Badik Buntung 21
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 21
Badik Buntung Karya dari Gkh Mendelik gusar biji mata Kiu-yu-mo-lo, desisnya. "Darimana kau bisa tahu? Kau ." Mendadak ia sadar mana boleh dia membocorkan rahasia ini begitu saja sehingga Hun Thian-hi ikut mengetahui, meskipun batinnya sangat berang, tapi segera ia tutup mulutnya. "Pelajaran Hian-thian-mo-kip tidak bakal berhasil dilatih dalam waktu singkat, jelas kau pasti menemui kesukaran, tapi sudah mendapat hasil yang lumajan, kuatir bila Tok-sim-sin-mo lolos dari belenggu dan sukar diatasi, kau ingin pula mengangkangi Ni-hay-ki-tin itu, maka terpaksa kau muncul pula di Kangouw, benar-benar tidak?" Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, katanya. "Analisamu memang benar-benar, yang penting aku hanya ingin mencari seseorang, orang ini dapat membantu aku menyempurnakan latihan pelajaran yang termuat di dalam Hian-thian-mo-kip itu!" Berkilat mata Hun Thian-hi, mulutnya bungkam. Kiu-yu-mo-lo menengadah memandangi pohon-pohon jati nan jauh di depan sana, suaranya lirih. "Kau belum tahu akan kelicikan dan keganasan Tok-sim-sin-mo, dia merupakan satu pasangan dengan I-lwe-tok-kun itu, tapi daya pikirnya masih rada ketinggalan oleh kecerdikan I- lwe-tok-kun Kalau aku bisa keluar dari barisan ini tujuan yang pertama aku harus bunuh dia!" Hun Thian-hi tersenyum geli, katanya. "Duduk saja tenang-tenang, selama hidup ini takkan ada harapan dapat keluar!" Kiu-yu-mo-lo menghela napas rawan, ujarnya. "Kau kira Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin ini begitu gampang? Kecuali yang pasang perangkap sengaja melepas kita, kalau tidak selama hidup ini kau dan aku memang harus tetap disini, jangan harap bisa keluar!" Melihat orang menghela napas Hun Thian-hi rada heran, Kiu-yu-mo-lo sudah mulai lemah, agaknya batinnya mulai sadar. Terpikir olehnya bila setiap hari berada di tempat ini apalagi pikiran dan pandangan selalu tenggelam dalam khayalan, betapapun sebagai manusia biasa kita takkan kuat bertahan, justru Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin merupakan alat penyadar dan penggugah kesesatan yang tidaklah gampang dihadapi begitu saja! Sambil terengah-engah Kiu-yu-mo-lo bangkit sembari menyeret Hun Thian-hi, katanya. "Kau ikut aku, jangan mimpi untuk lari. jika kau lari, segera kubunuh kau!" Lalu mereka beranjak ke depan, entah kemana tujuannya. Begitulah pelan-pelan ia seret Thian-hi maju terus ke depan, entah berapa lama dan berapa jauhnya, mendadak dilihatnya di depan Sana terbentang daun-daun pohon nan subur menghijau, itulah rumpun pohon-pohon bambu yang kelihatan sangat menyolok dan menyegarkan. Dengan kejut ia kucek2 kedua matanya, ia ragu-ragu dengan apa yang dia lihat, tapi kenyataan apa yang dia lihat ini bukan khayalan belaka, keruan bukan kepalang girang hatinya, syukurlah akhirnya toh aku bisa keluar dari kurungan pohon jati ini. Tengah Kiu-yu-mo-lo kegirangan, mendadak terasa tangannya kesendal oleh saluran tenaga dalam yang kuat, kontan pegangan kelima jarinya terlepas, sembari menggerung gusar ia membalik tubuh, kedua telapak tangannya bersama menepuk ke arah Hun Thian-hi. Gesit sekali Hun Thian-hi sudah menyurut mundur terus menggelinding dan menghilang di dalam rumpun daun-daun semak belukar. Kiu-yu-mo-lo tidak berani mengejar, ia takut kehilangan kesempatan untuk keluar dari barisan, terpaksa ia mengumpat caci dan melampiaskan gusarnya dengan menghantamkan tangannya ke arah semak-semak, keadaan yang rapi dari semak pohon-pohon itu seketika menjadi porak peronda, daun berguguran. Waktu Kiu-yu-mo-lo membalik tubuh, tampak daun-daun menghijau di depan Sana masih kelihatan, pelan-pelan ia lantas beranjak menghampiri, setelah dekat itulah serumpun hutan bambu, keluar dari hutan bambu ini dihadapannya berdiri tegak sebuah bangunan gedung berloteng, sejenak ia berdiri menjublek, pikirnya, setelah sampai disini kenapa harus takut-takut masuk kesana. Begitulah ia maju lagi setiba diambang pintu ia mendongak tempak di atas pintu bertuliskan empat huruf besar "Thay-si-yu-king" (Alam khayalan), mencelos hatinya, setitik harapan yang bersemi dalam sanubarinya tadi seketika amblas, kabut berbondong-bondong mengepul dari tanah disekitar kakinya, lambat laun dirinya seperti dibungkus oleh kabut putih yang bergulung-gulung itu, selayang pandang melulu warna putih yang tidak berujung pangkal lagi. Pikirannya Kiu-yu-mo-lo juga menjadi kosong dan seperti memutih sama sekali, Sekian lama ia menjublek, akhirnya meloso duduk kelelahan. otaknya sudah berhenti bekerja. yang terasa bahwa sang waktu selalu berhenti di dalam kejap yang sama, dunia ini terasa sepi dan hening seolah-olah tiada kehidupan lagi dimajapada ini, hatinya semakin dikili2 seperti ingin meronta, rela sudah bila aku mati saja daripada tersiksa macam ini! Entah berapa lama, keadaan masih seperti itu, sungguh sedih dan rawan sekali batin Kiu-yu- mo-lo, akhirnya ia berteriak-teriak seperti orang gila sesambatan, namun yang didengar hanyalah gema suaranya sendiri dari empat penjuru. Akhirnya ia berhenti berteriak. dengan putus asa ia celingukan ke sekitarnya, aku sudah kejeblos ke dalam alam khayal yang menyesatkan pikiran. mungkin selama hidup ini tidak akan bisa keluar lagi. Duduk bersimpuh pikiran Kiu-yu-mo-lo sekarang mulai bekerja, tapi kalut dan berpikir secara abnormal. Terpikir olehnya bila dia berhasil keluar pekerjaan apa yang harus dia lakukan, aku akan bunuh seluruh manusia yang tidak kusenangi, aku harus mendapatkan Ni-hay-ki-tin, menjadi jago silat nomor satu di seluruh kolong langit yang tiada tandingan, barisan macam setan yang menyesatkan ini akan kuhancur leburkan, tidak ketinggalan pencipta dari barisan gaib inipun akan kusiksa sampai mampus. Begitulah alam pikirannya melayang-layang. entah berapa lama ia memutar otak, kadang- kadang mulutnya menggeram, tangan menepuk tanah, matanya berkilat menyapu sekelilingnya, tapi yang dilihatnya sama adalah alam keputihan yang menyilaukan pandangan matanya, akhirnya ia menghela napas. Sekarang otaknya terasa kosong pula, yang terpikir tadi melulu hanyalah khayalan hatinya belaka. pikiran yang tidak mungkin dicapai dan dilakukan olehnya. Kini teringat olehnya akan waktu mudanya. sejak ia masih bocah mengangkat guru belajar silat sampai dia kelana di Kangouw, ganti berganti pengalaman dulu terbayang dikelopak matanya, heran dia kenapa aku bisa mengenangkan masa lalu, belum pernah aku terkenang akan masa yang telah silam itu tapi masa silam yang penuh kenangan itu sekarang terbayang dalam alam pikirannya. Hatinya mulai mengeluh dan merasa derita. Terbayang betapa takut hatinya waktu pertama kali ia membunuh orang, dari kelakuan lurus aku semakin terperosok kejalan sesat dan menyeleweng dari ajaran guru, akhirnya malang melintang sebagai salah seorang dari Si-gwa-sam-mo yang ditakuti, perbandingan dari awal mula dan babak terakhir ini, perubahan yang begitu cepat betul- betul membuat sanubarinya merasa heran dan kejut. Dalam Jian-hud-tong tanpa disadarjnya ia menetap lima puluh tahun lamanya, meski dalam waktu yang begitu lama selalu aku berpikir mencari akal untuk meloloskan diri untuk menuntut balas kepada Ka-yap Cuncia. terutama waktu secara tak terduga memperoleh Hian-thian-mo-kip, angan2 untuk menuntut balas semakin membakar sanubarinya. Tatkala itu aku bertahan untuk hidup dan hidup ini memang untuk menuntut balas, tapi bagaimana sekarang? Entahlah aku tidak tahu lagi. di dalam dunia kehidupan yang serba memutih ini, apa pula yang harus kutuntut untuk kubalas? Lambat laun ia menyesal dan putus asa. "Thay-si-ciang-soat-lian- mo-tin tidaklah begitu gampang dibobol atau dipecahkan seperti dugaannya semula, keadaan yang abstrak tidak berbentuk ini, betapapun jauh lebih hebat lebih sukar dihadapi daripada belenggu rantai dari Ka-yap Cuncia. Untuk meloloskan diri harapannya sangat nihil. Kiu-yu-mo-lo menepekur lagi, pikirannya melayang kembali mengenang pengalamannya dahulu, ia duduk dengan hampa dan perasaan kosong. entah apa yang harus dilakukan, ia mandah terima nasib saja. Lambat laun ia merasa menyesal dan bertobat. perbuatannya dululah yang justru membuat dirinya sekarang menerima akibatnya ini. Dengan mendelohg ia pandang ke sekelilingnya tak berani ia kenang masa silam pula, ia menjadi sebal dan gegetun karena keadaan sekelilingnya" Tetap sama tak pernah berubah seakan-akan sang waktu berhenti berjalan tak bergerak lagi. Dibanding di dalam Jian-hud-tong jauh lebih sunyi dan lelap. Tak tahan lagi ia bergegas melompat bangun, kedua telapak tangannya terayun menepuk dan menghantam serabutan ke segala penjuru, kemana angin pukulannya yang dahsyat itu menyamber keluar, sedikitpun tidak dengar desir angin atau gelombang pergerakan akibat dari pukulannya, akhirnya ia berteriak melengking putus asa, tapi gema teriakannya pun tak terdengar lagi, ia meloso duduk lemas, airmata meleleh keluar. suaranya sendiri pun tak kuasa dikendalikan lagi. Dengan lemas ia bersimpuh memejamkan mata, lambat laun timbul rasa sesal dalam benaknya dan rasa menyesal ini semakin besar sampai mengetuk sanubarinya, ja, sepak terjang dulu waktu masih muda harus disesalkan, batinnya mulai bertobat. Hati kecilnya berteriak dengan kekosongan jiwa yang menggersang, sungguh ia sendiri pun tidak nyana bahwa akhirnya ia harus menyesal, terasa betapa kerdil jiwanya ini begitu bejat dan kejam serta telengas hidup jiwanya ini, suka membunuh dan selalu ingin membunuh seolah-olah jiwa manusia tidak berharga sepeserpun, membunuh manusia seperti membabat rumput layaknya. Sebenar-benarnyalah setiap manusia sangat menghargai jiwa masing-masing. tapi kenapa aku tidak menghargai jiwa mereka? Karena rasa sesalnya ini sekian lama ia terlongong. Baru sekarang ya sadar dan insaf bagaimana mungkin dirinya terjeblos ke dalam barisan penggugah iblis ini, seharusnya ia tidak punya rasa benci dan dendam, apa pula salahnya jiwaku tergugah dari kesesatan disini! Detik demi menit berlalu, lambat laun keadaan sekitarnya terasa mulai berubah, keadaan menjadi terang benderang dan bercahaya menyegarkan hati, namun ia masih duduk tenang tak bergerak. Dalam pada itu. setelah luput dari pengejaran Kiu-yu-mo-lo Hun Thian-hi berhasil lari sembunyi ke dalam gerombolan semak-semak rumput tinggi, waktu ia merangkak bangun dan celingtikan tiba-tiba dari semak-semak rumput di depannya sana muncul sebuah wajah nan jelita, itulah Ham Gwat yang muncul dari balik semak-semak sana, berdiri tegak dihadapannya, dengan cermat ia pandang dirinya. Thian-hi menjadi haru dan sangat berterima kasih, katanya melangkah mendekat. "Kali ini nona pula yang menolong jiwaku!" "Bukan aku melulu yang menolong kau," Ujar Ham Gwat pelan-pelan. "Lo-cianpwe yang kukatakan itu ingin menemui kau, mari kau ikut aku menemui beliau!" Tanpa bicara Hun Thian-hi ikut di belakang Ham Gwat, hatinya dirundung berbagai pikiran hatinya rada malu dan menyesal, biasanya aku selalu membanggakan dan mengagulkan kepandaian sendiri, beberapa kali kena diringkus atau tertawan oleh musuh selalu Ham Gwat yang menolong diriku. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari hutan jati, Hun Thian-hi berpaling ke belakang sungguh ia hampir tidak percaya bahwa hutan jati ini adalah Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin yang tenar dan ditakuti di Bulim, jadi orang aneh yang ingin ditemui atas prasaran Ham Gwat ini pasti adalah Thay-si Lojin yang kenamaan di seluruh kolong langit tapi belum ada orang pernah melihat akan ujudnya. Kalau begitu sungguh beruntung nasib Ham Gwat. Ham Gwat membawa Thian-hi memasuki sebuah kamar batu, kata Ham Gwat. "Silakan kau masuk sendiri menemui beliau, kutunggu kau disini!" "Terima kasih!" Kata Thian-hi, sejenak ia pandang Ham Gwat lalu pelan-pelan berjalan-jalan masuk. Dalam kamar batu yang remang-remang tampak duduk bersila seorang tua. setelah dekat baru jelas bahwa kedua kaki orang tua ini sudah buntung, kelihatannya terpotong oleh senjata tajam. Raut wajah orang tua ini sudah penuh keriput. namun selebar mukanya mengulum senyum manis, dia mengangguk kepada Thian-hi, segera Thian-hi berlutut dan menyembah, sapanya. "Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Cianpwe!" "Lekas bangun," Ujar si orang tua lemah lembut, menurut kata Gwat-ji kau adalah keturunan atau ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek?" Thian-hi manggut-manggut, sahutnya. "Terima kasih pada Cianpwe yang telah menolong jiwaku." Si orang tua menggoyang tangan, ujarnya. "Kau tak usah sungkan, sebagai ahli waris "Wi- thian-cit-ciat-sek seharusnyalah aku menolong kau, apalagi kau harus segera menyusul ke Siau- lim-si bukan!" Lalu ia melanjutkan. "Menurut Gwat-ji kau hanya memperoleh Kiam-boh dari Wi- thian-cit-ciat-sek itu, tapi belum mempelajarinya secara sempurna, intisari yang dalam itu?" Hun Thian-hi manggut-manggut, sahutnya. "Memang begitu, harap Cianpwe suka memberi petunjuk," Dari lubuk hatinya yang dalam timbul suara perasaan bahwa si orang tua dihadapannya ini agaknya bersikap sangat baik terhadap Ham Gwat. kalau tidak salah mungkin punya hubungan dalam yang sangat erat. sehingga iapun bersikap ramah dan baik terhadap aku. tapi dari sorot matanya itu kelihatan bahwa hatinya pasti dirundung janggalan hati yang belum terlampias. Kata pula si orang tua sembari tertawa. "Ham Gwat bersikap baik terhadap kau, kaupun bagus, aku. kuharap kau ingat kata-kataku ini, berlakulah baik terhadapnya, dia." Sampai disini ia menghela napas, lalu melanjutkar dengan suara lebih lirih. "Bila kau tahu riwayat hidupnya. pasti kau akan merasa dan tahu bahwa hidupnya sungguh harus dikasihani!" Hun Thian-hi terbungkam menunduk, akhirnya tak tertahan ia bertanya. "Cianpwe tahu akan riwayat hidupnya?" Pelan-pelan orang tua manggut-manggut, ujarnya. "Ya, tapi dia sendiri justru tidak tahu." Heran dan terperanjat hati Thian-hi, heran dia kenapa orang tua ini bisa tahu jelas akan riwayat hidup Ham Gwat, tapi kenapa tidak memberitahu kepadanya, entah apakah sebabnya. Dengan seksama orang tua awasi Thian-hi, sesaat baru buka suara. "Kaupun sudah tahu riwayat hidupnya bukan?" Thian-hi rada sangsi, dia tidak tahu apa hubungan orang tua ini dengan Ham Gwat, namun tentu tiada maksud jahat terhadapnya, akhirnya ia manggut-manggut, sahutnya. "Tahu sedikit." Terpancar cahaya tegang dan rasa heran dari sinar mata si orang tua, tanyanya. "Darimana kau ketahui? "Kudengar langsung dari penuturan ibundanya!" Tergetar badan si orang tua, matanya semakin berkilat dan memancarkan sinar aneh, bibirnya gemetar, agaknya banyak kata-kata yang ingin diucapkan tapi urung, akhirnya ia tertunduk. Heran Thian-hi dibuatnya, hatinya bertanya-tanya, tapi ia tutup mulut. Berselang lama si orang tua menepekur, akhirnya ia angkat kepala dan berkata. "Kalau begitu, banyak omongan yang perlu kuberitahu pada kau. Tapi kau harus berjanji sementara tidak memberitahu hal ini kepada Ham Gwat!" Thian-hi menjadi ragu-ragu malah, tanyanya. "Apakah aku perlu mengetahui hal-hal itu?" Orang tua itupun berpikir, katanya. "Tahukah engkau siapakah aku? Aku adalah Suheng ibundanya, juga menjadi Suheng dari Bu-bing Loni. Tapi aku banyak berbuat kesalahan terhadap ayah bundanya, agaknya Ham Gwat sudah mendapat firasat ini, dia selalu tidak mau menerima segala bantuanku, tapi kali ini demi kau dua kali ia memohon kepada aku!" Kejut dan girang pula hati Thian-hi, sungguh tak diketahuinya akan terjadinya hal-hal itu. Orang tua ini pasti sedang menyesali perbuatannya dulu, entahlah kesalahan besar apa yang dulu sudah dia perbuat atas diri ayah bunda Ham Gwat. "Selama hidupku ini aku hanya sesalkan perbuatanku itu," Demikian tutur si orang tua. "Tapi kesalahanku itu selama hidup ini mungkin takkan mungkin dapat kutebus lagi." Ia menghela napas rawan. "Tahu bersalah dapat mengubahnya itulah perbuatan seorang susilawan, kenapa pula harus berkeluh kesah, cobalah kau lakukan segala sesuatunya yang kau pandang baik demi perikemanusiaan, mungkin Segala perbuatan dharma bhaktimu itu akan menebus segala dosa2 yang lalu. Kau belum lagi pernah melaksanakan darimana kau bisa tahu bahwa kesalahanmu takkan dapat ditebus" Orang tua itu manggut-manggut, ujarnya. "Kau sudah pernah ketemu ibunya, kau harus tahu yang mencelakai ibunya adalah Bu-bing Loni, tapi algojonya adalah aku. Aku pernah sirik dan menjelusi ayahnya, sehingga aku melakukan segala perbuatan tercela yang tidak mungkin dapat kusesali pula selama hidup ini, aku ingin menyesal dan sesalanku itu harus kutebus pada diri Ham Gwat, namun dia selalu menampik secara halus segala bantuanku!" "Tapi yang jelas akhirnya kau sudah menyesal bukan?" Tanya Hun Thian-hi prihatin. Orang tua tertawa tawar, kepalanya menengadah matanya mengawasi jauh ke depan, sesaat baru bersuara. "Akhirnya! Akhirnya Bu-bing membacok buntung kedua kakiku ini, mempunahkan seluruh ilmu silatku lagi, tatkala itu baru aku sadar, baru aku merasa menyesal setelah kasep. Untung Thay-si Locin sudi menerima aku sebagai muridnya, setelah beliau wafat aku lantas berdiam disini mengurus dam menjaga Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin ini!" "Tidak terlambat, belum terlambat, kau sudah pernah menyesal, maka sesalanmu itu belum lagi terlambat, ketahuilah bahwa kesadaran dari sesal itu selamanya tidak mengenal terlambat." Tanya si orang tua ragu-ragu. "Dimanakah ibunda Ham Gwat sekarang? Bagaimana keadaannya?" "Beliau sekarang baik-baik, dia tidak akan menyalahkan kau!" Jawab Thian-hi tersenyum. Si orang tua terduduk, akhirnya dia berkata tertawa. "Seumpama dia tidak mau memberi ampun padaku, akupun harus bertobat kepadanya, aku harus menerima segala hukuman karena dosa2ku itu!" Kembali mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing, sesaat lamanya tak bicara. "Tak lama lagi kau harus segera menyusul ke Siau-lim-si," Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Demikian ujar si orang tua membuka kesunyian. "Sudah tentu, disana kau memerlukan tenagamu sendiri untuk menyelesaikan segala pertikaian. Wi-thian-cit-ciat-sek belum kau sempurnakan, aku sendiri tiada mampu membantu kau, cobalah kau gembleng dan kau latih sendiri menurut praktek. Tapi perlu kuberitahu pada kau, sudah ratusan tahun lamanya Wi-thian-cit-ciat-sek malang melintang di dunia persilatan, dia melulu hanya sejurus saja, kau harus ingat, sejurus, hanya sejurus saja!" Bercekat sanubari Thian-hi, maka permainan Wi-thian-cit-ciat-sek secepat kilat lantas terbayang dalam kelopak matanya, memang melulu hanya sejurus dengan tujuh kembangan yang penuh variasi yang sulit diraba, menggunakan dasar Lwekang tinggi, serta gerak ilmu pedang yang lihay tiada taranya, dalam sekejap kilasan mata beruntun melancarkan tujuh gerak kembangan jurus pedangnya. Otaknya timbul tenggelam membayangkan serentetan ilmu yang sudah menghayati batinnya. Betapa girang hatinya, jika bisa terlaksana seperti yang terbayang dalam angan2nya ini mungkin gerak pedang yang digdaya, ini takkan ada lawannya dikolong langit ini. Tersipu-sipu ia menyembah serta berseru kegirangau. "Terima kasih akan petunjuk Cianpwe!" "Tak perlu sungkan-sungkan," Ujar si orang tua tertawa. "apa yang kujelaskan tadi kudapat baca dari catatan peninggalan Thay-si Locin, sayang ilmu silatku sendiri sudah punah!" Mulut Thian-hi mengiakan lirih, ia rada kejut, sangkanya sebagai murid Thay-si Lojin tentu ilmu silatnya lihay luar biasa, siapa nyana beliau ternyata. tak bisa main silat. "Sekarang kau boleh keluar, Ham Gwat tentu sedang tunggu kau diluar pintu." Thian-hi maklum segera ia bangkit dan mohon diri lalu keluar dari kamar batu. Benar-benar juga Ham Gwat sedang menunggu dirinya diluar, begitu melihat Thian-hi keluar segera ia bertanya. "Kau kembali dulu mengobati luka-lukamu, setelah sembuh segera menyusul ke Siong- san!" Thian-hi mengiakan sambil menyatakan terima kasih. Ham Gwat berdiri menanti sambil mengawasinya tajam, entah mengapa Thian-hi tak berani adu pandang, cepat ia menunduk menghindari pandangan orang. Terpancar sinar aneh dari biji mata Ham Gwat, kelihatan sorot matanya itu rada mengandung kekecewaan, akhirnya mulutnya berkata lirih. "Tak perlu sungkan, kau pun pernah menolong aku!" Terketuk sanubari Thian-hi, iapun merasakan kemana juntrungan pandangan Ham Gwat tadi, ia dapat membayangkan apa yang sedang berpikir dalam benak Ham Gwat, tapi bisakah aku memberitahu kepadanya? Tak lama kemudian ia sudah berada di kamar batunya, Ham Gwat berdiri sebentar lalu pamit dan meninggalkannya. Perasaan Thian-hi menjadi hambar, duduk bersimpuh pelan-pelan ia kerahkan Pan-yok-hian- kang untuk mengobati luka-luka dalamnya. Sekejap saja tiga hari telah berlalu, kesehatan Hun Thian-hi sudah pulih sebagian besar, selama tiga hari ini Ham Gwat entah kemana tidak pernah muncul menemui dirinya, mungkin ada keperluan menempuh perjalanan ke tempat yang jauh. Thian-hi tanya pada Siau Hong, kelihatannya Siau Hong rada berat menerangkan, katanya Ham Gwat sudah berpesan supaya dia tidak banyak bicara soal dirinya. Fajar telah menyingsing, sang surya menyinarkan semarak merah bercahaya. Waktu Hun Thian-hi bangun tidur, datanglah Siau Hong ke dalam kamarnya, kiranya ia sudah mempersiapkan hidangan, Setelah makan sekadarnya Thian-hi berkata. "Siau Hong, aku ingin hari ini juga berangkat. ingin aku ketemu Siociamu untuk nyatakan terima kasihku padanya!" Siau Hong tertawa, ujarnya. "Siocia sudah tahu, beliau suruh aku memberitahu pada kau tak usah banyak sungkan lagi, Kim-ji (burung rajawali) sudah menunggu di depan pintu. kau naik burung menuju ke Siong-san, kelak masih ada kesempatan bertemu!" Hun Thian-hi terlongong, mulutnya sudah terbuka tapi tak kuasa berbicara. Kata Siau Hong pula. "Sudah jangan melamun, kata-kata Siocio tidak akan salah." Mendelu rasa hati Thian-hi, pikirnya; kenapa Ham Gwat berlaku demikian terhadap diriku, si orang tua itu mengatakan bahwa dia sangat baik terhadapku. memang sikap dan lakunya sangat baik terhadap aku, namun kenapa ia menghindari pertemuan dengan aku, sebelum aku berangkat untuk meninggalkan dia kenapa tidak mau datang, mungkinkah ada suatu persoalan yang tidak disenangi akan diriku? Demikian hatinya mereka-reka, akhirnya ia tertunduk. Melihat keadaan Thian-hi berkilat biji mata Siau Hong, matanya melirik keluar lalu pelan-pelan maju mendekat dan katanya lirih. "Bodoh. Kelakuan Siocia ini adalah demi kebaikanmu, hayo berangkat, jangan melamun lagi!" Tergetar sanubari Thian-hi, dengan kaget ia angkat kepala mengawasi Siau Hong. Siau Hong kegelian menutup mulut terus berlari keluar. Thian-hi menjublek lagi ditempatnya, dia masih belum paham kemana maksud juntrungan kata- kata Siau Hong tadi, tapi ia percaya bahwa Siau Hong tidak akan ngapusi dirinya, akhirnya bergegas ia memburu keluar, terpikir olehnya Kim-ji pernah memancing Bu-bing Loni sehingga terluka parah oleh pedangnya, sekarang aku harus meniliknya dan melihat bagaimana keadaan sebenar-benarnya. Diambang pintu kamar batu. Benar-benar juga berdiri seekor burung rajawali besar. Tingginya melebihi badan manusia, matanya merah berkilat, lehernya berkilau mas membundar, sekilas pandang perawakannya memang sangat angker dan gagah. Melihat Thian-hi sudah keluar segera Siau Hong berlari datang, serunya. "Coba kau lihat, bagaimana Kim-ji ini?" "Sangat gagah dan kereng, seperti seorang jendral saja layaknya!" Siau Hong senang dan tertawa geli, dengan tangannya ia peluk leher burung rajawali serta katanya. "inilah orang yang tempo hari kau tolong itu, dia adalah sahabat karib Siocia kami, bawalah dia pergi ke Siong-san!" Rajawali itu berpaling dan memandang tajam kepada Hun Thian-hi, mulutnya bersuara rendah. Siau Hong menggerakkan tangan minta Hun Thian-hi maju mendekat, dengan tertawa ia berkata sambil mengelus-elus bulu leher sang burung. "Terima kasih akan pertolonganmu kepadaku tempo hari!" Burung itu berpekik keras sekali lalu manggut-manggut. kedua sayapnya dipentang lebar. Terlihat oleh Thian-hi sepasang sayap burung itu terbentang ada dua tombak lebih, diam-diam ia kejut dan girang. Kata Siau Hong. "Dia minta kau lekas naik, cepatlah kau berangkat saja." Setelah berada dipunggung burung rajawaJi, Thian-hi mengapai tangan kepada Siau Hong serunya. "Selamat bertemu!" Bab 22 Siau Hong membalas lambaian tangan. serunya. "Berangkatlah, mungkin bersama Siocia kami juga akan menyusul kesana, hati-hatilah kau, Tok-sim-sin-mo sangat jahat." Thian-hi manggut-manggut, sementara itu burung rajawali sudah mengembangkan sayapnya terus melambung ke tengah udara, sebentar saja mereka sudah berada ditengah angkasa menuju ke Siong-san. Ooo)*(ooO Senjakala tiba, Thian-hi pun tiba di Siong-san, burung rajawali segera menukik turun dan hinggap di atas puncak yang berdekatan. Setelah turun dan menginjak tanah Thian-hi menepuk leher Kim-ji serta berkata. "Kim-ji! Silakan kau pulang, sampaikan salam hormat dan terima kasih pada majikanmu!" Kim-ji berbunyi sekali sambii manggut-manggut terus terbang kembali dan menghilang. Setelah Kim-ji tidak kelihatan lagi, Thian-hi celingukan memandang sekitarnya, lalu pelan-pelan ia menuju ke Siau-lim-si. Tempo hari ia pernah ikut Hwesio jenaka kemari tapi diwaktu malam. keadaan disini tidak diingat terlalu jelas, maka sekarang dia harus main selidik dan celingukan mencari jalan lalu pelan-pelan menuju ke Siau-lim-si. *** Setelah melompati pagar tembok Hun Thian-hi melesat naik sembunyi di atas puncak pohon, dengan ke jelian matanya ia mengawasi keempat penjuru, rada jauh di depan sana terdapat sebidang hutan bambu, tergerak hati Thian-hi, pikirnya. "Bukankah disana tempat tinggal Thian- cwan Taysu? Thian-hi berlaku sangat hati-hati, setelah melihat sekelilingnya sunyi sepi tanpa ayal segera ia melesat ke arah hutan bambu sana, karena sekelilingnya tidak terjaga, maka tubuhnya seenteng burung langsung meluncur tiba dan hinggap di atas pucuk sebatang bambu. Waktu ia menunduk memandang kebawah, tampak olehnya seorang Hwesio tengah duduk bersimpuh berhadapan dengan seorang tua bermata putih kemilau, itulah Thian-cwan Taysu dan Tok-sim-sin-mo dua orang. Terdengar Tok-sim-sin-mo sedang berkata pada Than-cwan Taysu. "Hun Thian-hi segera bakal tiba. Sangat kebetulan kedatangannya, sekaligus aku bisa menumpasnya bersama Siau-lim kalian." Lalu ia terkekeh-kekeh dingin. Thian-cwan Taysu pejamkan mata, sesaat baru bicara. "Mungkin tidak begitu gampang, kunasehati pada kau supaya cepat merubah haluan dan lakukan perhitungan lain, ketahuilah I- lwe-tok-kun dia tidak akan membiarkan cita-citamu ini terlaksana seenak udelmu sendiri." Tok-sim-sin-mo menjengek hidung, ancamnya. "Bila dia berani masuk ke Tionggoan, mungkin datangnya hidup tapi takkan dapat pulang dengan jiwa masih hidup ke Thian-lam." Thian-cwan duduk tenang tak menghiraukan dia lagi. Dengan pandangan dingin berkilat Tok-sim-sin-mo pandang Thian-cwan Taysu lekat-lekat, sekonyong-konyong ia menengadah menyapu pandang ke pucuk bambu. Berdetak jantung Thian-hi, pikirnya. "Hati-hati jangan sampai konangan olehnya!" Ia menahan napas, otaknya harus bekerja cepat mencari cara untuk bertindak nanti. Tok-sim-sin-mo menunduk lagi. Hun Thian-hi celingukan ke sekelilingnya, tak terlihat sebuah bayangan orangpun, sebuah pikiran mendadak berkelebat dalam benaknya. "Dalam keadaan sekarang ini, Tok-sim-sin-mo hanya. seorang diri, kenapa aku tidak turun saja berhadapan secara langsung? Dengan kekuatan dua orang untuk membekuk Tok-sim-sin-mo rasanya segampang membalikkan telapak tangan!" Karena dilandasi pikirannya ini, segera tubuhnya melejit maju lalu melayang turun dengan ringan ke bawah. Begitu mendengar kesiur angin lambaian baju Hun Thian-hi, sebat sekali kelihatan Tok-sim-sin- mo melejit mundur dua tombak, sepasang matanya berkilat mengawasi Hun Thian-hi. Terpancar rasa heran yang aneh dari sorot matanya itu. Begitu hinggap di tanah Hun Thian-hi tersenyum simpul, ia celingukan ke kanan kiri lalu maju dua langkah di hadapan Thian-cwan serta memberi hormat membungkuk badan. "Wanpwe Hun Thian-hi menghadap pada Taysu!" Thian-cwan Taysu juga membuka mata mengawasi dirinya dengan heran, katanya. "Hun-sicu apakah baik selama berpisah ini?" "Terima kasih akan perhatian Taysu. Kudengar katanya Tok-sim-sin-mo berada disini maka Wanpwe juga menyusulnya kemari!" Dengan sikap dingin mulut Tok-sim-sin-mo mengulum seringai sadis, katanya. "Ternyata kau berani datang seorang diri. Besar benar-benar nyalimu!" Hun Thian-hi berpaling memandang ke arah Tok-sim-sin-mo sekejap lalu berkata pula kepada Thian-cwan Taysu. "Taysu! Tok-sim-sin-mo si durjana ini jangan diberi pengampunan lagi. kenapa tidak dilenyapkan saja!" Thian-cwan Taysu menghela napas panjang, tak bicara. Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, serunya. "Kau ingin mengeroyok aku bersama dia bukan? Kalau begitu salah besar perhitunganmu, ketahuilah ilmu silatnya sudah punah sejak lama!" Tersentak jantung Hun Thian-hi. Terdengar Tok-sim-sin-mo menjengek pula. "Kedatanganmu hari ini justru menempuh jalan kematian!" Baru habis ucapannya seekor burung dara melayang turun dari angkasa terus hinggap di tangan Tok-sim-sin-mo. Berubah air muka Tok-sim-sin-mo, dari kaki burung ia mengambil selarik surat terus dibaca, tampak berubah hebat air mukanya, desisnya dengan mata mendelik. "Kiranya begitu, jadi kau sudah berserikat bersama I-lwe-tok-kun." Timbul rasa heran dalam benak Thian-hi, kenapa Tok-sim-sin-mo mengajukan pertanyaannya ini, sepintas lalu pikirannya bekerja, lantas ia menjadi paham. "Mungkin Ang-hwat-lo-mo dan I- lwe-tok-kun sudah meluruk bersama ke Tionggoan, dan mungkin juga sedang menempuh perjalanan kesini sehingga dia menuduh diriku punya intrik dengan mereka." Tengah mereka bersitegang leher berdiri diam berhadapan, sekonyong-konyong sesosok bayangan merah melambung datang memasuki gerombol hutam bambu, begitu hinggap di tanah baru kelihatan jelas, itulah Ang-hwat-lo-mo adanya. Di belakangnya menguntit seorang tua bertubuh kecil kurus. Begitu hinggap di tanah mereka berpaling ke kanan kiri, akhirnya pandangan Ang-hwat-lo-mo berhenti pada tubuh Hun Thian-hi. Dari belakang dibalik rumpun bambu sana terdengar derap lirih orang banyak. tampak Bing- tiong-mo-tho Su-kong Ko dan Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong dan lain-lain beranjak masuk. Ada dua diantaranya tidak dikenal oleh Thian-hi. Mereka berdiri siap siaga. Terdengar Ang-hwat-lo-mo berkakakan dua kali sikapnya sangat congkak, setelah berpaling ke arah Thian-cwan Taysu ia bicara pada Hun Thian-hi. "Berani kau tidak menyusul ke Thian-lam. Ketahuilah gurumu Lam-siau Kongsun Hong sudah berada di tempat kediamanku, kenapa kau tidak mau datang?" Tok-sim-sin-mo tertawa lebar, jengeknya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo. "Tak kunyana kau bisa datang begitu cepat!" "Benar-benar aku telah datang, dan hanya membawa Seorang sahabat belaka." Sambung Ang- hwa-lo-mo dengan sombong sambil menunjuk orang kate di belakangnya, serunya pula. "Mari kuperkenalKan, inilah Ting-hou-it-koay Lenghou Khek!" Thian-hi mengamati si orang tua kate, dalam hati ia berkata. "Kiranya orang ini adalah ayah Kim-i Kongcu yang kubunuh Sing-hou-it-koay, entah mengapa selama ini dia tidak meluruk mencari diriku." Tok-sim-sin-mo mandah tersenyum ejek, tanpa bicara ia maju menghampiri kehadapan Thian- cwan Taysu terus duduk. Ang-hwat-lo-mo juga tertawa-tawa, dengan ulapan tangan ia mempersilakan Sing-hou-it-koay duduk, sedang dia sendiri juga lantas duduk. Melihat Tok-sim-sin-mo tetap berdiam diri akhirnya Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa. serunya. "Bagaimana! Apakah si tua dari Si-gwa-sam-mo menjadi gentar dan ketakutan terhadap diriku?" ia bergelak tawa pula!" Tok-sim-sin-mo masih menyeringai iblis saja tanpa memberi reaksi. Sungguh hatinya murka sekali akan sikap takabur Ang-hwat-lo-mo, namun ia punya perhitungan dalam situasi seperti sekarang ia harus bertindak hati-hati. terpaksa bersabar ulur waktu dan mencari jalan yang lebih mantap dan matang. Menghadapi sikap tenang Tok-sim-sin-mo rada kejut perasaan Ang-hwat-lo-mo, bila Tok-sim- sin-mo mengumbar nafsu amarahnya, dia akan merasa terhibur dan senang malah, karena itu menandakan bahwa pihak lawan tiada persiapan. tapi sekarang Tok-sim-sin-mo bersikap diam menanti dan tidak banyak bicara. terang kalau punya persiapan yang sudah matang, jangan karena urusan kecil melalaikan tugas besar? Demikian pedoman kerja pihak lawan. Maka dengan cermat ia menyelidik keadaan empat penjuru, tapi tiada persiapan apa-apa. Sekonyong-konyong tampak pula berkelebat dua sosok bayangan hitam yang melesat masuk ke dalam hutan bambu ini. waktu Thian-hi angkat kepala yang datang ini kiranya adalah salah seorang dari Tiang-pek-siang-ki yaitu Ciang-ho-it-koay Cukat Tam, seorang yang lain laki-laki tua beruban yang mengenakan juhah kuning. Ang-hwat-lo-mo terbahak-bahak. serunya. "Sungguh hari ini sangat beruntung. Tiang-pek- siang-ki sudi berkunjung datang bersama, hari ini Siau-lim-si bakal menjadi tempat kumpulan tokoh-tokoh kosen yang cukup ramai dan menyenangkan!" kelihatan betapa rasa girang hatinya melihat kedatangan kedua orang tokoh dari Tiang-pek-san ini, entah apa tujuan kedatangan kedua orang ini? Menghadapi dirinya atau mencari perkara kepada Tok-sim-sin-mo? Tanpa merasa Hun Thian-hi melirik lebih tajam ke arah orang tua berjubah kuning, kiranya orang tua ini bukan lain adalah Ce-han-it-ki, It-ki dan It-koay sama muncul di tempat ini, entah apa tujuannya. Melayangkan pandangan matanya Ce-han-it-ki membuka suara. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kedatangan kami hanya ingin ikut menyelesaikan perkara di Siau-lim-si sini, tentu Tok-sim-sin-mo sudah berada disini bukan?" Sementara itu Ciang-ho-it-koay juga sudah melihat kehadiran Hun Thian-hi. mulutnya menggerung gusar, matanya mendelik besar ke arah Thian-hi. mukanya diliputi hawa membunuh. dengan lirikan tajam iapun melerok ke arah Ang-hwat-lo-mo. Tok-sim-sin-mo masih tetap bersikap tenang tanpa peduli percakapan dan kedatangan lain orang. Adalah Ang-hwat-lo-mo yang bersorak dalam hati begitu mendengar Ce-han-it-ki hendak mencari Tok-sim-sin-mo, musuh yang utama justru adalah ToK-sim-sin-mo, maka segera ia bersuara menuding kepada Tok-Sim-sin-mo. "Tuan inilah tertua dari Si-gwa-sam-mo itu." Dengan cermat Ce-han-it-ki mengawasi Tok-sim-sin-mo. mulutnya terkancing tak bersuara. "Bocah keparat!" Seru Ciang-ho-it-koay kepada Hun Thian-hi. "Panjang benar-benar nyawamu, belum mampus kau ya! Hari ini aku tidak akan memberi ampun lagi pada kau. setelah urusan disini selesai, kuharap kau jangan lari" Lalu ia berpaling ke arah Ang-hwat-lo-mo dan sambungnya. "Demikian juga kau!" Melihat sikap Tok-sim-sin-mo yang jumawa itu mendengus berang Ce-han-it-ki, kakinya beranjak menghampiri ke belakang Tok-sim-sin-mo. Dengan gaya tetap duduk bersila mendadak tubuh Tok-sim-sin-mo mencelat naik ke tengah udara, berhenti sebentar seperti mengembang lalu terbang berputar setengah lingkaran, menghindar diri bila Ce-han-it-ki menyergap dari belakang. Keruan seluruh hadirin melengak dibuatnya, betapa mereka takkan terkejut melihat pertunjukan Cin-kang Leng-kong-pau-si maha lihay dan menakjubkan itu, seluruh hadirin adalah tokoh-tokoh kosen yang bisa juga mempertunjukan Ginkang macam begitu, sulitnya untuk berhenti mengembang sebentar ditengah udara itulah yang tiada seorangpun mampu melaksanakan, bukanlah tidak beralasan bila mereka sama terkejut. Dari luar lantas berkelebat masuk pula sebuah bayangan orang, yang datang ini adalah Pek Si- kiat. Begitu tiba sepasang matanya segera menyapu selidik keseluruh gelanggang, melihat Hun Thian-hi juga sudah hadir, kelihatan ia rada terkejut. Melihat Pek Si-kiat juga datang sungguh girang Thian-hi bukar main, pihak sendiri terhitung tambah seorang tenaga yang sangat dapat diandalkan. segera ia memburu maju serta menyapa. "Paman Pek, kau baik!" Pek Si-kiat manggut-manggut. sahutnya. "Sungguh tidak nyana kaupun sudah tiba, aku bergegas menyusul kemari dari barat daya. sangkaku bisa datang lebih cepat dari kedatanganmu, siapa duga aku terlambat satu tindak!" Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay rada asing terhadap masing-masing Pek Si-kiat dan Tok-sim- sin-mo, dengan penuh rasa curiga dan tanda tanya mereka awasi dua orang tokoh dari Si-gwa-ji- mo bergaantian. mereka tidak tahu akan hubungan dua orang ini. Melihat kehadiran Pek Si-kiat, Tok-sim-sin-mo bangkit berdiri, serunya kalem. "Memang kedatanganmu sedang kutunggu!" "Masih ada aku seorang lagi!" Terdengar orang berkata dingin dari luar hutan dalam kejap lain ia sudah meluncur turun dan hinggap di tanah. Pendatang baru ini bukan lain adalah Situa Pelita. Thian-hi kaget dibuatnya, kenapa hari ini seluruh tokoh-tokoh lihay sama meluruk datang. Situa Pelita mendelik dan berludah ke arah Ang-hwat-lo-mo, pelan-pelan ia memutar tubuh lalu berkata kepada Tok-sim-sin-mo. "Kau memaksa dan menindas seluruh golongan dan aliran persilatan di Tionggoan menutup pintu dan menyimpan pedang, sekarang kau pun main kekerasan pula terhadap Siau-lim, selama kaum gagah masih hidup jangan harap kau dapat melaksanakan angan2 gilamu, seluruh kaum persilatan akan bangkit dan menumpas kau. Sebentar lagi Ce-hun dan Hoan-hu juga akan meluruk kemari untuk membuat perhitungan pada kau, jangan kau takabur dan bersimaharaja disini!" Tok-sim-sim-mo memicingkan mata, dengan mengejek dingin ia pandang Situa Pelita, bentaknya. "Besar benar-benar bualanmu, siapa kau?" Malu dan murka pula hati Situa Pelita, di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh kosen Tok-sim- sin-mo bersikap begitu merendahkan terhadap dirinya, sambil membanting kaki ia menggerung gusar. serunya. "Kau dibekap lima puluh tahun oleh Ka-yap Cuncia, sudah tentu kau tidak kenal aku." Pelan-pelan Tok-sim-sin-mo duduk kembali, katanya kalem. "Kalau begitu, kunanti setelah bantuan kalian datang semua baru bicara lagi!" Situa Pelita mengalihkan pandangan matanya yang berapi-api ke arah Ang-hwat-lo-mo. Ce-han-it-ki berpaling ke arah Cukat Tam, ujarnya. "Begitupun baik!" Bersama Cukat Tam mereka duduk berendeng. Baru sekarang Thian-cwan Taysu membuka mata, dengan pandangan kalem ia awasi seluruh hadirin satu persatu, akhirnya ia menghela napas panjang. "Kenapa Taysu menghela napas!" Tanya Situa Pelita. Thian-cwan Taysu menunduk, sesaat kemudian baru bicara. "Jalan suci cukup panjang, akal iblis harus dijaga, para sicu harus hati-hati, janganlah sampai diperalat oleh musuh." Thian-hi pun merasakan akan situasi yang terpecah belah diantara sekian banyak hadirin ini, hati masing-masing punya rasa permusuhan terhadap yang lain, terutama Ciang-ho-it-koay dan si Tua Pelita punya pertikaian sama dirinya, entah apa yang bakal mereka lakukan terhadap dirinya sebelum Ce-hun dan Hoan-hu keburu datang, demikian juga rasa permusuhan mereka terhadap Ang-hwat-lo-mo. Terdengar Ang-hwat-lo-mo tertawa besar, serunya. "Harap kutanya pada kalian, apa tujuan kita kemari?" Bagi golongan putih semua sama pasang kuping dan meningkatkan kewaspadaan mendengar pertanyaannya itu, mereka gentar dan rada jeri menghadapi iblis ini, semua orang tahu bahwa orang ini adalah iblis laknat yang harus ditumpas dari percaturan hidup manusia, entah mengapa hari ini mendadak mengajukan pertanyaan ini? Entah apa tujuannya! Thian-cwan Taysu menanggapi dengan helaan napas panjang lagi, matanya dipejamkan. Kata Ang-hwat-lo-mo pula. "Kita jangan mengulur waktu lagi, dosa2 Tok-sim-sin-mo tidak terampun lagi, demikian juga aku punya pertikaian terhadap kalian, tapi kenapa sekarang harus persoalkan pertikaian kecil ini, yang penting kita harus bersatu lebih dulu menumpas kelaknatan sepak terjang Tok-sim-sin-mo, soal urusan kita marilah kesampingkan dulu!" Mendengar propokasi ini Tok-sim-sin-mo tidak bisa tinggal diam, segera iapun menimbrung. "Kau sangka aku gentar terhadap kalian semua!" Lalu ia mendengus, pelan-pelan bangkit sambil mendelik ke arah seluruh hadirin. Hati Ciang-ho-it-koay menjadi jeri, serunya. "Kalau begitu mari kita sama-sama menumpas Tok- sim-sin-mo lebih dulu!" Situasi menjadi tegang, semua orang saling pandang. Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat mundur ke samping, mereka insaf bahwa Tok-sim-sin-mo bukanlah kaum keroco yang mudah ditundukkan. Terutama senjata Pek-tok-hek-liong-tingnya itu sulitlah dihadapi, mana boleh bertindak begitu ceroboh. Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, sambil tertawa sinis ia pandang Thian-hi berdua lalu melambaikan tangau. serunya. "Kalian sudahkah pernah dengar nama Pek-tok-hek-liong-ting?" Seiring dengan ucapannya ini dari empat penjuru segera terpancang puluhan laras Pek-tok-hek- liong-ting ke arah seluruh hadirin. Keruan berubah pucat muka seluruh hadirin, mereka adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi adalah mustahil bila tidak mengenal asal usul kehebatan Pek-tok-hek-liong-ting. Tok-sim-sin-mo menyeringai lagi. ujarnya. "Kalian sendiri agaknya sudah bosan hidup, janganlah salahkan aku bila aku turun tangan kejam pada kalian. Tapi aku tidak akan turun tangan sekarang, tadi kudengar Ce-hun dan Hoan-hu juga akan datang, baiklah aku tunggu kedatangan mereka baru bekerja!" Meski Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat sudah mundur disamping, namun merekapun masuk dalam kepungan. Diam-diam ia menerawang situasi dalam gelanggang, ia maklum untuk melarikan diri sendiri adalah tidak sulit bagi dirinya, apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek sekarang sudah dapat diselami dalam sanubarinya, petunjuk si orang tua itu sungguh sangat berharga sehingga ia dapat menembus kesukaran yang dialami dalam latihannya. Hanya latihan prakteknya saja memang belum sempurna dan matang. Para hadirin terdiri dari golongan sesat dan aliran lurus, kedua belah pihak sama punya rasa permusuhan yang menghayati sanubari masing-masing, mana mungkin dia turun tangan menolong mereka? Sedang Ang-hwat-lo-mo adalah tokoh kosen dari golongan sesat. Meski dalam nada perkataan Tok-sim-sin-mo tadi tidak menaruh sebelah mata pada dirinya, tapi Thian-hi jelas mengetahui bahwa Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh sembarang tokoh yang boleh dipandang ringan, entah mengapa Tok-sim-sin-mo begitu menghina dan memandangnya rendah. Tapi dapatkah dia tidak menolongnya? Bukan saja dia sendiri yang harus lolos, bahwa seluruhnya hadirin jelas bersikap memusuhi Tok-sim-sin-mo, bila mereka semua roboh Siau-lim-si pun bakal runtuh secara total dapatkah aku menguasai situasi? Hatinya sedang bimbang, seluruh hadirin tiada satu pun yang buka suara, seolah-olah mereka sedang dicekam tekanan batin akan ancaman kematian yang sedang dihadapi ini, begitu Ce-hun dan Hoan-hu datang, semua orang tidak akan bisa hidup lebih lama lagi. Sang waktu berjalan terus, hati masing-masing tengah memikirkan urusan sendiri, sudah tentu apa yang mereka pikirkan satu sama lain berlainan. Tok-sim-sin-mo mengulum senyum sinis, biji matanya yang memutih berkilat dengan dingin memandangi seluruh hadirin, begitu Ce-hun berdua tiba. segera ia akan bikin mampus semua orang yang hadir disini. Mata Hun Thian-hi berkilat, akhirnya sambil kertak gigi ia membuka suara kepada Tok-sim-sin- mo. "Kuharap sementara ini jangan kau terlalu takabur, tempo hari aku tidak berbuat kelebihan terhadap kau karena Wi-thian-cit-ciat-sek memang belum sempurna kulatih, sekarang, apakah kau ingin coba perbawa Wi-thian-cit-ciat-sek yang tulen?" Thian-hi maklum untuk meloloskan diri dari Kepungan adalah mudah. Tujuan Tok-sim-sin-mo adalah menumpas seluruh hddirin lalu menghadapi dirinya seorang, bagi dirinya untuk mengatasi situasi gelanggang supaya semua orang dapat menyelamatkan diri adalah terlalu sulit dan berat, tapi aku sudah hadir dan ikut terjun dalam gelanggang yang genting ini, masa aku harus mundur dan ragu-ragu, terpaksa harus kucoba lebih dulu. "Anggapmu dengan kekuatanmu seorang dapat menandingi kakuatan Pek-tok-hek-liong-ting?" Demikian jengek Tok-sim-sin-mo, tiba-tiba tangannya bertepuk lagi, dari empat penjuru muncul pula puluhan laras Pek-tok-Hek-liong-ting. Tercekat hati Thian-hi, tanpa ayal segera tubuhnya mencelat terbang lempang ke depan, sembari melesat terbang ini, tangannya meraih keluar serulingnya terus menerjang keluar. Tok-sim-sin-mo berjingkrak gusar. tangan kanan segera diangkat tinggi, seketika puluhan laras Pek-tok-hek-liong-ting terpancang ke arah Hun Thian-hi, dimana terdengar pegas2 berbunyi, udara seketika diliputi hujan Hek-liong-ting yang menerjang bersama ke arah Thian-hi. Pek-tok-hek-liong-ting merupakan senjata rahasia yang paling ganas dan jahat dikalangan persilatan bukan saja perbawanya sangat besar, di bawah ciptaan seorang ahli sehingga dia dapat meluncur dengan kekuatan deras yang hebat sekali, apalagi setiap pakunya sudah direndam racun berbisa yang sangat jahat, begitu kena kulit lantas melepuh, meresap ke dalam darah jiwa segera bakal melayang. Seluruh hadirin sama merasa kuatir bagi Hun Thian-hi, meskipun diantara mereka ada yang berasa benci dan ingin membunuhnya, tapi serta melihat sepak terjangnya sekarang tiada yang tidak merasa kagum dan memuji dalam hati. Sungguh mereka akan merasa sayang dan gegetun bila seumpama dia berkorban demi keselamatan lain orang, bila diantara mereka ada yang memiliki kepandaian setinggi dan setingkat dengan Hun Thian-hi belum tentu mereka rela untuk berkorban diri demi keselamatan orang lain menghadapi keganasan Pek-tok-hek-liong-ting seorang diri. Demikianlah sambil mengeluarkan suara desisan yang ramai seluruh paku2 naga hitam yang tak terhitung banyaknya itu serabutan saling samber ditengah udara. Tampak tubuh Hun Thian-hi jumpalitan setengah lingkaran ditengah udara, mulutnya bersuit panjang bagai pekik naga yang marah mengalun tinggi menembus angkasa. Bersama dengan itu Wi-thian-cit-ciat-sek telah dikembangkan. Dimana seruling pualamnya bergerak seketika terbit gelambung kabut memutih mengepul kesekitar gelanggang, kelihatan batang seruling itu rada tergetar, diantara pergerakan yang beberapa mili itu saja ia sudah melancarkan tenaga hebat yang tak terbendung. tujuh jalur gelombang tenaga dengan kekuatan berkisar yang dahsyat memberondong keluar dari tujuh jurusan yang berlainan, berbareng menyambut maju ke arah Hei-liong-ting yang beterbangan diudara. Para tokoh-tokoh kosen yang hadir semua menjadi melongo dan menahan napas, mereka manjadi kesima dan seperti lupa diri menyaksikan pertempuran hebat yang tiada bandingannya di seluruh dunia persilatan. Seperti telah diketahui bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek adalah ilmu pedang tingkat tinggi yang tiada taranya yang diagungkan dalam dunia persilatan, bersama Hui-sim-kiam-hoat mempunyai perbawa dan menjunjung keangkerannya masing-masing, tapi dia menpunyai bidang yang lain dari Hui-sim-kiam-hoat itu yaitu cara Kui-sim-kiam-hoat melancarkan tenaganya memerlukan gerakan besar, justru berlainan dengan Wi-thian-cit-ciat-sek. cukup dengan gerakan yang beberapa mili meter belaka sudah dapat mengembangkan tenaga atau melancarkan kekuatan dahsyat yang tiada bekas dan tidak kelihatan. Begitu kekuatan dua rangsakan yang berlawanan saling bentrok, Pek-tok-hek-liong-ting kepergok oleh perbawa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek, daya luncurannya yang cepat dan hebat itu seketika menjadi merandek dan lembek tenaganya. Begitu Hun Thian-hi kerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya, seluruh Pek-tok-hek-liong-ting seperti berhenti ditengah udara, akhirnya bergerak berpular menurut tuntunan tenaga gerakan seruling Hun Thian-hi terus meluncur keluar dan berjatuhan tercerai berai diluar hutan. Diam-diam Hun Thian-hi bersyukur, ia sendiri menjadi sangsi bahwa dirinya sekarang telah membekal Lwekang yang begitu dahsyat. Sebaliknya mata Tok-sim-sin-mo memancarkan sinar aneh yang menakutkan dengan dada berkembang kempis ia menatap Hun Thian-hi lekat-lekat. Dari iuar hutan tampak melangkah masuk Ce-hun Totiang dan Hoan-hu Popo. dibelakangnya mengintil pula Bun Cu-giok dan Ciok Yan, melihat keadaan situasi gelanggang, seketika mereka pun melengak dan mencelos Setelah menyapu pandang seluruh hadirin berserulah Tok-sim-sin-mo. "Penyelesaian urusan hari ini baiklah aku tunda sementara waktu, biar kita selesaikan lain kesempatan saja, sekarang aku permisi lebih dahulu!" Lalu ia pimpin Lam-bing-it-hiong dan lain-lain meninggalkan hutan bambu itu. "Nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar Situa Pelita dan Ciang-ho-it-koay membentak bersama sebelum Tok-sim-sin-mo dan lain-lain tinggal pergi. Tok-sim-sin-mo membalikkan tubuh, ganti berganti ia pandang kedua orang ini sambil memicingkan matanya. Seru Ci-ing-ho-it-koay Cukat Tam. "Anggapmu hari ini dapat tinggal pergi sesuka hatimu?" Tok-sim-sin-mo terkekeh dingin, katanya memandang ke arah Hun Thian-hi. "Kekuatan Pek- tok-hek-liong-ting tadi kalian sudah menyaksikan, diantara Kalian siapa lagi yang mampu bertahan dari serangannya?" Lalu ia menambahkan kepada Hun Thian-hi. "Jangan lupa, Sutouw Ci-ko sudah minum obat racunku!" Lenyap suaranya tubuhnya pun berkelebat keluar menghilang. Mendengar ucapan Tok-sim-sin-mo sebelum berlalu itu Pek Si-kiat menjadi tertegun. serunya kepada Thian-hi. "Apa benar-benar ucapannya?" Pelan-pelan Hun Thian-hi manggut-manggut, ia tidak bersuara lagi. Seluruh pandangan hadirin tertuju ke arah Hun Thian-hi, semua adalah tokob2 kosen tapi dalam hati mereka maklum, bahwa tiada diantara mereka yang kuat melawan Hun Thian-hi lagi. Pek Si-kiat menjadi gugup serunya pula. "Kalau begitu mari lekas kita kejar!" Hun Thian-hi hanya tersenyum tawar, matanya memandang pada para hadirin. Situa Pelita segera menjengek dingin. "Ingin lari segampang itu kau?" Pek Si-kiat menggeram gusar, matanya mendelik, semprotnya kepada Situa Pelita. "Sombong benar-benar kau. mengandal kau seorang berani menahan kami?" Saking murka Situa Pelita tergellak tawa. serunya. "Hun Thian-hi berbuat dosa dan durhaka, dosa2nya tak berampun lagi, kau sendiri jiwamu belum tentu dapat kau selamatkan berani kau hendak melindungi orang lain?" Bertaut alis Pek Si-kiat, bentaknya. "Jikalau Hun Thjan-hi tadi tidak mengunjuk kepandaiannya, sejak tadi kalian sudah mampus di bawah serangan Pek-tok-hek-liong-ting sekarang berani kau mengumbar mulut!" Seketika Situa Pelita terbungkam seribu basa, memang kenyataan ucapan Pek Si-kiat dan tidak dapat dibantah lagi, betapapun lincah lidahnya pandai bermain sekarang dia terbungkam mulutnya. Thian-cwan Taysu pelan-pelan bangit berdiri, katanya. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kalian harus tahu bahwa kematian Bu- tong Ciangbunjin Giok-yap Cinjin bukan terbunuh oleh Hun Thian-hi, untuk hal ini aku berani mengatas nama seluruh keagungan nama Siau-lim-pay sebagai jaminan, bila urusan ini masih berkepanjangan biar akulah yang bertanggung jawab." Ucapan Thian-cwan Taysu ini seketika membuat seluruh hadirin tertegun kaget. Demikian juga Hun Thian-hi tidak kepalang kejutnya, sungguh haru dan terima kasih yang tak terhingga kepada padri agung ini. Sungguh tidak habis herannya mengapa Thian-cwan Taysu mau menjamin akan kesucian dirinya, sebagai bekas Ciangbunjin dari Siau-lim-pay yang terdahulu, ucapannya dapatlah mewakili nama seluruh partai Siau-lim. Ucapannya ini tak perlu disangsikan lagi sekaligus akan mencuci bersih segala dosa2 berlimpah yang dituduhkan atas dirinya. Tapi Ang-hwat-lo-mo memang licik segera ia coba mendebat. "Tapi ada orang melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Hun Thian-hilah yang membunuh Gjok-yap. Coba kau jelaskan?" Dasar licin ia mempunyai perhituagan demi keuntungannya sendiri. Bahwa Hun Than-hi rela mengabaikan dendam pribadi dan mengunjuk kepandaian yang tiada taranya demi menolong jiwa seluruh hadirin tadi, meski pun Lam-siau Kongsun Hong berada dicengkeraman tangannya. Thian-hi pun takkan mau diperas dan diancam oleh dirinya. Apalagi kepandaian silat Hun Thian-hi sudah begitu hebat, beberapa waktu lagi tentu ilmu silatnya bakal lebih maju, bila sekarang tidak mencari kesempatan untuk melenyapkan jiwanya, kelak mungkin merupakan lawan terberat yang bakal merugikan kepentingannya. Sekarang perhatian seluruh hadirin terpusatkaa pada Thian-cwan Taysu. terdengar sipadri agung inj menjawab pelan-pelan. "Itu hanya sekedar permainan Mo-bin Suseng belaka, kalian semua harus percaya akan ucapanku!" "Ucapan Thian-cwan Taysu selamanya memang benar-benar," Demikian jengek Ang-hwat-lo- mo. "Sebagai tokoh yang diagungkan kaum persilatan sudah pantas kalau kami percaya setiap nasehatnya. Tapi kami pun harus sadar, bahwa ilmu silatnya sudah dipunahkan oleh Tok-sim-sin- mo, kami sendiri pun sudah kenal akan permainan Tok-sim yang keji dan licin itu, apakah Thian- cwan Taysu melulu hanya dipunahkan ilmu silatnya?" Sampai disini ia bergelak tawa, lalu sambungnya lagi mempertegas tuduhannya tadi. "Ingat ada orang yang melihat sendiri bahwa Hun Thian-hilah yang membunuh Giok-yap Cinjin!" Nada perkataannya jelas menerangkan akan kesangsian hatinya bahwa kemungkinan besar Thian-cwan Taysu sudah diperalat oleh Tok-sim-sin-mo, entah itu dengan cara obat beracun atau dengan jalan keji yang lain. Thian-cwan angkat kepala, pancaran matanya main selidik dimuka semua hadirin. melihat sikap mereka ia tahu bahwa situasi tidak menguntungkan bagi Hun Thian-hi, terpaksa ia berkata pula. "Aku hanya dapat menerangkan seringKas tadi, terserah kalian mau percaya? Aku tiada punya hak untuk tanya pada kalian. Tapi kalian juga harus ingat dan sadar bahwa Ang-hwat adalah gembong iblis yang durjana pula!" Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Persekutuan Pedang Sakti Karya Qin Hong