sehinggga hampir saja dirinya mati secara konyol oleh Ham Gwat.   Ujar Hvosio jenaka.   "Jangan kau percaya obrolan Bu-bing Loni. Semua itu hanyalah bualannya terhadap Ham Gwat waktu masih kecil, namun sekarang dia sudah dewasa. Bu-bing Loni masih mengelabui padanya!"   Thian-hi menjadi paham sekarang. Tapi entahlah sekarang Ham Gwat sudah tahu rahaSia ini belum? Terdengar Hwesio jenaka berkata pula.   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Tapi jangan kau bocorkan rahasia ini kepada siapapun juga. Kelakuan Bu-bing Loni selamanya sangat kejam dan telengas, tapi terhadap Ham Gwat ia sangat sayang dan baik. Tapi Ham Gwat cukup cerdik betapa pun Bu-bing tidak kuasa menutupi bualannya, karena itu entahlah bagaimana kelak akibat dari penyelesaiannya."   Hun Thian-hi menjadi prihatin akan persoalan ini, sesaat lama kemudian ia bertanya.   "Apakah Ham Gwat sendiri tahu akan hal ini? Apakah dia tahu siapa ayah bundanya?"   Hwesio jenaka tertawa lebar, ujarnya.   "Soal ini hanya dia sendiri yang tahu, tiada seorang pun yang tahu seluk beluknya, tapi nanti bila kau ketemu dia jangan sekali2 kau bocorkan rahasia ini!"   Thian-hi manggut melulusi.   Hatinya jadi bertanya-tanya kenapa Hwesio jenaka berpesan wanti- wanti kepadanya mengenai hal ini? Hatinya rada menyesal, waktu Hwesio jenaka membantu dirinya dulu, kenapa ia tidak melulusi syarat yang diajukan itu.   Sekarang untuk bicara rasanya tidak gampang.   Hatinya mendelu dan menyesal.   Begitulah mereka berlari-lari kencang tanpa berhenti, lama kelamaan Hun Thian-hi menjadi heran.   Betapa tinggi Lwekang Hwesio jenaka ini kiranya tidak lebih rendah dari Situa Pelita, namun kenapa selama ini dirinya beluim pernah.   dengar ketenaran namanya dikalangan Kangouw.   Sekejap saja tiga hari sudah berlalu, Thian-hi berdua melanjutkan menuju ke Bu-la-si.   Setelah semakin dekat pada tujuan Hwesio jenaka berkata pada Thian-hi.   "Aku tak enak bertemu dengan Bu-bing Loni, silakan kau masuk sendiri, mungkin beliau masih belum pergi!"   Thian-hi sangsi sebentar, akhirnya ia manggut-manggut, pelan-pelan ia masuk ke dalam biara besar itu.   Baru saja kakinya melangkah masuk tampak Sam-kong Lama sudah menunggu diruang pendopo, tersipu-sipu ia maju memberi hormat kepada Sam-kong Lama.   Sambil berseri tawa Sam-kong mengawasinya, katanya.   "Kata Hwesio jenaka dia pergi mencari kau, ternyata benar-benar dapat ketemukan kau."   "Cianpwe, apakah Bu-bing Loni masih berada didalam?"   "Mari ikut aku. Dia masih disini. Baik sekali kau datang, kukira takkan ada persoalan lagi."   Thian-hi cuma tertawa, dia tahu untuk mengalahkan Bu-bing Loni, saat ini jelas tidak mungkin, apalagi Su Giok-lan pasti juga mengintil kemari.   Entah bagaimana keadaannya sekarang, sebelum ajal Su Cin kakaknya pernah berpesan supaya aku perhatikan dan mengasuhnya, tapi sekarang dirinya malah saling bermusuhan.   Begitulah dia ikut di belakang Sam-kong Lama masuk ke dalam, melewati serambi panjang dan sebuah pekarangan besar, dimana terlihat dua ekor burung dewata bertengger disana, itulah burung piaraan Bu-bing Loni.   Setelah melewati pekarangan, mereka memasuki sebuah kamar batu.   Di dalam kamar batu ini tampak Ong Ging-sia sedang duduk berhadapan dengan Bu-bing Loni, mereka sama pejamkan mata dan tidak bergerak.   SU Giok-lan berdiri di belakang Bu-bing Loni membelakangi pintu.   Begitu Hun Thian-hi memasuki kamar, tanpa berpaling tiba-tiba Bu-bing Loni mendengus serta bersuara.   "Siapa itu yang datang?"   Hun Thian-hi diam saja.   Sepasang biji mata Ong Ging-sia sedikit dibuka, seketika matanya mengunjuk rasa girang dan aneh.   Su Giok-lan berpaling ke belakang, begitu melihat kehadiran Hun Thian-hi, ia terkejut sampai mundur setindak.   Segera Bu-bing Loni bersuara pula tanya pada Su Giok-lan.   "Lan-ji, siapakah yang datang."   "Hun Thian-hi!"   Sahut Su Giok-lah pelan-pelan.   Bu-bing Loni tersentak kaget, kedua biji matanya terbelalak ke depan, hampir dia tidak mau percaya, begitu mendengar langkah orang lantas dia dapat mengukur betapa tinggi kepandaian pedatang ini.   Meski betapapun besar rejeki Hun Thian-hi, lwekangnya tidak mungkin maju begitu pesat dan mencapai tingkat teratas, pelan-pelan ia berpaling, dilihatnya yang baru datang ini memang Hun Thian-hi.   Dengan sinis Hun Thian-hi pandang Bu-bing Loni dan Su Giok-lan, mulutnya bungkam.   Hidung Bu-bing Loni mendengus lirih, sekarang dia harus percaya, sekilas ia pandang Hun Thian-hi lalu menoleh pula, seolah-olah ia tidak pedulikan kehadiran Thian-hi, namun mulutnya berkata pada Su Giok-lan.   "Lan ji, aku sedang ada urusan disini, coba kau usir dia keluar!" Su Giok-giok mengiakan, segera ia melolos pedang.   "Nanti dulu!"   Seru Thian-hi.   "Toaci!"   Seru Ong Ging-sia tertawa.   "kau tak usah repot2, akulah yang mengundangnya kemari, bukankah kau hendak mencari dia? Kenapa pula kau usir dia?"   Bibir Bu-bing mengejek, dengusnya.   "Itu urusanku kau tak usah ikut campur. Bila Ham Goat sampai mencari kemari, itulah tanda saat kematiannya!"   Berdetak jantung Thian-hi, ia melangkah maju menjura kepada Ong Ging-sia.   "Wanpwe Hun Thian hi, menghadap pada Cianpwe!"   "Tak usah banyak beradatan, apa kau baik selama ini?"   Sapa Ong Ging-sia lemah lemhut.   "Berkat doa Cianpwe segalanya baik, terima kasih akan perhatian ini. Cuma tempo hari bikin repot Cianpwe saja." Waktu bicara ia angkat kepala mengawasi Ong Ging-sia. Perasaannya kali ini jauh berbeda dengan tempo yang lalu, Ong Ging-sia adalah ibunda Ham Gwat, dia menjadi risi dan kikuk malah entahlah apa yang harus diperbuat selanjutnya."   BU-bing melirik hina, semprotnya kepada Thian-hi.   "Apa saja yang telah kau ucapkan kepada Ham Gwat? Kemana dia sekarang?"   Sesaat Hun Thian-hi menjublek.   "Apa dia sudah pergi?"   Tanyanya berseri girang. Bu-bing menggeram marah, jengeknya.   "Bila kau mendengar apa dan berani mengadu domba diantara kami, aku tidak akan gampang memberi ampun pada kau. Selama ini kemana pula kau berada?"   Hun Thian-hi mandah tertawa tawar, ujarnya.   "Apa yang kau tanyakan aku tidak tahu!"   Bu-bing Loni menyeringai sinis, katanya.   "Baik. mungkin kau temukan rejeki aneh, ilmu silatmu sekarang sudah tinggi, aku harus membuat perhitungan selama setahun ini padamu. Lalu ia berpaling ke arah Su Giok-lan dan berkata pula.   "Lan.ji, belakangan ini bagaimana latihan Hui-sim- kiam-hoat mu?"   Su Giok-lan bersangsi sejenak, sahutnya.   "Murid sendiri kurang jelas, paling tidak dapat mencapai taraf yang ditentukan oleh Suhu!"   "Itupun sudan cukup,"   Ujar Bu-bing mendengus.   "Gunakanlah Hun Thian-hi untuk mencoba latihan ilmu pedangmu!"   Su Giok-lan mengiakan dan patuh.   Memang kesannya terhadap Hun Thian-hi rada jelek, meski tempo hari Hun Thian-hi pernah menolong dirinya, namun sekarang dia merasa tidak puas dan sirik terhadap Thian-hi, orang telah menjerumuskan Ham Gwat, sejak mula Su Giok-lan sangat simpatik dan patuh sekali terhadap Ham Gwat, terutama beberapa bulan belakangan ini, sikap Ham Gwat terlalu baik terhadapnya.   Sekarang Ham Gwat telah lari mengkhianati gurunya, sebab musababnya adalah karena Hun Thian-hi yaitu karena Ham Gwat telah melepasnya pula itu berarti dia membangkang terhadap perintah gurunya.   Su Giok-lan melangkah maju sambil menenteng pedang.   "Nona Su,"   Kata Hun Thian-hi tertawa.   "Apakah harus bergebrak dengan aku?"   "Jangun cerewet."   Pelan-pelan Hun Thian-hi melolos Hwi-hong-siau dari pinggangnya, ujarnya.   "Kalau begjtu harap nona Su memberi petunjuk!"   Tanpa ayal pedang Su Giok-lan lantas terangkat dan mulai menyerang, beberapa bulan terakhir ini ia rajin dan tekun melatih Hui-sim-kiam-hoat, Hui-sim-kiam-hoat merupakan ilmu pedang dari aliran Lwekeh yang tertinggi dan sangat menakjupkan.   Begitu Su Giok-lan menggerakkan pedang sejurus permainannya saja lantas terlihat sinar pedangnya berkelebat memutih laksana lembayung menggulung ke arah Hun Thian-hi.   Biji mata Hun Thian-hi berputar mengikuti samberan sinar pedang, mulutnya menyungging senyum manis, sebat sekali ia angkat serulingnya, dengan mengembangkan Gim-ho-sam-sek ia melawan serangan musuh, pancaran cahaya merah dadu dari seruling ditangannya berkembang melebar seperti kabut merah, melindungi badannya, sinar pedang Su Giok-lan berubah berkuntum2, mengembang keempat penjuru merangsak dari berbagai jurusan, sedemikian gencar serangan pedangnya, namun sedemikian jauh ia tidak mampu mendesak maju setengah Undakpun.   Begitulah setengah jam sudah lewat, yang satu menyerang dengan bernafsu yang lain bertahan dengan rapat dan kuat, Hun Thjan-hi cukup menggunakan jurus Gelombang perak mengalun berderai dari Gin-ho-sam-sek ajaran Soat-san-su-gou, seluruh rangsakan pedang Su Giok-lan berhasil dihalau ditengah jalan.   Menyaksjkan pertempuran ini, lama kelamaan bercekat hati Bu-bing Loni, mengandal kepandaian Thian-hi yang tinggi sekarang, jangan kata Su Giok-lan bukan tandingannya, seumpama dirinya sendiri yang maju juga belum tentu pasti bisa menang dalam waktu singkat secara gampang.   Beberapa jurus lagi, segera ia berseru.   "Lan-ji, kau mundurlah!"   Su Giok-lan menarik pedang mundur beberapa langkah, hatinya pun dirundung keheranan, kepandaian silat Hun Thian-hi kiranya sudah maju begitu cepat berlipat ganda, sungguh sukar dipercaya kalau tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri.   Disamping heran hatinya pun menjadi dengki, betapapun ilmu silat Hun Thian-hi selalu lebjh maju lebih tinggi dari kemampuannya, sanubarinya yang paling dalam diam-diam merasa sirik karena akhir2 ini ia beranggapan setelah pelajaran ilmu pedangnya maju pesat, kecuali Bu-bing Loni dan Ham Gwat dua orang, seluruh kolong langit ini tiada orang ketiga yang dapat mengalahkan dirinya.   Sambil tersenyum Hun Thian-hi pun mundur sambil menyimpan serulingnya, sekilas tampak olehnya rasa kurang puas dari pancaran mata Su Giok-lan, terlihat pula rasa penasaran dan hawa pembunuh dari sorot mata Bu-bing Loni.   Kata Bu-bing Loni kepada Hun Thian-hi.   "Selama ini kemana saja kau pergi?"   Ong Ging-sia malah yang menjawab pertanyaannya ini.   "Ketahuilah dia adalah murid angkat Ka-yap Cuncia."   Kontan berubah hebat air muka Bu-bing Loni.   selama hidupnya ini, otaknya terlalu berangan2 bahwa dirinya tiada tandingannya di seluruh kdlong langjt.   konon bahwa Ka-yap jauh lebih kuat dari dirinya, namun sudah sekian lamanya menghilang dari percaturan dunia persilatan.   Siapa nyana sekarang Hun Thjan-hi diangkat menjadi murid angkat Ka-yap Cuncia.   Dari kepandaian Thian-hi yang begitu hebat dan tinggi ini dapatlah diukur sampai dimana tingkat kepandaian Ka- yap Cuncia.   Bu-bing terlongong sesaat lamanya, akhirnya sambil bangkit ia tertawa dingin.   "Kalau begitu, kutantang kau tiga hari lagi bertemu di Yan-bun-koan, kau tidak datang, aku pun bisa temukan kau dimana saja kau berada." Selesai bicara sekilas ia pandang Ong Ging-sia, tampak mulut orang sudah bergerak, namun urung bicara. Bu-bing mendengus hidung berjalan di depan ia bawa Su Giok-lan keluar dari kamar batu terus naik burung dewata, dikejap lain mereka sudah terbang tinggi dan menghilang. Hun Thian-hi menganiar dengan pandangan matanya, setelah tidak kelihatan lagi baru dia menoleh kembali. Seketika jantimgnya berdetak keras, tampak sapasang biji mata Ong Ging-sia mengembang air mata, seolah-olah ada banyak ucapan sedih yang ingin dilimpahkan, namun tak kuasa diucapkan. Pelan-pelan Hun Thian-hi menunduk. ia berdiri bungkam. Sebentar kemudian. Ong Ging-sia menghasut air matanya, serta berkata.   "Hun-siauhiap, belum lama, ini kau pernah ketemu Ham Gwat bukan?"   Thian-hi manggut-manggut. sahutnya.   "Jangan Cianpwe panggil aku demikian, panggil aku Hun Thian-hi saja!"   Pancaran mata Ong Ging-sia mengunjuk rasa senang, katanya.   "Baiklah aku pun tidak perlu sungkan-sungkan, Bu-bing Loni mengurungnya, namun ia berKesempatan melarikan diri dengan pelayannya. Bu-bing menyangka aku telah membocorkan perkara ini kepada kau, sehingga Ham Gwat datang kemari menemui aku, ingin dia tahu apakah betul Ham Gwat pernah kemari!"   Thian-hi manggut-manggut lagi tanpa bersuara, diapun tengah heran, sebetulnya kemanakah Ham Gwat telah pergi?"   Kata Ong Ging-sia pula setelah menghela napas.   "Kukira Hwesio jenaka sudah memberitahu pada kau bahwa Ham Gwat sebetulnya adalah putriku. Waktu kau ketemu dia tempo hari bagaimana keadaannya?"   Thian-hi tersenyum, sahutnya.   "Dia baik sekali, dia."   Ia menjadi kememek tak tahu apa yang harus dia ucapkan.   "Bagaimana kesanmu terhadapnya?"   Tanya Ong Ging-sia tersenyum. Merah dan panas muka Thian-hi, ia menunduk malu. sesaat baru menjawab.   "Dia seorang baik, pintar dan tidak congkak. malah."   Sampai disini ia merandek dan tertawa geli sendiri, tak melanjutkan kata-katanya.   "Benar-benarkah begitu?"   Seru Ong Ging-sia kegirangan.   "Meski ini menurut ucapanku saja. namun aku bicara setulus hati, aku percaya siapapun bila kenal dan bergaul dengan dia lantas akan merasakar hal-hal itu."   Ong Ging-sia menunduk, otaknya tepmenung mengenang kembali masa dua puluh tahun yang lalu.   sampai sekarang berarti dua puluh tahun sudah ia tidak pernah bertemu dengan Ham Gwat putri tunggalnya sendiri yang sudah dewasa dan tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik rupawan.   Sungguh ingin sekali ia bertemu, tapi aku.   mukaku seburuk ini, seumpama ketemu Ham Gwat, hanya membuat hatinya seram belaka, terpikir sampai disini ia menghela napas dengan rawan dan murung.   Suasana menjadi sepi sekian lama, akhirnya Thian-hi membuka suara pula.   "Dia cantik sekali, Cianpwe ingin bertemu dengan dia?"   Ong Ging-sia angkat kepala, tanyanya.   "Dia tahu bahwa aku berada disini?"   Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Mungkin dia tidak tahu, kita tahu pasti dia sudah memburu kemari."   "Jangan kau beritahu dia, kuharap dia tidak menemui aku."   Berhenti sebentar lalu menambahkan.   "Bila kau bisa, setelah bertemu dengan dia, beritahu padaku dimana dia berada, biar aku pergi melihat dia." Ia menunduk sambil menitikkan air mata kesedihan. Thian-hi menjublek tak Bersuara. Ong Ging-sia menggeleng, katanya.   "Perjanjian tiga hari itu. jangan kau layani tantangan Bu-bing. kau kerjakan urusanmu yang lain saja, aku.aku tak mampu bantu kau untuk menghadapj dia, hatinya kejam dan telengas. yang penting kau harus sempurnakan dulu Wi-thian-cit-ciat-sek lebih dulu. Sementara ini boleh kau menetap disini saja, bila Bu-bing meluruk kemari biar aku yang hadapi dia!"   Thian-hi berpikir, akhirnya ia manggut-manggut sahutnya: .Begitu pun baiklah!"   Ong Ging-sia menunduk, diam-diam hatinya senang, Hun Thian-hi terang menaruh cinta terhadap Ham Gwat. ia berpikir lagi lalu berkata angkat kepala.   "Thian-hi pernahkah terpikir olehmu, kemanakah sebenar-benarnya Ham Gwat telah pergi?"   "Aku juga tidak tahu, tapi pasti ada sasaran tempat bagi tujuannya sehingga dia berani merat. Kupikir waktu masih ada dua hari, selama ini dapat kusempurnakan pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek, beberapa hari lagi biar kumencari jejaknya!"   Rasa senang Ong Ging-sia terunjuk pada air muka dan sinar matanya, tentu Hun Thian-hi sudah sangat rindu dan kangen betul terhadap Ham Gwat, mendapat calon suami seperti Hun Thian-hi, Ham Gwat pasti bahagia dan akupun harus lega dan terhitung sudah menyempurnakan tuntutan hidup putrinya.   Melihat reaksi perkataannya mengubah sikap dan air muka Ong Ging-sia, tanpa merasa Thian- hi menjadi tegang sendiri, Ong Ging-sia adalah ibunda Ham Gwat, hubungan dirinya dengan Ham Gwat belum lagi intim, mana bisa menampilkan rasa hatinya sedemikian rupa, apakah tidak terburu nafsu? Entah bagaimana pendapat dan penerimaan Ong Ging-sia? "Kalau begitu bikin susah padamu saja,"   Ujar Ong Ging-sia tertawa.   "Sementara ini kau tinggal saja di Bu-la-si ini."   Baru saja ia selesai bicara, mendadak Hwesio jenaka melangkah masuk dari luar, katanya Kepada Thian-hi.   "Aku baru saja tiba. Apa benar-benar kau mau menetap sementara di Bu-la-si?"   Thian-hi manggut-manggut.   Ia tidak tahu kemana Hwesio jenaka telah pergi, namun melihat kedatangannya ini, diam-diam Thian-hi berpikir pasti ada sesuatu peristiwa besar telah terjadi, terasa olehnya hati seperti dibebani ribuan kati batu besar.   Kata Hwesio jenaka kepada Ong Ging-sia.   "Kurasa saat ini tidak mungkin. Ketahuilah Tok-sim- sin-mo sudah bersumbar dalam waktu sepuluh hari dia sendiri hendak meluruk ke Siau-lim-si dan menumpasnya habis2an bila kau tidak menyusul kesana dalam jangka waktu yang ditetapkan ini!"   Berubah air muka Thian-hi, cara kerja Tok-sim-sin-mo sungguh cukup ganas dan jahat, belum lagi racun di badan Sutouw Ci-ko dipunahkan, sekarang sudah menekannya dengan urusan lain pula, apakah aku harus kesana masuk perangkapnya?"   Kata Hwesio jenaka pula tertawa.   "Ang-hwat-lo-co juga ingin supaya kau pergi ke Thian-lam, katanya gurumu Kongsun Hong sudah terjatuh di tangannya bila kau meluruk pada tantangan Tok-sim-sin-mo berarti jiwa Kongsun Hong tak bisa diselamatkan lagi!"   Lebih kejut dan gugup lagi hati Thian-hi, tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Akhirnya Ong Ging-sia bersuara sambil menghela napas.   "Terpaksa kau harus memburu ke Tionggoan saja!"   "Benar-benar,"   Timbrung Hwesio jenaka.   "kau pergi ke Siongsan dulu, bekerja menurut situasi dan keadaan. Soal Thian-lam biar aku kesana lebih dulu, Ang-hwat tidak akan berani turun tangan seceroboh itu. Jelasnya kau harus hati-hati melawan kelecikan Tok-sim-sin-mo."   Thian-hi berpikir mantep, akhirnya ia ambil berpisah dengan Ong Ging-sia, langsung menuju ke Tionggoan.   Siau-lim-si selama berdirinya tetap digdaya dan diagungkan, banyak anak muridnya yang pandai dan berbakat tinggi.   Bila benar-benar Siau-lim-si runtuh, maka kaum persilatan di daerah Tionggoan sini pasti akan tenggelam dalam hidup kegelapan, betapapun tinggi kemampuan seseorang takkan mampu mengembangkan kembali kejayaan semula.   seperti sepandai Thian- cwan Taysu yang teragung dan terpandang di mata dunia.   Sekarang terpaksa Thian-hi harus kembali pula ke Tionggoan.   mengandal ilmu silat dan kecerdikan otaknya, mungkin dapatlah menggagalkan atau menolong bencana yang bakal melanda ke seluruh kepentingan kaum persilatan disini.   Tapi betapapun ia tidak tega dan sangat menguatirkan keselamatan guru pembimbingnya Kongsun Hong yang telah mengasuhnya sejak kecil.   Selama menempuh perjalanan dari Bu-la-si ke Siau-lim-si, belum pernah pikiran Thian-hi menjadi tentram.   hatinya selalu dirundung kekusutan dan kegugupan.   Perjanjian tiga hari dengan Bu-bing sudah terlupakan olehnya.   Juga tidak terpikir olehnya apakah kelak Bu-bing mandah mau membiarkan dirinya yang ingkar janji ini?"   Cuaca sudah gelap.   Sebuah bayangan hitam melesat terbang diantara semak-semak pegunungan.   orang itu bukan lain adalah Hun Thian-hi adanya.   Sekonyong-konyong pekik burung dewata berkumandang di tengah udara.   Thian-hi menjadi tersentak kaget dan sadar, hari ini tepat tiba perjanjiannya tiga hari itu.   Kenapa aku melupakan perjanjian beradu pedang dengan Bu-bing Loni.   Sesaat ia terlongong dan menghentikan langkahnya, dari tengah udara meluncur turun sesosok bayangan, sekejap saja sudah berdiri tegak dihadapannya, siapa lagi kalau bukan Bu-bing Loni.   Dengan memicingkan mata Bu-bing pandang Thian-hi dengan sikap kaku.   "Kemana kau hendak lari?"   Demikian jengeknya. Mulut Thian-hi terbungkam, ia pandang Bu-bing lekat-lekat. Dia tahu sepak terjang Bu-bing selalu dilandasi kemauan hati melulu, dia tidak pernah kenal apa itu keadilan, maka dengan tawar ia menyahut.   "Apakah sekarang saja dimulai bertanding pedang,"   Melihat sikap Hun Thian-hi yang demikian congkak, Bu-bing Loni menjadi murka, alisnya terangkat tinggi, serunya.   "Jangan kau kira Pan-yok-hian-kang dan Gin-ho-sam-sekmu dapat menjagoi di seluruh Kang-ouw. Hari ini akan kuperkenalkan padamu kepandaian ilmu pedang yang sejati!"   Thian-hi mundur setengah tindak seraya melolos pedang di punggungnya, kedua biji matanya lekat-lekat mehgawasi gerak gerik Bu-bing Loni.   Pelan dan acuh tak acuh Bu-bing menanggalkan pedang dari serangkanya, pelan-pelan ia melolosnya keluar, seenaknya saja ia buang serangka pedangnya ke samping, dengan mengawasi batang pedang mulutnya bicara.   "Seluruh kaum persilatan di dunia ini belum ada seorang pun yang benar-benar pernah melihat Hui-sim-kiam-hoatku seluruhnya. Terutama tiga gerak serangkai dari jurus yang terakhir, sekarang sebelum kau ajal akan kupertunjukkan kepada kau!"   Melihat Bu-bing Loni bicara begitu enak dan enteng saja, seolah-olah tidak pandang sebelah mata dirinya, dingin perasaan Thian-hi.   Wi-thian-cit-ciat-sek latihan dirinya belum lagi sempurna, bila sekarang dia kembangkan untuk melawan Hui-sim-kiam-hoat, bukan saja tidak mampu menandingi tiga rangkai serangan pedang musuh, malah mungkin akan menambah gelora angkara murka hati Bu-bing Loni untuk melenyapkan dirinya.   Karena pikirannya ini tanpa merasa hatinya menjadi lemas.   Tapi dendam ayah belum terbalas, merabahaya sedang mengancam keselamatan hidup kaum persilatan di seluruh Tionggoan, mana boleh aku ayal begitu gampang saja.   Pandangan mata Bu-bing dari batang pedang pelan-pelan beralih kemuka Thian-hi.   Terasa oleh Thian-hi dalam pandangan mata Bu-bing Loni ini terkandung rasa penghinaan dan merendahkan dirinya yang berkelebihan, agaknya hatinya akan menjadi senang setelah melihat orang lain menjadi mayat.   Sontak terbangkit rasa kejantanannya, alisnya tegak berdiri, darah menggelora, dengan pandangan berkilat gusar ia balas pandang ke arah Bu-bing Loni.    Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini