Badik Buntung 22
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 22
Badik Buntung Karya dari Gkh Lalu ia berpaling ke arah Hun Thian-hi serta katanya pula. "Hun-sicu, karena sedikit kecerobohan. Lolap sehingga aku perintahkan Suteku pimpin anak muridnya mengejar dan mengepung Sicu. sekarang aku sudah berusaha sekuat tenagaku untuk menebus kesalahan itu, harap Hun-sicu suka maklum dan memaafkan dosa2 ini!" "Terima kasih Lo-cianpwe." Ujar Hun Thian-hi menjura. "Begitu besar kepercayaan Cianpwe terhadap diriku, betapa besar rasa terima kasih Hun Thian-hi!" Thian-cwan Taysiu manggut-manggut sembari menghela napas, ia berpaling kekanan diri. dalam hati ia membatin. "Dengki dan dendam kesumat, membuat semua orang ini luntur hatinya" Lalu katanya pula kepada Thian-hi. "Siau-sicu harap berlaku hati-hati. Lolap segera minta diri terlebih dulu. Siau-sicu kali ini telah menolong bencana yang bakal menimpa dan menimbulkan kemusnahan bagi Siau-lim kita, Lolap beserta, seluruh anak murid Siau-lim akan selalu mengingat kebaikan ini sepanjang masa." Selesai berkata pelan-pelan ia tinggal keluar hutan bambu. Ia insaf sebentar lagi tempat ini tentu bakal timbul pertempuran besar. Melihat Thian-cwan Taysu sudah pergi, tertawalah Ang-hwat-lo-mo, serunya. "Kalian tentu heran kemanakah juntrunganku bukan? Kenapa aku bicara seperti tadi, kelihatannya sedang mengadu domba kalian. Bicara terus terang, meskipun karena kalian tapi juga karena aku sendiri. Dulu aku pernah menolongnya karena dia bejat, tapi ilmu silatnya tidak becus. Dan sekarang dia tidak berubah baik, malah bergaul keluntang keluntung dengan salah seorang Si-gwa-sam-mo yaitu Pek-kut-sin-mo itu. tapi ilmu silatnya sudah tinggi tiada tandingan, bila hari ini kita tidak memberantasnya, kelak siapa yang kuasa mengendalikan dirinya?" Seluruh hadirin menjadi saling pandang, hampir tiada seorang yang hadir merasa simpatik dan bersahabat terhadap Hun Thian-hi, pertunjukan kehebatan ilmu pedangnya justru menimbulkan rasa sirik dan dengki hati mereka, kalau bisa melenyapkan jiwa Hun Thian-hi memang merupakan keentengan suatu beban yang sekarang terasa memberati sanubari masing-masing. Pek Si-kiat terkial-kial dingin, suara tawanya panjang bergelombang, dengan tajam ia menyapu pandang keseluruh hadirin, jengeknya dingin. "Hun Thian-hi adalah ahli waris dari Wi-thian-cit- ciat-sek. murid angkat dari Ka-yap Cuncia. diantara kalian siapa yang berani bicara bahwa pandangan kalian jauh lebih cermat dari Ka-yap Cuncia? Demi kepentingan pribadi kalian sendiri sehingga kalian rela melakukan perbuatan tercela yang memalukan!" Ce-hun Totiang yang baru datang segera tampil ke depan, katanya dingin. "Siapa yang bisa memberi bukti bahwa bukan dialah yang membunuh Suhengku Giok-yap Cinjin? Ketahuiliah banyak orang menyaksikan bahwa dialah yang membunuh Giok-yap Cinjin!" Terbakar rongga dada Pek Si-kiat, amarahnya tidak terkendali lagi, dengan delikan mata berapi- api ia pandang Ce-hun Tocang. dengusnya. "Pertanyaanmu memang tepat. Apakah benar-benar ada seseorang yang telah melihat Hun Thian-hi menghunjamkan Badik buntung kedada Giok-yap Cinjin? Hayo jawab!" Ce-hun Totiang tertegun, mulutnya kememek tak mampu menjawab, sesaat kemudian ia berkata tersekat. "Sudah cukup bila ada orang melihat dia sedang mencabut Badik buntung dari dada Suhengku. Apalagi Badik buntung memang miliknya dan berada ditangannya, jelas tiada lain orang yang mampu berbuat demikian, kecuali dia sendiri bisa membuktikan bahwa bukan dialah yang melakukan pembunuhan itu." "Besar benar-benar mulutmu, ja" Jengek Pek Si-kiat. "Pek-kut!" Teriak Situa Pelita. "Kaupun seharusnya sudah bertobat. Ka-yap Cuncia mengurungmu lima puluh tahun, kau masih belum mampus. justru hari inilah saat kematianmu." Pek Si-kiat menggeram sambil menahan gusar dan kertak gigi, pelan-pelan ia membalik dan setindak demi setindak menghampiri ke arah Situa Pelita. Ciut nyali Situa Pelita, serta merta kakinya melangkah mundur. Terdengar Ciang-ho-it-koay menggerung juga. ia maju selangkah mendekat ke arah Situi Pelita. Bertambah besar nyali Situa Pelita. segera ia berdiri tegak sambil mengerahkan tenaganya. Pek Si-kiat melangkah lagi setindak. Berbareng Si tua Pelita dan Ciang-ho-it-koay melejit maju seraya melancarkan serangannya dari kanan kiri ke arah Pek-kut-sin-mo. Mereka sama sebagai tokoh kosen tingkat tinggi, dengan serangan gabungan, sudah tentu perbawanya bukan kepalang hebatnya, seluruh hadirin menjadi berdetak jantungnya. Terdengar Pek Si-kiat menjerit lantang, sebagai Si-gwa-sam-mo sudah tentu kepandaiannya merupakan ilmu2 yang hebat pula. sedikit bergerak miring kekanan kiri, enteng sekali kedua telapak tangannya ditepuk menyongsong ke depan, berbareng kakinya bergerak selincah kera melejit keluar dari lingkungan kedua musuhnya berbareng membalikkan pukulan balas menyerang Situa Pelita dan Cian-ho-it-koay sama bercekat hatinya, tak terduga oleh mereka bahwa Pek Si-kiat bergerak segesit itu, baru sekarang terpikir oleh mereka bahwa julukan nama Si-gwa-sam-mo niscaja bukan nama kosong belaka, kepandaian Pek Si-kiat yang terkecil dari Si-gwa-sam-mo sudah begitu hebat apalagi kepandaian Tok-sim-sin-mo dapatlah dibayangkan. Begitulah Situa Pelita berdua pun bergerak tidak kalah sebatnya, begitu berputar berbareng layangkan pukulannya menyambut dengan gertakan, tapi ditengah jalan tiba-tiba mereka mencelat berpisah dan menubruk pula kepada Pek Si-kiat. Pek Si-kiat menjadi murka. tahu dirinya diledek demikian rupa, serentak ia tambah tenaga dan pergencar serangan. Diam-diam ia sudah menerawang situasi gelanggang, seluruh hadirin adalah tokoh-tokoh yang berkepandaian silat cukup lihay, dengan satu lawan dua ia percaya dirinya tidak akan terkalahkan. tapi untuk menang ia pun rada ragu-ragu. Sekonyong-konyong ia mencelat mundur rada jauh. menjengek dingin kepada dua lawannya lalu berpaling kepada Hun Thian-hi, katanya. "Kau terjang dulu keluar, biarlah aku yang menghalangi sepak terjang mereka." "Masa ada kejadian begitu gampang." Demikian seru Ang-hwat-lo-mo sambil bergelak tawa. Dimana ia menggerakkan tangan tahu-tahu sebilah pedang pendek yang memancarkan, sinar kekuning mas sudah dicekal ditangannya, pedang ini panjang tiga kaki sinarnya nenyilaukan mata. Terang bukan senjata sembarangan. "Kau tidak lebih hanya seorang Siaupwe saja. jangan anggap bahwa kau tiada tandingannya di jagat ini!" DemiKian maki Pek Si-kiat dengan nada menghina. Ang-hwat-lo-mo tertawa panjang, pedang ditangan kanan terayun kontan ia lancarkan jurus ciptaan tunggalnya yang ganas yaitu Jan-thian-ciat-te (mencacat langit pelenyap bumi) taburan sinar kuning keemasan seperti lembayung memancar ke tengah udara terus menungkrup ke atas kepada Pek Si-kiat. Rada terkejut hati Pek Si-kiat menghadapi serangan hebat ini, sekilas pandang saja lantas ia dapat menjajaki bahwa kepandaian dan Lwekang Ang-hwat-lo-mo sebetulnya memang sangat tinggi tak dapat dipandang ringan. terutama Lwekangnya jauh lebih tinggi dari bayangannya semula, memang tidaklah bernama kosong dan tiada sebabnya bila Ang-hwat-lo-mo diagungkan sebagai gembong iblis yang ditakuti pada jaman ini, dibanding dirinya sendiri kiranya juga cuma terpaut beberapa tingkat saja. Apalagi sekarang Ang-hwat-lo-mo menyerang dengan senjata tajam yang luar biasa menghadapi kedua tangannya yang kosong. jelas dia sudah mengambil keuntungan. Pek Si-kiat menjadi beringas, seluruh kekuatan Pek-kut-sin-kangnya dikerahkan untuk menghantam dan melawan rangsakan pedang lawan, hawa memutih dari uap pukulan tangannya yang sakti meluber laksana air bah terus melandai ke depan menyongsong pedang lawan, pikirnya bila perlu biar gugur bersama, betapa pun ia pantang mundur. Sedetik sebelum kekuatan dua belah pihak yang dahsyat itu saling bentur, tiba-tiba Hun Thian- hi bersuit panjang, tubuhnya mencelat tinggi ke atas, Dari samping ia menonton dengan jelas bila kedua belah pihak benar-benar mengadu kekuatan secara kekerasan pasti berakhir dengan sama luka parah kalau tidak sampai meninggal, sudah tentu Thian-hi tidak menghendaki bila Pek Si-kiat sampai terluka parah, maka begitu tubuhnya mencelat mumbul lempang. serulingnya segera menutuk ditengah antara kedua rangsakan tenaga raksasa yang hampir bentrok itu, dengan jurus Burung bangau menjulang tinggi menembus awan ia pecahkan kekuatan tenaga yang hampir saling bentur itu, berbareng seperti menunggang awan tubuhnya mengikuti gelombang tenaga dua belah pihak yang bocor itu terus jumpalitan turun pada diarah yang berlawanan. Bercekat hati Ang-hwat-lo-mo sekian lama ia terlongong-longong memandangi diri Thian-hi. Sementara Thian-hi sendiri juga dirundung keheranan, waktu tubuhnya mencelat tinggi tadi ia sudah memperhitungkan hendak melancarkan sejurus dari kembangan Wi-thian-cit-ciat-sek. tapi serta sudah berlangsung ditengah jalan tanpa disadari ia melancarkan jurus ketiga dari Gin-ho- sam-sek itu ternyata hasilnya juga begitu memuaskan dan diluar perkiraannya, begitu mudah ia memisah suatu bentrokan yang sulit dibayangkan akibatnya sebelumnya. Maka terasa olehnya sendiri bahwa Lwekangnya sekarang sudah maju pula berlipat ganda, tenaganya dapat dikendalikan sesuka penggunaannya. Dalam pada Itu Ce-han-it-ki juga tengah memandang Thian-hi dengan rasa heran. tanyanya. "Apa hubunganmu dengan Soat-san-su-gou?" Semula Thian-hi melengak mendengar pertanyaan ini. Sudah lama ia tidak dengar orang menyinggung nama Soat san-su-gou, sekarang Ce-han-it-ki menyinggung nama suci para beliau itu mungkinkah orang ini punya hubungan yang sangat erat dengan mereka? Soat-san-Su-gou tergolong lurus dan bermartabat gagah, betapa tinggi kepandaian silat mereka. rasanya tidak lebih rendah dari setiap hadirin disini. Kebaikan para beliau2 itu rasanya hanya guru budiman Kongsun Hong yang memgasuh dan membesarkan dirinya yang bisa membandingi. Dengan tersenyum ia menjawab. "Entah apa hubungan Cianpwe dengan mereka berempat?" Mendadak Ang-hwat-lo-mo menghardik murka, rambutnya sampai berdiri dan mata beringas ia menubruk pula, kali ini pedangnya bergerak menyerang dengan jurus Thian-ko-te-wi langit tinggi bumi berputar sasarannya adalah perut Hun Thian-hi. Laksana ular hidup berlaksa banyaknya yang melenggang dari segala penjuru sekaligus merangsek bersama ke arah Thian-hi. Terangkat tinggi alis Thian-hi, seruling segera diacungkan miring, kontan ia lancarkan sejurus Wi-thian-cit-ciat-sek. seluruh kekuatan rangsakan Ang-hwat-lo- mo kena tergulung berkisar hebat menerpa balik keempat penjuru pula. Dipihak lain sepasang biji mata Situa Pelita pun Sudah memancarkan sorot berkilat yang menakutkan, seluruh keluarganya dibabat habis oleh kekejaman Ang-hwat-lo-mo, selama ini ia sudah tekun dan rajin belajar mempertinggi kepandaian silatnya. sekarang kebetulan secara langsung sudah berhadap dengan musuh besarnya, tapi dia punya pikiran dan perhitungan pula. dia ingin supaya Ang-hwat-lo-mo menempur Hun Thian-hi lebih dahulu, adalah lebih baik dan menguntungkan bila kedua belah pibak sama gugur. Tapi dilihatnya waktu Ang-hwat-lo-mo melancarkan Pencacat langit dan pelenyap bumi ternyata dapat dipecahkan oleh Thian-hi begitu gampang, sekarang mengembangkan pula langit tinggi dan bumi berputar. Maka terbayanglah akan adegan dimana seluruh keluarganya kena dibabat dibacok dan ditendang serta entah diapakan lagi dengan cara kekejaman yang luar biasa, timbul kesadaran dalam benaknya akan sifat egoisnya sehingga sanubaarinya terketuk, badannya gemetar tanpa kedinginan. sungguh ia merasa sangat sesal, dia beranggapan bahwa dirinya sudah melepas budi setinggi2nya kepada Hun Thian-hi. sekarang dia menjadi heran kenapa aku mendadak mengharap Hun Thian-hi gugur bersama musuh besarnya ini? Sungguh dia tidak habis herannya tak tahulah kenapa mendadak punya perasaan yang tercela ini, mungkin secara mendadak ia merasakan bahwa beranggapan dirinya telah kena ditipu oleh Hun Thian-hi, rasa harga dirinya yang melibatkan pendiriannya ke arah yang nyeleweng ini, sehingga tanpa beralasan tanpa punya dasar yang kuat ia mengharap Hun Thian-hi gugur, seumpama ia sudah menyadari bahwa angan2nya itu salah. namun ia pun takkan mau memperbaiki kesalahannya itu pula. Baru sekarang Situa Pelita mulai insaf, ia sadar dan menyesal, untunglah ia belum terlibat untuk memberikan kepercayaannya terhadap Hun Thian-hi. Sesaat ia menenangkan pikirannya waktu ia mendongak melihat keadaan gelanggang pertempuran. situasi sudah banyak berubah, tampak Ang-hwat-lo-mo, Ce-han-it-ki, Ciang-ho-it-koay dan Ce-hun Totiang serta Hoan-hu Popo bersama sedang menempur Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat. Keadaan mereka berdua sudah rada payah. Keruan ia tersentak kaget, seluruh tokoh-tokoh silat yang hadir sudah menerjunkan diri dalam pertempuran sengit ini, masa dirinya masih menjublek dan melamun. Dengan sekuat tenaga dan seluruh kemampuannya Hun Thian-hi layani segala serangan dan rangsakan musuh2 kuatnya. Betapa ilmu silat Ang-hwat ia sudah dapat menyelaminya. Kepandaian Ce-hun Totiang dan Ce-han-it-ki secara diluar dugaannya kiranya juga tidak lebih rendah dari Ang-hwat-lo-mo, Betapapun Hun Thian-hi tidak akan menyerah, dengan sengit ia tempur lawan2nya, namun lama kelamaan ia rasakan tekanan dari empat penjuru semakin berat hampir ia susah bernapas. Insaf dia bahwa untuk menang hari ini agaknya sangat sulit dan tak mungkin lagi. Harapannya terakhir hanyalah melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek. memang secara coba-coba saja meski tidak berguna paling tidak Pek Si-kiat akan dapat diberi peluang untuk meloloskan dirinya. Sesaat lamanya Situa Pelita masih bingung, entah apa yang harus dilakukannya, ingin dia membantu Hun Thian-hi supaya orang dapat menerjang keluar kepungan, tapi apakah kekuatannya mampu untuk menjebol masih tanda tanya, bukan mustahil malah dirinya bakal menimbulkan rasa marah mereka dan aku sendiri yang bakal konyol nanti. Pikirnya ia hendak meminjam tenaga orang banyak untuk membunuh Ang-hwat. tapi keadaan yang sengit ini tak mungkin keinginannya bisa tercapai. Hun Thian-hi bersuit panjang, seruling teracung miring ke atas, terpaksa ia harus lancarkan Wi- thian-cit-ciat-sek, semua pengepungnya terdesak mundur, kesempatan yang baik ini segera mereka menjejakkan kaki bersama Pek Si-kiat terbang keluar melarikan diri. Ang-hwat-lo-mo segera melancarkan pula Jan-thian-ciat-te yang ganas itu untuk menyerang dari belakang. Tanpa berjanji Thian-hi berdua membalik tubuh menangkis, musuh yang lain jadi berkesempatan memburu tiba pula, Hun Thian-hi berdua terkepung pula. Soalnya Thian-hi segan melukai siapa saja bagi setiap pengerojoknya ini, tapi dalam keadaan terpepet, setelah usahanya meloloskan diri gagal, sekarang terkepung lagi, sinar matanya menjadi berkilat, akhirnya dalam hati ia ambil ketetapan, sang waktu tidak boleh diulur pula. Untunglah tepat pada saat itu juga Situa Pelita menghardik keras, tubuhnya terbang mencelat menubruk ke arah Ang-hwat-lo-mo, sebelah tangannya dengan kekuatan dahsyat menggempur ke punggung Ang-hwat-lo-mo. Keruan Ang-hwat-lo-mo terkejut, sungguh ia tidak menduga dalam situasi gawat yang menguntungkan ini mendadak Situa Pelita menyerang dirinya, dengan mendengus gusar, pedang masnya membabat balik ke belakang, secara gencar iapun balas menyerang ke pada Situa Pelita. Dasar cerdik dan cukup cekatan Hun Thian-hi tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini sekonyong-konyong serulingnya menyelonong miring ke depan menutuk jalan darah mematikan di depan dada Ang-hwat-lo-mo. Tapi bersamaan waktunya Ciang-ho-it-koay pun sedang memukulkan kedua telapak tangannya menghantam punggung Thian-hi. Begitu merasa angin keras menyerang tiba terkejut Ang-hwat-lo-mo dibuatnya, sungguh tak nyana olehnya di bawah serangan gencar para musuhnya itu Thian-hi masih sempat menyerang balik kepada dirinya pula, agaknya ia tidak hiraukan keselamatan diri sendiri pula, mungkin sudah nekad. Namun bila lawan main nekad dan ingin gugur bersama, adalah dirinya tidak mau roboh begitu saja secara konyol, apalagi seruling Hun Thian-hi menutuk begitu telak, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk balas menyerang kepada Situa Pelita, yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan diri sendiri. Dengan sendirinya Situa Pelita juga tak mau kehilangan kesempatan untuk melukai musuh. Di bawah gencetan dari dua jurusan rangsakan dua tokoh hebat Ang-hwat-lo-mo masih berusaha berkelit tapi tak urung lengan kirinya kena tertutuk seruling Thian-hi, demikian juga pukulan keras Situa Pelita telak sekali mengenai sebelah kiri punggungnya. Kontan Ang-hwat menjerit keras, darah segera menyemprot dari mulutnya, tubuhhja pun terhujung hampir roboh. Tujuan tutukan Hun Thian-hi akan menamatkan riwayat Ang-hwat-lo-mo, sayang rangsakan Ciang-ho-it-koay yang memukul dari belakang itu pun tak kuasa dihindari lagi, betapa hebat pukulannya, kontan iapun tersampuk sempoyongan ke samping, lengannya kanan kesakitan dan kesemutan, hampir saja ia tidak kuasa memegang serulingnya lagi. Terdengar pula suara bentakan dan teriakan keras saling bersahutan. Sekuat tenaga Ang-hwat menghimpun tenaga dan semangatnya menggempur balik ke arah Situa Pelita, kedua belah pihak gunakan kekerasan untuk saling serang dengan seru, keadaan pertempuran semakin gegap gempita. Meski Hun Thian-hi membekal Lwekang maha tinggi, karena lengan kanan sudah terluka tenaganya menjadi banyak berkurang, cara gerak jurus permainannya sudah tidak sehebat dan sekuat tadi. Sementara itu Situa Pelita pun ikut terkepung di tengah keroyokan orang banyak, terdengar ia berteriak. "Kenapa kalian tidak bunuh Ang-hwat si durjana ini?" Ciang-ho-it-koay menggeram jengeknya. "Setelah bunuh Hun Thian-hi masih belum terlambat melenyapkan Ang-hwat sekalian. Kejahatan dan ketelengasan Hun Thian-hi jauh lebih berbahaya dari Ang-hwat si iblis laknat ini." Hun Thian-hi menengadah bergelak panjang, serunya pada Pek Si-kiat dan Situa Pelita. "Mari kubantu kalian, membobol keluar kepungan dulu!" "Boleh kau coba!" Jengek Ce-han-it-ki seraya melintangkan pedang panjangnya untuk membendung arus rangsakan seruling Hun Thian-hi. Badan Hun Thian-hi terbang lempang ke depan serulingnya menukik dari atas kebawah, dimana ia kerahkan tenaga dalam kembangan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek. kontan para pengepungnya seperti terdorong mundur oleh tenaga dahsyat seperti air bah yang tidak kelihatan, kepungan yang rapat saketika menjadi bobol. yang lebih hebat lagi kedua senjata ditangan Bun Cu-giok dan Ciok Yan kontan terbang lepas dari cekalannya. Bersamaan waktunya terdengar Ce-hun Totiang dan Hoan-hu Popo membentak berbareng seraya membacok dan menusuk pedang masing-masing ke arah Hun Thian-hi, mati-matian mereka bekerja keras untuk mencegat jalan lari mereka bertiga. Tapi Hun Thian-hi sudah menyerbu membabi buta. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seperti banteng ketaton, sayang lengan kanannya terluka, terpaksa ia harus mundur ditengah jalan. kepungan kembali diperketat, kedua belah pihak kembali terlibat dalam pertempuran mati-matian yang cukup seru. Dalam sekejap lagi cuaca bakal gelap gulita meskipun mereka sudah bekerja sekuat tenaga tapi selama itu mereka tak berhasil merobohkan musuh dan tidak mungkin berhenti begitu saja ditengah jalan. dalam keadaan saling berkutat dan bisa maju dan tak mungkin mundur, pertempuran berjalan terus sama kuat, kegelapan sang malam akhirnya berganti dengan sang fajar yang telah menyingsing tiba. Jadi mereka sudah bertempur sehari semalam tanpa ada kesudahan yang menentukan. Sebenar-benarnya Ang-hwat-lo-mo sudah tidak kuat bertahan lagi. Dia tabu bahwa luka-luka tubuhnya tidaklah ringan. tapi betapa pun ia tidak rela melepas kesempatan yang bagus ini, kalau sekarang dia melepas Hun Thian-hi pergi, mungkin kelak bakal menjadikan bibit bencana atau perintang utama bagi pergerakan cita-citanya. Apalagi Hun Thian-hi sendiri juga sudah terluka, sekejap lagi tidak akan kuat bertahan. dan akhirnya yang bakal roboh justru Hun Thian-hi sendiri. Luka lama Hun Thian-hi belum lagi sembuh dan pulih seluruhnya, kini ia terluka pula tidak ringan, apalagi sudah bertempur sekian lama badan pun sudah lelah dan kehabisan tenaga. Nuraninya benar-benar berharap, meski pun ini hanya angan2 kosong supaya Ham Gwat bisa segera tiba menolong dirinya seperti kejadian beberapa waktu yang lalu. Bukan saja dirinya bakal bebas dari ancaman bencana, Ang-hwat-lo-mo juga pasti dapat ditumpas. Pertempuran terus berlangsung, masing-masing pihak terus berkutat dan tiada yang mau mengalah, segala kepandaian dan ilmu dibojong keluar demi mempertahankan hidup dan mati, tapi selama itu keadaan tetap sama kuat alias setanding. Suatu kesempatan Hun Thian-hi mendongak melihat Angkasa, tampak rasa putua asa membayang dalam sinar matanya, bila Ham Gwat mau datang sejak tadi ia sudah hadir dalam pertempuran ini, atau mungkinkah dia punya urusan lain yang tebih penting? Ce-han-it-ki dapat melihat perubahan air muka Hun Thian-hi segera ia memberi isyarat kedipan mata pada teman2 lainnya, serempak mereka merabu lagi dengan segala daya upaya, udara seperti menjadi bergolak dan angin badai kontan menerpa ke arah Hun Thian-hi bertiga. Hun Thian-hi kertak gigi, baru saja ia menghimpun seluruh kekuatan untuk melawan secara kekerasan, sekonyong-konyong dari luar hutan bambu sana terdengar irama harpa yang dipetik ringan lincah. seketika perasaan Hun Thian-hi menjadi enteng dan segar kembali semangatnya. Bukankah itu irama Kekal abadi? Serta merta mulutnya mencebir dan bersuit panjang mengalun tinggi. ia empos seluruh tenaga dan kekuatannya terus diberondong keluar, Pek Si-kiat dan Situa Pelita segera juga membantu dengan setaker tenaga masing-masing, seketika mereka merasa tekanan dari luar menjadi enteng, berbareng mereka mencelat jauh dan keluar dan kepungan. Tampak Po-ci dan Ma Gwat-sian melangkah ringan memasuki hutan bambu ini, sebelah tangan Po-ci mengemban sebuah harpa kuno biji matanya yang jeli pelan-pelan dan kalem menyapu pandang seluruh hadirin. Tersipu-sipu Hun Thian-hi maju menjura serta sapanya. "Terimakasih akan budi pertolongan Cianpwe" dalam berkala2 ini tarasa kepalanya menjadi pening pandangan menjadi gelap, tahu dia tadi terlalu banyak mengeluarkan tenaga sehingga kedua kakinya menjadi lamas, lekas ia mengendalikan badan berdiri tegak pula. Lekas-lekas Ma Gwat-sian memburu maju dan memapah badan Hun Thian-hi, ujarnya dengan lemah lembut dan prihatin. "Bagaimana keadaanmu?" Melihat laku Ma Gwat-sian yang begitu wajar dan menunjukkan perhatian yang berkelebihan dihadapan umum, merah jengah selebar muka Hun Thian-hi. Cepat ia menyahut: .,Terima kasih, aku tidak apa-apa." Ma Gwat-sian tersenyum manis, Katanya. "Baru saja Suhu dan aku menyusul tiba. Begitu memasuki wilajah Conggoan lantas kami mendengar kabar. katanya kau meluruk ke Siau-lim-si, maka bergegas kami menyusul kau kemari!" Hun Thian-hi rada kikuk. sesaat ia bungkam tertawa. "Kalau begitu aku harus lebih berterima kasih akan kebaikan kalian!" Demikian kata Thian-hi sesaat kemudian. Ma Gwat-sian pandang wajah Thian-hi lekat-lekat. sesaat baru ia bersuara pula dengan suara lirih. "Kau. diantara kau dan aku kenapa harus berlaku begitu sungkan. kenapa kau harus berterima kasih pula padaku?" Tergetar jantung Thian-hi, tak tertahan ia tunduk diam. Ucapan Ma Gwat-sian sudah sangat jelas kemana juntrungannya, bagaimana aku harus bersikap terhadapnya? Demikian ia bertanya terhadap dirinya sendiri. Sulit ia mengambil ketetapan. Melihat hubungan mereka yang kelihatan begitu intim Pek Si-kiat menjadi maklum. gadis remaja dihadapannya ini pasti bukan perempuan yang bernama Ham Gwat itu, kalau begitu.ai. asmara. tak berani ia memikirkan lebih lanjut. Tanpa bersuara dengan tenang Po-ci awasi mereka berdua dengan muka berseri, disangkanya bahwa Hun Thian-hi memang ada ketarik terhadap Ma Gwat-sian, kalau tidak masa sikapnya kelihatan begitu mesra. Mana dia tahu bahwa sebenar-benarnyalah dalam benak Hun Thian-hi sudah terkait oleh Ham Gwat, batinnya tengah bergejolak, entah cara bagaimana ia harus menempatkan dirinya. Sambil menenteng pedangnya panjang Ce-hun Totiang maju menghampiri Po-ci, serunya. "Siapa kau? Kau ingin membantu Hun Thian-hi dan mencari permusuhan dengan seluruh kaum persilatan?" Bab 23 Dengan lirikan hina Po Ci menyapu pandang para hadirin. sahutnya. "Baru hari ini aku pertama kali kebetulan hadir dalam pertemuan besar kaum persilatan. Ternyata golongan kependekaran Bulim di Tionggoan juga cuma begini saja!" Ce-hun semakin berang, hardiknya. "Siapa kau?" Po-ci menyahut tawar. "Jangan kau urus siapa diriku. terangkat jari-jarinya dengan lincah memetik senar, Hun Thian-hi akan kubawa pergi. Siapa diantara kalian yang tidak terima silakan mencari perkara terhadapku. Ketahuilah aku tidak gentar kalian keroyok!" "Kenapa harua keroyok, biar aku saja yang mencoba sampai dimana kepandaianmu sejati, berani kau bicara takabur disini!" Seiring dengan kata-katanya Ce-hun Totiang lancarkan sejurus serangan dengan tipu Poh-hun-kian-jit (menyingkap awan melihat matahari), sekaligus ujung pedang panjang bergerak begitu cepat menusuk beberapa kali mengarah jalan darah yang berlainan diberbagai tempat ditubuh Po-ci. Poci mandah tertawa ejek, dimana tangan kirinya bergerak serentetan irama musik lantas mengalun dari nada yang rendah terus menjulang tinggi seperti hampir menembus angkasa. samar-samar terasa adanya nafsu memburnuh yang segera melingkupi perasaan orang, seketika hati semua hadirin menjadi tertekan tegang, yang paling hebat justru Ce-hun seperti kena pukulan godam, belum lagi serangan pedangnya mengenai sasarannya, dadanya sudah sesak dan sempoyongan mundur, keruan kagetnya bukan main, lekas ia empos semangat dan kendalikan napas, berbareng pedangnya dibolang balikkan di depan dada, tapi tak urung mukanya sudah basah oleh keringat dingin. Hun Thian-hi sendiri juga ikut terkejut, waktu Poci mengembangkan irama kekal abadi tempo hari. kepandaiannya tidak begitu lihay seperti sekarang. Kiranya tempo hari sengaja ia memberi kelonggaran. Melihat Ce-hun payah kepontang panting Hoan-hu juga terkejut, cepat ia meraih sebatang pedang terus menubruk maju, pedangnya berubah menjadi setabur titik-titik kunang-kunang kecil terus merangsak kepada Poci. Kelopak mata Poci sedikit pun tidak bergerak, sikapnya tetap tenang. Waktu ia mulai memasuki wilajah Tionggoan lantas ia dengar kabar katanya Ce-hun dan Hoan-hu berada diluar perbatasan mendapat perlindungan dari Sam-kong Lama, dia jelas mengetahui hubungan kental antara Sam- kong dengan Hun Thian-hi. Sekarang seumpama Hun Thian-hi memang dipihak yang salah paling tidak mereka harus memberi muka dan kesempatan, bukan saja mereka tidak merasa sungkan malah meluruk ke Tionggoan dan mencari perkara disini. Memang sengaja ia hendak memperlihatkan akan kelihayan Tay-seng-ci-kou untuk menghajar adat pada kedua orang tua2 yang sudah dianggapnnya pikun ini. kelihatan lengan kirinya terangkat dan naik turun jari-jarinya bergerak lincah, suasana semakin tegang dengan lingkupan hawa membunuh yang semakin tebal. Batok dan leher Hoan-hu sudah basah kuyup oleh keringat tak kuasa ia pegang pedangnya lagi, terpaksa duduk bersimpuh mengerahkan Lwekang untuk melawan mati-matian. Dilain pihak Ang-hwat-lo-mo yang licik dan mengenal gelagat itu bercekat pula hatinya, bahwa pendatang ini membekal ilmu Tay-seng-ci-lou yang dikabarkan sudah putus turunan itu. dalam gerak gerik beberapa jari yang lincah memetik harpa itu telah berhasil merobohkan Ce-hun dan Hoan-hu berdua. Insaf ia bahwa dirinya pun bukan tandingan, apalagi dirinya terluka berat, kecuali melarikan diri tiada jaian lain untuk hidup lebih lanjut. Karena pikirannya ini sepasang biji matanya segera melirik, menerawang situasi gelanggang dicarinya kesempatan untuk melarikan diri. Karena Tay-seng-ci-lou tidak bisa dibanding senjata tajam umumnya, dia dapat dilancarkan dilain bentuk yang tidak kelihatan, untuk lari kecuali dapat menyandak jarak yang cukup jauh dalam sekejap waktu, seumpama kedua tangan menutupi kuping pun tidak akan kuat bertahan dari getaran musik yang hebat itu! Orang yang paling diperhatikan Situa Pelita. justru musuh besarnya yaitu Ang-hwat-lo-mo begitu biji mata Ang-hwat pelirak-pelirik, ia lantas dapat menebak isi hati orang segera ia bersiap siaga melejit ke depan terus menubruk ke arah musuh besarnya ini. mulutnya menjengek. "Apa hari ini kau masih ingin lari?" Ang-hwat-lo-mo tertawa dingin, serunya. "Bila aku memang mau pergi. masa kau mampu merintangi." Dengan gerungan yang mengguntur Situa Pelita dorongkan kedua telapak tangannya menggenjot kedada musuh. Ang-hwat-lo-mo melintangkan pedangnya membabat dan menutuk kejalan darah ditelapak tangan lawan, tapi gerak gerik Situa Pelita yang cukup lincah dengan kehebatan Ginkangnya sudah tentu tak begitu gampang mandah tangannya dilukai. Dengan sengit ia rangsak semakin gencar, begitulah mereka bertempur seru pula tanpa dapat diketahui siapa yang lebih unggul. Soalnya Ang-hwat sudah terluka, tapi ia membekal pedhng menghadapi sepasang pukulan Situa Pelita, untuk waktu dekat Situa Pelita tiada mampu merobohkan lawan. sebaliknya Ang-hwat punya rencananya sendiri untuk lari, maka pun tiada minat untuk mengejar kemenangan. Mata Po Ci menyapu pandang ke arah mereka berdua, katanya kepada Hoan-hu dan Ce-hun. "Meski kalian tidak kenal aku, tapi aku kenal kalian, di daerah barat daya sana kalian sudah menerima budi kebaikan orang, bukan saja tidak berusaha untuk membalasnya, sekarang berbalik kerja sama dengan manusia macam Ang-hwat-lo-mo untuk mengeroyok Hun Thian-hi. Kalian juga tahu bahwa Hun Thian-hi adalah sahabat kental Sam-kong Lama, murid angkat Ka-yap Cuncia, apakah kalian anggap punya pandangan yang lebih cemerlang dari Ka-yap Cuncia?" Lambat laun lemas semangat Ce-hun, tangan yang menyekal pedang semampai turun, biji matanya memancarkan rasa penyesalan yang tak terhingga, sungguh kata-kata orang sangat menusuk perasaannya, akhirnya ia tertunduk dengan penuh sesal, setelah membanting kaki tanpa bicara lagi terus berlari pergi. Melihat kelakuan orang Hoan-hu mendelik ke arah Poci, lalu ia memberi isyarat kepada Bun Cu-giok dan Ciok Yan, bersama mereka mengundurkan diri. Sementara itu pertempuran Ang-hwat-lo-mo melawan si Tua Pelita masih berlangsung terus dengan serunya, sambil tempur Ang-hwat-lo-mo main mundur dan semakin jauh dari gelanggang pertempuran semula. Terdengar Poci berkata pula. "Marilah kita pergi, urusan orang-orang Tionggoan biar diselesaikan mereka sendiri, buat apa kita lama-lama di tempat ini." Ang-hwat-lo-mo menjadi berlega hati, sebat sekali ia melejit jauh terus terbang lari sekencang angin. Dengan kencang Situa Pelita mengejar di belakangnya, tampak Siang-hou-it-koay juga berlari mengejar. Semua hadirin satu persatu bubar. Sementara itu dengan menengadah mengawasi awan di atas langit lapat-lapat terasa sesal dalam benak Hun Thian-hi, kenyataan Ham Gwat tidak kunjung datang seperti yang diharapkan, justru yang datang malah Ma Gwat-sian, sungguh kedatangannya diluar dugaannya, demikian ia berpikir. Melihat sikap Hun Thian-hi yang kaku itu dingin perasaan Ma Gwat-sian, sebagai seorang yang cerdik dan dapat melihat gelagat, terasa olehnya bahwa sikap Hun Thian-hi terasa kurang hangat dan simpatik, tidak seperti harapan dalam angan2 pikirannya sebelum tiba disini. Kelihatannya Hun Thian-hi sedang dirundung kekesalan hati dan entah apakah yang sedang dipikirkan, mungkin dia sedang menguatirkan seseorang lain, demikian ia memtatin, tanpa merasa hatinya menjadi pilu, air mata hampir menetes keluar. Dari samping dengan tenang Poci awasi kedua insan muda ini, iapun merasa perkembangan keadaan sekarang benar-benar sangat menyesatkan perasaan, berdiri berendeng seolah-olah mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Terdengar Pek Si-kiat membuka suara kepada Hun Thian-hi. "Hun-hiantit, kau harus menyembuhkan lukamu dulu, aku masih ada urusan lain yang perlu kuselesaikan, kelak kita jumpa lagi." Hun Thian-hi maklum bahwa Pek Si-kiat tidak ingin mengganggu dirinya. maka setelah merenung ia menjawab. "Begitupun baik, dalam satu bulan ini aku pasti kembali, harap paman tidak usah kuatir akan diriku." Pek Si-kiat minta diri terus tinggal pergi. Pelan-pelan Ma Gwat-sian membalik tubuh, katanya tertawa kepada Hun Thian-hi. "Thian-hi Toako. kau sedang terluka sementara biarlah bersama kami saja, setelah luka-lukamu sembuh nanti kita bicarakan lagi tindakan selanjutnya!" Hun Thian-hi tersenyum dipaksakan, sahutnya. "Kalau begitu merepotkan kalian saja." Segera Ma Gwat-sian melangkah maju, lengan baju Hun Thian-hi segera disobek, katanya. "Biar kuperiksa dulu bagaimana keadaan lukamu." Hun Thian-hi menjadi kikuk dan risi, tapi. Ma Gwat-sian bermaksud baik, tempat itu kecuali tinggal gurunya tiada orang luar lainnya, akhirnya ia membiarkan saja orang memeriksa lukanya. Dengan seksama Ma Gwat-sian memeriksa luka-luka Hun Thian-hi, diam-diam hatinya mendelu, air mukanya yang kaku prihatin, setelah terluka Thian-hi harus menguras tenaga lagi, sehingga seluruh pundaknya sudah berubah warna hitam karena darah bumpet dan membeku. Hun Thian-hi memang merasa pundaknya kaku kesakitan, waktu ia menunduk tiba-tiba di atas kepalanya terdengar pekik burung yang nyaring itulah suara rajawali besar itu yang terbang melayang di atas kepalanya, begitu cepat daya terbang burung itu samar-samar dilihatnya bayangan Ham Gwat di atas punggungnya. Mencelos perasaan Hun Thian-hi dengan mendelong ia awasi arah dimana burung rajawali tadi menghilang. Tahu dia bahwa Ham Gwat telah tinggal pergi lagi, bagaimana juga dia tidak akan muncul di saat keadaan yang serba runyam ini, lalu selanjutnya. Ma Gwat-sian juga menengadah dan terlongong memandang ke arah hilangnya burung rajawali sana, pelan-pelan ia turunkan kedua tangannya, hatinya terasa pilu dan sedih, tak tertahan air mata mengalir dari ujung matanya. Poci mandah menghela napas panjang dengan rawan, ia bungkam. Entah berapa lama Thian-hi menjublek di tempatnya, pelan-pelan akhirnya ia menunduk, dilihatnya Ma Gwat-sian mengembeng air mata, tahu dia bahwa bayangan yang dilihatnya tadipun telah dilihat pula oleh Ma Gwat-sian, sesaat ia menjadi bingung cara bagaimana ia harus berbuat. Pelan-pelan Ma Gwat-sian membalik tubuh, terus melangkah keluar hutan bambu. Hun Thian-hi sangat menyesal. Bahwa Ma Gwat-sian dari tempat yang begitu jauh menyusul dirinya kemari, menolong jiwanya lagi dalam keadaan gawat tadi, kenyataan dirinya bersikap begitu dingin dan tak berperasaan sama sekali. Setelah rada sangsi. dengan tertawa dibuat-buat ia memanggil. "Gwat-sian!" Ma Gwat-sian berpaling sambil mengembeng air mata, mulutnya tetap bungkam. Sesaat Hun Thian-hi kehilangan kata-kata. dengan mendelong ia awasi Ma Gwat-sian. Poci melangkah ke depan Hun Thian-hi dan pandang muka orang dengan seksama, Thian-hi tertunduk malu. pelan-pelan Poci bertanya. "Dia siapakah, dia?" "Ham Gwat! Murid Bu-bing Loni!" Sahut Hun Thian-hi dengan suara tertelan di tenggorokan. Poci menjadi serba runyam, ia pandang Ma Gwat-sian lalu berkata kepada Hun Thian-hi. "Mari kesini, ada omongan yang perlu kubicarakan dengan kau!" Lalu ia mendahului melangkah keluar hutan. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan penuh perasaan dan prihatin Hun Thian-hi pandang Ma Gwat-sian sekejap lalu membuntut di belakang Poci. Sementara Ma Gwat-sian masih menunduk tenggelam dalam alam pikirannya sendiri. melirik pun tidak ke arah Hun Thian-hi. Tiba di tempat yang rindang Poci segera membalik tubuh dan berkata pada Hun Thian-hi. "Nak! Ada suatu hal yang perlu kujelaskan kepada kau. selanjutnya terserah bagaimana kau hendak menyelesaikannya!" Kata Poci selanjutnya, suaranya tertekan. "Gwat-sian adalah warga dari Thian-bi-kok, menurut aturan tidak pantas kubawa dia ke Tionggoan sini. Bagaimana juga aku tidak akan melakukan pelanggaran ini. Tapi kenyataan aku sudah membawanya ke Tionggoan sekarang, malah langsung kubawa dia ke Siau-lim-si sini. Apa kau tahu. kenapa aku lakukan hal ini?" Hun Thian-hi bungkam tak bersuara. Poci meneruskan dengan tertawa tawar. "Mungkin kau beranggapan karena dia cinta pada kau maka lantas kukabulkan permintaannya untuk menyusul kau ke Tionggoan bukan?" Kali ini Thian-hi angkat kepala, sahutnya tertawa getir. "Bahwasanya Wanpwe tidak tahu apakah alasannya!" "Sejak kecil Gwat-sian angkat guru kepadaku," Demikian Poci melanjutkan. "Dengan tekun kuajarkan Tay-seng-ci-lou kepadanya, tapi apakah kau tahu kenapa aku tidak ajarkan dia ilmu silat? Bakatnya luar biasa, otaknya cerdik dan pandai lagi, aku hanya ajarkan seni musik macam Tay-seng-ci-lou dan tidak memberi ajaran silat, menurut umumnya adalah tidak adil dan kurang bijaksana!" Tergerak hati Thian-hi, batinnya waktu aku pertama ketemu Ma Gwat-sian juga timbul pertanyaanku ini, kuduga dia merupakan tokoh terpendam yang kosen, siapa duga bahwa dia sama sekali tidak pandai main silat. Poci tertawa rawan, sambungnya. "Sebab hakikatnya dia tidak mungkin bisa berlatih silat. Sejak kecil dia sudah kena penyakit Liok-im-coat-tin, (bisul dalam urat nadi) setelah usianya mencapai dua puluh tahun ia bakal meninggal dunia!" Tergentak jantung Hun Thian-hi, sesaat ia berdiri kesima, katanya. "Apa? Gwat-sian.dia." Mimpi juga tidak terpikir olehnya bahwa Ma Gwat-sian sudah terserang penyakit berbahaya yang mematikan itu, malah tidak akan lebih melampaui dua puluh tahun dalam usianya yang masih remaja ini. mungkinkah terjadi? "Dengan mengajarkan Tay-seng-ci-lou maksudku demi untuk mengurangi tekanan batinnya yang selalu dirundung kemurungan, mungkin dengan keriangan hatinya jiwanya akan bertambah lama hidup, tapi." Sampai disini Poci tak kuasa melanjutkan, ia menghapus air matanya. Lalu sambungnya lagi. "Tapi akhirnya kudapati pula bahwa seluruh usahaku akhirnya bakal sia-sia belaka, sekarang jiwanya tinggal tiga bulan lagi untuk hidup, dia sendiri masih belum tahu akan keadaannya yang sebenar-benarnya!" Hun Thian-hi menjublek di tempatnya, seolah-olah jantungnya dipukul godam yang berat, sungguh pedih dan seperti ditusuk sembilu perasaan hatinya, aku masih demikian kikir memberikan cintaku terhadap seorang gadis remaja yang aju rupawan dan lemah dan sekarang jiwanya tidak kurang cukup hidup tiga bulan belaka, kenapa selama ini aku menyembunyikan perasaanku, apakah Ma Gwat-sian buruk rupa? Apakah dia berhati jahat? Tidak! Wajahnya begitu rupawan tidak kalah dibanding Ham Gwat, malah dia punya kelebihan dari sifat kelincahan pada gadis remaja umumnya. Apakah Ma Gwat-sian goblok? Tidak sama sekali, kepintarannya dalam segala bidang aku Hun Thian-hi sedikitpun tak mampu memadainya, tapi kenapa selama ini belum pernah bersemi rasa cintaku terhadapnya? Sungguh diapun merasa heran! Akhirnya Poci membuka kesunyian pula, katanya menghela napas. "Cintanya terhadap kau adalah sedemikian murni, begitu suci dan luhur, aku sendiri berharap dalam jangka sisa hidupnya yang masih ketinggalan tiga bulan ini dapat membawa kebahagiaan dan kesenangan terhadapnya. Aku tidak akan paksa kau, boleh kau pikirkan sendiri, terserah bagaimana keputusanmu!" Kembali Hun Thian-hi menengadah ke atas langit. Sementara Poci pelan-pelan tinggal pergi. Hun Thian-hi maklum kemana juntrungan ucapan Poci tadi, harapan orang adalah dirinya bisa hidup bahagia bersama Ma Gwat-sian dalam jangka melulu tiga bulan ini. Thian-hi meragukan akan hal ini, bayangan Ham Gwat selalu terbayang di kelopak matanya, tapi sebagai manusia yang punya nalar sehat dan dapat menerima rasio dengan perasaan hati membuat Hun Thian-hi merasa simpatik dan kasihan akan nasib Ma Gwat-sian, timbul dalam benaknya bahwa dia harus memberikan kesenangan dan kebahagiaan itu kepada Ma Gwat-sian dalam jangka tiga bulan yang pendek itu, aku harus berbuat sekuat mungkin demi keluhuran jiwa manusia. Karena keputusan lahir batin ini akhirnya ia pelan-pelan menyusul ke dalam hutan sana. Teringat Ham Gwat ia menjadi kuatir bagaimana orang akan bersikap kepadanya kelak. mungkin Ham Gwat bisa salah paham kepada dirinya, tapi ia yakin bahwa pengorbanannya kali ini adalah benar-benar demi kemanusiaan, yakin siapa saja bagi orang yang punya perasaan akan menempuh jalan yang sama dengan keputusannya ini. Ketika tiba di dalam hutan ia menjadi terlongong, suasana di dalam hutan hening lelap tiada kelihatan bayangan seorangpun, Ma Gwat-sian telah menghilang tanpa bekas, kiranya sejak tadi ia telah meninggalkan hutan bamfou ini. Resah dan gelisah pula perasaan Hun Thian-hi, sunggguh ia merasa betapa dirinya tidak dapat diberi maaf lagi, teringat olehnya, sejak dirinya memasuki Thian-bi-kok dulu, hati kecilnya telah terisi pula bayangan bentuk Ma Gwat-sian, selama hidupnya ini dia tidak akan pula melupakan raut wajah nan aju semampai itu. Selama hidup dan mengalami berbagai kesulitan betapa Ma Gwat- sian telah memberikan bantuannya yang tak ternilai kepadanya, jelas bahwa hidupnya ini tidak mungkin membebaskan diri dari kebaikan2 Ma Gwat-sian itu. Kini setelah kembali ke Tionggoan, jarak yang ribuan li jauhnya, namun Ma Gwat-sian telah menyusulnya kemari, bukan saja dia harus meninggalkan negara dan kampung halamannya, tempat indah dimana ia dilahirkan, dan yang terutama bahwa dia telah mengejar cinta pada dirinya, tepat kedatangannya dan menolong pula jiwanya dari renggutan dewa elmaut. Sekarang justru karena keingkaran hatinya ia telah tinggal pergi, bagi siapapun bila dia menempatkan dirinya dipihak Ma Gwat-sian dia pun pasti akan tinggal pergi, entah dia pergi kemana, meski ia harus hidup merana yang terang karena dia masih punya harga diri, dan bagi dirinya mungkin harga diri ini jauh lebih tebal dari milik orang lain. Begitulah Hun Thian-hi terlongong ditempatnya. Sementara itu Poci juga sudah pergi entah kemana, ia pergi meninggalkan Ma Gwat-sian untuk dirinya, tanpa banyak bicara aku telah menerima peninggalan ini, namun sekarang terjata Ma Gwat-sian juga telah pergi dan menghilang, entah kemana. Entah berapa lama kemudian mendadak ia tersentak sadar dari lamunannya, didapatinya ia masih menjublek ditempatnya, lekas-lekas ia membanting kaki, seketika tubuhnya melenting tinggi menerobos pohon-pohon terus mengejar keluar hutan. Betapa sedih dan pilu hati Ma Gwat-sian waktu ia tahu bahwa relung hati Hun Thlan-hi kiranya sudah terisi blbit asmara bagi orang lain. Meski Po-ci mengira bahwa Ma Gwat-sian tidak tahu bahwa jiwanya tinggal bisa hidup tiga bulan lagi. memang meski Ma Gwat-sian tidak tahu bahwa dirinya tinggal dapat hidup tiga bulan lagi, tapi ia sudah mendapat firasat bahwa tubuhnya rada berlainan dengan orang lain. Sering ia merasakan tubuhnya letih dan lemas, apalagi Poci bersikap begitu baik, segala permintaannya pasti dituruti, insyaf dia bahwa sikap sang guru ini bukan mustahil ada latar belakang tertentu atas tubuhnya yaitu bahwa dia sedang terserang suatu penyakit yang tidak mungkin tersembuhkan, kalau tidak. tidak mungkin Poci bersikap begitu manja dan mengumbar pada dirinya. Demi gengsi dan harga dirinya, ia tidak rela bila Hun Thian-hi berkasihan pada dirinya dan menyerahkan cinta orang lain kepada dirinya. Setelah Poci dan Hun Thian-hi menyingkir jauh pelan-pelan iapun meninggalkan hutan bambu itu, langsung menuju ke arah hutan yang lebih lebat jauh lebih belukar dan menanjak tinggi. Setelah berada diatas. Ma Gwat-sian berpaling, tampak gereja Siau-lim jauh di belakang bawah sana, dengan ringan ia mengnela napas panjang, hampir tanpa tujuan kaki melangkah menuju ke arah yang tidak menentu, bagaimana selanjutnya aku harus menempatkan diriku? Hal ini tidak pernah terpikir olehnya! Beberapa kejap kemudian tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, sepasang matanya yang jeli berkedip mengawasi ke depan dengan terbelalak. Dihadapannya berdiri seorang gadis rupawan mengenakan pakaian serba hitam, disampingnya berdiri pula seekor rajawali, orang pun sedang mengawasi dirinya dengan sikap dingin dan kaku. Tahu Ma Gwat-sian bahwa inilah orang yang terbang melampaui di atas kepalanya tadi, inilah murid Bu-bing Loni yang bernama Ham Gwat. Begitulah untuk sekian lamanya kedua belah pihak saling pandang tanpa berkesip. Gwat-sian tidak tahu bagaimana perasaan hatinya saat itu. hampir ia merasakan akan kerendahan dirinya Bukankah dia dihinggapi penyakit yang tidak dapat ditolong lagi! Sebetulnya ia sangat bangga, akan dirinya, akau kepintaran dan bentuk wajahnya sendiri. Kalau dulu ia merasa bahwa kecantikan dirinya adalah yang nomor satu di seluruh kolong langit ini, tapi Ham Gwat yang berdiri dihadapannya sekarang kiranya juga mempunyai bentuk wajah yang tidak kalah agung dan cantiknya. Dia bangga bahwa Tay-seng-ci-lou atau ilmu yang dipelajarinya itu tiada tandingan di seluruh jagat, tapi jelas bahwa Ham Gwat yang berdiri dihadapannya ini justru adalah ahli waris Hui-sim-kiam-hoat, itu ilmu pedang nomor wahid tanpa tandingan di seluruh dunia persilatan. Adalah aku sendiri sedikitpun tidak pandai bermain silat. Akhirnya Ma Gwat-sian tertunduk dengan sedih, tapi dilain saat ia angkat kepala pula tidak mau tunduk begitu saja, begitulah ia adu pandang pula dengan Ham Gwat. Entah berapa lama mereka beradu pandang tanpa berkesip, dalam hati kecil Ma Gwat-sian mengharap Ham Gwat suka mengalah setindak padanya, tapi kenyataan tidak, dari sorot pandangan Ham Gwat ia merasakan, bahwa sedikitpun Ham Gwat tidak akan mengalah pada dirinya. Serta merta terasa oleh Ma Gwat-sian air mata telah mengembeng memenuhi kelopak matanya, lekas-lekas ia menunduk dan memejamkan mata, sambii mengemban harpanya ia berlari kencang ke depan lewat samping Ham Gwat. Tanpa bergeming Ham Gwat tetap berdiri, biji matanya memancarkan sorot cahaya yang sangat aneh, kelihatannya seperti senang, tapi seperti sedih dan menyesal pula, akhirnya ia pelan- pelan membalik tubuh, dipandangnya punggung Ma Gwat-sian yang mengghilang dikejauhan. Sambii tertunduk ia berpikir, kakinya melangkah pelan, sekonyong-konyong terasa angin berkesiur sesosok bayangan orang melayang hinggap di depannya. Itulah Poci yang mendatangi pelan-pelan. Dengan pandangan penuh selidik ia pandang Poci yang semakin dekat. Untuk sesaat lama Poci harus mengendalikan perasaan sebelum bicara, akhirnya ia membuka suara dengan suara tertekan. "Nona Ham Gwat, ada beberapa patah kata yang perlu kusampaikan kepada kau, apakah kau sudi mendengar?" Sebetulnya Ham Gwat rada heran pada sepak terjang Poci dan tingkah laku Ma Gwat-sian, mungkinkah mereka tadi sudah bertengkar dengan Hun Thian-hi? Karena rekaan hatinya ini, ia manggut-manggut. Setelah menghela napas Poci berkata. "Betapa dalam dan suci cinta Hun Thian-hi terhadap kau. hal ini aku tahu dengan jelas. "demikian ia mulai dengan uraiannya. Sampai disini ia berhenti. Ia pandang air muka Ham Gwat, melihat orang tidak mengunjuk perubahan pada mimik mukanya, lalu ia melanjutkan. "Tapi haruslah kau ketahui bahwa Ma Gwat-sian juga kepincut terhadap Hun Thian-hi, begitu besar rasa cintanya terhadap Hun Thian-hi seperti cinta Hun Thian- hi terhadap kau. Tapi dia." Tersekat sekian saat Poci tak kuasa melanjutkan kata-katanya karena terganggu oleh perasaan hatinya. "Ma Gwat-sian sendiri juga belum tahu," Demikian ia melanjutkan lagi. "Bahwa jiwanya kini tinggal dapat hidup tiga bulan lagi, ini adalah tinggal harapannya yang terakhir, kuharap nona suka berkorban diri demi kebahagiaannya yang sangat pendek ini." Begitu mendengar penjelasan terakhir ini, otak Ham Gwat seperti dipalu godam, terhujung mundur sempoyongan, matanya terbelaiak dan menjublek ditempatnya, sesaat kemudian baru ia kuasa membuka suara. "Baru saja dia lewat kesana!" Poci tertegun. Ia sangka Ma Gwat-sian masih berada dihutan bambu dan sekarang tengah bersama Hun Thian-hi, tapi ternyata kejadian benar-benar diluar perhitungannya, keruan ia tersentak kaget, teriaknya. "Apa?" tanpa banyak bicara lagi segera ia berlari mengejar. Ham Gwat menjadi melongo, sunguh ia tidak tahu bahwa Ma Gwat-sian tinggal dapat hidup selama tiga bulan lagi, Ma Gwat-sian menyusul dari tempat yang ribuan li jauhnya, Poci tidak akan menipu dirinya akan hal-hal yang tidak benar-benar. Sebetulnya. rasa cintanya terhadap Hun Thian-hi setinggi gunung sedalam lautan, adakah jiwaku begitu sempit, begitu tega aku tanpa memberi sedikitpun kelonggaran terhadap seorang gadis remaja yang tinggal hidup tiga bulan lagi. Dengan mengeluh ia mendongaK memandang ke-cakrawala. Sekarang hanya ada satu jalan dapat menolong keadaan yang sudah kronis ini, kalau jalan ini dapat ditempuh dan bisa terlaksana betapa ringan perasaan yang mengunjal sanubarinya. Sebat sekali segera ia melesat ke arah, Siau-llm-si. Setelah melewati Ham Gwat, sanubari Ma Gwat-sian seperti diserang rasa sedih yang bergelombang tak kenal putus, air mata tak terbendung lagi mengalir dikedua pipinya, hampir saja ia berteriak nyaring dengan tangis yang gerung-gerung. Dia terus berjalan ke depan tanpa membedakan arah, mendadak rasa letih menyerang seluruh sendi2 tulang dan urat nadinya, tubuhnya terasa lemas lunglai, ia berdiri sekejap memejamkan mata, waktu ia buka mata lalu menuju ke arah sebuah gua yang dilihat ada di depan sana. Semakin jauh aku pergi meninggalkan mereka akan lebih enak dan ringan perasaanku, biar mereka selama hidup ini tidak akan menemukan aku lagi, tanpa sangsi2 langsung ia memasuki gua itu. Begitu berada di dalam ia celingukan kian kemari, meski tidak besar dan luas, tapi lorongnya cukup panjang ke dalam sana. entah bakal menembus kemana. Rada sangsi sebentar Ma Gwat-sian lalu beranjak maju lebih lanjut, semakin dalam ia berjalan badan semakin lemas, tiba-tiba dilihatnya sebentuk batu giok putih menggeletak di atas tanah, karena ketarik tanpa ambil pusing dijemputnya terus melanjutkan ke depan. Beberapa puluh langkah kemudian rasa letih dan pening mendadak merangsang kepala dan kaki tangannya, serta merta ia lantas berdiri menggelendot didinding gua, sekian lama ia berdiam diri sambii memejamkan mata. Sekonyong-konyong ia tersentak bangun oleh langkah-langkah kaki ringan yang mendekat, waktu ia membuka mata dengan siaga, dilihatnya seorang laki-laki tua dengan muka kurus berdiri dihadapannya, dengan penuh perhatian orang pandang dirinya. Terkejut hati Ma Gwat-sian, batinnya. "Kiranya gua ini ada penghuninya." Dengan seksama dan tanpa berkesip iapun pandang orang tua. entahlah apa yang akan diperbuat pada dirnya. "Nak," Tiba-tiba orang tua itu tertawa lebar penuh welas asih. "Kenapa kau tertidur di tempat ini, bila ada ular atau sebangsa binatang buas lainnya bagaimana kau." terangkat sebelah tangannya untuk mengelus-elus rambut Ma Gwat-sian. Dengan kejut dan takut Ma Gwat-sian berusaha mundur menghindar, serta melihat orang tua dihadapannya ini tidak mengandung maksud jahat, ia biarkan saja kepalanya diusap2. Sekian lama si orang tua mengelus-elus rambut Ma Gwat-sian sembari menghela napas rawan, lalu ia pun tenggelam dalam renungannya, akhirnya ia angkat kepala dan tertawa, katanya. "Nak. kau tadi pernah menangis kenapa?" Serta merta terbit rasa hormat dan bersahabat dalam relung hati Ma Gwat-sian. sambil angkat kepala ia balas bertanya. "Paman tua, kenapa seorang diri kau menetap di dalam gua ini?" Si orang tua tersenyum ewa, katanya. "Cahaya disini kurang terang, mari kau ikut aku." lalu diajaknya Ma Gwat-sian menuju kegua yang lebih dalam. Semakin dalam keadaan gua semakin terang dan lebar, setelah membelok beberapa kali lekukan. tibalah mereka disebuah kamar batu, kamar batu ini hanya terdapat sebuah dipan dan sebuah meja kecuali itu banyak buku tertumpuk disana. Dari luar kamar batu sebelah sana menyorot masuk cahaya terang, jauh diluar sana tampak sebuah air terjun mencurah tumpah dengan mengeluarkan suaranya yang gegap gempita. dari reflek cahaya air terjun inilah, keadaan kamar batu itu semakin terang benderang. Sembari tertawa lebar si orang tua menggerakkan tangan supaya Ma Gwat-sian duduk, dia sendiri juga lantas duduk di atas dipan Ma Gwat-sian beragu sebentar, pelan-pelan ia duduk. Kata si orang tua dengan tertawa. "Sudah lima aku tidak pernah ketemu dengan orang asing, entah cara bagaimana kau bisa masuk kamari?" Sembari berkata itu si orang tua mengamati Ma Gwat-sian dengan seksama. tiba-tiba dilihatnya sebentuk batu giok pttih ditangan Ma Gwat-sian, serunya terkejut. "Kau tidak bisa main silat?" Ma Gwat-sian manggut-manggut. Heran dia mengapa orang mengajukan pertanyaan ini, kedengarannya seperti daerah ini adalah tempat terlarang bagi orang luar. terutama bagi orang- orang yang pandai main silat menjadi pantangan untuk memasuki daerah itu. Si orang tua menghela napas ringan, ujarnya. "Para padri dari Siau-lim-si masa tiada seorangpun yang merintangi kau?" Ma Gwat-sian menggeleng. sahutnya. "Mereka sendiri sekarang sedang repot. mana ada waktu merintangi kedatanganku kemari?" Si orang tua menghela napas lega, katanya kalem. "Kau sudah datang sudah tentu kau memang berjodoh denganku. Tapi kau harus tahu, bahwa batu giok yang kau pegang itu adalah Sim-giok-ling milik Bu-bing Loni, setelah melihat Sin-giok-ling bukan saja kau tidak mundur dan meninggalkan tempat ini malah kau jemput dan kau anggap sebagai mainan. Bu-bing Loni" Pendekar Bego Karya Can Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo