Badik Buntung 20
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 20
Badik Buntung Karya dari Gkh Melihat Hun Thian-hi tidak mengunjuk rasa gentar atau takut berjengkit alis Bu-bing Loni, katanya sambil menjengek bjbir. "Mungkin kau belum tahu cara kerjaku. Kau tidak akan bisa segera mati, akan kusayat dan kukuliti kulit dan dagingmu sedikit2 sampai kau mampus. Aku akan bekerja pelan-pelan, mungkin tiga hari atau mungkin sampai setengah bulan baru badanmu habis kusayati!" Hun Thian-hi mandah menyeringai tawa, ujarnya. "Kedengarannya memang enak dan nikmat sekali. tapi apakah kau mampu?" Bu-bing Loni menggeram gusar sambil membanting kaki, tiba-tiba wajahnya mengunjuk senyum-tawa yang sangat aneh, katanya. "Mungkin aku tidak mampu, tapi mungkin pula bisa bukan! Nanti akan kamu buktikan dan kau akan tahu akibatnya!" Melihat senyum aneh diwajah Bu-bing Loni, sontak terbit suatu rasa ketakutan dalam sanubari Hun Thian-hi, selamanya belum pernah ia melihat tertawa aneh Bu-bing Loni semacam itu. Bukan saja tawanya itu tidak bersahabat, malah sebaliknya terasa adanya hawa kesadisan sedang mengancam setiap waktu di sekelilingnya. Sekilas saja ai rmuka Bu-bing Loni pulih seperti sedia kala, tanpa expresi ia berkata. "Kau sudah siap belum? Aku akan segera turun tangan awaslah kau." Kaki kanan Hun Thian-hi mundur setengah langkah. pedang siap melintang di depan dada, ia berdiri tegak siap siaga. Laksana awan mega nan enteng tubuh Bu-bing Loni melejit maju. ringan tanpa menimbulkan kesiur angin pedangnya terayun, menjojoh ke depan tengah alis Hun Thian-hi. Sigap sekali dalam waktu yang bersamaan Hun Thian-hi juga menggerakkan pedangnya dengan jurus Gelombang perak mengalun berderai dari ilmu Gin-ho-sam-sek untuk memapaki serangan musuh, begitu jurus permainan kedua belah pihak sedikit kebentur, lantas Hun Thian-hi rasakan gaya gerak pedang Bu-bing Loni yang kelihatan bergerak enteng itu mengandung tekanan tenaga yang luar biasa besarnya menggetar mundurkan tubuhnya, keruan kejutnya bukan kepalang, tak berani menyambut secara kekerasan ia melejit mundur. Terdengar Bu-bing Loni menjengek dingin. pedangnya terbang membalik lagi. jurus kedua ini lebih hebat, berbareng dengan samberan batang pedang hawa sekelilingnya seperti menjadi dingin ikut menerpa ke arah Hun Thian-hi. Thian-hi harus beruntun menggerakkan dua tipu pedangnya baru berhasil memunahkan daya kekuatan serangan jurus pedang Bu-bing Loni yang kedua ini. Serta merta timbul keheranan dalam hatinya, karena cara permainan jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkan Bu-bing Loni ini jauh berlainan dengan permainan Su Giok-lan tempo hari. Terbit pancaran heran dari sorot pandangan Bu-bing Loni melihat Thian-hi mampu memunahkan gelombang tekanan serangan kekuatan pedangnya, namun rasa heran itu hanya sakilas saja. Dilain saat tubuhnya sudah melejit mumbul terbang ke tengah udara, berbareng ia lancarkan ilmu Hui-sim-kiam-hoat yang tulen, seketika Hun Thian-hi terkurung dalam kilatan sinar pedangnya. Hun Thian-hi menyedot napas dalam-dalam, Pan-yok-hian-kang dikerahkan selurufhnya ke arah batang pedang, dengan Gin-ho-sam-sek yang kuat dan rapat serta kokoh penjagaannya itu ia layani rangsak membadai dari serangan pedang BU-bing Loni. Saking cepat permainan mereka, sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu Sambil mengunjuk rasa hina dan mengejek Bu-bing Loni mengurung Hun Thian-hi dalam kurungan kilat sinar pedangnya. Pertempuran mereka berdua kali ini, rasanya jauh lebih hebat dan seru dibanding Bu- bing Loni melawan Swat-san-su-gou dipuncak Soat-san setahun yang lalu itu. Begitu menakjupkan seolah-olah dapat menyedot sukma bagi setiap orang yang menonton. Hanya bedanya kalau dulu Soat-san-su-gou satu melawan empat, sebaliknya sekarang Thian-hi satu lawan satu, dan keadaan selama ini masih tetap seimbang. Selama tempur terasa oleh Thian-hi tekanan dari empat penjuru semakin besar, begitu besar gencetan ini sampai dada terasa sakit dan susah bernapas. Tapi kelihatannya Bu-bing bergerak begitu bebas dan seenaknya saja, seperc belum mengerahkan setaker tenaganya. tujuannya tak lain tak bukan adalah hendak mengurung Thian-hi sampai mati lemas. Lama kelamaan Thian-hi naik pitam, bahwa dirinya dipermainkan seperii kucing mempermainkan tikus merupakan suatu penghinaan terhadap dirinya, dengan menghardik keras, mendadak pedangnya mencorong terang, ia kerahkan seluruh kekuatannya melancarkan jurus ketiga dari Gin-ho-sam-sek yang terhebat yaitu jurus Ho-jong-boh-hun-siau (bangau terbang menembus awan mega), dengan kekerasan ia terjang dan merangsak ke arah tembok pertahanan sinar pedang Bu-bing Loni yang mengepung dirinya Melihat Hun Thian-hi mendadak melancarkan jurus permainan pedangnya. yang aneh rada bercekat hati Bu-bing, cepat pedangnya berkelebat membandir dengan jurus Lian-so-kim-liong (merantai naga mas) pedangnya menekan dan menggubat seluruh badan Hun Thian-hi. Sudah tentu Thian-hi tidak mau mandah terima binasa begitu saja, mau tak mau ia harus kerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk menjebol segala rintangan, kedua belah pihak menjadi sama kerahkan setaker tenaga masing-masing. Begitu pedang kedua belah pihak saling bentur "Creng", kontan tubuh Hun Thian-hi mencelat tinggi ke tengah udara. tubuhnya terbang keluar dari lingkaran sinar pedang Bu-bing Loni yang mengurung dirinya. Tapi setelah ia berhasil hinggap di tanah kembali seketika berubah pucat air mukanya, karena pedang pusaka ditangannya sudah patah menjadi dua tergetar oleh benturan dahsyat tadi. Dilain pihak Bu-bing Loni juga menarik mukanya yang membeku dingin. Sungguh tak nyana olehnya kurungan sinar pedangnya yang begitu ampuh dan hebat itu berhasil dijebol oleh Hun Thian-hi. Dengan kaku dan dingin ia pandang Hun Thian-hi, lama sekali mereka berdiri saling pandang tanpa buka suara. Sekonyong-konyong tubuh Bu-bing Loni melambung tinggi lagi, pedang panjang bergerak cepat menyerang pula kepada Hun Thian-hi. Tak sempat Thian-hi banyak pertimbangan lagi, dimana tangan kanannya terayun ia sambitkan kutungan pedang buntung itu ke arah Bu-bing sekuat tenaganya. Tanpa susah Ba-bing Loni menggerakkan pedangnya menyampok jatuh sambitan kutungan pedang Hun Thian-hi, mulutnya menyungging seringaj sadis. dimana pedangnya terayun ia menusuk kejalan darah Jian-kin-hiat dipundak Hun Thian-hi. Gesit sekali Hun Thian-hi meloncat berkelit berbareng tangannya meraih kepinggang merogoh keluar seruling pemberian Ong Ging-sia. Tanpa, banyak berpikir lagi Hwi-hong-siau menuding miring ke depan, ia kembangkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek jurus pertama yang dinamakan Thian- wi-te-liu (langit berputar bumi mengalir). Dengan permainan pedangnya yang hebat tiada taranya itu Bu-bing menyangka jurus serangan kali ini pasti berhasil melumpuhkan perlawanan Hun Thian-hi, tak lebih tiga jurus belaka. selanjutnya Hun Thian-hi harus tunduk dan patuh mendengar perintahnya. Tak nyana begitu tusukan pedangnya dilancarkan, mendadak dilihatnya Hun Thian-hi mengacungkan senjata seruling, sedikitpun ia tidak ambil perhatian, tapi tiba-tiba tusukan pedangnya belum lagi mengenai sasarannya mendadak terasa tangan kanannya kesemutan, segulung angin berkekuatan dahsyat melanda tiba dengan daya kisaran yang hebat sekali. Hampir saja ia terdesak melepaskan pedang sendiri. Keruan bukan main rasa kejutnya, lekas-lekas ia menyurut mundur beberapa langkah. dengan dingin ia tatap muka Hun Thian-hi. Selamanya memang ia belum pemah kebentur dengan Wi- thian-cit-ciat-sek, tapi sejak lama pernah dengar namanya. Kini Wi-thian-cit-ciat-sek ternyata muncul atas bocah keras kepala yang menjadi musuhnya ini, bila sekarang tidak diberantas dan ditumpas, bila dia sampai melatihnya sampai sempurna kelak pasti bakal merupakan lawan tangguh yang paling berbahaya bagi dirinya. Dasar culas dengan dingin mulutnya menggeram seperti binatang kelaparan. Thian-hi insaf tibalah kini saatnya bagi dirinya untuk berjuang bagi hidup dalam menghadapi mara bahaya yang mengancam ini. Sedikit berpikir segera mulutnya bersuit panjang, tiba-tiba tubuhnya meluncur terbang lempang dan lurus ke depan, ditengah jalan tubuhnya menjulang ke atas lalu menukik pula meluncur dengan kecepatan kilat, dimana tubuhnya bergerak memutar seruling ditangan melancarkan pula tipu-tipu Wi-thian-cit-ciat-sek, yang diarah adalah batok kepala Bu-bing Loni. Tidak malu Bu-bing Loni diagungkan sebagai jago pedang nomor satu di seluruh dunia ini, tanpa gugup ia sambut serangan hebat Thian-hi ini dengan tipu-tipu Hui-sim-kiam-hoat yang sakti itu, dimana kekuatan tenaganya terpancar dari ujung pedangnya serangan seruling Thian-hi kena tergetar miring. Tapi Wi-Thian-cit-ciat-sek memang bukan olah-olah hebatnya, ditengah udara Thian-hi terbang berputar, sedikit serulingnya bergerak saja, setabur kekuatan hawa yang berkisar besar menerjang ke arah Bu-bing Loni. Dengan tenang Bu-bing Loni pandang permainan Thian-ni, cukup ia gerakkan pedangnya pula setiap jurus serangan Thian-hi kena dibendung diluar lingkaran. Tapi tak urung hatinya kaget juga. dia heran bahwa kepandaian Hun Thian-hi bisa maju pesat sedemikian tingginya, Wi-thian-cit-ciat-selk yang digjaya dan hebat ini memang bukan ilmu sembarang ilmu yang dapat dihadapi secara serampangan, untung latihan Hun Thian-hi belum matang. Kalau tidak mungkin hari ini dirinya sendiri yang bakal terjungkal ditangan musuh mudanya ini. Melihat rangsakannya berulang kali selalu gagal Hun Thian-hi semakin gugup dan kaget. Memang tidaklah malu Bu-bing Loni disebut tokoh kosen nomor satu di seluruh dunia ini. dibanding Tiang-pek-lokoay boleh dikata terlalu jauh bedanya, tidaklah heran bahwa Ang-hwat-lo- mo juga gentar terhadapnya. malah begitu takut dan takutnya ini tidaklah bukan beralasan. Sekarang Thian-hi baru insaf jangan kata untuk menang, supaya tidak kalah saja juga rasanya tidak mungkin lagi, aku tidak bisa mati demikian saja dan tidak bisa mati secara konyol. Sembari tempur Hun Thian-hi memutar otak, akhirnya ia berkeputusan. seketika tubuhnya melambung tinggi pula, disaat Bu-bing Loni hanya bertahan menyelami serangan Wi-thian-cit-ciat-sek, tiba-tiba ia meluncur jauh dan lari sipat kuping ke depan sana. Bu-bing menggerung gusar, sebagai tokoh yang banyak pengalaman perbuatan Hun Thian-hi masa dapat mengelabui kejelian matanya, begitu tubuh Hun Thian-hi melambung ke depan, ia lantas dapat meraba maksud tujuan Hun Thian-hi, tahu-tahu tubuhnya pun sudah berkelebat mengejar. "Mau lari kemana kau?" Jengeknya sambil menghadang jalan lari Thian-hi. Thian-hi tidak bicara, serulingnya menggempur dengan seluruh kekuatannya. Bu-bing menyeringai dingin ringan sekaii ujung pedangnya menutul ke depan, ia balas serang dada Hun Thian-hi sebelum serangannya tiba. Sementara itu. tenaga Hun Thian-hi sudah terkuras tidak sedikit, apalagi serangannya selalu gagal. tenaganya sudah habis lagi, ia insaf bahwa dirinya tidak akan mampu menempur Bu-bing lebih lanjut terpaksa ia puter tubuh dan lari lagi. "Mau lari pula kau? Cobalah rasakan Lian-hoan-sam-kiamku ini!" Pedang panjang ditangan Kanannya teracung, hawa pedang segera merembes keluar dari batang pedang, seiring dengan gerak pedang tubuhnya ikut menggeser kedudukan, hawa pedang yang semakin padat laksana lembayung segera menyapu dan merangsak ke arah Hun Thian-hi. Thian-hi menyedot napas panjang, ia insaf bahwa dirinya hari ini sulit menyelamatkan diri pula, terpaksa harus mengadu jiwa. cepat seruling disapukan miring ke depan, ia sambut rangsekan hebat musuh ini dengan Wi-thian-cit-ciat-sek pula. Bu-bing sudah tidak perlu gentar menghadapi serangan Wi-thian-cit-ciat-sek, namun ia sendiri belum mendapatkan cara untuk memecahkan perlawanan Thian-hi ini, kecuali dengan kekuatan Lwekangnya yang ampuh untuk menekan seret gerak serangan musuh tiada jalan lain untuk mengatasinya. Begitulah sekilas ia berpikir tiba-tiba tajam pedangnya meluncur laksana bintang jatuh melesat ke ulu hati Hun Thian-hi. Thian-hi menekuk dengkul mendakan tubuh untuk menghindar, bersamaan tangannya menggentak senjata dengan tipu-tipu Wi-thian-cit-ciat-sek menghalau rangsekan Bu-bing selanjutnya. Bu-bing sudah berkeputusan hari ini betapapun ia harus bunuh Thian-hi dengan pedangnya, memang dengan perhitungan yang cukup masak, serangan kali ini hanya gertak sambel belaka, tiba-tiba badannya menerjang maju ke depan, berbareng pedang panjang dibalikkan berputar terus disambitkan lempang ke depan, ia sudah kerahkan seluruh Lwekangnya utk melontarkan pedang, tujuannya sekaii gebrak harus berhasil melumpuhkan perlawanan Hun Thian-hi. Tapi kepandaian Hun Thian-hi sekarang sudah bukan olah-olah tingginya, begitu melihat serangan balasan serulingnya mengenai tempat kosong mulutnya lantas membentak mengguntur, berbareng kaki kiri menggeser setengah langkah badan ikut berputar setengah lingkaran. serulingnya lantas menjungkit dari bawah ke atas, ia sendal ke arah pedang panjang lawan yang meluncur tiba dengan kekuatan dahsyat itu. Usaha Thian-hi memang berhasil, ujung serulingnya telah dapat menyungsang pedang lawan tapi diluar perhitungannya bahwa lontaran pedang Bu-bing kali ini menggunakan seluruh Lwekangnya yang ada, apalagi ia hanya sempat menggerakkan tenaga dengan kuda-kuda sedikit jongkok dan tubuh miring, maka tenaga sendalannya bukan saja tidak berhasil menyampok jatuh pedang musuh, malah luncuran pedangnya menusuk ke atas sedikit dan tahu-tahu amblas ke dalam pundak kirinya, begitu deras daya luncuran pedang ini sehingga pundaknya tertembus lewat sampai ke punggung, keruan sakitnya bukan kepalang, sesaat seperti seluruh badan menjadi kejang. Tujuan serangan Bu-bing adalah Jian-kin-hiat, jalan darah di atas pundak, namun hanya terpaut beberapa mili saja yang kena cuma tulang pundak Thian-hi saja. Tapi hasil tusukan pedang cukup menghabiskan tenaga perlawanan Hun Thian-hi, mandah saja dicincang atau disiksa oleh musuh. Dengan terpaku oleh selaras pedang yang menembus pundak kirinya, Thian-hi mengeraskan hati berdiri tegak, separo tubuhnya sudah basah kuyup oleh darah, tangan kanan masih kencang- kencang menggenggam seruling, dengan pandangan berapi-api ia deliki Bu-bing Loni. "Kau masih ingin melawan?" Ejek Bu-bing Loni. Terasa oleh Thian-hi kesakitan yang luar biasa di pundaknya kiri, darah menyembur semakin deras. seluruh tubuhnya semakin lemah dan seperti hampir lumpuh, diam-diam ia tutup jalan darah sendiri berusaha membendung darah yang bocor keluar. Tapi luka yang begitu berat, mana mungkin dapat ia atasi begitu saja di saat ia harus menghadapi musuh yang masih mengancam jiwanya ini. Pelan-pelan selangkah demi selangkah Bu-bing mendesak maju. Thian-hi gentakkan serulingnya menyerang, namun tenaganya sudah lemah, sekali raih saja Bu-bing berhasil merampas serulingnya, sebat sekali ia merabu beruntun ia tutuk tiga jalan besar di atas tubuh Thian-hi. Setelah Thian-hi tidak berdaya, ia menyeringai dingin, otaknya menerawang, cara bagaimana ia harus memberi hukuman pada Hun Thian-hi. Sekonyong-konyong kupingnya mendengar pekik burung dewata yang penuh kekuatiran dan takut, berubah air mukanya, cepat ia menengadah ke belakang sana, hatinya menjadi terkejut, belum pernah terjadi hal seperti sekarang, kecuali ketemu lawan berat, atau ketemu orang yang sudah dikenal, burung dewata tidak sembarangan berpekik demikian. Dengan sebelah tangan mengempit Hun Thian-hi ia berlari-lari menuju ke selatan, setelah keluar dari hutan, ia mendongak, tampak burung dewata sedang bertempur hebat dengan seekor burung rajawali yang cukup besar pula. Beringas muka Bu-bing. Begitu melihat kedatangan Bu-bing burung dewata berusaha menukik turun, tapi selalu kena dihalangi dan terdesak naik pula ke tengah udara. Bu-bing menjadi gusar mulutnya menjebir hina, kelihatannya burung rajawali ini peliharaan orang, setelah mengukur jarak ketinggiannya, hidungnya mendengus, batinnya. "Kau kira jarak begini tinggi aku tidak mampu naik?" Segera ia letakkan tubuh Thian-hi di tanah, tubuhnya mendadak mencelat tinggi ke tengah udara, laksana burung besar kedua tangannya berkembang terus meluncur tinggi tepat sekali hinggap di atas punggung burung dewata, berbareng ia ayun pedang di tangannya membacok ke arah burung rajawali. Rajawali itu berpekik kejut dan ketakutan, agaknya ia tahu akan kelihayan Bu-bing Loni. cepat ia melambung tinggi terus terbang meninggi hendak lari. Tapi Bu-bing sudah keburu gusar, pedang panjang disambitkan seperti anak panah melesat ke arah burung rajawali itu. Burung rajawali itu memang cukup cerdik ia jumpalitan sekali terus menukik turun, tapi sudah terlambat tak urung sayapnya sudah tertusuk pedang, terdengar mulutnya berpekik kesakitan, membawa pedang yang menancap di badannya ia terbang rendah terus menghilang di balik lembah sebelah sana. Bu-bing menyeringai sinis dengan kemenangan, waktu ia menunduk melongok ke bawah, Hun Thian-hi yang diletakkan di tanah tadi sudah tidak kelihatan pula bayangannya, sejenak ia terlongong, lantas meluncur turun memeriksa dan mencari ubek2an, namun tidak berhasil menemukan jejaknya. Sungguh terbakar rongga dadanya, gusarnya bukan kepalang, siapakah yang telah memancing dirinya dengan burung rajawali tadi lalu menolong pergi Hun Thian-hi. Terpaksa ia naik ke punggung burung dewata, ia periksa dan obrak-abrik seluruh pelosok gunung ini namun hasilnya nihil. Akhirnya dengan rasa gusar dan penasaran ia tinggal pergi. Bu-bing tak habis herannya, ia bertanya-tanya dalam hati siapakah yang tahu jelas akan tabiatnya dapat mengatur tipu daya sebegitu rapi dan cermat sekali, bukan saja dirinya dapat dikibuli jejak musuhpun tak berhasil dicarinya." Dalam pada itu, Thian-hi sejak ditutuk tiga jalan darah besar di atas tubuhnya lantas jatuh pingsan, tutukan hebat itu melumpuhkan seluruh sendi2 badannya, apalagi pundaknya terluka parah, keadaannya sangat lemah dan payah. Entah berapa lama kemudian, waktu pelan-pelan ia rasakan pulih kesadarannya, pelan-pelan ia membuka mata, terasa ia rebah di atas ranjang batu, lambat laun pandangan matanya menjadi terang, terlihat bentuk sesosok tubuh orang yang sangat dikenalnya berdiri di hadapannya, keruan kagetnya bukan main, hampir saja ia melonjak bangun. Orang yang berdiri di hadapannya ini bukan lain adalah Ham Gwat. Melihat Thian-hi sadar dan membuka mata. Ham Gwat berkata lirih dan lemah lembut. "Hun- siauhiap! Bagaimana perasaanmu?" Dengan terlongong Thian-hi pandang sepasang mata Ham Gwat yang bening cerah, ia heran bagaimana mungkin dia mendadak muncul di hadapannya, bukankah dia sudah minggat dan melepaskan diri dari ikatan sama Bu-bing Loni. Sebenar-benarnya apakah yang telah terjadi? Adakah terjadi sesuatu atas dirinya? Serta merta mulutnya menggumam tanya. "Kenapa kau berada disini?" Dengan seksama Ham Gwat juga awasi wajah orang, sahutnya lirih. "Kau jangan kesusu tanya. Jelasnya sekarang kau sudah aman, Bu-bing Suthay sekarang sudah pergi!" Sekian lama Thian-hi terlongong, pelan-pelan ia berkata pula. "Kiranya kaulah yang menolongku!" Ham Gwat manggut-manggut, pandangannya mendelong ke arah jauh sana, ujarnya. "Bukan begitu sebetulnya. Luka-lukamu belum lagi sembuh, kelak kau akan tahu duduk perkara sebenar- benarnya." Melihat Ham Gwat tak mau banyak bicara, Thian-hi pejamkan matanya, Sungguh tak nyana bahwa di tempat ini ia bakal bersua kembali dengan Ham Gwat, banyak kata yang sebenar- benarnya ingin diutarakan, namun tak kuasa diucapkan. Tiba-tiba Ham Gwat bersuara. "Sudah jangan terlalu banyak pikiran, istirahat saja supaya lukamu lekas sembuh!" "Berapa lama lagi baru luka-lukaku bisa sembuh?" "Tiga lima hari tentu bisa sembuh!" Mencelos hati Thian-hi, tiga lima hari lagi, bagaimana mungkin dirinya bisa menyusul ke Siongsan Siau-lim-si dalam jangka waktu sepuluh hari yang ditentukan itu? Bukankah menyia- nyiakan perkara besar. Ham Gwat mengawasinya dengan tajam, katanya. "Tiada gunanya kau menyusul ke Siong-san, ketahuilah bahwa Tok-sim-sin-mo sudah menyebar jaringan kaki tangannya ke-mana-mana menanti kau masuk ke dalam perangkapnya. Sekarang dia tidak berani mendesakmu menjadi anggota, tujuan yang utama adalah melenyapkan jiwamu yang dipandang saingan terberat bagi kehidupan gerombolannya!" "Bagaimana juga situasi yang akan kuhadapi nanti, betapapun aku harus menyusul kesana," Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kata Hun Thian-hi tegas. "Memang kau harus pergi ke sana. Baiklah akan kubantu kau tepat pada waktunya dapat menyusul ke sana!" sekian lama ia termangu memandangi Thian-hi lalu katanya pula. "Aku keluar sebentar, kau istirahatlah baik-baik" Ia memutar tubuh terus keluar dari kamar batu itu. Mengantar punggung Ham Gwat pikiran Thian-hi melayang tak menentu arahnya. Ia merasa bahwa diri Ham Gwat ini penuh diliputi kemisteriusan, jejaknya tidak menentu dan sulit diraba juntrungannya. Entah cara bagaimana ia bisa menolong dirinya dari cengkeraman Bu-bing Loni. Entah berapa lama ia termangu dan berpikir, selama itu tak memperoleh kesimpulan yang diharapkan, akhirnya ia menghela napas panjang. Mendadak didengarnya derap langkah lirih yang mendatangi dengan cepat, waktu ia berpaling, dilihatnya yang muncul adalah Siau Hong. Sembari berseri tawa Siau Hong maju menghampiri, serunya lincah. "Sungguh berbahaya keadaanmu kemarin, syukur Siocia menggunakan akal memancing Suthay dan berhasil menolong kau, kalau tidak mungkin saat ini kau sudah menderita oleh siksaannya yang kejam itu!" "Cara bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?" Tanya Thian-hi. Siau Hong meleletkan lidahnya, sahutnya. "Aku sendiri juga tidak tahu, siocia yang membawa aku kemari, kebetulan mendengar pekik burung dewata, siocia lantas suruh aku sembunyi, belum lama setelah dia pergi, ia perintahkan Kim-ji memancing pergi Suthay, lalu ia berkesempatan menolong kau kemari. Tapi Kim-ji sendiri sekarang juga terluka parah." Bab 21 Hun Thian-hi terlongong heran, tanyanya. "Siapakah Kim-ji itu?" "Kim-ji adalah seekor burung rajawali yang besar. Pemberian dari seorang kakek tua ubanan kepada siocia!" Baru sekarang Thian-hi menjadi sadar, mungkin Ham Gwat memperoleh suatu pengalaman aneh di tempat ini bersua dengan seorang tokoh kosen aneh, entah siapakah beliau? "Keadaanmu sungguh sangat berbahaya, banyak orang ingin membekuk kau, sedang kau berkeras kepala ingin ke Siau-Iim-si, aku menjadi kuatir dan takut bagi keselamatanmu!" "Kenapa kau kuatir dan takut bagi diriku?" Siau Hong mengejapkan matanya, sahutnya tertawa jenaka. "Kenapa tidak? Bukankah kau seorang baik! Sayang nasibmu terlalu jelek, jikalau aku punya kepandaian silat yang tinggi tentu aku bantu kau!" "Aduh sungguh bahagia dan terima kasih pada kau!" "Kau harus terima kasih kepada siocia baru betul!" Demikian goda Siau Hong sembari tertawa penuh arti. "Sudah tentu, bukankah kali ini dia yang menolong jiwaku." "Bukan itu yang kumaksudkan. sungguh bodoh kau, aku tak mau bicara lagi padamu." Lalu ia berlari keluar dan menghilang. Thian-hi tercengang, ia menjadi bingung, tak tahu dia kemana juntrungan maksud kata-kata Siau Hong, pikir puhja pikir ia menjadi keletihan, akhirnya ia himpun semangat dan mengatur napas mulai samadi. Kecuali luka dipundaknya kiri masih terasa sakit. mungkin karena terlalu banyak mengeluarkan darah sehingga kepalanya terasa pusing dan mata berkunang-kunang. Serta merta terpikir dan terbayang lagi wajah Ham Gwat, entah kemana dia selama ini? Sedang ia termangu, derap langkah lirih mendatangi pelan-pelan, yang muncul memang Ham Gwat adanya. Setelah tiba disamping Thian-hi, Ham Gwat berkata. "Bagaimana kau ini. dari keadaanmu ini jelas bahwa tadi kau tidak istirahat secara baik-baik!" Thian-hi tertawa kikuk, sahutnya. "Banyak urusan yang tidak bisa tidak harus kupikirkan." Tak tertahan ia tertawa geli. "Kau punya janggalan hati, tiada halangannya turun berjalan-jalan. cuma badanmu rada lemah karena terlalu banyak keluar darah, jalan-jalan melemaskan otot dan melapangkan pikiran juga ada faedahnya bukan!" Thian-hi termangu tak bicara. "Aku masih ada urusan," Demikian ujar Ham Gwat. "Kau jalan-jalan sendiri atau nanti aku panggil Siau Hong untuk temani kau?" Pelan-pelan Thian-hi merangkak bangun, katanya tertawa dibuat-buat. "Tak usahlah! Aku jalan- jalan sendiri saja." Ham Gwat termenung sebentar, mulutnya terbuka namun urung bicara, setelah Thian-hi berdiri ia berkata. "Kalau begitu aku pergi dulu!" Ia tinggal pergi. Hun Thian-hi menjadi merasa hambar melihat sikap Ham Gwat yang tidak menentu itu, kadang- kadang hangat simpatik, dilain saat dingin, wajahnya tak pernah mengulum senyum manis, akhirnya Thian-hi tertawa geli sendiri. Batinnya. "Bagaimana aku ini, seorang laki-laki sejati kenapa tak punya pendirian tetap, seumpama aku punya rasa cinta terhadap Ham Gwat, tak seharusnya aku berpikiran tidak genah, apalagi aku belum begitu mengenal pribadi dan keadaannya, mana bisa bicara soal cinta terhadap dia!" Pelan-pelan ia menggeremet maju dan keluar dari kamar. Begitu berada diluar didapatinya dirinya berada di dalam sebuah hutan bambu, hawa disini rada sejuk dingin, sebuah jalan berliku memanjang tepat di depan pintu. Pelan-pelan Thian-hi menyelusuri jalan kecil ini keluar dari hutan bambu. Tanah luas dan subur terbentang dihadapannya, kembang liar tumbuh dimana-mana. Pikiran Hun Thian-hi lantas melayang, sekarang sudah musim semi, selama kelana setahun ini bukan saja tidak membawa hasil yang diharapkan malah dirinya memikul dosa berlimpah dan berkepanjangan tiada penyelesaian, sehingga gurunya sendiri berpendapat bahwa aku sudah tersesat semakin dalam dan mengusir dari perguruan. Ia menghela napas dengan murung, kepalanya mendongak celingukan kesekelilingnya. Terpikir oleh Thian-hi bahwa segala sesuatu dalam lingkungan yang melibatkan dirinya adalah begitu aneh begitu misterius. Sekarang ini betul-betul ia belum mengetahui keadaan sekeliling Ham Gwat, sebetulnya siapakah yang telah ditemui oleh Ham Gwat? Ibu Ham Gwat Ong Ging-sia sangat terkenang dan ingin jumpa dengannya. entah apakah dia tahu bahwa ibu kandungnya masih hidup dan sehat walafiat di dunia ini, haruskah aku memberitahu hal ini padanya? Thian-hi sendiri tak kuasa memberi jawaban. Kini pikiranmja melayang pada persoalan dirinya sendiri, Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna. Bu-bing Loni begitu lihay pula, bila tidak ditolong oleh Haim Gwat, mungkin dirinya sudah ajal ditangannya. Begitulah duduk di atas tanah berumput ia menengadah mengawasi mega yang mengembang dilangit, terpikir olehnya apa yang harus kulakukan selanjutnya? Tengah pikirannya melayang mendadak terasa olehnya dibelakangnya ada seseorang, gesit sekali tiba-tiba ia membalikkan tubuh, pendatang ini kiranya adalah Ham Gwat, ia menghela napas lega, ujarnya. "Kiranya kau!" Sorot mata Ham Gwat memancarkan senyum manis, tiba-tiba ia menunduk malu-malu, katanya. "Tak tahu aku apa yang sedang kau lakukan disini, aku datang menengok kau!" "Wah banyak terima kasih akan perhatianmu!" "Tadi kau termangu dan asjik berpikir, kedatanganku malah mengejutkan kau, maaf ya!" "Aii, berkelebihan ucapanmu. Kau harus salahkan aku berlaku kurang waspada!" "Tentu kau merasa sangat heran terhadapku bukan?" Tiba-tiba tanya Ham Gwat. "Tidak! Aku hanya merasa kau rada misterius sepak terjangmu Sulit diraba, aku merasa ada sesuatu yang kurang kupahami atas dirjmu!" "Kelak pasti kau akan paham!" Desis Ham Gwat lirih. Sampai disini mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Thian-hi merasa kehabisan kata-kata, setiap kali berhadapan ia menjadi mati kutu dan tak kuasa membuka isi hatinya. "Mengandal ketekunan dan keyakinanmu pasti kelak kau berhasil. Wi-thian-cit-ciat-sek sudah berhasil kau pelajari kelak tentu kau akan menjagoi dan memimpin rimba persilatan. Sayang kau sekarang belum dapal menyelami intisarinya, perlahan-lahan aku yakin akan dapat membantu kesukaranmu ini." Thian-hi lantas bangkit, katanya. "Kalau begitu kuharap nona sudi memberi petunjuk!" "Bukan diriku yang kumaksud. Aku kenal seorang kosen yang aneh, tentu beliau dapat bantu kau, bila Kau sudi, aku dapat membawamu kepada beliau." "Apakah beliau sudi menerima aku?" "Mungkin, tapi coba kutanyakan dulu, kau tunggu sebentar disini!" Lalu ia membalik tubuh dan menghilang di rumpun bambu. Setelah Ham Gwat tidak kelihatan, Thian-hi bertanya-tanya dalam hati, entah siapakah tokoh kosen yang dimaksudkan? Tengah pikirannya bekerja, sekonyong-konyong dilihatnya sesosok bayangan hitam berkelebat lewat, sekilas pandang saja ia dapat mengukur betapa tinggi kepandaian orang itu, keruan terkejut hatinya. Memang luncuran tubuh orang itu juga mendadak berhenti, agaknya iapun sudah melihat kehadiran Thian-hi di tempat itu, kiranya itulah seorang nenek tua renta yang ubanan. Dengan cermat Thian-hi awasi nenek tua ini tanpa bicara, hatinya kejut dan heran, ilmu silat nenek tua ini begitu lihay, sekarang berhenti dan mengawasi dirinya, kelihatannya sudah kenal pada dirinya. Nenek tua itu menyeringai iblis, katanya. "Kau tidak kenal aku, tapi aku kenal kau, kau adalah Hun Thian-hi, ya bukan?" "Siapa kau?" Tanya Thian-hi melongo. "Tiada halangannya kuberitahu pada kau, aku bernama Kiu-yu-mo-lo, kukira kau sudah kenal nama besarku itu bukan?" Thian-hi benar-benar terperanjat, batinnya. "Kiu-yu-mo-lo sudah muncul kembali, dia memperoleh Hian-thian-mo-kip, kepandaian silatnya sekarang tentu sudah teramat lihay, entah apa tujuannya dengan menampakkan dirinya ini?" Kiu-yu-mo-lo menyeringai tawa dua kali, ujarnya. "Kiranya kau tidak mampus, dimana Tok-sim- sin-mo? Aku ingin mencarinya untuk membuat perhitungan padanya!" sebelum Thian-hi sempat menjawab, mendadak Kiu-yu-mo-lo menubruk maju serta berkata. "Mari kau ikut aku saja!" Hun Thian-hi menjejakkan kakinya mundur dengan cepat, namun kedua telapak tangan Kiu-yo- mo-lo bergerak mencomot dan meraih dari kanan kiri, dua gelombang tenaga lunak menerpa keluar dari telapak tangannya mencengkeram ke arah Hun Thian-hi. Thian-hi mengeluh dalam hati, sungguh celaka pengalamannya hari ini, baru saja dirinya keluar jalan-jalan menyegarkan badan tak nyana kepergok oleh Kiu-yu-mo-lo yang kebetulan lewat, dia punya pertikaian dengan Sutouw Ci-ko yang belum terselesaikan, tentu diapun tak mau melepaskan dirinya. Thian-hi berdaya berkelit sekuat tenaganya, sayang darahnya keluar terlalu banyak sehingga kelincahan gerak-gerik tubuhnya banyak berkurang, namun Lwekangnya memang jauh lebih hebat dibanding dulu, meski gerak-geriknya rada lamban, sekuatnya ia masih berhasil lolos dari sergapan Kiu-yu-mo-lo yang pertama. Keruan Kiu-yu-mo-lo sendiripun bukan kepalang kejutnya, jikalau hari ini ia tidak berhasil membekuk Hun Thian-hi, cara bagaimana ia harus mencari Pek-kut-sin-mo dan Tok-sim-sin-mo kelak? Terdengar ia menggeram murka, tubuhnya bergerak begitu lincah dan sebat sekali, sekali berkelebat, kelima jarinya secepat kilat mencengkeram kejalan darah di pundak Thian-hi. Insaf bahwa dirinya tidak akan mampu membebaskan diri lagi, saking gugup Thian-hi berteriak. "Tahan!" Tapi serangan Kiu-yu-mo-lo tidak berhenti karena bentakannya ini, tahu-tahu Thian-hi rasakan kepalanya berat, mata berkunang-kunang, pundak kirinya sudah dicengkeram keras oleh jari-jari Kiu-yu-mo-lo yang kurus dan berkuku runcing itu, jengeknya. "Apa yang hendak kau katakan?" Memandang muka orang Hun Thian-hi menjadi kecewa dan putus asa, Kiu-yu-mo-lo bicara setelah berhasil meringkus dirinya, untuk mengulur waktu sudah tak mungkin lagi, tawar2 saja ia menyahut. "Sekarang tak ada apa-apa lagi!" "Kau kira aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan?" Jengek Kiu-yu-mo-lo. "Sangkamu aku hanya ingin tahu jejak Tok-sim-sin-mo belaka? Apa yang ingin kudapat belum tentu bisa kuperoleh dari atas tubuhmu!" Mendengar nada perkataan orang, tahu Thian-hi bahwa Kiu-yu-mo-lo ini tentu sangat congkak dan takabur akan kepandaian dan kemampuannya sendiri, maka ia bersuara. "Tidak!" "Kau masih punya teman bukan?" Kiu-yu-mo-lo menyeringai sadis. "Kau main ulur waktu supaya kawanmu menolong kau bukan?" "Pikiranmu ini sungguh sangat menggelikan." Terpancang hawa membunuh dalam sorot mata Kiu-yu-mo-lo, namun sekilas lantas lenyap. Ejeknya. "Lalu kau tadi menyuruh aku tahan apa maksudmu? Berani kau mentertawakan aku?" Thian-hi mandah tersenyum ewa, batinnya. "Kiu-yu-mo-lo tentu sudah sekian lama mengasingkan diri, sembari mengobati luka-lukanya sembari mempelajari ilmu yang diperolehnya dari Hiari-thian-mo-kip itu. Sekarang sudah berhasil jadi ia berani muncul di Bu-lim untuk mencari perhitungan sama Tok-sim-sia-mo dan Pek-kut-sin-mo, secara kebetulan di tempat ini melihat diriku, tahulah dia bahwa Tok-sim-sin-mo tentu juga sudah lolos, dia menyangka bahwa aku tentu dapat mengetahui dimana jejak Tok-sim-sin-mo, tentu dia minta aku membawanya mencari musuh besarnya itu." Karena rekaannya ini segera ia buka bicara. "Tok-sim-sin-mo sekarang menjadi Pangcu Hek- liong-pang, kekuatannya sudah menjangkau selatan dan utara sungai besar, dia punya persenjataan Pek-tok-hek-liong-ting yang amat ampuh lagi, kau berani mencari dia, bakal konyol belaka." Kiu-yu-mo-lo menjengek mulut, matanya bersinar beringas, mulutnya terbungkam. Melihat sikap orang senang hati Thian-hi, ujarnya. "Banyak kejadian di Kangouw belakangan ini yang tidak kau ketahui. Semua kejadian itu banyak yang punya sangkut paut terhadap dirimu!" Kiu-yu-mo-lo termangu, entah, apa yang sedang dipikir, sesaat kemudian ia bersuara. "Kau sudah angkat Tok-sim sebagai gurumu bukan?" $ "Kau kira aku sudi?" Jawab Thian-hi tawar. "Meski ilmu silatku tidak becus masa aku sudi angkat guru padanya? Ketahuilah dia sedang menarik Pek-cianpwe yaitu saudara kecilmu yang ketiga untuk membantu pergerakkannya, tapi beliau pun tidak sudi!" Melihat orang tidak mengunjukan reaksi apa-apa, Thian-hi lantas meneruskan. "Belum lama aku berpisah dengan beliau, sekarang dia bersama Sutouw Ci-ko!" "Sangkamu aku mencari kau karena segala urusan tetek bengek itu?" Demikian tukas Kiu-yu- mo-lo dengan keras. "Ketahuilah aku masih punya urusan lain yang lebih penting." "Hwe-tok-kun sekarang bersama Ang-hwat-lo-mo, mereka sama mendirikan sebuah partai lain sebagai tandingan yang kuat dari Hek-liong-pang pimpinan Tok-sim-sin-mo!" "Aku tidak peduli segala peristiwa itu, bukan itu tujuanku ." tiba-tiba tangannya mencengkeram lebih keras serta membalik tubuh secara mendadak, sehingga mereka sama berputar. Ham Gwat berdiri tegak tiga tombak di belakang sana. Biji matanya memancarkan sorot aneh mengawasi Kiu-yu-mo-lo. "Siapa kau?" Tanya Kiu-yu-mo-lo. Ham Gwat berdiri tegap tak bersuara, lambat laun sinar matanya tenang kembali, seakan-akan selamanya perasaannya begitu tenang tapi dingin dan kaku. Secara langsung terasa oleh Kiu-yu-mo-lo bahwa Ham Gwat bukanlah orang yang gampang dapat digertak dan gebah pergi begitu saja, sebelah tangannya membalik beruntun ia menutuk beberapa jalan darah ditubuh Hun Thian-hi, lalu dengan waspada ia awasi Ham Gwat. "Kenapa kau harus menutuk jalan darahnya?" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tanya Ham Gwat pelan-pelan. "Persetan dengan kau? Siapa kau?" Teriak Kiu-yu-mo-lo, suaranya melengking tinggi. Kelihatannya Ham Gwat memeras otak, entah apa yang sedang dipikirkan, sekian lama ia berdiam diri. Kiu-yu-mo-lo sendiri menjadi risi dan bingung, serunya geram. "Kutanya kau apakah kau tidak dengar?" Tawar2 saja Ham Gwat pandang orang, ia sedang menggunakan kecerdikan otaknya mencari akal cara untuk menolong Thian-hi. Tanpa bicara tiba-tiba ia membalik tubuh terus jalan kembali dari arah datangnya semula. Dada Kiu-yu-mo-lo menjadi terbakar, dengan wataknya yang begitu berangasan dan congkak itu, masa dia terima dipandang hina dan tidak direwes oleh Ham Gwat, dengan murka ia menghardik. "Berhenti!" Seperti tidak mendengar Ham Gwat terus berjalan ke depan pelan-pelan. sedikitpun ia tidak peduli apakah orang akan marah atau mencak-mencak. yang terang ia kerahkan Lwekang tingkat tinggi mengembangkan Ginkang Ling-khong-pou-si, tubuhnya bergerak laksana awan mengembang dan air mengalir melesat terbang cepat sekali. Karuan Kiu-yu-mo-lo semakin murka. sambil mengempit Thian-hi segera ia kembangkan ilmu ringan tubuhnya mengejar ke arah Ham Gwat. Ham Gwat berjalan beberapa langkah lebih dulu, Kiu-yu-mo-lo sendiri juga mengempit Hun Thian-hi, sudah tentu kecepatan gerak tubuhnya tidak dapat mengungguli Ham Gwat. Sementara itu Ham Gwat sudah berkelebat memasuki hutan bambu, semakin murka Kiu-yu-mo- lo dibuatnya, diam-diam iapun merasa kejut akan Lwekang Ham Gwat yang tinggi dan Gingkangnya yang lihay, masa gadis kecil yang masih remaja tidak kuasa dikejar olehnya, apa pula yang telah berhasil dilatih selama beberapa bulan mengasingkan diri belakangan ini. Tok-sim-sin- mo sudah lolos dari belenggu kurungan, dilihat keadaan sekarang, apakah dirinya dapat menghadapi Tok-sim-sin-mo kelak menjadi suatu pertanyaan besar, tengah pikirannya melayang, dilihatnya Ham Gwat sudah tiba di belakang sebuah gunung dan membelok kesana terus memasuki hutan pohon jati dan menghilang. Kiu-yu-mo-lo menjerit enteng, cepat ia menyedot napas tubuhnya lantas menerjang ke depan laksana anak panah. Tanpa sangsi dan banyak pikir ia terus menerobos masuk ke dalam hutan jati itu, namun jejak Ham Gwat sudah menghilang, sambil mengempit Hun Thian-hi ia melangkah terus ke depan, pikirnya, setelah menembus hutan pohon jati ini hendak kulihat kemana pula kau lari. Begitulah Kiu-yu-mo-lo berlari-lari kencang mengejar terus ke depan, kira-kira setengah jam sudah berlangsung pengejaran itu, selama itu tidak kelihatan bayangan Ham Gwat tapi hutan jati ini tidak kunjung habis dari kaget lambat laun hati Kiu-yu-mo-lo menjadi ciut dan takut, waktu ia angkat kepala, pohon nan subur itu sedang berkembang mengluarkan baunya yang wangi, waktu ia celingukan kian kemari jalan menjadi buntu, sekelilingnya dilingkungi oleh pohon-pohon besar kecil yang tumbuh subur. Sekian lama ia berdiri terlongong, semakin pikir hatinya semakin ciut dan kejut, tak tahu dia cara bagaimana dirinya nanti keluar dari hutan jati yang lebat dan membingungkan ini. Pikir punya pikir Kiu-yu-mo-lo menggeram dengan aseran, tiba-tiba ia berlari lagi menerobos hutan, tapi loncatan tubuhnya hanya tiga empat kaki tingginya, seolah-olah daun-daun pohon di atas kepalanya tak mampu dicapainya. Bukan kepalang kejut hatinya, seketika ia menjadi sadar dan terpikir olehnya suatu kabar berita yang pernah didengarnya dulu, seketika mukanya berubah pucat, tangannya menjadi lemas, Hun Thian-hi yang dikempit di bawah ketiaknya melorot jatuh di tanah. Ia berdiri terlongong dengan putus asa. Menurut kedaan yang dihadapinya sekarang, apakah dirinya sudah masuk ke dalam barisan Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin? Sejak dulu pernah kudengar nama barisan yang hebat itu, apakah hari ini aku mengalami sendiri jatuh ke dalam barisan penggugah iblis itu? Karena dipengaruhi oleh pikirannya ia berdiri tegak terkesima dengan muka pucat, bila sudah terjebak masuk ke dalam barisan menggugah iblis itu seumpama kepandaian maha lihay setinggi langi tpun jangan harap dapat keluar dari kurungan, demikianlah keadaan dirinya sekarang harus pasrah nasib jiwa sendiri tergenggaan ditangan orang. Waktu ia angkat kepala celingukan sekelilingnya hening lelap. Mendadak teringat olehnya akan Hun Thian-hi segera ia menyeringai dingin, teriaknya. "Apakah jiwa Hun Thian-hi tidak kalian hiraukan lagi? Awas kubunuh dia!" Sembari mengancam ia angkat tangannya mengincar batok kepala Hun Thian-hi, sedang kuping dipasang serta mata memeriksa keadaan sekelilingnya. Sekonyong-konyong sebuah suara yang lirih seperti bunyi nyamuk terkiang dipinggir kupingnya. "Setelah masuk ke dalam Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin masih berani timbul angan2 jahatmu?" Berubah air muka Kiu-yu-mo-lo, kiranya benar-benar dirinya sudah terjebak ke dalam Thay-si- ciang-soat-lian-mo-tin konon kabarnya barisan ini setiap seabad muncul sekali di Kangouw, tujuannya adalah menggugah kesadaran jiwa setiap gembong iblis yang sudah terlalu banyak membuat kejahatan, tapi selama itu tiada seorangpun yang tahu alamat dan keadaan sebenar- benarnya dari barisan yang lihay itu. tapi itu kenyataan bukan khayal belaka, dan buktinya sekarang dirnya telah berada di dalam barisan yang sangat ditakuti oleh kaum sesat itu. Ilmu silat yang dipelajari dari Hian-thian-mo-kip belum lagi mendapat hasil yang memuaskan, sungguh penasaran kalau dirinya harus berkorban secara konyol disini. setelah terlongong, akhirnya ia berseru. "Hun Thian-hi berada ditanganku, dia menggembol rahasia Ni-hay-ki-tin, dengan segala rahasia yang berharga itu untuk menebus jiwaku, apakah belum setimpal? Ingatanku sekarang masih segar bugar, bila kudapati rahasia Ni-hay-ki-tin itu pasti akan kuhancurkan lebih dulu, kuharap kau tidak menyesal setelah terlambat!" Sesaat kemudian suara lirih seperti nyamuk itu berkata lagi. "Kejahatan yang kau pernah lakukan terlalu banyak. dosamu tak berampun, masih kan berani menggunakan Hun Thian-hi untuk mengancam padaku. dosamu lebih tak bisa diampuni lagi. kau kira kau masih segar dan belum hilang ingatan? Bila ingatanmu masih segar, sejak tadi kau sudah keluar dari barisan itu!" Lenyap suaranya suasana sekelilingnya kembali menjadi lelap. Dengan rasa kebencian yang berlimpah Kiu-yu-mo-lo mengumpat caci. pelan-pelan tangan yang terangkat tinggi diturunkan, rasanya kurang tepat bila membunuh Hun Thian-hi sekarang. pikirnya bila Hun Thian-hi berada ditanganku. dengan adanya sandera yang kuat ini akan kulihat sampai kapan kau kuat bertahan mengurung aku. Begitulah ia lantas duduk bersimpuh, tangan kanannya masih mencengkeram pergelangan tangan Hun Thian-hi, ia pejamkan mata dan pelan-pelan mulai melatih ilmu yang dipelajari dari Hian-thian-pit-kip. Angin menghembus sepoi-sepoi, dedaunan pohon disekitarnya terdengar berkeresekan seperti bergerak. Kiu-yu-mo-lo duduk tenang tanpa bergerak. tahu dia bahwa Thay-si-ciang-soat-lian-mo- tin sudah mulai bergerak. tapi terpikir olehnya bahwa semua itu tak lebih sebagai pandangan khayal yang mengaburkan ingatan manusia belaka, asal aku kuat mengendalikan hati dan pikiran, apa yang harus kutakuti! Hawa nan sejuk di dalam hutan semakin terasa panas, pohon-pohon disekelilingnya kelihatannya berubah menjadi serba merah, seluruh hutan jati ini seperti terbakar jago merah yang membara lambat laun kobaran api semakin besar, seluruh hutan jati ini menjadi lautan api. Kian lama Kiu-yu-mo-lo merasa seluruh badan makin panas seperti dipanggang, sungguh tidak tartahan lagi suhu panasnya. Ia menengadah celingukan ke arah sekitarnya, tampak dimana-mana api sudah menjilat semakin besar, berulangkali ia ingin bangkit dan lari keluar dari lingkungan kobaran api ini, tapi selalu gagal dan urung, akhirnya ia duduk bersimpuh kembali. Akhirnya Kiu-yu-mo-lo berpikir; bila aku benar-benar ingin lari juga tidak mungkin lolos dari Kepungan kobaran api yang begini besar. Seumpama mati juga ikhlas karena Hun Thian-hi akan menyertainya ke jalan alam baka, bila kalian memang tidak ingin menyelamatkan jiwa Hun Thian- hi, apa boleh buat, biar aku gugur bersama dia. Demikian ia berpikiran secara nekat Karena tujuan orang mengurung dirinya di dalam barisan ini terang bertujuan untuk menolong Hun Thian-hi. Dengan adanya Hun Thian-hi sebagai sandera apa lagi yang perlu dilakuti. Sementara itu bara api disekitarnya lambat laun mulai mengecil dan akhirnya padam. Empat penjuru menjadi gelap gulita, pulih seperti sediakala. hutan jati yang lebat dan sejuk, sunyi dan lelap. Kiu-yu-mo-lo menjadi terlongong, baru sekarang ia sadar, kiranya tadi matahari sedang terbenam, sebaliknya dirinya mengira dirinya terkurung di dalam lautan api. Begitulah ia termangu-mangu, tiba-tiba terasa hawa mulai dingin dan angin menghembus keras. Kiu-yu-mo-lo mandah mendengus hidung, waktu ia melirik ke arah Hun Thian-hi yang rebah disampingnya. tampak orang seperti tertidur pulas tak kurang suatu apa, ia kertak gigi pikirnya pasti aku terombang-ambing di dunia khayalan belaka, kenapa aku urus segala gejala yang menyesatkan ini? Batinnya memang merasa akan gejala yang tidak wajar itu dan tak mau peduli lagi, tapi hembusan angin kenyataan semakin dingin seperti hampir membekukan seluruh sendi tulangnya. Ia kertak gigi dan berpikir. "Hembusan angin dingin betapapun tidak akan mempersukar dan meruntuhkan kekuatan batinku!" begitulah ia duduk tenang tanpa bergeming. Berselang tak berapa lama, hawa semakin dingin tiba-tiba ia membuka mata mengawasi Hun Thian-hi, tiba-tiba timbul pikirannya. "Bila dia siuman bagaimana perasaannya?" Segera ia kebutkan lengan, bajunya membebaskan seluruh jalan darah Thian-hi yang tertutuk. Pelan-pelan Hun Thian-hi siuman dan membuka mata, kuatir orang melarikan diri cepat-cepat Kiu-yu-mo-lo menggencet urat nadi pergelangannya. Pelan-pelan Hun Thian-hi merangkak bangun duduk bersila, sekilas ia pandang Kiu-yu-mo-lo tanpa bersuara, ia tidak tahu cara bagaimana dirinya bisa sampai di tempat itu, yang terang dirinya masih tertawan oleh Kiu-yu-mo-lo jadi Ham Gwat tak berhasil menolong dirinya. Sikap Hun Thian-hi tenang dan acuh tak acuh akan keadaan sekelilingnya, Kiu-yu-mo-lo jadi heran. tanyanya. "Tahukah kau dimana sekarang kita berada?" Thian-hi memandangnya tawar, ia rada curiga akan sikap pertanyaan Kiu-yu-mo-lo ini, mimpipun ia tidak mengira bahwa dirinya ternyata ikut terjeblos di dalam barisan menggugah iblis yang lihay itu. Tanpa bersuara ia menundukkan kepala. Kata Kiu-yu-mo-lo menjelaskan. "Ketahuilah kita berdua sudah terperangkap ke dalam Thaysi- ciang-soat-lian-mo-tin oleh kawan baikmu itu!" Thian-hi tersentak kaget sambil menengadah mengawasi Kiu-yu-mo-lo, sungguh kejut dan girang pula hatinya, sungguh tidak nyana bahwa dirinya sekarang berada di dalam Thay-si-ciang- soat-lian-mo-tin. Entah dengan cara apa Ham Gwat bisa berhasil mengurung Kiu-yu-mo-lo ke dalam barisan ini. "Kelihatannya kau sangat girang ya?" Thian-hi tertunduk diam. Kiu-yu-mo-lo menjadi berang, jengeknya. "Jangan kau merasa senang lebih dulu. Ketahuilah bila, aku tidak bisa keluar kau pun takkan bisa hidup. Dengan ada kau disini, betapa pun mereka takkan berani berbuat apa-apa terhadap diriku." Thian-hi manggut-manggut, ujarnya. "Benar-benar, aku sendiri menjadi tidak tega bila kau terkurung sendirian disini, Apalagi bila kau dapat keluar paling tidak dapat memberi tekanan berat terhadap Tok-sim-sin-mo!" Mendengar nada perkataan Hun Thian-hi berubah cegitu cepat, sesaat Kiu-yu-mo-lo menjadi melongo dibuatnya. Tanpa hiraukan Kiu-yu-mo-lo. Thian-hi bersimpuh dan mejamkan mata, pelan- pelan ia kerahkan Pan-yok-hian-kang untuk memulihkan kesegaian badannya. Sementara itu Kiu-yu-mo-lo sudah merasa hawa semakin dingin sehingga badannya yang tua renta itu gemetar. Dilihatnya Thian-hi duduk tenang-tenang seperti tidak kurang suatu apa, hatinya merasa aneh tak habis herannya, akhirnya iapun menghimpun semangat dan memusatkan pikiran mulai samadi. Hari kedua, waktu terang tanah badan Hun Thian-hi sudah pulih kesegarannya, sebaliknya keadaan Kiu-yu-mo-lo semakin lesu dan jompo. Hun Thian-hi menjadi heran dan bertanya-tanya. Tapi terpikir olehnya mungkin Kiu-yu-mo-lo sudah terseret ke dalam alam khayal yang mulai menyedot sukmanya yang sesat kalau keadaah begitu terus berlarut dalam jangka dua hari lagi mungkin dia sendiri takkan kuasa mengendalikan dirinya lagi. Sebetulnya Kiu-yu-mo-lo juga menyadari akan hal ini. Waktu ia melihat cara latihan Thian-hi yang begitu wajar dan tenang, Lwekangnya yang tinggi dan ampuh itu sebetulnyalah bahwa dirinya takkan mampu lagi mengendalikannya, diam-diam terpikir cara lain untuk mengatasinya. Hun Thian-hi menyedot hawa segar, Kiu-yu-mo-lo segera melepaskan cengkeraman tangannya katanya. "Jangan mimpi kau dapat lari dari hadapanku!" Hun Thian-hi mandah tertawa ewa, jalan darah pergelangannya dicengkeram musuh sehingga ia tak kuasa menyempurnakan latihannya menurut kesukaan hatinya, tapi dari persentukan tangan ini diam-diam ia dapat mengukur sampai dimana sebenar-benarnya kepandaian sejati Kiu-yu-mo- lo. sebenar-benarnyalah bahwa Lwekang Kiu-yu-mo-lo jauh di bawah perkiraannya semula, juga terlalu jauh dibanding dengan Tok-sim-sin-mo. Tak tahu kenapa ia harus kelana pula di Kangouw sebelum ilmu yang dipelajari dari Hian-thian-mo-kip sempurna, malah katanya hendak membuat perhitungan dengan Tok-sim-sin-mo apa segala. Atau mungkim dia punya tujuan lain, justru yang ketemu adalah dirinya. "Lekas kau suruh perempuan baju hitam itu melepas kita keluar!" Demikian desak Kiu-yu-mo-lo dengan aseran. Hun Thian-hi tersenyum, sahutnya. "Aku sendiri pun ingin keluar, tapi bila kau ikut keluar pasti dia tidak akan melepaskan kau. Ka-yap Cuncia sudah membelenggu kau selama lima puluh tahun, hukuman selama itu masih belum bisa membuat kau bertobat dan mencuci hati membina diri, kembali menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, sebaliknya kau berbuat kejahatan pula di Bulim, aku sebagai manusia biasa tak kukenal parbedaan antara berat dan ringan. Coba bila kau sendiri yang menjadi dia, bagaimana sikap dan apa yang akan kau lakukan?" Kiu-yu-mo-lo menyeringai sinis. katanya. "Kau menggembol rahasia Ni-hay-ki-tin, bekal yang kau bawa itu jauh cukup dapat menjadikan kau bersimaharaja di Bulim, masa kau sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu!" Hun Thian-hi tartawa tawar, ujarnya. "Maksudmu Badik buntung itu bukan? Ketahuilah bahwa Badik buntung sudah terjatuh ketangan Bu-bing Loni, kau belum tahu." Kiu-yu-mo-lo rada tercengang, tanyanya. "Serangkanya juga maksudmu?" Melonjak keras jantung Hun Thian-hi, pikirnya. "Apakah rahasia Ni-hay-ki-tin itu berada di atas serangka Badik buntung itu?" ia manggut-manggut membenar-benarkan. Kiu-yu-mo,lo menghela napas lesu, dengan putus asa ia menunduk, katanya sesaat kemudian. "Kalau begitu, tiada halangannya kuberitahu soal ini kepada kau. Ketahuilah rahasia Ni-hay-ki-tin di seluruh kolong langit ini hanya aku dan Tok-sim-sin-mo serta I-lwe-tok-kun bertiga yang tahu, Samte atau Pek Si-kiat kita kelabui, sengaja kami tidak mau memberitahu padanya." Bercekat hati Hun Thian-hi, kiranya mereka bertiga sama dalam satu gerombolan. "Bicara terus terang, yang benar-benar tahu jelas segala rahasia ini bukan melulu kami bertiga saja." Demikian sambung Kiu-yu-mo-lo. "Itulah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo, dia paling tahu dan jelas sekali mengenai rahasia ini, ketahuilah bahwa Ni-hay-ki-tin adalah warisan dari leluhurnya. turun temurun sampai jaman ini, tapi Badik buntung selalu berpindah tangan. Kami bertiga pun tiada yang mau mengalah satu sama lain, kami masing-masing insyaf diri sendiri tidak akan kuat menghadapi dua orang yang lain maka tiada berani sembarangan turun tangan merebut Badik buntung itu." Sampai disini ia menepekur sekian saat baru melanjutkan. "Coh Jian-jo pernah tertawan oleh kami bertiga, sayang ia berhasil melarikan diri. Dan tidak lama setelah kejadian itu Si-gwa-sam-mo sama dikurung oleh Ka-yap Cuncia di dalam Jian-hud-tong!" "Jadi maksudmu rahasia Ni-hay-ki-tin itu sebetulnya berada di atas serangka Badik buntung itu?" Tanya Hun Thian-hi. Kiu-yu-mo-lo manggut-manggut, sahutnya. "Mungkin begitu. tapi kebenar-benarannya harus tanyakan langsung kepada Coh Jian-jo!" Diam-diam Thian-hi mengutuk kejahatan Mo-bin Su-seng, meski dia sudah dibikin cacat dan dipunahkan ilmu silatnya oleh Ka-yap Cuncia, namun masih tidak mau menyerah, begitu tamak dengan segala kelicikan dan kekejamannya berusaha mendapatkan Badik buntung sehingga dunia persilatan menjadi geger dari kemelut karena perebutan Badik buntung itu, secara licik ia hendak menunggangi keuntungan dalam perebutan ini, yang diincar melulu serangkanya saja, untung dalam dua kali peristiwa perebutan itu tidak tercapai harapannya. Teringat oleh Thian-hi akan serangka Badik buntung yang sekarang masih tersimpan di dalam kantong bajunya, ingin rasanya dikeluarkan untuk diperiksa, sebetulnya macam apakah rahasia menemukan Ni-hay-ki-tin itu, sehingga menimbulkan perebutan manusia-manusia tamak dan mengambil banyak korban. "Mungkin kau heran, kenapa kami ingin memiliki Ni-hay-ki-tin itu bukan?" Demikian tanya Kiu- yu-mo-lo. "Bahwasanya jarang kaum persilatan yang tahu, mereka menyangka disana terpendam harta benda yang tak ternilai harganya, sebetulnyalah disana tiada sepeserpun barang-barang berharga, yang ada hanyalah pelajaran ilmu silat yang maha lihay." "Tapi sekarang kau telambat untuk dapat memilikinya!" "Tidak, kukira aku masih punya harapan untuk keluar, setelah keluar aku akan langsung mencari Bu-bing Loni!" "Anggapmu Bu-bing Loni kamu keroco? Janganlah kau lupa beliau adalah keturunan dari ilmu Hui-sim-kian-hoat dari Ngo-bi-pay!" Kiu-yu-mo-lo menjadi tertegun, katanya. "Kalau keturunan murid Ngo-bi-pay emangnya mau apa. Anggapmu aku tidak kuasa menempur dia?" "Kukira kau bukan tandingannya, semestinya kau sendiri juga jelas akan hal ini. Tentu kau menghadapi kesukaran dalam berlatih Hian-thian-mo-kip bukan?" Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bego Karya Can Pendekar Bego Karya Can